You are on page 1of 11

HIBAH DAN WASIAT

(KAJIAN KOMPILASI HUKUM ISLAM, FIQIH DAN KITAB UNDANG-


UNDANG HUKUM PERDATA)

Hibah dan wasiat adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan
peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sepele apabila dilihat
dari perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri.

Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan


dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti
tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum
Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi
hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya(Al-Baqarah ayat 177 dan
ayat 182).

Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas


Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA)
dan kompilaasi HukumIslam (KHI) kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata
hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih
dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Tidak prinsip memang antara yang
lebih dahulu disebut atau dibahas antara hukum hibah dan hukum wakaf,
namun sistematika pembahasan terhadap materi tersebut dalam tnini hukum
hibah dan hukum wakaf dimulai membahas hibah, perbuatan hukum yang
berlakunya setelah kematian pemberi wasiat.

Hibah dan wasiat berdasarkan hokum Islam dalam konteks kompetensi


absolut Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah kewenangan Peradilan
Agama (pasal 49 ayat(1) UUPA, sedang hibah dan wasiat didalam KHI
merupakan pedoman bagi hakim Pengadilan Agama khususnya untuk
menyelesaikan masalah-masalah berkenan bidang hukum yang terdapat
didalamnya (Inpres nomor 1 Tahun 1990).

Hibah dan wasiat yang dirumuskan dalam pasal demi pasal KHI tidak lepas
dari kitab-kitab fiqih dan justru memang bersumber dari al-Quran, hadist dan
kitab-kitab fiqih. Mengaitkan materi KHI dengan kajian fiqih dalam tulisan ini,
karena hibah dan wasiat yang dimuat dalam KHI bukanlah suatu ketentuan
yang final dan telah mencakup permasalahan hibah dan wasiat.

Disebutkan dalam impres, bahwa KHI merupakan pedoman yang


mengisyaratkan patokan umum yang memerlukan perkembangan dan
pengkajian lebih lanjut yang tidak lain pengembangannya merujuk pada
kajian fiqih, karena dalam kitab fiqih dijelaskan latar belakang dan lahirnya
pendapat Ulama Fiqih terhadap obyek yang dikaji dan segala kemungkinan
yang akan timbul, sehingga dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqih
merupakan dasar untuk mengembangkan dan menafsirkan lebih lanjut hasil
kajian yang sudah ada.

1
Disamping itu sudah menjadi kodrat, bahwa hukum yang dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini KHI tidak
menampung permasalahan hukum yang timbul dalam kehidupan manusia,
yang senantiasa berubah dengan membaur permasalahan yang baru,
apalagi hibah dan wasiat yang belum diatur dalam KHI hanya terdiri
beberapa pasal yang tidak menutup kemungkinan permasalahan hukum di
bidang hibah dan wasiat belum diatur yang memerlukan penafsiran hukum
dalam penerapannya.

Hampir setiap hukum yang diatur dalam peraturan prundangundangan tidak


mampu menampung permasalahan hukum yang berakselerasi dengan
perkembangan masyarakat. Wajarlah kalau dikatakan hukum berjalan
tertatih-tatih dibelakang perkembangan zaman, karena hukum tidak mampu
mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia.

Bagaimanapun lengkapnya suatu kitab hukum, tidak mampu mengantisipasi


persoalan hukum yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Adalah suatu
kodrat, bahwa kehidupan dan perilaku pergaulan manusia secara kontinyu
mengalami perubahan.

Para ahli ilmu sosial mengajarkan, bahwa sesungguhnya tidak ada


masyarakat yang statis, tidak bergerak, melainkan yabg ada adalah
masyarakat manusia yang secara terus menerus mengalami perubahan.

Hanya saja gerak perubahan dari masyarakat yang lain, ada yang cepat,
tetapi ada pula yang lambat. Hal ini merupakan ciri dari kehidupan
masyarakat. W. Fridmann yang diikuti oleh Teuku Muhammad Radhi, SH.
mengatakan, tempo dari perubahan-perubahan sosial pada zaman ini telah
berakselerasi pada titik dimana asumsi-asumsi pada hari ini mungkin tidak
berlaku dalam beberapa tahun yang akan datang (Teuku Muhammad Radhi,
SH, 1981 : 8).

