You are on page 1of 22

NU STUDIES VIS--VIS ISLAMIC STUDIES PERSPEKTIF DAN METODOLOGI DARI, OLEH DAN UNTUK ISLAM INDONESIA PASCA 11 SEPTEMBER

Oleh Ahmad Baso1 Abstrak Makalah ini memperkenalkan satu terobosan baru dalam pemikiran Islam di Indonesia. NU Studies, demikian terobosan itu disebut, merupakan himpunan tradisi, pencerahan dan kritisisme, yang berakar dalam kha anah kogniti! dan praksis mayoritas umat beragama di Nusantara. Sebagai sebuah metodologi, NU Studies adalah perpaduan hibrid antara tradisi As"a#a, praksis kebangsaan dan keindonesiaan, dan kritik $oskolonial. NU Studies hadir dalam konteks kampanye %perang mela"an terorisme&, %benturan peradaban& dan %perang ide'ide& (war of ideas) yang dilancarkan Imperium AS, di satu pihak, pasca 11 September *++1, dan dalam konteks pemurnian agama dan puritanisasi tatanan sosial'politik Indonesia, yang dilancarkan oleh kelompok'kelompok Islam puritan di pihak lainnya. $asca 11 September *++1, segenap produksi pengetahuan dan #uga kebenaran diarahkan pada komunitas Islam untuk mengikuti isu seksi yang didesain dari ,ashington. Misalnya bagaimana men#adi Islam moderat, bagaimana men#adi muslim toleran, pluralis, dan seterusnya. -an, kalau perlu, umat Islam diharap punya andil dalam memerangi terorisme dan segenap antek'anteknya. NU Studies memberi koreksi terhadap desain global tersebut. Ini dengan menun#ukkan misalnya pada posisi para kiai sebagai seorang pener#emah atau pena!sir yang akti!, yang hidup di antara persilangan budaya (cross-roads of cultures). -i satu sisi, mereka berposisi sebagai pener#emah "acana ke'NU'an ke dalam konteks kebangsaan dan kemodernan'global. Sementara, pada sisi lain, mereka #uga mener#emahkan "acana kebangsaan dan kemodernan'global ke dalam konteks ke'NU'an. $osisi para kiai yang %bi-directional&, pener#emah dua'arah ini, menimba inspirasi dari konsep polyphonic-nya .d"ard ,. Said dari pengalaman ke' $alestina'annya dalam melakukan kritik terhadap imperialisme. -ari posisi dua'arah ini, NU Studies merupakan hasil per#umpaan atau encounter, yang lahir dari proses ganda %abrogasi& dan %apropriasi&. Seperti cara komunitas NU memahami demokrasi yang dikaitkan dengan praktik ritual istigatsah. NU melucuti pengertian demokrasi yang dipakemkan di dunia sana (abrogasi), lalu mengisinya dengan pemahaman yang mereka miliki sendiri (apropriasi). Strategi'strategi translasi dua arah itu yang kemudian ditun#ukkan misalnya dalam paradigma'paradigma !i/ih yang umum dikenal dalam tradisi NU0 %ketat tapi longgar&, %sulit masuknya, mudah keluarnya&, %tasharruful imam ala raiyyah manuthun bi-l mashlahah&, %al-muhafazhah alal-qadim ash-shalilh wal akhdz bil jadid al-ashlah&, dan sebagainya.111 1

Mme quand elles parlent, elles ne sont pas entendues dans leur diffrence (Masyarakat'masyarakat yang didiamkan, meskipun berbicara, tapi tidak akan didengar dalam keperbedaannya). ''' Abdelkebir 2hathibi, Maghreb pluriel (1345) slamic studies as currently carried out in the !est remains the "ictim of hegemonic reason# ''' Mohammed Arkoun, %%Islamic Studies0 Methodologies& (1336) 2arena ragam dan banyaknya ka#ian, barangkali tidak berlebihan #ika dikatakan sekarang telah lahir tunas ilmu baru, 7Nahdlatologi8 (ilmu tentang Nahdlatul Ulama). $ertanyaan ke dalam segera ditanyakan0 apakah kaum nahdliyin akan terus menerus sekadar men#adi 7ob#ek8 ilmu9 (1333). ''' 2:. A. Muchith Mu adi, %-ari $dandakna A"ak sampai $dandakna Bangsa&

NU Studi s, !L"#a$ K%"&$ d' () M $a*+aui P"siti,isasi Is$a*i# Studi s NU Studies muncul dari se#umlah krisis dalam slamic %tudies. -iantaranya, slamic %tudies mengadiluhungkan Islam sebagai %uni;ersal&. Menyakini Islam sebagai agama yang didak"ahkan untuk segenap umat manusia, tanpa mengenal tempat dan "aktu, adalah berbeda dengan mengka#i Islam sebagai sesuatu yang %uni;ersal&. <ang pertama adalah sebuah keyakinan religius, dan dimanapun penganut agama akan meyakininya demikian. Sedangkan mengka#i Islam artinya menempatkan Islam sebagai agama, se#arah, peradaban, kebenaran, dan seterusnya, dalam standar'standar keilmuan tertentu, yang layak diobyekti!ikasi dan di;eri!ikasi, sehingga men#adi sebuah displin keilmuan tersendiri. =entu banyak sudah ka#ian tentang slamic %tudies sebagai sebuah disiplin keilmuan. =api yang kurang ditelaah kemudian adalah soal %uni;ersalisme&'nya ini. Seorang alumnus pascasar#ana UIN >akarta misalnya menulis tentang %NU liberal&, dan ketika diterbitkan sebagai sebuah buku, #udulnya men#adi %NU ?iberal, dari $artikularisme Ahlussunnah ke Uni;ersalisme Islam& (Mi an, *++5). -an dimana pun, dalam kampus dan ruang'ruang akademik, Islam uni;ersal sudah men#adi bagian dari dogma, yang sudah dianggap bagian dari a#aran keagamaan. Mohammed Arkoun melacak akar'akar %uni;ersalisme& itu ke dalam nalar hegemonik, ke model nalar .ropa abad 13 yang ekspansionis ke negara'negara #a#ahan atas nama %misi pemberadaban& (ci"ilizing mission).* Mengapa disebut nalar hegemonik9 Arkoun menyebutnya berpretensi obyekti!, dan standar bakunya dianggap normati!. -engan kata lain, standarisasi dan obyekti!ikasi selalu mengandaikan uni;ersalisasi. Menurut .d"ard Said, the uni"ersal is always achie"ed at the e&pense of the nati"e' (yang uni;ersal selalu dicapai atas kerugian penduduk pribumi) @ meru#uk kepada apa yang pernah dikatakan oleh Aanon, %for the nati"e, objecti"ity is always directed against him&.B -alam pandangan uni;ersalis dan obyekti!is 2

ini, selalu ada kemungkinan untuk melakukan aplikasi umum dan dimanapun (general application), dimana tidak ada lagi distingsi antara manusia dan tempat atau lokus tertentu. Berbicara tentang Islam sebagai obyek ka#ian yang dipakemkan di .ropa, diyakini bisa #uga berlaku di negeri'negeri #a#ahan @ terlepas dari soal apakah Islam yang ada di negeri'negeri #a#ahan itu berbeda secara praktis dan pengalaman dari yang dipakemkan di seberang sana. Maka, berbicara tentang nalar hegemoni dalam slamic %tudies adalah #uga berarti berbicara tentang positi;isasi slamic %tudies. 2alau Islam =imur =engah di belahan A!rika bisa berlaku sama, maka, dalam logika positi;isasi'uni;ersalisasi ini, hal serupa #uga bisa muncul di Asia Selatan, dan #uga di Asia =enggara. .sensi maupun substansinya tetap dianggap sama, tak berubah. Misalnya doktrin :.A.C. Dibb bah"a Islam adalah %satu kesatuan antara doktrin dan peradaban&. Sehingga positi;isasi selalu mengandaikan segalanya serba %Islami&, mulai dari %Islamic society&, %Islamic art&, %Islamic bank&, %Islamic economy&, hingga %Islamic !ood and par!um&E Oleh karena itu, baik Arkoun maupun .d"ard Said kemudian menekankan pentingnya %local knowledge& yang memba"a Anda untuk kritis terhadap sebuah teks atau produk pengetahuan (yang diuni;ersalkan itu), lalu mengembalikannya kepada konteks, situasi atau lokalitasnya. Sebuah pengetahuan atau teori manapun, menurut Said, muncul dari lokus tertentu, dari konteks lokalitasnya. 2etika bermigrasi keluar, ia kehilangan elastisitasnyaF kekuatan dan maknanya #adi melemah. -alam bentuknya yang melemah ini, teori tidak lain hanya berupa metode'metode strategis yang keberlakuannya dikondisikan oleh se#umlah adaptasi, konstruksi baru, inter;ensi, negosiasi, atau resistensi di luar dari lokusnya semula. Sistem dan prosedurnya mengambil alih posisi pemikiran a"al yang dicetuskan. $andangan seperti inilah yang kemudian dikenal %teori tra;eling& atau %kritik sekuler&.6 >adi, ada dua pengertian tentang %local knowledge& ini dalam konsep %tra"eling theory&'nya Said ini0 pertama, %local knowledge& sebagai asumsi primer bah"a semua pengetahuan dan teori terbentuk dan terbatas dalam lingkupnya masing'masing. 2edua, %local knowledge& bisa #uga berarti pisau analisis'epistemik, sebagai instrumen untuk merangsamg metodologi baru, sebuah %analisis situasional&. 2alau saya misalnya menggabungkan kedua unsur %local knowledge& ini dan berasumsi bah"a Bill ?iddle, seorang %Indonesianis& asal Amerika, bukanlah intelektual uni;ersalis, tapi %intelektual& lokal dengan segenap keterbatasannya (unsur %local knowledge& pertama), maka saya sebetulnya sudah menempatkan pemikiran ?iddle dalam konteks dimana ia dibatasi oleh segenap konstruk pengetahuan dan kuasa yang ada di sekitarnya. Sehingga pemikirannya tidak berlaku untuk kita sebagai ornag Indonesia, karena kita sudah punya tradisi berpikir sendiri tentang politik dan kultur bangsa kita yang kemudian dari sana kita dialogkan, kita adaptasikan, dan #uga kita pakai untuk melakukan inter;ensi, negosiasi maupun resistensi terhadap pikiran'pikiran ?iddle. Ini adalah %local knowledge& unsur kedua. %Saya 3

