You are on page 1of 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis Paru 2.1.1.

Definisi Tuberkulosis paru Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Basil Mycobacterium tuberculosis paru (Arief Mansjoer, 2001). 2.1.2. Manifestasi klinis Gejala umum tuberkulosis paru batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum, malaise, gejala flu, demam derajat rendah, nyeri dada, dan batuk darah (Mansjoer, 2001). 1. Pasien tuberkulosis paru menampakkan gejala klinis, yaitu: 1). Tahap asimtomatis 2). Gejala tuberkulosis paru yang khas, kemudian stagnasi dan regresi 3). Eksaserbasi yang memburuk 4). Gejala berulang dan menjadi kronik. 2. Pada pemeriksaan fisik dapat ditentukan tanda-tanda: 1). Tanda-tanda infiltrasi (redup, bronkial, bronki basah, dan lain-lain) 2). Tanda-tanda penarikan paru, diagframa dan mediastinum 3). Sekret di saluran nafas dan bronki 4). Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronkus.

2.1.3. Diagnosis 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik 2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, dan lain-lain). 3. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis tuberkulosis, yaitu: 1). Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru-paru atau segmen apikal lobus bawah. 2). Bayangan berawan (patchy) atau bercak (nodular). 3). Adanya kavitas, tunggal atau ganda. 4). Kelainana bilateral, terutama dilapangan atas paru 5). Adanya klasifikasi. 6). Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian. 7). Bayangan miller. 4. Pemeriksaan sputum BTA Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis tuberkulosis paru, namun pemeriksaan ini tidak sensitif karena 30-70% pasien tuberkulosis paru yang dapat di diagnosis berdasarkan pemeriksaan ini. 5. Tes Peroksidae Anti Peroksidae (PAP)

Merupakan uji serologi imunoperoksidae memakai alat histogen imunoperoksidae staining untuk menentukan IgG spesifik terhadap basil tuberkulosis paru. 6. Tes Mantoux/Tuberkulin 7. Teknik Polymerase Chain Raectin Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi adanya resistensi. 8. Becton Dockinson Immunosorbent Assay(BACTEC) Deteksi growth index berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh Mycobacterium tuberculosis 9. Enzyme Linked Immunosorbent Deteksi respons humoral, berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Pelaksanaannya rumit dan antibodi dapat menetap dalam waktu lama sehinga menimbulkan masalah. 10. Myocodot Deteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan yang direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum pasien. Bi la terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan berubah (Arief Mansjoer, dkk, 2001:473) 2.1.4. Patofisiologi tuberkulosis paru

Malnutrisi yang berkepanjangan memperburuk status gizi sesorang sehingga mudah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis paru (Taslim,2008), kuman tuberkulosis men yebar dari seorang penderita tuberkulosis paru terbuka pada orang dengan daya tahan tu buh rendah. Penularan penyakit tuberkulosis paru biasanya melalui udara dengan inhal asi droplet nucleus yang mengandung basil tuberkulosis berukuran 1-5 mikro meter yan g dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran nafas, sehingga dapat men capai dan bersarang di bronkhiolus dan alveolus (Depkes RI, 2006). Penyakit yang ditimbulkannya bersifat menahun, sebagian besar mengenai organ paru dan bisa juga organ lain ditubuh selain paru, usia yang sering terkena adal ah usia produktif (15-40) tahun, sehingga dampak kerugian ekonomi bagi kesehatan masyara kat cukup besar berupa menurunnya produktivitas SDM dan mahalnya biaya pengobatan. Kuman tuberkulosis hidup dan berkembang biak pada tekanan O2 sebesar 140 mm H2O diparu dan dapat hidup diluar paru dalam lingkungan mikroaerofilik. Droplet infe ksius secara inhalasi masuk ke alveolus menimbulkan bronkopneumonia non spesifik yang merupakan fokus primer. Gejala klinis tidak ditemukan tetapi uji tuberkulin posi tif. Kuman tuberkulosis dari fokus primer memasuki kelenjar getah bening regional, selanjutnya melalui aliran limfatik memasuki sirkulasi sistemik. Sebesar 5% dari penderita infeksi tuberkulosis primer berkembang menjadi penyakit paru progresif dengan gejala klinik dan radiologik sesuai tuberkulosis paru. Penyebaran limfohe matogen mengakibatkan tuberkulosis milier dan tuberkulosis ektra pulmonar. Sebagian besa r penderita infeksi tuberkulosis paru primer sembuh dan berbentuk granuloma, keada an ini tergantung pada keadaan jumlah kuman yang masuk sedikit dan status gizi penderit a yang berperan dalam pembentukan daya tahan tubuh yang spesifik terhadap basil

