Professional Documents
Culture Documents
Hibah dan wasiat adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan
peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sepele apabila dilihat
dari perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri.
Hibah dan wasiat yang dirumuskan dalam pasal demi pasal KHI tidak lepas
dari kitab-kitab fiqih dan justru memang bersumber dari al-Quran, hadist dan
kitab-kitab fiqih. Mengaitkan materi KHI dengan kajian fiqih dalam tulisan ini,
karena hibah dan wasiat yang dimuat dalam KHI bukanlah suatu ketentuan
yang final dan telah mencakup permasalahan hibah dan wasiat.
1
Disamping itu sudah menjadi kodrat, bahwa hukum yang dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini KHI tidak
menampung permasalahan hukum yang timbul dalam kehidupan manusia,
yang senantiasa berubah dengan membaur permasalahan yang baru,
apalagi hibah dan wasiat yang belum diatur dalam KHI hanya terdiri
beberapa pasal yang tidak menutup kemungkinan permasalahan hukum di
bidang hibah dan wasiat belum diatur yang memerlukan penafsiran hukum
dalam penerapannya.
Hanya saja gerak perubahan dari masyarakat yang lain, ada yang cepat,
tetapi ada pula yang lambat. Hal ini merupakan ciri dari kehidupan
masyarakat. W. Fridmann yang diikuti oleh Teuku Muhammad Radhi, SH.
mengatakan, tempo dari perubahan-perubahan sosial pada zaman ini telah
berakselerasi pada titik dimana asumsi-asumsi pada hari ini mungkin tidak
berlaku dalam beberapa tahun yang akan datang (Teuku Muhammad Radhi,
SH, 1981 : 8).
Adapun tulisan ini menyisipkan pembahasan hibah dan wasiat dalam KUH
Perdata dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang ketentuan yang
terdapat dalam hukum Islam dengan ketentuan yang diatur dalam KUH
Perdata, sebab wasiat dan hibah yang diatur dalam KUH Perdata tidak
lepas dari pengaruh hukum Islam.
Meskipun atas pengaruh hukum Islam, tetapi berbeda nilai idiilnya dengan
2
hukum islam, karena dalam KUH Perdata hibah dan wasiat digolongkan
perjanjian cuma-cuma yang tidak mengandung unsur kasih sayang dan
tolong menolong. sedangkan dalam hal islam perbuatan hukumnya dilihat
dari kamul khomsah pada assanya sunnah (Al-Baqoroh ayat 177 dan 180).
Hibah dalam KUH Perdata merupakan bagian dari hukum perjanjian dan
digolongkan perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu
diwaktu hidupnya (Subekti,1991,1).
Hibah dalam KUH perdata tidak boleh ditarik kembali, sedang dalam islam
dapat ditarik kembali, khusus hibah orangtua kandung kepada anak
kandungnya.Hibah dan Wasiat dalam KUH Perdata (BW).
Materi hukum tentang hibah dan wasiat dalam KUH Perdata sendiri bukan
diambil dari codex justinianus carpus juris civilis yang menurut para sejarah
sebagai sumber hukum modern dan bukan pula hibah dan wasiat diambil
dari kitab undang-undang hasil imajinasi Napoleon yang dimuat dalam
codex Napoleon yang merupakan asal usul KUH perdata (BW), tetapi codex
Napoleon justru ide dasarnya ditranformasikan dari kitab fiqih karya imam
Asy-Syarkowi yang kemudian dalam aplikasinya terdapat perbedaan yang
mendasar antara hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dengan hibah dan
wasiat dalam hukum Islam.
3
berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 1945 adalah bersumber dan
meniru kitab fiqih hasil karya Ulama Islam.Kitab fiqih mazhab sudah ada
sejak tahun 800 M sedangkan BW Eropa baru pada awal abad XIX M, yakni
berdasarkan code napolion yang disusun setelah napolion kembalidari
bermukim di Mesir selama kurang lebih 15 bulan antara Bulan Mei 1798
sampai bulan Agustus 1799.
Oleh karena itu tidak aneh kalau dalam KUH Perdata memuat atau
membicarakan materi hukum hibah dan wasiat dalam pasal-pasalnya yang
tidak lain adalah diambil dari kitab fiqih Imam Asy-Syarkowi, meskipun telah
dilakukan perubahan yang justru telah bertentangan dengan ketentuan
hibah dan wasiat dalam hukum Islam. pasal 874 sampai dengan pasal 1022
KUH Perdata tentang wasiat dan hibah adalah berdasarkan pada prinsip-
prinsip kitab fiqih. Dan pasal 1666 sampai dengan pasal 1693 KUH Perdata
adalah tentang hibah mendekati persamaan dengan yang dibahas dalam
kitab fiqih, kecuali dalam syarat-syarat tertentu ada perbedaan yang
mendasar.