menyadari betul betapa kuat pengaruh pengalaman pribadi saya sebagai "arga negara Amerika dan "arga kota $ittsburgh&, tulis ?iddle, %2etika itu, guru'guru saya dihantui oleh ketakutan bah"a nilai'nilai serta kehadiran Amerika di dunia ini akan dimusnahkan oleh kekuatan asing yang totaliter. 2emudian ini diteruskan di uni;ersitas ketika saya dikuliahi oleh dosen'dosen ilmu politik yang melarikan diri dari negara !asis, komunis atau kedua' duanya&.G 2alau %local knowledge& ini diperta#am ke dalam slamic %tudies, maka krisis tersebut akan tampak dengan #elas dalam konteks ini. %local knowledge& menggarisba"ahi dan mencoret uni;ersalisme pada saat bersamaan. 2alau ada sesuatu yang dikatakan uni;ersal, maka tentu ada yang dianggap %tidak'uni;ersal& yang mengganggu pembakuan uni;ersalitas itu0 %tradisional&, %lokal&, dan #uga yang berbau %etnik& dan %komunal&. Seperti halnya studi'studi tentang transisi demokrasi di Indonesia yang begitu gagap membaca !aktor etnisitas dan kebangkitan kelompok'kelompok etnis dan %kedaerahan&, "acana studi'studi Islam #uga mengalami kebingungan membaca !aktor'!aktor lokal tersebut. Bahkan terkadang analisisnya sangat miskin dalam membaca persoalan'persoalan identitas etnik serta hubungannya dengan militansi agama. Biasanya yang dibaca adalah soal potensi kon!lik dan disintegrasi identitas kesukuan dan kedaerahan itu. -an kebingungan itu adalah re!leksi dari sebuah krisis. <akni, ketika solusi kon!lik bernuansa agama itu ditemukan melalui %local wisdom&, yakni kembali ke identitas budaya dan lokalitas, seperti pela gandong, baku-bae, dsb. -an bukan malah melalui "acana %agama uni;ersal& atau %Islam uni;ersal&. -engan kata lain, slamic %tudies dengan %Islam uni;ersal&'nya tidak lagi punya arti dalam konteks kehidupan keseharian masyarakat dalam lingkungan persilangan identitas agama dan etnikF %Islam uni;ersal& hanya bermakna terbatas dalam ruang kelas, dalam teks'teks akademik.H Sementara itu, %local knowledge& sebagai pisau analisis'epistemik ditun#ukkan oleh keberadaan NU Studies. Mengapa NU Studies9 Bagaimana ia berhadapan dengan slamic %tudies( -an mengapa pasca 11 September *++19 Apakah ini sebuah sektarianisme dan apologi, karena kebetulan yang menulis makalah ini adalah orang NU, yang dibesarkan dari kultur pesantren9 NU Studi s, Id %titas Ku$tura$, da% K"*u%itas Etik-E+ist *ik) Tradisi da% Masa$a. Mar&a. Ba%'sa 2asus 11 September *++1 membangkitkan kembali sesuatu untuk kembali kepada tradisi, kepada identitas kultural %ke'NU'an&. 11 September *++1 mengarahkan umat Islam Indonesia untuk menun#ukkan kepada diir mereka bah"a proyek modernisasi di kalangan umat Islam belum selesai, dan kesalahan, sekali lagi, ditimpakan kepada pikiran'pikiran umat yang belum selesai dan sempurna kemoderenannya. Mereka dianggap masih ter#ebak pada pikiran masa lalu yang !undamentalis atau tradisionalis. $engulang'ulangan kata %madrasah& atau %pesantren& di kalangan Muslim kota maupun di media massa internasional, yang disebut sebagai a#ang kaderisasi kelompok'kelompok teroris, mendukung satu !ormasi diskursi! 4

bah"a modernisasi di kalangan umat Islam belum rampung, atau, bah"a umat siap belum siap memasuki dunia modern. Seperti ditun#ukan dalam !orum USIN-O'=AA di ,ashington -I tentang Islam di Indonesia modern, H Aebruari *++* lalu, dimana ada seruan supaya NU dan Muhammadiyah bersikap tegas terhadap kelompok' kelompok Islam keras dan mendukung langkah'langkah Amerika dalam kampanye anti'terorismenya.4 -engan demikian, dalam konteks Islam pasca 11 September ini, dalam konteks imperialisme global ini, ada keperluan untuk kembali sebuah identitas kultural untuk mengoreksi adanya sesuatu yang keliru dalam konstruk pengetahuan global tentang Islam. 3 2oreksi tersebut bisa dilihat dalam !orum diskusi di $BNU yang digelar oleh $5M ($erhimpunan $engembangan $esantren dan Masyarakat), >uli *++6 lalu. =opik diskusi adalah tentang %the place of tolerance in slam&, menampilkan $ro!. 2haled Abou el'Aadhl dari AS sebagai pembicara utama. Ada dua hal yang #adi !okus, %toleransi& dan %Islam&. <ang dimaksud 2haled dengan Islam dalam diskusi itu tentu bukan pengalaman umat Islam dalam menghayati agama dalam konteks kebudayaan yang beragam dan dinamis, seperti umat Islam di Mesir, tempat ia dibesarkan, atau Muslim di AS, dimana ia tinggal sekarang. <ang #adi acuan adalah Islam sebagai teks. =epatnya, Islam sebagaimana yang ada dalam teksnya yang dipakemkan, yakni dalam al'Jur8an. Maka, dalam kerangka %Islam sebagai teks& inilah, 2haled berupaya mengotak'atik se#umlah ayat dalam al'Juran, untuk kemudian dita!sirkan sesuai dengan ta!sirannya tentang toleransi. Seperti ayat %laula dafullahinnas #####&, dst. Maka, ketika diskusi berlangsung, saya menga#ukan kerangka yang lain dalam mendekati persoalan toleransi, agar tidak terkesan, bah"a apa yang ditun#ukkan oleh umat Islam hanya sesuatu yang ideal dalam teksnya, bukan dalam pengalaman hidupnya. Saya ingin tun#ukkan apa yang ditun#ukkan oleh umat Islam Indonesia, terutama di kalangan NU, dalam menghayati arti toleransi ini. Saya mengatakan, mereka tidak langsung meru#uk kepada al'Juran, tapi ke kitab )athul Muin. Seperti yang menyebut %daf dlarar mashumin&. Namun, ketika direspon, tak disangka, sang pro!esor langsung merah telinganya, emosional, dengan suara terangkat, seakan saya mendiktenya tentang apa apa arti meru#uk ke kitab kunig, seakan'akan ia dikesankan tidak ngerti tentang kitab kuning. =ampak, bah"a 2haled merasa uneasy dan terganggu dengan ru#ukan kitab kuning itu dibanding misalnya kalau saya seandainya meru#uk ke al'Juran, seperti yang ia lakukan dengan ilmiah, sebuah bidang dimana ia bisa merasa comfortable. 2arena ia sedang menun#ukkan sesuatu yang %ber"iba"a' ilmiah& dalam studi Islam. =api #ustru di sinilah masalahnya. Saya kira, ini adalah gambaran dari konstruk tentang Islam seperti yang di Barat, yang ingin dipahami oleh Barat, dan #uga sesuatu yang diinginkan oleh Barat agar Islam seperti itu. Ini pada gilirannya memberi kesan kepada umat Islam bah"a Islam seperti itulah yang mesti ditampilkan, yang dipanggungkan, dalam konteks kemodernannya. <akni, bisa dikatakan, staging slam in its modernness, in its te&tuality, and in its fi&edness. Bicara tentang studi Islam, dalam konteks 5

!iksasi ini, berarti berangkat dari asumsi dasar yang dikatakan orisinal dan otentik, dan #uga uni;ersal, dan itu adalah teks asalnya pada al'Juran dan :adis. Sementara meru#uk kepada apa yang dikatakan kitab kuning, bukanlah bercirikan sesuatu yang modern, uni;ersal, otentik dan orisinal. Siapa di antara orang'orang Islam di Barat atau orang'orang Barat sendiri yang tahu apa itu kitab )athul Muin misalnya. =entu tidak akan ada. -i Arab Saudi sa#a, dimana ada Mekah dan Madinah, pusat ibadah umat Islam di seluruh dunia, )athul Muin #arang ditemukan di toko'toko kitab sana. Apatah lagi dalam penga#ian'penga#ian agama di mes#id'mes#i besar di Mekah dan Madinah. Barangkali suatu saat nanti pandangan Barat akan mengarah kepada buku ini, kalau seandainya ada seorang teroris yang tertangkap dan ketahuan menyimpan buku ini di rumah kontrakannya. Maka, publik Barat pun akan segera membaca dan menelaah kitab )athul Muin. Bagian'bagian mana misalnya dalam buku itu yang merupakan ru#ukan bagi sang teroris dalam melancarkan aksi bom bunuh dirinya itu. Selama ini, yang ditemukan dalam buku'buku kaum teroris adalah karya'karya para ulama ,ahabi dan Ikh"anul Muslimin. Ini yang banyak di#adikan ru#ukan oleh anggota kelompok al'Jaedah maupun yang disebut'sebut dengan #aringan >amaah Islamiyah. 2ini berkembang se#umlah penerbitan dalam bahasa Inggris atas karya' karya Ibn Ba dan al'Utsaimin, ulama ,ahabi, yang kemudian menggemparkan publik Barat. Meski demikian, respons atas karya itu cukup beragam, tergantung posisi seseorang berada. Ada yang menyebut karya' karya itu tidaklah mencerminkan sesuatu yang uni;ersal dari Islam. Ada pula yang melihat bah"a Islam memang agama kemunduran, seperti dibuktikan dari tulisan'tulisan ulama ,ahabi itu, yang mereka lihat sebagai ikon atau tanda kemunduran. Seperti !at"a tentang haramnya perempuan mengendarai mobil sendiri. Ini berbeda kalau yang ditemukan itu adalah al'Juran. $ublik Barat akan mengangkat sekian makna dan ta!sir. Sehingga memungkinkan men#inakkan berbagai bentuk apropriasi dan rekayasa makna. Misalnya, kalau ada seorang teroris atau !undamentalis Islam yang menyebut #ihad dalam al'Juran sebagai pembenaran teror, maka akan segera dicap bah"a ta!sirannya keliru, tidak pluralis dan tidak modern. Maka, dicarilah ta!sir' ta!sir yang sesuai dengan hasrat Barat itu, yaitu ta!sir al'Juran yang dikatakan liberal dan modern itu. Misalnya mencari dalam Islam sesuatu modern'liberal itu, %a close friend& yang akomodati! terhadap Barat. Ini tentu tidak seperti buku'buku ,ahabi atau )athul Muin yang selalu dianggap problematik, unpredictable, susah dikendalikan, dan tidak cocok dengan selera Barat yang kosmopolit dan suka mengotak'atik makna. >adi, seperti itulah konstruk slamic %tudies tentang Islam, yang menurut Arkoun adalah kelan#utan dari nalar hegemonik .ropa abad 13, berhadapan dengan kitab kuning sebagai local knowledge di kalangan Nahdliyin. -engan demikian, NU Studies adalah cara orang'orang NU menulis dirinya sebagai fail, sebagai pelaku, sebagai subyek. NU Studies adalah praktik teoritis'metodologis dari orang'orang yang mengelak dan mela"an 6