tuberkulosis. tuberkulosis dibedakan atas tuberkulosis primer dan tuberkulosis p aska primer. Pada tuberkulosis primer penyebaran hematogen kebagian tubuh lain dapat terjadi pada saat dini, bahkan dapat terjadi sebelum timbulnya hipersensitivitas terhadap tuberkulin. tuberkulosis paska primer prosesnya terbatas pada paru dan penyebara nnya secara bronkogen. Berdasarkan keadaan tersebut diatas tuberkulosis primer merupa kan suatu penyakit yang berbahaya dan memerlukan pengenalan atau diagnosis sedini mungkin. Sedangkan reaksi tubuh terhadap tuberkulosis paru post primer dapat ter jadi dalam 2 bentuk yaitu, pertama : peradangan endogen yaitu, berasal dari fokus lam a (dormant) didalam paru yang mengalami kekambuhan, kedua peradangan eksogen yaitu karena infeksi paru yang berasal dari luar (Depkes, RI, 2001) 2.1.5. Ciri-ciri Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium tuberculosis merupakan sel berbentuk batang yang lurus berukuran 0,4x3 mikro. Kuman tidak berspora dan tidak berkapsul. Pada pewarnaan Ziehl-Neilsen tampak kuman berwarna merah dengan latar belakang berwarna biru. P ada pewarnaan fluorokrom berfluoresensi dengan warna kuning jingga. Kuman sulit diwa rnai dengan cara Gram, tetapi bila berhasil maka hasilnya adalah Gram positif (Depkes , RI, 2001:7-8). Tjandra Yoga (2007) mengatakan, tuberkulosis paru pada orang dewasa d apat terjadi melalui 2 mekanisme: 1. Kuman masuk dan berkembang biak dalam paru dan merusaknya (infeksi eksogen). 2. Penyakit timbul akibat aktifnya kembali basil tuberkulosis yang telah ada pada p aru orang tersebut akibat masuknya basil ke paru ketika masih kanak-kanak tapi tidak menimbulkan penyakit sampai dewasa, karena menurutnya daya tahan tubuh dan buruknya kondisi kesehatan secara umum maka basil tersebut semula tidak aktif

akan menjadi aktif (reaktivitas endogen). Dikatakan juga 90% tuberkulosis paru pada orang dewasa berasal dari reaktivitas endogen. Jika eksogen reinfeksi predominant maka mekanisme berkembangnya tuberkulosis, sehingga angka kesakitan mempunyai variasi dengan derajat eksposure pada kedua tuberkulin (positif & negatif). Nyatalah walaupun angkanya kecil tapi secara statistik ada perbedaan yang bermakna pada angka kesakitan antara eksposure dan tidak, terutama yang eksposure dengan tuberkulin positif seperti pada perawat dan dokte r, terutama yang mengalami stres dan kelelahan. Sehingga jika host memiliki resistence rendah maka terjadilah reaktivitas endogen dan proliferasi dari basil yang sebelumnya dormant, sedang respon untuk inhalasi organisme eksogen adalah mempunyai kekuatan protektif secara lengkap walaupun sedikit. Besarnya eksposure dari basil tuberkulosis mungkin penyebab penyakit, ini terjadi pada individu yang Tuberkulin positif dan karenanya disini berperan pertahanan imunologi. Dengan terjadinya defisiensi respon imune dapat dengan mudah terjadi reaktivitas atau infeksi endogen. Pada populasi dengan jalan masuk melalui medic al care dan dengan obat yang tepat, penyebaran dari infeksi tuberkulosis paru yang baru akan relatif kecil. Jadi perlu diperhatikan reinfeksi adalah penting untuk berkembangnya penyakit tuberkulosis paru. 2.1.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit tuberkulosis paru Berat ringannya tuberkulosis paru tergantung pada faktor host, virulensi kuman dan lingkungan, menurut WHO (1997) pencetus terjadinya infeksi yang berat adalah HIV dan kemiskinan berperan pada keadaan malnutrisi sehingga memperburuk status gizi

