You are on page 1of 60

KAJIAN AKTIVITAS FRAKSI AIR RIMPANG KUNYIT (Curcuma longa Linn.

) DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

DEWI RATIH ANGGRAENI

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

KAJIAN AKTIVITAS FRAKSI AIR RIMPANG KUNYIT (Curcuma longa Linn. ) DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

DEWI RATIH ANGGRAENI

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

ABSTRAK
DEWI RATIH ANGGARENI. Kajian Aktivitas Ekstrak Air Kunyit (Curcuma longa Linn.) Terhadap Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus albinus). Dibimbing oleh Wiwin Winarsih dan Ietje Wientarsih Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui senyawa yang terkandung dalam rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.) dengan pelarut air dan aktivitas dari rimpang kunyit dalam bentuk sediaan salep terhadap proses persembuhan luka. Beberapa uji yang dilakukan untuk mengetahui hal tersebut yaitu penapisan fitokimia, pengamatan patologi anatomi dan pengamatan histopatologi. Ekstraksi rimpang kunyit dilakukan dengan metode maserasi. Sebanyak 45 ekor mencit albino (Mus musculus) jantan berumur 2-2,5 bulan dibagi ke dalam tiga kelompok perlakuan; 1) kelompok kontrol positif, yaitu kelompok mencit yang dilukai dan diberi obat luka yang mangandung neomycin sulfat 5%, 2) kelompok kontrol negatif, yaitu mencit yang dilukai namun tidak diberi pengobatan, dan 3) kelompok mencit yang dilukai dan diberi salep fraksi air rimpang kunyit. Kemudian dilakukan pengamatan patologi anatomi setiap hari dan pengamatan histopatologi yang dilakukan pada hari ke 2, 4, 7, 14, dan 21. Peubah yang diamati pada patologi anatomi adalah ukuran luka, warna luka, kelembaban dan penyempitan luka. Pada pengamatan histopatologi, peubah yang diamati adalah jumlah sel polimorfonuklear (neutrofil), jumlah neovaskularisasi, persentase reepitelisasi dan persentase luas kolagen. Data mikroskopik diuji menggunakan Analisa Sidik Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan. Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa senyawa yang terdapat dalam rimpang kunyit dengan pelarut air adalah kuinon. Pada pengamatan patologi anatomi, pemberian salep ekstrak air kunyit dapat mempercepat persembuhan luka namun tidak lebih baik dari kontrol positif. Hasil pengamatan histopatologi menunjukkan bahwa salep fraksi air rimpang kunyit mampu mengurangi jumlah neutrofil dan pembentukan neovaskular serta meningkatkan persentase reepitelisasi dibanding kelompok positif yang diberi obat komersil dan kelompok kontrol negatif. Kata kunci : persembuhan luka, fraksi air rimpang kunyit, salep

Judul Skripsi

Nama NIM

: Kajian Aktivitas Fraksi Air Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) Dalam Proses Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus albinus) : Dewi Ratih Anggraeni : B04104130

Disetujui,

Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi Pembimbing I

Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt. MSc, Pembimbing II

Diketahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Dr. Nastiti Kusumorini

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Mama, Papa, kakak dan adik atas cinta dan kasih sayangnya, doa serta dukungannya selama ini. 2. Ibu Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi dan Ibu Dr. Dra. Itje Wientarsih, Apt. MSc. selaku dosen pembimbing skripsi 3. Bapak drh. Isdoni, Biomed selaku dosen pembimbing akademik 4. Bu Rini dan Mba Lina yang telah membimbing dalam membuat obat kunyit. Terima kasih atas ilmunya. 5. Pak Endang, Pak Kasnadi, dan Pak Soleh yang telah membantu selama bekerja di laboratorium patologi. 6. Anak Kunyit- Dika, Weni, Rina, Tia, Agus atas kerjasama dan perjuangannya selama penelitian 7. Iswara crew- Nona, Lala, Eni, Nora, Tika, Izmie atas hari-hari yang menyenangkan selama di kostan. 8. Asteroidea tercinta. Terima kasih atas semua cerita indah yang terjadi di dalamnya. 9. Kakak-kakak angkatan 39 dan 40 atas bimbingan dan pembelajaran yang diberikan. 10. Adik-adik angkatan 42, 43, 44, dan 45 atas kebersamaan dan keceriaan selama di kampus. 11. Teman-teman seperjuangan di DKM An Nahl, Himpro Ruminansia, dan IMAKAHI 12. Semua pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala kontribusinya. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2008

Dewi Ratih Anggraeni

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 Oktober 1986 dari ayah drh. H. Amir Husein dan ibu Hj. Diartiningsih. Penulis merupakan putri ke dua dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri Empang II Bogor (19921998), SLTP Negeri 4 Bogor (1998-2001), dan SMU Negeri 1 Bogor (20012004). Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi pengurus Himpunan Minat dan Profesi (Himpro) Ruminansia pada tahun 2004/2005 dan 2005/2006. Sejak tahun ajaran 2004, penulis juga aktif menjadi pengurus DKM An Nahl FKH IPB. Pada tahun 2005, penulis menjadi pengurus Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) serta pada tahun ajaran 2007/2008 penulis menjadi asisten Pendidikan Agama Islam.

DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. PENDAHULUAN ......................................................................................... TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman dan Taksonomi Kunyit .......................................... Morfologi Kunyit ............................................................................... Kandungan dan Manfaat .................................................................... Biologi Mencit ................................................................................... Histologi Kulit .................................................................................... Persembuhan Luka ............................................................................. Pelarut Air .......................................................................................... Ekstraksi ............................................................................................. Fitokimia ............................................................................................ Salep ................................................................................................... BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... Alat dan Bahan ................................................................................... Ekstraksi ............................................................................................. Penapisan Fitokimia ........................................................................... Pembuatan Salep ................................................................................ Mencit Untuk Perlakuan .................................................................... Perlukaan Pada Mencit ....................................................................... Pemberian Obat Luka ......................................................................... Pengambilan Sampel Kulit ................................................................. Pengamatan Patologi Anatomi ........................................................... Pembuatan Sediaan Haematoxilin Eosin ........................................... Pembuatan Sediaan Masson Trichrome ............................................. Pengamatan Histopatologi ................................................................. Analisis Data ...................................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN Indentifikasi Senyawa ....................................................................... Pengamatan Luka Secara Makroskopis ............................................. Pengamatan Luka Secara Mikroskopis .............................................. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... x xi 1

3 3 4 5 7 9 13 14 14 15

16 16 17 19 20 21 21 21 21 21 22 23 23 25

26 26 30 40

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... LAMPIRAN ...................................................................................................

41 44

]DAFTAR TABEL
1. 2. Halaman Penapisan fitokimia ekstrak rimpang kunyit dengan pelarut air ............ 26 Tabel perbandingan patologi anatomi persembuhan luka kulit pada mencit kontrol, perlakuan dengan sediaan komersil dan perlakuan dengan sediaan salep fraksi air rimpang kunyit ..................................... Rataan jumlah sel radang polimorfnuklear (neutrofil) pada pemeriksaan mikroskopis ....................................................................... Rataan jumlah neovaskularisasi pada mencit kontrol, perlakuan dengan sediaan komersil dan perlakuan dengan sediaan salep fraksi air rimpang kunyit ....................................................................... Rataan persentase reepitelisasi pada mencit kontrol, perlakuan dengan sediaan komersil dan perlakuan dengan sediaan salep fraksi air rimpang kunyit ............................................................... Rataan persentase luas kolagen pada mencit kontrol, perlakuan dengan sediaan komersil dan perlakuan dengan sediaan salep fraksi air rimpang kunyit ........................................................................

27

3.

30

4.

33

5.

35

6.

37

DAFTAR GAMBAR
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Halaman Rimpang kunyit ...................................................................................... 4 Struktur kimia kurkumin ........................................................................ Mencit laboratorium ............................................................................... Struktur skematis kulit normal ............................................................... Gambaran sistematik jaringan granulasi dan angiogenesis .................... Diagram alir proses ekstraksi kunyit dengan pelarut air ........................ Metode penentuan luas kolagen dan reepitelisasi .................................. Gambaran patologi anatomi panjang luka pada kelompok kontrol positif, kontrol negatif dan kelompok salep fraksi air rimpang kunyit pada hari ke-7.......................................................................................... Sel radang polimorfnuklar neutrofil dan makrofag pada hari ke-7 .... 5 6 8 12 18 24

28 32 34 38

9.

10. Neovaskularisasi pada jaringan granulasi pada hari ke-7 ...................... 11. Reepitelisasi dan jaringan ikat pada hari ke-14 ...................................... 12. Gambaran histopatologi kontrol negatif , kontrol positif dan perlakuan salep fraksi air rimpang kunyit ..............................................

39

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Hasil Penghitungan Statistik ................................................................... 44

PENDAHULUAN
Latar Belakang Kulit merupakan penutup dan pelindung bagi permukaan tubuh. Selain itu, kulit juga berfungsi sebagai regulasi panas tubuh, ekskresi, dan untuk sensasi. Lapisan kulit bagian epidermis dapat menghalangi cedera pada struktur di bawahnya dan dapat mengurangi rasa sakit karena menutupi ujung akhir saraf sensorik di dalam dermis. Pada kulit seringkali terjadi perlukaan, seperti luka akibat operasi, luka bakar, luka akibat kecelakaan dan lainnya. Luka adalah rusaknya

kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang (Tawi 2008). Proses persembuhan luka yang baik akan sangat diharapkan dan dalam hal ini obat yang digunakan merupakan salah satu faktor penentunya. Obat tradisional sejak zaman dahulu memainkan peranan penting dalam menjaga kesehatan, mempertahankan stamina, dan mengobati penyakit sehingga obat tradisional masih berakar kuat dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Keanekaragaman hayati yang terdapat di Indonesia lebih dari 30.000 spesies tanaman dan 940 spesies di antaranya telah diketahui berkhasiat sebagai obat atau digunakan sebagai bahan obat (Balitro 2006). Salah satu bahan alam yang telah lama dikenal dan dibudidayakan adalah tanaman kunyit. Rimpang kunyit terutama digunakan untuk keperluan dapur (bumbu dan zat warna makanan), kosmetika maupun dalam pengobatan tradisional, salah satunya sebagai obat luka. Beberapa penelitian secara in vitro dan in vivo menunjukkan, kunyit mempunyai aktivitas sebagai antiinflamasi (antiperadangan), aktivitas terhadap peptic ulcer, antitoksik, antihiperlipidemia, dan aktivitas antikanker (Sumiati dan Adnyana 2007). Mengingat khasiat kunyit yang cukup banyak sehingga berpotensi untuk lebih dikembangkan. Disamping itu, harga produk obat-obatan pabrik yang semakin mahal dan kondisi ekonomi rakyat yang semakin terpuruk akibat krisis ekonomi. Oleh karena itu, penyediaan preparat obat luka yang mudah digunakan dan murah namun memiliki khasiat yang baik akan sangat diharapkan.

Tujuan 1. Mengetahui senyawa yang terkandung dalam rimpang kunyit dengan pelarut air 2. Mengetahui efek dari pemberian salep fraksi air rimpang kunyit terhadap proses persembuhan luka dan membandingkannya dengan sediaan komersil yang beredar di masyarakat.