kenecisan dan rasionalitas konsep pengetahuan dan teori, serta berteorisasi, persisnya, dari situasi diri mereka sebagai orang'orang tradisionalis, orang' orang pesantren, sebagai bangsa Indonesia dan sebagai masyarakat -unia 2etiga. Mereka menulis dari sebuah %lokasi !iloso!is& (philosophical location), dimana lokasi tersebut bukan hanya geogra!is, tapi #uga historis, politis, dan epistemologis. NU Studies adalah sebuah peralihan subyekti!itas. Ia adalah perlaihan dari subyekti!itas sebuah komunitas yang selama ini men#adi obyek "acana dan penelitian, obyek ad;okasi dan kampanye global, men#adi subyek yang melakukan sendiri ker#a'ker#a ta!sir dan penelitian, yang melakukan sendiri reclaiming atas isu'isu lokal, nasional, maupun global. Apa arti menulis'diri9 Menulis diri bukan hanya masalah membangun kembali harga diri atau mar"ah sebuah komunitas yang bernama #amaa8ah nahdliyin, yang kini mulai digerogoti atas nama %perang mela"an teroris&, atas nama %toleransi, pluralisme dan liberalisme&, atau desain global %benturan peradaban&. Menulis diri adalah in;ensi atau penemuan kembali arti sebuah komunitas dalam konteks kehadirannya di sebuh negeri bernama Nusantara. Ia menulis'diri sesuatu yang bangkit (nahdlah), sebuah cita'cita tentang masyarakat'bangsa dimana para ulama men#adi penerang dan penun#uk arah yang lebih baik bagi masa depan mereka. Nun #auh di sana, nahdlah itu muncul ketika se#umlah ulama Sula"esi di ,atampone, 2abupaten Bone, Sula"esi Selatan, berkumpul mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 135*, yang di!asilitasi oleh ra#a Bone, Andi Mappanyukki. %>ikalau semangat nasionalisme rakyat Bone masih tertidur nyenyak, maka dengan berdirnya Nahdlatul Ulama di Bone dengan pelopor utamanya para ulama, maka #i"a nasionalisme mulai berkobar'kobar. -imana'mana di Nusantara Indonesia tumbuh berbagai organisasi kebnagsaan maupun keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) di Bone, yang maksud dan tu#uannya untuk melepaskan belenggu pen#a#ah yang telah berhasil mencengkeram tanah air Indonesia selama hampir tiga setengah abad,& demikian penuturan A.M. :ana!ie, yang pernah men#adi saksi kehadiran NU di Bone.1+ 2ini kata'kata nasionalisme sudah terkesan peyorati! di telinga se#umlah pe#abat dan se#umlah elemen masyarakat. Bahkan ia diidentikkan dengan %balkanisasi&, yang dianggap memecah'belah seperti yang ter#adi di negara <ugosla;ia dulu. =api #ustru di kalangan ulama' lah kata'kata bangsa dan nasionalisme sangat kuat menggerakkan semangat mereka untuk membebaskan Indonesia dari pen#a#ahan bangsa asing. Sepulang dari Mekkah, 2iai ,ahab :asbullah berencana mendirikan organisasi pemuda di kalangan umat Islam yang bertu#uan menggelorakan semangat nasionalisme. Ia bertemu dengan 2: Mas Mansur, yang kemudian men#adi tokoh Muhammadiyah, dan sepakat dengan gagasan tersebut. >uga disambut baik oleh :OS =#okroaminoto, Caden $and#i Soeroso, Soend#oto, dan 2: Abdul 2ahar, seorang saudagar terkemuka yang kemudian membantu pendanaannya. Maka, berdirilah sebuah gedung bertingkat di 2ampung 2a"atan Dang IK, Surabaya, yang kemudian dikenal dengan perguruan Nahdlatul ,athan ($ergerakan =anah Air). =u#uannya, untuk mendidik kader'kader muda dan membangunkan semangat nasionalisme 7

mereka. $ada 131G, perguruan ini mendapat Cechtsperson (resmi berbadan hukum), dengan susunan pengurus0 2: Abdul 2ahar sebagai -irekur, 2: Abdul ,ahab :asbullah sebagai pimpinan -e"an Duru dan 2eulamaan dan 2: Mas Mansur sebagai 2epala Sekolah dibantu 2: Cid"an Abdullah. Se#ak itu Nahdlatul ,athan di#adikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk men#adi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Setiap hendak memulai kegiatan bela#ar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu per#uangan dalam bahasa Arab, yang telah digubah oleh 2iai ,ahab dalam bentuk syair seperti berikut0 *a ahlal wathan, ya ahlal wathan.... ,ahai bangsaku, "ahai bangsaku... Iinta tanah air adalah bagian dari iman Iintailah tanah air ini "ahai bangsaku >angan kalian men#adi orang ter#a#ah Sungguh kesempurnaan dan kemerdekaan harus dibuktikan dengan perbuatan... Delora nasionalisme ini kemudian dibuktikan pada lahirnya Sumpah $emuda, dan #uga pada tahun 13B6 saat negara Indonesia baru berdiri. Saat itu bangsa kita menghadapi tantangan akan di#a#ah kembali. Cesolusi >ihad yang dikeluarkan 2: :asyim Asy8ari pada ** Oktober 13B6 yang me"a#ibkan kaum santri berperang menghadapi =entara Sekutu, Inggris dan Belanda, telah membakar semangat rakyat dan umat Islam untuk terlibat mempertaruhkan nya"a guna mempertahankan kemerdekaan Cepublik Indonesia. Itu ditun#ukkan dalam pertempuran 1+ No;ember 13B6 di Surabaya. -an perla"anan heroik tersebut kemudian ditetapkan sebagai :ari $ahla"an. -engan demikian, pasca 11 September, segenap tradisi dan kepercayaan NU ditempatkan dalam sebuah mikroskop, dan dalam penga"asan ketat. Se#umlah kata'kata ci;ili ing bersile"erang untuk membuatnya mengerti akan nilai dan harga tradisinya0 liberal, pencerahan, kritik tradisi, dsb. -emikian pula, bersamaan dengan itu, muncul kata oblietring, pembusukan, kalau ternyata mereka gagal, macam'macam0 konser;ati!, bergeser ke kanan, !undamentalis.11 Mereka ditantang untuk menun#ukkan rasionalitas mereka untuk tu#uan'tu#uan yang si!atnya instrumental dan ulititarian. Casionalisasi diarahkan sebagai utilisasi atau keberman!aatan untuk hal'hal yang si!atnya kasuistis. =radisi sebagai sebuah kesatuan antara se#arah, komunitas, kebenaran, pun terkoyak. <ang ada adalah kompartementalisasi, sekatisasi atau kotakisasi. =radisi ditempatkan dalam test modernitas, seperti dalam dikotomi publik'pri;at, moderat'!undamentalis, hingga #umud'progresi!. Seperti ditun#ukkan dalam buku saya, slam +asca ,olonial (*++6), masuknya kolonialisme dan modernitas mengubah lanskap sosial komunitas tradisi(onal) NU. -engan diperkenalkannya sekat pri;at dan publik, termasuk hukum pri;at dan hukum publikLsipil, agama mulai dipisahkan dari adat, budaya dengan politik. -emikian pula tradisi mulai dipisahkan dari masyarakat dan kehidupan sehari'hari. =radisi kemudian dimodi!ikasi sebagai sebuah barang0 sebagai benda seni, arte!ak atau sebagai sesuatu yang berbeda dari orang'orang kebanyakan. Sehingga munculah sebutan Islam sebagai :igh =radition, sebagai =radisi Agung, sebuah 2ehalusan dan #uga 2emurnian. =radisi yang dulu mengakar dalam masyarakat 8

kebanyakan, mulai tercerabut dari lingkungan dimana ia tumbuh. Orang' orang yang memproduksi tradisi sebagai arte!ak atau 2emurnian, mulai mendapat tempat istime"a dalam spektrum dan "a"asan kolonial' modernis. 2omodi!ikiasi ini memungkinkan tradisi beralih dari lokusnya dalam pesantren dan komunitas, untuk selan#utnya dipindahtangankan menu#u ruang baru yang bernama museum, galeri, atau dalam narasi besar tentang %pembaruan& atau %puri!ikasi&. 2emunculan berbagai disiplin keilmuan, seperti yang dirintis oleh ka#ian'ka#ian etnologLindolog dan orientalis, memperkenalkan paradigma baru dalam melihat Islam, tradisi dan komunitas. -engan bantuan kelompok' kelompok ,ahabi dan kelompok re!ormis seperti Muhammad Abduh, mereka memperkenalkan bagaimana cara men#adi Islam yang benar, dan #uga bagaimana men#adi komunitas beragama yang mengambil #arak dari realitas tradisi dan kulturnya yang dianggap tidak asli dan tidak murni. Artinya, mereka dia#arkan bagaimana men#adi obyekti! dan representati! @ yang kemudian dibakukan men#adi slamic studies. Sementara tradisi sebagai arte!ak #uga mulai diperkenalkan dengan sebuah medium baru yang bernama pasar. =radisi di sini bukan hanay ebrarti barangLarte!ak yang bisa di#amah, tapi #uga arte!ak budaya. -alam konteks tradisi sebagai arte!ak kebudayaan ini, indi;idu men#adi penting dibandingkan komunitas. $embaru atau mu#addid men#adi penting dari pada sebutan ulama. =ulisan atau tradisi yang ditulis lebih terhormat daripada tradisi yang dilisankan. Mobilisasi tradisi ini antara satu indi;idu ke indi;idu, dari satu tulisan ke tulsian lainnya, dari satu kitab putih ke kitab putih lainnya, pada tahap selan#utnya memungkinkan munculnya hirarki baru. 2onsep spesialisasi atau sekat'sekat diperkenalkan. Orang'orang yang menggeluti !i/ih nisa, misalnya, berbeda dengan yang menggeluti !i/ih siyasah, lain pula yang menggeluti !i/ih #inayah atau !i/ih muamalah. Bahkan kini pun semuanya men#adi !i/ih, dengan sub'sub cabangnya masing'masing0 !i/ih aborsi, !i/ih terorisme, !i/ih korupsi, !i/ih pluralisme, !i/ih demokrasi, dan seterusnya. -ari sinilah lahir generasi baru yang melihat bah"a yang lebih penting adalah pembaruan, liberalisme atau men#adi progresi!, dan bukan populismenya. Soalnya, tradisi sebagai tradisionalisme dianggap sebagai cacat sendiri, yang harus disingkirkan. -i sini yang dipentingkan adalah pencerahan atas tradisi, kritik tradisi, atau gugatan terhadap tradisi. <ang baik itu adalah tradisi yang sudah mengalami o;erhaul, turun mesin, sebelum berdaya gna untuk konteks masyarakat modern. Seperti ini pula yang ditun#ukkan oleh sebuah sur"ey (bukan penelitianE) dari $$IM'UIN >akarta beberapa "aktu lalu. $ada bagian rekomendasi, disebutkan0 -alam konteks keagamaan di Indonesia, penting untuk mengembangkan pemahaman keagamaan yang plural, tidak har!iyah, dan kontekstual demi terciptanya Indonesia yang damai tanpa kekerasan.
$endidikan Islam seyogyanya men#adi aspek yang men#adi perhatian bersama, untuk mengurangi budaya dan tindakan kekerasan. Ini didasarkan pertimbangan bahwa tidak sedikit sumber-sumber pemahaman slam seperti kitab-kitab kuning di pesantren yang banyak mendukung tindakan kekerasan sebagaimana telah dijelaskan di atas .-1*