yang melemahkan sistem ketahanan tubuh, hal ini dapat diperberat dengan keadaan penyakit lain yang menyertai. Akibat krisis ekonomi terjadi penurunan konsumsi makanan yang bergizi, sehingga komponen nutrisi untuk bahan pembentukan antibodi berkurang. Tidak seimbangnya pemasukan yang didapat dengan kerja keras dibandingkan pengeluaran yang lebih tinggi mengakibatkan stres psikis yang berkepanjangan. St res mengakibatkan produksi hormon stresor kortisol meningkat. Peningkatan kortisol menghambat kerja IL-1, untuk mengaktifkan limfosit sehingga melemahkan kerja makrofag menimbulkan kuman mudah mengadakan pembiakan. Pada orang yang mengalami infeksi namun bila ketahanan tubuhnya normal 90% akan sembuh dengan sendirinya, namun pada mereka yang ketahanan tubuhnya rendah beresiko tinggi unt uk menjadi sakit dari yang ringan sampai berat, bahkan dapat menyebar keseluruh org an tubuh (Milier, 1997). 2.2 Mekanisme Pertahanan Tubuh Terhadap Mycobacterium tuberculosis Paru 2.2.1 Cara Mycobacterium tuberculosis merusak jaringan paru Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri yang tidak mempunyai toksin yang dapat merusak atau meracuni jaringan paru. Pada saat alveoli berisikan Mycobacte rium tuberkulosis, maka sel yang pertama aktif adalah T. Limfosit untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat membunuh kuman lebih aktif. Selanjutnya makrofag yang te lah aktif ini akan melepaskan IL-1 yang mana IL-1 secara feed back akan merangsang limfosit T lain agar memperbanyak diri, matur dan memberikan respon yang lebih b aik terhadap Mycobacterium tuberkulosis yang bersarang di alveoli. Mekanisme makrofa g

aktif didalam membunuh Mycobacterium tuberculosis adalah melalui oksidasi dan pembentukan peroksida. Aktivitas makrofag terjadi melalui urutan kejadian yang dipengaruhi oleh produk humoral dan seluler. Perjalanan dan interaksi imunologis dimulai ketika makrofag bertemu dengan kuman tuberkulosis, memprosesnya lalu menyajikan antigen kepada limfosit T. Dalam keadaan normal, infeksi tuberkulosis merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh kuman. Makrofag aktif melepaskan interleukin-1 yang merangsang limfosit T. limfosit T melepaskan interleukin-2 yang selanjutnya merangsang limfosit T la in untuk memperbanyak diri, matang dan memberi respon lebih baik terhadap antigen. Limfosit T sirkuit (TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui peranan yang komp leks dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada tuberkulosis progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis jelek. TS melepas substansi supresor yang mengubah produksi sel B, sel T aksi-aksi mediato rnya. Mekanisme makrofag aktif membunuh basil tuberkulosis masih belum jelas, salah sa tu adalah melalui oksidasi dan pembentukan peroksida. Pada makrofag aktif, metaboli sme oksidatif meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida, h idrogen peroksida, radikal hidroksil dan ipohalida sehingga terjadi kerusakan membran se l dan dinding sel, lalu bersama lisozim atau mediator, metabolit oksigen membunuh basi l tuberkulosis. Beberapa basil tuberkulosis dapat bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag, dengan demikian basil tuberkulosis terlepas dan menginfeksi makrofag l ain Diduga dua proses yaitu proteolisis dan oksidasi sebagai penanggung jawab destru ksi matriks. Komponen utama yang membentuk kerangka atau matriks dinding alveoli ter diri dari: kolagen interstisial (tipe I dan II), serat elastin dan mikrofibril, prote oglikan

interstisial, fibrokinetin. Kolagen adalah yang banyak jumlahnya dalam jaringan ikat paru. Proteolisis berarti destruksi protein yang membentuk matriks dinding alveoli ole h protease, sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron dari suatu molekul. Bila kehilangan elektron terjadi pada suatu struktur maka fungsi molekul itu akan ber ubah. Sasaran keluar dari kapiler sel netrofil akan melepaskan berbagai protease antar a lain: 1. Elastase Enzim ini merupakan enzim yang paling kuat untuk memecah elastis dan protein jaringan ikat lainnya. Produksi enzim terutama ditujukan untuk merusak dinding alveoli. 2. Catepsin G Kerjanya menyerupai elastase, tetapi potensinya lebih rendah dibandingkan dengan elastase, dapat merusak struktur dinding sel Mycobacterium tuberculosis kerja ikutannya dapat merusak alveoli. 3. Kolagenase Merupakan enzim yang cukup poten dalam memecah jaringan kolagen. Bersama dengan enzime yang lain dapat menimbulkan emfisema paru. 4. Plasminogen aktivator Enzim ini terdiri dari 2 jenis yaitu urokinase dan plasmin yang akan mengubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan enzim ini bekerja sinergis dengan elastase. Alveoli makrof ag dan fibroblast melepaskan proenzim elastase dan kolagenase inaktif dalam jumlah yang sangat kecil dan enzim ini akan diaktifkan oleh plasmin antiprotease adalah

