You are on page 1of 8

Percepatan pembangunan pertanian di Papua Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2), 2008: ...

141-148

141

PERCEPATAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PAPUA BERBASIS SUMBER DAYA


Tim Sintesis Kebijakan
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123

PENDAHULUAN Secara administratif wilayah Papua telah dimekarkan menjadi dua provinsi, yaitu Papua dan Papua Barat. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan wilayah di kedua provinsi tersebut. Pada tahun 1990-2003, sektor pertanian mampu menyerap 72-77% tenaga kerja dan berkontribusi 15-24% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Hasil pertanian Papua sejauh ini masih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Realisasi investasi untuk sektor pertanian sangat kecil. Pada tahun 2003, jumlah investasi pada sektor pertanian dari dalam negeri hanya 0,4% dan dari luar negeri 4,24% dari jumlah realisasi investasi yang mencapai Rp19,99 triliun. Data dan informasi sumber daya lahan/ tanah mempunyai peranan sangat penting dalam menunjang program pembangunan pertanian suatu daerah, khususnya dalam menyusun perencanaan pengembangan wilayah melalui pemilihan daerah-daerah

1)

Naskah disampaikan pada Rapat Pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bulan Oktober 2007.

berpotensi. Untuk mengetahui wilayahwilayah berpotensi tersebut diperlukan data sumber daya lahan/tanah. Potensi sumber daya lahan untuk pertanian di Papua cukup besar. Namun, keterbatasan infrastruktur, keterisolasian dari pasar domestik dan internasional, tidak meratanya penyebaran sumber daya manusia terampil, hambatan birokrasi, serta situasi politik dan gangguan keamanan merupakan disinsentif untuk penanaman modal di Papua. Pemanfaatan sumber daya lahan/tanah secara optimal, seimbang, dan berkelanjutan perlu disesuaikan dengan kondisi dan sifat-sifat sumber daya lahan tersebut serta kondisi lingkungan, dan tidak mendapat hambatan karena faktor fisik dan lingkungan. Di Papua, sumber daya lahan pertanian berperan sebagai penghasil pangan serta sumber pendapatan petani dan daerah, sehingga upaya untuk mengembangkan pertanian perlu dilakukan. Mengingat sebagian besar masyarakat etnis Papua masih menggantungkan kehidupannya pada sumber daya lahan dan lingkungan maka usaha pengembangan pertanian secara tidak langsung juga meningkatkan taraf hidup, pendapatan, dan kesejahteraan mereka. Memanfaatkan potensi sumber daya lahan daerah ini secara terarah dan terpadu berpeluang menumbuhkan pusat-

142

Tim Sintesis Kebijakan

pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan timur Indonesia, khususnya Papua.

PERMASALAHAN Data tahun 2003 menunjukkan, Papua merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan paling tinggi di Indonesia; kemiskinan di wilayah pedesaan sekitar 49,75% tetapi di perkotaan hanya 8,32%. Sebagai gambaran, rumah tangga tanpa akses jalan di wilayah dataran seperti di Kabupaten Jayapura dan Merauke berturut-turut 24,6% dan 60,0%. Namun di wilayah perbukitan dan pegunungan seperti di Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya, rumah tangga tanpa akses jalan berturut-turut mencapai 93,3% dan 98,5%. Kemiskinan terjadi pada penduduk dengan mata pencaharian bertani. Budaya bertani penduduk asli Papua masih berupa meramu dan sebagian sebagai peladang berpindah untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB cenderung menurun. Pendapatan per kapita masyarakat Papua (di luar sektor pertambangan) pada tahun 1995-1997 mencapai Rp1,8 juta (USD200) per tahun, namun pada tahun 1998-2003 menurun menjadi Rp1,6 juta (USD178) per tahun. Budaya lokal sistem usaha tani umumnya menganut budaya lumbung. Penanaman tanaman pangan seperti ubi jalar dan talas dilakukan secara bertahap agar panen dapat dilaksanakan sepanjang waktu sesuai dengan kebutuhan. Cara bertanam seperti ini sangat rentan terhadap perubahan iklim dan lingkungan, yang berdampak pada makin seringnya terjadi kerawanan pangan secara berkala pada beberapa lokasi di Papua.