$enelitian yang "aktu itu didanai 2edutaan Amerika Serikat ini #uga mengungkap adanya korelasi positi! antara perilaku kekerasan dan #enis pendidikan. $endidikan madrasah atau pesantren disebut %berkontribusi paling besar terhadap perilaku kekerasan keagamaan&.15 -alam ka#ian'ka#ian $oskolonial, tradisi bukan hanya sesuatu yang narati!, simbolik, atau yang kuno. =api #uga @ yang lebih penting '' sesuatu yang teatrikal, alegorikal, dan #uga kontemporer.1B -alam ima#inasi kaum Nahdliyin, tradisi selalu diarahkan pada dua konteks seklaigus, %almuhafazhah alal qadim ash-shalih& dan %al-akhdz bil jadid al-ashlah&. =radisi, singkatnya, adalah local knowledge mereka. G % a$"'i NU Studi s) NU Ku$tura$, Abdurra.*a% /a.id Ku$tura$, P"st-Tradisi"%a$is* NU Studies tidaklah lahir begitu sa#a. Sebelumnya ia hadir dengan se#umlah nama0 %NU 2ultural&, %Abdurrahman ,ahid kultural&, hingga %post' tradisionalisme&. Masing'masing dengan caranya sendiri, mengukuhkan suara lain dimana NU dengan tradisi As"a#a'nya hadir sebagai sebuah strategi kultural. NU 2ultural& bukan sekedar luapan emosional kembali ke 2hittah 13*G untuk meninggalkan kebosanan hiruk'pikuk politik era 134+'an. Oleh Abdurrahman ,ahid, ia dipahami sebagai sebuah %pembaruan& dan %kebangsaan&. %=u#uan NU adalah trans!ormasi sosial secara lebih paripurna dan lebih mendasar. Sasarannya adalah kelangsungan proses demokratisasi kehidupan bangsa kita secara lebih menyeluruhM, demikian ,ahid dalam satu tulisannya pada 134H.16 Meski ada pula yang mencibir, kembali ke 2hittah "aktu itu berarti %NU mengurus akuntansi, peternakan, perbengkelan dan kera#inan atau membuka kursus bahasa Inggris&. $ilar pembaruan "aktu itu dipelopori oleh 2: Ahmad Siddi/ dengan konsep %tajdid& dan %,huthath $ahdliyah&'nya (semacam %garis'garis besar haluan NU&). Sementara pilar kebangsaan memperlebar pemaknaan ke'NU'an sebagai bagian dari segenap komponen kebangsaan. Artinya, dalam pandangan kebangsaan ini, ke'NU'an dan ke'Islam'an bukanlah tandingan atau alternati! terhadap bangsa, tapi bagian dari komponennya yang saling menguatkan. $rinsip %ukhuwah wathaniyah& (persaudaraan kebangsaan) yang melampaui %ukhuwah slamiyah&, seperti diputuskan dalam Muktamar NU di Situbondo pada 134B, memperoleh momentumnya dalam konteks kebangsaan ini. -engan demikian, sebutan NU pada %NU 2ultural& tidak lagi menun#ukkan sebuah komunitas yang selama ini dianggap tradisional. NU 2ultural adalah sebuah ci"il society, masyarakat sipil. Ia hadir di tahun 133+' an, ketika santrinisasi birokrasi atau Islamisasi politik sedang gencar' gencarnya diarak di panggung politik nasional. 2ebangsaan pun dimaknai secara eksklusi! sebagai keislaman. Maka, saat itu, men#adi NU berarti sebuah oposisi, dan segenap desain politisasi Islam atau Islamisasi politik masa itu tergan#al oleh oposisi ini. Sementara ba#u %kultural& mengandaikan sebuah koreksi bersama atas konsep kebangsaan yang saat itu dikatakan mengarah kepada %primordialisme dan sektarianisme&. %.he last bastion of 10

ci"il society&, demikian sebutan yang dilekatkan -aniel -hakidae tentang NU era 133+'an yang bergerak sebagai oposisi saat itu.1G -ari sini sebutan %kultural& sebagai empowering ci"il society "is-a-"is state kian dimantapkan setelah Muhammad AS. :ikam muncul dengan idenya %NU sebagai /i"il %ociety.&1H =api #ustru pada diri Abdurrahman ,ahid'lah simbol oposisi dan masyarakat sipil era 133+'an itu melekat. Seperti ditun#ukkan pada pembentukan Aorum -emokrasi (Aordem), dalam Muktamar NU di Iipasung tahun 133B hingga dalam kasus *H >uli 133G yang terkenal dengan #argon %peoples power&'nya. -engan demikian, NU Studies adalah #uga sebuah redisco"ery atau penemuan kembali %Abdurrahman ,ahid kultural&. <ang terakhir ini biasa diartikan secara ketat sebagai "arisan pikiran'pikiran Abdurrahman ,ahid %pra'istana&. <akni sebuah kha anah pemikiran sebelum Abdurrahman ,ahid mendirikan $artai 2ebangkitan Bangsa ($2B) dan sebelum men#abat presiden keempat Cepublik Indonesia se#ak 1333 hingga *++1. Saat itu, sebagaimana gencar dikampanyekan oleh kalangan akti;is muda NU, Abdurrahman ,ahid kultural adalah sebuah eksperimen kontemporer dalam gerakan kultural dan trans!ormasi sosial di Indonesia. Selain sebagai sebuah "acana, %Abdurrahman ,ahid kultural& adalah #uga sebuah perla"anan, pada tataran "acana maupun pada le;el praksis, terhadap bentuk'bentuk hegemoni yang dibangun oleh negara dan kapital, termasuk mesin'mesin politik %totalitas& maupun lembaga'lembaga agama resmi. Namun demikian, ada bahaya tersendiri kalau hanya men!okuskan diri pada pikiran'pikiran Abdurrahman ,ahid pra'istana. 2arena akan mengabaikan se#umlah isu krusial. Seperti halnya NU 2ultural, Abdurrahman ,ahid kultural #uga lahir di tengah eu!oria berhasilnya elemen'elemen masyarakat sipil memeloroti kekuasaan otoriter negara. Negara, dengan aparat militernya, adalah tersangka utama dari sekian permasalahan dan krisis yang dihadapi bangsa ini. Dugatan terhadap negara ini pun mempengaruhi penilaian kelompok masyarakat sipil terhadap Abdurrahman ,ahid sebagai presiden. -an, memang, elemen'elemen ci"il society dalam NU digiring untuk tidak mempercayai negara, dan untuk meragukan e!ekti!itas negara dalam mengatasi masalah'masalah masyarakat dan kebangsaan. Sehingga pernah muncul celetukan di kalangan akti!is muda NU saat itu, %Apakah Dus -ur sebuah re im9E& $adahal ada se#umlah agenda global, yang mungkin tidak nampak di mata publik, tapi menyimpan sesuatu yang sangat strategis, dalam relasi antara kebangsaan dan re im Neo'liberalisme yang saat itu kian menggurita. -an Abdurrahman ,ahid @ sebagai presiden CI ke'B ' hadir #ustru untuk memotong #ari'#ari gurita Neo'liberalisme tersebut dengan merancang poros baru yang menakutkan AS saat itu0 Indonesia'India'Iina. -i saat bersamaan, buku :asyim ,ahid, saudara kandung Abdurrahman ,ahid, #uga muncul dengan #udul .elikungan ,apitalisme 0lobal dalam %ejarah ,ebangsaan ndonesia (?2iS, 1333). $ada "aktu itulah isu globalisasi mencuat ke permukaan di lingkungan akti!is anak muda NU. Saat itu, mereka menyadari bah"a ideologi %ci"il society& dan program %ci"ic education& yang didiktekan se#umlah lembaga AS di 11

Indonesia, diarahkan untuk mengurangi ke"enangan negara, dan mengembalikan semuanya kepada masyarakat. $rogram'program tersebut mengkampanyekan negara yang minimalis, dengan memperkuat elemen' elemen masyarakat '' katanya. =api sebenarnya, dalam pandangan anak' anak muda NU, ini adalah #ebakan Neo'liberalisme. Masyarakat dia#ak percaya pada ketidakbecusan dan bobroknya negara (mulai dari militerisasi, korupsi, gurita birokrasi, hingga monopoli ekonomi negara), untuk kemudian diarahkan pada pentingnya de'regulasi, de'sentralisasi, s"astanisasi dan #uga re'strukturisasi. $enguasaan negara terhadap sumber'sumber ekonomi harus ditata'ulang. 2orupsi negara harus diberantas habis. -an negara diminta untuk melepaskan segenap kegiatan ekonominya, seperti di BUMN (Badan Usaha Milik Negara). -ari sini mengalir se#umlah buku dan tulisan orang'orang luar tentang %re!ormasi& yang dikaitkan dengan pemelorotan !ungsi dan "e"enang negara tersebut. Mereka hanya menekankan dinamika internal dalam negeri Indonesia, misalnya !aktor re im Orde Baru. =api mengabaikan permainan global yang sangat krusial dalam mengarahkan arah re!ormasi itu.14 -engan kata lain, dalam konteks kampanye %ci"il society&, %ci"ic education& dan %re!ormasi& itu, orientasi negara pada kese#ahteraan (atau dikenal dengan welfare state) digerogoti secara sistematis. %$asar bebas& pun men#adi kata kunci baru dalam %re!ormasi& yang mengendalikan permainan kekuasaan dan politik. Ideologi %pasar bebas& membebaskan kegiatan s"asta dari peraturan dan kebi#akan pemerintah, "alaupun kegiatan s"asta tersebut memba"a dampak yang sangat buruk terhadap rakyat dan kehidupan kemasyarakatan. :al ini terlihat dari gencarnya tekanan s"asta terhadap pemerintah untuk memperlemah serikat buruh serta penurunan upah buruh. $ihak s"asta pun bebas membeli tanah seluas' luasnya dan selama'lamanya. Selain itu ideologi %pasar bebas& #uga mengurangi biaya untuk !asilitas dan pembangunan umum. Umpamanya dana untuk pendidikan, kesehatan, penyediaan air bersih, dan pembangungan daerah secara umum harus dikurangi. 2onsekuensinya, sektor s"asta (pri"at sector) akan menggantikan !ungsi negara. -i sinilah perusahaan kakap'multinasional, didominasi perusahaan Amerika, masuk mengambil alih sektor bisnis yang sebelumnya dikuasai negara. -engan alasan untuk meningkatkan e!ekti;itas dan e!isiensi pelayanan kepada rakyat, maka perusahaan milik negara harus di#ual. =ermasuk pen#ualan #enis'#enis usaha yang menyangkut ha#at hidup orang banyak. Misalnya perusahaan air, listrik, sekolah, rumah sakit, minyak bumi, bank dan perkereta'apian. Sektor'sektor ini memang perlu ditingkatkan pelayanannya kepada rakyat, namun bukan berarti bah"a perusahaan negara (BUMN) tersebut harus di#ual kepada pihak s"asta. $erusahaan milik negara yang sudah berada di tangan s"asta, akhirnya #uga mengalami kenaikan ongkos dan biaya yang harus dibayar oleh rakyat. -an keuntungan atas kenaikan ongkos dan biaya itu hanya diperoleh oleh beberapa orang sa#a. Seperti dalam kasus kenaikan harga BBM belakangan ini. Akibatnya kemudian, karena mulai kekurangan dana, bantuan negara untuk orang' orang paling miskin pun harus dicabut. Orang'orang miskin ini dipaksa untuk mengatasi sendiri masalah kesehatan, pendidikan, dan kekurangan pangan 12