molekul yang dapat mengikat protease dan menghambat perusakan protease terhadap matrik, kalau tidak kerusakan akan berlanjut. Dalam keadaan hadirnya Mycobacterium tuberculosis paru, makrofag aktif menghasilkan oksida-oksida, seperti hidrogen peroksida, radikal hipokalida yang sangat toksin. Dari penjelas an diatas baik kerja oksidan maupun kerja enzim protease yang tujuan utamanya adalah untuk melumpuhkan Mycobacterium tuberculosis paru yang sudah bersarang dalam alveoli, tetapi karena dalam produksi terlalu berlebihan, maka yang ikut rusak bukan hanya Mycobacterium tuberculosis paru tetapi juga struktur paru yang didiami oleh Mycobacterium tuberculosis paru tersebut. 2.3 Proses Penyembuhan Penderita Tuberkulosis Paru 2.3.1. Proses penyembuhan tuberkulosis paru Dalam proses penyembuhannya kondisi kemiskinan merupakan salah satu kendala. Obat Anti Tuberkulosis paru akan lebih efektif dengan disertai konsumsi makanan bergizi seperti susu, telur, dan karbohidrat yang cukup memadai. Dengan adanya dukungan nutrisi yang adekuat yang akan mempercepat perbaikan status gizi dan meningkatkan sistem imunitas, yang dapat mempercepat proses penyembuhan, disampi ng pemberian obat tuberkulosis yang teratur sesuai metode pengobatan tuberkulosis p aru. Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah tuberkulosis paru dan malnutrisi telah dilakukan antara lain; dengan memberikan vitamin A 200.000 SI s etiap 2 bulan pada tuberkulosis anak, ditemukan vitamin A berpengaruh terhadap peningkat an asupan energi, zat gizi, penurunan nilai Laju Endap Darah (LED) dan peningkatan Hemoglobin (Hb), memberikan Vitamin A dan Zink (Zn) pada penderita tuberkulosis

paru dewasa setelah 2 dan 6 bulan berdampak pada peningkatan berat badan, IMT, L ILA, tebal lemak triseps dan biceps, peningkatan proporsi lemak tubuh, kadar albumin, hemoglobin, penurunan kadar C-reactive protein dan peningkatan Zn plasma, memberikan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan obat Anti Tuberkulosis p aru pada penderita tuberkulosis paru yang di rawat di rumah sakit dan hasilnya terjadi perbaikan secara klinis berupa; peningkatan berat badan, peningkatan kad ar Hb, dan penurunan SGOT, SGPT. Rendahnya asupan makanan pada infeksi disebabkan oleh anoreksia, mual, muntah, suhu badan yang meningkat menyebabkan peningkatan metabolisme energi dan protein dan utilisasi dalam tubuh. Asupan yang tidak adekuat menimbulkan pemakai an cadangan energi tubuh yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan dan kelainan biokimia tubuh. Hal ini berdampak terhadap sistem imunitas dan penurunan daya tahan tubuh dan infeksi menjadi progesif yang mengakibatkan perlambatan penyembuhan tuberkulosis paru. Perbaikan malnutrisi dengan memberikan makanan yang adekuat dan tinggi protein akan menghentikan proses depletion dan perbaikan sel, mukosa jaringan se rta integritas sel dan sistem imunitas sehingga daya tahan meningkat dan menguntungk an pengobatan tuberkulosis paru. Diet yang cukup selain dapat meningkatkan status g izi penderita juga berpengaruh pada peningkatan sistem imunitas yang membantu mempercepat penyembuhan Tuberkulosis paru. Selain pemberian obat tuberkulosis pa ru yang diberikan untuk mematikan bakteri dan memutus rantai penularan juga diberikan penyuluhan gizi, agar penderita mengetahui kebutuhan makanan yang meningkat pada keadaan sakit, dan dapat meningkatkan asupan makanan. Berbagai

sumber protein dengan kualitas yang baik dapat digunakan untuk memenuhi kebutuha n protein yang meningkat untuk penyembuhan Tuberkulosis paru seperti daging, ikan, telur, susu dan kedelai (proten). Perbaikan status gizi dapat terjadi dengan men ingkatnya asupan makanan diikuti dengan peningkatan berat badan, IMT, LILA, triceps, bicep s dan kadar albumin. Hal ini akan memberikan hasil pengobatan yang optimal. Kebutuhan energi dan protein yang tinggi disertai dengan penyuluhan gizi akan mempercepat proses penyembuhan, terutama pada penderita malnutrisi. (Nurpuji Taslim, 2004). 2.3.2. Penyembuhan penderita tuberkulosis paru Pemantauan kesembuhan tuberkulosis paru pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan secara mikroskosp is lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologi dalam pemantauan kesembuhan penderita tuberkulosis paru. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan dalam memant au kesembuhan penderita tuberkulosis paru karena tidak spesifik dengan tuberkulosis paru. Untuk memantau kesembuhan penderita tuberkulosis paru dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (pagi dan sore). Penderita dinyatakan sembuh bila ked ua spesimen tersebut negatif, dan bila salah satu spesimen positif atau keduanya po sitif hasil pemeriksaan dahak tersebut dinyatakan positif maka penderita tersebut dinyatakan belum sembuh dari kuman tuberkulosis paru (Depkes RI, 2006:26). 2.3.3. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan penderita tuberkulosis paru Dalam penyembuhan penderita tuberkulosis paru dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya.