Permasalahan Penelitian Penelitian mengenai aktivitas rimpang kunyit secara invivo sebagai obat persembuhan luka masih sedikit. Informasi mengenai senyawa yang terdapat dalam rimpang kunyit yang mampu memberikan efek maksimal dalam proses persembuhan luka dengan menggunakan pelarut tertentu masih perlu diketahui.

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pelarut yang dapat menarik senyawa yang terkandung dalam rimpang kunyit sehingga dapat menyembuhkan luka dengan efektif. Sediaan salep ekstrak rimpang kunyit diharapkan dapat menjadi alternatif pengobatan yang siap pakai dengan harga terjangkau.

TINJAUAN PUSTAKA
Kunyit Sejarah Tanaman Kunyit Kunyit merupakan tanaman obat berupa semak dan bersifat tahunan yang tersebar di seluruh daerah tropis. Tanaman kunyit tumbuh subur dan liar disekitar hutan/bekas kebun. Tanaman ini diperkirakan berasal dari Binar pada ketinggian 1300-1600 m di atas permukaan laut (dpl). Pendapat lain mengatakan bahwa kunyit berasal dari India. Kata curcuma berasal dari bahasa Arab yaitu kurkum dan Yunani yaitu karkom. Tanaman ini banyak dibudidayakan di Asia Selatan khususnya di India, Cina Selatan, Taiwan, Indonesia (Jawa), dan Filipina (Anonim 2008b).

Taksonomi Kunyit Klasifikasi tanaman kunyit menurut Linnaeus (1758) dalam Winarto (2003) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Sub-divisi Kelas Ordo Famili Genus Species : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledoneae : Zingiberales : Zingiberaceae : Curcuma : Curcuma longa Linn.

Morfologi Kunyit Kunyit merupakan tanaman herba dengan tinggi dapat mencapai 100 cm. Batang semu, tegak, bulat, membentuk rimpang, dan berwarna hijau kekuningan. Daun tunggal, lanset memanjang, helai daun berjumlah 3-8, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, panjang 20-40 cm, lebar 8-12,5 cm, pertulangan menyirip, dan berwarna hijau pucat. Bunga tumbuh dari ujung batang semu, panjang 10-15 cm, bunga berwarna kuning atau kuning pucat, mekar secara bersamaan. Rimpang

induk berbentuk bulat telur, rimpang cabang letaknya lateral lurus atau sedikit melengkung, keseluruhan rimpang membentuk rumpun yang rapat, berwarna jingga, dan tunas muda berwarna putih. Akar serabut berwarna coklat muda (Syukur dan Hernani 2002). Kunyit dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis mulai dari ketinggian 240-2.000 m di atas permukaan laut (dpl). Daerah dengan curah hujan 2.0004.000 mm/tahun merupakan tempat tumbuh yang baik bagi kunyit. Kunyit dapat pula tumbuh di daerah dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm/tahun, tetapi diperlukan pengairan yang cukup dan tertata dengan baik (Syukur dan Hernani 2002).

a Gambar 1. Rimpang kunyit. 2008 Kandungan dan Manfaat Kunyit merupakan salah satu tanaman yang banyak digunakan masyarakat. Terutama bagian rimpang kunyit (Gambar 1) mengandung minyak atsiri dengan senyawanya, antara lain fellandrene, sabinene, sineol, borneol, zingiberene, turmeron, kamfene, kamfor, seskuiterpene, asam kafrilat, asam methoksisinamat, tolilmetil, dan karbinol (Syukur dan Hernani 2002). Menurut Rahardjo dan Rostiana (2005), kunyit juga mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yaitu kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin (Gambar 2), desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin dan zat-zat manfaat lainnya seperti lemak 1-3 %, karbohidrat 3 %, protein 30%, pati 8%, vitamin C 45-55%, dan garam-garam mineral (zat besi, fosfor, dan kalsium). Menurut hasil penelitian Purwanti (2008), kandungan kurkumin yang terkandung dalam 100 gram kunyit adalah sebesar 2,38%.

Rimpang kunyit banyak digunakan untuk keperluan dapur (bumbu dan zat warna makanan), kosmetika maupun dalam pengobatan tradisional. Selain itu, rimpang kunyit bermanfaat sebagai antikoagulan, menurunkan tekanan darah, obat cacing, obat asma, penambah darah, mengobati sakit perut, penyakit hati, stimulan, gatal-gatal, gigitan serangga, diare, dan rematik (Rahardjo dan Rostiana 2005).

Gambar 2. Struktur kimia kurkumin (Mills. 2008) Di daerah Jawa, kunyit banyak digunakan sebagai ramuan jamu karena berkhasiat menyejukkan, membersihkan, mengeringkan, menghilangkan gatal, dan menyembuhkan kesemutan (Anonim 2008b). Menurut Rahardjo dan Rostiana (2005), kurkumin (zat warna kuning) dimanfaatkan sebagai pewarna untuk makanan manusia dan ternak.

Mencit

Biologi Mencit Mencit adalah anggota Muridae (tikus-tikusan) yang berukuran kecil. Mencit mudah dijumpai di rumah-rumah dan dikenal sebagai hewan pengganggu karena kebiasaannya menggigit barang-barang serta bersarang di sudut-sudut lemari. Mencit sangat mudah menyesuaikan diri dengan perubahan yang dibuat manusia. Mencit laboratorium (Gambar 3) dikembangkan dari mencit melalui proses seleksi. Mencit dipilih sebagai hewan percobaan karena merupakan hewan yang praktis, mudah dipelihara dalam ruangan yang relatif kecil dan dapat digunakan untuk penelitian dalam jumlah yang cukup banyak (Malole dan Pramono 1989).

Taksonomi mencit Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit laboratorium (Mus musculus). Klasifikasi mencit menurut Linnaeus (1758) dalam Ungerer (1985) adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Sub filum Kelas Ordo Sub ordo Familia Sub familia Genus Species : Animalia : Chrodata : Vertebrata : Mammalia : Rodentia : Myomorphoa : Muridae : Murinae : Mus : Mus musculus

Gambar 3. Mencit laboratorium (Sumber : Anonim 2008c) Lama hidup mencit berkisar antara satu sampai dua tahun, bahkan beberapa di antaranya bisa mencapai tiga tahun. Umur mencit dewasa adalah 35 hari dan mencit dapat dikawinkan pada umur delapan minggu. Lama kebuntingan 19-21 hari dengan jumlah anak rata-rata 6 ekor. Bobot mencit jantan dewasa adalah 20-40 gram, sedangkan bobot mencit betina dewasa adalah 18-35 gram (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Mencit laboratorium dapat dikandangkan dalam kotak sebesar kotak sepatu. Kotak dapat dibuat dari berbagai macam bahan, misalnya plastik

(polipropilen atau polikarbonat), aluminium, atau baja tahan karat (stainless steel). Prinsip dasarnya adalah kotak mencit harus mudah dibersihkan dan disterilkan. Selain itu, harus tahan lama dan tahan gigit sehingga mencit tidak mudah lepas (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Histologi Kulit

Kulit merupakan salah satu organ yang paling besar dalam tubuh hewan. Kulit berfungsi untuk melindungi organ yang berada di bawahnya dari kerusakan mekanik, bahan beracun dan rangsangan penyinaran. Selain itu, kulit bekerja sebagai organ sensori, menghasilkan keringat dan minyak (sebum) serta mengatur suhu tubuh. Kulit umumnya paling tebal pada permukaan dorsal dan permukaan lateral anggota tubuh. Paling tipis pada sisi ventral dan permukaan medial anggota tubuh. Terdapat perbedaan tergantung pada daerah tubuh, kelamin dan spesies. Lapisan kulit (Gambar 4) terdiri atas epidermis dan dermis. Di bawah dermis terdapat hypodermis atau jaringan subkutan yang merupakan jaringan ikat longgar yang mengandung sel-sel lemak (paniculus adiposus). Jaringan ini berfungsi untuk mempertautkan kulit dengan fascia atau otot kerangka dibawahnya dan memungkinkan fleksibilitas kulit serta gerakan bebas di sekitar daerah tersebut (Dellmann dan Brown 1992). Selain itu, subkutan akan menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi (Perdanakusuma 2008).

Epidermis Lapisan epidermis merupakan lapisan yang terletak paling luar, terdiri atas epitel pipih banyak lapis berkeratin. Selain itu, epidermis juga mengandung tiga jenis sel yang jumlahnya tidak begitu banyak, yaitu melanosit, sel Langerhans dan sel Merkel (Junqueira et al. 1998). Melanin dihasilkan oleh melanosit akan memberikan warna pada kulit dan rambut. Sel Langerhans adalah sel pertahanan epidermis yang berasal dari sum-sum tulang. Sel ini mewakili sistem kekebalan paling luar dan berfungsi sebagai penghubung antara lingkungan luar dan organisme.

Gambar 4. Struktur skematis kulit normal (Sumber : Yahya 2006) Menurut Junqueira et al. (1998), epidermis tersusun atas 5 lapisan sel penghasil keratin yaitu stratum korneum, stratum lucidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basalis. Stratum basalis terdiri atas selapis sel kuboid atau silindris basofilik yang terletak di atas lamina basalis (batas antara epidermis dan dermis). Lapisan ini banyak melakukan aktivitas mitosis dan bertanggung jawab atas pembaruan sel-sel epidermis secara berkesinambungan. Stratum spinosum terdiri atas sel-sel kuboid, poligonal, atau agak pipih dengan inti di tengah. Pada daerah yang mengalami gesekan dan tekanan secara terus menerus mempunyai stratum spinosum yang tebal. Proses mitosis hanya terjadi pada stratum germinativum yaitu stratum spinosum dan stratum basalis. Stratum granulosum ditandai oleh tiga sampai lima lapis sel poligonal pipih dengan sitoplasma berisi granula basofilik kasar. Stratum lucidum akan tampak lebih jelas pada kulit yang tebal, bersifat translusen dan terdiri atas selapis tipis sel eosinofilik sangat pipih (organel dan inti tidak nampak lagi). Stratum korneum terdiri atas 15-20 lapis sel berkeratin tanpa inti.

Dermis Dermis tersusun atas jaringan ikat yang menunjang epidermis dan mengikatnya pada lapisan di bawahnya, yaitu jaringan subkutan (hipodermis). Permukaan dermis sangat tidak teratur dan memiliki banyak tonjolan (papila dermis) yang saling mengunci dengan juluran-juluran epidermis (rabung epidermis). Dermis umumnya dibagi menjadi lapis superfisial (stratum papilare) yang yang berbatasan dengan lapis dalam (stratum retikular) tanpa adanya batas yang jelas. Lapis superfisial langsung berbatasan dengan epidermis dan menyesuaikan diri dengan garis bentuk stratum basalis. Terbentuk dari jalinan halus serabut kolagen, serabut retikuler dan elastik, fibrosit, makrofag, sel plasma dan sel mast. Seringkali melanosit dan sel lemak terdapat didalamnya (Dellmann dan Brown 1992). Struktur lapis dalam dermis lebih tebal, terdiri atas jaringan ikat padat tidak teratur. Oleh karena itu, lapisan ini memiliki lebih banyak serat dan lebih sedikit sel daripada lapis superfisial (stratum papilare). Selain komponen-komponen tersebut, dermis mengandung beberapa turunan epidermis, yaitu folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan terdapat banyak serat saraf Vaskularisasi kulit Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak antara lapisan papiler dan retikuler dermis serta antara dermis dan jaringan subkutis. Cabang kecil yang meninggalkan pleksus ini akan memvaskularisasi papilla dermis. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat nutrisi dari dermis melalui membran epidermis (Perdanakusuma 2008).

