You are on page 1of 40

ISSN 1829 - 5118

Vol. 8 - Maret 2012

JURNAL TUBERKULOSIS INDONESIA


DAFTAR ISI :

E VALUASI ME T ODEFAST PlaqueT BTM UNT UK ME NDE T E KSI Mycobacterium tuberculosis P ADA S PUT UM DI BE BE RAP A UNITPE LAY ANAN KE SE HAT AN DI JAKAR T A-INDO NE S IA HUBUNGAN DUKUNG AN S OS IAL DE NG AN KUALIT ASHIDUPP ADA PE NDE R IT A T UBE RKULO SISP ARU (T BP ARU) DI BALAI PE NGO BAT AN P E NY AKITP ARU (BP4) Y OG Y AKAR T A UNITMINGG IR AN RAPIDT BT E ST ME RO KOKDAN T UBE R KULOS IS T UBE RKULO SISDAN HIV-AIDS T UBE RKULO S ISNOS O KO MIAL

Diterbitkan Oleh Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) The Indonesian Association Againts Tuberculosis

Vol. 8- Maret 2012

ISSN 1829 - 5118

JURNAL TUBERKULOSIS INDONESIA


Diterbitkan Oleh Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia

Pemimpin Umum Ketua Umum PP PPTI Penanggung Jawab Dr. Achmad Hudoyo, Sp.P, FCCP Pemimpin Redaksi Dr. Prasenohadi, Sp.P, Ph.D

Sekretariat Redaksi Drs. Sumardi

Alamat Sekretariat Redaksi & Iklan Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A Kebayoran Lama Utara, Jakarta 12240 Telp. 021 - 7397494 Fax. 021 - 7397494 http://www.ppti.info, email: ppti66@yahoo.com
Terbit pertama kali Agustus 2004

Petunjuk Untuk Penulis


Redaksi menerima naskah yang hanya ditujukan untuk Jurnal Tuberkulosis Indonesia (JTI) dalam bahasa Indonesia/Inggris, dengan ketentuan sebagai berikut: P edoman Umum Naskah adalah karangan asli Naskah belum pernah diterbitkan sebelumnya dalam bentuk dan media/jurnal apapun Seluruh isi naskah adalah tanggung jawab penulis Naskah yang telah dikirim menjadi hak redaksi, dan seluruh isinya tidak dapat direproduksi kembali untuk publikasi dalam bentuk apapun tanpa seijin redaksi Redaksi berhak untuk melakukan proses penyuntingan naskah, dalam bentuk gaya, bentuk, tampilan, dan kejelasan isi, tanpa harus mengubah isi naskah Redaksi berhak unt uk memint a penulis untuk memperbaiki isi dan bentuk tulisan Naskah yang tidak dimuat, akan dikembalikan kepada penulis apabila ada permintaan sebelumnya Naskah menggunakan Bahasa Indonesia baku, yang efektif dan efisien. Atau dalam keadaan tertentu, naskah dapat dibuat dalam Bahasa Inggris dengan ejaan yang standar Naskah Naskah diketik dengan spasi ganda, dengan jarak tepi- tepi kertas 2,5 cm dan menggunakan ukuran kertas A4 (21x 30 cm) Naskah dapat dikirim ke redaksi dalam bentuk disket berupa copy file dari naskah tersebut Kelengkapan Naskah Naskah dikirim ke alamat sekretariat redaksi Jurnal Tuberkulosis Indonesia: Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A Kebayoran Lama Utara Jakarta 12240, Telp. (021) 7397494, atau via email: jti_indonesia@yahoo.com Naskah dikirim dalam 2 berkas salinan (print- out) yang tersusun sesuai urutan: 1) halaman judul, 2) abstrak, 3) abstark dalam Bahasa Inggris termasuk key words, 4) isi, 5) ucapan terimakasih bila ada, 6) daftar pustaka, 7) tabel- tabel, 8) gambar/ilustrasi dan foto berikut keterangannya Naskah disampaikan dalam bentuk disket dengan program MS-Word Halaman Judul dan P enulis Judul makalah dit ulis lengkap, dan t idak menggunakan singkatan Nama penulis ditulis lengkap dengan gelar akademis Nama departemen dan institusi Alamat korespondensi penulis Abstrak Dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, secara terstruktur yang memuat inti pendahuluan; subjek dan metode; hasil; dan kesimpulan penlis. Abstrak tidak lebih dari 250 kata. Tabel dan Gambar Tabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah, dan telah disebutkan letaknya dalam narasi naskah Judul tabel diletakkan di atas dan setiap tabel Setiap singkatan pada tabel diberi keterangan sesuai urutan alfabet berupa catatan kaki di bawah tabel ataugambar. G ambar, tabel, atau foto, harus diberi keterangan secara informative sehingga mudah untuk dimengerti P ermintaan pemuatan gambar berwarna dikenakan biaya reproduksi Daftar Pustaka Daftar rujukan dibuat sesuai dengan ketentuan Vancouver. Daft ar rujukan t idak lebih dari 25 buah, dan merupakan rujukan t erbaru dalam satu dekade terakhir. Setiap rujukan diberi nomor sesuai urutan dalam narasi naskah. Nama jurnal disingkat seperti tercantum dalam Index Medicus. Rujukan yang telah masuk dalam naskah, namun belum diterbitkan dalam satu jurnal ditulis sesuai aturan dan ditambahkan: In Press Contoh P enulisan Daftar Rujukan 1. Artikel jurnal baku. Contoh: Aditama.TJ.Y , Priyanti ZS, T uberkulosis, Diagnosis, T erapi dan Masalahnya, Lab. Mikrobiologi RSUP P ersahabatan/WHO Collaborating Center for Tuberculosis, E disi 3, 2000, hal 32-80. 2. Organisasi sebagai penulis. Contoh: Bureau of Tuberculosis Control. Clinical policies and protocols. 3rd ed. New Y ork, NY : New Y ork City Department of Health, 1999 3. Tanpa nama penulis. Contoh: Tuberculosis in South Africa (editorial). A Kalvin 1993; 74:5 4. P enulis perorangan. Contoh: Wallgreen A. Primary pulmonary tuberculosis in chilhood.; 2nd ed. California: Aicon Publishers; 1985 5. Bab dalam buku. Contoh: Rock JA, Surgical Condition of the Vaginal and Urethra, te Linde s Operative Gynecology E igth E dition, New Y ork; Ralf press; 1995. p. 911-938

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

EDITORIAL
Sekali lagi tentang TB-MDR. Siapa yang salah ?
Kalau seandainya dokter yang mengobati sakit tb-paru saya dulu menjelaskan begini akibatnya dan seperti ini penderitaan yang harus saya jalani, pasti saya akan taat dan berobat teratur sampai sembuh betul! Begitulah keluhan yang disampaikan seorang pasien yang didiagnosis sebagai TB-MDR, yaitu TB-paru dengan kuman tidak sensitif lagi dengan obat anti tb (OAT) minimal dengan jenis obat rifampisisn dan INH. Sehingga pasien harus menjalani pengobatan 2 tahun lamanya. Dia harus mendapat injeksi setiap hari selama 6 bulan dan obat minum minimal 4 macam obat lini kedua yang masih sensitif setiap hari selama 18 bulan setelah konversi. Untuk menjamin ketaatan minum obat pada program pengobatan TB- MDR, obat harus diminum dihadapan petugas kesehatan di rumah sakit atau puskesmas setiap hari. Bagi pasien yang mampu atau bahkan sudah pension tidak terlalu bermasalah, akan tetapi bagi pasien dengan umurt muda, masih bekerja atau bahkan tulang punggung rumah tangga, sangat menimbulkan masalah dan penderitaan bukan saja terhadap diri sendiri yang sedang sakit tetapi juga keluarga terutama istri dan anak-anak. Secara teoritis ada 5 faktor yang dianggap berperan menyebabkan wabah TB- MDR, yaitu (1). P engobatan tidak adekuat (menimbulkan mutan M.tb yg resisten), (2). P asien yg lambat terdiagnosis MDR, sehingga menjadi sumber penularan terus menerus, (3). Pasien dengan TB resisten obat yang tidak bisa disembuhkan, akan meneruskan penularan ,(4). P asien dengan TB resisten obat meskipun diobati terus tetapi dengan obat yang tidak adekuat mengakibatkan penggandaan mutan resisten ,(5). Ko- inveksi HIV mempermudah terjadinya resistensi primer maupun sekunder. Oleh karena itu dalam standar internasional penatalaksanaan TB (ISTC) standar 14 perlu dilakukan penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasar riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dgn sumber yg mungkin resisten obat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Standar 15 ISTC mengisyaratkan bahwa pasien gagal pengobatan dan kasus kronik selalu dipantau kemungkinan terjadi resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin dan etambutol seharusnya dilakukan segera. P asien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. P aling tidak harus digunakan empat obat yg masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR-TB harus dilakukan. P eran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puseksmas) di Indonesia dalam melaksanakan Program TB Nasional tidak diragukan lagi. Puskesmas mempunyai infra struktur program kesehatan komunitas yang lebih baik, sehingga angka putus obat rendah dan kesembuhan tinggi. Tetapi jangkauan Puskesmas untuk menjaring pasien TB terbatas, hanya sekitar 30 40%, selebihnya pasien TB ditangani oleh dokter praktek swasta, klinik atau rumah swasta dan rumah sakit pemerintah yang tidak mempunyai jejaring dan infrastruktur kesehatan masyarakat yang baik, bahkan boleh dikatakan buruk. Meskipun belum ada bukti dan data, tetapi hipotesis yang memprediksi bahwa kesalahan yang dapat berakibat timbulnya wabah TB-MDR ada pada dokter praktek swasta dan unit kesehatan tersebut.

ii

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Sungguh sangat ironis memang. Akan tetapi kalau hal tersebut terbukti, maka secara nasional harus diambil kebijakan mendasar untuk mengevaluasi hal tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sangat menarik studi yang dilkukan oleh dua mahasiswa peserta program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat asal Afganistan yang berjudul Role of the Private Health Sector to Prevent MDR-TB E piemics in Indonesia. Dalam jurnal kali ini kita muat beberapa makalah yang bisa menunjang program TB Nasional, utamanya yang berhubungan dengan MDR- TB secara tidak langsung. Diagnosis TB- Cepat tulisan Apri Liyanda, suatu tinjauan pustaka yang membahas penegakan diagnosis TB dalam waktu singkat, kurang dari satu jam dengan tujuan agar diagnosis Tb tidak terlambat. Evaluasi metoe FAST-plaque adalah buah karya penelitian Lely Septawati Sp Mk dkk. P enelitian lain tentang Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pasien TB paru, hasilya dipaparkan dalam tulisan Nita Yuniarti R.

Achmad Hudoyo Sp P(K)

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

iii

EVALUASI METODE FASTPlaqueTBTM UNTUK MENDETEKSI Mycobacterium tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DI JAKARTA-INDONESIA
Leli Saptawati,dr.,Sp.MK, Mardiastuti,dr.,M.Sc.,Sp.MK(K), Anis Karuniawati,dr.,PhD.,Sp.MK(K), Cleopas Martin Rumende,dr.,DR.,Sp.PD KP.,FINASIM.,FCCP

LATAR BELAKANG
T uberkulosis (T B) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia.1 P revalensi T B di Indonesia dan negaranegara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.2 Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (1555 tahun). Angka kematian karena infeksi T B berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000 kematian per tahun.3 Hal tersebut merupakan tantangan bagi semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini. Salah satu upaya penting untuk menekan penularan T B di masyarakat adalah dengan melakukan diagnosis dini yang definitif. Saat ini kriteria terpenting untuk menetapkan dugaan diagnosis T B adalah berdasarkan pewarnaan tahan asam. Walau demikian, metode ini kurang sensitif, karena baru memberikan hasil positif bila terdapat >103 organisme/ml sputum.4 Kultur memiliki peran penting untuk menegakkan diagnosis T B karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada pewarnaan t ahan asam.5 Kult ur Lowenst ein- Jensen (LJ) merupakan baku emas metode identifikasi Mycobacterium tuberculosis, dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 99% dan 100%,6 akan tetapi waktu yang diperlukan untuk memperoleh hasil kultur cukup lama, yaitu sekitar 8 minggu.7 Hal ini tentu saja akan menyebabkan keterlambatan yang bermakna untuk menegakkan diagnosis dan memulai terapi.5 Secara umum, metode penegakan diagnosis yang banyak digunakan saat ini adalah metode lama, sehingga diperlukan teknik diagnosis baru, yang dapat mendiagnosis T B dengan lebih cepat dan akurat.8 Amplifikasi asam nukleat merupakan teknik identifikasi cepat Mycobacterium tuberculosisyang telah banyak digunakan di negara-negara maju beberapa tahun terakhir ini. Sayangnya, secara t eknis met oda ini t idak mudah dikerjakan dan memerlukan biaya yang cukup mahal.4 Metoda diagnosis cepat yang baru dikembangkan yaitu penggunaan Mycobacteriophage. Mycobact eriophage akan menginfeksi Mycobact erium tuberculosis hidup pada sputum. Deteksi Mycobacterium

tuberculosis pada sputum dapat dilakukan melalui 2 metoda, yaitu menggunakan luciferase reporter phage (LRP) dan menggunakan metode amplifikasi faga. FAST PlaqueT BTM (Biotec Laboratories Ltd., Ipswich, UK) merupakan salah satu metode cepat yang memiliki prinsip kerja berdasarkan teknologi amplifikasi faga.9 Suatu penelitian meta analisis terhadap 13 penelit ian phage based assay menunjukan bahwa nilai sensitivitas uji FAST PlaqueTBTM masih memiliki rentang nilai sensitivitas yang cukup lebar, yaitu berkisar 2194% dan rentang nilai spesifisitasnya 83 100%.10 Hingga saat ini belum ada penelitian yang dilakukan di Indonesia untuk mengetahui efektivitas metode FAST PlaqueT BTM. Oleh karena teknik diagnosis T B yang lebih cepat dan akurat saat ini sangat diperlukan untuk meningkatkan cakupan T B di Indonesia, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk menguji met ode FASTPlaqueTBTM dalam mendet eksi Mycobacterium tuberculosis pada sputum. Diharapkan metode ini dapat membantu penegakan diagnosis T B yang cepat, akurat, mudah dan aman sehingga dapat dilakukan secara rutin di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.

METODEA
Sputum diperoleh dari 46 orang pasien, terdiri dari 18 pasien yang berobat jalan di poli paru Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta, satu pasien yang dirawat di bagian paru RSUPNCM Jakarta, 3 pasien yang berobat di Puskesmas Menteng Jakarta dan 24 pasien yang berobat di P erkumpulan P emberantasan T uberkulosis Indonesia (PPT I) T anah T inggi Jakarta, yang memenuhi kriteria inklusi dan t elah menandatangani informed consent . Kriteria inklusi yang digunakan adalah pasien usia e15 tahun dengan suspek T B paru. Suspek T B paru ditetapkan dengan kriteria yang memenuhi satu atau lebih gejala sebagai berikut : gangguan di saluran nafas (batuk e 2 minggu, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada), terdapat gejala sistemik (demam, malaise, keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan).11 P engambilan sputum dilakukan dengan teknik asepsis.12 P engambilan sputum dari masing-masing responden dilakukan maksimal sebanyak 3

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

kali, yaitu sputum sewaktu-pagi-sewaktu. P erhitungan besar sampel menggunakan rumus perkiraan perbedaan 2 proporsi.13 P engumpulan spesimen dilakukan selama 2 periode yaitu bulan AprilJuli 2009 dan OktoberDesember 2010. P ewarnaan dengan metode ZN dilakukan sebelum dan sesudah dekontaminasi sputum. Dekontaminasi dilakukan dengan metode NALC-NAOH (Mycoprep) dan disentrifus dengan kecepat an minimal 2000xg selama 20 menit. Spesimen didiamkan beberapa saat, kemudian supernatan dibuang. Sedimen ditambah dengan 15 ml FAST PlaqueT B (FPT B) MediumTM Plus dan disentrifus dengan kecepatan minimal 2000xg selama 20 menit. Spesimen didiamkan beberapa saat, kemudian supernatan dibuang (sisakan sekitar 0,51 ml). Setelah itu ditambahkan 1 ml FPTB MediumTM Plus. Selanjutnya spesimen diambil 1 ose dan dilakukan pembuatan preparat unt uk pemeriksaan mikroskopis. Kemudian 1 ml spesimen dimasukkan ke dalam vial steril yang sudah tersedia dalam kit FAST PlaqueT BTM dan diinkubasi selama 1824 jam. Bersamaan dengan uji di atas, dilakukan biakan pada media LJdan Lowenstein JensenP-nitrobenzoic acid (LJ-PNB). Sebanyak 0,2 ml spesimen dimasukkan ke dalam media LJ dan diambil 0,2 ml lagi untuk ditanam di media LJ-PNB. Sebelum diinkubasi, tutup ulir pada tabung LJ dan LJ-PNB dilonggarkan dan media diletakkan di dalam inkubator dengan posisi miring 30 selama 24 jam. Setelah itu tutup ulir dirapatkan kembali dan tabung diinkubasi pada posisi tegak. Kultur diamati hingga 8 minggu14,15,16 Uji FAST PlaqueT BTM dilakukan sesuai dengan petunjuk pada manual dari Biotec Laboratories Ltd., Ipswich, UK . P ada setiap uji disertakan kontrol negatif dan kontrol positif. Semua sampel sputum yang sudah diproses dan sudah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35-37C, kontrol negatif dan kontrol positif ditambah dengan 0,1 ml larutan faga dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu 3537C. Setelah inkubasi, masing-masing tabung ditambah 0,1 ml larutan virusid. T abung didiamkan selama 5 menit pada suhu ruang, kemudian masing-masing tabung ditambah 5 ml larutan F PT B MediumTM Plus untuk menetralisasi efek virusid. Selanjutnya ditambah dengan 1 ml larutan sel sensor. Setelah itu ditambah dengan 5 ml FPT B agar yang sudah dicairkan dan dituang ke dalam petri steril. Diamkan hingga agar mengeras (sekitar 30 menit pada suhu 2025C). P etri kemudian diinkubasi semalam pada suhu 3537C. Keesokan harinya petri diambil dari inkubator dan dihitung jumlah plak yang terbentuk. P ada kontrol negatif harus terbentuk d 10 plak, kontrol positif harus terbentuk e 20 plak. P ada petri spesimen, hasil dikatakan negatif apabila ditemukan 019 plak dan dikatakan positif apabila terdapat e 20 plak.17

HASIL
Selama 2 periode pengumpulan sampel diperoleh 95 dan 69 sampel sputum. P ada periode I, 50 dari 95 sampel tidak dapat digunakan karena : a.P ertumbuhan koloni dari 24 sampel sputum yang diperiksa disertai perubahan warna pada media LJ dari hijau menjadi biru atau coklat. b.P ertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 14 sampel sputum. c.E nam sampel mengalami kontaminasi pada hasil uji FASTPlaqueT BTM d.Dua responden (6 sampel) tidak ada keterangan mengenai gejala klinik. Sedangkan pada periode ke-2, sebanyak 17 dari 69 sampel tidak dapat digunakan karena : a.P ertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 8 sampel sputum. b.Lima sampel mengalami kont aminasi pada uji FASTPlaqueT BTM c.Dua sampel mengalami kontaminasi baik pada kultur LJ maupun uji FASTPlaqueT BTM d.Dua sampel mengalami perubahan warna pada media kult ur LJ dan kont aminasi pada hasil uji FASTPlaqueT BTM. Dengan demikian total sampel yang terkumpul adalah 164 sampel sputum, sedangkan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian sebanyak 97 sampel. Karakteristik umur dari 46 responden yang masuk dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah tersangka T B paling banyak berada pada usia 35-44 dengan mean 43 tahun dan deviasi standard (SD) 16,5. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan 33 orang (33/46) berjenis kelamin laki-laki dan 13 orang (13/46) berjenis kelamin perempuan. Dari 97 sampel yang dibiak, 7 sampel tumbuh NT M, 52 sampel tumbuh Mycobacterium tuberculosis dan 38 sampel menunjukkan kultur negatif. Dari 7 sampel NT M yang dit emukan, 2 di ant aranya t erdet eksi posit if oleh FASTPlaqueT BTM dan 5 sampel terdeteksi negatif. Analisis hanya dilakukan terhadap kultur Mycobacterium tuberculosis dan kultur negatif.