1. Kebijakan pengobatan tuberkulosis paru Kebijaksanaan pemerintah dalam memberantas penyakit tuberkulosis paru dengan mengadakan program DOT yang dilakukan pada tiap-tiap Puskesmas, promosi, penggalangan kerja sama dan kemitraan dengan program terkait, non pemerintah dan swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional tuberkulosis, peningkatan mutu pelayanan dan jejaring, Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan tuberkulosis diberikan kepada penderita secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya, penanggulangan tuberkulosis diprioritaskan pada kelompok miskin dan kelompok rentang terhadap tuberkulosis, penderita tidak dijauhkan dar i masyarakat dan pekerjaannya (Depkes RI, 2006). 2. Pendamping pelaksanaan minum obat Salah satu komponen yang penting dalam proses penyembuhan penyakit tuberkulosis pada penderita paru adalah peran pendamping dalam minum obat. Hal ini diperlukan untuk mengawasi langsung penderita tuberkulosis paru teratur dala m mengkonsumsi obat. Untuk itu sebagai pendamping harus yang sudah dikenal dan disegani oleh penderita tuberkulosis paru, serta agar pengawasan minum obat lebi h efektif pendamping bertempat tinggal dekat dengan penderita (Depkes RI, 2001). 3. Status Gizi Status gizi yang buruk akan mempengaruhi produktivitas kerja dan daya tahan tubuh. Untuk itu diperlukan dukungan nutrisi yang adekuat yang akan mempercepat perbaikan status gizi dan meningkatkan sistem imunitas, yang

dapat mempercepat proses penyembuhan, disamping pemberian obat tuberkulosis yang teratur sesuai metode pengobatan tuberkulosis (Nurpuji Taslim, 2004). 2.3.4. Pengobatan tuberkulosis pada keadaan khusus (Depkes RI, 2001:45-47) 1. Penderita tuberkulosis paru pada ibu hamil Pada prinsipnya pengobatan pada penderita tuberkulosis paru tidak jauh berbeda dengan pengobatan tuberkulosis paru pada umumnya, hampir semua OAT aman untuk kehamilan kecuali Streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang dilahirkan. 2. Penderita tuberkulosis paru pada ibu menyusui Sama seperti ibu hamil pengobatan pada penderita tuberkulosis paru tidak jauh berbeda dengan pengobatan tuberkulosis paru pada umumnya, semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui harus mendapatkan OAT yang adekuat, hal ini untuk mencegah penularan kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak per lu dipisahkan dan bayi tetap disusui. 3. Penderita tuberkulosis paru pengguna alat kontrasepsi Rifamfisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal yang mempengaruhi efektifitas kontrasepsi tersebut. Penderita tuberkulosis paru dalam menggunakan alat kontrasepsi dianjurkan menggunakan kontrasepsi non hormonal. 4. Penderita Tuberkulosis paru dengan infeksi HIV/AIDS

Tatalaksana pengobatan tuberkulosis paru dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama dengan penderita Tuberkulosis umumnya. Obat Tuberkulosis paru sama efektifnya dengan penderita yang tidak disertai infeksi HIV/AIDS. 5. Penderita tuberkulosis Penderita tuberkulosis dianjurkan pemeriksaan meningkat lebih dari 3 harus dihentikan. Jika paru dengan kelainan hati kronik paru yang dicurigai menderita kelainan hati kronik, faal hati sebelum pengobatan. Jika SGOT dan SGPT kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan kurang dari 3 kali pengobatan diteruskan dengan penawasan

yang lebih ketat. 6. Penderita tuberkulosis paru dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin (R), dan Pirasinamid (Z) dapat diekskresi melalui empe du dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada penderita tuberkulosis paru gagal ginjal. 7. Penderita tuberkulosis paru dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada penderita hepatitis akut ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan obat tuberkulosis paru sangat dibutuhkan dapat diberikan Streptomisin dan Etambuthol minimal selama 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan kemudian dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) sampai 6 bulan. 8. Penderita tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus Diabetes mellitus harus dikontrol, penggunaan Rifampisin (R) akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes mellitus sehingga obat diabetes mellitus per lu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan setelah pengobatan tuberkulosis paru.