Ibnu Kholdun (1332-1440) mengatakan, bahwa keadaan umat manusia,


adat kebiasaan dan peradabannya tidaklah pada suatu gerak dan khittoh
yang tetap, melainkan berubah dan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan zaman dan tempat, maka keadaan ini terjadi pula pada dunia
dan negara. Sungguh sunnatullah berlaku pada hamba-hambaNya (Subhi
Mahmassani, 1981 , 160).

Adapun tulisan ini menyisipkan pembahasan hibah dan wasiat dalam KUH
Perdata dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang ketentuan yang
terdapat dalam hukum Islam dengan ketentuan yang diatur dalam KUH
Perdata, sebab wasiat dan hibah yang diatur dalam KUH Perdata tidak
lepas dari pengaruh hukum Islam.

Meskipun atas pengaruh hukum Islam, tetapi berbeda nilai idiilnya dengan

2
hukum islam, karena dalam KUH Perdata hibah dan wasiat digolongkan
perjanjian cuma-cuma yang tidak mengandung unsur kasih sayang dan
tolong menolong. sedangkan dalam hal islam perbuatan hukumnya dilihat
dari kamul khomsah pada assanya sunnah (Al-Baqoroh ayat 177 dan 180).

Hibah dalam KUH Perdata merupakan bagian dari hukum perjanjian dan
digolongkan perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu
diwaktu hidupnya (Subekti,1991,1).

Pada asasnya suatu perjanjian adalah bersifat timbal balik, seseorang


menyanggupi memenuhi prestasi disebabkan dia akan menerima kontra
prestasi dari pihak lain. Meskipun hibah termasuk hokum perjanjian cuma-
cuma, karena hanya ada prestasi dari satu pihak saja (Penghibah),
sedangkan penerima hibah tidak ada kewajiban untuk memberikan kontra
prestasi kepada penghibah. Dikatakan diwaktu hidupnya untuk
membedakan hibah dengan testamen atau hibah antara suami istri dalam
islam diperbolehkan.

Hibah dalam KUH perdata tidak boleh ditarik kembali, sedang dalam islam
dapat ditarik kembali, khusus hibah orangtua kandung kepada anak
kandungnya.Hibah dan Wasiat dalam KUH Perdata (BW).

Materi hukum tentang hibah dan wasiat dalam KUH Perdata sendiri bukan
diambil dari codex justinianus carpus juris civilis yang menurut para sejarah
sebagai sumber hukum modern dan bukan pula hibah dan wasiat diambil
dari kitab undang-undang hasil imajinasi Napoleon yang dimuat dalam
codex Napoleon yang merupakan asal usul KUH perdata (BW), tetapi codex
Napoleon justru ide dasarnya ditranformasikan dari kitab fiqih karya imam
Asy-Syarkowi yang kemudian dalam aplikasinya terdapat perbedaan yang
mendasar antara hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dengan hibah dan
wasiat dalam hukum Islam.

Masih melekat dikalangan dunia hukum, bahwa hukum modern selalu


dikaitkan dengan negara Eropa, karena memang sejarah hukum senantiasa
dikaitkan dengan hukum Romawi, mengingat pengaruh hukum Romawi
terhadap perkembangan hukum pada Negara-negara di Eropa sangat besar,
khususnya dibidang hukum perdata yang dikembangkan melalui hukum
universal atau hukum umum (jus comune, jus gentium). Jus comune atau
jus gentium ini merupakan codex justinianusyang pada abad ke VI
dikodifikasikan sebagai sebuah hukum tertulis oleh Negara-negara Eropa
pada abad ke XV dan abad ke XVI. Codex justinianus khususnya hukum
perdata menjadi sumber utama dari hukum perdata modern(Theo Huibers,
1990:34).