Persembuhan luka

Persembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena berbagai kegiatan bioseluler dan biokimia terjadi berkesinambungan (Tawi 2008). Menurut Price dan McCarty (1992), jenis persembuhan yang paling sederhana dapat terlihat pada insisi pembedahan yang tepi lukanya dapat saling didekatkan untuk dimulainya proses penyembuhan. Penyembuhan seperti ini disebut penyembuhan primer (healing by first intention). Apabila luka yang terjadi cukup

parah seperti adanya kerusakan epitel yang menyebabkan kedua tepi luka berjauhan maka disebut penyembuhan sekunder (healing by second intention atau penyembuhan dengan granulasi). Mekanisme tubuh akan mengupayakan mengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk struktur baru dan fungsional sama dengan keadaan sebelumnya (Tawi 2008). Berdasarkan perubahan morfologik, terdapat tiga fase persembuhan luka yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi.

Fase Inflamasi Fase inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Setelah terjadi perlukaan yang menyebabkan pembuluh darah pecah, akan terjadi vasokonstriksi sesaat kemudian dilatasi berkepanjangan (Spector dan Spector 1993). Selain itu, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan hemostasis berupa keluarnya platelet. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan beberapa substansi seperti platelet-derived growth factor yang akan mengaktifkan makrofag dan fibroblast (Clark dan Singer 1999). Saat terjadi dilatasi terjadi peningkatan aliran darah namun sirkulasi berjalan lambat. Pada saat yang sama terjadi perubahan pada dinding venula dan kapiler. Hal tersebut membuat tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat sehingga mengganggu keseimbangan di dalamnya yang menyebabkan leukosit dan cairan dapat keluar dari pembuluh darah kemudian memasuki jaringan (Underwood 1999). Leukosit, terutama neutrofil, akan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan (Tawi 2008). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa neutrofil juga merupakan sumber sitokin yang memungkinkan sebagai sinyal awal aktivasi fibroblast lokal dan keratinosit (Martin 1997). Sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-) berperan dalam terjadinya kemotaksis neutrofil, makrofag, sel mast, sel endotelial dan fibroblast (Perdanakusuma 2008).

Infiltrasi neutrofil hanya berlangsung beberapa hari. Neutrofil akan mati setelah melakukan fagositosis dan neutrofil yang mati akan difagositosis oleh makrofag. Makrofag juga akan mengeluarkan growth factor dan sitokin yang yang akan memperkuat sinyal awal dari degranulasi platelet dan neutrofil (Martin 1997).

Fase Proliferasi Fase proliferasi kira-kira di mulai 4 hari setelah terjadi perlukaan dan selesai hingga 3-4 minggu atau lebih, tergantung pada ukuran luka. Fase ini ditandai dengan adanya pembentukan angiogenesis, reepitelisasi, dan fibroplasia (Ackermann 2007). Pada awal pembentukan neovaskuler, pertama-tama nampak sebagai pita yang padat dari sel-sel endotel yang tumbuh ke luar sebagai kuncup dari kapiler yang utuh pada tepi luka. Sel-sel muncul oleh aktivitas mitosis pada sel-sel pembuluh darah tetua diikuti oleh migrasinya ke arah luka. Pita endotel yang padat menjadi bersaluran dalam beberapa jam dan dalam lumen yang terbentuk demikian darah mulai mengalir (Spector dan Spector 1993). Jaringan vaskuler (angiogenesis) yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respon untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya dalam keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factors). Proses selanjutnya adalah reepitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Reepitelisasi ini telah dimulai sejak beberapa jam setelah terjadi perlukaan (Clark dan Singer 1999). Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblast, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi (Gambar 5) dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblast akan merubah strukturnya menjadi miofibroblast yang mempunyai kapasitas

melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal (Tawi 2008).

Peran fibroblast sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan. Menurut Tawi (2008), pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), keberadaan sel fibroblast sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, asam hyaluronat, fibronektin dan profeoglikan) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru. Serat kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi luka (Perdanakusuma 2008).

Gambar 5. Gambaran sistematik jaringan granulasi dan angiogenesis. (Sumber: Wahl 2008). Fase Maturasi (remodelling) Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling kolagen, kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen berada dalam keseimbangan (Perdanakusuma 2008). Setelah terjadi proses perbaikan yang ekstensif, banyak neovaskuler yang lenyap lewat penyusutan pembuluh-pembuluh darah yang berlebihan, sehingga suplai darah ke luka secara berangsur-angsur berkurang (Spector dan Spector 1993). Fibroblast juga sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase

maturasi. Selain pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka (Tawi 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi persembuhan luka Seluruh proses peradangan bergantung pada sirkulasi darah ke daerah yang terluka. Jika suplai darah ke suatu daerah kurang, maka proses peradangan akan berjalan sangat lambat, infeksi menetap, dan terjadi persembuhan yang buruk (Price dan McCarty 1992). Selain itu, persembuhan luka dipengaruhi oleh umur, nutrisi yang tidak seimbang, keberadaan benda asing, radiasi, pengobatan anti inflamasi dan faktor kesehatan individu misalnya imunosupresan, stress dan diabetes mellitus (Perdanakusuma 2008). Persembuhan luka pada individu yang berusia tua akan memakan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan individu yang masih muda. Hal ini terkait dengan suplai darah individu muda yang lebih baik dan adanya kemungkinan penyakit seperti artheroskeloris pada individu tua (Vegad 1995 dalam Handayani 2006). Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis (Tawi 2008).

Pelarut Air Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O yaitu molekul yang tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom oksigen. Air bersifat tidak berwarna, tidak ada rasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) dan temperatur 273,15 K. Air sering disebut sebagai pelarut universal karena air melarutkan banyak zat kimia (Arifin 2007). Air memiliki polaritas yang tinggi sehingga air hanya menarik senyawa asam amino, jenis-jenis gula dan glikosida dari tumbuhan (Houghton dan Raman 1998). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut air memiliki kekurangan yaitu sejumlah besar bahan pengotor juga ikut terambil dan mudah mengalami kontaminasi mikrobial (Voight 1994).

Ekstraksi Ekstraksi adalah proses untuk mengisolasi senyawa dari suatu tumbuhan. Ragam ekstraksi bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne 1987). Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Ekstraksi digolongkan ke dalam dua bagian besar berdasarkan bentuk fase yang diekstraksi yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi cair padat. Ekstraksi cair padat terdiri dari beberapa cara yaitu maserasi, perkolasi dan ekstraksi soxhlet. Maserasi merupakan metode yang tepat untuk bahan-bahan yang tidak tahan panas dan digunakan untuk mengekstrak simplisia yang bahan aktifnya mudah larut dalam cairan pelarut. Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami perubahan, biasanya bahan yang dikeringkan (Wientarsih dan Bayu 2006). Bahan yang di ekstrak harus berukuran seragam untuk memudahkan kontak antara bahan dan pelarut. Keuntungan cara ini adalah cara pengerjaan dan peralatannya sederhana sedangkan kerugiannya yaitu pengerjaan yang lama dan proses ekstraksi kurang sempurna (Yuliani dan Rusli 2003). Hal yang harus diperhatikan dalam metode ekstraksi yaitu jumlah simplisia (10%), penambahan air ekstrak (2x), derajat kehalusan, cara pemanas, cara penyaringan dan perhitungan dosis pemakaian (Wientarsih dan Bayu 2006).

Penapisan Fitokimia

Fitokimia merupakan kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuhan. Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek bermanfaat yang ditunjukkan oleh ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). Senyawa dasar yang mudah diidentifikasi dalam penapisan fitokimia simplisia adalah senyawa alkaloid, polifenat, tanin, flavonoid, saponin, kuinon, steroid dan triterpenoid serta senyawa monoterpenoid dan seskuiterpenoid.

Salep

Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar (Farmakope Indonesia 1979). Sediaan topikal ini digunakan untuk perlindungan setempat (lokal) atau dengan alasan terapeutik (Blodinger 1994). Salep terbuat dari dasar salep dan bahan aktif atau kombinasi bahan aktif. Dasar salep dapat berupa sistem sederhana (misalnya memakai vaselin) ataupun dengan sistem yang lebih kompleks (misalnya sistem yang memakai emulgator. Bahan dasar salep harus memenuhi persyaratan sehingga memiliki stabilitas yang baik. Persyaratan tersebut adalah salep sebaiknya memiliki daya sebar yang baik, tersatukan dengan bahan pembatu lain dan dengan obat yang dibutuhkan dalam terapi salep serta tidak mengandung lebih dari 102 bakteri/gram (Voigt 1994). Selain itu, syarat dasar salep meliputi harus mudah dipakai, tidak mudah tengik, tidak mengiritasi kulit, memiliki daya kerja yang baik, warna dan bau stabil selama penyimpanan, stabil secara fisik dan kimia serta harus halus sehingga mudah dioleskan pada permukaan kulit (Wientarsih dan Bayu 2006). Penetrasi obat umumnya melalui lapisan epidermis. Komponen lemak menjadi faktor utama tinggi rendahnya penetrasi obat melalui stratum korneum (Ansel 1989).

BAHAN DAN METODE PENELITIAN


Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi dan Laboratorium Farmasi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Juli 2007 sampai dengan April 2008

Alat dan Bahan Hewan Percobaan Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus albinus) jantan yang berumur 2-2,5 bulan dengan berat badan 20-40 gram sebanyak 45 ekor.

Rimpang kunyit Rimpang kunyit yang digunakan berumur 9 bulan yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Tropis (BALITRO). Kunyit diidentifikasi di Herbarium Bogorience LIPI.

Bahan Bahan yang digunakan antara lain sediaan komersil yang mengandung Neomycin Sulfat 5%, ekstrak placenta dan jelly base. Simplisia rimpang kunyit, eter untuk euthanasi, aquades sebagai pelarut, larutan Netral Buffer Formalin (10%), dan kapas serta vaselin kuning. Bahan yang digunakan untuk membuat sediaan histopatologi yaitu larutan Mayers Hematoxylin, larutan Eosin, Xylol, alkohol konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 95% dan 100%), larutan Lithium Carbonat, Asam Asetat 1%, larutan Mordant, larutan Carrazis Hematoxylin, larutan Orange G 0,75% larutan Ponceau Xylidine Fuchsin, Larutan Phosphotungstic acid 2,5%, Anilin Blue, dan parafin.

Alat Alat-alat yang digunakan antara lain toples, kandang mencit, scalpel, alat bedah, peralatan untuk pembuatan sediaan histopatologi yaitu tissue processor,

mikrotom, penangas air, gelas objek dan gelas penutup serta peralatan untuk ekstraksi kunyit yaitu corong pisah, evaporator, gelas erlenmayer 100 ml dan oven. Mikroskop cahaya dan mikroskop videomikrometer .

