You are on page 1of 7

KEADAAN EKONOMI INDONESIA DARI ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI (PEMERINTAHAN BJ. HABIBIE, ABD.

RAHMAN WAHID, MEGAWATI SOEKARNO PUTRI, DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO) Era orde lama ( 1945 1966 )

Selama Pemerintahan orde lama, keadaan perekonomian indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama decade 1950-an, dan setelah itu turun drastic menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966. Tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestic bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%. Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintahan (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun. Selain tu, selama periode orde lama, kegiatan paroduksi di sektor pertanian dan sektor industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode orde lama. Dapat disimpulkan bahwa buruknya perekonomian indonesia selama pemerintahan orde lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan jepang, perang dunia, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sangat jelek selama rezim tersebut. Dapat dimengerti bahwa dalam kondisi politik dan sosial dalam negeri ini sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik. selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sector formal / modern seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersil yang memiliki kontribusi lebih besar daripada sector informal / tradisional terhadap output nasional atau pdb didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing kebanyakan berorientasi ekspor. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relatif lebih padat capital dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi

yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan perusahaan-perusahaan asing tersebut beralokasi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Keadaan ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda, menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an. Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, tingkat efisiensi yang tinggi di sector pertanian (termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil. Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya pereknomian Indonesia pada masa pemerintahan orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan faktor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan / keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan higgins (1957), sejak cabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, unifikasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi indonesia setelah perang revolusi tidak pernah terlaksana dengan baik. Pada akhir september 1965, ketidakstabilan politik di indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari partai komunis indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastis di dalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa orde lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak, dapat dikatakan ke sistem kapitalis sepenuhnya). Sebenarnya perekonomian indonesia menurut undang-undang dasar 1945 pasal 33 menganut suatu sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideology pancasila. Akan tetapi, dalam praktek sehari-hari pada masa pemerintahan orde baru dan hingga saat ini, pola perekonomian nasional cenderung memihak sistem kapitalis, seperti di amerika serikat (AS) atau negara-negara industri maju lainnya. Karena pelaksanaannya tidak baik, maka mengakibatkan munculnya kesenjangan

ekonomi di tanah air yang terasa semakin besar hingga saat ini, terutama setelah krisis ekonomi. 1. Perekonomian berkembang kurang menggembirakan : kehidupan politik tidak stabil ( pergantian kabinet )

defisit anggaran belanja negara terus meningkat ( cetak uang baru > inflasi sejak 1955- ) nasionalisasi perusahaan asing 1951 / 1958 ( uu no 78 / 1958 tentang investasi asing > tutupnya bursa efek jakarta > pelarian kapital )

hilangnya pangsa pasar ( gula, karet alam dll ) dalam perdagangan internasional ( ekspor < 10% pdb > neraca pembayaran tertekan > depresiasi rupiah )

kejanggalan sistem moneter ( bank merupakan hasil nasionalisasi termasuk BI ( de javasche bank ), BI ( 1953 ) berfungsi : (1) menstabilkan nilai mata uang (2) mengatur sirkulasi uang (3) mengawasi dan mengembangkan perbankan dan kredit, memasok kredit / premi kepada pemerintah sebesar 30% dari penerimaan pemerintah 1957/58, sistem pengendalian kurs.

Keadaan Ekonomi pada masa Orde Baru Keadaan ekonomi pada masa Orde Baru

Supersemar merupakan surat perintah yang dikeluarkan pada tanggal 11 maret 1966. Surat peritah itu dibuat oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto

Untuk memulihkan keadaan setelah peristiwa G 30 S/PKI pemerintah membuat surat perintah sebelas maret yang dikenal dengan istilah Supersemar

Pada masa Orde Baru , pemerintah melaksanakan pembangunan untuk menata kehidupan masyarakat

Dengan pembangunan tersebut , tercapai kemajuan dalam berbagai bidang. Namun keberhasilan tersebut tidak diimbangi dengan fondasi yang kokoh. Akibatnya ketika diterpa krisis moneter , ekonomi Indonesia mudah rapuh. Dan Supersemar merupakan tonggak lahirnya Orde Baru Penerapan ekonomi terpimpin pada masa orde lama ternyata telah menyebabkan perekonomian Indonesia sangat buruk.

