You are on page 1of 2

KORAN TEMPO › Print Article Page 1 of 2

Edisi 14 Agustus 2009

Penyergapan Teroris, Dramatisasi Media


Teguh S. Usis, jurnalis televisi

Dua stasiun televisi berita di Tanah Air menyuguhkan "drama" penggerebekan teroris di Temanggung, Jawa Tengah, beberapa hari yan
lalu. Dar-der-dor suara letusan senapan serbu dan pistol menyalak, gelegar bom memekakkan telinga, menguak dingin malam. Begitula
kita disuguhi sebuah tontonan seperti film laga Hollywood. Dramatis dan begitu nyata. Tontonan itu pun dapat disaksikan di sejumlah
tempat umum, seperti pusat belanja dan bandara. Nyaris semua mata di kedua tempat itu terpaku menatap layar kaca.

Sejak bom kembali mengguncang Jakarta pada 17 Juli silam, masyarakat Indonesia memang tengah berada pada situasi bertanya-tany
Siapakah pelaku peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton yang menewaskan sembilan orang itu? Benarkah gembong teror
paling dicari aparat keamanan Indonesia, Noor Din M. Top, berada di balik aksi pengeboman itu? Berbagai informasi yang terpublikasi d
media massa cetak, elektronik, dan onlineselalu disantap masyarakat dengan rasa ingin tahu yang besar.

Maka, ketika informasi tentang penggerebekan sebuah rumah di Temanggung, Jawa Tengah, yang disinyalir di dalamnya Noor Din
bersembunyi, masyarakat menjadi begitu antusias menyaksikannya. Dan dua stasiun televisi berita di Indonesia menjadi pilihan utama
masyarakat, lebih lagi lantaran kedua stasiun itu menayangkannya secara langsung, hampir mencapai 30 jam. Tak salah jika share dan
rating kedua stasiun itu begitu tinggi. Dari data AGB Nielsen untuk tiga kota (Jakarta, Bandung, dan Surabaya), kedua stasiun itu
mendapatkan share sekitar 32 persen. Artinya, hampir sepertiga penonton televisi pada saat itu menyaksikan tayangan langsung di ked
stasiun televisi tersebut. Bahkan, pada saat klimaks ketika polisi menyerbu masuk ke rumah dan sesosok mayat dikeluarkan polisi dari
dalam rumah, yakni pada Sabtu dari pukul 09.00 sampai pukul 12.00, share kedua stasiun ini mencapai hampir 75 persen.

Maka terjadilah reality show penggerebekan teroris. Mengapa reality show? Di dunia pertelevisian, saat ini program reality show meman
sedang booming, seperti Termehek-mehek dan Orang Ketiga. Hampir semua program bergenre reality show ini sukses menangguk
penonton.

Dramatisasi

Adakah yang salah dari kejadian ini? Secara industri rasanya tidak ada. Televisi adalah industri dengan modal besar. Tak salah bila
kemudian pengelola dan pemilik televisi mengharapkan gelontoran uang yang besar pula ke pundi-pundi mereka. Penayangan secara
langsung peristiwa penggerebekan teroris di Temanggung tentunya akan mendatangkan pemasukan dari iklan yang besar pula. Apalag
bila pada layar kaca diimbuhi tulisan "eksklusif". Tengoklah deretan iklan berupa running text atau super-impose di kedua stasiun televis
berita itu saat menayangkan proses penggerebekan teroris.

Tapi sejatinya sebuah berita tak semata menyandarkan diri kepada tuntutan industri. Tanggung jawab kepada audiens (penonton televis
atau pembaca media cetak dan online) seharusnya menjadi bagian yang inheren dalam sebuah pemberitaan. Ketika pada akhir proses
penggerebekan, reporter televisi dengan lantang menyebutkan bahwa tamatlah sudah riwayat Noor Din M. Top, tentulah banyak
penonton yang bersorak--meski mungkin hanya dalam hati. Alasannya amat sederhana: ancaman bom akan berkurang.

Sayangnya, keriaan itu tak dibarengi sikap skeptis sang reporter. Padahal sikap skeptis ini menjadi salah satu tiang jurnalisme. Sang
reporter hanya menyampaikan laporan pandangan mata alias reportase dari lapangan. Tak sedikit pun mencuat tanda tanya--sebagai
bagian dari sikap skeptis terhadap aksi "heroik" yang sedang digelar pasukan Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri. Pertanyaan
itu misalnya: berapa orang yang ada di dalam rumah. Mengapa tidak ada tembakan balasan dari dalam rumah. Mengapa polisi begitu
yakin jika di dalam rumah itu bersembunyi Noor Din M. Top. Apakah tidak ada cara lain, umpamanya melemparkan bom asap ke rumah
selain dengan cara menghujani dinding rumah dengan peluru.