Metodologi Penelitian Ekstraksi Metode ekstraksi yang digunakan dalam pemisahan senyawa kunyit adalah dengan cara maserasi/perendaman. Simplisia kunyit direndam dalam pelarut etanol (alkohol 96%) dengan perbandingan 1:10 selama 24 jam dengan dilakukan pengadukan secara berkala untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia sehingga derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya tetap terjaga. Setelah itu dilakukan penyaringan untuk mendapatkan filtrat. Dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali untuk memaksimalkan penarikan zat aktif dalam simplisia. Kemudian dilakukan evaporasi terhadap filtrat tersebut selama 1-2 jam hingga menghasilkan ekstrak semi solid. Ekstrak semi solid tersebut dilarutkan dengan etanol 96% sampai terbentuk larutan ekstrak. Lalu ditambahkan larutan hexan (non polar) dengan perbandingan 1:1 dan dimasukkan kedalam labu kocok (corong pisah). Pengocokan selama 15 menit dan didiamkan hingga terbentuk dua lapisan pelarut. Lapisan yang terbentuk paling bawah adalah etanol dan yang ada atas adalah hexan. Kemudian hexan ditampung. Proses ini dilakukan sebanyak tiga kali dengan perlakuan yang sama. Ekstrak etanol ditambahkan larutan etil asetat (semi polar) dengan perbandingan 1:1 dalam corong pisah. Setelah itu dikocok selama 15 menit dan didiamkan. Aquades dimasukkan dengan perbandingan yang sama sehingga terbentuk tiga lapisan pelarut. Lapisan yang paling bawah adalah etanol, kemudian air dan yang paling atas adalah etil asetat. Kemudian dilakukan evaporasi terhadap filtrat tersebut selama 1-2 jam hingga menghasilkan fraksi semi solid. Fraksi semi solid tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 40C hingga didapatkan ekstrak kental.

Rimpang kunyit

Simplisia kunyit Maserasi dengan ethanol 96% Filtrat

Evaporasi Ekstrak etanol semi solid Corong pisah Etanol dan Hexan

Ethanol

Fraksi Hexan

Corong pisah Etil asetat dan Air

Fraksi Air

Fraksi etil asetat

Evaporasi Fraksi semi solid

Oven

Fraksi kental

Gambar 6. Diagram alir proses ekstraksi kunyit dengan pelarut air

Penapisan Fitokimia

Fitokimia merupakan suatu metode untuk mengidentifikasi zat aktif yang terkandung dalam simplisia. Pengujian terhadap senyawa alkaloid, polifenat, tanin, flavonoid, kuinon dan saponoin dilakukan pada hasil ekstraksi kunyit dengan pelarut air. Senyawa Alkaloid Serbuk simplisia dibasakan dengan amonia, kemudian ditambahkan kloroform dan digerus kuat-kuat. Lapisan kloroform dipipet sambil disaring, kemudian ke dalamnya ditambahkan asam klorida 2N. Campuran dikocok kuat hingga terbentuk dua lapisan. Lapisan asam dipipet, kemudian dibagi menjadi 3 bagian: bagian 1 ditambahkan pereaksi Mayer (Kalium iodida dan raksa (II) klorida). Dilakukan pengamatan terhadap adanya endapan atau kekeruhan. Bila terjadi kekeruhan atau endapan berwarna putih berarti di dalam simplisia kemungkinan terkandung alkaloid. Bagian 2 ditambakan pereaksi Dragendorff (Bismuth Subnitras dan Raksa (II) klorida). Bila terjadi kekeruhan atau endapan berwarna jingga kuning berarti dalam simplisia kemungkinan terkandung alkaloid. Bagian 3 digunakan sebagai blangko.

Senyawa Polifenat Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air, kemudian disaring. Ditambahkan larutan pereaksi besi (III) klorida kedalam filtrat. Terbentuknya senyawa fenolat ditandai dengan terjadinya warna hijau-biru hingga hitam.

Senyawa Tanin Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air lalu disaring. Larutan besi (III) klorida ditambahkan ke dalam filtrat sehingga terbentuk warna hijau-biru hitam hingga hitam, kemudian ditambahkan larutan gelatin 1%. Adanya senyawa tanin ditandai dengan terjadinya endapan berwarna putih.

Senyawa Flavonoid Simplisia dipanaskan dengan campuran logam magnesium dan asam klorida 5N, kemudian disaring. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat berwarna merah yang dapat ditarik oleh amil alkohol. Untuk lebih memudahkan pengamatan sebaiknya menggunakan percobaan blangko.

Senyawa Kuinon Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air kemudian disaring. Larutan KOH 5% ditambahkan ke dalam filtrat. Adanya senyawa kuinon ditandai dengan terjadinya warna kuning hingga merah.

Senyawa Saponin Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air kemudian disaring. Setelah dingin filtrat dalam tabung reaksi dikocok kuat selama 30 detik. Pembentukan busa sekurang-kurangnya setinggi 1 cm dan persisten selama beberapa menit serta tidak hilang pada penambahan satu tetes asam klorida encer menunjukkan bahwa dalam simplisia terdapat saponin

Pembuatan salep Ekstrak kental kunyit dicampur dengan bahan dasar salep yaitu vaselin kuning di dalam mortar. Kemudian kedua bahan tersebut dihomogenkan dengan cara digerus terus-menerus secara bersamaan dalam satu arah putaran sampai hasilnya lembut (hingga butiran ekstrak kental tidak terasa). Setelah itu, preparat dimasukkan ke dalam wadah yang tertutup rapat agar tidak terkontaminasi dan tidak terjadi perubahan kimia.

Persiapan Kandang Kandang yang digunakan adalah kandang plastik berukuran 20 x 30 cm. Kandang percobaan sebanyak 15 buah dibuat dengan membagi kotak menjadi 3 ruangan dengan menggunakan sekat dari kawat. Bagian atas kandang ditutup

kawat agar terjadi sirkulasi udara yang baik. Bagian dasar kandang diberi sekam untuk menjaga kelembaban kandang.

Mencit Mencit yang digunakan berjumlah 45 ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan; 1) kelompok kontrol positif, yaitu kelompok mencit yang dilukai dan diberi obat luka yang mangandung neomycin sulfat 5%, 2) kelompok kontrol negatif, yaitu mencit yang dilukai namun tidak diberi pengobatan, dan 3) kelompok mencit yang dilukai dan diberi salep fraksi air rimpang kunyit.

Perlukaan pada mencit Sebelum penyayatan, rambut disekitar daerah sayatan dicukur hingga bersih kemudian diusap dengan alkohol 70% untuk membersihkan kulit yang kotor. Pada seluruh mencit, bagian punggung disayat secara aseptis menggunakan scalpel dengan panjang sayatan 1,5 cm sejajar dengan tulang punggung.

Pemberian Obat Luka Luka dioleskan dengan obat luka yang mengandung neomycin sulfat 5% dan salep fraksi air rimpang kunyit dengan menggunakan cotton buds. Aplikasi obat dilakukan satu kali setiap hari selama 21 hari.

Pengambilan sampel kulit Mencit kontrol dan perlakuan di anasthesi menggunakan kapas yang telah ditetesi eter dalam toples. Mencit dimasukkan ke dalam toples dan ditunggu hingga mencit teranasthesi. Kemudian dilakukan pengambilan sediaan kulit berukuran 1,5 x 1,5 cm. Sample kulit diambil pada hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21 pasca perlakuan. Kulit yang sudah dipotong difiksasi dengan larutan BNF (Buffer Neutral Formaline) 10%.

Pengamatan Patologi Anatomi Mencit kontrol dan perlakuan diamati setiap hari pasca perlukaan. Pengamatan dilakukan dengan membandingkan perubahan yang terjadi secara

deskriptif selama proses persembuhan yang terjadi. Parameter yang diamati adalah panjang luka, warna luka, kelembaban dan penyempitan luka.

Fiksasi sediaan kulit dan pembuatan preparat histopatologi Sediaan difiksasi menggunakan larutan Neutral Buffer Formalin 10% lalu dilakukan trimming dan dimasukkan ke dalam kaset. Selanjutnya adalah proses dehidrasi, yaitu dengan mencelupkan kaset ke dalam alkohol dengan berbagai konsentrasi, mulai dari 70% hingga 100%. Kemudian dilakukan penjernihan (clearing) menggunakan xylol. Sediaan dicetak (embedding) menggunakan parafin sehingga sediaan akan tercetak dalam blok-blok parafin dan disimpan dalam lemari es. Sediaan dalam blok parafin diiris dengan menggunakan mikrotom setebal 5 mikron. Pita (ribbon) hasil irisan diletakkan diatas permukaan air hangat untuk merentangkan jaringan yang keriput akibat pemotongan. Kemudiaan pita tersebut di lekatkan pada object glass. Selanjutnya dilakukan pewarnaan umum Hematoxylin Eosin dan pewarnaan khusus Masson Trichrome.

Pembuatan Sediaan Haematoxylin Eosin (HE) Sediaan dimasukkan ke dalam Xylol dua kali selama dua menit. Kemudian direhidrasi yang dimulai dari alkohol absolut, alkohol 95%, dan alkohol 80% masing-masing selama dua menit. menggunakan air yang mengalir. Sediaan diberi pewarna Mayers Hematoxylin selama delapan menit, kemudian dibilas dengan air yang mengalir dan dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik. Sediaan dibilas kembali dengan air mengalir dan diwarnai dengan Eosin selama dua menit. Untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebihan, sediaan dibilas dengan air mengalir. Kemudian sediaan dicelupkan kedalam alkohol 95% dan alkohol absolut I, masing-masing 10 kali celupan. Lalu dicelupkan ke dalam alkohol absolut II selama dua menit, Xylol I selama satu menit dan Xylol II selama dua menit. Sediaan ditetesi dengan perekat permount dan ditutup dengan gelas penutup. Sediaan dibiarkan beberapa menit hingga zat perekatnya mengering. Selanjutnya sediaan dibilas dengan

Pembuatan Sediaan Masson Trichrome (MT) Sebelum dilakukan pewarnaan, sediaan harus menglami proses

deparafinasi dan rehidrasi. Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam larutan Mordant selama 30-40 menit lalu dibilas dengan aquades. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam larutan Carrazis Hematoxylin selama 40 menit dan dibilas dengan aquades. Setelah itu, sediaan dimasukkan ke dalam larutan Orange G 0,75% selama dua menit dan dibilas dengan asam asetat 1% sebanyak dua kali. Tahap selanjutnya adalah mencelupkannya ke dalam larutan Ponceau Xylidine Fuchsin selama 15 menit dan dibilas dengan asam asetat 1% sebanyak dua kali. Lalu sediaan dimasukkan ke dalam Phosphotungstic Acid 2,5% selama 10 menit dan dibilas dengan asam asetat 1% sebanyak dua kali. Berikutnya adalah

memasukkan sediaan ke dalam Anilin Blue selama 15 menit dan dibilas dengan asam asetat 1% sebanyak dua kali. Kemudian sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 95% selama tiga menit. Tahap terakhir adalah sediaan didehidrasi dan clearing. Sediaan ditutup dengan gelas penutup.