yang mereka alami. Bahkan, #umlah orang miskin pun bertambah berkat ideologi pasar bebas ala Neo'liberalisme ini. -an tidak heran banyak "arga negara kita yang mengalami busung lapar. -ari sinilah kehadiran Abdurrahman ,ahid sebagai kepala negara membatasi gurita Neo'liberalisme tersebut @ tapi tentu dengan resiko ia dilengserkan se#ak dini karena ketidaksukaan negara'negara imperialis terhadapnya. -an dari situ pula kemudian alasan mengapa sebutan post' tradisionalisme sebagai sebuah %ideologi& hadir di kalangan anak muda NU se#ak *++1. Ideologi ini yang kemudian diperhadapan pada tataran "acana dengan %Islam liberal& yang memang pro'kapital, kampiun Neo'liberal, dan pro'%kenaikan harga BBM&. Mengapa pada tataran "acana9 Soalnya per#uangan di tingkat politik'kenegaraan, mengalami pergeseran se#ak Abdurrahman ,ahid dilengserkan dari posisinya sebagai presiden. -an kini per#uangan pun beralih men#adi gerakan sosial dan kultural, ke le;el grassroots. ,alau demikian, perkembangannya kini, %Abdurrahman ,ahid kultural& mulai mengalami pen#inakan. Abdurrahman ,ahid pun dikotak' kotakkan, dan di'o"erhaul'kan. Ia dipakemkan oleh Dreg Barton, sebagai pelan#ut gerbong %liberalisme& dan %neo'modernisme& Nurcholish Mad#id, seperti yang ia tulis tentang biogra!inya yang diandaikan %authorized&.13 -an dalam kasus kontro;ersi Cancangan Undang'undang Anti'$ornogra!i dan $ornoaksi (CUU A$$) yang lalu, Abdurrahman ,ahid yang muncul bukan lagi Abdurrahman ,ahid kultural, yang nasionalis, yang pernah hadir mela"an dominasi kapitalisme dan Neo'liberalisme. =api #ustru %Abdurrahman ,ahid pembela Inul&. Malah, muncul tandingannya, dari Adian :usaini dan :artono Ahmad >ai yang menulis tentang %Abdurrahman ,ahid menghina al'Juran& @ sebuah pembodohan lain dari desain kapital global. NU Studi s, M t"d"$"'i) As&a0a s ba'ai Tra%s$asi Dua-Ara. da% Strat 'i Ku$tura$ P %' ta.ua% Suba$t r% Adakah sesuatu yang disebut %teori dan pengetahuan NU&9 NU Studies, tentu, bukanlah sesuatu yang mirip dengan #udul buku :arun Nasution yang terkenal itu, %NU -itin#au dari Berbagai Aspeknya&. NU Studies bukan sekedar masalah teologis, yang biasa berkutat dengan masalah'masalah khila!iyah atau soal'soal perebutan pemaknaan atas 2hittah 13*G. Atau soal'soal yang biasa digeluti kaum sarungan @ sebutan sinis orang'orang luar terhadap NU. NU Studies, seperti saya ungkap di atas, adalah sebuah persoalan %pergeseran subyekti!itas&. Ioba Anda bayangkan, seorang peneliti dari uni;ersitas terkemuka di AS atau .ropa, datang ke pesantren, menemui se#umlah santri, kiai dan pengurus NU, melakukan "a"ancara, lalu mengambil kesimpulan tentang sesuatu yang dikatakan khas NU. 2esan apa yang muncul dari hasil penelitian semacam ini9 NU berbicara nanti setelah direpresentasikan oleh sang peneliti. Orang'orang bisa mengenal suara dan identitas NU, setelah keluar melalui otoritas sang peneliti yang dianggap punya kapasitas %ilmiah& dan %obyekti!&. -an, memang, selama ini, karya'karya penulis berkulit putih dari Barat sudah men#adi bagian dari kehidupan sehari'hari dari para pela#ar, mahasis"a dan para peneliti dalam ker#a'ker#a konstruksi ke'NU'an. :ampir 13

setiap saat se#umlah peneliti dari negara'negara Barat yang kaya datang ke sini untuk mengenal lebih #auh %makhluk& apakah gerangan NU itu, termasuk kaitannya dengan se#umlah isu atau sistem politik dan kebudayaan. Apalagi, kini isu seksinya adalah NU dan hubungannya dengan terorisme. -engan kian membludaknya berbagai lembaga keterpela#aran dan akademik yang menulis tentang NU, posisi subyekti!itas NU sebagai %obyek pengetahuan&, dengan demikian, kian diperdalam. -alam konstruksi ilmiah nan obyekti! ini, NU bukanlah lokus produksi pengetahuan. NU hanyalah penerima yang pasi! atau sebuah situs tes atau u#i ilmiah bagi teori'teori pengetahuan yang datang dari Barat. Artinya, NU ditempatkan hanya sebagai %in!orman&, dan bukan sebagai %peneliti&. 2ehadiran NU dalam konteks ini hanya untuk mencukupkan dirinya sebatas sebagai pemberi in!ormasi dan penyedia data'data yang diperlukan. Sementara peneliti bertugas mengolah in!ormasi dan data'data tersebut untuk kemudian dipa#ang dalam kemegahan %museum ilmiah& kesar#anaan Barat. Seperti halnya konstruksi mereka tentang %>a"a&, %?a Daligo& atau %suku' suku headhunting Borneo&. Maka, NU Studies adalah konstruksi tentang subyekti!itas NU sebagai peneliti, yakni NU sebagai subyek pengetahuan. =api, tentu ada yang bertanya, seperti saya singgung di atas, apakah ada yang dinamakan %teori atau pengetahuan NU&9 Apakah ada dalam NU risalah !ilsa!at atau teori'teori ilmiah tentang demokrasi dan ci"il society misalnya9 Apakah NU melahirkan se#umlah doktor dan pro!esor yang standar keilmuannya diakui dunia9 NU Studies, memin#am kalimat ,alter Mignolo, subalternis asal Argentina, dalam konteks gerakan komunitas Napatista, adalah %project of inter-connections from subaltern perspecti"e and beyond the managerial power and monotopic inspiration of any abstract uni"ersal&.*+ =entang pengetahuan subaltern ini, saya ingin menun#ukkan konteks global dari perla"anan komunitas yang dipinggikan selama ini dalam arus kolonisasi dan modernisasi. =ahun lalu, INSIS= <ogyakarta menerbitkan ;ersi ter#emahan buku ?inda =uhi"ai Smith, 1ecolonizing Methodologies (1333).*1 -i sini ia menun#ukkan satu metode penelitian dan #uga suatu agenda penelitian dimana komunitas Maori men#adi subyek peneliti. Bagaimana misalnya komunitas Maori asal Selandia Baru ini meneliti %kedatangan& orang'orang berkulit putih Australia dan Selandia Baru yang menginginkan tanah dan kekayaan mereka. 2ongkretisasi dari pengetahuan subaltern itu tampak pada diri se#umlah kiai NU, seperti 2iai Ahmad Siddi/, 2iai Sahal atau Abdurrahman ,ahid. Mereka bukanlah murid (apprentice) dari seorang pro!esor atau guru besar manapun di lingkungan akademik Barat. Mereka lahir dari pergumulan penamaan atas sesuatu yang merupakan %milik sendiri&. -an itu ditun#ukkan misalnya oleh Abdurrahman ,ahid dalam bukunya ,iai $yentrik Membela +emerintah.** Apa yang ditulis Abdurrahman ,ahid tentang potret se#umlah kiai ini bukan sekedar pantulan tentang %apa yang sebenarnya& NU. Bahasa mereka bukanlah representasional, tidak berpretensi me"akili kenyataan NU. Bahasa yang dipakai tidak lagi ber!ungsi sebagai cermin alam atau mirror of nature, yang merepesentasikan NU %yang sebenarnya&. Bahasa' 14