Meskipun Codex Justinianus khususnya dibidang hukum perdata yang


dikatakan menjadi sumber utama dari hukum perdata modern, namun BW
(KUH Perdata) yang sekarang berlaku di Indonesia yang doberlakukan

3
berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 1945 adalah bersumber dan
meniru kitab fiqih hasil karya Ulama Islam.Kitab fiqih mazhab sudah ada
sejak tahun 800 M sedangkan BW Eropa baru pada awal abad XIX M, yakni
berdasarkan code napolion yang disusun setelah napolion kembalidari
bermukim di Mesir selama kurang lebih 15 bulan antara Bulan Mei 1798
sampai bulan Agustus 1799.

Sejarah KUH Perdata (BW) Indonesia sendiri adalah mengikuti kodeifikasi


BW di negeri Belanda (1838), sedangkan BW belanda mengikuti BW
perancis yang terkenal code napolion (1807).

Adapun kodifikasi Hukum Perancis yang merupakan cikal bakal hukum


perdata modern Eropa sekarang sesungguhnya berpangkal pada 2 (dua)
sumber yaitu Hukum Romawi dan Hukum Islam, hukum Romawi terkenal
dengan kodifikasi Yustinianus (483-565) yang disebut Codex Justinianus
atau justinianus corpus juris civilis. Sedangkan hukum fiqih Islam diambil
oleh Napoleon dan dimuat dalam Code napolion berasal dari kitab fiqih
susunan Abudalah Asy-Syarkowi (1737-1812 M).

Pada waktu Napoleon menduduki Kairo Mesir, jabatan Asy-Syarkowi adalah


Syaikhul Azhar yang diminya napolion membantu hokum Perancis, yaitu
Portalis, Tronchet, Bigot De Preameneu dan Mallevilie yang keempatnya
adalah para Sarjana Hukum Prancis yang turut Napolion ke Mesir. Hasil
karya tim hukum Prancis tersebut yang dibantu oleh Imam Asy-Syarkowi
inilah BW Prancis disusun tersebar di nagar-negara Eropa yang dikatakan
sumber hukum modern, termasuk yang diadopsi belanda dan diberlakukan
pada negara jajahannya termasuk Indonesia yang sampai sekarang BW
Belanda tersebut masih berlaku positif di Indonesia yang dikenal dengan
KUH Perdata, padahal di Belanda sendiri KUH Perdata tersebut sudah
dilakukan perubahan.

Oleh karena itu tidak aneh kalau dalam KUH Perdata memuat atau
membicarakan materi hukum hibah dan wasiat dalam pasal-pasalnya yang
tidak lain adalah diambil dari kitab fiqih Imam Asy-Syarkowi, meskipun telah
dilakukan perubahan yang justru telah bertentangan dengan ketentuan
hibah dan wasiat dalam hukum Islam. pasal 874 sampai dengan pasal 1022
KUH Perdata tentang wasiat dan hibah adalah berdasarkan pada prinsip-
prinsip kitab fiqih. Dan pasal 1666 sampai dengan pasal 1693 KUH Perdata
adalah tentang hibah mendekati persamaan dengan yang dibahas dalam
kitab fiqih, kecuali dalam syarat-syarat tertentu ada perbedaan yang
mendasar.

Kalau diteruskan lagi mengkaji isi KUH Perdata dengan kitab fiqih, maka
tentang penitipan barang dalam pasal 1729 KUHPerdata merupakan
terjemahan bebas dalam kitab fikih tentang wadiah (penitipan barang)
berdasarkan Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat (58) (Hasbullah
bakry, 1985:9).

4
Hibah dan Wiasiat dalam Islam Ketentuan tentang hukum hibah dan wasiat
adalah berdasarkan dalil dalam Al-Qur’an dan hadits, sehingga semua
Ulama fiqih sepakat (Ijma) tentang ditetakannya wasiat dan hibah.

Ketentuan wasian dalam Al-Qur’an disebutkan antara lain dalam Surat Al-
Baqoro ayat 180, An-Nisa ayat 12 dan ayat 58, sedangkan dalam Hadits
adalah hadits Bukhiri Muslim.