Pengamatan Histopatologi Pengamatan histopatologi dilakukan pada sampel kulit yang telah diambil pada hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21 dengan menghitung jumlah sel radang polimorfnuklear (neutrofil), jumlah neovaskularisasi, persentase reepitelisasi, persentase luas jaringan ikat pada luka kulit. Pengamatan terhadap jumlah sel radang neutrofil dan jumlah

neovaskularisasi menggunakan mikroskop Olympus BX51TF, Japan dan pengamatan terhadap sel radang dilakukan dalam 10 lapang pandang dimana luas tiap lapang pandang adalah 20450m2. Pengukuran panjang luka, reepitelisasi, dan luasan jaringan ikat menggunakan video mikrometer FDR-A IV-560 dengan pembesaran objektif empat kali. Pengamatan ketebalan dan luasan jaringan ikat menggunakan preparat dengan pewarnaan Masson Trichrome.

Penentuan luasan jaringan ikat dilakukan dengan mengkonversi skala bar yang digunakan pada video mikrometer dengan pembesaran 180x, yaitu 200 m menjadi 3,6 cm 200 m X 180x = 3,6 x 104 m = 3,6 cm

Setelah itu, dibuat pola kotak-kotak berukuran 3,6 cm X 3,6 cm dengan plastik. Plastik yang telah berpola tersebut ditempelkan pada layar monitor video mikrometer. Standar perhitungan disamakan agar tidak terjadi banyak variasi yaitu dengan penentuan tiga kotak yang diambil dari tengah bagian luka untuk setiap perhitungan panjang luka. Jaringan ikat yang nampak pada monitor ditentukan luasnya dengan ketetapan sebagai berikut :

Jika luas jaringan ikat memenuhi lebih dari setengah bagian kotak, maka terhitung sebagai satu luasan. Jika jaringan ikat memenuhi kurang dari setengah bagian kotak, maka tidak terhitung sebagai satu luasan

Gambar 7. Metode penentuan luas kolagen dan reepitelisasi pada pengamatan histopatologi jaringan luka. Pada tampilan gambar videomicrometer dibuat pola kotak-kotak yang tiap sisi kotaknya berukuran 200m

Perhitungan menggunakan rumus:

persentase

luasan

jaringan

ikat

ditentukan

dengan

Luas jaringan ikat yang terbentuk (kotak) X 100% Luas luka (kotak)

Sedangkan pada perhitungan persentase untuk luasan reepitelisasi adalah sebagai berikut :

Epitel yang baru terbentuk (kotak) X 100% Luas luka (kotak)

Analisa Data Hasil pengamatan patologi anatomi di analisis secara deskriptif. Data pengamatan histopatologi di uji secara statistik menggunakan Uji Sidik Ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Identifikasi senyawa dalam kunyit Air memiliki polaritas yang tinggi sehingga hanya menarik asam amino, jenis-jenis gula dan glikosida (Houghton dan Raman 1998). Tabel 1. Penapisan fitokimia fraksi air rimpang kunyit Senyawa dalam rimpang kunyit Alkaloid Flavonoid Tanin dan polifenol Saponin Kuinon
Keterangan : (-) tidak mengandung senyawa (+) mengandung senyawa

Hasil penapisan fitokimia +

Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa ekstraksi kunyit dengan pelarut air hanya menarik senyawa kuinon. Reaksi positif ditandai dengan adanya warna kemerahan pada tabung reaksi. Kuinon adalah senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar seperti kromofor pada benzikuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid (Harborne 1987). Menurut Robinson (1995), beberapa senyawa kuinon bersifat racun dan antimikroba yang akan mempercepat persembuhan luka Selain itu, kuinon berfungsi sebagai penghilang rasa sakit (Kumalaningsih 2008).

Pengamatan Luka Secara Makroskopis Hasil pengamatan secara makroskopis terhadap proses persembuhan luka hewan coba mencit kontrol, perlakuan dengan sediaan komersil dan sediaan salep fraksi air rimpang kunyit disajikan dalam Tabel 2 berdasarkan beberapa peubah tertentu. Peubah pada pengamatan makroskopis yaitu panjang luka,

kelembaban,warna luka dan penyempitan luka.

Tabel 2. Tabel perbandingan patologi anatomi persembuhan luka kulit pada mencit kontrol, perlakuan dengan sediaan komersil dan perlakuan dengan sediaan salep fraksi air rimpang kunyit. Hari ke1

Kontrol Negatif
Panjang luka 1,5 cm, luka basah, merah dan terbuka Panjang luka 1,36 cm, luka basah, merah dan terbuka Luka mulai mengering dan menutup, kulit berwarna merah agak pucat Panjang luka 1,20 cm, luka kering dan berwarna merah pucat Tepi luka mengeras dan panjang luka agak mengecil Tepi luka mengeras dan panjang luka agak mengecil Luka semakin menutup, panjang luka 1,07 cm Luka hampir menutup Luka semakin mengecil Luka semakin mengecil Luka hampir menutup sempurna Luka telah tertutup epitel. Terlihat adanya bekas luka

Kontrol Positif
Panjang luka 1,5 cm, luka basah, merah dan terbuka Panjang luka 1,30 cm, luka masih terbuka dan mulai mengering Luka mengering dan masih terbuka dan berwarna merah pucat Luka mulai menutup dan kering. Panjang luka 1 cm. Luka semakin menutup dan tepi luka mengeras Luka hampir menutup dan tepi luka mengeras Luka semakin mengecil, panjang luka 0,27 cm. Luka semakin mengecil Luka telah menutup Luka telah menutup sempurna Luka telah tertutup epitel. Terlihat adanya bekas luka Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut Bekas luka hampir tidak terlihat dan ditutupi rambut baru Bekas luka tidak terlihat dan ditutupi rambut baru

Salep Fraksi Air Rimpang Kunyit


Panjang luka 1,5 cm, luka basah, merah dan terbuka Panjang luka 1,23 cm, luka basah, merah dan terbuka Luka mulai mengering, masih terbuka dan berwarna merah agak pucat Panjang luka 1,16 cm, luka mengering, mulai menutup dan warna merah pucat Luka telah mengering dan luka semakin menutup Tepi luka mengeras dan panjang luka agak mengecil Luka semakin mengecil, panjang luka 0,77 cm Luka hampir menutup Luka semakin mengecil Luka hampir menutup sempurna Luka telah tertutup epitel. Terlihat adanya bekas luka Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut Bekas luka hampir tidak terlihat dan ditutupi rambut baru Tidak terlihat bekas luka dan ditutupi rambut baru

7 8 9 10 11 12 13

Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut 15 Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut 16-21 Masih terlihat sedikit bekas luka dan mulai tertutupi rambut baru

14

Berdasarkan pengamatan patologi anatomi terlihat adanya perbedaan kecepatan persembuhan luka antara kelompok kontrol negatif (tanpa perlakuan), kelompok kontrol positif (luka diolesi dengan sediaan komersil yang mengandung neomycin sulfat 5%) dan kelompok yang menggunakan salep fraksi air rimpang kunyit sebagai obat persembuhan luka. Persembuhan luka pada kelompok perlakuan menggunakan salep fraksi air rimpang kunyit terlihat lebih cepat dari kelompok kontrol negatif namun tidak lebih baik dari kelompok kontrol positif. Hal tersebut dapat terlihat pada hari ke-7 dimana panjang luka pada kelompok salep fraksi air rimpang kunyit adalah 0,77 cm, kelompok kontrol negatif 1,07 cm dan pada kelompok kontrol positif adalah 0,27 cm.

Gambar 8. Gambaran patologi anatomi panjang luka pada kelompok kontrol positif (a), kontrol negatif (b) dan kelompok salep fraksi air rimpang kunyit (c) pada hari ke-7 Kulit yang tersayat akan kehilangan retraksinya sehingga membentuk celah. Kondisi ini terlihat secara makroskopis pada hari pertama dengan terbentuknya luka dengan tepi-tepi terpisah. Pada hari kedua perlakuan, terlihat adanya warna merah dan edema pada luka kulit mencit. Saat terjadi cedera pada kulit, terutama berupa insisi/penyayatan, pembuluh darah yang terkoyak akan menyebabkan banyak darah yang keluar. Platelet yang ikut keluar akan mengaktivasi benang-benang fibrin untuk menghentikan hemoraghi pada matriks ekstraseluler. Setelah terjadi luka pembuluh darah akan mengalami konstriksi singkat lalu diikuti dengan dilatasi yang berkepanjangan. Hal ini menyebabkan anyaman kapiler menjadi merah dengan darah sehingga secara makroskopis daerah luka terlihat berwarna merah. Dilatasi pembuluh darah ini disebabkan oleh mediator kimiawi inflamasi yaitu histamin. Saat terjadi dilatasi terjadi peningkatan aliran darah namun sirkulasi berjalan lambat. Pada saat yang sama terjadi perubahan pada dinding venula dan

kapiler. Hal tersebut membuat tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat sehingga mengganggu keseimbangan di dalamnya yang menyebabkan banyak cairan meninggalkan darah dan memasuki jaringan. Selain itu, dinding vaskular kehilangan impermeabilitasnya terhadap albumin, globulin, dan fibrinogen sehingga protein tersebut keluar menuju jaringan. Pembengkakan yang terjadi merupakan suatu akumulasi cairan eksudat di dalam rongga ekstravaskular (Underwood 1999). Secara patologi anatomi, ketiga kelompok menunjukkan luka terlihat basah. Cairan yang terdapat dalam ekstravaskular ini akan dihilangkan secara berangsur-angsur melalui pembuluh limfa (Spector dan Spector 1993). Pada hari ke-3 sudah tidak terlihat adanya edema. Kemudian luka mulai mengering. Proses selanjutnya adalah reepitelisasi pada tepi-tepi luka yang perlahan akan bergerak menuju tengah luka sehingga terjadi penutupan luka. Keadaan ini terlihat secara makroskopis pada hari ke-7. Keropeng (kulit kering) yang terbentuk pada tepi luka merupakan hasil pembersihan daerah luka dari jaringan debris, edema peradangan dan sel-sel radang yang telah mati pada proses proliferasi jaringan. Keropeng ini berfungsi untuk menutup luka dan mencegah luka dari kontaminasi lebih lanjut oleh mikroba. Pada hari ke-4 kondisi luka sudah mulai menutup pada kelompok kontrol positif dan kelompok perlakuan salep fraksi air rimpang kunyit. Hal ini terjadi karena adanya proliferasi dari sel epitel epidermis. Fibroblast memiliki peran penting dalam proses memperbaiki dan menyembuhkan luka. Fibroblast bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan pada konstruksi jaringan (Tawi 2008). Proses selanjutnya adalah penguatan jaringan parut oleh kolagen yang dihasilkan oleh fibroblast pada daerah luka. Fibroblast juga akan membentuk serabut yang mengandung mikrofilamen aktin. Mikrofilamen ini disebut sebagai myofibroblast dan memiliki kemampuan berkontaksi sehingga jarak tepi luka dapat memendek dan ukuran luka dapat mengecil. Selain itu, proses pematangan (remodeling) yang terjadi di dalamnya akan menumbuhkan derivat kulit lainnya seperti kelenjar minyak dan rambut. Pertumbuhan rambut ini terlihat pada hari ke-14. Kelompok kontrol positif terlihat lebih cepat pertumbuhan rambutnya dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok perlakuan dengan salep fraksi air

rimpang kunyit. Perlakuan yang menggunakan sediaan salep fraksi air rimpang kunyit tidak memberikan efek yang lebih baik dari kelompok kontrol positif. Kandungan senyawa kuinon yang mempunyai fungsi antibakteri dan penghilang rasa sakit seharusnya akan mempercepat persembuhan luka karena akan menurunkan migrasi neutrofil ke daerah luka. Kemungkinan kadar kuinon yang tertarik oleh pelarut air sedikit sehingga belum memberikan efek yang optimal.