nya NU adalah sebuah tindakan sub;ersi!, sesuatu yang %melanggar batas&. Duyonan ala kiai, plesetan'plesetan bahasa ala pesantren, atau kepolosan berbahasa cara orang'orang NU asal Madura, adalah sekian bentuk bahasa %pragmatis& '' dalam pengertian semiotika '' yang sub;ersi!, dan tidak me"akili realitas seutuhnya. $ara kiai yang disebut %nyentrik& dalam tulisan ,ahid itu adalah tanda dari %pelanggaran batas& itu. -engan kata lain, potret kiai itu bukan seperti yang digambarkan secara eksotik di kalangan antropolog dan politisi modernis sebagai %kelompok sarungan&, yang dengan sandal bakiaknya ngurusin tahlilan dan kenduren. Ioba diperhatikan, para kiai ini menun#ukkan dirinya bukan seperti yang disebut Deert sebagai %cultural broker&, %makelar budaya& yang pasi!.*5 2onsep Deert ini pas untuk para birokrat Orde Baru dulu yang meminta para kiai men#adi %kepan#angan tangan& atau %penyambung lidah& dari program'program pembangunan, seperti 2B (2eluarga Berencana) atau dalam program %Dolkarisasi& pesantren. Sebaliknya, posisi para kiai mirip seorang pener#emah atau pena!sir yang akti!, yang hidup di antara persilangan budaya (cross-roads of cultures). -i satu sisi, mereka berposisi sebagai pener#emah "acana ke'NU'an ke dalam konteks kebangsaan dan kemodernan. Sementara, pada sisi lain, mereka #uga mener#emahkan "acana kebangsaan dan kemodernan ke dalam konteks ke'NU'an. Biasanya, ker#a'ker#a translasi atau pener#emahan ini secara ideologis unidirectional, monolog, bersi!at %satu'arah&. Seperti yang kita temukan kini dalam himbauan dari pemilik kapital global agar para kiai men#adi %pener#emah yang baik& dari program'program Amerika tentang %anti' terorisme& atau %Islam moderat'liberal&. Namun demikian, posisi para kiai sebagai pener#emah ini adalah %bi-directional&, dua'arah '' atau polyphonic dalam bahasa .d"ard Said seperti dikemukakan di atas. $ara kiai tidaklah berpretensi membuat NU men#adi tunggal, misalnya men#adi modern, membuatnya %sadar sekolah& seratus persen atau melek'pro!esional. Ini dibuktikan misalnya dari keengganan Abdurrahman ,ahid menerima ta"aran Nakamura untuk men#adi penga#ar di sebuah uni;ersitas bergengsi di >epang di sela'sela Muktamar NU di Iipasung 133B. Artinya, posisi pener#emah ganda dan dua'arah ini berada dalam momen transisional, e&hilarating sekaligus disturbing, destruction tapi #uga sebuah creati"ity. Sebagaimana ditun#ukkan dalam studi'studi $oskolonial, posisi pener#emah dan pena!sir adalah ambigu tapi sub;ersi!.*B >adi, dalam konteks persilangan budaya atau pelanggaraan batas'batas ini, #angan harap Anda akan menemukan %sesuatu yang riil& dan %yang benar& tentang NU yang mudah Anda paketkan untuk kepentingan kampanye %anti'terorisme& atau mobilisasi %Islam liberal'moderat& misalnya. $osisi pener#emah ganda dan dua'arah ini ditampilkan misalnya oleh seorang kiai nyentrik, seperti Dus Miek. $ada siang hari sang kiai melayani umat dalam ritual semaan (bersama'sama mendengarkan bacaan al'Juran oleh para pengha!al), namun pada malam harinya %dugem& @ dunia gemerlap malam @ adalah hidupnya. %Baru belakangan orang menyadari, bah"a Dus Miek menempuh dua pola kehidupan sekaligus. 2ehidupan tradisional orang pesantren, tertuang dalam rutinitas semaan, dan 15

gebyarnya kehidupan dunia hiburan modern. Debyar, karena dia selamanya berada di tengah diskotik, night club, coffee shop, dan 7arena persinggahan perkampungan orang'orang tuna susila&, tulis ,ahid.*6 Apakah ini sebuah kontradiksi9 %=ernyata tidak,& lan#ut ,ahid, karena di kedua tempat itu ia berperan sama. Memberi kese#ukan kepada #i"a yang gersang, memberikan harapan kepada mereka yang putus asa, penghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang lemah dan menga#ak semua kepada kebaikan. Apakah itu petuah di penga#ian seusai semaan, se"aktu konsultasi pribadi dengan pe#abat dan kaum elite lainnya, atau pun ketika meladeni bisikan kepedihan yang disampaikan dengan suara lirih ke telinganya oleh "anita'"anita penghibur, esensinya tetap sama. Manusia mempunyai potensi untuk memperbaiki keadaannya sendiri&. *G $osisi'posisi seperti inilah yang tergambar dalam potret para kiai dalam buku ,iai $yentrik Membela +emerintah. Seperti ditun#ukkan pada diri 2iai Muchit, seorang kiai tipe %ulama'intelek&, pada diri 2iai ,ahab Ihasbullah dengan argumen !i/ihnya %sulit masuknya, mudah keluarnya& "aktu merespons gagasan Soekarno tentang -$C'DC di a"al 13G+'an, atau siasat'siasat kultural 2iai Ali dan 2iai Ca a/ men#a"ab tantangan amannya.*H =ranslasi dua'arah yang dimainkan poara kiai ini dimungkinkan oleh konsep kosmologi yang mereka anut. <aitu pandangan'dunia As"a#a (singkatan dari Ahlussunnah ,al#amaah). =radisi As"a#a memungkinkan "arga NU melihat segala sesuatu secara simbang, dua'arah, harmonis, dan dari berbagai tepian. As"a#a mencakup aspek aqidah (teologi), syariat dan tasa"u! (akhlaq, etika). Mengambil satu aspek sa#a dan mengabaikan aspek lainnya, #elas akan merusak tatanan kosmis yang seimbang dan harmonis ini. ,alaupun ada beberapa kekurangan se#ak dirumuskan oleh Imam Abu :asan al'Asy8ari dan al'Maturidi, namun pandangan doktrinal'moderat seperti inilah yang dianggap langgeng dan abadi oleh para ulama NU. =erkait di sini adalah pandangan tentang keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Seperti dalam tulisannya, %Ustad yang :idup dalam -ua -unia&, terbit pertama kali dimuat di Ma#alah .empo tahun 1341, ,ahid menulis tentang !iloso!i seorang kiai muda asal Beta"i0 membedakan hidup di dunia dari hidup di akhirat, tapi meletakkan keduanya dalam #alur dan kadar yang sama. -unia ini persiapan untuk kehidupan akhirat kelak, kata sang ustad se"aktu menga#i di Iigan#ur. 2ehidu#pan akhirat sangat tergantung pada kualitas hidup di dunia0 kalau bodoh, melarat dan terbelakang, tidak banyak yang dapat diperbuat di dunia ini untuk kepentingan akhirat kelak. 2alau tidak kuat ekonominya, tidak mungkin kuat menunaikan ibadah ha#i, padahal ibadah ha#i adalah persiapan lebih sempurna lagi untuk kepentingan kehidupan akhirat itu. 2ehidupan bahagia di akhirat berkaitan erat dengan kebahagiaan hidup di dunia pula, karena kebahagiaan dunia adalah bagian dari kehidupan akhirat.&*4 Ini yang kemudian ditulis oleh Abdurrahman ,ahid beberapa tahun kemudian dalam satu tulisannya di #urnal +risma0 16

Inti dari tradisi keilmuan yang dianut NU adalah perpautan organis antara tauhid, fiqh dan tasau! secara tidak berkeputusan, yang dalam #angka pan#ang menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi dunia"i dan ukhro"i dari kehidupan. <ang paling disukai di lingkungan NU adalah ungkapan berikut0 M:idup dunia sangatlah penting kalau di#adikan persiapan untuk kebahagiaan akhirat, dan akan kehilangan artinya #ika tidak diperlakukan seperti ituM. $erpautan dimensi dunia"i dan ukhro"i dari kehidupan ini merupakan mekanisme ke#i"aan yang berkembang di lingkungan NU untuk menghadapi tantangan sekularisme terang'terangan blatant yang timbul dari proses modernisasi. -ari tradisi keilmuagamaan seperti itu sudah tentu logis kalau lalu muncul pandangan kemasyarakatan yang tidak bercorak Mhitam'putihM. $erpautan kedua dimensi dunia"i dan ukhro"i dalam kehidupan manusia tidak memungkinkan penolakan mutlak kepada kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. -engan kata lain, seburuk'buruk kehidupan dunia, ia haruslah di#alani dengan kesungguhan dan ketulusan. :al ini sudah tentu ada implikasinya sendiri kepada pandangan kenegaraan yang dianut "arga NU yang masih belum kehilangan tradisi keilmuagamaannya. 2e"a#iban hidup bermasyarakat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh dita"ar lagi. .ksisitensi negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. 2esalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan.&*3 >adi, dalam proses translasi dua'arah ini, NU menyerap berbagai aliran sungai, segenap bau dan kotoran yang ada di kedua tepinya, tapi pada saat bersamaan airnya tetap segar untuk diminum. 2arena sumber mata airnya tidak pernah keruh. $ada poin inilah kelahiran NU, posisi para kiai sebagai pener#emah, dan #uga kemunculan Abdurrahman ,ahid, 5+ adalah sebuah proses abrogasi, dan apropriasi sekaligus. -engan demikian, pengetahuan NU adalah hasil dari sebuah per#umpaan atau encounter, yang lahir dari proses ganda %abrogasi& dan %apropriasi&. Seperti cara NU memahami demokrasi yang dikaitkan dengan praktik ritual istigatsah. NU melucuti pengertian demokrasi yang dipakemkan di dunia sana (abrogasi), lalu mengisinya dengan pemahaman yang mereka miliki sendiri (apropriasi).51 Strategi'strategi translasi dua arah itu yang kemudian ditun#ukkan misalnya dalam paradigma'paradigma !i/ih yang umum dikenal dalam tradisi NU0 %ketat tapi longgar&, %sulit masuknya, mudah keluarnya&, %tasharruful imam ala raiyyah manuthun bi-l mashlahah&, %al-muhafazhah alal-qadim ash-shalilh wal akhdz bil jadid al-ashlah&, dan sebagainya.5* =ranslasi dua arah ini pula yang dilakukan 2: :asyim Asy8ari dengan NU'nya, 2iai ,ahab :asbullah dengan .asjwiroel 2fkar-nya,55 hingga 2iai Ahmad Siddi/, 2iai Sahal dan Abdurrahman ,ahid. Mereka menulis, dan menulis'balik. =entu, %menulis& tidaklah dipahami seperti dalam dunia anak sekolah tentang %pela#aran karang'mengarang&, %menulis cerita& atau 17