Ketertinggalan pembangunan sektor pertanian di Papua dan Papua Barat disebabkan oleh interaksi berganda antara faktor-faktor biofisik (sumber daya lahan), sosial-budaya (sumber daya manusia dan kelembagaan), tekno-ekonomi, dan faktor politis. Rumitnya interaksi faktor-faktor tersebut menyebabkan proses adopsi inovasi sangat lambat yang bermuara pada tingginya tingkat kemiskinan serta rendahnya ketahanan pangan. Masyarakat lokal etnis Papua belum mampu mengakomodasi pola pikir serta teknik dan budaya bertani modern yang sarat teknologi.

ANALISIS MASALAH Potensi Sumber Daya Lahan dan Arahan Pengembangan Komoditas Pertanian Wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat mencakup luas 421.981 km2 atau 42. 198.100 ha, didominasi oleh tanah Inceptisols (Kambisols) sekitar 22,2% dan Ultisols (Podsolik) 21,4%. Tanah Inceptisols dan Ultisols umumnya tersebar di daerah lahan kering. Pemanfaatan tanah ini untuk pengembangan pertanian menghadapi kendala kemasaman tanah dan tingkat kesuburan yang rendah. Tanah Alfisol (Mediteran), Mollisol (Renzina), Gleysol, dan Aluvial yang luasnya sekitar 31,8% memiliki potensi yang lebih tinggi untuk pengembangan pertanian dengan mempertimbangkan kondisi fisik dan lingkungan atau iklim setempat. Tanah Entisols (Litosols dan Regosols) mencakup 15,9%, mempunyai faktor penghambat tanah dangkal berbatu dan berada pada lereng yang curam serta tekstur berpasir, walaupun terdapat pada dataran

Percepatan pembangunan pertanian di Papua ...

143

marin. Tanah ini memiliki kesuburan alami yang sangat rendah dan tidak berpotensi untuk pertanian. Tanah Histosols (Organosol/gambut) yang meliputi luas sekitar 8,7%, terdapat di dataran rawa pantai dan pedalaman. Kendala untuk pengembangan pertanian adalah lapisan gambut yang tebal dan selalu tergenang air. Lahan rawa di Papua dapat dikelompokkan ke dalam tipologi: (1) lahan rawa lebak bertanah aluvial seluas 2,71 juta ha, bertanah gambut atau berasosiasi dengan tanah gambut seluas 3,59 juta ha; (2) rawa pasang surut air tawar, yang termasuk lahan potensial sulfat masam dan gambut masing-masing 0,03 juta ha, 1,01 juta ha, dan 1,28 juta ha; dan (3) rawa pasang surut air payau/salin, yang termasuk lahan potensial 1,34 juta ha dan sulfat masam 0,55 juta ha. Lahan potensial adalah lahan yang tanahnya sulfat masam potensial dengan lapisan pirit lebih dari 50 cm dan belum mengalami oksidasi. Tipologi lahan ini dapat digunakan sebagai arahan dalam pemanfaatan dan pengembangan lahan rawa untuk pertanian. Iklim di Papua umumnya cukup basah. Variasi hujan cukup besar (1.500-5.000 mm/ tahun), dan makin dekat ke Pegunungan Jayawijaya makin basah. Wilayah di sekitar Merauke paling kering dengan curah hujan <1.500 mm/tahun dan musim kemarau cukup panjang (Juli-November), sedangkan pada ketinggian lebih dari 4.500 m dpl terdapat salju (puncak Jayawijaya). Berdasarkan sistem klasifikasi agroklimat, wilayah Papua terdiri atas berbagai zone agroklimat dari A sampai D2. Wilayah yang potensial untuk pengembangan kelapa sawit, karet, kopi, kelapa, kapas dan tebu (E1 dan E2) berturut-turut seluas 6, 3 juta ha, 0,43 juta ha, 5,92 juta ha, 6,23 juta ha, 251 ribu ha, dan 940 ribu ha.

