You are on page 1of 12

Cara merubah Sampah Menjadi Energi Listrik Sampah memang menjadi masalah di kota - besar di seluruh dunia.

Khususnya di indonesia seperti menumpuknya sampah dijalan jalan protokol kota bandung. Belum lagi konflik antara pemerintah dengan warga masyarakat yang lokasinya menjadi tempat pembuangan akhir (TPA). Di negara negara maju seperti Denmark, Swis, Amerika dan Prancis. Mereka telah memaksimalkan proses pengolahan sampah. Tidak hanya mengatasi bau busuk saja tapi sudah merobah sampah - sampah ini menjadi energi listrik. Khusus di Denmark 54 % sampah di robah menjadi energi listrik. Teknologi pengolahan sampah ini untuk menjadi energi listrik pada prinsinya sangat sederhana sekali yaitu:

Sampah di bakar sehingga menghasilkan panas (proses konversi thermal) Panas dari hasil pembakaran dimanfaatkan untuk merubah air menjadi uap dengan bantuan boiler Uap bertekanan tinggi digunakan untuk memutar bilah turbin Turbin dihubungkan ke generator dengan bantuan poros Generator menghasilkan listrik dan listrik dialirkan kerumah - rumah atau ke pabrik.

Proses Konversi Thermal Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi. Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Pembangkit listrik tenaga sampah yang banyak digunakan saat ini menggunakan proses insenerasi salah satu contohnya adalah lihat diagram disamping. Sampah dibongkar dari truk pengakut sampah dan diumpankan ke inserator. Didalam inserator sampah dibakar. Panas yang dihasilkan dari hasil pembakaran digunakan untuk merubah air menjadi uap bertekanan tinggi. Uap dari boiler langsung ke turbin Sisa pembakaran seperti debu diproses lebih lanjut agar tidak mencemari lingkungan (truk mengangkut sisa proses pembakaran). Teknologi pengolahan sampah ini memang lebih menguntungkan dari pembangkit listrik lainnya. Sebagai ilustrasi : 100.000 ton sampah sebanding dengan 10.000 ton batu bara. Selain mengatasi masalah polusi bisa juga untuk menghasilkan energi berbahan bahan bakar gratis juga bisa menghemat devisa. (pakarbisnisonline.blogspot.com/ humasristek)

sampah jadi Listrik?? PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) PLTSa adalah pembangkit listrik tenaga sampah, sistem kerjanya dengan mengkonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas. Pada kedua proses tersebut, hasil proses dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik. Perbedaan mendasar di antara keduanya ialah proses biologis menghasilkan gas-bio yang menghasilkan tenaga yang akan menggerakkan motor yang dihubungkan dengan generator listrik sedangkan proses thermal menghasilkan panas yang dapat digunakan untuk membangkitkan steam yang kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang dihubungkan dengan

generator listrik. Salah satu PLTSa di Indonesia adalah PLTSa Gedebage di Bandung Timur. Hal-hal yang berkaitan dengan Rekayasa Termal pada PLTSa ini adalah sebagai berikut: INPUT Sampah dengan komposisi: 42 % berupa sampah organic, 27% sisa makanan, 9% plastic yang dapat didaur ulang, 5% sampah tekstil, 3% samaph dari karet, dan 14% bahan lain. Tetapi dengan pengecualian, limabah kimia, potongan beton, bahan yang dapat meledak, tepung halus, cairan yang mudah terbakar, limbah medis dan sisa pengolahan limbah cair. PROSES Proses Konversi Thermal Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi. Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Apabila berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H dan C) dalam sampah akan dikonversi menjadi gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O). Unsur-unsur penyusun sampah lainnya seperti belerang (S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi oksidaoksida dalam fasa gas (SOx, NOx) yang terbawa di gas produk. Pirolisa merupakan proses konversi bahan organik padat melalui pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Dengan adanya proses pemanasan dengan temperatur tinggi, molekul-molekul organik yang berukuran besar akan terurai menjadi molekul organik yang kecil dan lebih sederhana. Hasil pirolisa dapat berupa tar, larutan asam asetat, methanol, padatan char, dan produk gas. Gasifikasi merupakan proses konversi termokimia padatan organik menjadi gas. Gasifikasi melibatkan proses perengkahan dan pembakaran tidak sempurna pada temperatur yang relatif tinggi (sekitar 900-11000C). Seperti halnya pirolisa, proses gasifikasi menghasilkan gas yang dapat dibakar dengan nilai kalor 4000 kJ/Nm3. Proses Konversi Biologis Proses konversi biologis dapat dicapai dengan cara digestion secara anaerobik (biogas) atau tanah urug (landfill). Biogas adalah teknologi konversi biomassa (sampah) menjadi gas dengan bantuan mikroba anaerob. Proses biogas menghasilkan gas yang kaya akan methane dan slurry. Gas methane dapat digunakan untuk berbagai sistem pembangkitan energi sedangkan slurry dapat digunakan sebagai kompos. Produk dari digester tersebut berupa gas methane yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 6500 kJ/Nm3. Landfill ialah pengelolaan sampah dengan cara menimbunnya di dalam tanah. Di dalam lahan landfill, limbah organik akan didekomposisi oleh mikroba dalam tanah menjadi senyawa-senyawa gas dan cair. Senyawa-senyawa ini berinteraksi dengan air yang dikandung oleh limbah dan air hujan yang masuk ke dalam tanah dan membentuk bahan cair yang disebut lindi (leachate). Aktifias mikroba dalam landfill menghasilkan gas CH4 dan CO2 (pada tahap awal proses aerobik) dan menghasilkan gas methane (pada proses anaerobiknya). Gas landfill tersebut mempunyai nilai kalor sekitar 450540 Btu/scf. Sistem pengambilan gas hasil biasanya terdiri dari sejumlah sumur-sumur dalam pipa-pipa yang dipasang lateral dan dihubungkan dengan pompa vakum sentral. Selain itu terdapat juga sistem pengambilan gas dengan pompa desentralisasi. Jadi secara sederhana proses pengolahan sampah menjadi listrik dapat diuraikan sebagai berikut: Sampah di bakar sehingga menghasilkan panas (proses konversi thermal). Panas dari hasil pembakaran dimanfaatkan untuk merubah air menjadi uap dengan bantuan boiler. Uap bertekanan tinggi digunakan untuk memutar bilah turbin. Turbin dihubungkan ke generator dengan bantuan poros. Generator menghasilkan listrik dan listrik dialirkan kerumah rumah atau ke pabrik. EKONOMISER dan RE-INPUT Sampah yang datang akan diturunkan kadar airnya dengan jalan ditiriskan dalam bunker selama 5 hari. Setelah itu sampah tersebut diproses dengan konversi termal dengan syarat kadar air berkurang tinggal 45%, sampah akan dimasukan ke dalam tungku pembakaran, kemudian dibakar pada suhu 850 - 9000C , pembakaran yang menghasilkan panas ini akan memanaskan boiler dan mengubah air didalam boiler menjadi uap. Uap yang tercipta akan disalurkan ke turbin uap sehingga turbin akan berputar.Karena turbin dihubungkan dengan generator maka ketika turbin berputar generator juga akan berputar. Generator yang berputar akan mengahsilkan tenaga listrik yang akan disalurkan ke jaringan listrik milik PLN. Uap yang melewati turbin akan kehilangan panas dan disalurkan ke boiler lagi untuk dipanaskan , demikian seterusnya. Sedangkan bila konversi gas-bio, prosesnya menghasilkan gas