Pengamatan Luka Secara Mikroskopis

Pengamatan terhadap sel polimorfonuklear (neutrofil) Hasil pengamatan mikroskopis terhadap sel radang polimorfonuklear neutrofil pada mencit kelompok kontrol positif dengan sediaan komersil, kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan dan kelompok perlakuan dengan sediaan salep fraksi air rimpang kunyit adalah sebagai berikut Tabel 3. Rataan jumlah sel radang polimorfonuklear (neutrofil) Panen hari ke2 4 7 14 21 Kontrol Positif 9,014,40 ab 4,071,09 ab 14,500,00 a 0,831,44 b 0,000,00 a Kontrol Negatif 15,715,24 a 3,701,29 b 10,582,99 a 3,002,00 ab 0,000,00 a Salep Fraksi Air Rimpang Kunyit 5,330,87 b 6,020,67 a 11,015,34 a 6,333,06 a 0,831,44 a

Keterangan : Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05)

Pada stadium awal, cairan edema, fibrin, dan neutrofil polimorf terkumpul di rongga ekstraseluler jaringan yang mengalami kerusakan (Underwood 1999). Neutrofil merupakan sel pertahanan pertama tubuh ketika mengalami luka. Clark dan Singer (1999) menjelaskan bahwa neutrofil berfungsi melakukan fagositosis benda asing dan bakteri di daerah luka. Proses ini terjadi pada daerah luka selama 3 hari (Tawi 2008). Dalam sirkulasi normal, leukosit hanya terdapat di bagian tengah aliran dalam pembuluh darah dan tidak mengalir pada bagian tepi tetapi karena dilatasi dan tingginya tekanan hidrostatik pada pembuluh darah akibat perlukaan membuat leukosit bergerak ke arah perifer. Kemudian leukosit membuat lapisan di bagian permukaan sel yang melapisi lumen pembuluh darah.

Leukosit migrasi dengan gerak amuboid yang aktif melewati dinding venula dan vena kecil (Underwood 1999). Oleh karena itu, jumlah neutrofil pada hari ke-2 cukup tinggi. Hasil pengujian statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) dari jumlah rataan sel neutrofil antara kelompok kontrol negatif dan kelompok perlakuan dengan menggunakan salep fraksi air rimpang kunyit pada hari ke-2. Perlakuan dengan menggunakan salep fraksi air rimpang kunyit memiliki jumlah neutrofil yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (Tabel 3). Lebih rendahnya jumlah neutrofil dapat disebabkan oleh bahan aktif yang larut dalam fraksi air rimpang kunyit yaitu kuinon. Robinson (1995) menyatakan bahwa beberapa senyawa kuinon bersifat racun dan antimikroba. Berkurangnya kontaminasi bakteri akibat senyawa tersebut akan mengurangi rangsangan terhadap migrasi neutrofil ke daerah luka. Pada kelompok kontrol positif, sediaan komersil yang mengandung neomycin sulfat 5%, bekerja sebagai senyawa antimikroba (Giguere et al 2006). Zat aktif tersebut mempengaruhi jumlah sel neutrofil hari ke-2 kelompok kontrol positif yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Jumlah sel neutrofil kelompok kontrol negatif tinggi pada hari ke-2 karena kelompok ini tidak diberi perlakuan apapun untuk mengurangi kontaminasi bakteri. Pada kelompok kontrol negatif dan kelompok kontrol positif terjadi penurunan jumlah neutrofil pada hari ke-4. Hal ini dikarenakan umur neutrofil yang tidak lama. Neutrofil merupakan sel pertahanan non spesifik yang akan mati setelah melakukan fungsinya yaitu memfagositosis bakteri atau benda asing. Setelah itu, makrofag akan menggantikan peran neutrofil. Pada kelompok perlakuan dengan salep fraksi air rimpang kunyit menunjukkan peningkatan rataan jumlah neutrofil (Tabel 3). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut air memiliki kekurangan yaitu sejumlah besar zat inert (bahan yang tidak diinginkan) juga ikut terambil serta mudah mengalami kontaminasi mikrobial dan jamur (Voight 1994). Adanya zat inert yang ikut terbawa dalam sediaan salep fraksi air rimpang kunyit memungkinkan neutrofil mempertahankan keberadaannya untuk melaksanakan fungsinya yaitu fagositosis terhadap benda asing. Hal ini terlihat dari rataan jumlah neutrofil pada hari ke-4 kelompok salep fraksi air rimpang kunyit yang tidak jauh berbeda dengan rataan jumlah neutrofil pada hari ke-2.

Keberadaan neutrofil kembali meningkat pada hari ke-7. Peningkatan jumlah neutrofil ini berkaitan dengan adanya pembentukan neovaskular yang belum kuat sehingga masih ada kemungkinan untuk bocor dan dikelilingi oleh plasma, korpuskel darah merah, seta leukosit namun hal ini memberi prasyarat yang esensial bagi regenerasi jaringan ikat yaitu suplai darah. Selain itu, ada kemungkinan luka belum sembuh sehingga keberadaan neutrofil masih diperlukan. Kehadiran neutrofil (Gambar 9) pada luka dipengaruhi oleh produk-produk yang dilepaskan oleh bakteri dan sel-sel yang rusak atau mati. Pada ketiga kelompok perlakuan, terjadi penurunan jumlah neutrofil pada hari ke14 dan 21. Penurunan jumlah neutrofil pada hari ke-14 kelompok positif cukup signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok dengan perlakuan salep fraksi air rimpang kunyit. Hal ini menandakan bahwa proses peradangan pada kelompok kontrol positif berlangsung lebih singkat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bila berdasarkan jumlah sel radang yang berada dalam daerah luka, persembuhan luka kelompok kontrol positif berlangsung lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol negatif dan kelompok salep fraksi air rimpang kunyit. Persembuhan luka kelompok salep fraksi air rimpang kunyit tidak lebih cepat dari kelompok kontrol negatif karena jumlah neutrofil cukup tinggi pada hari ke-14.

Gambar 9. Sel radang Polimorfonuklar neutrofil (a) pada hari ke-7. Pewarnaan HE. Pembesaran 100x. Bars = 20m Makrofag akan melakukan emigrasi setelah neutrofil dan berfungsi untuk fagositosis, menghancurkan partikel asing serta jaringan mati. Makrofag tertarik secara kemotaktik tidak hanya pada produk mikroorganisme dan produk sel kebal

tapi juga pada faktor yang dikeluarkan oleh sel yang rusak, terutama neutrofil yang rusak (Tizard 1988). Oleh karena itu, makrofag dapat dikatakan sebagai sel pertahanan kedua dan merupakan prasyarat bagi pembentukan neovaskular karena suatu substansi kimawi, vascular endothelial growth factor (VEGF), dikeluarkan makrofag untuk merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru.

Pengamatan terhadap pembentukan neovaskular Hasil pengamatan mikroskopis terhadap pembentukan neovaskular pada mencit kelompok kontrol positif dengan sediaan komersil, kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan dan kelompok perlakuan dengan sediaan salep fraksi air rimpang kunyit adalah sebagai berikut.

Tabel 4. Rataan jumlah neovaskularisasi Panen hari ke2 4 7 14 21 Kontrol Positif 0,000,00 a 0,330,58 a 8,001,73 a 6,332,52 a 0,000,00 b Kontrol Negatif 0,000,00 a 0,000,00 a 0,671,15 b 5,001,00 ab 6,001,00 a Salep Fraksi Air Rimpang Kunyit 0,000,00 a 0,000,00 a 1,670,58 b 2,331,53 b 1,001,73 b

Keterangan : Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05)

Angiogenesis merupakan suatu pembentukan vaskuler baru. Keberadaan neovaskular ini memiliki arti penting dalam proses persembuhan luka. Kegagalan vaskularisasi akibat suatu penyakit, misalnya diabetes mellitus, akan

mengakibatkan lambatnya proses persembuhan karena adanya ulkus yang kronis. Menurut Tawi (2008), jaringan vaskuler yang melakukan invasi ke dalam luka merupakan suatu respon untuk memberikan nutrisi kepada jaringan sekitar luka. Proses angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansia yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factor). Selain itu, pembuluh darah juga mempunyai peranan sebagai pembawa sel-sel radang yang dibentuk di sum-sum tulang hingga sel radang tersebut dapat melakukan emigrasi pada jaringan yang terluka.

Pada hari ke-2 dan 4, belum terlihat adanya pembentukan neovaskular, tidak terdapat perbedaan yang nyata untuk ketiga kelompok perlakuan. Namun pada kelompok kontrol positif, keberadaan neovaskular sudah mulai terlihat pada hari ke-4. Hal tersebut menandakan bahwa sediaan komersil ini mengandung zat yang dapat memicu pembentukan pembuluh darah baru. Menurut Spector dan Spector (1993), tanda-tanda yang jelas bahwa pembuluh darah yang baru tumbuh pada daerah yang terluka yaitu pada hari ke-7. Pada awalnya neovaskular akan nampak sebagai pita yang padat dari sel-sel endotel yang tumbuh keluar sebagai kuncup dari kapiler yang utuh pada tepi luka. Sel-sel muncul sebagai akibat dari aktivitas mitosis pada sel-sel endotel pembuluh darah tetua dan diikuti oleh migrasinya ke arah luka. Cabang-cabang pembuluh kapiler baru ini kemudian akan saling beranastomose dan membentuk suatu jaringan sirkulasi darah yang padat di daerah luka.

Gambar 10. Neovaskularisasi yang terbentuk pada jaringan granulasi pada hari ke-7. Pewarnaan Masson Trichrome. Pembesaran 40x. Bars = 40m

Pada waktu yang bersamaan, fibroblast akan terangsang untuk membelah diri dan menghasilkan kolagen (Underwood 1999). Keberadaan neovaskular dan kolagen akan membentuk jaringan granulasi yang merupakan tanda dimulainya perbaikan jaringan. Pada kelompok kontrol positif terlihat puncak terbentuknya neovaskular yaitu pada hari ke-7. Hasil ini berbeda nyata secara statistik (P<0,05) dengan kelompok salep fraksi air rimpang kunyit yang jumlahnya masih cukup rendah. Pada kelompok salep fraksi air rimpang kunyit keberadaan neutrofil masih cukup tinggi hingga hari ke-14. Hal ini menyebabkan terjadinya penghambatan pembentukkan pembuluh darah baru. Pada Tabel 4 dapat terlihat adanya

penurunan jumlah neovaskular dari kelompok kontrol positif dan kelompok salep fraksi air rimpang kunyit yang terjadi pada hari ke-14 dan semakin menurun pada hari ke-21. Hal ini menunjukkan bahwa fase proliferasi persembuhan luka sedang mendekati awal fase pematangan dimana peranan kapiler dalam menyediakan nutrisi bagi regenerasi sel-sel selama masa persembuhan luka mulai berkurang. Peristiwa ini juga merupakan telah terjadinya diferensiasi neovaskular menjadi arteriola dan venula. Pada akhirnya simpai kapiler awal akan lenyap lewat penyusutan pembuluh-pembuluh yang berlebihan sehingga suplai darah ke luka berangsur-angsur berkurang. Pada kelompok kontrol negatif terjadi peningkatan jumlah neovaskular hingga hari ke-21. Hal ini berbeda nyata dengan kelompok positif dan kelompok salep fraksi air rimpang kunyit. Kemungkinan jaringan luka membutuhkan nutrisi dan oksigen sehingga keberadaan neovaskular masih dibutuhkan.