9. Penderita tuberkulosis paru yang perlu mendapatkan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan yang membahayakan jiwa penderita seperti meningitis, tuberkulosis Miller, pleoritis eksudativa tuberkulosis perikarditis konstriktiva. 10. Penderita tuberkulosis paru dengan indikasi operasi Pasien yang perlu mendapat tindakan operasi adalah tuberkulosis paru dengan batu k darah berat yang tidak dapat ditanggulangi dengan cara konservatif, penderita dengan fistula bronkopleura dan emphiema. 2.4 Program DOTS Directly Observed Treatment Shor-curse (DOTS) adalah nama untuk strategi yang dilaksanakan dipelayanan kesehatan dasar di dunia untuk mendeteksi dan menyembuh kan pasien tuberkulosis paru. Strategi ini terdiri dari 5 komponen yakni (Manjsoer, 2001:476): 1. Dukungan politik para pimpinan wilayah di setiap jenjang sehingga program ini menjadi salah satu prioritas dan pendanaan akan tersedia. 2. Mikroskop sebagai komponen utama untuk mendiagnosa tuberkulosis melalui pemeriksaan sputum langsung pasien tersangka dengan penemuan secara pasif. 3. Pengawas Minum Obat (PMO) yaitu orang dikenal dan dipercaya baik oleh pasien maupun petugas kesehatan yang akan ikut mengawasi minum seluruh obatnya sehingga dapat dipastikan bahwa pasien betul minum obatnya dan diharapkan sembuh pada akhir masa pengobatannya.

4. Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar sebagai bagian dari sistem surveilans penyakit ini sehingga pemantauan pasien dapat berjalan. 5. Panduan Obat Anti Tuberkulosis jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan jangka waktu yang tepat, sangat penting untuk keberhasilan pengobatan. Termasuk terjaminnya kelangsungan persediaan panduan obat. Panduan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan anjuran WHO. 2.5 Tolok Ukur Penyembuhan Tuberkulosis Paru Penilaian keberhasilan pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologi , radiologi, dan klinis. Kesembuhan tuberkulosis paru yang baik akan memperlihatka n sputum BTA (-), adanya perbaikan radiologi, dan menghilangnya gejala (Depkes RI, 2006). 2.6 Gizi 2.6.1 Pengertian gizi Gizi adalah nutrisi dari asupan makanan yang diperlukan untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi membangun dan memelihara jaringan serta men gatur proses kehidupan (Almatsier, 2005) Gizi berasal dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Oleh karena itu, tubuh memerlukan makanan yang dapat memenuhi semua kebutuhan zat-zat gizi yang diperlu kan oleh tubuh. Makanan sangat berperan penting untuk tubuh karena makanan sebagai s umber tenaga dan energi. Agar kerja dari sistem pertahanan tubuh dapat optimal diperlu kan faktor-faktor pendukung dari luar. Faktor pendukung tersebut, misalnya asupan gi zi seimbang yang berasal dari makanan yang dikonsumsi setiap hari dan olah raga ter atur.

Selain asupan gizi yang seimbang ada faktor lain yaitu gaya hidup. Untuk menjaga agar tubuh tetap dalam kondisi prima, perlu dihindari gaya hidup yang tidak baik sepe rti merokok, minum-minuman beralkohol, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, obat-obat an sintetik untuk terapi, dan lain-lain. Semua perilaku ini dapat menyebabkan bertu mpuknya zat-zat racun di dalam tubuh sehingga sistem pertahanan tubuh tidak berdaya mela kukan perlawanan (Nugroho, 2008). Fungsi gizi pada masa anak adalah untuk perkembangan dan pertumbuhan, sedangkan pada usia remaja gizi berfungsi untuk memenuhi perkembangan fisik yang begitu cepat. Gizi pada usia dewasa tidak digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan, namun gizi digunakan untuk pemeliharaan tubuh. Oleh karena itu kebutuhan gizi pada tiap-tiap kelompok sangat bergantung pada kondisi fisik dan aktivitas atau jenis pekerjaan yang dilakukan, hal yang harus diperhatikan adalah menjaga berat badan dalam keadaan relatif stabil (Poedyasmoro, dkk, 2005:8-13). Tabel 2.1 Zat-zat gizi esensial yang diketahui hingga tahun 1990 Karbohidrat: Mineral: Vitamin: Glukosa Kalsium A (retinol) Serat Fosfor D (kolekalsiferol Natrium E (tokoferol) Kalium K Lemak/lipida: Sulfur Tiamin Asam linoleat (omega-6) Klor Riblofavin Asam linoleat (omega-3) Magnesium Niasin Dilanjutkan