kaya methane dan slurry. Gas methane ini sebagai tenaga yang akan menggerakkan motor yang dihubungkan dengan generator listrik, untuk slurry dapat digunakan sebagai kompos. MANFAAT KELUARAN -POSITIF Mampu menangani tumpukan sampah di TPA yang sudah penuh. Diperkirakan dari 500 - 700 ton sampah atau 2.000 -3.000 m3 sampah per hari akan menghasilkan listrik dengan kekuatan 7 Megawatt. Memperkecil volume sampah kiriman. Limbah padat dari hasil pembakaran, yang berupa debu terbang dan abu digunakan sebagai bahan banguann seperti batako. -NEGATIF Polusi udara, melalui air dan udara. Proses pembakaran meningkatkan kadar emisi CO2 dan metan yang berbahaya bagi tubuh dan berakibat pemanasan global. Hasil oksidasi yang terjadi, abu terbangnya berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia, spserti pernapasan, hipertensi, ginjal, system saraf pusat, reduksi penglihatan, sensori, pendengaran dan koordinasi tubuh, menurunkan taraf kecerdasandan menyebabkan perilaku abnormal pada anak.

~ Energi Dari Sampah Sampah, Energi atau Kompos? SAMPAH memang mengandung energi. Pada sampah organik berupa sisa tumbuhan, energi itu berasal dari matahari yang ditangkap oleh tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis. Sampah organik berupa plastik mengandung energi yang berasal dari bahan bakar minyak, batu bara dan gas yang digunakan dalam proses sintesis zat kimia sederhana menjadi zat kimia yang kompleks. Energi dalam sampah organik, baik yang berupa sisa tumbuhan, maupun sisa bahan berupa zat kimia sintetik dapat dibebaskan lagi dengan pembakaran. Energi yang dibebaskan itu dapat digunakan untuk memanaskan air dalam boiler dan uap yang terbentuk digunakan untuk memutar turbin pembangkit listrik. Terjadilah konversi sampah jadi energi (waste-to-energy). Pada prinsipnya sampah itu digunakan sebagai bahan bakar pengganti BBM, gas atau batubara. Dari segi lingkungan hidup ada dua pertanyaan yang harus dijawab, yaitu pertama berapakah energi netto yang kita dapat dan kedua, pencemaran apa yang terjadi dan berapa banyaknya. Energi neto ialah banyaknya energi listrik yang didapatkan dikurangi dengan energi yang dikeluarkan untuk membangkitkan energi itu. Dalam hal sampah-jadi-energi energi yang dikeluarkan ialah pertama untuk transpor sampah dari rumah tangga ke TPS dan TPA serta untuk operasi alat-alat berat di TPA. Energi itu berasal dari BBM. Makin jauh letak TPA dari kota, makin besar pula energi yang harus dikeluarkan untuk transpor. Penggunaan energi besar yang kedua ialah untuk membakar sampah. Penggunaan energi ini berkaitan dengan pengendalian pencemaran. Makin tinggi suhu yang digunakan, makin sempurna, pembakaran sehingga makin banyak karbon yang dibakar menjadi CO2. Misalnya, dioksin, sebuah racun yang sangat berbahaya terjadi dalam proses pembakaran bahan yang mengandung klor (Cl) atau brom (Br), jika suhu pembakaran kurang dari 600 derajat Celsius. Banyak literatur yang menyebutkan suhu minimal harus 800 derajat Celsius untuk menghindari terjadinya dioksin. Padahal makin tinggi suhu yang ingin dicapai, makin banyak energi yang diperlukan. Dengan lain perkataan makin tinggi suhu yang digunakan, makin kecil energi netto yang kita dapatkan. Para penggagas proses sampah-jadienergi harus menjawab pertanyaan berapa besar energi netto tersebut dan mengomunikasikannya kepada masyarakat.