Pengamatan terhadap reepitelisasi Hasil pengamatan mikroskopis pembentukan epitel pada mencit kelompok kontrol positif dengan sediaan komersil, kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan dan kelompok perlakuan dengan sediaan salep fraksi air rimpang kunyit adalah sebagai berikut

Tabel 5. Rataan persentase (%) reepitelisasi Panen hari ke2 4 7 14 21 Kontrol Positif 33,3333,35 ab 33,3333,35 a 77,8019,23 a 66,6757,74 a 100,000,00 a Kontrol Negatif 44,4319,28 a 33,3333,35 a 77,8019,23 a 88,9019,23 a 100,000,00 a Salep Fraksi Air Rimpang Kunyit 0,000,00 b 11,1019,23 a 33,3333,35 a 100,000,00 a 100,000,00 a

Keterangan : Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05)

Regenerasi lapisan epitel merupakan serangkaian peristiwa yang sangat terkoordinasi dan terstruktur. Proses reepitelisasi telah berlangsung sejak beberapa jam setelah perlukaan (Singer dan Clark 1999). Peristiwa ini termasuk dalam fase proliferasi dimana terjdi proses kegiatan seluler yang penting yaitu memperbaiki

dan menyembuhkan luka yang ditandai dengan proliferasi sel. Poliferasi sel meliputi aktivitas mitosis dari sel-sel epidermis, sel-sel endotel, dan sel-sel fibroblast. Fibroblast akan mengeluarkan Keratinocyte Growth Factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal (Tawi 2008). Aktivitas mitosis epitel terjadi lebih dari empat atau lima sel dari tepi luka karena empat atau lima sel ini telah rusak atau terpapar oleh lingkungan yang tidak menyenangkan (Spector dan Spector 1993). Epitel akan meluncur keluar dari tepi luka dengan gerakan amoeboid yang khas. Sel-sel akan menggunakan pita fibrin dan komponen matriks ekstrasel lainnya seperti fibronektin untuk mengarahkan jalur mitosis epitel. Migrasi dan mitosis akan terhenti jika lembaran epitel dari berbagai sudut luka bertemu di tengah. Hal ini terjadi karena adanya hambatan kontak (contact inhibition) yang mengatur pertumbuhan dan pergerakan sel. Masih ada tepi lesi yang masih tetap mengandung sel-sel yang dapat membelah diri untuk menutup kembali kerusakan itu. Pada Tabel 5 terlihat adanya proses reepitelisasi pada kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol negatif pada hari ke-2. Namun proses reepitelisasi pada kontrol positif tidak lebih baik dari kelompok kontrol negatif. Kelompok salep fraksi air rimpang kunyit berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa neutrofil juga merupakan sumber sitokin yang memungkinkan sebagai sinyal awal aktivasi fibroblast lokal dan keratinosit (Martin et al 1997). Pada Tabel 3 menunjukkan jumlah neutrofil kelompok salep fraksi air rimpang kunyit cukup rendah sehingga mempengaruhi proses reepitelisasi. Peningkatan jumlah neutrofil pada hari ke-4 kelompok salep ekstrak kunyit mengaktivasi sel epidermal untuk melakukan mitosis. Pada Tabel 5, hari ke-4 hingga hari ke-21, ketiga kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Walaupun demikian, proses reepitelisasi hari ke-14 cenderung lebih cepat terjadi pada kelompok salep fraksi air rimpang kunyit. Selain sebagai antimikroba, kuinon juga berfungsi sebagai penghilang rasa sakit sehingga merangsang pertumbuhan sel baru pada kulit (Kumalaningsih 2008). Walaupun pertumbuhan epitel terjadi lebih cepat, namun proses persembuhan yang terjadi dibawah epitel belum maksimal.

Pengamatan terhadap luas kolagen Hasil pengamatan mikroskopis luas kolagen pada mencit kelompok kontrol positif dengan sediaan komersil, kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan dan kelompok perlakuan dengan sediaan salep fraksi air rimpang kunyit adalah sebagai berikut

Tabel 6. Rataan persentase (%) luas kolagen Panen hari ke2 4 7 14 21 Kontrol Positif 0,000,00 a 0,000,00 a 66,6733,35 a 100,000,00 a 88,9019,23 a Kontrol Negatif 0,000,00 a 0,000,00 a 33,300,00 a 88,9019,23a 77,8019,23 a Salep Fraksi Air Rimpang Kunyit 0,000,00 a 0,000,00 a 33,300,00 a 88,9019,23a 77,8019,23 a

Keterangan : Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05)

Kolagen adalah serabut yang mendominasi jaringan ikat dan disintesis oleh fibroblast. Makrofag juga berperan dalam mensintesa kolagen sehingga kehadirannya merupakan syarat bagi terbentuknya kolagen. Jaringan ikat kolagen akan mengalami pematangan menjadi serabut yang lebih tebal dan besar serta memiliki ikatan silang intermolekuler yang lebih banyak. Kolagen memiliki fungsi yang lebih spesifik yaitu membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka (Tawi 2008). Sel-sel fibroblast pada tepi luka akan membelah dan bermigrasi ke dalam luka pada saat yang sama dengan timbulnya kuncup-kuncup pembuluh darah. Di dalam luka akan terus membelah dan kira-kira enam hari sesudah datangnya fibroblast, fibril kolagen pertama dapat dikenali (Spector dan Spector1993). Pada ketiga kelompok perlakuan, keberadaan kolagen (Tabel 6) belum terlihat pada hari ke-2 dan 4 karena masih dalam fase inflamasi tetapi kolagen mulai terlihat pada hari ke-7 untuk ketiga kelompok perlakuan. Fibroblast akan memerlukan serabut-serabut otot dan perlekatan pada stroma serta sel didekatnya. Sel yang mengalami perubahan ini disebut myofibroblast dan memperlihatkan bentuk serta fungsi yang

sesuai denagn fibroblast dan sel otot polos. Selain menghasilkan anyaman kolagen, myofibroblast berfungsi juga sebagai pengerutan luka sehingga ukuran luka akan bertambah kecil. Data Tabel 6 menunjukkan bahwa pada hari ke-14 persentase kolagen kelompok kontrol positif telah mencapai 100%.

Gambar 11. Reepitelisasi (a) dan jaringan ikat kolagen (b) kelompok salep fraksi air rimpang kunyit yang terbentuk pada hari ke-14. Pewarnaan Masson Trichrome. Pembesaran 4x. Bar = 200 m

Persentase luas jaringan ini semakin menurun di hari ke-21. Hal ini menandakan bahwa pertumbuhan jaringan kolagen telah terkonsentrasi di daerah luka dan telah mengalami perubahan menjadi myofibroblast yang memiliki kemampuan untuk berkontraksi sehingga dapat memendekkan ukuran luka. Pada kelompok kontrol negatif dan kelompok salep fraksi air rimpang kunyit, persentase kolagen berbeda nyata secara statistik dengan kontrol positif. Pada hari ke-21 menunjukkan keberadaan kolagen semakin luas dan fase maturasi baru dimulai. Pada hari-hari berikutnya fibroblast akan meninggalkan jaringan garanulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Penurunan jumlah neovaskular pada kelompok kontrol positif dan kelompok salep fraksi air rimpang air menunjukkan bahwa fase proliferasi persembuhan luka mendekati awal fase pematangan dimana peranan kapiler dalam menyediakan nutrisi bagi regenerasi sel-sel mulai berkurang. Pada kelompok kontrol negatif, fase maturasi masih ditunjang oleh keberadaan neovaskular.

II

III

IV

A.

B.

C. Gambar 12. Gambaran histopatologi kontrol negatif (A), kontrol positif (B) dan perlakuan salep fraksi air rimpang kunyit (C) pada setiap panen yaitu pada hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21. Pewarnaan Masson Trichrome. Pembesaran objektif 4x. Bar = 400m

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan Kesimpulan yang bisa diambil dari penelitian ini adalah : 1. Senyawa yang dapat ditarik oleh pelarut air dari rimpang kunyit adalah senyawa kuinon 2. Pemberian sediaan salep fraksi air rimpang kunyit dapat mempercepat proses reepitelisasi 3. Secara keseluruhan, sediaan salep fraksi air rimpang kunyit kurang efektif untuk dipergunakan sebagai obat persembuhan luka.

Saran Perlu dilakukan penelitian menggunakan metode ekstraksi yang lain dengan pelarut air untuk menarik senyawa dalam rimpang kunyit

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008a. Mencit. http://id.wikipedia.org/wiki/Mencit. [12 Januari 2008]. ----------. 2008b. Kunyit. http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/kunyit.pdf. [8 Juli 2008]. ----------. 2008c. Transgenic History. www.transgenicmouse.com/transgenesishistory.php. [17 September 2008] Ackermann, MR. 2007. Pathologic Basis Veterinary Disease. Missouri : Mosby Elsevier Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi ke 4. Farida Ibrahim, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Introduction to Phar maceutical Dosage Forms. Arifin, S. 2007. CHE Around Us: http://www.majarikanayakan.com/2007/12. [8 Juli 2008] Sabun.

[Balittro]. 2006. http://balittro.litbang.deptan.go.id/pdf/renstra/renstra20062009.pdf. [22 Juli 2008] Blodinger, J. 1994. Formulasi Bentuk Sediaan Veteriner.Drs. Sugiharto Hadimoelj, Penerjemah. Surabaya: Airlangga University Press. Terjemahan dari Formulation of Veterinary Dosage Forms. Clark, RAF dan AJ. Singer. 1999. Cutaneous wound healing. www.nejm.org. [artikel] Dellmann HD, Brown EM. 1992. Buku Text Histology Veterinary. Ed ke 3. Hartono R, penerjemah. Jakarta: UI-Press. Hlm: 592-598. Farmakope Indonesia. 1979. Edisi ke-3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Giguere, S, JE Prescott, JD Baggot, RD Walker dan PM Dowling. 2006. Antimikrobial Therapy in Veterinary Medicine. Edisi ke-4. USA : Blackwell Publishing Guyton, A.C. dan J.E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Cetakan 1. dr Irawati S, dr LMA Ken Ariata T, dr Alex Santoso, penerjemah : dr Irawati Setiawan, editor. Jakarta : EGC. Terjemahan dari : Textbook of Medical Physiology. hlm. 549.