Lanjutan Protein: Zat besi Biotin Asam-asam amino Selenium Folasin/folat Leusin Seng Vitamin B6 Lisin Mangan Vitamin B12 Isoleusin Tembaga Asam pantotenat Lisin Kobalt Vitamin C Metionin Iodium Fenilalanin Krom Air Treonin Flour Valin Timah Histidin Nikel Nitrogen nonesensial Silikon, arsen, boron Vanadium, molibden Sumber Almatsier 2005 2.6.2 Fungsi gizi dalam proses tubuh penderita tuberkulosis paru Mengkonsumsi makanan sehat adalah hal yang penting, asupan kalori dari makananma kanan bergizi dapat menjaga kondisi tubuh, oleh sebab itu sedapat mungkin mengkonsumsi makanan yang memenuhi gizi seimbang akan memberikan semua kebutuhan zat gizi dalam tubuh, namun sebaliknya konsumsi makanan yang tidak memenuhi gizi seimbang mengakibatkan kebutuhan akan zat-zat gizi tidak dapat terpenuhi dan berdampak tubuh kekurangan zat-zat esensial. Dengan mengkonsumsi makanan sehat yang seimbang, tubuh akan mendapatkan zat-zat gizi esensial yang dibutuhkan. Fungsi zat gizi dalam tubuh mempunyai peranan masing-masing, dan dap at dikelompokkan menjadi tiga fungsi zat gizi dalam tubuh (Almatsier, 2005). 1. Zat gizi berfungsi sebagai energi Dalam beraktifitas tubuh memerlukan energi diluar kebutuhan untuk metabolisme basal. Selama aktifitas fisik otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru memerlukan tambahan energi untuk

mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh, serta untuk mengeluarkan sisa-sia dari tubuh. Kebutuhan energi yang dibutuhkan tergantung dari berapa banyak otot yang bergerak, lama dan berat suatu pekerjaan yang dikerjakan. Pengaruh termis makanan adalah energi tambahan yang diperlukan tubuh untuk pencernaan makanan, absorpsi dan metabolisme zat-zat gizi yang menghasilkan energi. Specific Dynamic Action (SDA) ini bergantung pada jumlah energi yang dikonsumsi yakni 10% kebutuhan energi untuk metabolisme basal dan untuk aktifitas fisik (Almatsier, 2005:8,144-145). 2. Pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh Protein, mineral, dan air merupakan bagian dari jaringan tubuh yang diperlukan sebagai zat pembangun sel-sel baru, memelihara, dan mengganti sel-sel yang rusak . 3. Mengatur proses tubuh Protein, mineral, air, dan vitamin diperlukan tubuh untuk mengatur proses tubuh. Protein bekerja mengatur keseimbangan air di dalam sel, bertindak sebagai buffer dalam upaya memelihara netralitas tubuh serta membentuk antibodi sebagai penangkal organisme yang sifatnya infektif dan bahan-bahan asing yang dapat masuk ke dalam tubuh. Kemampuan tubuh memerangi infeksi tergantung pada kemampuannya untuk memproduksi antibodi terhadap organisme yang menyebabkan infeksi atau terhadap bahan-bahan asing yang memasuki tubuh. Tingginya angka kematian penderita tuberkulosis paru disebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap Mycobakterium tuberculosis paru, hal ini disebabkan ketidakmampuan tubuh untuk membentuk antibodi dalam jumlah yang cukup untuk memerangi kuman Mycobakterium tuberculosis paru tersebut (Almatsier, 2005:97).

2.6.3 Kebutuhan gizi penderita tuberkulosis paru Penderita tuberkulosis paru sangat membutuhkan makanan yang mengandung tinggi kalori dan protein (energi) diatas kebutuhan normal. Kebutuhan ini dipero leh dari asupan makanan biasa ditambah makanan sumber protein tinggi seperti susu, telur, dan daging (Almatsierb, 2005:53). Energi diperoleh dari zat-zat gizi makro penghasil energi meliputi: karbohidrat, lemak, dan protein. Agar dapat digunakan oleh jaringan tu buh, sebagian zat-zat sumber energi ini terlebih dahulu di pecah melalui proses pence rnaan menjadi molekul-molekul lebih kecil dalam bentuk monosakarida, asam lemak bebas dan asam lemak amino. Molekul kecil ini segera diangkut melalui darah ke jaringan-ja ringan tubuh untuk segera digunakan atau disimpan sebagai glikogen, protein dan triglis erida. Simpanan ini memungkinkan jaringan tubuh untuk memperoleh energi, karbohidrat, lemak, protein dan alkohol saling berinteraksi (Almatsier, 2005:105). Kebutuhan kalori ditentukan antara 35-40 gram per kilogram berat badan per hari dan juga ditentukan antara 2000-3000 gram kalori per hari. Kebutuhan protein pad a penderita tuberkulosis paru antara 1-2 gram per kilogram berat badan per hari (C hairani, 2004). 2.6.4 Status gizi Salah satu faktor tuberkulosis paru ru memerlukan asupan hi kebutuhan zat-zat penderita tuberkulosis paru yang berperan dalam menurunkan status gizi penderita adalah defisiensi zat-zat gizi. Pada penderita tuberkulosis pa makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Hal ini untuk memenu gizi, dampak peningkatan metabolisme akibat timbulnya infeksi