Yang terjadi pada saat penggerebekan itu adalah dramatisasi. Sebuah pertunjukan heroik polisi yang dipertontonkan secara langsung
kepada audiens. Sebuah reality show dengan pemeran utama polisi tentunya mereka tak perlu dibayar layaknya aktor pada sebuah film
Saya bukannya ingin menafikan kerja polisi. Penggerebekan sebuah rumah di Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, pada saat bersamaan deng
penyerbuan sebuah rumah di Temanggung jelas merupakan sukses polisi. Penemuan 600 kilogram bahan peledak tentulah sebuah
prestasi besar.

Yang ingin saya cermati adalah kerja para jurnalis di Temanggung. Sikap skeptis yang sejatinya menjadi pilar nurani seorang jurnalis
haruslah ada pada diri semua jurnalis. Skeptis tak sama dengan sinis. Dalam terminologi yang dipopulerkan oleh Tom Friedman, seoran
jurnalis New York Times, skeptis adalah sikap mempertanyakan segala sesuatu, ragu atas apa yang diterima, dan mewaspadai segala
kepastian supaya tak mudah ditipu. Sedangkan sinis adalah penolakan karena seseorang sudah yakin atas jawaban yang dimilikinya

http://www.korantempo.com/korantempo/cetak/2009/08/14/Opini/krn.20090814.173837.id.htm
... 8/19/2009
KORAN TEMPO › Print Article Page 2 of 2

terhadap sebuah kejadian. Oleh H.L. Mencken, mantan wartawan Baltimore Sun, sikap sinis ini diumpamakan sebagai orang yang ketik
mencium keharuman sekuntum bunga justru malah mencari peti mati.

Sederet pertanyaan yang saya singgung di atas tentulah merupakan sikap skeptis, bukan sinis. Sebuah kepatutan rasanya ketika jurnal
yang ada di Temanggung mempertanyakan sejumlah hal, terlebih jika sang jurnalis melihat banyak keganjilan.

Bahaya siaran langsung

Ada pula hal lain yang mesti dicermati oleh stasiun televisi. Ingatkah kita akan kejadian penyanderaan teroris terhadap sejumlah orang d
Hotel Taj Mahal dan Oberoi, Mumbai, India, November tahun lalu? Polisi antiteror India memang berhasil membebaskan para sandera.
Tapi tak sedikit pula korban tewas, bahkan dari pihak polisi. Apa yang terjadi? Ternyata teroris yang bersembunyi di kedua hotel bintang
lima itu mengetahui secara persis titik keberadaan polisi. Mereka dapat mengakses televisi India yang menyiarkan secara langsung
proses penyerbuan polisi ke kedua hotel itu. Pada baku tembak di Oberoi, pimpinan pasukan antiteroris kepolisian Mumbai, Hemant
Karkare, tewas diberondong peluru para teroris.

Bagaimana jika tersangka teroris yang bersembunyi di dalam rumah di Temanggung ternyata memiliki pesawat televisi dan melihat
secara langsung proses penyerbuan Densus 88? Pada layar televisi terekam dengan jelas titik keberadaan polisi. Jika sang tersangka
teroris memiliki senjata, tak tertutup kemungkinan tembakan akan diarahkan ke titik keberadaan polisi.

Jelas dibutuhkan kode etik untuk menyiarkan secara langsung sebuah peristiwa layaknya yang terjadi di Temanggung pekan lalu. Telev
tentu tak semata-mata berpikiran meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan mengabaikan banyak hal--salah satunya faktor
keselamatan pasukan polisi yang sedang menyerbu rumah di Temanggung. Dewan Pers yang berencana mengundang televisi India
untuk berbagi pengalaman soal kejadian penyanderaan teroris di Mumbai tentu patut ditunggu. Jika nanti televisi kembali dihadapkan
pada kejadian seperti di Temanggung, kearifan patut dikedepankan ketimbang keinginan meraup rating/share dan keuntungan finansial
semata. *

http://www.korantempo.com/korantempo/cetak/2009/08/14/Opini/krn.20090814.173837.id.htm
... 8/19/2009

You might also like