Hasil pemeriksaan mikroskopis


P ada 90 sampel sputum dilakukan pewarnaan tahan asam dengan metode Ziehl Neelsen. Hasil pewarnaan setelahprosesdekontaminasi menunjukkan bahwa sebanyak 52 sampel (58%) positif dan 38 sampel (42%) negatif.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Hasil pemeriksaan kultur Set elah dilakukan pemeriksaan mikroskopis, selanjutnya sampel ditanam pada media LJ dan LJ-PNB. Nontuberculous Mycobacteria tidak diikutsertakan dalam analisis lebih lanjut . Sebanyak 52 sampel (57,8%) menunjukkan hasil kultur LJ positif dan 38 sampel (42,2%) menunjukkan hasil kultur negatif. Hasil pemeriksaan FASTplaqueTBTM Selain pemeriksaan mikroskopis dan kultur, semua spesimen juga diperiksa dengan menggunakan metode FASTPlaqueT BTM. Dari 90 sampel yang diperiksa, 53 sampel (58,9%) menunjukkan hasil posit if dan 37 (41,1%) memberikan hasil negatif. Analisis statistik pewarnaan Zehl Neelsen dan FAST PlaqueT BTM dengan kultur LJsebagai baku emas, disajikan pada tabel 1,2 dan 3.
Tabel 1. Analisis statistik pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasi dan dekontaminasi dibandingkan dengan Kultur LJ.
Ziehl Neelsen Kultur LJ Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK Positif Negatif (%) (%) (%) (%) pos neg

Kesesuaian hasil antara pewarnaan Ziehl Neelsen langsung dan uji FASTPlaqueTBTM
Pemeriksaan mikroskopis yang digunakan unt uk pelayanan sehari- hari laboratorium di Indonesia adalah pewarnaan Ziehl Neelsen langsung. Hal ini sesuai dengan panduan Depkes RI tahun 2006. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diketahui kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung dan F AS T PlaqueT BTM. Interpretasi hasil pada pewarnaan langsung dilakukan berdasarkan panduan Depkes RI tahun 2006.18 Di antara sampel dengan hasil kultur positif (52 sampel), 8 sampel menunjukkan hasil negatif pada pewarnaan langsung, 2 sampel menunjukkan 19 BT A/100 lapang pandang, 18 sampel menunjukkan hasil +1, delapan sampel menunjukkan hasil +2, dan 16 sampel menunjukkan hasil +3 (tabel 4). Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa kesesuaian hasil sebesar e90% antara pewarnaan langsung, FAST plaqueTBTM dan kultur LJ positif dapat diperoleh mulai dari hasil +1. Di antara sampel dengan hasil kultur negatif (38 sampel), 33 sampel menunjukkan hasil negatif pada pewarnaan langsung, satu sampel menunjukkan 19 BTA/100 lapang pandang, dua sampel menunjukkan hasil +1, dua sampel menunjukkan hasil +2, dan tidak ada sampel yang menunjukkan hasil +3 (tabel 5). Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa kesesuaian hasil sebesar 81,8% antara pewarnaan langsung, FAST plaqueT BTM dan kultur LJnegatif diperoleh pada pewarnaan langsung yang menunjukkan hasil negatif.
Tabel 4. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, uji FASTPlaqueTB TM dan kultur LJ positif Penawaran langsung Negatif 1-9 BTA/100 lapang pandang +1 +2 +3 Uji Uji FASTPlaqueTB TM FASTPlaqueTB TM Positif n(%) 4 (50,0) 1 (50,0) 17 (94,4) 18 (100) 15 (93,7) Negatif n(%) 4 (50,0) 1 (50,0) 1 (5,6) 0 (0,0) 1 (6,3) 8 2 18 18 16 Kultur LJ positif

Positif Negatif

47 5 52

5 33 38

90,4

86,8

90,4 86,8 6,9 0,1

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.

Tabel 2. Analisis statistik FASTPlaqueTBTM dibandingkan dengan Kultur LJ.


FASTPlaqueTB Kultur LJ Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK Positif Negatif (%) (%) (%) (%) pos neg

Positif Negatif

45 7 52

8 30 38

86,5

78,9

84,9 81,1 4,1 0,2

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.

Tabel 3. Analisis statistik kombinasi pemeriksaan Ziehl Neelsen setelah dekontaminasi dan/atau FASTPlaqueTBTM dibandingkan dengan Kultur LJ.
ZN setelah Kultur LJ dekontaminasi Positif Negatif dan/atau FASTPlaqueTB Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK (%) (%) (%) (%) pos neg

Tabel 5. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, uji FASTPlaqueTB TM dan kultur LJ negatif Penawaran langsung Uji Uji FASTPlaqueTB TM FASTPlaqueTB TM Negatif n(%) Positif n(%) 5 0 (0,0) 1 (50,0) 1 (50,0) 0 (0,0) 27 (81,8) 1 (100) 1 (50,0) 1 (50,0) 0 (0,0) Kultur LJ negatif 33 1 2 2 0

Positif Negatif

49 3 52

11 27 38

94,0

71,0

81,0 90,0 3

0,1

Negatif 1-9 BTA/100 lapang pandang +1 +2 +3

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

PEMBAHASAN Responden yang ikut dalam penelitian ini berjumlah 46 pasien baru, belum pernah mendapat atau sedang dalam terapi OAT(obat antituberkulosis). Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya, antara lain penelitian di Spanyol, Filipina dan T urki, menunjukkan bahwa terapi OAT dapat menurunkan sensitivitas pemeriksaan uji FASTPlaqueT BTM. Semua penelitian tersebut menunjukkan sensitivitas di bawah 60%.10 Dat a yang diperoleh pada penelit ian ini memperlihatkan bahwa responden t erbanyak adalah kelompok umur 35-44 yaitu 12 orang (12/45). Data tersebut sesuai dengan laporan dari Sub Direktorat T B Depkes RI tahun 2006, yang menyatakan bahwa infeksi T B sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (1555 tahun ).3 Data yang dikeluarkan oleh Depkes RI (2001) juga menunjukkan bahwa 75% penderita T B paru berada pada kelompok usia produktif (1550 tahun) dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah.18 Kondisi t ersebut t ent u saja akan sangat berdampak pada perekonomian keluarga, masyarakat dan negara.19 Selain merugikan secara ekonomis, T B juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan oleh masyarakat .20 Berdasarkan jenis kelamin, responden terbanyak dalam penelitian ini berjeniskelamin laki-laki yaitu 33 orang (33/45) dan 13 orang (13/45) berjenis kelamin perempuan. Infeksi T B memang cenderung lebih sering diderita oleh laki-laki dibandingkan wanita. Hal ini antara lain disebabkan karena faktor kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko infeksi T B paru sebanyak 2,2 kali.21 Hasil pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasi dan dekontaminasi menunjukkan sebanyak 58% (52/90) sampel memberikan hasil positif. Hal ini sesuai dengan kenyat aan bahwa diperkirakan set engah hingga tigaperempat kasus TB aktif menunjukkan BTA (+) dan sisanya BT A (-). Hasil kultur juga menunjukkan data yang sama, yaitu 58% sampel menunjukkan hasil kultur LJpositif dan sisanya menunjukkan hasil kultur negatif.4 FAST PlaqueT BTM merupakan suatu metode diagnostik yang mudah dikerjakan dan dapat memberikan hasil dalam waktu 2x24 jam. Apabila dibandingkan dengan kultur LJ, metode ini memiliki sensitivitas 86,5% dan spesifisitas 78,9%, Nilai duga posit if dan negat if met ode FASTPlaqueTBTM adalah 85,0% dan 81,0%. Rasio kemungkinan positif dan negatif uji ini adalah 4,14 dan 0,16. Nilai sensitivitas yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan rentang nilai sensitivitas penelitian meta analisis t erhadap 13 penelit ian. Penelit ian t ersebut

menyimpulkan bahwa phage- based assays memiliki sensitivitasantara 2194%. Luasnya rentang nilai sensitivitas pada penelitian meta analisis tersebut, dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain jenis spesimen yang digunakan, riwayat terapi OAT pada responden, perbandingan jumlah sampel BTA positif dan BT A negatif pada seluruh sampel yang diuji dan lamanya penyimpanan spesimen.P ada meta analisis tersebut, 3 penelitian tidak hanya menggunakan spesimen sputum namun juga menggunakan jenisspesimen lain. S elain itu, sebanyak 5 penelitian menyertakan responden yang sedang dalam terapi OAT .10 Apabila dilakukan kombinasi pemeriksaan mikroskopis set elah homogenisasi dekont aminasi dan/at au FASTPlaqueT BTM, maka diperoleh nilai sensitivitas sebesar 94,0%, spesifisitas71,0%, nilai duga positif 81,0%, nilai duga negatif 90,0%, rasio kemungkinan positif 3 dan rasio kemungkinana negatif 0,1. Hasil ini menunjukkan bahwa kombinasi hasil pemeriksaan mikroskopisdan F AST P laqueT BTM mampu meningkatkan sensitivitas, namun tidak dapat meningkatkan spesifisitas. P enelitian yang dilakukan oleh Muzaffar dkk (2002) menyimpulkan bahwa kombinasi pemeriksaan mikroskopis dan FASTPlaqueTBTM memperlihatkan nilai sensitivitasnya mencapai 90% dan spesifisitasnya 93%.4 P ada hasil uji FAST PlaqueTBTM yang dibandingkan dengan kultur LJ, ditemukan 8 sampel yang menunjukkan hasil postif palsu (6 sampel menunjukkan hasil BTA negatif dan 2 sampel menunjukkan hasil BT A positif). Dengan data tersebut dapat dilihat bahwa 6 sampel BT A negatif terdeteksi positif oleh FASTPlaqueT BTM. Salah satu kemungkinan yang menyebabkan terjadinya positif palsu adalah masih adanya faga yang berada di luar sel, karena proses destruksi faga oleh virusid tidak terjadi secara sempurna akibat adanya faktor dalam sputum yang mampu melindungi faga. Faga yang masih bertahan di luar sel tesebut kemudian akan menginfeksi Mycobacterium smegmatisdan akan membentuk plak pada media dan memungkinkan terjadinya hasil positif palsu.5 Interpretasi hasil uji FAST PlaqueT BTM sangat bersifat subyektif dan memerlukan kehati-hatian, terutama dalam membedakan hasil negatif dan hasil positif lengkap. Hal ini terkadang cukup menyulitkan, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan interpretasi hasil yang dapat menyebabkan terjadinya positif palsu maupun negatif palsu. Jumlah sampel yang menunjukkan hasil negatif palsu pada uji FASTPlaqueT BTM sebanyak 7 sampel. E mpat sampel merupakan BTA negatif dan 3 sampel BT A positif. Hasil negatif palsu berkaitan dengan kemampuan FAST P laqueT BTM dalam mendeteksi keberadaan Mycobacterium sp pada sputum. Kemampuan ini berkaitan erat dengan kemampuan infeksi dan replikasi faga D29 pada pejamu.22 Proses infeksi

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

dan replikasi faga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain struktur kimia dan biologis sputum23 dan kemampuan replikasi pejamu.22 S alah satu hal yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah tingginya angka kontaminasi pada hasil uji FAST P laqueT BTM. Dari 69 sampel yang diperoleh pada periode ke-2, 34 di antaranya (34/69) mengalami kontaminasi pada media FAST PlaqueT BTM. Dua puluh lima sampel di antaranya mengalami kontaminasi berupa generalized growth sehingga media menjadi keruh, dan 9 sampel mengalami kontaminasi berupa discrete colonies yang memenuhi hampir seluruh permukaan media sehingga menyulitkan interpretasi hasil. Kontaminasi tersebut dapat terjadi pada saat pengambilan dan pemeriksaan sampel atau karena proses dekontaminasi kurang adekuat. Sebagai upaya pengendalian kontaminasi, pada penelitian ini dilakukan proses dekontaminasi ulang pada sampel yang terkontaminasi dan selanjutnya dilakukan uji FASTPlaqueT BTM ulang. Set elah dilakukan pengujian, diket ahui bahwa sebagian besar bakteri kontaminan adalah batang positif Gram berspora (Bacillus sp) diikuti oleh kokus positif Gram. P ada beberapa sampel juga terdapat batang negatif Gram, di antaranya E nterobacter aerogenes dan Pseudomonas sp. Dominasi Bacillussp sebagai bakteri kontaminan memperkuat dugaan bahwa kontaminasi terjadi saat pengumpulan dan pemrosesan spesimen. P enundaan pengiriman spesimen juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kontaminasi. P engulangan prosesdekontaminasi dapat menurunkan kontaminasi dari 49,3% menjadi 14,5% (34/69 menjadi 10/ 69). P enelitian yang dilakukan oleh Muzaffar dkk (2002) juga menunjukkan adanya kontaminasi pada uji FAST PlaqueT BTM sebesar 18,6%, kontaminan terbesar adalah bakteri positif Gram khususnya Bacillus sp dan Staphylococcus sp. Untuk menekan kontaminasi, mereka melakukan penambahan penisilin pada medium pert umbuhan FASTPlaqueTBTM. Penambahan penisilin t ersebut mampu menurunkan kontaminasi hingga menjadi 5,3%, tanpa mempengaruhi sensitivitasdan spesifisitasnya. Supaya F AS T PlaqueT BTM dapat diaplikasikan secara efektif, hal penting yang harusdilakukan adalah pengendalian bakteri kontaminan. Hal ini terutama perlu dilakukan di negara-negara sedang berkembang, terkait dengan pengambilan dan pengolahan spesimen yang tidak selalu dapat dilakukan dalam kondisi ideal.4 Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini, dapat dilihat bahwa uji FAST P laqueT BTM memiliki sensitivitas yang cukup baik, akan tetapi nilainya masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan metode pewarnaan Ziehl Neelsen set elah homogenisasi dan dekont aminasi. FASTPlaqueT BTM hanya mampu mendeteksi bakteri hidup

sedang metode Ziehl Neelsen tidak dapat membedakan ant ara bakt eri hidup dan mat i.24 Hal tersebut dapat membantu klinisi dalam menangani kasus T B pada pasien dengan kondisi klinismembaik namun hasil pewarnaan Ziehl Neelsen positif. Kombinasi pemeriksaan mikroskopis dan FAS T PlaqueT BTM terbukti mampu meningkatkan sensitivitas. FASTPlaqueT BTM merupakan metode yang cukup mudah dikerjakan. S elain itu metode ini memberikan keamanan yang lebih baik bagi petugas laboratorium karena menggunakan Mycobacterium smegmatis yang tidak bersifat patogen. Replikasi faga juga akan menyebabkan lisis bakteri, sehingga bakteri tidak lagi bersifat infeksius. Hasilnya dapat diperoleh dalam waktu 2x24 jam. Di samping beberapa kelebihan tersebut, uji FAST PlaqueT BTM memiliki beberapa kelemahan antara lain tidak spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis, memiliki risiko kontaminasi yang tinggi, dan interpretasi hasil dipengaruhi oleh subyektivitas pembaca terutama dalam membedakan hasil negatif dan positif lengkap. Beberapa kekurangan pada penelitian ini antara lain adalah sampel yang diuji belum mampu mewakili seluruh strain Mycobacterium tuberculosisdi Indonesia, karena hanya diambil dari beberapa tempat pelayanan kesehatan di Jakarta. Selain itu, penelitian ini tidak melakukan identifikasi hingga spesiesbakteri. DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Pointers Menkes Menyambut Hari T BCSedunia 2007 . www.depkes.go.id 2007. 2. Naning R. T uberculosis Infection in Infant and Children Who Have Contact with P ositive Sputum Adult T uberculosis. http:/ /puspasca.ugm.ac.id. 2003. 3. Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan World Health O rganization (WHO). Hari T BS edunia : Lembar F akta T uberkulosis. www.tbcindonesia.or.id. 2008. 4. Muzaffar R, Batool S , Azis A, Naqvi A, Rizvi A. E valuation of t he FASTPLAQUETB Assay for Direct Det ect ion of Mycobacterium tuberculosis in Sputum Specimens. Int J T uberc Lung Dis. 2002; 6(7): 635-40. 5. Albert H, Heydenrych A, Brookes R, Mole LJ, Harley B, Subotsky E , et al. P erformance of a Rapid Phage-based test, FAST P laqueT BTM, to Diagnose Pulmonary T uberculosis from Sputum Specimens in South Africa. Int J T uberc Lung Dis. 2002; 6(6): 529 37. 6. Farnia P , Mohammadi F , Mirsaedi M, Zarifi AZ, T abatabee J, Bahadori M et al. Bacteriological follow-up of pulmonary tuberculosis treatment: a study with a simple colorimetric assay. Microbes and Infection. 2004; 6(11): 972-76.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

7. Levinson W. Review of Medical Microbiology and Immunology. United States,T he McGraw-Hill Companies, Inc. 2008. p.164. 8. Aditama TY .T uberkulosis Masalah dan P erkembangannya. www.fk.ui.ac.id 2008. 9. Pai M, Kalant ri SP. Bact eriophage- based t est s for tuberculosis. E ditorial. 2005; 23(3):149-50. 10. Kalantri SP ,P ai M, P ascopella L, Riley LW, Reingold AL. Bact eriophage- based t est s f or t he det ect ion of Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a systematic review and meta analysis. BMCInfect Dis, 2005; 5(59). 11. P erhimpunan Dokter Paru Indonesia. T uberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika. 2006. Hal. 14. 12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pemeriksaan Mikroskopis T uberkulosis. Jakarta. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 4, 1314,17,21. 13. Madiyono B, Moeslichan MS, Sastroasmoro S, Budiman I, Harry PS. Perkiraan Besar Sampel. Dalam : Sastroasmoro: Dasar-dasar Metodologi penelitian Klinis. E disi ke-2. Jakarta : CV Sagung Seto, 2002. Hal. 273. 14. Fujiki A. Bacteriology examination to stop T B. Japan. T he Research Institute of T uberculosis. 2001: p.16-18. 15. Lubasi D, Habeenzu C, Mitarai S. E valuation of an Ogawa Mycobacterium culture method modified for higher sensitivity employing concentrated samples. Tropical Medicine and Health. 2004; 32(1): p.1-4. 16. Basil MV, Kumar S, Yadav J, Kumar N, Bose M. A simple met hod t o dif ferent iat e bet ween Mycobact erium tuberculosis and Non-T uberculous Mycobacteria directly on clinical specimens. Southeast Asian J T rop Med Public Health. 2007; 38(1): 111-4. 17. Biot ec Laborat ories Lt d. FASTPlaqueTBTM a rapid bacteriophaga assay for the detection Mycobacterium tuberculosis complex in clinical samples. 2004. Available from: www.biotec.com. 18. Rusnoto, Rahmatullah P , Udiono A. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian T B paru pada usia dewasa (Studi kasus di balai pencegahan dan pengobatan Penyakit paru pat i). Undip websit e. 2006. Hal. 2. ht t p:// eprints.undip.ac.id/5283/. 19. Suharjana BS, Krist iani, Trisnantoro L. Pelaksanaan Penemuan Penderita T uberkulosis di P uskesmas Kabupaten S leman. KMPKUniversitas G adjah Mada. 2005. Hal. 5. http:/ /www.lrc- kmpk.ugm.ac.id/id/UP PDF/_working/ No.3_Bambang_S_01_05.pdf.

20. Depkes RI. P edoman Nasional P enanggulangan T uberkulosis. 2009. http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf 2009. 21. Kesehatan Masyarakat. F aktor-faktor risiko tuberkulosis (T B paru T BC). 2011. http://www.kesmas.tk/2011/05/faktorfaktor-resiko-tuberkulosis-tb.html. 22. Rybniker J, Stefanie K, Small PL. Host Range of 14 Mycobacteriophages in Mycobacterium ulcerans and seven other mycobacteria including Mycobacterium tuberculosis - application for identification and susceptibility testing. Journal of Medical Microbiology. 2006; 55(pt 1): 3742. 23. S tellaE J, De La Iglesia AI, Morbidoni HR. Mycobacteriophages as versatile tools for genetic manipulation of mycobacteria and development of simple methods for diagnosis of mycobacterial diseases. Revista Argentina de Microbiologa. 2009; 41: 45-55. 24. Kinomoto M. Development of slide-method to distinguish alive and dead mycobacteria by fluorescent staining a trial for solving the biohazard problem in T B laboratories. Kekkaku.1999; 74(8): 599-609.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU (BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN
Nita Yunianti Ratnasari AKPER Giri Satria Husada Wonogiri PENDAHULUAN
Latar Belakang P enyakit tuberkulosis (T B) paru merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. WHO menyatakan bahwa T B saat ini telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1,9 milyar manusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit ini.Setiap tahun terjadi sekitar 9 jut a penderit a baru Tbdengan kemat ian sebesar 3 jut a orang. Di negara berkembang kematian mencakup 25% dari keseluruhan kasus, yang sebenarnya dapat dicegah sehubungan dengan telah ditemukannya kuman penyebab T B. Kematian tersebut pada umumnya disebabkan karena tidak terdeteksinya kasus dan kegagalan pengobatan.Data Program P emberantasan T uberkulosis(P2 T B) di Indonesia menunjukkan peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Upaya penanggulangan maupun pencegahan yang telah diupayakan masih belum berhasil menyelesaikan masalah yang ada yaitu menurunkan angka kesakitan dan kematian. Masalah yang dijumpai adalah kesulit an penemuan penderit a TB paru BTA(+), ketidakteraturan berobat dan drop out pengobatan. Kasus T B yang tidak terobati tersebut akan terus menjadi sumber penularan. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan, pengakuan dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religiusitas), tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi masalah baik ringan maupun berat. P ada saat itu seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya, sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai. Demikian halnya dengan penderita penyakit kronis seperti T B paru perlu mendapat dukungan sosial lebih, karena dengan dukungan dari orang-orang tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan beban psikologis sehubungan dengan penyakit yang dideritanya yang pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan tubuh sehingga kondisi fisik tidak

semakin menurun. Dukungan sosial penting untuk menderita penyakit kronik sebab dukungan sosial dapat mempengaruhi tingkah laku individu, seperti penurunan rasa cemas, tidak berdaya dan put us asa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan. Meningkatnya st atus kesehat an berarti akan meningkat kan kualitas hidup penderita. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan, dengan pengawasan dan pemberian semangat terhadap penderita. P eran P engawas Minum Obat (PMO) tersebut dapat berasal dari petugas kesehatan, masyarakat atau keluarga penderita. Kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utama untuk mengetahui intervensi pelayanan kesehatan seperti morbiditas, mortalitas, fertilitas, dan kecacatan. Di negara berkembang pada beberapa dekade terakhir ini insidensi penyakit kronismulai menggantikan dominasi penyakit infeksi di masyarakat. Sejumlah orang dapat hidup lebih lama, namun dengan membawa beban penyakit menahun atau kecacatan, sehingga kualitas hidup menjadi perhatian pelayanan kesehatan. Fenomena di masyarakat sekarang ini adalah masih ada anggota keluarga yang takut apalagi berdekatan dengan seseorang yang disangka menderita T B paru, sehingga muncul sikap berhati-hati secara berlebihan, misalnya mengasingkan penderit a, enggan mengajak berbicara, kalau dekat dengan penderita akan segera menutup hidung dan sebagainya. Hal tersebut akan sangat menyinggung perasaan penderita. P enderita akan tertekan dan merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak pada kondisi psikologisnya dan akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan. Hal ini berarti dukungan sosial yang sangat dibutuhkan tidak didapatkannya secara optimal. Berdasarkan pertimbangan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan status kesehatan penderita serta pentingnya perhatian terhadap kualitas hidup penderita penyakit kronis, maka peneliti merasa tertarik untuk mengkaji kedua hal tersebut. Balai P engobatan P enyakit P aru (BP4) dipilih sebagai tempat pengambilan data penelitian karena selain merupakan tempat berobat yang potensial bagi