Ketentuan hibah disebutkan surat Al-Baqoroh ayat 177 dan surat Al-Maidah
ayat 2, sedangkan hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori dan Imam Muslim. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk
tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang
kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT.

Faktor yang paling dalam disyariatkan hibah dan wasiat ini adalah faktor
kemanusiaan, keikhlasan dan ketulusan dari penghibah yang berwasiat.

Kalapun akan di bedakannya hanya waktu pelaknasaannya, yaitu hibah


dilaksanakan semasa penghibah masih hidup, sedang wasiat dilaksanakan
setelah pewasiat wafat.

Dikatakan hibah dan wasiat pada asanya adalah pemberian seseorang


kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT karena arti
harfiah dari 2 (dua) kata ini mendekati arti yang sama. wasiat artinya
menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan menyambung, memerintah,
mewajibkan.

Sedangkan hibah diartikan pemberian tanpa syarat tanpa mengharapkan


pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu oleh mazhab Maliki hibah sama
dengan hadiah, hibah menurut mazhab Syafi’i adalah pemberian untuk
menghormati atau memuliakan seseorang tanpa bermaksud mengharapkan
pahala dari Allah SWT.

Menurut mazhab Syafi’i hibah mengandung dua pengertian, yaitu pengertian


umum dan khusus, pengertian umum mencakup hadiah dan sedekah dan
pengertian khusus yang disebut hibah apabila pemberian tersebut tidak
bermaksud menghormati atau memuliakan dan mengharapkan ridho Allah
SWT. Jika pemberian(hadiah) tersebut bermaksud menghormati atau
memuliakan yang diberi disebut hadiah, jika pemberian mengharapkan ridho
Allah SWT atau menolong untuk menutupi kesusahannya disebut sedekah.
Hibah dan wasiat dilihat dari Hikmatu Al-Tasyri (Filsafat Hukum Islam)
adalah untuk memenuhi hasrat berbuat bagi umat islam yang beriman
kepada Allah SWT (Al-Baqoroh ayat 177).

Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan
atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih

5
(Free Choise) dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan
perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab).

Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan
menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat
menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya
masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya
menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat
melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua
pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak.

Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat
fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan
dengan perbuatan hukum dan peristiwa hukum elaksanaan hibah dan
wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung
dilakukan tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti.

Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena


hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada
seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat
apabila wasiat behubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan
masalah hukum.

Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah


satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-
undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke
Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang
diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara
perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti
pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara
kewarisan.

Hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka
tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat
tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut
ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki
bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui
Pengadilan Agama.

Dengan demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai yurisprudensi


(stare decicis) tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat dan
hibah ini untuk dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan teori
hukum Islam.

Hibah dan wasiat yang diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat pasal
194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214). Ketentuan wasiat yang diatur
didalamnya menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat, jenis-jenis

6
wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidakboleh dalam wasiat. Sedangkan
ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal. Meskipun
ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene
merupakan transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena
jarang terjadi sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama,
maka dengan sendirinya belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar
yang ditentukan dalam KHI. lain halnya kalau dilihat dari pembahasan dalam
kitab-kitab fiqih yang begitu detail dan antipatifnya pendapat Ulama Fiqih
tentang kemungkinan-kemungkinan masalah yang timbul, sehingga lazim
terjadi perbedaan pendapat diantara Ulama fiqih dalam mengkaji setiap
permasalahan yang terjadi.

Hibah yang diatur dalam pasal 210 KHI dan fiqih dibatasi sebanyak-
banyaknya 1/3 harta benda dari harta benda yang merupakan hak
penghibah, malah Ibu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan
Muslim menganjurkan sebanyak-banyaknya 1/4 dari seluruh harta, yaitu
pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Pengertian hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu untuk


menjadi milik orang lain dengan maksud untuk berbuat baik yang
dilaksanakan semasa hidupnya tanpa imbalan dan tanpa illat (karena
sesuatu).