Semua pembakaran menghasilkan zat pencemar, misalnya abu (bottom ash dan fly ash), hidrokarbon, CO2, CO, senyawa nitrogen dan senyawa belerang. Beberapa zat pencemar sangat berbahaya, misalnya dioksin seperti disebut diatas dan beberapa zat yang bersifat karsinogenik. Instalasi sampah jadi energi harus berusaha untuk meminimalkan emisi zat pencemar, misalnya dengan filter untuk abu terbang dan suhu tinggi untuk mencegah terjadinya dioksin. Usaha itu tidaklah murah, tetapi merupakan keharusan. Pencemaran udara lainnya berasal dari truk pengangkut sampah. Armada truk sampah yang mondar-mandir tidaklah kecil. Jelas, pencemaran udara bukanlah masalah kecil, apalagi bagi Bandung yang terletak dalam sebuah cekungan yang menyebabkan pencemaran udara terperangkap dan sukar untuk disebarkan. Produksi CO2-pun harus diperhatikan, karena merupakan gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Walaupun sebagai negara sedang berkembang tidak diharuskan menurunkan emisi CO2-nya, Indonesia telah mengalami kerugian dari pemanasan global, antara lain, kenaikan frekuensi dan intensitas badai yang menyebabkan banjir dan longsor di beberapa tempat dan kenaikan permukaan laut yang menyebabkan kenaikan intensitas abrasi pantai. Pencemaran lain yang terjadi pada TPA dan kita abaikan ialah air lindi yang beracun. Dinas Pemda yang bertugas mengelola sampah dan TPA-nya belum pernah mengumumkan dampak air lindi pada air tanah kita. Pengukuran dan pelaporan pencemaran oleh air lindi TPA haruslah segera dilaksanakan, khususnya sumur penduduk di sekitar TPA. Jelaslah, usaha sampah jadi energi tidak hanya harus layak ekonomi, melainkan juga harus layak lingkungan hidup. Akan sangat ironislah, jika energi BBM yang harus dikeluarkan lebih besar daripada energi listrik yang didapatkan. Dalam hal ini jika seandainya proyek itu layak ekonomi, berarti kelayakan ekonomi itu bertumpu pada subsidi BBM. Karena itu jika energi nettonya negatif, haruslah proyek sampah jadi energi dinyatakan tidak layak (not feasible), meskipun dari segi ekonomi projek itu adalah layak. Juga akan ironis, jika pencemaran sampah diganti dengan pencemaran udara yang makin parah. Teknologi lain sampah-jadi-energi ialah dengan pembusukan sampah secara anaerobik untuk menghasilkan gas metan. Gas metan yang terbentuk dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik. Dalam proses ini metan diubah menjadi CO2 yang potensi pemanasan globalnya adalah 1/20 metan. Metan sampah untuk pembangkitan listrik telah dimanfaatkan oleh berbagai negara untuk berdagang karbon dalam kerangka Protokol Kyoto, misalnya Romania, Brasil, India dan Mesir. Mereka telah mengubah sampah mereka menjadi sumber dolar. Mengapa kita tidak? Kecuali mendapatkan dolar, keuntungannya ialah menghindari terjadinya pencemaran udara dari pembakaran sampah. Bagaimana dengan alternatif pengomposan sampah pada tingkat rumah tangga: sampah-jadi-kompos? Proses sampah-jadi-kompos merupakan usaha bersama kemasyarakatan. Biayanya murah. Tak perlu armada truk yang besar. Tak perlu pula lahan TPA yang luas, karena 50% sampah tidak keluar rumah tangga. Jika dilakukan dengan baik, prosesnya sangat ramah lingkungan hidup. Komposnya dapat digunakan untuk memupuk taman dan jalur hijau kota. Kita menghemat pupuk sintetis. Kendala utamanya ialah sosial, yaitu mengajak masyarakat untuk mau melakukan usaha sampah-jadi-kompos bergotong-royong. Ironisnya dari pengalaman di beberapa tempat yang telah melakukan usaha ini, kendala itu lebih besar pada keluarga lapisan menengah-atas daripada lapisan menengah-bawah. Alasannya, mereka sibuk dengan pekerjaan mereka dari pagi sampai malam dan mereka sudah membayar retribusi sampah. Mereka tidak mau bercermin pada masyarakat lapisan menengah-bawah yang harus melakukan hal yang sama. Ada semacam arogansi elite. Alternatif ketiga, yaitu pembakaran sampah secara sederhana haruslah segera dilarang, karena berbahaya bagi kesehatan kita. Nampaklah kedua alternatif, yaitu sampah-jadi-energi dan sampah-jadi-kompos, mempunyai kendala serius. Sampah jadi energi membutuhkan modal besar dan lahan TPA yang luas. Lahan itu makin sulit didapat, baik

karena memang makin sedikit lahan bebas yang dapat digunakan untuk TPA, maupun karena banyak penduduk yang menolak. Ditambah lagi oleh permainan para calo lahan. Lahan yang tersedia makin jauh letaknya dari kota. Dampak lingkungannya juga tak boleh diabaikan. Sebaliknya sampah-jadi-kompos kendala utamanya bukan modal. Bukan pula lahan TPA. Tetapi partisipasi masyarakat. Meskipun 50% sampah dapat dicegah keluar dari rumah tangga, jika yang ikut hanya 1% dari jumlah rumah tangga, jumlah 50% -- atau bahkan jika melibatkan para pemulung dapat sampai 90% -- dari 6.000 - 8.000 ton sampah per hari sangat tidak berarti, yaitu hanya 30-40 ton per hari yang tidak keluar dari rumah tangga. Saran saya ialah biar kedua usaha dilakukan oleh masing-masing pendukungnya. Keduanya harus memperhatikan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Keduanya harus pula terbuka pada kritik yang mambangun dan mau menerima kritik itu. Keduanya harus transparan. Tidak perlu kita menyikapinya secara kontroversial, apalagi dengan demonstrasi. Marilah kita berkompetisi untuk mendapatkan yang terbaik bagi Kota Bandung tercinta ini. Oleh OTTO SOEMARWOTO Penulis, guru besar emeritus.

PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH (PLTSA) Proses Kerja PLTsa terdapat dua macam yaitu: Proses pembakaran dan proses teknologi fermentasi metana Proses pembakaran PLTSa dengan proses pembakaran menggunakan proses konversi Thermal dalam mengolah sampah menjadi energi. Proses kerja tersebut dilakukan dalam beberapa tahap yaitu: Pemilahan dan Penyimpanan Sampah Limbah sampah kota yang berjumlah 500-700 ton akan dikumpulkan pada suatu tempat yang dinamakan Tempat Pengolahan Akhir (TPA). Pemilahan sampah sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan PLTSa. Sampah ini kemudian disimpan didalam bunker yang menggunakan teknologi RDF (Refused Derived Fuel).Teknologi RDF ini berguna dalam mengubah limbah sampah kota menjadi limbah padatan sehingga mempunyai nilai kalor yang tinggi. Penyimpanan dilakukan selama lima hari hingga kadar air tinggal 45 % yang kemudian dilanjutkan dengan pembakaran. Pembakaran Sampah Tungku PLTSa pada awal pengoperasiannya akan digunakan bahan bakar minyak. Setelah suhu mencapai 850oC 900oC, sampah akan dimasukkan dalam tungku pembakaran (insenerator) yang berjalan 7800 jam. Hasil pembakaran limbah sampah akan menghasilkan gas buangan yang mengandung CO, CO2, O2, NOx, dan Sox. Hanya saja, dalam proses tersebut juga terjadi penurunan kadar O2. Penurunan kadar O2 pada keluaran tungku bakar menyebabkan panas yang terbawa keluar menjadi berkurang dan hal tersebut sangat berpengaruh pada efisiensi pembangkit listrik. Pemanasan Boiler Panas yang dipakai dalam memanaskan boiler berasal dari pembakaran sampah. Panas ini akan memanaskan boiler dan mengubah air didalam boiler menjadi uap. Penggerakan Turbin dan Generator Serta Hasil. Uap yang tercipta akan disalurkan ke turbin uap sehingga turbin akan berputar. Karena turbin dihubungkan dengan generator maka ketika turbin berputar generator juga akan berputar. Generator yang berputar akan mengahsilkan tenaga listrik yang kan disalurkan ke jaringan listrik milik PLN. Dari proses diatas dengan jumlah sampah yang berkisar 500-700 ton tiap harinya dapat diolah menjadi sumber energi berupa listrik sebesar 7 Megawatt Teknologi Fermentasi Metana Pada tauhn 2002, di Jepang, telah dicanangkan biomass- strategi totalJepang sebagai kebijakan negara. Sebagai salah satu teknologi pemanfaatanbiomass sumber daya alam dapat diperbaharui yang dikembangkan di bawah motobendera ini, dikenal teknologi fermentasi gas

1.

a. 1) 2) 3)

4) b. 1) 2) 3)

c.

d.

2.

metana. Sampah dapur serta airseni, serta isi septic tank diolah dengan fermentasi gas metana dan diambilbio massnya untuk menghasilkan listrik, lebih lanjut panas yang ditimbulkan jugaturut dimanfaatkan. Sedangkan residunya dapat digunakan untuk pembuatan kompos. Karena sampah dapur mengandung air 7080%, sebelum dibakar, kandunganair tersebut perlu diuapkan. Di sini, dengan pembagian berdasarkan sumber penghasil sampah dapur serta fermentasi gas metana, dapat dihasilkan sumberenergi baru dan ditingkatkan efisiensi termal secara total. Pemanfaatan Gas dari Sampah untuk Pembangkit Listrik dengan teknologi fermentasi metana dilakukan dengan dengan metode sanitary landfill ya i t u , memanfaatkan gas yang dihasilkan dari sampah (gas sanitary landfill/LFG). Landfill Gas (LFG) adalah produk sampingan dari proses dekomposisi dari timbunan sampah yang terdiri dari unsur 50% metan (CH4), 50% karbon dioksida (CO2) dan <1% non-methane organic compound (NMOCs). LFG harus dikontrol dan dikelola dengan baik karena lanjut Beliau, jika hal tersebut tidak dilakukan dapat menimbulka smog (kabut gas beracun), pemanasan global dan kemungkinan terjadi ledakan gas, sistem sanitary landfill dilakukan dengan cara memasukkan sampah kedalam lubang selanjutnya diratakan dan dipadatkan kemudian ditutup dengan tanah yang gembur demikian seterusnya hingga menbentuk lapisan-lapisan. Untuk memanfatkan gas yang sudah terbentuk, proses selanjutnya adalah memasang pipa-pipa penyalur untuk mengeluarkan gas. Gas selanjutnya dialirkan menuju tabung pemurnian sebelum pada akhirnya dialirkan ke generator untuk memutar turbin. Dalam penerapan sistem sanitary landfill yang perlu diperhatikan adalah, luas area harus mencukupi, tanah untuk penutup harus gembur, permukaan tanah harus dalam dan agar ekonomis lokasi harus dekat dengan sampah sehingga biaya transportasi untuk mengangkut tanah tidak terlalu tinggi.