Wilayah yang potensial untuk pengembangan kedelai (E1 dan E2) di Kabupaten Sorong mencapai 154 ribu ha, Manokwari 125.500 ha, Paniae 181 ribu ha, Jayapura 82 ribu ha, Yapen Woropen 63.500 ha, dan Merauke 39.500 ha. Wilayah yang potensial untuk pengembangan tanaman padi sawah (E1) di Papua seluas 1,8 juta ha, dengan wilayah yang luas arealnya >200 ribu ha adalah Kabupaten Merauke (614,9 ribu ha), Jayapura (389,2 ribu ha), dan Yapen Waropen (217,5 ribu ha). Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki 17,3 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian; 7,2 juta ha di antaranya sesuai untuk dijadikan lahan sawah, 4,1 juta ha untuk pertanian tanaman semusim lahan kering, dan 5,6 juta ha untuk tanaman perkebunan dataran rendah (<700m dpl) (Tabel 1). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk lahan sawah, tanaman semusim lahan kering, dan tanaman perkebunan berturutturut 0,2; 0,4; dan 0,1 juta ha. Lahan yang tersedia untuk perluasan pertanian mencakup 9,6 juta ha, terdiri atas pertanian lahan basah semusim 5,18 juta ha, pertanian lahan kering semusim 1,68 juta ha, dan pertanian lahan kering tahunan 2,79 ha. Pola pengembangan komoditas pertanian di Papua berturut-turut adalah: (a) pertanian lahan basah (Kabupaten Merauke, Paniae, Bintuni, Asmat dan Jayapura); (b) peternakan (Kabupaten Bintuni dan P. Dolak Kabupaten Merauke); (3) tanaman pangan lahan kering (Kabupaten Yapen Waropen, Nabire, Fakfak dan Sorong); dan (4) tanaman perkebunan (Kabupaten Merauke, Timika, Mamberamo/ Sarmi, Fakfak dan Bintuni).

144

Tim Sintesis Kebijakan

Tabel 1. Ketersediaan sumber daya lahan untuk pengembangan pertanian di Papua (000 ha). Lahan basah semusim 7.410 Lahan kering semusim 4.185 Lahan kering tahunan/ perkebunan 5.758

Potensi SDL pertanian

Jumlah

Lahan potensial (sesuai) untuk pertanian Lahan tersedia untuk perluasan area pertanian

17.354

Rawa : 1.893 non rawa : 3.294 Jumlah : 5.187

1.689

2.790

9.666

Diversifikasi Pangan Lokal dan Pengembangan Produksi Bioenergi Diversifikasi pangan lokal sangat penting untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat Papua. Komoditas pangan lokal di Papua antara lain adalah sagu, ubi jalar, gembili, dan suweg. Pengembangan tanaman pangan lokal memiliki nilai sangat strategis karena selain sebagai pangan tradisional, komoditas ini berkaitan dengan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, pengembangan diversifikasi pangan lokal juga bertujuan untuk melestarikan nilai-nilai budaya setempat. Pewilayah komoditas sumber bioenergi untuk mengurangi ketergantungan pasokan dari daerah lain perlu mendapat prioritas, termasuk studi kelayakan sosial, ekonomi dan kelembagaan, serta opportunity cost penggunaan produk tersebut untuk biogas dibandingkan dengan untuk pangan atau pakan. Sumber bioenergi yang memungkinkan untuk dikembangkan di Papua adalah kelapa sawit, jagung, jarak pagar, kelapa, kapok, ubi kayu, jagung, te-

bu, kotoran hewan/manusia, serta sisa tanaman.

Daerah Aliran Sungai Mamberamo Sungai Mamberamo mempunyai dua anak sungai utama, yaitu Sungai Rouffaer/ Tariku yang mengalir dari arah barat ke timur dan Sungai Idenberg/Taritatu yang mengalir dari arah timur ke barat. Panjang sungai sekitar 670 km dan debit rata-rata tahunan 5,000 m3/detik. Dua kawasan lindung yang berada di wilayah Mamberamo adalah (1) Suaka Margasatwa Sungai Rouffer, luas wilayah sekitar 310 ribu ha pada ketinggian 200 m dpl, dan (2) Suaka Margasatwa Pegunungan Mamberamo Foya, luas kawasan 1,108 juta ha. Bagian hilir DAS terdapat hutan rawa (hutan sagu), yang merupakan wilayah hutan primer alami. DAS Mamberamo dengan luas 7,8 juta ha merupakan salah satu areal lahan basah di Papua yang memiliki hutan rawa gambut 432,750 ha dan hutan rawa air tawar 14,425 ha. Tanah-tanah di DAS Mambe-

Percepatan pembangunan pertanian di Papua ...