%menulis artikel atau kolom&. Menulis di sini mengambil pandangan yang menyatakan bah"a bahasa (dalam arti luas) bukan hanya soal %worlddisclosing&, tapi #uga %world-constituting&. Bahasa bukan soal membuka tabir makna, atau mengungkap esensi baru, tapi soal materialitas dan produkti!itas sosial dari "acana. Berbicara tentang menulis ini tentu inspirasinya dari Aoucault, dan #uga dari .d"ard Said dalam studinya tentang Orientalisme. $ara orientalis menulis, menurut Said, %able to manage -- and e"en produce 3 the 4rient politically, sociologically, militarily, ideologically, scientifically, and imaginati"ely&.5B Maka, kalau NU menulis'balik, berarti sebuah praksis untuk memproduksi "acana dan #uga realitas baru cara berpolitik, dalam cara beragama, dan dalam ima#inasi. Selan#utnya, berkaitan metodologi NU Studies ini, dalam konteks pengalaman NU sebagai subyek peneliti, saya ingin mengutip pengalaman orang'orang $2I yang meneliti kalangan petani0 <ang menarik perhatian dari proyek riset hubungan agraria di >a"a oleh Aidit cs adalah karena mereka memilih tegas'tegas metode tugas lapangan yang Oberdasarkan partisipasi dan obser;asi langsungPE -engan pedoman 5'sama O...P yang dilengkapi dengan B'harus dan B'#angan,56 partisipasi dan kontak dengan responden'responden (umumnya tani miskin) diusahakan men#adi semesra'mesranya. -i satu pihak metode partisipasi itu obyekti! benar, dimana pelaksana riset boleh disebut partisan, pula karena langsung mencari keterangan'keterangan dari subyek'subyek, pelaku'pelaku utama dalam masalah yang diriset, bukan ;ia lurah atau pemimpin'pemimpin golongan mereka sendiri di desa. -i lain pihak ternyata 7approach8 antropologi klasik itu hanya berlangsung satu minggu untuk satu desaF karena itulah mungkin dicari kompensasinya dalam ukuran besar dan meluasnya sur;ey itu0 desa'desa di 1*B kecamatan di >a"a, dengan 55++ kader @ pelaksana research, termasuk penga"as'penga"as @ selama enam minggu rata'rata bagi tiap peserta itu. =etapi O...P mungkin meluasnya sur;ey itu banyak ditentukan pula oleh kebi#aksanaan therapi bagi kader'kader ormasLorpol itu0 supaya dengan riset itu lebih banyak kader berintegrasi dengan rakyat.&5G $engamatan atas cara orang'orang kiri seperti Aidit melakukan penelitian mencengangkan betul. Iara penelitiannya mungkin disebut partisan. NU Studies #uga disebut partisan, dan bahkan bisa #adi disebut subyekti! dan sektarian. Mereka yang disebut partisan, biasanya dianggap bera!iliasi dengan partai atau dengan sebuah subyekti!itas partisipan. =api dalam konteks i#tihad epistemik NU Studies, subyekti!itas'partisipan adalah sebuah persoalan keterlibatan dalam ruang lokalitasnya. Ia menggambarkan ruang gerak orang'orang tradisi(onal) yang lebih bebas dan !leksibel. $enelitian partisan'partisipatoris ini yang memugkinkan kita mengembalikan !akta'!akta atau data'data yang ditemukan ke dalam konteksnya. Ioba simak misalnya apa yang diungkap oleh "arta"an Ahmad Cashid yang menulis tentang =aliban dan hubungannya dengan AS dan proyek minyak0 But eQploring this "as like entering a labyrinth, "here nobody spoke the truth or di;ulged their real moti;es or interests. t was the job of a detecti"e rather than a journalist because there "ere !e" clues. .;en gaining access to the real players in the game "as di!!icult, because policy "as not being dri;en by politicians and diplomats, but by secreti"e oil companies and intelligence ser"ices of the regional states . =he oil companies "ere the most secreti;e o! all @ a legacy o! the !ierce competition they indulged in around the "orld. =o spell out "here they "ould drill neQt or "hich pipeline route they !a;oured, or e;en 18

"hom they had lunch "ith an hour earlier, "as gi;ing the game a"ay to the enemy @ ri;al oil companies.&5H

<ang #elas, apa yang ingin ditekankan oleh Ahmad Cashidi adalah bah"a ada interplay yang melibatkan se#umlah aktor, dan #uga korban. ?apisan inilah yang tidak diungkap dalam penelitian'penelitian, apalagi sur;ei'sur;ei, tentang Islam dan politik di Indonesia. 2ritik semacam ini yang disebut .d"ard Said dalam bukunya .he !orld, the .e&t, and the /ritic dengan %kritik sekuler&. -ari kritik sekuler inilah, kita menukik lebih detil lagi ke dalam %analisis situasional&, seperti diangkat oleh Adele .. Ilarke.54 Secara singkat dapat dikatakan bah"a NU Studies mengasumsikan dan mengakui adanya embodiment dan situatedness dalam segenap produksi pengetahuan, serta mengasumsikan kebenaran'kebenaran simultan dari berbagai #enis pengetahuan. Selain itu, ia #uga melakukan analisis situasional melalui proses penelitian, termasuk membuat pemetaan situasional, pemetaan duniaLarena sosial dan peta posisional. Serta menegosiasikan "acana'"acana dalam relasiLinteraksi sosial, yakni men!okuskan diri pada interaksi diskursi!. Ini termasuk etnometodologi, studi tentang interaksi ritual, dan grounded theory. NU Studies #uga memproduksi identitas dan subyekti!itas melalui "acana, dengan men!okuskan diri pada soal pembentukan subyek (subject making), masalah produksi relasi kuasaLpengetahuan, ideologi, dan kontrol melalui "acana, dengan men!okuskan diri pada situasi produksi. Bagaimana "acana itu dihasilkan, oleh siapa, dengan resource apa sa#a, dan dalam kondisi apa sa#a.111
1 A.*ad Bas", lahir di Makasar, 1B No;ember 13H1, nyantri di $esantren An' Nahdlah Makasar, lan#ut ke ?I$IA >akarta pada 133+ dan S=A -riyarkara >akarta pada 1333, namun tidak selesai. $ernah akti! di se#umlah lembaga0 sebagai "arta"an dalam Ma#alah 5mmat (alm.), pernah di ?akpesdam'NU, peneliti lepas di ?$5.S, mendirikan Madrasah .mansipatoris (M.)'Institute !or Iultural ($olicy) Studies, dan mantan koordinator aliansi >amaah $ersaudaraan Se#ati (>$S). 2ini akti! di ?=N'$BNU >akarta. 2ontributor pada #urnal .ashwirul 2fkar (?akpesdam'NU). 2arya'karyanya, /i"il %ociety "ersus Masyarakat Madani (1333), +ost-.radisionalisme slam (ed. dan ter#. *+++), +lesetan 6okalitas7 +olitik +ribumisasi slam (*++*), dan slam +asca ,olonial (*++6). Bukunya, $5 %tudies7 +ergolakan +emikiran antara )undamentalisme slam dan )undamentalisme $eo-6iberal , baru sa#a diterbikan oleh $enerbit .rlangga, >akarta, pada bulan No;ember *++G ini. 2 Mohammed Arkoun, %Islamic Studies0 Methodologies&, dalam >ohn ?. .sposito (ed. in chie!), .he 4&ford 8ncyclopedia of the Modern slamic !orld (OQ!ord0 OQ!ord Uni;ersity $ress, 1336), ;ol. *, hal. 55*'5B+. Bandingkan Cichard I. Martin (ed.), 2pproaches to slam in 9eligious %tudies (=ucson0 =he Uni;ersity o! Ai ona $ress, 1346)F A im Nan#i (ed.), Mapping slamic %tudies7 0enealogy, /ontinuity and /hange (Berlin0 Mouton de Druyter, 133H). 3 .d"ard ,. Said, +ower, +olitics, and +ower0 nter"iews with 8dward !# %aid (edited and "ith introduction by Dauri Kis"anathan) (?ondon0 Bloomsbury, *++6), hal. 111. 4 Arant Aanon, .he !retched of the 8arth (Ne" <ork0 $enguin Books, 13GH), hal. HH. 5 .d"ard Said, %=ra;eling =heory&, dalam .he !orld, the .e&t, and the /ritic (?ondon0 Kintage, 1345), hal. **G'*BH. 6 C. ,illiam ?iddle, 9e"olusi dari 6uar7 1emokratisasi di ndonesia (>akarta0 Nalar, *++6), hal. BB dan B6.

19

7 ?ebih #auh tentang soal %local knowledge& ini sebagai perspekti! dan metodologi, lihat buku saya, +lesetan 6okalitas7 +olitik +ribumisasi slam (-epok0 -esantara, *++*). 8 Aorum USIN-O'=AA diselenggarakan di ,ashington -I, AS, yang membahas tentang Islam di Indonesia Modern, H Aebruari *++* lalu. Saya membaca transkrip proseding lengkap acara tersebut. -an ternyata membuat saya kaget. Aorum ini dihadiri oleh se#umlah intelektual Indonesia0 A yumardi A ra, Ulil Abshar'Abdallah, Muslim Abdurahman, Ci al Sukma, ?ies Marcoes. >uga dari Australia ada Dreg Aealy. -ari AS sendiri, ada Cobert :e!ner, -on .mmerson, dan Mark ,ood"ard, serta -ouglas Camage dari =AA per"akilan Indonesia. $esertanya, saya kira, adalah orang'orang akademis, dan diskusinya pun ilmiah '' yang biasa saya dengar dan ikuti di beberapa tempat di luar negeri. =api, ternyata, ada orang Cepublikan, ada orang inteli#en, ada NDO %watch& terhadap Indonesia (seperti $oso ,atch, Maluku ,atch, dsb), ada per"akilan dari Dedung $utih, dari Senat, dari 2ongres, dan beberapa pihak dari kalangan yang dekat dan punya urusan dengan kebi#akan luar negeri AS '' tentu dekat dengan Bush II pasca 11 September *++1. >adi, mereka berkepentingan dengan bentuk kebi#akan apa tentang Indonesia dan Islam, termasuk terhadap NU dan Muhammadiyah. Bagaimana misalnya kedua ormas Islam terbesar di Indonesia ini menggalang kekuatan untuk mendukung kampanye AS mela"an terorisme. Ada kesimpulan dari seminar tersebut bah"a Indonesia adalah sebuah negara yang gagal. Ini ditandai dengan banyaknya krisis, mulai dari soal korupsi hingga suburnya kelompok'kelompok Islam keras dan =alibanisme. :e!ner misalnya menyebut kriiss itu karena !aktor dari dalam negara itu sendiri, dan tidak menyinggung soal inter;ensi luar atau pengaruh asing. Meski tidak mengakui pengaruh Barat, tapi :e!ner malah mengusulkan perlunya AS untuk inter;ensi supaya negara CI tidak gagal, dan talibanisme tidak membahayakan. Maka diskusi pun mengarah ke soal bagaimana sebaiknya peran AS terhadap Indonesia, terhadap Islam, terhadap NU dan Muhammadiyah, terhadap kelompok keras, dan #uga terhadap pemerintahan Indoensia. %:ow do we deal with these issues( !hat can the 5nited %tates do(&, demikian pertanyaan Ci al Sukma dalam !orum tersebut. 2esimpulannya9 Mencengangkan. Bukan hanya kesimpulan itu diarahkan dari pidato sambutan oleh tuan rumah yang menyebut pentingnya membahas soal pri;atisasi dan kebangkitan kelompok Islam keras0 %to discuss the problems in pri"atization or the percei"ed rise of Muslim e&tremism&. =api #uga kesimpulan yang dibacakan dengan apik oleh orang USIN-O di penghu#ung acara !orum itu0 % t seems to me that we need to balance our desire to create links with indonesian military with our desire to foster democracy in ndonesia&. >adi, inter;ensi itu ada dua sayap0 #alur demokrasi dan #alur militer @ plus #alur duit perusahaan multinasional atau lembaga keuangan internasional seperti IMA dan Bank -unia. Iontoh Amerika banyak di se#umlah negara dunia ketiga. Daya koboi'Amerika ini mirip dengan cara orang Ansor kalau mau #adi penguasa tunggal di Ansor0 punya tiga tim sukses. =im A tugasnya demokratis, elegan, rasional. =im B bermain money politics. -an =im I terdiri dari orang'orang Banser misalnya. 2alau =im A gagal mengumpulkan suara banyak, pakailah =im B. 2alau =im B pun gagal, karena banyak orang idealis mungkin, maka pakai gertakan dan ancaman ala tukang kepruk, =im I. 9 2embali kepada tradisi dan identitas kultural dalam berteori ini pernah diamati oleh Iraig Ialhoun ketika menun#ukkan pengamatannya terhadap Ma hab Arank!urt yang dikaitkan dengan %kembali kepada identitas kultural 2e'<ahudi'an mereka& di era Na isme >erman. Ia menulis demikian0 Most o! the early key Arank!urt theorists "ere >e"s. I! this did not produce an acute enough interest in politics o! identity to start "ith @ most o! them coming !rom highly assimilated !amilies and assimilating !urther themsel;es in the course o! their studies @ the rise o! Na ism and broader anti'Semitic currents brought the issue home. Aaced "iths the /uestion "hy >e"s "ere not #ust one minority group among many @ !or the Na is certainly but also !or most o! modernity @ :orkheimer and Adorno sought the ans"er in a characteristic "ay0 Anti'Semitism represented the hatred o! those "ho see themsel;es as ci;ili ed, but could not fulfill the promises of ci"ilization for all those who reminded them of the failures of ci"ilization&. Iraig Ialhoun, /ritical %ocial .heory (Ne" <ork0 Black"ell, 1336), hal. 1H @ huru! miring dari saya. -ari kutipan ini, sebutan %anti'Semitisme& untuk konteks ke'<ahudi'an para pemikir Ma hab Arank!urt, dan #uga sebutan %sektarian'apologis& untuk