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

penderita TB paru, BP4 juga sebagai tempat yang tepat unt uk mengembangkan berbagai penelit ian yang berhubungan dengan pengobatan penyakit tersebut. BP4 Unit Minggiran adalah pusat administrasi dan angka penemuan kasus baru penderita T B paru di BP4 tersebut paling tinggi dibandingkan BP4 unit lain di Y ogyakarta. P ada periode Januari sampai Desember 2003, sebesar 48%, penderita T B paru BT A(+) baru ditemukan di Minggiran. Tujuan penelitian ini adalah untuk menget ahui hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita T B paru, karakteristik penderita T B paru, besarnya dukungan sosial dan tingkat kualitas hidup penderita T B paru yang berobat di BP4 Y ogyakarta Unit Minggiran serta besarnya kontribusi karakteristik responden terhadap kualitas hidup penderita T B paru.

kecuali di BP4, sedangkan 17 orang (34%) menyatakan pernah menjalani pengobatan lain sebelum di BP4 Minggiran. 2. Dukungan Sosial T otal skor dukungan sosial adalah jumlah orang pemberi dukungan dan kepuasan responden atas dukungan sosial t ersebut . Sebanyak 18 orang (36%) mendapat dukungan sosial dengan kategori tinggi. Untuk kategori sedang dan rendah masing-masing sebanyak 22 orang (44%) dan 10 orang (20%). Dukungan sosial yang diterima para penderita pada umumnya diperoleh dari keluarga, sanak saudara dan tetangga. 3. Kualitas Hidup P enilaian terhadap kualitas hidup meliputi 5 aspek yaitu : tingkat aktivitas, kehidupan sehari-hari, kesehatan, dukungan sosial serta harapan. Sebanyak 34 orang (68%) dapat beraktivitas normal, 14 orang (28%) dalam beraktivitas perlu bantuan orang lain dan 2 orang (4%) menyatakan tidak mampu beraktivitas. Sebanyak 40 orang (80%) dapat melakukan kehidupan sehari-hari dengan normal, 9 orang (18%) dalam melakukan kehidupannya membutuhkan bantuan orang lain serta 1 orang (2%) menyatakan tidak mampu menjalani kehidupan sehari-hari sama sekali. Sebanyak 25 orang (50%) merasa sehat pada sebagian besar waktu, 21 orang (42%) menyatakan sering merasa lesu, serta 4 orang (8%) menyatakan bahwa badannya selalu terasa sakit. Sebagian besar penderita T B paru mendapat dukungan kuat dari keluarga dan teman yaitu 43 orang (86%), penderita yang mendapat dukungan terbatas dari keluarga sebanyak 6 orang (12%) dan hanya seorang (2%) menyatakan jarang mendapat dukungan dari orang-orang sekitarnya. Sebanyak 40 orang (80%) mempunyai harapan positif dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Ada 9 orang (18%) merasa sedih dan hanya 1 orang (2%) betul-betul bingung, sangat takut dan cemas. Secara garis besar sebanyak 34 orang (68%) mempunyai kualitas hidup baik, kualitas hidup kategori sedang sebesar 30% dan hanya ada 1 orang responden (2%) dengan kualitas hidup jelek. 4. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup Dari hasil analisis dengan uji korelasi Product MomentP earson diperoleh hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita TB paru dengan r sebesar 0,675; p<0,01. Dapat diartikan bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup yang berarti semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, maka kualitashidup juga semakin meningkat. Interpretasi kekuatan hubungan termasuk kategori tinggi.

METODE PENELITIAN
P enelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang bersifat kuantitatif dengan metode deskriptif dengan rancangan studi potong lintang. T otal sampel sebesar 50 orang penderita T B paru yang berobat di BP4 Unit Minggiran yang memenuhi kriteria yang ditentukan yaitu : terdiagnosis medismenderita T B paru BT A(+), telah melewati fase intensif program pengobatan minimal 2 bulan dengan OATKategori I, penderita usia produktif yaitu antara 1555 tahun, dapat membaca dan menulis. Data diambil dengan pengisian kuesioner oleh responden pada bulan Februari sampai April 2004.Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita T B paru dengan menggunakan uji analisis korelasi Product Moment P earson.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Hasil P enelitian P enderita T B paru yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah penderita usia produktif, usia rata-rata 2130 tahun sebanyak 26 orang (52%). Usia 3140 tahun dan usia 4150 tahun masing-masing 8 orang (16%) dan 7 orang (14%). Jumlah penderita laki-laki dan perempuan berimbang, laki-laki 27 orang (54%), perempuan 23 orang (46%). P endidikan responden sebanyak 23 orang (46%) t amat SLTA, 14 orang (28%) tamat SLTP , sedangkan responden dengan pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat maupun tamat SD masing-masing 3 orang (6%). P ekerjaan responden mahasiswa 14 orang (28%), tidak bekerja dan buruh masing-masing 8 orang (16%). Riwayat pengobat an sebanyak 33 orang (66%) responden menyatakan tidak pernah mencari pengobatan sebelumnya

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Hubungan Antara Karakteristik Responden dengan Kualitas Hidup Hasil analisis dengan korelasi Pearson ant ara karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan riwayat pengobatan) dengan kualitas hidup penderita T B paru. Didapatkan hasil analisis : variabel umur (r=0,468; p<0,05), jenis kelamin (r=0,077; p=0,593), pendidikan (r=0,420; p<0,05), pekerjaan (r=0,141; p=0,330), riwayat pengobatan (r=0,017; p=0,906). Dari analisis tersebut diket ahui bahwa variabel umur dan pendidikan mempunyai nilai koefisien korelasi sedang, masing-masing sebesar (r=0,468 dan r=0,420), dengan tingkat kemaknaan p<0,05. Hal ini menunjukkan ada hubungan bermakna antara umur dan pendidikan dengan kualitashidup. S edangkan variabel lainnya yaitu jeniskelamin, pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan kualitas hidup. Hasil analisis multipel regresi antara karakteristik responden dengan kualitas hidup penderita T B paru, didapat variabel umur (=0,519; p<0,05) dan pendidikan (=0,378; p<0,05) memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup. Variabel lainnya yaitu jeniskelamin (=0,260; p=0,753), pekerjaan (=0,155; p=0,260) dan riwayat pengobatan (= 6,25; p=0,417) t idak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup penderita T B paru.

tentu individu tersebut mempunyai kesadaran lebih baik tentang penyakitnya dibanding mereka yang berpendidikan lebih rendah. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Studi Kasus Hasil P engobatan T B paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 19961999 yang menyatakan bahwa rendahnya t ingkat pendidikan akan menyebabkan rendahnya pengetahuan dalam hal menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan yang tercermin dari perilaku sebagian besar penderita yang masih membuang dahak serta meludah sembarang tempat. P ekerjaan responden terbanyak sebagai mahasiswa sebesar 28%. Dari hasil wawancara didapat bahwa responden yang berstatus mahasiswa kebanyakan berasal dari luar daerah sehingga mereka harus indekos. Tinggal di lingkungan padat hunian (seperti kos) berpengaruh terhadap penularan TB paru. Hal ini sesuai dengan pernyat aan mengenaibeberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penularan T B paru adalah terkait perumahan yang terlalu padat atau kondisi kerja yang buruk. Kepadatan hunian menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik, mental dan sosial. Rumah atau ruangan yang terlalu padat penghuninya akan kekurangan O2 sehingga menyebabkan menurunnya daya tahan dan memudahkan terjadinya penularan penyakit. Riwayat pengobatan menunjukkan sebesar 66% penderita belum pernah mencari pengobatan sebelumnya kecuali di BP4 tersebut. Responden sebelumnya pernah menjalani pengobatan di luar BP4 pada akhirnya lebih memilih unt uk berobat di inst ansi t ersebut dengan pertimbangan biaya yang lebih murah dan terjangkau. Hal ini berkaitan erat dengan kepatuhan penderita dalam menuntaskan program pengobatannya yaitu selama 6 bulan. T ingkat keberhasilan pengobatan T B paru sangat dipengaruhi oleh kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatan yang diberikan. Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan kebijakan dengan pemberian pengobatan gratissehingga diharapkan dapat merupakan perangsang bagi penderita agar t erat ur berobat sesuai dengan jadwal sampai tercapainya kesembuhan. Tetapi dalam pelaksanaannya banyak penderit a yang t idak t ekun menyelesaikan pengobatannya. Hasil pengukuran dukungan sosial dalam penelitian ini diperoleh 44% dari keseluruhan responden mendapatkan dukungan sosial tingkat sedang. Hal ini berarti penderita T B paru yang menjadi responden dalam penelitian ini cukup mendapatkan dukungan sosial dari orang-orang di sekitar penderita. Dukungan sosial penting untuk penderita penyakit kronis, sebab dengan dukungan t ersebut akan mempengaruhi perilaku individu, seperti penurunan rasa

PEMBAHASAN
Frekuensi penderita T B paru yang menjalani program pengobatan rawat jalan di BP4 Y ogyakarta Unit Minggiran terbanyak adalah usia produktif, antara 2130 tahun, sebesar 52%. Insidens tertinggi T B paru biasanya mengenai usia dewasa muda, antara 1544 tahun. Sekitar 95% penderita TB paru berada di negara berkembang, dimana 75% diantaranya adalah usia produktif. Jumlah penderita laki-laki lebih tinggi dari perempuan, yaitu sebesar 54%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian tentang tampilan kelainan radiologik pada orang dewasa yang menyat akan bahwa laki- laki mempunyai kecenderunganlebih rentan terhadap faktor risiko T B paru. Hal tersebut dimungkinkan karena laki-laki lebih banyak melakukan aktifitas sehingga lebih sering terpajan oleh penyebab penyakit ini. P endidikan responden terbanyak adalah tamat SLT A sebesar 46%. Diasumsikan bahwa orang dengan pendidikan lebih t inggi akan sadar t ent ang perilaku sehat dan pengobatan terhadap penyakitnya. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pendidikan tinggi belum

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

cemas, rasa tidak berdaya dan putus asa sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan penderita. Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP 4Y ogyakarta terkait aktivitaspada satu minggu terakhir t ergolong baik. Sebanyak 34 orang (68%) penderit a menyatakan bahwa mereka dapat bekerja atau belajar dengan normal. Sebaliknya, penderita yang menyatakan tidak mampu bekerja atau belajar dalam keadaan apapun sebesar 4%. T B paru bersifat radang yang kronis. Gejala malaise sering ditemukan (anoreksia, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat malam) dan dapat menurunkan produktivitas kerja penderita. Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Y ogyakarta terkait kehidupan sehari-hari pada satu minggu terakhir adalah baik. Sebesar 80% responden menyatakan mereka dapat makan, mencuci, berpakaian sendiri, naik kendaraan umum tanpa bantuan orang lain. Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti mengurusdiri sendiri serta dapat berfungsi sosial merupakan salah satu komponen dalam kualitas hidup terkait kapasitas fungsional. Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Y ogyakarta terkait kesehatan pada satu minggu terakhir adalah baik. Sebanyak 25 orang (50%) responden merasa sehat pada sebagian besar waktu. P enderita yang merasa tidak sehat sebanyak 4 orang (8%) lebih disebabkan oleh karena nyeri dada, batuk menetap dan merasa lelah. Batuk disertai dahak, sakit pada dinding dada, terjadi penurunan berat badan, demam dan berkeringat, hilangnya nafsu makan, napas pendek serta sering flu. Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Y ogyakarta terkait dukungan dari keluarga dan t eman- t eman diperoleh sebanyak 43 orang (86%) menyatakan mempunyai hubungan baik dengan orang lain dan memperoleh dukungan kuat dari angggota keluarga atau dari teman. P enderita yang kurang mendapat dukungan dari keluarga maupun temannya lebih disebabkan karena penyakit yang dideritanya. Mereka telah menyadari bahwa T B paru mudah sekali menular, sehingga sebagian merasa lebih baik mengurangi kontak dengan orang lain. Ada juga dimana orang-orang sekitar penderita sengaja membatasi kontak dengan penderit a, karena takut tertular. Sebaliknya, dukungan yang kuat pada penderita terutama dari pihak keluarga akan sangat membantu proses penyembuhan penyakit T B paru. Misalnya terkait dengan kepatuhan minum obat yang berlangsung selama 6 bulan. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan, dengan adanya pengawasan dalam minum obat serta terkait pemberian semangat pada penderita.

Harapan hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 tergolong baik. Sebanyak 40 orang (80%) penderita mempunyai harapan positif serta mampu menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sekit ar. Sebagian besar responden yang mempunyai harapan positif tersebut telah yakin bahwa meski tergolong berat namun penyakit T B paru dapat disembuhkan, asalkan mematuhi regimen pengobatan yang telah ditetapkan. Keberadaan PMO yaitu seseorang yang dipercaya baik oleh penderita sendiri maupun oleh petugaskesehatan, yang akan ikut mengawasi pasien minum seluruh obat nya diharapkan akan sangat membant u penderita untuk berperilaku positif sehingga mendukung proses penyembuhannya. P ada penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup (r=0,675; p<0,01). Arah korelasi positif menunjukkan bahwa semakin besar dukungan sosial maka kualitas hidupnya akan semakin meningkat. Hasil ini sesuai dengan teori mengenai pengaruh dukungan sosial, salah satunya adalah pengaruh tak langsung bahwa dukungan sosial dapat berpengaruh pada stres yang dihadapi individu, dengan penerimaan sosial yang dapat mempengaruhi self esteem. Self esteem ini akan berpengaruh pada kesehatan jiwa seseorang. Hasil analisis multipel regresi antara umur dengan kualitas hidup didapatkan nilai sebesar (=0,519; p<0,05). Hal ini berarti umur memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup penderita T B paru. P ada umumnya kualitas hidup akan menurun seiring dengan meningkatnya umur. P ada penelitian ini diketahui jenis kelamin tidak memberikan kontribusi terhadap kualitashidup dengan nilai (=0,260; p=0,735). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian mengenai Kualitas Hidup P enderita Gagal Ginjal T erminal Y ang Menjalani Hemodialisis Kronikdi RSUP dr. Sardjito Y ogyakarta yang menyatakan bahwa jenis kelamin ternyata tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal (GGT) yang menjalani hemodialisis kronik. Disebutkan pula bahwa laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibandingkan perempuan. T ingkat pendidikan memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup (=0,378; p<0,05). Hal ini sesuai pernyataan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi sikapnya dalam merawat diri sendiri. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan bersifat semakin memacu ke arah kemajuan, sehingga diharapkan sikap tersebut juga berpengaruh terhadap perawatan kesehatannya. Hasil analisis multipel regresi antara pekerjaan dengan kualitas hidup penderita diperoleh (=0,155; p=0,260).

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

10

Dapat diartikan bahwa pekerjaan tidak memberikan kontribusi t erhadap kualit as hidup penderit a TB paru. Hal ini dimungkinkan karena jenis pekerjaan responden dalam penelitian ini hanya diambil secara deskriptif. Lebih banyak 50% responden adalah mahasiswa dan sisanya masih dibagi lagi dalam 6 kategori jenis pekerjaan yang lain, sehingga jenis pekerjaan dalam penelitian ini dapat dikatakan tidak mewakili profesi. Pada penelit ian ini diketahui bahwa t idak ada hubungan antara riwayat pengobatan dengan kualitashidup penderita TB paru, didapatkan nilai (=6,25, p=0,417). Riwayat pengobatan pada penelitian ini terkait dengan ketaatan berobat penderita, sehubungan dengan program pengobatan gratis dari pemerintah dengan harapan untuk menekan angka drop out pengobatan serendah mungkin.

Faisal, A., P enampilan Kelainan Radiologik P ada Koch P ulmonum O rang Dewasa . Majalah Radiologi Indonesia T ahun ke-2, No 2 : 3135. 1991. Gitawati, R., Sukasediati, N., Studi Kasus Hasil P engobatan T BP aru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996 1999 . Cermin Dunia Kedokteran. No. 137 : 1720. 2002. Hamdani, F ., Faktor-faktor Y ang Mempengaruhi Ketaatan Berobat P enderita KPT B di UP A RSUP Dr. Sardjito . KT I FK UGM. Y ogyakarta. 1994. Handayani, S., Respon Imunitas Seluler pada Infeksi T B P aru . Cermin Dunia Kedokteran. No. 137 : 33 36. 2002. Kuntjoro, Z.S., Dukungan Sosial pada Lansia, Online : 5 Oktober 2003: Available from : http://www.e-psikologi.com/ lain-lain/zainuddin.htm.2002 Mansjoer, A., Wardhani, W.I., Setiowulan, W., Kapita Selekta Kedokteran .E d. 3. Cet. 1. Jakarta : Media Aesculapius. 1999. Notoatmodjo, S., Ilmu Kesehatan Masyarakat . PT . Rineka Cipta : Jakarta. 1996. Sugiyono., Statistik untuk P enelitian . Bandung : CV. Alfabeta. 1999. Smeltzer, Suzanne C., Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth / editor. Ed 8. Vol 1. Jakarta : E GC. 2001. Siswanto, A., KualitasHidup P enderita G agal Ginjal T erminal Y ang Menjalani Hemodialisa Kronis di RSUP dr. Sardjito Y ogyakarta .T injauan Pustaka dan Laporan P enelitian. FK UGM Y ogyakarta. 1992. Subowo, D., Kualitas Hidup P enderita Dermatitis Kontak di RSUD Sragen, Jawa T engah .T esis P asca Sarjana UGM. Y ogyakarta. 2001. Priambodo, R., Hubungan Kepatuhan Berobat P enderita T uberkulosis P aru dengan Kejadian P enyakit P aru Obstruksi Menahun (PPOM) di RSUPDr. Sardjito T ahun 1991 1996 . KT I FK UGM Y ogyakarta. 1996. Prasetyo, I.E ., T injauan Kasus Kualitas Hidup P asien Gagal Ginjal T erminal dengan P eritoneal Dialisa di Rumah Sakit Sardjito Y ogyakarta . KTI FKL UGM. 2003. WHO . T uberculosis Control . New Delhi, WHORegional For South E ast Asia. 1993. Woerjandari, A., Manajemen Pengobat an Penderit a T uberkulosis P aru Dengan Sistem DO T S Di Puskesmas dan BP4 Kota Y ogyakarta .T esis Program P asca Sarjana UGM. Y ogyakarta. 2001.

KESIMPULAN
Ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita T B paru. Semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidup. Variabel umur dan pendidikan memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup. Variabel lainnya, yaitu jeniskelamin, pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup penderita T B paru.

DAFTAR PUSTAKA
Bahar, A., Ilmu P enyakit Dalam Jilid II . Balai P enerbit FK UI. Jakarta : Hal : 715719. 1990. Brehm, S., Kassin, S., Social Psycology . New Jerset : Houghton Mifflin. Princetor. 1990. BP4 Yogyakarta., Laporan T riwulan T BP aru . BP4 Unit Minggiran. Y ogyakarta. 2003. Cohen, S; Syme, S.L., Social Support and Health . London : Academic Press Inc. 1985. Crofton, J., Horne, N., Miller, F ., Clinical T uberculosis . 2nd E d. London : T he Macmillan Press Ltd. 1999. DepkesRI., P edoman Nasional P enanggulangan T B . Cetakan ke-5. Jakarta. 2000. DepkesRI., P edoman T uberkulosis dan P enanggulangannya . Jakarta. 1994 Depkes RI., Pedoman Penyajit Tuberkulosis dan P enanggulangannya . Ditjen P2M & PLP . Depkes RI, Jakarta. 1999.