145

ramo sebagian besar terbentuk dari bahan induk yang berumur tua. Dengan curah hujan yang tinggi, pencucian hara berlangsung intensif. Oleh karena itu, tanahtanah di daerah ini umumnya mempunyai tingkat kesuburan rendah, kecuali di dataran aluvial karena adanya Sungai Mayabu, Turai, dan Tariku-Idenberg yang secara periodik banjir sehingga memberikan bahan endapan (aluvium) yang memperkaya kesuburan tanah. Dataran pelembahan Mamberamo, yaitu pada bagian tanah mineral, dapat dikembangkan untuk tanaman pangan lahan basah (padi) dan/atau palawija (kedelai, jagung, kacang tanah) dengan perbaikan drainase dan tata air. Pada bagian rawa belakang sungai (backswamp), potensi lahannya relatif terbatas. Di daerah ini tanaman sagu mempunyai prospek yang cukup baik untuk dikembangkan dan merupakan komoditas alternatif utama. Lembah Mamberamo dengan luas 1,76 juta ha berpotensi untuk pengembangan padi sawah seluas 383,2 ribu ha (21,6%), tanaman pangan lahan kering (padi gogo dan palawija 953,1 ribu ha (54,1%), sayuran dan buah-buahan 268,9 ribu ha (10,4%), perkebunan 111,7 ha (66,3%), dan peternakan 24,45 ribu ha ( 1,4%). Peladangan berpindah dan pemanfaatan lahan pekarangan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga lazim dijumpai di DAS Mamberamo hulu. Ubi jalar merupakan makanan pokok penduduk setempat, terutama di Wamena. Tanaman kelapa tumbuh subur hampir di sebagian besar wilayah, dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai usaha industri rumah tangga. Lembah Baliem (anak Sungai Mamberamo bagian hulu-daerah Wamena) merupakan penghasil ikan (mas, mujair, dan lele), sedang bagian hilir Sungai Mamberamo terkenal

sebagai penghasil ikan sembilan. Industri pengolahan ikan dan kulit buaya perlu dicarikan alternatif pemasarannya, di samping perbaikan teknologi pascapanen daging ikan dan kulit buaya tersebut. Kawasan Pegunungan Jayawijaya beriklim sejuk dan dingin, dan berpotensi sebagai penghasil sayuran dan buahbuahan dataran tinggi. Namun, produksi masih dipasarkan di Wamena karena terbatasnya infrastruktur dan keterampilan masyarakat. Keberadaan penyuluh pertanian lapangan (PPL) untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian sangat diperlukan. Transportasi udara yang terbatas menyebabkan harga bahan kebutuhan pokok fluktuatif, dan berlipat ganda dibanding di daerah lain di Papua dan Papua Barat. Lembaga Masyarakat Adat (LMA) wilayah Pegunungan Jayawijaya menghimpun 322 suku di 39 distrik di daerah sekitarnya. Mereka tinggal di kawasan pegunungan dan lembah-lembah kecil seperti di lembah Baliem (sebutan kawasan pegunungan dan lembah di sekitar Wamena). Suku gunung adalah sebutan umum untuk suku Dani di desa-desa lembah Baliem, suku Dani barat dari Kabupaten Tolikara, Puncak Jaya, dan Yakuhimo, Pegunungan Bintang, serta masyarakat Mee asal danau-danau di Paniae dan Nabire serta Lembah Kamu. Kelompok-kelompok masyarakat di daerah pedalaman ( hinterland) masih berada pada taraf kehidupan subsisten/ pengembara atau setengah pengembara. Kondisi ini menjadi kendala dalam menumbuhkan suatu kota sebagai pusat perkembangan ekonomi atau budaya. Pada kawasan pertumbuhan dan kegiatan ekonomi di Papua seperti di Jayapura, Timika, Sorong, Merauke, dan Manokwari, para pendatang menjadi aktor ekonomi