Handayani, I. 2006. Aktivitas Sediaan Gel Dari Ekstrak Lidah Buaya (Aloe barbadesis Miller) untuk Proses Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus). Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. [skripsi] Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia edisi ke-2. Institut Teknologi Bandung: Bandung Houghton, P.J. dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook For The Fractionation of Natural Ekstracts. London UK: Chapman & Hall Junqueira, L.C, J. Carneiro, dan R.O. Kelley. 1998. Histologi Dasar. Cetakan 1. dr. Jan Tambayong, penerjemah : dr. Sugiarto Komala dan Alex Santoso, S.Ked, editor. Jakarta : EGC. Terjemahan dari : Basic Histology. hlm 358368. Kumalaningsih, S. 2008. Antioksisan_SOD (Super Oksida http://antioxidantcentre.com/index2.pdf. [22 Juli 2008] Dismutase).

Martin, P et al. 1997. Wound Healing, Aiming for Perfect Skin Regeneration. www.sciencemag.org. Vol 276. [artike] Mills, R. www.delano.com/ferulic-curcumin-resembl.JPG. [8 September 2008] Perdanakusuma, D.S. 2008. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan http://www.surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/.html. [10 Juli 2008] Price, S.A. dan L. Mc Carty W. 1992. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke 6. Volume 1. Brahm U.P, Huriawati H, Pita Wulansari dan Dewi Asih M, alih bahasa : Huriawati H, Natalia Susi, Pita W, dan Dewi Asih M. Terjemahan dari : Pathophisiology : Clinical Concept of Disease Processes. Hlm : 56-79 Rahardjo, M dan Otih R. 2005. Budidaya http://balittro.litbang.deptan.go.id/pdf. [9 Juli 2008] Tanaman Kunyit.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Edisi ke 6. Kosasih Padmawinata, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari The Organic Constituents of Higher Plants. Purwanti, S. 2008. Kajian Efektifitas Pemberian Kombinasi Kunyit, Bawang Putih, dan Mineral Zink Terhadap Performa, Kadar Lemak, Kolesterol, dan Status Kesehatan Broiler. Bogor: Pascasarjana IPB. [Tesis]. Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). hlm. 10-17.

Spector, W.G dan T.D Spector. 1993. Pengantar Patologi Umum. Edisi ke 3. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Hlm : 130-145. Terjemahan dari : An Introduction to General Pathology. Sumiati, T. dan I Ketut Adnyana. 2007. Kunyit, Si Kuning yang Kaya Manfaat. http://www.halalguide.info/content/view/800/. [22 Juli 2008] Syukur, C dan Hernani. 2002. Budi Daya Tanaman Obat Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm. 76-77 Tawi, M. 2008. Proses Penyembuhan http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/. [10 juli 2008] Luka.

Tizard, IR. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Soehardjo, penerjemah. Surabaya : Airlangga University Press. Terjemahan dari : An Introduction to Veterinary Immunology. Underwood, J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistemik. Edisi 2. Prof. Dr. Sarjadi, editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari General and Systemic Pathology. Hlm 232-241. Ungerer, T. 1985. Biologi Reproduksi Hewan Percobaan Laboratorium. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Voigt, Rf. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi ke 5. Noerono Soendani, penerjemah. Samhoedi Raksohadiprojo, editor. Yagyakarta: Gajah Mada Press. Terjemahan dari Lehburch Der Pharmazeutischen Technologie. Wahl, S. 2008. Cytokines [14 Juli 2008] in Wound Healing. www.scienceboard.net

Wientarsih, I dan Bayu FP. 2006. Diktat Farmasi dan Ilmu Reseptir. Bogor : PPDH FKH IPB Winarto, WP. 2003. Khasiat dan Tanaman Kunyit. Jakarta : PT Agromedia Pustaka. Yahya, Harun. 2006. Struktur kulit. www.harunyahya.com/imagestubuh/23/jpg [14 Juli 2008] Yuliani, S dan S. Rusli. 2003. Ekstraksi Pestisida Nabati. Bogor : Balai Penelitian Rempah dan Obat

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Penghitungan Statistik

Polimorfnuklear (Neutrofil) hari ke-2


The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source DF Model 2 Error 6 Corrected Total 8 R-Square 0.640585 Coeff Var 18.96369

Sum of Square 3.79109744 2.12708628 5.91818372 Root MSE 0.595411

Mean Square 1.89554872 0.35451438

F Value 5.35

Pr > F 0.0464

Respon Mean 3.139742

Polimorfnuklear (Neutrofil) hari ke-4


The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source DF Model 2 Error 6 Corrected Total 8 R-Square 0.553745 Coeff Var 11.07892

Sum of Square 0.45756945 0.36874869 0.82631814 Root MSE 0.247907

Mean Square 0.22878472 0.06145812

F Value 3.72

Pr > F 0.0889

Respon Mean 2.237649

Polimorfnuklear (Neutrofil) hari ke-7


The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source DF Model 2 Error 6 Corrected Total 8 R-Square 0.252218 Coeff Var 15.85823

Sum of Square .62370955 1.84919256 2.47290212 Root MSE 0.555157

Mean Square 0.31185478 0.30819876

F Value 1.01

Pr > F 0.4181

Respon Mean 3.500747

Polimorfnuklear (Neutrofil) hari ke-14


The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source DF Model 2 Error 6 Corrected Total 8 R-Square 0.619784 Coeff Var 32.80532

Sum of Square 3.44352514 2.11248676 5.55601190 Root MSE 0.593364

Mean Square 1.72176257 0.35208113

F Value 4.89

Pr > F 0.0550

Respon Mean 1.808744

Polimorfnuklear (Neutrofil) hari ke-21


The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source DF Model 2 Error 6 Corrected Total 8 R-Square 0.250000 Coeff Var 41.61417

Sum of Square 0.23344671 0.70034014 0.93378685 Root MSE 0.341648

Mean Square 0.11672336 0.11672336

F Value 1.00

Pr > F 0.4219

Respon Mean 0.820990

Neovaskularisasi hari ke-2


The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source DF

Sum of Square

Mean Square

F Value

Pr > F

Model Error Corrected Total R-Square 0.000000 Coeff Var 0

2 6 8 Root MSE 0

0 0 0 Respon Mean 0.707107

0 0

Neovaskularisasi hari ke-4


The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source DF Model 2 Error 6 Corrected Total 8 R-Square 0.250000 Coeff Var 22.56617

Sum of Square 0.05954424 0.17863273 0.23817698 Root MSE 0.172546

Mean Square 0.02977212 0.02977212

F Value 1.00

Pr > F 0.4219

Respon Mean 0.764622

Neovaskularisasi hari ke-7


The GLM Procedure

Dependent Variable: respon Source DF Sum of Square Model 2 5.93718587 Error 6 0.76180580 Corrected Total 8 6.69899168 R-Square 0.886281 Coeff Var 19.91883 Root MSE 0.356325

Mean Square 2.96859294 0.12696763

F Value 23.38

Pr > F 0.0015

Respon Mean 1.788886

Neovaskularisasi hari ke-14


The GLM Procedure

Dependent Variable: respon Source DF Sum of Square Model 2 1.43241413 Error 6 0.96276245 Corrected Total 8 2.39517658 R-Square 0.598041 Coeff Var 18.30384 Root MSE 0.400575

Mean Square 0.71620706 0.16046041

F Value 4.46

Pr > F 0.0649

Respon Mean 2.188475

Neovaskularisasi hari ke-21


The GLM Procedure

Dependent Variable: respon Source DF Sum of Square


Model Error Corrected Total R-Square 0.851642 Coeff Var 27.89774 2 6 8 5.62712352 0.98025484 6.60737836 Root MSE 0.404198

Mean Square
2.81356176 0.16337581

F Value
17.22

Pr > F
0.0033

Respon Mean 1.448855

Reepitelisasi hari ke-2


The GLM Procedure

Dependent Variable: respon


Source Model Error Corrected Total R-Square 0.625956 DF 2 6 8 Coeff Var 57.63448 Sum of Square 55.35443706 33.07741936 88.43185643 Root MSE 2.347957 Mean Square 27.67721853 5.51290323 F Value 5.02 Pr > F 0.0523

Respon Mean 4.073876

Reepitelisasi hari ke-4


The GLM Procedure

Dependent Variable: respon


Source Model Error Corrected Total R-Square 0.140992 DF 2 6 8 Coeff Var 87.34128 Sum of Square 12.46820025 75.96365618 88.43185643 Root MSE 3.558175 Mean Square 6.23410013 12.66060936 F Value 0.49 Pr > F 0.6339

Respon Mean 4.073876

Reepitelisasi hari ke-7


The GLM Procedure

Dependent Variable: respon


Source Model Error Corrected Total R-Square 0.474185 DF 2 6 8 Coeff Var 31.59145 Sum of Square 30.42856500 33.74170013 64.17026513 Root MSE 2.371417 Mean Square 15.21428250 5.62361669 F Value 2.71 Pr > F 0.1454

Respon Mean 7.506514

Reepitelisasi hari ke-14


The GLM Procedure

Dependent Variable: respon


Source Model Error Corrected Total R-Square 0.212835 DF 2 6 8 Coeff Var 36.02212 Sum of Square 16.25209952 60.10799636 76.36009588 Root MSE 3.165122 Mean Square 8.12604976 10.01799939 F Value 0.81 Pr > F 0.4878

Respon Mean 8.786606

Reepitelisasi hari ke-21


The GLM Procedure

Dependent Variable: respon


Source Model Error Corrected Total R-Square 0.000000 DF 2 6 8 Coeff Var 0 Sum of Square 0 0 0 Root MSE 0 Respon Mean 10.02497 Mean Square 0 0 F Value . Pr > F .

Luasan kolagen hari ke-2


The GLM Procedure

Dependent Variable: respon


Source Model Error Corrected Total R-Square 0.000000 DF 2 6 8 Coeff Var 0 Sum of Square 0 0 0 Root MSE 0 Respon Mean 0.707107 Mean Square 0 0 F Value . Pr > F .

Luasan kolagen hari ke-4


The GLM Procedure

Dependent Variable: respon


Source Model Error Corrected Total R-Square 0.000000 DF 2 6 8 Coeff Var 0 Sum of Square 0 0 0 Root MSE 0 Respon Mean 0.707107 Mean Square 0 0 F Value . Pr > F .

Luasan kolagen hari ke-7


The GLM Procedure

Dependent Variable: respon


Source Model Error Corrected Total R-Square 0.520087 DF 2 6 8 Coeff Var 18.62352 Sum of Square 9.66527147 8.91866543 18.58393691 Root MSE 1.219198 Mean Square 4.83263574 1.48644424 F Value 3.25 Pr > F 0.1105

Respon Mean 6.546552

Luasan kolagen hari ke-14


The GLM Procedure

Dependent Variable: respon


Source Model Error Corrected Total R-Square 0.142857 DF 2 6 8 Coeff Var 8.955813 Sum of Square 0.74209415 4.45256487 5.19465902 Root MSE 0.861449 Mean Square 0.37104707 0.74209415 F Value 0.50 Pr > F 0.6297

Respon Mean 9.618879

Luasan kolagen hari ke-21


The GLM Procedure

Dependent Variable: respon


Source Model Error Corrected Total R-Square 0.100000 D F 2 6 8 Coeff Var 11.71016 Sum of Square 0.74209415 6.67884731 7.42094145 Root MSE 1.055055 Mean Square 0.37104707 1.11314122 F Value 0.33 Pr > F 0.7290

Respon Mean 9.009743

You might also like