11

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

RAPID TB TEST
Apri Lyanda
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS P ersahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis (TB) terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina, perkiraan jumlah pasien TB sekitar 10% dari seluruh pasien T B di dunia. Survei Kesehatan Rumah T angga (SKRT ) tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit T B merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan penyebab pertama dari golongan penyakit infeksi. Hasil survei prevalens T B tahun 2004 menunjukkan angka prevalens T B BTAposit if secara nasional 110/100.000 penduduk. Berdasarkan data di atasT B masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia.1 DiagnosisT B paru yang digunakansaat ini secara rutin dilaboratorium termasuk rumah sakit dan puskesmasadalah diagnosis bakteriologis dengan teknik mikroskopis bakteri tahan asam (BTA). Kasus-kasus tertentu dilakukan kultur untuk konfirmasi diagnosis, teknik kultur memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Kendalanya selain memerlukan waktu yang lama, lebih dari 1minggu untuk memperoleh hasil juga diperlukan fasilitas laboratorium khusus untuk kultur M.tuberculosis(M. tb) yang terjamin keamanannya. T eknik mikroskopis BT A dapat dilakukan dalam waktu relatif cepat tetapi sensitivitas dan spesifitasteknik ini lebih rendah dibanding dengan teknik kultur.2 Diagnosis T B paru ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisis, gambaran radiologis, pemeriksaan laboratorium dan uji tuberkulin.1 P emeriksaan mikrobiologis yaitu identifikasi mikroorganisme dalam sekret atau jaringan pasien merupakan hal utama dalam mendiagnosis TB, meskipun pemeriksaan tersebut sulit dan mempunyai keterbatasan. Hasil pemeriksaan BT A(+) di bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum sedangkan untuk mendapat kan kuman positif pada biakan yang merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50100 kuman/ml sputum.1,2 Pulasan BTA sput um mempunyai sensitifitas yang rendah, terutama TB nonkavitas yang memberikan kepositifan 10% pada pasien dengan gambaran klinis TB parudan 40% penyandang TB paru dewasa

mempunyai hasil negatif pada pulasan sputumnya.3Hasil kultur memerlukan waktu tidak kurang dan 68 minggu dengan angka sensitivitas 18 30%. Foto polos toraks memberi hasil dengan sensitifitas tak lebih dan 30% pada negara berkembang.2,3 Bila terdapat gambaran infiltrat di lobus atas dan kavit as pada fot o polos t oraks, maka kemungkinan TB paru 8085%.4 Oleh karena terdapat beberapa kekurangan dan membutuhkan waktu yang lama dalam menentukan diagnosispasti T Bparu, maka dibutuhkan alat diagnostik yang cepat dan mempunyai sensitifitas dan spesifitasyang tinggi untuk memperbaiki metoda diagnostik yang konvensional.3,5

SEJARAH PERKEMBANGAN DIAGNOSIS M.TB


Penyakit TB sudah ada sejak jaman purbakala. P enemuan arkeologis di Mesir menemukan sisa tulang belakang manusia dengan tanda spondylitistuberculosa dari tahun 3700 SM dan mumi tahun 1000 SM dengan ciri penyakit yang sama. Hippocrates berpendapat bahwa T B adalah penyakit keturunan. G alenusdokter di zaman Romawi berpendirian TB adalah penyakit menular. Selama 15 abad kedua paham ini dianut berbagai ahli kedokteran. Villamin (1827-1892) pertama kali membuktikan secara ilmiah T B adalah penyakit menular t et api penyebabnya belum diketahui. Robert Koch pada t anggal 24 Maret 1882 menemukan basil T B dan semua pihak menerima T B adalah penyakit menular. Laennec t ahun 1819 menemukan stetoskop menjadikan pemeriksaan jasmani hal penting dalam diagnosis klinis TB, hampir 70 tahun sebelum penemuan Robert Koch. Wilhelhm Rontgen tahun 1895 menemukan sinar-X sehingga makin melengkapi diagnosis T B. Von Pirquet tahun 1907 menunjukkan sarana diagnosis lain T B dengan uji tuberkulin. P enemuan Von Pirquet ini disempurnakan oleh Mantoux dan tekniknya distandarkan kemudian disebarluaskan, uji ini dikenal dengan nama Mantoux. P ermulaan abad ke-20 semua sarana diagnosis TB sudah tersedia lengkap dan di pakai terus sehingga sekarang. P enemuan sarana diagnosis baru untuk T B lebih ditekankan untuk diagnosis yang lebih cepat dan dapat dilakukan sendiri oleh dokter tanpa perlu tenaga ahli lain.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

12

DIAGNOSIS CEPAT MYCOBATERIUM TUBERCULOSIS


DiagnosiscepatT B (rapid diagnosisT B)adalah diagnosis cepat M.tb kurang dari 1 jam. Diagnosis laboratoriumT B secara tradisional didasarkan pada apusan mikroskopis, kultur dan ident ifikasi fenot ipe. Meskipunmetoda t ercepat , termudah dan termurah yang tersedia adalah pewarnaan tahan asam namun sensitifitasnya yang rendah (4580% kultur positif) telah membatasi penggunaannya terutama di daerah dengan insidensTB rendah dan pada bent uk ekst rapulmoner TB sert a pada pasien t erinf eksi HIV.5,6P emeriksaan apus memiliki spesifisitasyang baiktetapi nilai prediktif positif yang rendah (580%) didaerah dengan insidens tinggi M. non-T B.4,6,7T eknik kultur masih dianggap sebagai metodarujukan karena identifikasi dan sensitifitas lebih baik dibanding pemeriksaan BT A. Pert umbuhan lambat bakt eri M.t b merupakan hambatan besar untuk diagnosiscepat penyakit. Dua dekade terakhir telah terdapat perkembanganmetoda kultur melalui penggunaan media baru dan sistem otomatis seperti Bactec 460T B buatan pabrik Becton Dickinson Diagnostics, Sparks Amerika, MB/BacT ALERTdibuat oleh bioMrieux, Marcyl E toile, P erancis, MGIT 960 diproduksi oleh Becton Dickinson Diagnosticsdan V ersaT RE Kproduksi T rek Diagnostic System, Westlake, Amerika.Semua pemeriksaan tersebut masih membut uhkan waktu beberapa minggu unt uk mendapatkan konfirmasi laboratorium final dan bahkan waktu yang lebih lama lagi untuk identifikasi fenotipe kuman.4,7 Berbagai metoda baru telah dikembangkan saat iniuntuk diagnosis cepat T B aktif dengan teknik terbaik sepertigenotipe atau molekuler.7,8 Beberapa metoda diagnosis cepat tersebut akan dibahas pada tinjauan pustaka ini. Contoh uji kultur dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

Meskipun demikian, karena T BSA tidak spesifik untuk M.tb dan deteksinya memerlukan diagnosisbanding antara spesies Mycobacterium,Nocardia dan basil gram(+) lainnya yang juga memiliki asam dan jenislipid yang sama. Diantara komponenkomponen ini, asam heksakosanoat dalam kombinasi dengan T BSA tampaknya cukup spesifik untuk keberadaan M. tb.11 Meskipun metoda kromatografi dapat memiliki manfaat untuk identifikasi mikobakterium dari kultur positif, berdasarkan antigen MPT 64, namun metoda ini tidak mewakili altenatif bermakna untuk diagnosis cepat TB.12

Metoda Fagotipik
P ada dekade terakhir, sejumlah bakteriofag dengan afinitas spesifik terhadap mikobakterium telah bermunculan untuk diagnosis cepat T B. Sejak 1947, lebih dari 250 tipe bakteriofag yang berbeda diisolasi dan diteliti sebagai alat penting dalam manipulasi genetik mikobakterium. Manfaat klinis hanya ditunjukkan oleh 2 pendekatan berdasarkan bakteriofag yang dikembangkan,bernama Luciferase Reporter Phage Assay (LRP)dan Phage Amplified Assay (PhaB). P erbedaan terpent ing antara ke-2 metoda ini adalah mengenai deteksi sel mikobakt erium yang t erinfeksi bakteriofag. Luciferase Reporter Phage Assay mendasarkan pada cahaya emisi yang dikode oleh gen lusiferase (fflux) yang dimasukkan kedalam genom bakteriofag. Sedangkan PhaB didasarkan pada kompleks sel M. tb yang rentan setelah amplifikasi bakteriofag Mycobacteriofag D29 pada M. smegmatis.13-15 Luciferase Reporter Phage Assay telah t erbukti bermanfaat untuk membedakan M. t bdari kultur dan terutama dalam uji sensitifitas terhadap isoniazid dan rifampisin.13Phage Amplified Assay telah dikomersialkan dengan nama dagang FASTPlaque-TB, digunakanuntuk mendiagnosisT B pada sediaaan saluran pernapasan juga telah diteliti untuk uji sensitifitasterhadap antimikrobaM. tb. T eknik ini secara umum cepat dan sederhana, membutuhkan sedikit latihan dan tidak mahal. Metoda ini menunjukkan spesifisitas yang baik tapi kurang sensitifit. Karena hal itu, aplikasi rutin metoda ini sedikit terhambat dan masih dalam observasi mengenai manfaat dalam diagnosisT B atau deteksi resistensi obat antituberkulosis (OAT).14-16

Gambar 1. Uji kultur M. tb.(A) Hasil negatif, (B) Hasil positip. Dikutip dari (2)

Metoda kromatografi
Identifikasi langsung M. tb dengan menggunakan deteksi asam tuberkulostearat (T BSA), baik sendiri maupun dalam kombinasi berbagai komponen struktur dinding sel mycobacterium.8,9Berbagai metoda yang cepat dan sensitif telah dikembangkan, salah satu yang paling menarik adalah fast gas chromatography mass spectrometry (GC-MS).10,11

Metoda Genotipe
Berbagai teknik molekuler aplikasinya saat ini tersedia untuk diagnosis mikrobiologi infeksi micobakt erium.16 P enanda DNA merupakan inovasi pertama dalam diagnosis molekuler T B, yang mendeteksi langsung dari sampel klinis M. tbdan mutasi spesifik yang berhubungan dengan resistensi yang membutuhkan dasar amplifikasi sekuens spesifik asam

13

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

amino nukleat (NAA). Teknik ini memiliki beberapa keunt ungan sepert i wakt u kembali yang cepat dan kemungkinan untuk automatisasi. Beberapa kerugian mucul saat pengaplikasian metoda ini secara langsung pada sediaan klinis, yaitu masalah dengan inhibitor, sensitifitaspada sampel apus negatif dan ekstraksi DNA.17,18 Manfaat klinis metoda ini telah dibahas secara luas dan bukti kuat tetapi implementasinya belum tercapai. Hal ini diakibatkan variasi teknik yang tersedia sangat luas dan kurangnya standarisasi antara penelitian satu dengan lainnya menggunakan kultur sebagai baku emasyang secara teoritis memiliki sensitifitas yang rendah dibandingkan uji amplifikasi NAA. Selain itu, kurangnya penilaian aspek klinis pada kebanyakan penelitian telah mengakibatkan beberapa kebingungan mengenai bagaimana, pada siapa dan kapan menggunakan teknologi ini. Meskipun demikian, penemuan terbaru tentang penggunaan uji NAA untuk mendiagnosa tuberkulosis menyatakan bahwa: a) metoda ini dapat secara cepat mendeteksi keberadaan M.tb pada 5085% sediaaan BT A apus negatif dan kultur positif b) nilai prediktif positif pada spesimen BT A apus positif lebih tinggi (>95%) c) secara umum, met oda molekuler ini dapat mendiagnosisTB beberapa minggu lebih awal dibandingkan kultur pada 8090% pasien dengan kecurigaan T B yang tinggi.19,20 Uji NAA memiliki variasi luas dalam metoda non komersial dengan pemeriksaan ekstraksi asam nukleat dan amplifikasi polymerase chain reaction(PCR) dari berbagai target genetik seperti IS6110, rpoB, hsp65, 16S rDNA atau MBP64. Meskipun uji amplifikasi non- komersial telah berkembang pada beberapa t ahun t erakhir yang direkomendasikan adalah menggunakan uji komersial yang memiliki level standarisasi dan reprodusibilitas yang lebih baik.20Semua met oda NAA membut uhkan analisis postamplifikasi yang lebih jauh dengan observasi elektroforesis fragmen teramplifikasi atau hibridisasi, rest riksi at au sekuensing.18,20Unt uk diagnosis TBmetoda yang paling berkembang dan paling dikomersialkan didasarkan pada uji hibridisasi(T abel 1). Amplifikasi DNA konvensional denganP olymerase Chain Reaction (PCR) Uji amplifikasiM. tbbuatan Roche Diagnostic System Inc., Basel Swiss adalah salah satu alat uji diagnosis cepat tertua berdasarkan PCRstandar. Uji ini adalah uji DNA yang mengamplifikasi segmen spesifik gen RNA 16Sdilanjutkan dengan hibridisasi dan deteksi kolorimetrik. Metoda ini dapat

diautomatisasi dan disetujui pada tahun 1996 oleh USFood and Drug Administration (FDA) untuk digunakan pada sediaanapus saluran pernapasan yang memiliki BT A(+).21 Berbagai studi telah melaporkan sensitifitasyang tinggi pada spesimenapussaluran pernapasan positif (87100%), lebih rendah pada kasus apus negatif (4073%) dan sampel ekstrapulmoner (2798%). Spesifisitas metoda ini berkisar antara 91100%.20,21
T abel 1. Beberapa uji metoda hibridisasi
Uji
Metoda amplikasi
PCR TMA LCR SDA Neste-P CR NA-SBA Real time PCR Real time PCR PCR

Target

Deteksi

Vol Waktu Automatis IAC sampel paruh (ul) (jam)


10 0 45 0 50 0 50 0 50 0 50 0 10- 100 1.000 50 6- 7 2- 5 6 3,5- 4 12 5,5 2- 3 2 2,5 Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Ya Tidak Ya Ya Ya Ya

Cobas amplicor AMTD LCX BD Probe Tec Innolipa G enotype MD RT PCR G eneExpert GeneQuick

16sRNA 16sRNA PAB IS6110- 16sRNA rpoBgene 23sRNA 16sRNA rpoBgene IS6110

Kolorimet rik Semiluscent Fluorimetrik Flourimetrik Kalouimetrik Kalorimet rik Fluorimetrik Fluorimetrik Kalorimet rik

Dikutip dari (20)

Transkripsi yang dimediasi Amplifikasi (TMA) AmplifikasiM. tbuji langung buatan pabrik G en-P robe Inc., San Diego Amerika merupakan alat T MA menggunakan met oda isot hermal cepat dengan suhu 420Cdengan amplifikasi rRNA 16S. Metoda ini bekerja dengan dasar transkriptase terbalik digunakan untuk menyalin rRNA menjadi hibrid cDNA-RNAsertametodachemiluminiscent untuk mendeteksi kompleks M. T Bdengan penanda DNA spesifik. Amplifikasi M.T B uji langung merupakan uji pertama yang disetujui FDA pada tahun 1995, untuk sediaansaluran pernapasan apus positif dan tahun 2000 dengan rekomendasi FDA diperluas hingga sampel apusnegatif.21 S aat ini terdapat bukti bahwa AMTD menunjukkan spesifisitas tinggi (95 100%) dan sensitifitas tinggi (91100%) untuk sampel apus saluran napas positif, meskipun sensitifitas ini lebih rendah untuk sampel apus negatif (6593%) dan ekstrapulmoner (63100%). Kerugian yang paling penting adalah kurangnya kontrol amplifikasi int ernal (AIC) dan tidak t erdapat kemungkinan otomatisasi.20,21 Reaksi Rantai Ligase / Ligase chain reaction(LCR) Ligase chain reaction merupakan metoda amplifikasi DNA semiotomatis untuk deteksi langsung M.T B dari sampel klinis gen kromosom yang mengkode protein antigen b M. tb. Meskipun spesifisitas (90100%) dan sensitifitas (65 90%) yang baik dilaporkan pada beberapa penelitian sampel pernapasan, produk ini ditarik dari pasaran E ropa pada tahun 20 2002. Ligase chain reaction tidak dipasarkan lagi karena ongkos produksi pembuatan yang meningkat menyebabkan

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

14

harga alat uji ini tidak kompetitif nilai jualnya. Alat uji ini di produksi oleh Abbot laboratorium, Chicago Amerika.

Strand Displacement Amplification (SDA)


Diperkenalkan pada tahun1998 sebagai suatu teknik semiotomatisdalam deteksi M.tb pada sampel saluran napas. Metoda ini merupakan prosesamplifikasi enzimatik isotermal menggunakan suhu 52,50C untuk menghasilkan beberapa salinan urutan target IS6110 dan gen rRNA 16Syang produk amplifikasinya terdeteksi dengan metoda fluorosen. E valuasi pada sampel saluran napas menunjukkan sensitifitas 90 100% pada sampel apus positif dan 3085% pada sampel apus negatif dengan spesifisitas tinggi (90100%).20 Alat uji ini diproduksi oleh Becton Dickinson, Amerika. Uji Hibridisasi Fase P adat / solid-phase hybridization assay Saat ini ada 2 perusahaan yang memproduksi alat uji hibridasi fase padat yaitu Innogenetics, G ent Belgia dan Hain Lifescience, Nehren Jerman. Alat ini dapat mendeteksi dan mengidentifikasi M.tb dari sediaan dahak dan dapat untuk mendeteksi resistensi rifampin dan isoniazid. Alat ini selain dapat mendeteksi kuman M. tbdapat juga mendeteksi Mycobacterium Others T han T uberculosis (MOT T ) antara lain M avium, M intracellulare, M kansasii danM malmoense. 21

Gambar 2. Al at di agnosi s cepat genexpert

Dikutip dari (21

Metoda baru lainnya Loop mediated isothermal amplification (LAMP) buatan E iken Chemical Co. Jepang dan FIND Diagnostics, G enewa, S wissadalah teknik amplifikasi isotermal yang relatif baru.21 Uji LAMP dapat mensintesis sejumlah besar target DNA (gryrBatau IS6110) dalam tabung tunggal dan produk amplifikasi dapat dideteksi dengan metoda turbiditas atau kolorimet rik dan fluorimet rik. Meskipun memiliki keterbatasan uji dalam konteks T B, data awal memberikan hasil yang menjanjikan dan uji ini memiliki keuntungan cepat hanya dalam waktu 2 jam dan relatif tidak mahal yang dapat bermanfaat pada kondisi terbatasnya sumber daya.20,21 Uji NAA lainnya untuk diagnosis cepat T B pada sediaan saluran napas adalah GenoQuick MT B test buatan Hain Lifescience yang didasarkan pada PCR dan hibridisasi lanjutan.21 Biaya P emeriksaan Uji Cepat Diagnosis M. TB P emeriksaan uji cepat diagnosis M.tb dibandingkan dengan pemeriksaan yang rutin dilakukan sekarang terlihat lebih mahal. P emeriksaan dengan uji cepat diagnosis M.tb jika dihitung lebih mendalam akan terlihat bahwa mempunyai banyak keunt ungan dan hasil akhirnya lebih murah. Penelit ian yang dilakukan WHO di beberapa negara berkembang mempunyai kesimpulan dapat menghemat lebih banyak biaya dan waktu dibanding cara lama.20,21 Sosialisasi pembiayaan yang lebih murah ini terusdilakukan oleh WHO unt uk memcepat diagnosis M.t b maupun MDR- TB. P embelian awal alat uji merupakan biaya termahal yang harus dikeluarkan, contoh untuk pembelian alat GenE xpert dengan metoda PCR-RT dibutuhkan dana sekitar 3 milyar rupiah.21 P erbandingan biaya pemeriksaan dengan beberapa metoda dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Real Time P olymeraseChain Reaction(RT- PCR)


Teknik ini didasarkan pada amplifikasi berurutan berbagai target DNA dan deteksi fluorimetrik. Uji ini memiliki sejumlah manfaat penting terutama kecepatannya dan masalah kontaminasi silang yang lebih sedikit hal ini dikarenakan prosessetelah ekstraksi DNA terjadi pada tabung tunggal. Berbagai alat yang berdasarkan teknik RT-PCR sudah banyak memproduksi seperti CobasT aqMan MT B test buatan Roche Diagnostic System dengan sensitifitas dan spesifisitasumum yang tinggi, terutama pada sampel saluran napas. Diant ara berbagai alat yang t elah diprodusi menggunakan t eknik ini, GeneXpert buatan Cepheid, Sunnyvale Amerika dan FINDDiagnostics, Jenewa Swissbaru saja diperkenalkan sebagai uji diagnostik RT-PCR semi kuantitatif yang mengintegrasikan dan mengotomatisasi pengolahan sediaan dengan ekstraksi DNA dalam catridge sekali pakai. Waktu hingga didapatkannya hasil kurang dari 2 jam dan hanya pelatihan minimal yang dibutuhkan untuk menggunakan uji ini. P enelitian pendahuluan menyatakan sensitifitas dan spesifisitas yang baik pada sampel saluran pernapasan.19,20 Meskipun dibutuhkan penelitian lebih jauh, WHO telah mendukung penggunaan sistem ini sebagai uji diagnostik awal pada sediaan saluran pernapasan pasien dengan kecurigaan klinis tinggi memiliki T B atau seseorang dengan multidrug resistant (MDR) TB(Gambar 2).21

15

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

T abel 2. Biaya Pemeriksaan diagnosis M.T B Metoda Uji Biaya (US$) 0,77 7,00 2,55 0,14 0,29 1,23-2,43 0,90 0,10 Uji resisten 2 obat 1,72 35,02 12,75 1,60 1,60 5,62 Uji resisten 4 obat 1,80 63,03 23,00 1,57 2,92 6,87

MODS MGIT BACTEC LJ Microagar MABA PCR- RT BTA sputum


Dikutip dari (18

Kesimpulan
1. Diagnosis cepat M.tb adalah uji diagnosis untuk kuman M.tb kurang dari 1 jam 2. Diagnosis cepat M.tb sudah berkembang pesat dengan bermacam metoda 3. Diagnosis cepat M.tb dapat menghemat waktu, biaya dan tidak perlu tenaga ahli karena dapat dikerjakan secara automatisasi 4. Diagnosis cepat M.tb yang terbaik dan direkomendasikan WHO adalah PCR-RT

Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. P edoman nasional: penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2. Jakarta: DepkesRI ;2008.hal.8-14. 2. Y oung DB, P erkins MD, Duncan K, CEBarry. Confronting the scientific obstacles to global control of tuberculosis. J Clin Invest. 2008;118:1255-65. 3. Behr MA, Warren SA, Salamon H, Hopewell PC, P once de Len A, Daley CL, et al. T ransmission of Mycobacterium tuberculosis from patients smear-negative for acid-fast bacilli. Lancet. 1999;353:444-9. 4. American T horacic Society; Centers for Disease Control and P revention; Council of the Infectious Disease Society of America. Diagnostic standards and classification of tuberculosis in adults and children. Am J RespirCrit Care Med. 2000;161:1376-95. 5. Pfyffer GE . Mycobacterium: general characteristics, laboratory detection, and staining procedures. In: Murray P R, Baron E J, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller MA, editors.