146

Tim Sintesis Kebijakan

yang dominan, karena penduduk asli etnis Papua sulit memasuki sistem kehidupan kota yang mengenal spesialisasi pekerjaan, khususnya pada profesi nonagraris. Kondisi infrastruktur di DAS Mamberamo, khususnya kawasan pegunungan Jayawijaya, masih memprihatinkan, jalan belum dibangun dan listrik belum menyala, kecuali di kota Wamena yang telah ada penerangan listrik. Sejumlah distrik lain, seperti Kurukulu, Yelangga, dan Bolakme, belum dialiri listrik PLN. Pemanfaatan Sungai Baliem untuk pembangkit tenaga listrik mikrohidro berkemampuan 500 kilowatt untuk menerangi kota Wamena dan sekitarnya perlu dikembangkan. Trans Papua (dulu disebut Trans Irian), yakni jalan yang menghubungkan Jayapura-Wamena (panjang 585 km dan sudah diresmikan pada tahun 1985 oleh Presiden Soeharto), belum selesai dibangun. Dari arah Wamena, jalan yang sudah beraspal baru 37 km, pada km 37-48 masih setengah aspal, dan berlanjut jalan sungai mati jalan tanah berlubang yang mirip aliran sungai mati ketika kemarau dan dipenuhi genangan air pada musim hujan hingga km140. Selanjutnya sampai ke distrik Lereh, Kabupaten Jayapura, jalan tidak dapat dilalui kendaraan bermotor. Kawasan ini sebenarnya sudah dibuka pada tahun 1990-an, namun kemudian tertutup karena sangat jarang dilalui kendaraan. Jika pembangunan sarana transportasi darat Wamena-Jayapura bisa segera direalisasikan, distribusi dan pemasaran hasil pertanian dapat terbuka lebar. Ketergantungan masyarakat Pegunungan Jayawijaya terhadap angkutan udara sangat besar, sehingga harga barang-barang kebutuhan masyarakat menjadi mahal. Harga kebutuhan pokok bisa mencapai enam kali lipat dari harga di Sorong dan Manokwari.

Pengembangan Infrastruktur Pertanian dan Jaringan Pemasaran Menurut Dinas Pekerjaan Umum Papua, panjang jalan di Papua mencapai 4.677 km. Minimnya pembangunan infrastruktur jalan di Papua menyebabkan sebagian besar daerah tidak dapat dijangkau dengan transportasi darat. Pilihannya hanya dua, menggunakan transportasi udara atau laut. Namun transportasi udara jauh lebih populer, dikenal sebagai penerbangan niaga berjadwal dan penerbangan non-niaga (yang dilakukan sejumlah misionaris). Di Papua terdapat 45 landasan lapangan udara yang beroperasi. Pengurangan atau penambahan jumlah landasan pesawat bergantung pada permintaan masyarakat di pedalaman. Ada 15 maskapai penerbangan khusus (misionaris) yang melayani penerbangan non-niaga ke pedalaman Papua, yang memiliki wilayah pelayanan terbanyak adalah Mission Avion Fellowship (MAF) dan Associated Mission Avion (AMA). Pengembangan infrastruktur untuk menunjang pertanian dilakukan berdasarkan arahan penggunaan lahan dan kedekatan (aksesibilitas) daerah yang berpotensi dengan prasarana transportasi yang telah ada atau dalam taraf perencanaan pembangunan yang disusun oleh Departemen Perhubungan dan Departemen Kimpraswil. Daerah yang sesuai dan berjarak <5 km di kiri dan kanan jalan dan sungai yang digunakan untuk transportasi air, secara geografis dianggap berpotensi untuk dikembangkan dalam jangka pendek menjadi daerah pertanian. Pada daerah-daerah yang dianggap berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan pertanian, pengembangannya harus diikuti dengan pembangunan infra-

Percepatan pembangunan pertanian di Papua ...

147

struktur pendukung seperti jalan desa, saluran irigasi, saluran drainase, bangunan air (pintu air, dam parit, check dam, embung, dan bangunan air lainnya), alat dan mesin pertanian, serta pasar. Arahan yang lebih detail untuk pembangunan sarana irigasi dan sarana pengelolaan air lainnya didasarkan pada hasil survei investigasi dan desain di daerah setempat. Jaringan pemasaran komoditas pertanian dirancang dengan memperhatikan hasil kajian rantai pemasaran hasil-hasil pertanian saat ini, tingkat produksi, dan prakiraan produksi ke depan. Komoditas dibagi dalam beberapa kelompok komoditas utama dan bentuk produk yang dihasilkan (bahan baku, setengah jadi, atau jadi). Selanjutnya perlu ditinjau berdasarkan kelayakan pemasaran antarkabupaten, antarprovinsi atau antarnegara.