MENYELESAIKAN KRISIS LISTRIK, SAMPAH, DAN PENERANGAN DALAM SEBUAH SOLUSI Pengelolaan sampah dan penyediaan sumber energi listrik adalah 2 masalah utama bagi pemerintah saat ini. Pertumbuhan penduduk dan peningkatan konsumsi masyarakat membuat volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat semakin bertambah sehingga pemerintah memerlukan lokasi penampungan yang lebih besar dan lebih banyak dibanding sebelumnya. Faktor tersebut juga memacu peningkatan jumlah penggunaan energi listrik yang dibutuhkan masyarakat. Pemerintah dan pihak-pihak yang terkait telah melakukan berbagai upaya perbaikan dan penyelesaian untuk menangani masalah ini. Berbagai penemuan dan penelitian mengenai sumber energi listrik alternatif telah menyebabkan munculnya energi listrik alternatif dari berbagai sumber. Uniknya, salah satu solusi energi listrik alternatif tersebut berhasil menyelesaikan 2 masalah utama yang disebutkan diatas dengan menggunakan sampah sebagai sumber energi alternatif. Sumber energi listrik alternatif berbasis sampah tersebut mampu menghasilkan listrik dengan kapasitas hingga 50 MW untuk sekali proses pembangkitan. Berbagai negara, bahkan Indonesia pun, telah mengaplikasikan sumber energi listrik ini untuk memenuhi kebutuhan energi listrik. Penelitian dan pengembangannya pun terus diteliti dan dikembangkan oleh lembaga institusi maupun kelompok-kelompok riset. Hanya saja, solusi sumber energi listrik alternatif berbasis sampah tersebut tetap memiliki kelemahan yang masih menyulitkan pemerintah untuk menerapkannya secara massal. Masalah pertama adalah sumber sampah yang masih terbatas sehingga energi yang dihasilkanpun tidak mampu menjadi sustainable. Masalah kedua yang terjadi adalah limbah yang dibutuhkan untuk menghasillkan listrik dalam kapasitas tinggi membutuhkan volume yang sangat besar (50 ton sampah untuk 1 MW) akan menimbulkan bau yang menyebabkan masyarakat yang berada di sekitarnya merasa tidak nyaman. Masalah yang kedua merupakan masalah yang seringkali membuat pemerintah sulit untuk merealisasikan pembangkit listrik tenaga sampah dikarenakan penolakan yang dilakukan masyarakat yang tinggal di tempat tersebut. Hingga saat ini, belum ditemukan solusi dan metode yang dapat menangani masalah agar keberadaan pembangkit listrik tenaga sampah dapat diterima masyarakat. Berdasarkan kondisi yang disebutkan diatas, saya berhipotesis bahwa pembangkit listrik tenaga sampah belum bisa untuk diterapkan untuk didirikan di daerah perkotaan. Hipotesis ini mengarahkan saya untuk memiliki ide menggunakan pembangkit listrik tenaga sampah untuk masyarakat pedesaan yang berada di sekitar kota yang memiliki volume sampah yang banyak.