Manual of Clinical Microbiology. 9th ed. Washington DC: ASM Press; 2007. p. 543-72. 6. Vincent V, Gutirrez MC. Mycobacterium: Laboratory characteristics of slowly growing mycobacteria. In: Murray PR, Baron E J, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller MA, editors. Manual of Clinical Microbiology. 9th ed. Washington DC: American Society for Microbiology; 2007. p. 573-88. 7. Salf inger M, Pf yf f er GE. The new diagnost ic mycobacteriology laboratory. Eur J ClinMicrobiol Infect Dis. 1994;13:961-79. 8. Jost KC Jr, Dunbar DF , Barth SS, Headley VL, E lliott LB. Identification of Mycobacterium tuberculosis and M. aviumcomplex directly from smear-positive sputum specimensand BACT E C12B cultures by high-performance liquid chromatography with fluorescence detection and comput er- driven pat t ern recognit ion models. J ClinMicrobiol. 1995;33:1270-7. 9. Cha D, Cheng D, Liu M, Zeng Z, Hu X, Guan W. Analysis of fatty acids in sputum from patients with pulmonary t uberculosis using gas chromat ography- mass spectrometry preceded by solid-phase microextraction and postderivatization on the fiber. J Chromatogr A. 2009;1216:1450-7. 10. Kaal E , Kolk AH, Kuijper S, Janssen HG. A fast method for the identification of Mycobacterium tuberculosis in sputum and cult ures based on t hermally assisted hydrolysis and met hylat ion f ollowed by gas chromatography-mass spectrometry. J Chromatogr A. 2009;1216:6319-25. 11. P ark MY , Kim YJ, Hwang SH, Kim HH, Lee E Y , Jeong SH, et al. E valuation of an immunochromatographic assay kit for rapid identification of Mycobacterium tuberculosis complex in clinical isolates. JClinMicrobiol. 2009;47:481-4. 12. Jacobs WRJ, Barletta RG, Udani R, Chan J, Kalkut G, Sosne G, et al. Rapid assessment of drug susceptibilities of Mycobacterium tuberculosis by means of luciferase reporter phages. Science. 1993;260:819-22. 13.Alcaide F , Gal N, Domnguez J, Berlanga P , Blanco S, Orus P , et al. Usefulness of a new mycobacteriophagebased technique for rapid diagnosis of pulmonary tuberculosis. J ClinMicrobiol. 2003;41:2867-71. 14.Kalantri S, P ai M, P ascopella L, Riley L, Reingold A. Bact eriophage- based t est s for t he det ect ion of Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a systematic review and meta- analysis. BMC Infect Dis. 2005;5:59.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

16

15.Gal N, Domnguez J, Blanco S, Prat C, Alcaide F , Coll P , et al. Use of a mycobacteriophage-based assay for rapid assessment of suscept ibilit ies of Mycobact erium tuberculosis isolates to isoniazid and influence of resistance level on assay performance. J ClinMicrobiol. 2006;44:201-5. 16.McNerney R, Kambashi BS, Kinkese J, Tembwe R, Godfrey-Faussett P . Development of a bacteriophage phage replication assay for diagnosis of pulmonary tuberculosis. J ClinMicrobiol. 2004;42:2115-20. 17.Alcaide F . New methodsfor mycobacteria identification. E nfermInfeccMicrobiolClin. 2006;24Suppl 1:53-7. 18.Domnguez J, Blanco S, Lacota A, Garca-Sierra N, Prat C, Ausina V. Ut ilit y of molecular biology in t he microbiological diagnosis of mycobacterial infections. E nfermInfectMicrobiolClin. 2008;26Suppl 9:33-41. 19.P alomino JC. Nonconventional and new methods in the diagnosis of tuberculosis: feasibility and applicability in the field. E urRespir. 2005;26:339-50. 20.Dinnes J, Deeks J, Kunst H, Gibson A, Cummins E , Waugh N, et al. A systematic review of rapid diagnostic tests for the detection of tuberculosisinfection. Health T echnol Assess. 2007;11:1-96. 21. P olomino JC. Molecular detection, identification and drug resistance detection in Mycobacterium tuberculosis. J Med Microbiol. 2009;56:103-11.

17

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

MEROKOK DAN TUBERK ULOSIS


Agung Ari Wijaya
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS P ersahabatan, Jakarta PENDAHULUAN
Merokok dan t uberkulosis(TB) merupakan dua masalah besar kesehatan di dunia, walaupun T B lebih banyak ditemukan di negara berkembang. Setelah HIVdan AIDS meluas T B menjadi penyebab kematian yang terkemuka di seluruh dunia dan bertanggung jawab terhadap lebih dari satujuta kematian setiap tahunnya. P enggunaan tembakau khususnya merokok, secara luastelah diakui sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama dan menjadi penyebab kematian yang penting di dunia, yaitu sekitar 1,7 juta pada tahun 1985, 3 juta pada tahun 1990 dan telah diproyeksikan meningkat menjadi 8,4 juta pada 2020.1 Jumlah perokok di dunia meningkat secara bermakna, saat ini diperkirakan sebanyak 1,3 milyar perokok dan meningkat menjadi 1,7 milyar perokok pada t ahun 2025. Sebanyak 6585% tembakau telah dikonsumsi diseluruh dunia dalam bentuk rokok yang menyebabkan kematian setiap detik.2 Data World Health Organization (WHO) menunjukan Indonesia sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar ke-3 setelah Cina dan India dan diikuti Rusia dan Amerika. P adahal dari jumlah penduduk, Indonesia berada di posisi ke-4 setelah Cina, India dan Amerika. Berbeda dengan jumlah perokok Amerika yang cenderung menurun, jumlah perokok Indonesia justru bertambah dalam 9 tahun t erakhir. P ertumbuhan rokok Indonesia pada periode 20002008 adalah 0,9% pertahun. Banyak penyakit yang dihubungkan dengan merokok yaitu penyakit keganasan, kardiovaskuler, diabetes, penyakit paru obstrusi kronik (PPOK), artritis, impotensi, infertilitas, Alzheimer, T B dan lain-lain.2,3 P aru merupakan organ yang menderita kerusakan paling parah akibat merokok. Hubungan antara merokok dan T B pertama kali dilaporkan pada awal abad ke-20. Walaupun mekanisme yang pasti belum sepenuhnya diketahui namun telah banyak penelitian mengenai hubungan antara merokok danTB.4 kemudian diikuti oleh masyarakat kelas bawah hingga menggantikan mengunyah sirih yang menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Kata rokok berasal dari bahasa belanda roken. Merokok adalah t indakan seseorang menghisap rokok (tembakau). Bahaya merokok t elah dibicarakan dan diakui secara luas. P enelitian yang dilakukan para ahli memberikan bukti terdapatnya bahaya merokok dan terjadinya penurunan fungsi paru pada perokok dan orang disekit arnya. World Healt h Organizat ion memperkirakan bahwa pada tahun 2020 penyakit akibat merokok akan menyebabkan kematian sekitar 8,4 juta jiwa di dunia dan setengah dari jumlah tersebut berasal dari benua Asia. Diperkirakan bahwa pada tahun 2030 lebih dari 80% penyakit yang diakibatkan oleh rokok akan terjadi pada negara dengan pendapatan rendah dan sedang.5-7 Asap rokok mengandung lebih dari 4.500 bahan kimia yang memiliki berbagai efek racun, mut agenik dan karsinogenik. Isi dan konsentrasi bahan kimia dapat bervariasi dalam merek rokok yang berbeda. Asap rokok menghasilkan berbagai komponen baik di kompartemen seluler dan ekstraseluler, mulai dari partikel yang larut dalam air dan gas. Zat-zat yang mempunyai efek merugikan adalah nikotin, tar, amonia, karbonmonoksida, karbondioksida, f ormaldehid, akrolein, aset on, benzopyrenes, hydroxyquinone, nitrogen oksidadan kadmium. Banyak zat yang bersifat karsinogenik dan beracun terhadap sel namun tar dan nikot in telah terbukti imunosupresif dengan mempengaruhi responskekebalan tubuh bawaan dari pejamu dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Bahan farmakologik dalam tembakau yang menyebabkan adiksi adalah nikotin yang merupakan partikel padat dan sangat mudah diserap oleh selaput lendir hidung, mulut dan jaringan paru. Kriteria utama untuk menentukan ketergantungan obat adalah pengguna obat yang selalu terdorong untuk menggunakan, terdapat efek psikoakt if dan t erbiasa menggunakan obat tersebut. Semakin tinggi kadar tar dan nikotin efek terhadap sistem imun juga bertambah besar.8 T embakau telah disebut sebagai penyebab kematian secara global karena membunuh lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Merokok merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular serta

MEROKOK
T embakau diperkenalkan di Indonesia oleh bangsa Belanda sekitar 2 abad yang lalu dan penggunaannya pertama kali oleh masyarakat Indonesia ketika elit lokal Indonesia meniru kebiasaan merokok bangsa Belanda yang

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

18

5 penyebab utama lain dari kematian di seluruh dunia yaitu serebrovaskular, infeksi saluran napas bawah, PPOK, T B, dan kanker saluran napas.9 Merokok tetap menjadi penyebab utama kematian yang dapat dicegah di dunia. Berhenti merokok dikaitkan dengan manfaat penting pada tingkat individu dan sosial. Mengingat prevalensmerokok upaya besar telah diarahkan untuk mengembangkan intervensi untuk membantu perokok berhenti merokok. Namun, intervensi untuk berhenti merokok memiliki keberhasilan yang beragam. Berhenti merokok diperlukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas, namun banyak perokok mengalami kesulitan menghentikan kebiasaannya. Usaha dengan intervensi secara psikososial dan penggunaan obat telah digunakan untuk tujuan tersebut.10 Dilaporkan bahwa penggunaan tembakau dengan cara merokok lebih berbahaya dibandingkan dengan cara lain dan perokok akt if lebih menimbulkan beragam penyakit dibandingkan perokok pasif. Namun demikian perokok pasif secara substansial juga berkontribusi menimbulkan bermacam penyakit. S ekitar 1,1 miliar orang merokok di seluruh dunia, lebih dari 80% berada di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Cina memiliki produksi dan konsumsi tembakau terbesar di dunia. Di berbagai negara sekitar 49% laki-laki dan 8% perempuan diatasusia 15 tahun merokok, berbeda dengan 37% pria dan 21% perempuan yang berasal dari negara berpenghasilan tinggi. Lebih dari 60% perokok tinggal di hanya10 negara, yaitu Cina, India, Indonesia, Rusia, Amerika S erikat, Jepang, Brasil, Banglades, Jerman dan T urki. Konsumsi per orang dewasa perhari (jumlah rokok yang dihisap perhari dibagi dengan populasi perokok dan bukan perokok) telah menurun lebih dari 50% dalam 2-3 dekade terakhir di Amerika, Kanada, P erancis dan negara berpenghasilan tinggi lain. S ebaliknya, prevalensmerokok pada laki-laki meningkat tajam di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah seperti Cinadan Indonesia. P eningkatan yang nyata terjadi pada laki-laki usia muda. P erbedaan antara perempuan dan laki-laki berhubungan dengan perbedaan penggunaan tembakau, dalam hal prevalenspenggunaan, durasi penggunaan yang lebih singkat atau frekuensi penggunaan yang lebih rendah pada perempuan. P enelitian di Brasil mendapatkan hasil terjadi penurunan yang nyata perokok pada masyarakat dengan penghasilan rendah.1113 Selain HIV/AIDS, merokok tembakau merupakan penyebab kematian utama yang meningkat dengan cepat. Diperkirakan bahwa merokok akan menyebabkan sekitar 10 juta kematian pada orang dewasa pada tahun 2030 dan sebagian besar peningkatan kematian yang berhubungan dengan tembakau akan berlangsung di Asia, Afrika dan Amerika S elatan. S tudi yang dilakukan di Oslo menunjukkan bahwa perokok ringan dengan 14 batang perhari ternyatatetap meningkatkan angka kematian.9,14,15

Secara keseluruhan meskipun tingkat merokok telah menurun selama bertahun-tahun, lebih dari seperlima orang Amerika adalah perokok. P ada tahun 2004 sekitar 21% orang dewasa, 22% merupakan siswa sekolah. Akibatnya merokok menjadi penyebab kematian dini di Amerika. Setiap tahun sebanyak 438.000 orang Amerika diperkirakan meninggal akibat merokok atau perokok pasif. P erkiraan biaya yang berhubungan dengan merokok yaitu biaya medis dan kehilangan produktivitas melebihi 167 milyar dollar Amerika per tahun.8

TUBERKULOSIS
T uberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5 dan lebar 3 , tidak membentuk spora dan termasuk bakteri aerob. Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya misalnya dengan pewarnaan Gram. Namun sekali diberi warna oleh pewarnaan Gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka mycobacteria disebut sebagai Basil T ahan Asam (BT A). P ada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilit as dinding sel sehingga mengurangi ef ekt ivit as t erhadap ant ibiot ik. Lipoarabinomannan suatu molekul lain dalam dinding sel mycobacteria berperan dalam interaksi antara inang dan patogen menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofag.16 P ada tahun 1992, WHO telah mencanangkan TB sebagai global emergency. T uberkulosis saat ini banyak menyerang usia produktif dan meningkatkan angka kematian terutama di negara berkembang. P ada tahun 2010 dilaporkan insidens T B didunia sebesar 8,8 juta (8,59,2 juta), 1,1 juta (0,91,2 juta) kematian akibat TB dengan HIV negatif ditambah 0,35 juta (0,320,39 juta) penderita T B dengan HIV positif. T ahun 2009 dilaporkan terjadi 2,4 juta kasus baru (3,3 juta perempuan), 133 kasus/100.000 populasi dengan penderita HIV sebesar 1,1 juta jiwa. kematian akibat infeki TB sebesar 1,7 juta jiwa (380.000 perempuan), termasuk 380.000 penderita HIV, sesuai dengan 4700 kematian pertahun dan menjadi penyebab kematian urutan ketiga pada perempuan usia 15-44 tahun. Delapan puluh persen kasus TB akt if yang dit emukan di 22 negara berkembang sebagian besar dari mereka di Asia (dengan 55% kasus di dunia) dan Afrika (30%). Sekitar 5% dari beban kasus T B global sekarang resisten terhadap beberapa obat, di Rusia dilaporkan kasusT B yang resisten obat menyumbang lebih dari seperlima semua kasus T B baru di tahun 2008. P ada tahun 2008 sebanyak 1,4 juta orang yang hidup dengan

19

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

HIV mengalami T B aktif. Orang HIV-positif lebih mudah t erinf eksi cenderung resist en t erhadap obat dan meningkatkan angka kematian. India menempati urutan pertama penderita TB di dunia (1,6-2,4 juta) menyumbang sekitar seperlima dari seluruh jumlah kasusdi dunia dengan angka kematian sebesar 17,6% dan 3,5% dari total kematian di India. Urutan berikutnya adalah China (1,1-1,5 juta), Afrika selatan (0,4-0,59 juta), Nigeria (0,37- 0,55 juta) dan Indonesia (0.35-0.52 juta). Di Amerika dilaporkan terjadi penurunan yang bermakna, pada tahun 1945 dilaporkan 73/ 100.000 populasi, tahun1993 sebesar 9,0/100,000 populasi dan pada tahun 2009 didapatkan 3,8/100.000 populasi. Di Nigeria dilaporkan kejadian TB sebesar 14,4% dan diperkirakan 380.000 (9293/100.000 populasi) kasus T B baru set iap t ahun jauh lebih besar dari st andar yang direkomendasikan WHOyaitu sebesar 3%.3,16-18 Diagnosis T B dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologi yang mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, fases dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). P emeriksaan radiologi dengan pemeriksaan standar foto toraks P A (posteroanterior), pemeriksaan radiologi lain adalah foto lateral, top-lordotic, oblik at au CT- Scan. Pemeriksaan penunjang lainnya diantaranya analisiscairan pleura, pemeriksaan histopatologi jaringan dan pemeriksaan darah. G ejala klinisT B dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Gejala respirasi diantaranya adalah batuk 2 minggu, batuk darah, sesak napasdan nyeri dada. G ejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkusbelum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. G ejala sistemik yang ditimbulkan akibat infeksi T B adalah demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun. P ada T B paru, kelainan yang didapat tergantung luaskelainan struktur paru. P ada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). P ada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,

tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. P ada pleuritis T B, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. P ada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. P ada limfadenitis T B, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. P embesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess .1

PENGARUH ROKOK PADA PERTAHANAN RESPIRASI


Rokok telah menunjukkan dampak yang luasterhadap mekanisme kekebalan inangnya. T erdapat banyak penelitian kontroversi karena perbedaan dalam hal riwayat merokok, kerentanan genetik, sosial ekonomi, olah raga, nutrisi, kelembaban udara dan pekerjaan yang dapat memodifikasi penyakit. E pitel pernapasan merupakan pertahanan pertama melawan agen lingkungan yang merugikan dan melindungi dengan cara menyapu partikel keluar dalam lapisan mukus, memfagositosis juga merekrut sel imun lain. Merokok secara langsung membahayakan integritasbarier fisik, meningkatkan permeabilitas epitel pernapasan dan mengganggu bersihan mukosilier. P ajanan asap rokok akut mengakibatkan supresi epitel pernapasan dan secara kronik dapat mengakibatkan inflamasi dan kerusakan sehingga menyebabkan perubahan bentuk sel epitel.1,19 Di paru asap rokok memiliki efek baik proinflamasi dan imunosupresif pada sistem kekebalan tubuh. Makrofag mempunyai peran yang strategis di alveolar. Makrofag alveolar mempunyai peran kunci dalam merusak dan mengeliminasi agen mikrobial pada saat awal bila ada infeksi. Rokok meningkatkan jumlah makrofag alveolar juga sel epitelial dan mengaktivasinya untuk menghasilkan mediator proinflamasi mikro sirkulasi paru, Reactive Oxygen Species (ROS) dan enzim proteolitik dengan demikian memberikan mekanisme seluler yang menghubungkan rokok dengan inflamasi dan kerusakan jaringan. S erupa dengan ini merokok berpengaruh terhadap kemampuan makrofagalveolar untuk memfagositosis bakteri dan sel apoptosis. P ada saat yang sama, rokok juga mengganggu mekanisme pertahanan alamiah yang dimediasi oleh makrofag, sel epitel, sel dendritik (DCs), dan sel natural killer (NK) sehingga meningkatkan risiko, keparahan dan durasi infeksi. P engaruh rokok dalam hubungannya dengan peningkatan penyakit hingg menjadi lebih berat ditandai dengan gangguan kemampuan makrofag untuk membunuh bakteri atau virus, hilangnya kemampuan untuk membersihkan sel-sel mati, degradasi dan modifikasi secara kimiawi dari matriksekstraseluler, peningkatan retensi sel TCD8 dan induksi Interleukin-17 (IL-17) sebagai efektor sekresi sel T . Setelah pajanan rokok jangka panjang, daerah

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

20

agregasi limfosit dengan sel Tdan sel B bisa terbentuk pada sisi tersebut, membantu produksi antibodi patogen dan menyebabkan penyakit autoimun. Hilangnya pertahanan mukosa dapat mengakibatkan kolonisasi bakteri seperti yang terjadi pada 30% perokok jangka panjang dengan PPOK.19

Gambar 1. Gangguan sitem imun di paru akibat merokok


Dikutip dari (19)

dipahami, namun ada banyak bukti menurunnya pertahanan saluran napas berpengaruh pada kerentanan terhadap infeksi TB pada perokok. T rakea, bronkus dan bronkiolus yang membentuk saluran udara yang memasok udara ke paru memberikan garis pertahanan pertama dengan mencegah kuman T B untuk mencapai alveoli. Merokok terbukti dapat mengganggu bersihan mukosilier. Makrofag alveolar paru yang merupakan pertahanan utama terjadi penurunan fungsi fagositosis dan membunuh kuman pada individu yang merokok, seperti dilaporkan pada diabetes, merokok telah ditemukan berhubungan dengan penurunan tingkat sitokin proinflamasi yang dikeluarkan. Sitokin-sitokin ini sangat penting untuk respons awal pertahanan lokal untuk infeksi kuman termasuk T B. Dalam berbagai studi menunjukkan bahwa jumlah dan durasi merokok aktif berpengaruh terhadap risiko infeksi TB sedangkan pada perokok pasif berhubungan dengan peningkatan kejadian T B pada anak 4,20,21 dan usia muda. Studi retrospektif yang dilakukan di Dublin pada 160 kasusantara bulan April 2007 hingga April 2008 didapatkan bahwa merokok berhubungan secara bermakna terhadap pemanjangan waktu konversi kuman T B pada pasien yang sedang mendapat t erapi obat antiTB. Penelit ian lain menunjukkan meningkatnya angka kekambuhan penderita T B yang merokok.22,23 Studi kasus kontrol pada 111 pasien BTA positif dengan 333 kontrol yang dilakukan di India pada bulan Sept ember 2004 hingga Agust us 2005 didapatkan peningkatan terjadinya infeksi T B pada perokok sebesar 3,8 kali dibandingkan yang tidak merokok dan berhubungan dengan jumlah rokok, indeksmassa tubuh dan status sosial ekonomi. Dalam penelitian ini lama dan jumlah rokok juga berpengaruh terhadap perkembangan TB.24 Di Amerika ada sejumlah kesulitan dalam menilai merokok sebagai faktor risiko untuk infeksi T B. Di antara yang paling penting adalah prevalens rendah infeksi T B pada populasi umum dan tingkat merokok telah menurun. Di Amerika merokok menjadi semakin terkonsentrasi pada populasi dengan sosial ekonomi rendah yang mengarah pada faktor risiko lain untuk T B seperti HIV, tunawisma, peminum alkohol, dan heterogenitas antar kelompok risiko T B. Saat ini lebih dari 50% pasien T B di Amerika berasal dari beragam negara dalam berbagai tahap epidemi tembakau dan faktorfaktor risiko untuk T B berbeda antara penduduk pendatang dan penduduk asli kelahiran Amerika. Studi yang dilakukan t erhadap penduduk asli dan pendat ang di Aust ralia menunjukkan bahwa angka kejadian T B cenderung lebih tinggi pada penduduk pribumi, hal ini berhubungan dengan sosial ekonomi, standar pelayanan kesehatan, dan kebiasaan merokok yang tinggi.9,25