20

konteks i#tihad epistemik NU Studies, menun#ukkan gagalnya segenap proyek pemberadaban'modernisasi yang digelar oleh kekuatan'kekuatan absolut'imperial. 10 -ikutip dalam Nur#annah, %$eranan Nahdlatul Ulama dalam Mengembangkan Syiar Islam di 2abupaten Bone&. Skripsi S1 Aakultas Adab IAIN Alauddin U#ung $andang, 1336, hal. B3. 11 =entang cara kolonialisme menggunakan dua sayap ini, ci"ilizing dan obliterating, terhadap penduduk pribumi, lihat .d"ard ,. Said, %Identity, Negation and Kiolence&, dalam .he +olitics of 1ispossession7 .he %truggle for +alestinian %elf 1etermination, ;<=<-;<<> (Ne" <ork0 Kintage, 1336), hal. 5B1'563. 12 >a#at Burhanuddin, %=emuan Sur;ey Nasional0 Sikap dan $erilaku 2ekerasan 2eagamaan di Indonesia&. Makalah presentasi hasil sur;ei, >uli *++G, hal. B. :uru! miring dari teks asli. 13 Ibid., hal. 5. 14 ?ihat misalnya Bhikhu $arekh, /olonialism, .radition and 9eform7 2n 2nalysis of 0andhis +olitical 1iscourse (?ondon0 Sage, 1333), edisi re;isi. 15 Abdurrahman ,ahid, %NU dan $olitik&. ,ompas, *B >uni 134H. 16 ?ihat -aniel -hakidae, %?angkah Non'$olitik dari $olitik Nahdlatul Ulama&, dalam .llyasa 2:. -har"is (ed.), 0us 1ur, $5 dan Masyarakat %ipil (<ogyakarta0 ?2iS, 133B), hal. 1*6'151. 17 ?ihat Ahmad Baso, /i"il %ociety "ersus Masyarakat Madani (Bandung0 $ustaka :idayah, 1333). 18 Ihris Manning dan $eter ;an -iermen (editor), ndonesia di .engah .ransisi7 2spek-aspek %osial 9eformasi dan ,risis (<ogyakarta0 ?2iS, *+++). 19 Dreg Barton, 0us 1ur7 .he 2uthorized ?iography of 2bdurrahman !ahid (>akarta0 ./uinoQ, *++*). 20 ,alter -. Mignolo, %=he Napatistas8s =heoretical Ce;olution0 Its :istoric, .thics And $olitical Ionse/uences&. Makalah kon!erensi %Iomparati;e Iolonialisms0 $reindustrial Iolonial Intersections&, 51 Oktober'1 No;ember 133H. Mignolo mengungkap kisah pertemuan kelompok gerakan komunitas Napatista dengan kelompok MarQis dimana Napata ditempatkan sebagai pusat dalam se#arah per#uangan mereka bersama. $ertemuan ini dibaca oleh Mignolo sebagai colonial difference, dan bukan relati;isme kultural. Seperti halnya Dus -ur yang menempatkan pesantren dalam pusat se#arah bangsa. =entang pengetahuan subaltern dan konsep colonial difference ini, lihat ,alter -. Mignolo, 6ocal :istories@0lobal 1esigns7 /oloniality, %ubaltern ,nowledges, and ?order .hinking ($rinceton0 $rinceton Uni;ersity $ress, *+++). 21 ?inda =uhi"ai Smith, 1ecolonizing Methodologies7 9esearch and ndigenous +eoples (?ondon0 Ned Books, 1333). 22 Abdurrahman ,ahid, ,iai $yentrik Membela +emerintah (<ogyakarta0 ?2iS, *+++), cet. III. 23 Ili!!ord Deert , %=he >a;anese 2i#a#i0 =he Ihanging Cole o! a Iultural Broker&. /omparati"e %tudies in %ociety and :istory, ;ol. *, no. *, tahun 1364, hal. **4'*B3. 24 Ashcro!t, et# al., .he 8mpire !rites ?ack, hal. H3'41. 25 Abdurrahman ,ahid, %Dus Miek0 ,a#ah Sebuah 2erinduan&, dalam ,iai $yentrik, hal. 1*H. 26 Ibid., hal. 1*4. 27 ?ihat dalam ,ahid, ,iai $yentrik. 28 Abdurrahman ,ahid, %Ustad yang :idup dalam -ua -unia&, dalam ,iai $yentrik, hal. HG'HH. 29 Abdurrahman ,ahid, %NU dan Islam di Indonesia -e"asa Ini&. +risma, edisi April 134B, hal. 5*.

21

30 Mengapa Abdurrahman ,ahid9 2arena is bersuara polyphonic. Baik yang memu#i maupun yang mencibir ,ahid, semuanya hanya mengangkat satu suara dalam belantara aneka suara yang mungkin pada diri Abdurrahman ,ahid. Untuk menyelami suara ,ahid ini, saya perlu mengutip Bakhtin yang ingin memahami suara -ostoe;sky0 %it seems that each person "ho enters the labyrinth o! the polyphonic no;el someho" loses his "ay in it and !ails to hear the "hole behind the indi;idual ;oices ... .;eryone interprets in his o"n "ay -ostoe;sky8s ultimate "ord, but all e/ually interprets it as a single "ord, a single ;oice, a single accent, and therein lies their !undamental mistake&. -ikutip dalam .mily A. Schult , 1ialogue at the Margins7 !horf, ?akhtin and 6inguistic 9elati"ity (Madison0 =he Uni;ersity o! ,isconsin $ress, 133+), hal. H. 31 =entang strategi'strategi kultural abrogasi dan apropriasi ini dalam konteks masyarakat pasca'kolonial, lihat Ashcro!t, Dri!!iths dan =i!!in, .he 8mpire !rites ?ack, hal. 5H'HG. 32 ?ihat Ahmad Baso, %Mela"an =ekanan Agama0 ,acana Baru $emikiran Ai/ih NU&, dalam >amal -. Cahman, et# al# (editor), !acana ?aru )iqih %osial7 AB .ahun ,:# 2li *afie (Bandung0 Mi an, 133H), hal. 151'1B5. 33 -alam konstruk % slamic nationhood&, seperti yang ditun#ukkan seorang peneliti luar dalam bukunya baru'baru ini, .asjwiroel 2fkar tidaklah punya tempat, bila dibandingkan misalnya dengan Sarekat Islam atau #urnal al-Munir atau %eruan slam dari Al'A har. .mbrio NU itu disebut %un slamic&, seperti ditulisnya, =he .asjwiroel 2fkar did not make a ;ery positi;e debut in Surabaya in late 1314, and "as greeted "ith suspicion by se;eral members o! the 2aum Muda "ho urged Sarekat Islam members to a;oid the grouping claiming that its ob#ecti;es "ere unIslamic.& ?ihat Michael Arancis ?a!!an, slamic $ationhood and /olonial ndonesia7 .he 5mma below the !inds (?ondon R Ne" <ork0 CoutledgeIur on, *++5), hal. *63. 34 .d"ard Said, 4rientalism (Ne" <ork0 Kintage Books, 13H3), hal. 5. 35 $edoman 5'sama, B'harus, B'#angan, dikemukakan -.N. Aidit dalam bukunya ,aum .ani mengganjang %etan-setan 1esa7 6aporan %ingkat tentang :asil 9iset mengenai ,eadaan ,aum .ani dan 0erakan .ani di Cawa ?arat (13GB). 5'sama0 %sama beker#a, sama makan, dan sama tidur dengan buruh tani atau tani miskin&F B'#angan0 %#angan tidur di rumah kaum penghisap di desa, #angan menggurui kaum tani, #angan merugikan tuan rumah dan kaum tani, #angan mencatat di hadapan kaum tani&F B'harus0 %harus melaksanakan 75'sama8 sepenuhnya, harus rendah hati, sopan santun dan suka bela#ar dari kaum tani, harus tahu bahasa dan mengenal adat'istiadat setempat, dan harus membantu memecahkan kesulitan'kesulitan tuan rumah, kaum tani dan partai setempat&. 36 2ampto Utomo (Sa#ogyo), %Cesearch Sosiologi $edesaan di Indonesia&, dalam Sadikin Soeminta"ikarta (ed.), 9esearch di ndonesia ;<>D-;<=D (>akarta0 $N Balai $ustakaL-epartemen Urusan Cesearch Nasional, 13G6), hal.*63F sebagaimana dikutip dalam Ben ,hite, %-i Antara Apologia dan -iskursus 2ritis0 =ransisi Agraria dan $elibatan -unia Ilmiah di Indonesia&, dalam Kedi C. :adi dan -aniel -hakidae (eds.), lmu %osial dan ,ekuasaan di ndonesia (>akarta0 ./uinoQ, *++G), hal. 1*3'15+. 37 Ahmed Cashid, .aliban7 slam, 4il, and the $ew 0reat 0ame in /entral 2sia (?ondon0 IB. =auris, *++*), hal. 1G5. 38 Adele .. Ilarke, %ituational 2nalysis7 0rounded .heory after the +ostmodern .urn (?ondon0 Sage, *++6).

22

You might also like