Agar ide pembangkit listrik tersebut dapat tepat guna bagi masyarakat pedesaan dan tidak menganggu lingkungan kehidupan masyarakat desa, maka saya menggunakan konsep pembangkit listrik tenaga sampah untuk digunakan pada penerangan jalan lintas desa ke kota, dan antar desa. Pembangkit ini membangkitkan listrik dengan kapasitas yang lebih rendah (ditargetkan sebesar 10 kW) sehingga memerlukan sampah dengan tingkat penggunaan tidak menganggu lingkungan masyarakat pedesaan (sekitar 500 kg sampah dalam 1 siklus pengolahan). Melalui ide ini saya berharap dapat memberikan solusi bagi jalan pedesaan yang masih banyak belum mendapatkan penerangan. Adanya penerangan diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat seperti peningkatan volume perdagangan antar desa, mengurangi tindak kriminalitas di jalan, memberikan akses perdagangan di sekitar jalan, mengurangi angka pengangguran bagi masyarakat desa, dan memberikan pasokan listrik bagi masyarakat pedesaan di sekitar jalan sembari menyelesaikan permasalahan sampah yang melanda masyarakat perkotaan. LANGKAH NYATA Sebagai negara dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta, Indonesia tergolong sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke empat di dunia. Jumlah penduduk yang banyak ini mengakibatkan pemerintah Indonesia harus mampu menyediakan pasokan listrik untuk seluruh penduduk di Indonesia. Saat ini, listrik di Indonesia diperkirakan menjangkau 65% penduduk Indonesia dengan jumlah pasokan listrik mencapai 26 ribu MW. Kondisi ini membuat PLN sebagai perusahaan penyedia listrik di Indonesia menghadapi masalah dalam penyediaan karena seringkali mengalami kekurangan pasokan listrik. Oleh karena itu, pemerintah menggalakkan program peningkatan kapasitas listrik di Indonesia sebesar 10 ribu MW. Pada program ini, pemerintah mengajak seluruh pihak yang concern di bidang energi untuk terlibat dan ikut serta dalam pengadaan listrik di Indonesia. Untuk menyukseskan program listrik 10 ribu MW, pemerintah turut mendukung upaya untuk menyediakan energi listrik melalui sumber energi alternatif. Berbagai sumber energi alternatif seperti tenaga mikrohidro (PLTMH), sampah (PLTSa), sel surya, biogas, geothermal, sampai nuklir mulai dikembangkan dan diterapkan pada banyak pembangkit listrik. Saat ini, program tersebut baru berhasil direalisasikan sekitar 3 ribu MW (30%). Hal ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah agar dapat merealisasikannya untuk memenuhi kebutuhan listrik Indonesia. Selain listrik, sampah juga merupakan permasalahan pelik yang menimpa Indonesia. Pada tahun 2000, jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat Indonesia telah mencapai 1 kg per orang per hari. Angka ini diperkirakan terus bertambah dan mencapai 2,1 kg per orang per hari pada tahun 2020 atau setara dengan 500 juta ton sampah per hari. Dampak negatif dari penumpukan sampah ini adalah munculnya gas metana yang jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan bahaya. Gas metana memiliki sifat mudah meledak dan mempunyai 21 kali daya rusak ozon dari pada gas karbon dioksida. Selain itu sampah yang menumpuk menyebabkan bau yang menyengat yang menggangu kesehatan penduduk sekitar tempat pengolahan sampah (TPA). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sebenarnya sampah dapat bermanfaat jika diberikan perilaku yang baik sekaligus tepat guna. Lalu bagaimana solusi permasalahan diatas? Ide yang saya ajukan sebagai solusi adalah pemanfaatan sampah sebagai sumber energi penerangan jalan antar desa dan kota, karena memang masih banyak jalan baik desa maupun perkotaan di Indonesia ini yang terbengkalai dari sisi penerangannya. Tentunya dengan ide yang ditawarkan ini saya berharap dapat menjadi solusi bagi permasalahan energi, sosial dan lingkungan. Saat ini telah ada teknologi pembangkit listrik tenaga sampah yang sudah berkembang, diantaranya: 1. Landfill Gasification > dengan cara menangkap gas - gas yang ada 2. Thermal Process7 Gasification > dengan cara memisahkan sampah, kemudian diproses di ruang hampa atau terutup 3. Anaerobic Gasification > dengan cara menggunakan sampah origanik, terus di fermentasi. Teknologi ini sudah digunakan di Bali dan di Bekasi. Di negara maju seperti Denmark, Swiss, AS dan Perancis mereka telah memaksimalkan proses pengolahan sampah. Khusus di Denmark 54 % sampah dirubah menjadi listrik. Pengolahan sampah untuk menjadi energi listrik pada prinsipnya yaitu: Sampah dibakar sehingga menghasilkan panas (proses konversi thermal).

Panas dari hasil pembakaran dimanfaatkan untuk memanaskan air menjadi uap dengan bantuan boiler. Uap bertekanan tinggi digunakan untuk memutar turbin. Turbin dihubungkan ke generator. Generator menghasilkan listrik. Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi. Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Pembangkit listrik tenaga sampah yang banyak digunakan saat ini menggunakan proses insenerasi salah satu contohnya adalah lihat diagram disamping. Sampah dibongkar dari truk pengakut sampah dan diumpankan ke inserator. Didalam inserator sampah dibakar. Panas yang dihasilkan dari hasil pembakaran digunakan untuk merubah air menjadi uap bertekanan tinggi. Uap dari boiler langsung ke turbin Sisa pembakaran seperti debu diproses lebih lanjut agar tidak mencemari lingkungan (truk mengangkut sisa proses pembakaran). Teknologi pengolahan sampah ini memang lebih menguntungkan dari pembangkit listrik lainnya. Sebagai ilustrasi : 100.000 ton sampah sebanding dengan 10.000 ton batu bara. Selain mengatasi masalah polusi bisa juga untuk menghasilkan energi berbahan bahan bakar gratis juga bisa menghemat devisa. Namun teknologi diatas memerlukan biaya yang tidak sedikit. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana mencari teknologi lain yang mudah, sederhana, murah dan aplikatif dengan ide diatas agar dapat diaplikasikan secara luas. Dari energi yang dibangkitkan dari sampah dapat digunakan sebagai sumber energi bagi penerangan lampu jalan dan ini perlu dianalisis lebih lanjut, sehingga target energi yang dapat di bangkitkan tidak sebesar teknologiteknologi diatas. PENUTUP Demikianlah perubahan iklim yang diakibatkan karena menipisnya ozon selain oleh polusi udara juga tidak dapat dilepaskan dari adanya sampah yang jumlahnya sangat banyak, karena tumpukan sampah akan melepaskan gas metana yang daya rusaknya pada lapisan ozon 21 kali lebih besar daripada gas karbon dioksida ditambah lagi adanya sampah adalah aktivitas manusia yang tidak dapat berhenti. Untuk itu perlu adanya perlakuan terhadap sampat agar tepat guna. Dengan ide sampah sebagai sumber listrik jalan desa dan kota yang banyak terbengkalai, maka ide ini dapat menjadi solusi sekaligus bagi tiga sasaran, yaitu: energi, sosial dan lingkungan (iklim). Sumber: www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/04...rgebang-ditunda-lagi fotounik.net/bekasi-bersih-partisipasi-blogger/ uleksambel.blogspot.com/2010/04/sampah-j...adi-listrik-loh.html www.unitedenergy.nl Koran Tempo, 21 Februari 2009

PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH (PLTSa) Pola Pengelolaan Sampah sampai saat ini masih menganut paradigma lama dimana sampah masih dianggap sebagai sesuatu yang tak berguna, tak bernilai ekonomis dan sangat menjijikkan. Masyarakat sebagai sumber sampah tak pernah menyadari bahwa tanggung jawab pengelolaan sampah yang dihasilkan menjadi tanggung jawab dirinya sendiri. Apabila sampah sampah yang luar biasa ini mulai menjadi masalah bagi manusia, barulah manusia menyadari ketidak perduliannya selama ini terhadap sampah dan mulai menimbulkan kepanikan dan menghantui di mana mana tanpa tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya.

Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia, karena setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Sehari setiap warga kota menghasilkan rata-rata 900 gram sampah, dengan komposisi, 70% sampah organik dan 30% sampah anorganik. Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Sampah yang dihasilkan oleh (manusia) pengguna barang, dengan kata lain adalah sampah-sampah yang di buang ke tempat sampah walaupun masih jauh lebih kecil dibandingkan sampah-sampah yang dihasilkan dari proses pertambangan dan industri, tetapi merupakan sampah yang selalu menjadi bahan pemikiran bagi manusia. PENANGGULANGAN SAMPAH Prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan dalam keseharian dalam menanggulangi sampah misalnya dengan menerapkan Prinsip 4R (WALHI, 2004) yaitu: Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan. Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah. Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain. Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan. Misalnya, ganti kantong keresek kita dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama. PENGOLAHAN SAMPAH Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Selama ini pengelolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sampah bersifat terpusat, di buang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur.

Seharusnya sebelum sampah dibuang dilakukan pengelompokkan sampah berdasarkan jenis dan wujudnya sehingga mudah untuk didaurulang dan/atau dimanfaatkan (sampah basah, sampah kering yang dipilah-pilah lagi menjadi botol gelas dan plastik, kaleng aluminium, dan kertas). Untuk tiap bahan disediakan bak sampah tersendiri, ada bak sampah plastik, bak gelas, bak logam, dan bak untuk kertas. Pemilahan sampah itu dimulai dari tingkat RT(Rumah tangga), pasar dan aparteme. Bila kesulitan dalam memilih sampah tersebut minimal sampah dipisahkan antara sampah basah (mudah membusuk) dan sampah kering (plastik,kaleng dan lain-lain) Pemerintah sendiri menyediakan mobil-mobil pengumpul sampah yang sudah terpilah sesuai dengan pengelompokkannya. Pemerintah bertanggung jawab mengorganisasi pengumpulan sampah itu untuk diserahkan ke pabrik pendaur ulang. Sisa sampahnya bisa diolah dengan cara penumpukan (dibiarkan membusuk), pengkomposan (dibuat pupuk), pembakaran. Dari ketiga cara pengelolaan sampah basah yang biasa dilakukan dibutuhkan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang cukup luas. Selain itu efek yang kurang baikpun sering terjadi seperti pencemaran lingkungan, sumber bibit penyakit ataupun terjadinya longsor.

PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH (PLTSa) Selain dengan cara pengelolaan tersebut di atas ada cara lain yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung yaitu sampah dimanfaatkan menjadi sumber energi listrik (Waste to Energy) atau yang lebih dikenal dengan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Konsep Pengolahan Sampah menjadi Energi (Waste to Energy) atau PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga sampah) secara ringkas (TRIBUN, 2007) adalah sebagai berikut : 1. Pemilahan sampah Sampah dipilah untuk memanfaatkan sampah yang masih dapat di daur ulang. Sisa sampah dimasukkan kedalam tungku Insinerator untuk dibakar. 2. Pembakaran sampah Pembakaran sampah menggunakan teknologi pembakaran yang memungkinkan berjalan efektif dan aman bagi lingkungan. Suhu pembakaran dipertahankan dalam derajat pembakaran yang tinggi (di atas 1300C). Asap yang keluar dari pembakaran juga dikendalikan untuk dapat sesuai dengan standar baku mutu emisi gas buang. 3. Pemanfaatan panas Hasil pembakaran sampah akan menghasilkan panas yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan boiler. Uap panas yang dihasilkan digunakan untuk memutar turbin dan selanjutnya menggerakkan generator listrik. 4. Pemanfaatan abu sisa pembakaran Sisa dari proses pembakaran sampah adalah abu. Volume dan berat abu yang dihasilkan diperkirakan hanya kurang 5% dari berat atau volume sampah semula sebelum di bakar. Abu ini akan dimanfaatkan untuk menjadi bahan baku batako atau bahan bangunan lainnya setelah diproses dan memiliki kualitas sesuai dengan bahan bangunan. Dikota-kota besar di Eropah, Amerika, Jepang, Belanda dll waste energy sudah dilakukan sejak berpuluh tahun lalu, dan hasilnya diakui lebih dapat menyelesaikan masalah sampah. Pencemaran dari PLTSa yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat sebenarnya sudah dapat diantisipasi oleh negara yang telah menggunakan PLTSa terlebih dahulu. Pencemaran- pencemaran tersebut seperti : Dioxin Dioxin adalah senyawa organik berbahaya yang merupakan hasil sampingan dari sintesa kimia pada proses pembakaran zat organik yang bercampur dengan bahan yang mengandung unsur halogen pada temperatur tinggi, misalnya plastic pada sampah, dapat menghasilkan dioksin pada temperatur yang relatif rendah seperti pembakaran di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) (Shocib, Rosita, 2005). PLTSa sudah dilengkapi dengan sistem pengolahan emisi dan efluen, sehingga polutan yang dikeluarkan berada di bawah baku mutu yang berlaku di Indonesia, dan tidak mencemari lingkungan. Residu Hasil dari pembakaran sampah yang lainnya adalah berupa residu atau abu bawah (bottom ash) dan abu terbang (fly ash) yang termasuk limbah B3, namun hasil-hasil studi dan pengujian untuk pemanfaatan abu PLTSa sudah banyak dilakukan di negara-negara lain. Di Singapura saat ini digunakan untuk membuat pulau, dan pada tahun 2029 Singapura akan memiliki sebuah pulau baru seluas 350 Ha (Pasek, Ari Darmawan, 2007). PLTSa akan memanfaatkan abu tersebut sebagai bahan baku batako atau bahan bangunan.