Bukti menunjukkan bahwa sel NK memiliki peran dalam pertahanan bawaan dalam melawan agen mikrobial dan prot eksi ant i t umor. Hal ini dilakukan dengan sitotoksisitaslangsung yang mencetuskan apoptosis, sitokin pro inflamasi dan pelepasan kemokin. Beberapa studi menunjukkan pada perokok dapat menurunkan jumlah dan aktivasinya berkurang pada perokok dibandingkan bukan perokok. P ajanan asap rokok melemahkan aktivitassitotoksik danproduksi sitokin sel NK pada manusia dan tikus, dengan demikian hubungan defek sel NK menyebabkan peningkatan risiko infeksi dan kanker. P ada paru sel dendritik (DCs) merupakan sel antigen paling poten dan sangat diperlukan untuk inisiasi sel T dan diduga memiliki kerentanan yang tinggi terhadap rokok karena posisinya didalam lumen dan berada langsung dibawah epitel paru. Studi klinis menunjukkan bahwa jumlah DCsberkurang pada sebagian besar jalan napas pasien ppok yang merokok. S etelah berhenti merokok jumlah DCsmakin meningkat dan serupa dengan kontrol orang sehat yang tidak merokok.Studi pada hewan coba dilaporkan terdapatnya penurunan jumlah DCs tergantung pada tipe sist em pajanan rokok. Proses otoimun berperan pada timbulnya penyakit yang berhubungan dengan rokok. Merokok juga dapat menurunkan level semua kelas imunoglobulin kecuali Ig E .P ada studi dengan hewan coba didapatkan respons antibodi terhadap berbagai antigen berkurang secara nyata akibat pajanan kronik asap rokok.19

HUBUNGAN MEROKOK DENGAN TUBERKULOSIS


Hubungan antara merokok dan TB pertama kali dilaporkan pada t ahun 1918.Mekanisme past i yang menghubungkan merokok dengan TB tidak sepenuhnya

21

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara merokok dan T B, banyak dari mereka didasarkan pada infeksi atau angka kematian, penelitianpenelitian tersebut memiliki berbagai keterbatasan seperti desain kasus control atau potong lintang ukuran sampel kecil, dan kekurangan dalam data sosial ekonomi, alkohol, infeksi HIV dan fakt or yang berpengaruh lainnya. Di HongKong merokok dan T B merupakan dua kondisi yang umum dijumpai. Prevalens merokok jauh lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Lebih dari 20% laki-laki dewasa adalah perokok aktif dan kejadian T B sebesar 100 per 100.000 penduduk pertahun dan banyak terjadi pada laki-laki dengan usia diatas65 tahun. Merokok berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap influenza dan T B. St udi dengan hewan coba t ikus yang mendapat kan pajananM. T B secara aerosol, didapatkan bahwa produksi int erferon (IFN )oleh sel T akan menurun dengan penurunan faktor transkripsi yang mengatur ekspresi IFN pada tikus yang diberi pajanan asap rokok. St udi ini memberikan demonstrasi pertama bahwa pajanan asap rokok secara langsung menghambatr esponsselTuntuk M. T B dan virus influenza pada fisiologi hewan coba sehingga meningkatkan kerentanan terhadap kedua patogen.26,27 P erokok memiliki angka kematian akibat T B sangat tinggi, sebanyak sembilan kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok, tapi begitu mereka berhenti, risiko berkurang secara substansial dan mirip dengan mereka yang tidak pernah merokok. Berhenti merokok memiliki manfaat bagi perokok jauh melampaui mengurangi risiko T B, tetapi pengendalian tembakau yang baik dapat mempengaruhi tingkat kematian T B dan mengurangi beban kesehatan masyarakat dan dengan berhenti merokok bisa mengurangi hampir sepertiga dari kematian akibat T B. Risiko T B dapat dikurangi dengan hampir dua pertiga jika seseorang berhenti merokok adalah bukti kuat dalam peran penting dari merokok dalam penanggulangan T B. Seperti merokok bertanggung jawab untuk lebih dari sepertiga kematian akibat T B di T aiwan (37,7%). P engendalian penggunaan tembakau berhasil dalam mengurangi merokok baik dapat mempengaruhi tingkat kematian T B dan mengurangi hampir sepertiga (30,7%) dari beban kesehatan masyarakat yang telah lama mengganggu penduduk Taiwan. Ini dampak kesehat an yang besar pada peningkat an kesehat an masyarakat terutama bila diterapkan ke negara-negara seperti Cina, India yang memiliki prevalensi merokok dan angka kejadian T B lebih tinggi. Berhenti merokok telah ditunjukkan untuk mengurangi kejadian T B, sehingga perlu peningkatan pengetahuan dan penelitian tentang manfaat dari berhenti merokok untuk mengurangi angka kematian. Dengan dua pertiga dari laki-laki Cina merokok dan sekitar tiga juta

kasus T B sehingga pedoman pencegahan dan penanganan yang baik terus dilakukan. Merokok secara substansial memperburuk risiko kematian pada mereka dengan riwayat infeksi T B, kematian pada penderita yang merokok dilaporkan sebesar 61% di India dan 32,8% di Hongkong.21,28 Sebuah penelitian yang menghubungkan pengaruh vitamin terhadap penderita T B yang merokok didapatkan bahwa suplemen vitamin E menyebabkan peningkatan sementara dalam kejadian T B pada perokok berat dengan diet tinggi asupan vitamin E . Vitamin A dan Etidak meningkatkan respon imun pada penderita T B yang merokok. P enelitian ini menemukan bahwa tidak satupun dari kedua senyawa tersebut dapat meningkatkan perlawanan terhadap T B diantara laki-laki perokok. Sebaliknya vitamin E t ampaknya cenderung meningkatkan kejadian T B pada peserta yang merokok berat dan telah mendapatkan diet asupan vitamin Csebesar 90mg/ hari atau lebih .29 KESIMPULAN 1. Merokok dan T B masih menjadi masalah kesehatan yang penting dinegara maju dan negara berkembang. 2. Asap rokok memiliki efek baik pro- inflamasi dan imunosupresif pada sistem imun saluran pernapasan. 3. Merokok meningkatkan risiko infeksi Mycobacterium tuberculosis, risiko perkembangan penyakit dan kematian pada penderita T B. 4. Berhenti merokok berperan dalam global tuberculosis control dan mengurangi kematian pada penderita T B.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bates MN, Khalakdina A, P aI M, Chang L, Lessa F , Smith KR. Risk oft uberculosis from exposure to tobacco smoke. Arch Intern Med. 2007;167:335-42. Zainul Z. Dark nights behind the white clouds-risk of tobacco smoking on human health besides the oral health ang malignancy. E xceli Journal.2011;10:69-84. World Health Organization. WHOreport on the Global tuberculosis control report.(Online); 2011(cited 2011 November 17). Available f rom: URL: ht t p// www.whql i bdoc.who.i nt / publ i cat i ons/ 2011 / 9789241564380_eng.pdf. Leung CC, Lam T H, Ho KS, Y ew WW,T am CM, Chan WM, et al. P assive smoking and tuberculosis. Arch Intern Med. 2010;170:287-92. Aditama T .Y Youth tobacco Indonesian experience, Mumbai, India; Indonesia smoking control foundation. 2009.

2.

3.

4.

5.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

22

6.

7.

8. 9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17. 18.

Ross J, Ehrlich RI, Hnizdo E , White N, Churchyard GJ. E xcess lung function decline in gold miners following pulmonary tuberculosis. T horax. 2010;65:1010-5. PDPI. Berhenti merokok. P edoman penatalaksanaan untuk dokter Indonesia. P erhimpunan Dokter P aru Indonesia. Jakarta 2011.p 4-12 Mehta1 H, Nazzal K, S adikot1 R. Cigarette smoking and innate immunity. Inflamm Res J. 2008;57:497503. Giacomo M, Davidson PM, P enelope A. Abbott P , Davison P , Moore L, T hompson S. Smoking cessation in indigenous populations of Australia, New Zealand, Canada, andthe United States: Elements of effective interventions. Int. J. E nviron. Res. Public Health. 2011; 8: 388-410. Mills E J, Wu P , Spurden D, E bbert J,Wilson K. E fficacy of pharmacot herapies f orshort - t erm smoking abstinance: A systematic review and meta-analysis. Harm Reduction Journal. 2009; 6:25. WHO. Global T uberculosis control. WHO/HTM/TB/ 2008.393. Geneva: World Health Organization;2008. Availableonlineat http://www.who.int/tb/publications/ globalreport/2008/en/index.html(Accessed September 9, 2011). P eto R, Lopez A, Boreham J, T hun M. Mortality from smoking in developed countries, 19502005. University of Oxford Clinical T rial Service Unit [online], http:// www.ctsu.ox.ac. uk/~tobacco (2009). Salma K, Chiang C, Enarson DA, Hassmiller K, Fanning A, Gupta P , et al. T obacco and tuberculosis: a qualitative systematic review and meta-analysis. International Journal of T uberculosis and Lung Disease.2007; 104961. Wang J, Shen H. Review of cigarette smoking and tuberculosis in China: intervention is needed for smoking cessation among tuberculosis patients. BMC Public Health. 2009; 9:292. Bjartveit K, T verdal A. Health consequences of smoking 14 cigarettes per day. T obacco Control. 2005;14:315 20. PDPI. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. P erhimpunan Dokter P aru Indonesia. Revisi pertama Juli 2011.Jakarta: 9-19 Udwadia F , Finto L. Why stop T b is uncomplete without quit smoking. Indian J ChestAllied Sci.2011;53;9-10. Amoran O , Osiyale O , Lawal K. P attern of default among tuberculosis patients on directly observed therapy in

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

rural primary health care centresin O gun State, Nigeria. Journal of InfectiousDiseasesand Immunity.2011; 3(5): 90-5. Stmpfli M, Anderson G. How cigarette smoke skews immune responses topromote infection, lung disease and cancer. Immunology. 2009; 9: 34-9 Lin HH, E zzati M, Murray M. T obacco smoke, indoor air pollution and tuberculosis: A systematic review and meta-analysis. PLoSMedicine.2007:173-89. Wen CP , Chan T C, Chan HT ,T sai MK, Cheng T Y ,T sai SP .T her reduction of T uberculosis risks by smoking cessation. BMC Infect Dis. 2010;10:156. S iddiqui UA, O T oole M, Kabir Z, Qureshi S, Gibbons N, Kane M, et al. S moking prolongstheinfectivity of patients with tuberculosis. Ir Med J.2010; 103(9):278-80. Batista J, P essoa M, Ximenes RA, Rodrigues L. Smoking increasesthe risk of relapse after successful tuberculosis treatmen. Int J E pidemiol. 2008;37 (4):841-51. Suryakant PR, R. Garg S, Dawar S, AgarwalS. A casecontrol study of tobacco smoking and tuberculosis in India Ann T horac Med. 2009;4(4): 20810. Davies P ,Y ew W W, Ganguly D, Davidow AL, Reichman L, Dheda K, et al. Smoking and tuberculosis: t he epidemiological association and immuno pathogenesis. T ransactions of the royal society of tropical medicine and hygiene . 2006; 291-8. Leung C, Li T , Lam T H, Y ew WW, Law WS, T am CM, et al. S moking and tuberculosis among the elderly in Hong Kong. Am J Respir Crit Care Med. 2004;170: 102733. Feng Y , Kong Y , Barnes PF , Huang F , Klucar P , Wang X, et al. Exposure t o cigaret t e smoke inhibit s t he pulmonary T-Cell response to influenza virus and Mycobacterium tuberculosis infection and immunity. 2011;79(1): 229-37. Lin HH, Murray M, Cohen T , Colijn C, E zzati M. E ffects of smoking and solid-fuel use on COPD, lung cancer, and tuberculosis in China: a time-based, multiple risk factor, modelling study.Lancet . 2008; 372(9648): 147383. Hemila H, Kaprio J. Vitamin E supplementation may transiently increase tuberculosis risk in males who smoke heavily and have high dietary vitamin intake. British Journal of Nutrition. 2008;100:896902.

23

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

TUBE RKULOSIS DAN HIV-AIDS Arief Riadi


Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS P ersahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN T he World Health Organization (WHO) memprediksi bahwa penyebab kematian orang dengan Acquired immuno deficiency syndrome (AIDS) adalah tuberkulosis (T B) paru sebesar 13%. Infeksi T B paru diukur ketika seseorang yang diduga menginhalasi droplet yang mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tb). Respons sistem imun membatasi multiplikasi basil tuberkel 212 minggu setelah infeksi. Kondisi basil tuberkel persisten selama bertahuntahun berubah menjadi Latent T uberculosis Infection (LT BI). Seseorang dengan LTBI tidak memberikan gejala dan tidak menularkan. T uberkulosis paru dapat berkembang segera setalah terpajan (penyakit primer) atau setelah reaktivasi dari LT BI (Reactivation Disease). P enyakit primer berjumlah sekitar 1/3 atau lebih kasus pada populasi dengan T B-HIV (Human Immunodeficency Virus).1 Kasus T B paru di Amerika rata-rata menurun menjadi 46 kasus baru T B paru per 100.000 populasi (total 13767 kasus) yang dilaporkan pada tahun 2006 dan diprediksi prevalensi kasus LT BI 4.0% pada seluruh populasi. P ersentase kasus T B paru dengan HIV juga menurun dari 15% (2003) menjadi 12,4% (2006), walaupun persentase kasus T B paru dengan status HIV tidak diketahui meningkat dari 28,7% (2005) menjadi 31,7% (2006), mungkin merefleksikan kesulitan pemeriksaan HIV atau ketidaklengkapan hasil pemeriksaan HIV.2 Orang dengan LTBI diprediksi berubah menjadi T B paru aktif sebesar 12,9% per 1000 orang pertahun dari hasil observasi. Rata-rata progresif menjadi T B paru aktif pada orang dengan infeksi HIVberkisar antara 35162/1000 orang/ t ahun observasi.2 Pada daerah endemik TB t erdapat hubungan yang tinggi jumlah CD4 (cluster of differentiation) dengan waktu perkembangan T B-HIV. P ada orang dengan HIV yang bekerja pada tempat berisiko tinggi seperti fasilitas kesehatan, unit terapi obat-obatan atau tempat tunawisma dapat meningkatkan risiko terkena T B paru.3 T B paru menjadi penyebab utama kematian pada orang dewasa yang terinfeksi HIV. Kematian akibat penyakit ini pada beberapa negara meningkat sampai 50%, biasanya sekitar 2 bulan setelah diagnosis T B ditegakkan. Keterlambatan dalam penegakan diagnosisT B paru mungkin menjadi kontributor yang penting dalam menyebabkan tingginya angka kematian.16 T iap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus baru T B paru per 100.000 penduduk dengan estimasi prevalens HIV diantara pasien TB paru sebesar 0,8% secara nasional (berdasarkan laporan WHO2007). Survei yang dilaksanakan oleh Badan P enelitian dan P engembangan Departemen Kesehatan (Litbangkes) 2003 menunjukkan bahwa pasien dengan koinfeksi T B-HIV pada umumnya ditemukan di RS (Rumah Sakit) dan Rutan (Rumah Tahanan) atau Lapas (Lembaga P emasyarakatan) di beberapa propinsi ditemukan T B paru sebagai infeksi oportunis utama pada pasien AIDS di RS. Saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran HIV di antara pasien T B paru. Studi pertama tentang sero prevalensi yang dilaksanakan di Yogyakarta menunjukkan angka 2%. Data dari RS propinsi di Jayapura menunjukkan pada triwulan pertama 2007, 13 diantara 40 pasien T B ternyata positif HIV. Data klinik P PT I (P erkumpulan P emberantasan T uberkulosisIndonesia) di Jakarta sejak 2004 2007 menunjukkan prevalens HIV pada pasien dugaan T B paru dengan faktor risiko antara 35% dan prevalens pada pasien Tb paru antara 510% dengan kecenderungan meningkat setiap tahunnya.18

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS


Human Immunodeficiency Virus adalah virus sitoplastik dari famili Retroviridae. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili retrovirus yang merupakan virus RNA (Ribonucleacid Acid) dengan berat molekul 9.7 kilobases (kb). VirusHIV pertama kali diidentifikasi oleh Luc Montainer di Inst itut Past eur Paris t ahun 1983 disebut HIV- 1. Karakteristik virus sepenuhnya diketahui oleh Robert Gallo di Washington dan Jay Levy di San Fransisco tahun 1984. T ahun 1986 HIV-2 berhasil diisolasi dari pasien di Afrika Barat.4 P emeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh 2 protein utama envelope virus yaitu glikoprotein (gp) 120 di sebelah luar dan gp 41 yang terletak di transmembran. Glikoprotein 120 memiliki afinititas tinggi terutama regon V3 terhadap reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab pada

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

24

awal int eraksi dengan sel t arget , sedangkan gp 41 bertanggung jawab dalam proses internalisasi atau absorbsi (Gambar 1).4

Gambar 1. Struktur HIV


Dikutip dari (4)

CD4 adalah reseptor spesifik pada sel pejamu untuk terjadi infeksi HIV yang mempunyai afinitas tinggi tehadap HIV terutama terhadap molekul gp 120. Diantara sel tubuh yang mempunyai molekul CD4 paling banyak adalah sel limfosit-T . Infeksi HIVdimulai dengan penempelan viruspada reseptor CD4 limfosit-Tsetelah penempelan terjadi fusi kedua membran (HIV dan limfosit) sehingga seluruh komponen virus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T .4

(T CR) CD43 kemudian bersama-sama CD28 mempengaruhi HIVmenjadi lebih aktif. Produksi HIVselama infeksi mencapai 109-1011 partikel virus perhari bila berlangsung tanpa upaya pengobatan dapat meningkatkan jumlah virus mencapai 500-1.000.000 kopi HIV-RNA per ml. Viremia yang terus meningkat akan berusaha menyerang limfosit T- CD4 berikutnya. Fase akut akan terjadi penurunan dramatiskadar CD4 sampai kurang dari 1000/mm3 dan naik kembali saat serokonversi. Fase kronik akan terjadi penurunan 70 sel/l setiap tahunnya. Bila jumlah CD4 mencapai atau melampaui batas kritis d 200 sel/mm3 berarti telah memasuki stadium AIDSdengan atau tanpa manifestasi klinik. Manifestasi klinik dapat terjadi pada jumlah limfosit T -CD4 relatif normal (CD4 e 500 sel/mm3) atau terjadi penurunan sedang (CD4 d 200 sel/mm3). T anpa diimbangi upaya intervensi maka dari waktu ke waktu jumlah limfosit T -CD4 akan semakin rendah membuka peluang infeksi sekunder dan muncul manifestasi klinik AIDS hingga sepsis (Gambar 2).4

PATOGENESIS TB-HIV
P erjalanan infeksi HIVdi dalam tubuh manusia diawali interaksi gp 120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4. Sel target utama adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4 antara lain astrosit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan s dan dendritik. Ikatan terjadi akibat interaksi gp 120 HIV dengan CD4. Ikatan semakin kuat dengan kehadiran ko-reseptor kedua yang memungkinkan gp 41 menjalankan fungsinya sebagai perantara masuknya virus ke dalam sel target. Koreseptor lini kedua adalah chemokine reseptor 5 (CCR5) dan chemokine reseptor 4 (CXCR4).4 Proses internalisasi limfosit Toleh HIV selain terjadi perubahan melalui aktivasi limfosit T -CD4 maupun HIVjuga membangkitkan timbulnya protein stres temasuk heat shock protein 70 (Hsp70). Kontak yang terjadi mengakibatkan limfosit Tterpacu sehingga mengalami stres dengan berbagai perubahan. P erubahan diawali dengan ekpresi reseptor CD43 (sialophorin) pada permukaan limfosit T . Reseptor CD43 yang terekspresi tersebut menjadi aktivator baik terhadap limfosit T -CD4 sendiri maupun terhadap HIV. P eningkatan aktivitas limfosit T -CD4 yang terinfeksi HIVakan menginduksi T -helper 1 (T h-1) mensekresi Interleukin (IL)-1, IL-2, T umor necrosis factor (T NF)- dan Interferon (IF N)- sehingga kadar didalam darah meningkat.4 Human immunodefisiency virusyang berada di dalam limfosit T -CD4 akan teraktivasi oleh pengaruh reseptor CD43 dan akan menginduksi pembentukan kompleksT -cell reseptor