Pada masa Orde Baru pemerintah melaksanakan pembangunan di berbagai bidang, seperti ekonomi, pendidikan, kesejahteraan rakyat, politik, dan pertahanan keamanan. Langkah pertama yang diambil ialah dengan merencanakan program perbaikan yaitu program : [1]penyelamatan [2]stabilitas dan rehabilitas [3]pembangunan

Sesuai dengan Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966, pemerintah memproritaskan pada pencukupan sandang dan pangan , pengendalian inflasi, rehabilitasi prasarana ekonomi, dan peningkatan ekspor.

Pada masa Orde Baru pertanian adalah basis perokonomian Indonesia Dengan mengandalkan devisa dari ekspor, kredit luar negeri , dan badan keuangan internasional IMF perekonomian Indonesia mencapai kemajuan.

Namun pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan dan landasan ekonomi yang mantap sehingga ketika terjadi krisis ekonomi Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia dibangun dengan fondasi yang rapuh

Jadi kesimpulannya pada masa Orde Baru perekonomian Indonesia sangat rapuh karena pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan landasan ekonomi yang mantap. Hal itu mengakibatkan pada krisis ekonomi dunia ekonomi Indonesia tidak mampu bertahan sebab fondasi ekonomi Indonesia dibangun dalam fondasi yang rapuh.

Keadaan Ekonomi Indonesia Era Reformasi Sampai Sekarang (1989-2013) Pemerintahan reformasi diawali pada tahun 1998. Peristiwa ini dipelopori oleh ribuan mahasiswa yang berdemo menuntut presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya dikarenakan pemerintahan Bapak Soerhato dianggap telah banyak merugikan Negara dan banyak yang melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).Tahun 1998 merupakan tahun terberat bagi pembangunan ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis moneter di Asia yang dampaknya sangat terasa di Indonesia. Hutang Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus dibayar dalam bentuk dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang yang dimiliki berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Ditambah lagi dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia sebagai syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF). Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar adalah hutang komersial swasta). Pemerintahan reformasi dari tahun 1998 sampai sekarang sudah mengalami beberapa pergantian presiden, antara lain yaitu: 1. Bapak B.J Habibie (21 Mei 1998 20 Oktober 1999) Pada saat pemerintahan presdiden B.J Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan perubahan-perubahan yang cukup berarti di bidang ekonomi. Kebijakankebijakannya diutamakan untuk menstabilkan keadaan politik di Indonesia. Presiden B.J

Habibie jatuh dari pemerintahannya karena melepaskan wilayah Timor-timor dari Wilayah Indonesia melalui jejak pendapat. 2. Bapak Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999-23 Juli 2001) Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman wahid pun belum ada tindakan yang cukup berati untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan. Kepemimpinan Abdurraman Wahid berakhir karena pemerintahannya mengahadapi masalah konflik antar etnis dan antar agama. 3. Ibu Megawati (23 Juli 2001-20 Oktober 2004) Masa kepemimpinan Megawati mengalami masalah-masalah yang mendesak yang harus diselesaikan yaitu pemulihan ekonomi dan penegakan hokum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasai persoalan-persoalan ekonomi antara lain : a. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun b. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Megawati bermaksud mengambil jalan tengah dengan menjual beberapa asset Negara untuk membayar hutang luar negeri. Akan tetapi, hutang Negara tetap saja menggelembung karena pemasukan Negara dari berbagai asset telah hilang dan pendapatan Negara menjadi sangat berkurang. 4. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004-sekarang)

Masa kepemimpinan SBY terdapat kebijakan yang sikapnya kontroversial yaitu a. mengurangi subsidi BBM atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke sector pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung kesejahteraan masyarakat. b. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. c. Mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan

November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepaladaerah. Investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah. d. Lembaga kenegaraan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dijalankan pada pemerintahan SBY mampu memberantas para koruptor tetapi masih tertinggal jauh dari jangkauan sebelumnya karena SBY menerapkan sistem Soft Law bukan Hard Law. Artinya SBY tidak menindak tegas orang-orang yang melakukan KKN sehingga banyak terjadi money politic dan koruptor-koruptor tidak akan jera dan banyak yang mengulanginya. Dilihat dari semua itu Negara dapat dirugikan secara besar-besaran dan sampai saat ini perekonomian Negara tidak stabil. e. Program konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas dikarenakan persediaan bahan bakar minyak semakin menipis dan harga di pasaran tinggi. f. Kebijakan impor beras, tetapi kebijakan ini membuat para petani menjerit karena harga gabah menjadi anjlok atau turun drastis Pada tahun 2006 Indonesia melunasi seluruh sisa hutang pada IMF (International Monetary Fund). Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Pengeluaran Negara pun juga semakin membengkak dikarenakan sering terjadinya bencana alam yang menimpa negeri ini. Pada tahun 2009 Indonesia masih mengalami tekanan krisis ekonomi yang tidak ringan. Ketidakpastian yang terkait dengan seberapa dalam kontraksi global dan sampai seberapa cepat pemulihan ekonomi global akan terjadi, bukan saja menyebabkan tingginya resiko di sektor keuangan, tetapi juga berdampak negatif pada kegiatan ekonomi di sektor riil domestik. Kondisi ini mengakibatkan stabilitas moneter dan sistem keuangan pada triwulan I 2009 masih mengalami tekanan berat, sementara pertumbuhan ekonomi masih dalam tren menurun akibat masalah ekspor barang dan jasa yang cukup dalam. Perkembangan yang

kurang menguntungkan tersebut pada gilirannya telah menurunkan kepercayaan pelaku ekonomi di sektor keuangan dan sektor riil, serta beresiko menurunkan berbagai capaian positif beberapa tahun sebelumnya. Untuk mengurangi dampak krisis tersebut pemerintah dan BI mengeluarkan kebijaka-kebijakan seperti berikut : a. Bank Indonesia menempuh kebijakan pelonggaran moneter yang dilengkapi dengan berbagai kebijakan lainnya, termasuk upaya meredam volatilitas yang berlebihan di pasar valuta asing. Kebijakan Bank Indonesia di bidang perbankan diarahkan untuk memperkuat daya tahan industri perbankan dengan tetap melanjutkan upaya-upaya untuk meningkatkan peran intermediasi perbankan. b. Pemerintah dengan dukungan persetujuan DPR mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus, baik melalui insentif pajak maupun upaya menjaga daya beli masyarakat dan memperkuat daya tahan perekonomian domestik. Perekonomian Indonesia pada tahun 2011 menunjukkan daya tahan yang kuat di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global, tercermin pada kinerja pertumbuhan yang bahkan lebih baik dan kestabilan makroekonomi yang tetap terjaga. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,5%, angka tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir, disertai dengan pencapaian inflasi pada level yang rendah sebesar 3,79%. Peningkatan kinerja tersebut disertai dengan perbaikan kualitas pertumbuhan yang tercermin dari tingginya peran investasi dan ekspor sebagai sumber pertumbuhan, penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta pemerataan pertumbuhan ekonomi antardaerah yang semakin membaik. Di sisi eksternal, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mengalami surplus yang relatif besar dengan cadangan devisa yang meningkat dan nilai tukar rupiah yang mengalami apresiasi. Di sektor keuangan, stabilitas sistem keuangan tetap terjaga meski sempat terjadi tekanan di pasar keuangan pada semester II tahun 2011 sebagai dampak memburuknya krisis yang terjadi di kawasan Eropa dan Amerika Serikat (AS). Dengan ketahanan ekonomi yang kuat dan risiko utang luar negeri yang rendah, didukung oleh kebijakan makroekonomi yang tetap pruden dan berbagai langkah kebijakan struktural yang terus ditempuh selama ini, Indonesia kembali memperoleh peningkatan peringkat menjadi Investment Grade.

You might also like