Kalau diteruskan lagi mengkaji isi KUH Perdata dengan kitab fiqih, maka
tentang penitipan barang dalam pasal 1729 KUHPerdata merupakan
terjemahan bebas dalam kitab fikih tentang wadiah (penitipan barang)
berdasarkan Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat (58) (Hasbullah
bakry, 1985:9).
4
Hibah dan Wiasiat dalam Islam Ketentuan tentang hukum hibah dan wasiat
adalah berdasarkan dalil dalam Al-Qur’an dan hadits, sehingga semua
Ulama fiqih sepakat (Ijma) tentang ditetakannya wasiat dan hibah.
Ketentuan wasian dalam Al-Qur’an disebutkan antara lain dalam Surat Al-
Baqoro ayat 180, An-Nisa ayat 12 dan ayat 58, sedangkan dalam Hadits
adalah hadits Bukhiri Muslim.
Ketentuan hibah disebutkan surat Al-Baqoroh ayat 177 dan surat Al-Maidah
ayat 2, sedangkan hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori dan Imam Muslim. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk
tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang
kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT.
Faktor yang paling dalam disyariatkan hibah dan wasiat ini adalah faktor
kemanusiaan, keikhlasan dan ketulusan dari penghibah yang berwasiat.
Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan
atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih
5
(Free Choise) dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan
perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab).
Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan
menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat
menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya
masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya
menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat
melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua
pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak.
Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat
fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan
dengan perbuatan hukum dan peristiwa hukum elaksanaan hibah dan
wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung
dilakukan tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti.
Hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka
tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat
tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut
ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki
bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui
Pengadilan Agama.
Hibah dan wasiat yang diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat pasal
194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214). Ketentuan wasiat yang diatur
didalamnya menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat, jenis-jenis
6
wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidakboleh dalam wasiat. Sedangkan
ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal. Meskipun
ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene
merupakan transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena
jarang terjadi sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama,
maka dengan sendirinya belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar
yang ditentukan dalam KHI. lain halnya kalau dilihat dari pembahasan dalam
kitab-kitab fiqih yang begitu detail dan antipatifnya pendapat Ulama Fiqih
tentang kemungkinan-kemungkinan masalah yang timbul, sehingga lazim
terjadi perbedaan pendapat diantara Ulama fiqih dalam mengkaji setiap
permasalahan yang terjadi.
Hibah yang diatur dalam pasal 210 KHI dan fiqih dibatasi sebanyak-
banyaknya 1/3 harta benda dari harta benda yang merupakan hak
penghibah, malah Ibu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan
Muslim menganjurkan sebanyak-banyaknya 1/4 dari seluruh harta, yaitu
pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Definisi yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada
dasarnya tidak ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan
pengertian shadaqah dan illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT,
sedangkan hadiah semata-mata untuk memuliakan orang yang diberi hadiah
yang dampaknya akan melahirkan saling mengasihi (tahaaduu tahaabuu).
dalam KHI disyaratkan penghibah sudah berumur sekurang-kurangnya 21
tahun, berakal sehat tanpa paksaan yang sama maknanya dengan kajian
fiqih, bahwa anak kecil dan wali tidak sah menghibahkan, karena belum
cukup umur (ahliyatul ada’al-kamilah) dan bagi wali karena benda yang
dihibahkan bukan miliknya.Pelaksanaan hibahdisyaratkan ijab kabul,
sedangkan dalam shadaqah dan hadiah tidak disyaratkan ijab kabul.
Dalam pasal 211 KHI disebutkan hibah orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan. Maksud dapat diperhitungkan berarti harta
yang dihibahkan dapat dijadikan bagian waris yang bagian waris sendiri
dapat lebih kecil karena karena sudah mendapatkan hibah.
Dalam fiqih hak anak terhadap orang tuannya dapat diperoleh dari 2 jalan,
yaitu hibah atau hibah wasiat dan waris. Pasal 212 KHI disebutkan hibah
kepada anak dapat ditarik kembali.
7
dicabut secara sepihak, tetapi ketentuan ini tidak mudah dilaksanakan
apabila harta hibah sudah berganti tangan dalam bentuk benda lain.