Gambar 2. Patofisiologi HIV-AIDS


Dikutip dari (4)

P ada T B paru aktif, makrofag terinfeksi oleh M. tb yang akan mengekspresikan TNF- bersamaan dengan Monocyt e Chemot act ic Prot ein 1 (MCP- 1) yang mengaktifkan replikasi HIV-1. T he Long T erminal Repeat (LTR) HIV mengandung 2 NF-kB. TNF- menginduksi replikasi HIV dimediasi dengan peningkatan aktifitas NF-kB di sel mononuklear. M. tuberculosis dapat menyebabkan infeksi lanjut pada CD4 sel T limfosit dan monosit. M. tuberculosis juga mengaktifkan replikasi HIV-1 pada CD4 T limfosit yang terinfeksi laten. Masuknya monosit kedalam sel dendrit dapat memfasilitasi trasmisi HIV-1 ke CD4 T limfosit yang apabila berdiferensiasi ke M. tb dapat menyebabkan berkembang menjadi infeksi laten HIV-1 (Gambar 3).8

25

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

pneumocystis pneumonia, toksoplasmosisotak, penyakit sitomegalovirus, infeksi virus herpes, kandidiosis pada esofagus, trakea, bronkus, paru, infeksi jamur seperti histoplasmosis. Dapat juga dit emukan keganasan termasuk keganasan kelenjar getah bening dan sarkoma kaposi. Derajat dan berat penyakit dit ent ukan sesuai ketentuan WHOmelalui stadium klinik pada orang dewasa. DiagnosisAIDSdi Indonesia dibuat bila terdapat uji HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan satu gejala mayor dan satu gejala minor (Tabel 1).4,5 T abel 1. Gejala mayor dan minor HIV
Gejala Mayor Karakteristik Berat badan menurun lebih 70% dalam satu bulan. Diare kronik lebih dari satu bulan Demam lebih 1 bulan Penurunan kesadaran dan gangguan saraf E nselopati HIV Batuk menetap lebih satu bulan Dermatitis generalisata Herpes zoster berulang Kandidiasis orofaringeal Herpes simpleks Limfadenopati generalisata Infeksi jamur berulang pada alat kelamin perempuan Retinitis karena virus sitomegalo
Dikutip dari (8)

Gambar 3. Patofisiologi T B-HIV


Dikutip dari (8)

GEJALA KLINIK HIV


Gejala klinik HIV merupakan gejala dan tanda infeksi virus akut, keadaan asimptomatis berkepanjangan hinggga manifestasi AIDS berat. Gejala klinik HIV dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu :4 1. T ahap pertama Merupakan tahap infeksi akut. P ada tahap ini muncul gejala tapi tidak spesifik. T ahap ini muncul 6 minggu pertama setelah pajanan HIV berupa demam, rasa letih, nyeri otot dan sendi, nyeri menelan dan pembesaran kelenjar getah bening. 2. T ahap kedua Merupakan tahap asimptomatis. P ada tahap ini gejala dan keluhan menghilang. T ahap ini berlangsung selama 6 minggu sampai beberapa bulan atau tahun setelah infeksi tetapi penderita masih normal. 3. T ahap ketiga Merupakan tahap simptomatis. Keluhan penderita lebih spesifik dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi tidak sampai 10%. P ada selaput mulut terjadi sariawan berulang, infeksi bakteri pada saluran napas atas, namun penderita dapat melakukan aktifitas meskipun terganggu. P enderita lebih banyak di tempat tidur. 4. T ahap keempat Merupakan tahap lanjut atau tahap AIDS. G ejala yang muncul berupa berat badan turun lebih 10%, diare lebih 1 bulan, demam yang tidak diketahui penyebabnya berlangsung selama 1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, T B paru. P enderita hanya berbaring ditempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan terakhir. Dapat t erjadi berbagai macam inf eksi berupa

Minor

DIAGNOSIS
Seseorang dengan infeksi HIV, pemeriksaan untuk T B paru termasuk dengan menanyakan tentang kombinasi dari gejala klinik yang terdapat pada pasien dan tidak hanya menanyakan keluhan batuk saja. Ini seperti terapi dengan obat anti retrovirus dan terapi preventif dengan izoniazid dapat mulai diberikan pada orang yang tidak ada gejala, namun pemeriksaan kultur mikobakterium tetap dikerjakan.16 a) Diagnosis of Latent Tuberculosis Infection (LTBI) Semua pasien yang didiagnosis HIV sebaiknya diperiksa LT BI. Seseorang dengan hasil pemeriksaan LT BI menunjukkan negatif, infeksi HIV lanjut (CD4+ < 200 cell/ L) dan tanpa indikasi pemberian terapi empiris LTBI seharusnya dilakukan kembali uji LT BI ketika mulai terapi

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

26

ART dan kadar CD4+ e 200 cell/ L. P ada umumnya uji rutin untuk LTBI direkomendasikan untuk orang terinfeksi HIV yang termasuk kategori resiko tinggi untuk berulang atau terpajan idividu dengan T B paru, orang dengan hidup dengan faktor risiko terinfeksi HIV, pecandu aktif, atau memiliki faktor risiko sosial demografi untuk TB. Setiap pasien dengan HIV dan uji LTBI positif seharusnya dilakukan foto toraks dan evaluasi klinik untuk T B aktif.8 Diagnosis LTBI dapat dilakukan dengan satu atau dua pendekatan. Uji tuberkulin dengan metode Uji Mantoux, dipertimbangkan positif pada pasien terinfeksi HIV dengan indurasi e 5 mm yang timbul setelah 4872 jam setelah penyunt ikan secara int radermal 0,1 mL. Sekarang ini penggunaan met oda in vit ro dengan mendet eksi IFN- dilepaskan untuk merespon M. tuberculosis- spesific peptides telah dikembangkan untuk mendiagnosis LTBI.9
Test for LTBI (e.g., tuberculin test or interferon- release assay) in HIV-infected person

P ada keadaan HIV dengan immunosupresi lanjut T ST dan IG RAsdapat menunjukkan hasil negatif palsu.12 Frekuensi terjadinya negatif palsu dan tidak dapat digunakannya hasil IGRA meningkat secara paralel dengan berlanjut nya imunodefisiensi.13 Lesi fibrotik yang sesuai dengan T B kadang secara insidental ditemukan pada gambaran foto toraks. Seseorang dengan lesi fibrotik seharusnya menjalankan uji diagnosis LT BI dan dievaluasi untuk penyakit aktif. P ada keadaan yang telah diketahui sebelumnya telah mendapat terapi T B secara adekuat, pemeriksaan dahak dan kultur seharusnya diperiksa walaupun pasien tidak menunjukkan gejala. P ada pasien HIV dengan CD4+ <200 cell/ L dengan lesi fibrotik yang sesuai dengan T B pada gambaran foto t oraks dan t idak ada riwayat t erapi sebaiknya dipertimbangkan infeksi T B dengan mengabaikan hasil dari uji LT BI. P ada keadaan seperti ini disarankan diberikan terapi empirik sambil menunggu hasil uji diagnosis lebih lanjut.14 b) Diagnosis TB Paru Aktif

Negative

Positive

Contact to a case of active tuberculosis Chest radiography Clinical evaluation

No

Yes

CD4+ T-lymphocyte count > 200

No symptoms and normal chest radiograph

Symptoms (e.g., fever, cough, weight loss) OR abnormal chest radiograph

No

Yes Evaluate for active tuberculosis (obtain samples for AFB smear and culture)

Retest for LTBI once ART started and CD4+ Tlymphocyte count > 200

Treatment for LTBI not indicated Retest annually if on going high risk of tuberculosis exposure (endemic area, congregate setting, etc.)

Alternative cause identified for symptoms and abnormal chest radiograph Active tuberculosis excluded with negative smears and cultures in the setting of low suspicion

Moderate to high suspicion or evidence for active tuberculosis

Initiate treatment for LTBI

Initiate four-drug regimen for active tuberculosis

Gambar 4. Diagram alur diagnosis LT BI-HIV


Dikutip dari (10)

P enelitian saat ini menyarankan bahwa Interferron Gamma Relation Assay (IGRA) lebih konsisten dan tinggi spesifitasnya (9297%) dibandingkan dengan T uberculin S ensitiviti Ujit (T S T ) sebesar 5695%, hubungan korelasi yang baik akan menggantikan pengukuran terpajannya M. tb dan kurang terjadinya reaksi silang terhadap vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) at au t erpajan nontuberculous mycobacteria lainnya dibandingkan dengan T ST .11,15

E valuasi dugaan HIV yang berhubungan dengan T B seharusnya dilakukan pada pemeriksaan foto toraks yang merujuk kepada kemungkinan lokasi anatomi penyakit. Sampel dari dahak dan kultur seharusnya didapatkan dari pasien dengan gejala paru dan kelainan gambaran foto toraks. Gambaran normal foto toraks tidak dapat menyingkirkan kemungkinan T B aktif ketika kecurigaan terhadap penyakit ini tinggi dan sampel dari dahak tetap harus didapatkan. Hasil pengambilan dahak 3 hari lebih disarankan pagi hari dapat meningkatkan hasil dari hapusan dan kultur. Lebih dari dari pasien HIVdengan penyakit T B paru menunjukkan hasil negatif palsu.12 Serost at us HIV t idak mempengaruhi hasil dari pemeriksaan hapusan dahak dan kultur. Hasil positif lebih sering didapatkan pada penyakit paru dengan kavitas. Hasil dari pemeriksaan hapusan dahak dan kultur yang berasal dari spesimen ekstraparu lebih tinggi diantara pasien imunodefisiensi lanjut dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi.16 Uji Nucleic acid amplication (NAA), juga disebut Direct Amplification Test dapat langsung diterapkan pada spesimen klinik seperti dahak dan sangat membantu dalam proses evaluasi pasien dengan hasil hapusan dahak positif. Hasil positif NAA pada hapusan dahak sangat merefleksikan TB aktif. P ada orang dengan hasil dahak negat if atau penyakit ekstraparu maka penggunaan NAA harusdigunakan dan diinterpretasikan sesuai dengan penyebabnya.9 P ada pasien dengan tanda T B ekstraparu, aspirasi jarum halus atau biopsi dari lesi kulit, kelenjar limfe, cairan pleura dan perikardial harus dilakukan. Kultur darah dari mikobakterium dapat membantu pasien dengan tanda penyebaran penyakit atau perburukan imunodefisiensi. Hasil

27

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

positif dahak dari berbagai spesimen (dahak, aspirasi jarum halus, biopsi jaringan) mewakili beberapa bentuk penyakit mikobakterium namun tidak selalu T B.16 T ujuan utama algoritma diagnosisadalah membantu keputusan klinik di daerah dengan prevalensi HIV tinggi dan mengurangi angka kesalahan diagnotik dan kematian. Algoritma akan memberikan efek yang signifikan pada diagnosis T B paru dengan HIV/AIDS dan akan membantu penanganannya secara terintegrasi. Algoritma digunakan pada pasien dewasa dengan keluhan batuk selama 23 minggu dan berdasarkan kondisi pasien.19
Ambulatory patient with cough 2-3 weeks and no danger signsa

Seriously III patient with cough 2-3 weeks and danger signsa

Referral to higher level facility Parenteral antibiotic treatment for bacterial infection b,d Sputum AFB and culture b HIV test b,c CXR b

Immediate referral not possible Parenteral antibiotic treatment for bacterial infection b,d Consider treatment for PCP e Sputum AFB and culture b HIV test b,c HIV+ or unknow f

No tuberculosis

Treat tuberculosis

AFB-positive g

AFB-negative g

Improvement after 3-5 days

No Improvement after 3-5 days

AFB HIV testb

Reassess for other HIV-related disease

TB unlikely

Reassess for tuberculosis h

Start TB treatment Complete antibiotics Refer for HIV and tuberculosis care

P ada pasien dengan sakit berat perlu segera dirujuk ke pusat rujukan atau yang memiliki fasilitas lebih lengkap. Apabila tindakan rujukan tidak dapat dilakukan segera maka pemberian antibiotik spektrum luas segera diberikan dan pemeriksaan dahak segera dikerjakan. Apabila hasil pemeriksaan HIV negatif, gejala klinik HIV kurang nyata dan apabila daerah tersebut tidak termasuk kedalam prevalensi HIVyang tinggi maka dilanjutkan penegakan diagnosissesuai dengan pedoman yang berlaku. Apabila gejala klinik dan pasien berasal dari wilayah dengan prevalensi HIV tinggi maka penegakan diagnosis sesuai algoritma (Gambar 4).19

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

1st visit
AFB-positived

HIV+ or status unknownc

Diagram alur diagnosis pasien T B dengan HIV+ dengan kondisi jelek


AFB-negatived

Dikutip dari (19)

2nd visit 3rd visit 4th visit

GEJALA KLINIK TB-HIV


Treat for TB CPTd HIV assessmentf TB likely CXRg Sputum AFB and cultureg Clinical assessmentg TB unlikely Treat for PCPi HIV assessmentf Treat for bacterial infectionh HIV assessmentf CTPe

Response j

No or partial response

Response j

Reassess for TB

Diagram alur diagnosis pasien T B dengan HIV+ pada pasien rawat jalan
Dikutip dari (19)

Individu yang terinfeksi HIV pada T B paru aktif sangat dipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi.6 Pada pasien terinfeksi HIV dengan CD4+ > 350 cell/ L gejala klinik T B sesuai dengan pasien TB tanpa HIV.7 Gejala mayor terbatas pada paru dan biasanya gambaran foto toraks lobus atas berupa gambaran infiltrat fibronodular dengan atau tanpa kavitas.8 Gejala ekstraparu lebih sering timbul pada pasien HIV dibandingkan pada pasien yang tidak terinfeksi HIV, walaupun manifestasi klinik antara pasien terinfeksi HIV dengan tidak terinfeksi HIV tidak secara substantial berbeda. Pada HIV stadium lanjut gambaran foto toraks pada pasien T B paru berbeda dibandingkan dengan pasien dengan derajat keparahan imunosupresi lebih rendah. Pada lobus bawah, lobus tengah, gambaran infiltrat milier lebih biasa dan kavitas lebih jarang. Limfadenopati mediastinum juga dapat ditemukan. Walaupun dengan gambaran foto toraks normal, pasien terinfeksi HIV dan T B paru dapat memberikan hasil dahak yang positif dan hasil kultur.8 Peningkatan derajat imunodefisiensi, T B ekstraparu (limfadenitis, pleuritis, pericarditis dan meningitis) dengan atau tanpa keterlibatan paru ditemukan pada gejala mayor dengan jumlah CD4+ < 200 cell/ L. Pada beberapa pasien TB dapat menjadi penyakit sistemik yang berat dengan demam tinggi, progresif, dan sindoma sepsis. Penemuan histopatologi juga dipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi. Pasien dengan fungsi relatif imun terdapat tipikal inflamasi granulomatosa yang diasosiasikan dengan penyakit TB. Pada pasien dengan imunodefisiensi berat dan kadar mikobakterium yang tinggi, penyakit T B dapat menjadi subklinik atau oligoasimptomatis.8 G ejala klinik T B paru pada pasien dengan HIVtergantung dari derajat imunosupresi sebagai hasil dari infeksi HIV. Pasien

28

dengan kadar CD4 > 200/mm3 lebih sering memberikan manifestasi T B paru dibandingkan dengan ekstraparu. P ada pasien ini gambaran foto toraks akan seperti pada orang dengan HIV negatif. Hasil pemeriksaan dahak lebih sering memberikan hasil positif. Keadaan imunodefisensi yang semakin berat akan membuat gejala ekstraparu semakin menjadi lebih sering (T abel 2).8 T abel 2. Gejala klinik pada pasien T B-HIV
karakteristik
T B paru : T B ekstraparu Gejala klinik Foto toraks Intratoraks limfadenopati Lobus bawah Kavitas Alergi tuberculin Pemeriksaan dahak Reaksi obat Kambuh setelah pengobatan

L ate HIVInfection
50:50 Sering seperti T B primer Sering Sering Jarang Sering Jarang Sering Sering

E arly HIVInfection
80:20 Sering seperti T B post primer Jarang Jarang Sering Jarang Sering Jarang Jarang

Dikutip dari (8)

KESIMPULAN
1. P enyebab kematian terbesar pada AIDSadalah T B paru. 2. Orang dengan T LBI sesuai dengan definisi tidak memberikan gejala asimptomatis. 3. P ada penderita HIV dengan dicurigai T B maka harus ditanyakan gejala lainnya tidak hanya batuk saja. 4. P emeriksaan penunjang dengan IGRA dan TST sering menunjukkan negatif palsu. 5. Hasil pemeriksaan dahak TB paru dari pasien HIV menunjukkan hasil -nya adalah negatif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Centersfor Disease Control and Prevention (CDC), American T horacic Society and Infectious DiseasesSociety of America, T reatment of tuberculosis. MMWR Recomm Rep 2003; 52(RR-11):p.1-77 2. Center for Disease Control and Prevention (CDC), T rends in tuberculosis incidence United Stauji, 2006. MMWRMorb Mortal Wkly Rep 2007; 56(11): p.245-50. 3. Horsburgh, CR. Priorities for the treatment of latent tuberculosis infection in the United Stauji. N Engl J Med 2004; 350(20): p.2060-7.

4. Nasronudin. HIV& AIDS: P endekatan biologi molekuler klinik dan sosial. Airlangga University Press 2007; p.1-309. 5. Nahimana A, Rabodonirina M, Bille J, Francioli P . Mutations of P neumocystis jiroveci dihydrofolate reductase associated wit h failure of prophylaxis. Antimicrobial agents and chemotherapy 2004; 48:4301-5. 6. Bat ungwanayo J, Taelman H, Hot e R. Pulmonary t uberculosis in Kigali, Rwanda. Impact of human immunodef iciency virus inf ect ion on clinical and radiographic presentation. Am Rev Respir Dis, 7. Hirsch HH, Kaufmann G , Sendi P . Immune reconstitution in HIV-infected patients. Clin Infect Dis2004; 38(8):p.1159-66. 8. Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T . HIV-T B co-infection: E pidemiology, diagnosis & management. Indian J Med Res 2005; 121, pp 550-567 9. Nahid P ,P ai M, Hopewell P C. Advances in the diagnosis and treatment of tuberculosis. Proc Am T horac Soc 2006; 3(1): p.103-10. 10. Jasmer RM, Nahid P , Hopewell PC. Clinical practice. Latent tuberculosis infection. N E ngl JMed 2002; 347(23): p.1860-6. 11. Menzies D, P ai M, Comstock G . Meta-analysis: New ujits for the diagnosis of latent tuberculosis infection: Areas of uncertainty and recommendations for research. Ann Intern Med 2007; 146(5): p. 340-54. 12. Mazurek GH, Jereb J, Lobue P . Guidelines for using the QuantiFE RON-T B Gold ujit for detecting Mycobacterium tuberculosis infection, United Stauji. MMWRRecomm Rep 2005; 54(RR-15):p.49-55. 13. Brock I, Ruhwald M, Lundgren L. Latent tuberculosis in HIV posit ive, diagnosed by the M. tuberculosis specific interferon-gamma ujit . Respir Res 2006; p.1;7:56. 14. Pai M, Lewinsohn DM. Interferon-gamma assays for tuberculosis: is anergy the Achillesheel?Am J Respir Crit Care Med 2005; 172(5):p.519-21. 15. Luetkemeyer AF , Charlebois E D, Flores LL. Comparison of an interferon-gamma release assay with tuberculin skin ujiting in HIV-infected individuals. Am J Respir Crit Care Med 2007; 175(7): p.737-42. 16. Artenstein AW, Kim JH, Williams WJ. Isolated peripheral tuberculous lymphadenitis in adults: current clinical and diagnostic issues. Clin Infect Dis 1995; 20(4): p.876-82. 17. Kevin C, Kimberly D, McCarthy MM, Charles M. An Algorithm for T uberculosis S creening and Diagnosis in P eople with HIV. N E ngl J Med 2010;362:707-16. 18. Kebijakan Nasional Kolaborasi TB HIV. edisi pertama, Departemen Kesehatan RI, 2007. 19. Improving the diagnosis and treatment of smear-negative pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adult and adolecent. WHO recomendation 2006.