tuberkulosis paru (Chairani, 2004). Metabolisme tubuh menyangkut semua proses fi sik dan kimia yang terjadi dalam tubuh yang diperlukan untuk mempertahankan kondisi status gizi (Almatsier, 2005:105). Bila terjadi penurunan status gizi yang berla njut penderita tuberkulosis paru akan mengalami malnutrisi pada kondisi status gizi b uruk. Memburuknya status gizi penderita tuberkulosis paru akan menurunkan daya tahan t ubuh dan meningkatkan mortabilitas dan mortalitas penderita tuberkulosis paru (Chaira ni, 2004). 2.6.5 Metode penilaian status gizi Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berk aitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan dengan menggunakan rumus: )()( )( manXTinggiBadmnTinggiBadaKgBeratBadanIMT Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO, yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan. Batas ambang normal untuk laki-laki adalah: 20,1-25,0, dan untuk perempuan adalah : 18,7-23,8. Untuk kepen tingan pemantauan dan tingkat defesiensi kalori ataupun tingkat kegemukan, lebih lanjut FAO/WHO menyarankan menggunakan satu batas ambang antara laki-laki dan perempuan. Ketentuan yang digunakan adalah menggunakan ambang batas laki-laki untuk kategori kurus tingkat berat dan menggunakan ambang batas pada perempuan untuk kategori gemuk tingkat berat. Di Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi

berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian dibeberapa negara berkembang (Puslitbang Gizi, 2008). Batas ambang IMT yang digunakan di Indonesia dapat dili hat pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Batas ambang IMT di Indonesia Kategori IMT Kurus Kekurangan berat badan < 17,0 -18,4 Normal 18,5 -25,0 Gemuk Kelebihan berat badan 25,1 -> 27,0 Sumber pedoman praktis memantau status gizi orang dewasa Puslitbang Gizi, 2008 2.6.6 Faktor yang mempengaruhi status gizi penderita Tuberkulosis paru Masalah kekurangan konsumsi pangan mempunyai dampak yang sangat nyata terhadap timbulnya masalah gizi. Keterkaitan gizi dengan berbagai faktor seperti pertambahan laju penduduk, pertanian, aspek ekonomi, aspek sosial dan budaya mak a perbaikan gizi masyarakat dilakukan dengan sistem pangan dan gizi (Suhardjo, 200 3). Karena adanya keterkaitan gizi dengan aspek laju pertumbuhan penduduk, pertanian , distribusi pangan, sosial budaya, dan ekonomi berpengaruh terhadap status gizi s eseorang (Almatsier, 2005). 2.7 Kerangka Teori Kerangka teori adalah kerangka berdasarkan teori-teori yang ada. Kesembuhan Tuberkulosis paru dipengaruhi oleh mekanisme pertahanan tubuh dimana status gizi ikut berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh. Selain itu Kesembuhan tuberkulosis pa ru

juga dipengaruhi oleh kebijakan pengobatan tuberkulosis paru dan pendamping minu m obat Kerangka teori dalam penelitian ini tampak pada gambar 2.2 sebagai berikut: Mekanisme pertahanan tubuh Status gizi Kesembuhan tuberkulosis paru Program DOT Kebijakan pengobatan tuberkulosis paru Pendamping pelaksnaan minum obat Gambar 2.2 Kerangka teori hubungan antara status gizi penderita tuberkulosis par u dengan kesembuhan penderita tuberkulosis paru Dari gambar 2.2 dapat dijelaskan kondisi status gizi meningkatkan mekanisme pert ahanan tubuh berhubungan dengan kesembuhan tuberkulosis paru. Disamping itu kebijakan pengoba tan tuberkulosis paru, pendamping minum obat berhubungan langsung dengan kesembuhan tuberkulosis paru. Program DOT merupakan salah satu program dalam meningkatkan kesembuhan tuberkulosis paru.

You might also like