Oleh karena itu Ulama fiqih berpendapat apabila benda hibah masih dimiliki
anak atau masih bergabung dengan milik orang tuanya dapat dicabut, tetapi
apabila sudah bercampur dengan harta miliknya, istrinya atau dengan harta
orang lain tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 213 KHI hibah yang diberikan pada pemberi hibah dalam keadaan
sakit yang dekat dengan kematiannya harus mendapat persetujuan ahli
warisnya. Ketentuan ini menurut kajian fiqih orang yang sakit dapat
menghibahkan 1/3 hartanya dengan dianalogkan dengan wasiat dengan
dasar istishhabul-hal menganggap tetap berlakunya sesuatu yang sama
karena ijma, menetapkan orang yang sakit boleh menghibahkan hartanya.
Hukum Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194 pasal 209 KHI yang
disebutkan diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk
wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam
wasiat. Perbedaan hibah dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi
wasiat (pasal 194 ayat (3) KHI).
Namun demikian wasiat dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh
bahkan haram tergantung pada maksud dan tujuannya.
5.Mubah apabila berwasiat untuk kaum kerabat atau orang lain yang
8
berkecukupan.
Sehubungan wasiat wajib atau wasiat wajibah adala wasiat yang dianggap
ada walaupun yang sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan.
Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah, karena tidak ada nash yang shorih,
sehingga yang berkenaan dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat
wajibah merupakan lapangan kajian hukum.
Dasar hukum wasiat wjibah adala firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh
ayat 180, sehingga para ulama setelah masa tabi’in seperti Sa’idbin
Musayyab, hasan bashri, Thawus, Imam Ahmad bin Hamabal, daud Az-
Zhahiri,Ibu jarir Al-Tobari Ishaq bin Rahawaih, Ibnu hazm dan lain-lain
berdasarkan hal ayat tersebut berpendapat wajib untuk berwasiat kepada
kerabat yang tidak berhak mendapat waris karena terhijab oleh ahli waris
yang lainnya. Tersebut bersifat muhkam, yang tetap berlaku bagi kerabat
yang tidak mendapat bagian waris.
9
dia masih hidup tentu posisinya sama dengan saudaranya itu (paman dari
anak-anaknya).
Dalam kasus ini apabila suaminya meninggal tentu ada hak waris anak dari
istri yang telah bercerai dengannya,sedangkan anaknya tersebut
sebelumnya telah diberi harta ketika bercerai dari ibunya.
Agar anak dari istri yang keduanya terlindungi dari pembagian waris yang
akan mengurangi jumlah bagiannya (karena anak dari istri yang diceraikan
masih berhak atas harta peninggalan ayahnya), maka melaui hibah ini
suami dapat menghibahkan hartanya kepada anak dari istri yang keduanya
tersebut, sehingga dengan demikian anak tersebut mendapat perlehan
memadai.
Selain dari itu sering terjadi dalam perkara perceraian, suami istri
menghibahkan harta bersama misalna tanah berikut bangunan rumah
diatasnya kepada salah satu pihak dari suami atau istri atau kepada anak-
anaknya. Putusan Pengadilan Agama tentang hibah tersebut tentu perlu
ditindaklanjuti oleh para pejabat yang diberi wewenang atau instansiterkait
dengan persoalan benda tidak bergerak.
Karena apabila akan dilakukan balik nama terhadap benda yang dihibahkan
berdasarkan putusan Pengadilan Agama tersebut masih harus
mensyaratkan menyertakan pihak penerima hibah dan pemberi hibah serta
syarat-syarat administratif lainnya, misalnya KTP atau surat kuasa, karena
pejabat atau instansi yang berangkutan terikat pada Peraturan Perundang-
undangan tentang pertanahan atau hukum perjanjian. Kalau dikaji lebih
lanjut penyelesaian perkara di Peradilan Agama dengan menggunakan
hukum acara yang berlaku berdasarkan Pasal 54 UUPA sesungguhnya
banyak tidak relevan dengan kaakteristik perkara yang menjadi wewenang
Peradilan Agama.
Salah satu contoh yang tidak relevan adalah ketentuan eksekusi yang diatur
dalam HIR atau Rbg, karena ketentuan eksekusi yang diatur dalam HIR atau
Rgb adalah menyangkut perkara sengketa milik, hutang piutang dan ganti
10
rugi adalah dengan lelang, sdangkan perkara yang diselesaikan oleh
Peradilan Agama sama sekali tidak menyentuh perkara sengketa milik,
hutang piutang dan ganti rugi.
Oleh karena itu mestinya dengan putusan Pengadilan Agama dalam perkara
yang terkait dengan hibah atau harta kekayaan lainnya, instansi yang
bersangkutan atau pejabat yang menangani harta kekayaan, misalnya
Notaris, PPAT atau BPN terikat isi putusan pengadilan in casu
Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak
dan pihak lain.
11