Definisi yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada
dasarnya tidak ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan
pengertian shadaqah dan illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT,
sedangkan hadiah semata-mata untuk memuliakan orang yang diberi hadiah
yang dampaknya akan melahirkan saling mengasihi (tahaaduu tahaabuu).
dalam KHI disyaratkan penghibah sudah berumur sekurang-kurangnya 21
tahun, berakal sehat tanpa paksaan yang sama maknanya dengan kajian
fiqih, bahwa anak kecil dan wali tidak sah menghibahkan, karena belum
cukup umur (ahliyatul ada’al-kamilah) dan bagi wali karena benda yang
dihibahkan bukan miliknya.Pelaksanaan hibahdisyaratkan ijab kabul,
sedangkan dalam shadaqah dan hadiah tidak disyaratkan ijab kabul.

Dalam pasal 211 KHI disebutkan hibah orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan. Maksud dapat diperhitungkan berarti harta
yang dihibahkan dapat dijadikan bagian waris yang bagian waris sendiri
dapat lebih kecil karena karena sudah mendapatkan hibah.

Dalam fiqih hak anak terhadap orang tuannya dapat diperoleh dari 2 jalan,
yaitu hibah atau hibah wasiat dan waris. Pasal 212 KHI disebutkan hibah
kepada anak dapat ditarik kembali.

Ketentuan ini merupakan garis hukum islam berdasarkan hadits Rasulullah


yang diwriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang pada intinya dapat

7
dicabut secara sepihak, tetapi ketentuan ini tidak mudah dilaksanakan
apabila harta hibah sudah berganti tangan dalam bentuk benda lain.

Oleh karena itu Ulama fiqih berpendapat apabila benda hibah masih dimiliki
anak atau masih bergabung dengan milik orang tuanya dapat dicabut, tetapi
apabila sudah bercampur dengan harta miliknya, istrinya atau dengan harta
orang lain tidak dapat dicabut kembali.

Pasal 213 KHI hibah yang diberikan pada pemberi hibah dalam keadaan
sakit yang dekat dengan kematiannya harus mendapat persetujuan ahli
warisnya. Ketentuan ini menurut kajian fiqih orang yang sakit dapat
menghibahkan 1/3 hartanya dengan dianalogkan dengan wasiat dengan
dasar istishhabul-hal menganggap tetap berlakunya sesuatu yang sama
karena ijma, menetapkan orang yang sakit boleh menghibahkan hartanya.

Hukum Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194 pasal 209 KHI yang
disebutkan diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk
wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam
wasiat. Perbedaan hibah dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi
wasiat (pasal 194 ayat (3) KHI).

Ketentuan ini disepakati oleh Imam 4 mazdhab (Maliki,Hanafi,Hambali, dan


Al-Syafi’i). melaksanakan hibah hukumna sunnah dan hukum berwasiat
menurut Imam empat mazdhab pada asanya sunah berdasarkan kata yuridu
(arab) dala hadits yang diriwayatkan Imam Maliki dari An-Nafi sebagai
berikut :”Tidak ada hak bagi seorang Muslim yang mempunyai sesuatu
yang (yuridis) ingin diwasiatkannya yang sampai bermalam dua
malam, maka wasiat itu wajib tertulis baginya”.

Para Imam empat mazdhab berpendapat bahwa berwasiat hendaknya


sunah dengan alasan, karena tidak ada dalil yang menyatakan Rasulullah
SAW dan para sahabatnya melaksanakanya.

Namun demikian wasiat dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh
bahkan haram tergantung pada maksud dan tujuannya.

1.Wajib apabila selama hidupnya belum melunasi kewajibannya terhadap


Allah SWT, misalnya membayar kifarat, zakat atau haji maupun kewajiban
terhadap manusia, misalnya hutang dan lainnya.

2.Sunah adalah berwasiat kepada kerabat yang tidak mendapat warisan.

3.Haram apabila berwasiat untuk hal-hal yang dilarang oleh agama.