Bau Setiap sampah yang belum mengalami proses akan mengeluarkan bau yang tidak sedap baik saat pengangkutan maupun penumpukkan dan akan mengganggu kenyamanan bagi masyarakat umum. Untuk menghindari bau yang berasal dari sampah akan dibuat jalan tersendiri ke lokasi PLTSa melalui jalan Tol, di sekeliling bagunan PLTSa akan ditanami pohon sehingga membentuk greenbelt (sabuk hijau) seluas 7 hektar.

Inilah Proses Pembangkit Listrik Tenaga Sampah

isidunia.com Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Sampah memang menjadi masalah di kota besar di seluruh dunia. Khususnya di indonesia seperti menumpuknya sampah dijalan jalan protokol kota bandung. Belum lagi konflik antara pemerintah dengan warga masyarakat yang lokasinya menjadi tempat pembuangan akhir (TPA). Di negara negara maju seperti Denmark, Swis, Amerika dan Prancis. Mereka telah memaksimalkan proses pengolahan sampah. Tidak hanya mengatasi bau busuk saja tapi sudah merobah sampah sampah ini menjadi energi listrik. Khusus di Denmark 54 % sampah di robah menjadi energi listrik. Teknologi pengolahan sampah ini untuk menjadi energi listrik pada prinsipnya sangat sederhana sekali yaitu: Sampah di bakar sehingga menghasilkan panas (proses konversi thermal) Panas dari hasil pembakaran dimanfaatkan untuk merubah air menjadi uap dengan bantuan boiler Uap bertekanan tinggi digunakan untuk memutar bilah turbin Turbin dihubungkan ke generator dengan bantuan poros Generator menghasilkan listrik dan listrik dialirkan kerumah rumah atau ke pabrik.

Proses Konversi Thermal Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi. Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Pembangkit listrik tenaga sampah yang banyak digunakan saat ini menggunakan proses insenerasi salah satu contohnya adalah lihat diagram disamping. Sampah dibongkar dari truk pengakut sampah dan diumpankan ke inserator. Didalam inserator sampah dibakar. Panas yang dihasilkan dari hasil pembakaran digunakan untuk merubah air menjadi uap bertekanan tinggi. Uap dari boiler langsung ke turbin Sisa pembakaran seperti debu diproses lebih lanjut agar tidak mencemari lingkungan (truk mengangkut sisa proses pembakaran). Teknologi pengolahan sampah ini memang lebih menguntungkan dari pembangkit listrik lainnya. Sebagai ilustrasi : 100.000 ton sampah sebanding dengan 10.000 ton batu bara. Selain mengatasi masalah polusi bisa juga untuk menghasilkan energi berbahan bahan bakar gratis juga bisa menghemat devisa. (ristek) sumber:http://yefrichan.wordpress.com/2010/06/10/proses-konversi-thermal-pembangkit-listrik-tenaga-sampah/

PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) Sampah di Universitas Indonesia banyak sekali Bung. Saya ingin mencoba mengembang ide ini bersama teman teman di kelas Konversi dan Konservasi Energi(KKE). Hal ini bertujuan dalam mencanangkan renewnable energi, khususnya di lingkungan kampus UI. Kita ingin membangun PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) di kawasan kampus. Hal ini di latar belakangi atas banyaknya sampah dibuang tanpa memikirkan potensi lain yang bermanfaat dari sampah tersebut. Teknologi pengolahan sampah ini untuk menjadi energi listrik pada prinsipnya sangat sederhana sekali yaitu: Sampah di bakar sehingga menghasilkan panas (proses konversi thermal) Panas dari hasil pembakaran dimanfaatkan untuk merubah air menjadi uap dengan bantuan boiler Uap bertekanan tinggi digunakan untuk memutar bilah turbin Turbin dihubungkan ke generator dengan bantuan poros Generator menghasilkan listrik dan listrik dialirkan kerumah rumah atau ke pabrik.

Proses Konversi Thermal Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi. Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Sampah dibongkar dari truk pengakut sampah dan diumpankan ke inserator. Didalam inserator sampah dibakar. Panas yang dihasilkan dari hasil pembakaran digunakan untuk merubah air menjadi uap bertekanan tinggi. Uap dari boiler langsung ke turbin Sisa pembakaran seperti debu diproses lebih lanjut agar tidak mencemari lingkungan (truk mengangkut sisa proses pembakaran). Teknologi pengolahan sampah ini memang lebih menguntungkan dari pembangkit listrik lainnya. Sebagai ilustrasi : 100.000 ton sampah sebanding dengan 10.000 ton batu bara.

Hasil dari pembakaran sampah yang lainnya adalah berupa residu atau abu bawah (bottom ash) dan abu terbang (fly ash) yang termasuk limbah B3, namun hasil-hasil studi dan pengujian untuk pemanfaatan abu PLTSa sudah banyak dilakukan di negara-negara lain. Di Singapura saat ini digunakan untuk membuat pulau, dan pada tahun 2029 Singapura akan memiliki sebuah pulau baru seluas 350 Ha (Pasek, Ari Darmawan, 2007). PLTSa akan memanfaatkan abu tersebut sebagai bahan baku batako atau bahan bangunan.

You might also like