29

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

TUBERK ULOSIS NOSOKOMIAL Amir L uthfi, Sardikin Giri Putro


Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS P ersahabatan, Jakarta PENDAHULUAN
T uberkulosis (T B) tetap menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Saat ini T B merupakan masalah kesehatan di dunia dan penyebab utama kematian di negara berkembang. Di Indonesia sendiri TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat, ditunjang oleh beberapa fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan pasien T B terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina. Hasil Survei Kesehatan Rumah T angga (SKRT ) menunjukkan bahwa penyakit T B merupakan penyebab kematian nomor 5 setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas pada semua kelompok usia dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi.1 Risiko penularan T B diantara petugas kesehatan cukup tinggi sebelum era antibiotika tetapi menurun dengan cepat setelah tahun 1950 dikarenakan menurunnya insidens penyakit dalam populasi dan terdapatnya terapi yang efektif. P erubahan ini berakibat pada kurangnya pengawasan infeksi di rumah sakit. Zat yang terhirup di tempat kerja terutama di rumah sakit dapat menjadi penyebab penyakit paru kronik. Dokter, perawat, petugas laboratorium, bahkan petugas kebersihan di rumah sakit yang menangani penderita T B merupakan kelompok risiko tinggi. Untuk petugaskesehatan saat ini T B merupakan penyakit akibat kerja. Identifikasi pengaruh kerja terhadap suatu penyakit penting dilakukan sebagai dasar pengobatan, pencegahan dan kelangsungan pekerjaan.1,15 Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobact erium tuberculosis (M. tb) dan menyerang organ pernapasan walaupun dapat mengenai organ lain.2 Sejak meluasnya penyakit human immunodeficiency virus (HIV) dan pertambahan kasus T B kebal obat (MDR-T B), masalah T B yang sebelumnya telah teratasi kembali mencuat, sehingga pengawasan dan pemberantasan penyakit ini menjadi bertambah rumit.3 Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai T B nosokomial. P enularan T B nosokomial dapat dicegah dengan cara menerapkan pengendalian infeksi yang efektif. Center for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan tindakan pencegahan penularan berupa pengontrolan administratif, teknik dan alat pelindung pernapasan. T atalaksana pemberantasan T B dapat dilakukan dengan berbagai cara dan hal ini telah berhasil dilakukan di beberapa negara maju.4

PENULARAN TUBERKULOSIS
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang hidup sebagai parasit intraselular dan berkembang biak di dalam tubuh. P enularannya dapat terjadi dari penderita ke orang lain melalui percik renik. P ercik renik berdiameter 15 m yang terhisap dan menginfeksi paru. P ercik renik di keluarkan oleh penderita sebagai sumber infeksi pada saat bicara atau batuk dan menular ke orang lain saat terjadi kontak dan dapat bertahan di udara selama berjam-jam bahkan beberapa hari sampai akhirnya ditiup angin. Infeksi t erjadi apabila orang menghirup percik renik yang mengandung M. tb. Gejala penyakit timbul beberapa saat setelah infeksi dan pada umumnya respons imun terbentuk dalam 212 minggu setelah infeksi.4,5 Keadaan lingkungan, ventilasi udara di ruangan, lama pajanan, jumlah percik renik, ukuran dan konsentrasi kuman mempengaruhi proses infeksi M. tb. Kondisi penderita T B yang dapat menimbulkan risiko penularan antara lain terdapatnya T B paru, batuk produktif, sputum basil tahan asam (BT A) positif, tampak kavitas pada foto toraks, saat batuk atau bersin tidak menutup hidung atau mulut, terapi antiT B yang tidak tepat dan teratur, serta menjalani prosedur yang menginduksi batuk seperti induksi batuk, bronkoskopi dan suction.1,6 T uberkulosis dimulai dari infeksi primer yang sering tidak menimbulkan gejala dan kemudian dapat sembuh sendiri sehingga uji tuberkulin berubah dari negatif menjadi positif.7

TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT


P enularan T B di rumah sakit berkaitan erat dengan kejadian luar biasa di daerah tersebut.8 Terapi T B dapat diberikan dengan rawat jalan, tetapi terdapat kemungkinan penderita memerlukan perawatan di rumah sakit akibat beratnya penyakit, efek samping obat, penyakit penyerta

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

30

dan indikasi lainnya.9 T ahun 1990 terjadi kejadian luar biasa tuberkulosis di beberapa rumah sakit di Amerika. P engaturan aliran udara di ruangan yang kurang baik, pembuangan udara t idak adekuat dan penggunaan ulang sirkulasi udara merupakan faktor yang ikut mempengaruhi kejadian tersebut.10 P etugas kesehatan dengan angka kesakitan T B yang termasuk kelompok risiko tinggi adalah dokter, perawat, petugas laboratorium, penata radiologi dan fisioterapis. P etugas kesehatan yang bertugas di bagian bronkoskopi, intubasi endotrakea, penyedotan lendir di ruang rawat, irigasi abses, induksi sputum, otopsi, inhalasi dan prosedur lainnya yang dapat menginduksi batuk juga berisiko tinggi untuk terjadi penularan nosokomial. Beberapa faktor lainnya yang dapat meningkatkan risiko penularan diantaranya adalah frekuensi kontak langsung dengan pasien T B, masa kerja dan kontak dengan penderita yang belum terdiagnosis dan belum diobati.6
T abel 1. Risiko kesakitan T B pada kelompok pekerjaan
Kelompok pekerjaan Bidang kesehatan - Dokter - Petugas register - Perawat inhalasi - Petugas laboratorium - Perawat - Pekarya, pembantu perawat Pekerjaan yang berhubungan dengan binatang Pelayanan makanan Pekerjaan yang berhubungan dengan debu Pekerjaan yang berhubungan dengan anak-anak, sekolah Pelayananan masyarakat Kasus Kasus MR T eramati Diharapkan S 321 20 68 7 15 26 150 565 336,1 50,9 56,2 2,4 16,8 24,1 115,7 253,5 1,0 0,4 1,2 2,9 0,9 1,1 1,3 2,2

sebesar kurang lebih 1%. P erubahan konversi uji tuberkulin berhubungan secara bermakna dengan pekerjaan sebagai petugaspatologi dan ini merupakan indikator keterlambatan diagnosis penderita dengan T B selain akibat pengaturan udara ruangan yang kurang baik. T ingkat risiko penularan infeksi M. tb petugas laboratorium hampir sama dengan klinisi karena bahan pemeriksaan diambil dari penderita T B yang belum terdiagnosis. Sembilan dari 52 penderita yang meninggal akibat T B baru dapat didiagnosis saat dilakukan otopsi.12 P asien yang dirawat dengan indikasi yang tidak tepat, ruang perawatan yang tidak sesuai standar, petugas kesehatan yang bekerja di tempat yang tidak mempunyai fasilitaspengendalian infeksi, meningkatkan risiko penularan untuk petugas dan penderita itu sendiri.4 PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN TATALAKSANA P encegahan T B nosokomial merupakan hal yang paling pent ing.7 Risiko penularan dapat dikurangi dengan pencegahan terhadap prosedur kerja dan pengawasan peralatan yang berpot ensi sebagai media penularan, walaupun proses penularan masih dapat terus terjadi.12 P encegahan dimulai dari pemeriksaan terhadap pekerja yang akan diterima sebagai pegawai ataupun selama bekerja meliputi riwayat T B sebelumnya, riwayat vaksinasi BCG, gejala-gejala T B, jaringan parut BCG, uji tuberkulin dan foto toraks (Gambar 1). P egawai yang tidak menunjukkan gejala dan tanda tetapi memiliki uji tuberkulin positif harus dijelaskan bahwa sebelumnya sudah terpajan M. tb dan disarankan secepatnya melapor bila timbul gejala.9 P encegahan agar tidak terjadi infeksi adalah vaksinasi dan memperbaiki sirkulasi udara sedangkan untuk tenaga medis yang sudah terinfeksi adalah mempertahankan daya tahan tubuh dan penatalaksanaan pada infeksi lat en. Sejumlah kuman M. tb tetap dorman dan bertahan hingga berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, keadaan ini disebut dengan infeksi laten. Seseorang dengan infeksi laten tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak menjadi sumber penularan. Diagnosis TB yang t epat dan cepat sangat diperlukan karena penderita yang belum terdiagnosis atau terjadi kesalahan diagnosis maka konsekuensinya akan terjadi penularan.13 P engendalian infeksi T B bertujuan untuk deteksi dini penderita T B, memberi pengobatan dan mencegah orang lain untuk terinfeksi T B. P engendalian infeksi merupakan langkah khusus yang bertujuan untuk mengurangi penularan M.TB. T erdapat 3 langkah pengendalian infeksi meliputi :4 1. P engaturan administratif bertujuan untuk mengurangi pajanan petugas kesehatan dan penderita dengan M. tb.

(IK 95%)
(0,9-1,1) (0,2-0,6) (0,9-1,5) (1,2-6,0) (0,5-1,5) (0,7-1,6) (1,1-1,5) (2,0-2,4)

455 52

368,0 51,8

1,2 1,0

(1,1-1,4) (0,8-1,3)

92

254,7

0,4

(0,3-0,4)

113

154,4

0,7

(0,6-0,9)

Dikutip dari (11)

P etugas laboratorium mikrobiologi memiliki risiko penularan infeksi M. tb cukup t inggi walaupun tidak berhubungan langsung dengan pasien karena seringkali pet ugas t idak menget ahui bahan yang diperiksa mengandung M. tb. T iga belas persen petugas laboratorium mengalami perubahan uji tuberkulin menjadi positif setelah bekerja 14,5 tahun atau setiap tahunnya risiko penularan

31

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

2. Pengat uran lingkungan bert ujuan mengurangi konsentrasi percik renik yang infeksius. 3. P erlindungan pernapasan petugas kesehatan pada daerah dengan konsentrasi percik renik yang tidak dapat diatasi dengan kontrol administratif dan lingkungan. P emutusan rantai penularan di rumah sakit harus dilakukan dengan pemakaian perlengkapan pelindung, fasilitas dan peralatan khusus terutama di ruang isolasi.8 Diagnosis yang cepat dan akurat dapat mencegah penyebaran lebih luas. P etugaskesehatan yang baru diangkat harus diperiksa kemungkinan menderita T B, pemeriksaan secara berkala dilakukan minimal sekali setahun untuk tenaga lama atau saat timbul gejala penularan T B.4P etugaskesehatan dengan uji tuberkulin negatif harus dilakukan vaksinasi BCG. Risiko T B pada pekerja yang terpajan oleh penderita T B lebih tinggi pada orang dengan uji tuberkulin negatif dibandingkan pada orang yang memiliki uji tuberkulin positif. Vaksinasi BCGdapat mengurangi risiko penyakit T B tetapi hal ini tidak terjadi di semua tempat.7 P emberian INH profilaksis kurang disetujui dan hanya digunakan pada keadaan tertentu.6,8
Anamnesis sebelum penerimaan pekerja

P ada ruang rawat jalan, pasien dengan batuk produktif dan dicurigai menderita TB tidak dibenarkan ikut antrian dengan pasien lainnya dan sebaiknya dilayani lebih dahulu. P asien tersangka T B diajarkan untuk tata cara batuk yang benar dan diberi masker atau tisu untuk menutup mulut dan hidung ketika batuk kemudian harus ditempatkan di ruang tunggu khusus dengan ventilasi yang baik.4,6,14 P erlu juga wadah khusus yang sudah diberi desinfektan untuk menampung dahak yang dibatukkan pasien. Masker dapat menghalangi penyebaran partikel yang mengandung T . tb yang bersumber dari mulut atau hidung pasien. T empat sampah harus tersedia untuk membuang masker dan tisu bekas pasien.4 Antara ruang rawat penderita T B dengan ruang rawat penderita nonT B harus dibedakan, terutama ruang rawat penderita risiko tinggi seperti anak kecil atau keadaan imunosupresi. Sebaiknya kedua ruang perawatan ini berada pada bangunan yang berbeda dengan ventilasi yang baik. P asien T B yang harus dirawat diupayakan lama perawatan secepat mungkin untuk mencegah penyebaran infeksi nosokomial. P asien MDR-T B dirawat di ruang isolasi sehingga kontak antar penderita dapat diminimalkan.1,6 Jendela dan pintu harus diatur supaya selalu terbuka sehingga udara dapat mengalir sert a penggunaan kipas angin untuk mengatur aliran udara merupakan cara sederhana untuk pengaturan ventilasi. Udara bersih yang masuk ke ruangan dapat mengencerkan konsentrasi percik renik di udara. P engaturan ventilasi ruang rawat inap, ruang pemeriksaan dan ruang tunggu di pelayanan rawat jalan harus baik (Gambar 1-3).4,6,15

C uriga ya Pem. Fisis tidak Normal ya tidak Bekerja dgn pasien atau spesimen ya Parut BC G tidak ya tidak

Ruang Periksa Uji tuberkulin

Pintu

Kantor

Area Terbuka

ya Derajat 0/1

tidak Ruang Tunggu C uriga Sisi C Sisi A

tidak

ya Pem. Fisis Apotik Pintu Pintu Sisi B Rencana Tampilan Dinding dengan daerah atas terbuka

ya

tidak Normal

Klinik

T anpa

BC G

Penyuluhan

Klinik

Gambar 2. Pengaturan ventilasi ruang tunggu di pelayanan rawat jalan Dikutip dari (4)

Gambar 1. Alur pemeriksaan T B pada pekerja. Dikutip dari (13)

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

32

Jendela Terbuka Jendela terbuka Aliran udara Tempat Tidur

arah ventilasi alami atau ruang kerja yang tidak benar


Angin Angin Angin Buruk

arah ventilasi alami atau ruang kerja yang benar


Angin Angin
Pengaturan yang baik

Angin

Pintu

Aliran udara dari bawah pintu Ruang Pendingin

AC
Aliran udara masuk

Aliran udara masuk

Tempat Tidur Pintu Aliran udara Aliran udara dari bawah pintu: tekanan negatif yang berhubungan dengan koridor

Gambar 3. Pengaturan ventilasi di ruang rawat inap, A.Ventilasi alamiah, B.Ventilasi tekanan negatif Dikutip dari (4)

Bahan pemeriksaan yang berasal dari pasien harus dipersiapkan secara baik dan aman pada saat pemeriksaan, pengepakan dan penyimpanan untuk mencegah penularan T B di antara pekerja laboratorium.7 P engambilan dahak dilakukan di area atau ruangan terbuka dan jauh dari banyak orang sebaiknya tidak di dalam ruangan kecil atau ruang tertutup namun bila tidak memungkinkan pengambilan dahak dapat dilakukan di ruang berventilasi dengan risiko pajanan yang rendah terhadap petugas dan pasien. Induksi sputum, terapi inhalasi dan tindakan bronkoskopi merupakan t imdakan yang dapat menimbulkan bat uk sehingga meningkatkan risiko penularan M. tb. T indakan ini sebaiknya dilakukan secara hati-hati di ruangan berventilasi dan petugas kesehatan menggunakan perlindungan masker yang direkomendasikan yaitu masker N-95.4,6 T erdapat 2 jenis masker, yaitu masker bedah dan respirator (Gambar 5). Masker bedah terbuat dari kertas at au kain yang t idak dapat mencegah penyebaran mikroorganisme dari pemakainya karena hanya menangkap partikel basah berukuran besar disekitar hidung atau mulut dan tidak melindungi pemakainya dari terhirupnya percik renik di udara, namun pemakaian masker bedah dapat mengurangi percik renik atau aerosol yang berasal dari penderita T B yang infeksius. Masker ini digunakan pada penderita T B pada saat meninggalkan ruang isolasi ke tempat pemeriksaan lainnya di rumah sakit. Masker bedah tidak melindungi tenaga kesehatan maupun pasien dari resiko t erhirupnya M.t b karena masker mempunyai keterbatasan kemampuan filtrasi dan terdapat celah disekitar hidung dan mulut yang memungkinkan aerosol M. Tb t et ap masuk. Respirat or dapat memberikan perlindungan lebih baik daripada masker bedah.6,15

Apabila ventilasi alamiah tidak tersedia atau tidak adekuat , vent ilasi mekanis dapat digunakan unt uk mengurangi konsentrasi percik renik di ruang fasilitas kesehatan. S umber energi bersumber dari sistem pompa yang kuat diperlukan untuk mengalirkan udara bersih ke dalam ruangan, menarik atau mengeluarkan kembali udara tersebut ke luar gedung. Aliran udara harus melintasi ruangan yaitu dari pintu ke jendela atau ventilasi didepannya bukan masuk dan ke luar dari jendela yang sama agar percik renik yang dibatukkan dapat dialirkan keluar (Gambar 3). Arah aliran udara diatur agar mengalir dari udara bersih, melewati petugas kesehat an kemudian melewat i pasien sampai akhirnya keluar ruangan kembali. S umber udara bersih harus t erhindar dari daerah pembuangan agar udara yang terkontaminasi tidak masuk kembali ke ruangan (Gambar 4).
arah ventilasi alami atau ruang kerja yang benar arah ventilasi alami atau ruang kerja yang benar
Angin Angin Baik Angin

Pintu

Jendela

Gambar 5. Respirator (kiri) dan masker (kanan)


Dikutip dari (16)

33

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Respirator adalah alat perlindungan dari percik renik M. T b dengan kemampuan menyaring partikel berukuran 1. Alat ini pas pada wajah dan mencegah kebocoran dari bagian pinggir tetapi apabila posisi pemakaian tidak tepat, percik renik yang terinfeksius tetap akan masuk ke saluran napas. Jenis yang direkomendasikan adalah respirator dengan kemampuan filtrasi 95% terhadap partikel berukuran 0,3. Janggut dapat menghalangi pemakaian respirator yang pas di wajah sehingga menyebabkan kebocoran.6,15 Pet ugas kesehat an dengan keadaan imunokompromais yang menghadapi pasien T B atau MDRT B harus mendapat pengawasan khususagar tidak terpajan, terutama petugasyang mempunyai keluhan respirasi. P etugas ini sebaiknya ditugaskan di tempat dengan risiko pajanan M. tb yang rendah. P etugas yang menderita TB harus segera diterapi dan untuk sementara dinonaktifkan sampai terbukti tidak menjadi sumber penularan atau sputum BT A negatif. P ernah dilaporkan suatu outbreak MDR-T B pada penderita dan petugas kesehatan dengan kondisi imunokompromais akibat kontak dengan penderita MDR-T B yang infeksius.6,14

2. Lingkungan rumah sakit dan pekerja it u sendiri mempengaruhi penularan tuberkulosisnosokomial. 3. P engendalian dan pencegahan infeksi T B adalah deteksi dini penderita T B, pemberian pengobatan antituberkulosis dan mencegah penularan. 4. Risiko penularan nosokomial tuberkulosisdapat dikurangi dan dicegah dengan pengendalian infeksi, diagnosisdini, pemberian t erapi secepat nya pada penderit a TB, perlindungan dan prosedur kerja yang baik. 5. P engobatan T B pada tempat kerja tidak berbeda dengan pengobatan yang biasanya tetapi perlu diperhatikan juga penyakit penyerta.

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. P edoman nasional : P enanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2. Jakarta: Depkes RI;2008.hal.8-14 2. Frieden T R, Sterling T R, Munsiff SS, Watt CJ, Dye C. T uberculosis. Lancet. 2003; 362:887-99. 3. Dye C, Scheele S, Dolin P ,P athana V, Raviglione MC. G lobal burden of tuberculosis. JAMA. 1999;282:677-86. 4. World Health Organization. Guidelines for prevention of tuberculosis in health care facilities in resource-limited settings.Geneva,Switzerland:WHO .1999.(cited 2011 September 5);Available from: http://whqlibdoc.who.int/ hq/1999/WHO_TB_99.269.pdf 5. Glassroth J. Tuberculosis. In: Niederman MS, Sarosi GA, Glassroth J, editors. Respiratory infections, 2nd edition. P hiladelphia: Lippincott William& Wilkins; 2001.p.475-86. 6. Jensen PA, Lambert LA, Iadermarco MF , Ridzon R. Guidelines f or prevent ing t he t ransmission of Mycobacterium tuberculosisin health-care setting, 2005. MMWR Recomm Rep.2005;54:1-141. 7. Burge PS. Tuberculosis. In: Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorders of the lung. Recognition, management and prevention. London: WB Saunders;2002.p.257-63. 8. Comstock GW. Occupation and tuberculosis: Question t hat need answer. Am J Respir Crit Care Med.1996;154:553-4. 9. Joint T uberculosis Committee of the British T horacic Society. Control and prevention of tuberculosis in the Unit ed Kingdom: Code of pract ice 2000. T horax.2000;55:887-901. 10. Menzies D, Fanning A, Y uan L, Fitzgerald JM. Hospital ventilation and risk for tuberculosisinfection in Canadian health care workers. Ann Intern Med.2000;133:779-89.

Gambar 6. Masker N-95


Dikutip dari (16)

Tenaga medis yang t erkena TB di rumah sakit diberikan pengobatan yang tidak berbeda dengan penderita T B lainnya. Daerah dengan kejadian MDR-T B yang cukup tinggi maka penggunaan obat antituberkulosis (O AT ) sangat ditekankan untuk menggunakan obat yang masih sensitif berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi obat. T enaga medis dengan T B yang mendapat pengobatan adekuat tidak akan menularkan ke pekerja lain setelah pengobatan beberapa minggu dan bila pengobatan yang dijalani secara lengkap akan mengalami penyembuhan dan mencegah MDR-TB.6,9

KESIMPULAN
1. T uberkulosis adalah salah satu masalah kesehatan di tempat kerja khususnya di rumah sakit, munculnya epidemi HIVdan MDRT B menyebabkan kasus ini muncul kembali.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

34

11. McKenna MT , Hutton Marry, Cauthen G, Onorato. T he association between occupation and tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med.1996;154:587-93. 12.Menzies D, Fanning A, Y uan L, FitzGerald JM. Factors associated with tuberculin conversion in Canadian microbiology and pathology workers. Am J Respir Crit Care Med.2003;167:599-602. 13.Raitio M, T ala E .T uberculosisamong health care workers during three recent decades. E ur Respir J. 2000;15:3047. 14.Bock NN, Jensen AP , Miller B, Nardel E .T uberculosis infection control in resources-limited setting in the era of expanding HIV care and treatment. T he Journal of Infectious Diseases.2007;196:S10813 15.Departemnt of Health and Human Services. Center for Disease Control and Prevention. T B facts for health care workers 2006. Georgia. Atlanta.2006.(cited 2011 September 8); Available from: URL:http:// www.tpchd.org/files/library/9638ba2e8c3a090c.pdf. 16.Niosh Approved N95 P articulate Filtering Facepiece Respirators.(cited 2011 September 5);Available from: URL:http://www.cdc.gov/niosh/npptl/topics/ respirators/disp_part.html

35

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

You might also like