4.Makruh apabaila yang berwasiat mengenai hal-hal yang dibenci agama.

5.Mubah apabila berwasiat untuk kaum kerabat atau orang lain yang

8
berkecukupan.

Sehubungan wasiat wajib atau wasiat wajibah adala wasiat yang dianggap
ada walaupun yang sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan.
Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah, karena tidak ada nash yang shorih,
sehingga yang berkenaan dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat
wajibah merupakan lapangan kajian hukum.

Dasar hukum wasiat wjibah adala firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh
ayat 180, sehingga para ulama setelah masa tabi’in seperti Sa’idbin
Musayyab, hasan bashri, Thawus, Imam Ahmad bin Hamabal, daud Az-
Zhahiri,Ibu jarir Al-Tobari Ishaq bin Rahawaih, Ibnu hazm dan lain-lain
berdasarkan hal ayat tersebut berpendapat wajib untuk berwasiat kepada
kerabat yang tidak berhak mendapat waris karena terhijab oleh ahli waris
yang lainnya. Tersebut bersifat muhkam, yang tetap berlaku bagi kerabat
yang tidak mendapat bagian waris.

Apabila seorang meninggal tanpa meninggalkan wasiat wajibah, Ibnu Hazm


Cs membatasi hanya pada cucu sebanyak bagian ayah atau ibunya apabila
keduanya masih hidupdan tidak boleh lebih dari 1/3 harta (Ibrahim Husen,
1985:24).

Sebagaimana yang diketahui dalam hukum waris bahwa menurut pendapat


jumhur posisi cucu di hijab oleh anak pewaris sehingga cucu yang orang
tuanya (ayah atau ibu) meninggal dunia dihijab oleh pamannya (saudara
ayah atau ibu) sedangkan pendapat lain yang tidak mu’tamad, tetapi
mencerminkan rasa keadilan berpendapat seseorang yang meninggalkan
anak tidak putus hak kewarisan anak atas hak orang tuanya yang meninggal
dunia lebih dahulu dari orang tuannya, tetapi tetap tersambung meneruskan
juarinnya (keturunannya).

Tetapi berbeda ketentuannya antara wasiat wajibat dengan ahli waris


pengganti (plaatsvervangend erfgenaam). Wasiat wajibah maksimal
mendapat 1/3 bagian berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, bahkan
menurut Ash-Shon’ani pengarang kitab Subulussalam para ulama sepakat
membatasi wasiat 1/3. Kalaupun akan mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3
harus seizin ahli waris. Tanpa seizin ahli waris wasiat lebih dari 1/3 batal
demi hukum.

Sedangkan porsi atau hak yang diperolehpada ahli waris pengganti


tergantung pada posisi ahli waris yang diganti, mungkin pada posisi
mendapat bagian lebih banyak atau pada posisi mendapat bagian lebih
sedikit. Tetapi apabila memperhatikan ketentuan ahli waris pengganti
dengan wasiat wajibah diukur dari rasa keadilan, maka menggunakan dasar
ahli waris pengganti lebih adil dari pada berdasarkan berdasarkan wasiat
wajibah. Tidak adil dirasakan dalam ketentuan fiqih, bahwa paman
menghijab anak saudaranya yang mininggal lebih dahulu, padahal andaikan

9
dia masih hidup tentu posisinya sama dengan saudaranya itu (paman dari
anak-anaknya).

Dengan dasar rasa keadilan sebagai jalan mewujudkan keadilan inilah


ketentuan ahli waris pengganti yang bersifat ijtihadiyah menjadi ketentuan
kewarisan yang diatur dalam pasal 185 KHI. Pelaksanaan Putusan
Peradilan Agama Pemberian harta melalui hibah dan wasiat, baik kepada
ahli waris maupun kerabat dan orang lain dapat melindungi hak yang
bersangkutan dari ahli waris yang lain. Misalnya seorang suami yang telah
bercerai dengan istrinya dan mempunyai anak keturunan. Kemudian suami
kawin lagi dengan perempuan lain (istri yang kedua) dan mempunyai anak.

Dalam kasus ini apabila suaminya meninggal tentu ada hak waris anak dari
istri yang telah bercerai dengannya,sedangkan anaknya tersebut
sebelumnya telah diberi harta ketika bercerai dari ibunya.

Agar anak dari istri yang keduanya terlindungi dari pembagian waris yang
akan mengurangi jumlah bagiannya (karena anak dari istri yang diceraikan
masih berhak atas harta peninggalan ayahnya), maka melaui hibah ini
suami dapat menghibahkan hartanya kepada anak dari istri yang keduanya
tersebut, sehingga dengan demikian anak tersebut mendapat perlehan
memadai.

Selain dari itu sering terjadi dalam perkara perceraian, suami istri
menghibahkan harta bersama misalna tanah berikut bangunan rumah
diatasnya kepada salah satu pihak dari suami atau istri atau kepada anak-
anaknya. Putusan Pengadilan Agama tentang hibah tersebut tentu perlu
ditindaklanjuti oleh para pejabat yang diberi wewenang atau instansiterkait
dengan persoalan benda tidak bergerak.

Tetapi putusan ini sayangnya tidak serta merta dapat dilaksanakan,


mengapa?

Karena apabila akan dilakukan balik nama terhadap benda yang dihibahkan
berdasarkan putusan Pengadilan Agama tersebut masih harus
mensyaratkan menyertakan pihak penerima hibah dan pemberi hibah serta
syarat-syarat administratif lainnya, misalnya KTP atau surat kuasa, karena
pejabat atau instansi yang berangkutan terikat pada Peraturan Perundang-
undangan tentang pertanahan atau hukum perjanjian. Kalau dikaji lebih
lanjut penyelesaian perkara di Peradilan Agama dengan menggunakan
hukum acara yang berlaku berdasarkan Pasal 54 UUPA sesungguhnya
banyak tidak relevan dengan kaakteristik perkara yang menjadi wewenang
Peradilan Agama.

Salah satu contoh yang tidak relevan adalah ketentuan eksekusi yang diatur
dalam HIR atau Rbg, karena ketentuan eksekusi yang diatur dalam HIR atau
Rgb adalah menyangkut perkara sengketa milik, hutang piutang dan ganti

10
rugi adalah dengan lelang, sdangkan perkara yang diselesaikan oleh
Peradilan Agama sama sekali tidak menyentuh perkara sengketa milik,
hutang piutang dan ganti rugi.

Pelaksanaan putusan Pengadilan Agama dengan memperhatikan ciri-ciri


eksekusi lelang, sesungguhnya tidak perlu dengan lelang dan memang tidak
melalui lelang, tetapi putusan Pengadilan Agama ditindaklanjuti oleh instansi
yang terkait dengan pokok perkara yang diputuskan oleh Pengadilan
Agama.

Masalahnya belum ada peraturan perundang-undangan atau setidak-


tidaknya perlu SKB antara Mahkamah Agung RI sebagai penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman dan merupakan Pengadilan Negara tertinggi dari
keempat lingkungan peradilan (UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman) dengan lembaga atau instansi pemerintah untuk
menindaklanjuti putusan-putusan Pengadilan Agama.

Putusan pengadilan deklarator, konstitutif maupun kondemnator pada


asasnya melahirkan hukum baru terhadap peristiwa hukuhm yang
diputuskan.

Oleh karena itu mestinya dengan putusan Pengadilan Agama dalam perkara
yang terkait dengan hibah atau harta kekayaan lainnya, instansi yang
bersangkutan atau pejabat yang menangani harta kekayaan, misalnya
Notaris, PPAT atau BPN terikat isi putusan pengadilan in casu
Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak
dan pihak lain.

Apabila putusan Pengadilan Agama dalam perkara hibah ini tidak


mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain, maka
dapat saja yang bersangkutan mempersulit atau mengingkari putusan
tersebut, bahkan mengesampingkan putusan.

11

You might also like