Strategi Pengembangan Pertanian Berkelanjutan dan Pengamanan Lingkungan Sektor pertanian berpotensi menjadi salah satu sektor andalan dalam percepatan pembangunan Papua. Hal ini ditunjang oleh potensi sumber daya lahan yang berpeluang dikembangkan menjadi sumber-sumber pertumbuhan sektor pertanian, ketersediaan teknologi pendukung, kebijakan yang berpihak, dan ketersediaan pasar dalam dan luar negeri. Dengan sumber daya lahan yang dimiliki, pembangunan pertanian diharapkan dapat menjadi pilar pembangunan ekonomi Papua dan Papua Barat. Tata ruang untuk daerah yang belum banyak terganggu seperti di Papua perlu diatur secara seksama dan ketat dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan, sedangkan daerah yang rusak/terdeg-

radasi dan fungsi produksinya menurun perlu direhabilitasi. Tanpa usaha ini, degradasi lahan dan penurunan fungsi lingkungan seperti yang dialami daerah lain akan terulang, dan rehabilitasinya jauh lebih berat serta memerlukan waktu lama dan dana yang besar. Jika hidrologi pada DAS hulu rusak maka daerah pantai/DAS hilir yang merupakan sentra pengembangan pertanian akan terancam bencana, karena air laut akan makin masuk jauh ke daratan. Hutan dan tanaman tahunan diperlukan terutama pada DAS bagian hulu untuk memelihara tata air dan sebagai kawasan penyangga, sehingga lingkungan secara menyeluruh tetap terpelihara. Daerah sepanjang pantai dengan tanaman bakau dan hutan nipah juga perlu dipertahankan sebagai penyangga maupun habitat berbagai satwa yang mempunyai nilai ekonomis tinggi serta penyeimbang lingkungan, sebagaimana di sepanjang aliran sungai maupun mata air. Pengusahaan tanaman semusim hanya dianjurkan pada lahan dengan lereng <8% bila tanahnya sesuai.Namun tidak dianjurkan pada lahan datar jika tanahnya berbahan induk pasir kuarsa maupun gambut dalam, serta yang berbatu karena akan menyulitkan dalam pengolahan tanah. Lahan dengan lereng 8-16% dianjurkan untuk wanatani dengan mengusahakan tanaman semusim bersama dengan tanaman keras/tahunan. Lahan dengan lereng 1640% sebaiknya hanya digunakan untuk tanaman tahunan perkebunan maupun kehutanan. Penggunaan lahan yang tepat dan pengelolaan yang sesuai menjadi kunci pertanian berkelanjutan. Walaupun usaha pertanian tersebut menguntungkan, bila kelestarian terusik, kondisi lingkungan terganggu, maka usaha pertanian tidak akan dapat berkelanjutan.

148

Tim Sintesis Kebijakan

Lahan gambut memegang peranan penting dalam sistem hidrologi DAS. Gambut memiliki daya menahan air 300800% dari bobotnya sehingga daya lepas air juga besar. Dalam kaitan ini, keberadaan lahan gambut, terutama gambut sangat dalam (lebih dari 3 m), sangat penting untuk dipertahankan di setiap DAS, terlebih bila pada bagian hilirnya terdapat kota pantai, seperti Agats, Sorong, Nabire, Timika, Merauke, dan kota yang akan berkembang di muara Sungai Mamberamo.

IMPLIKASI KEBIJAKAN Ditinjau secara fisik berdasarkan keadaan sumber daya lahannya, wilayah Papua cukup potensial untuk pengembangan pertanian. Keadaan sumber daya lahan tersebut mencakup sifat tanah, relief-topografi termasuk iklim. Meskipun data yang dihasilkan masih global/kasar, setidaknya dapat memberikan informasi awal tentang prospek dan peluangnya untuk pengembangan pertanian, termasuk bioenergi dan pangan lokal. Wilayah-wilayah potensial terpilih selanjutnya dikaji lebih detail untuk pelaksanaannya secara operasional. Kegagalan introduksi teknologi dan teknik bercocok tanam sering terjadi karena mengabaikan nilai-nilai lokal serta adat dan norma yang berlaku di wilayah yang bersangkutan. Sebaiknya proses adopsi teknologi dan penyuluhan mengikutsertakan kelembagaan lokal seperti kepala suku (ondoafie, keret, otini dan lain-lain) dan lembaga tata pengaturan (sambanimpakasanim, otini-tabenak dan lain-lain). Posisi kelembagaan lokal sangat dominan dalam pola kehidupan sosial etnis Papua, dan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha pertanian.

Untuk mengatasi ketimpangan atau ketidakselarasan budaya bertani antara etnis pendatang dan etnis Papua, terutama keterampilan dan pengetahuan bertani, perlu dikembangkan program percepatan pembangunan pertanian dan adopsi inovasi teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial-budaya, kelembagaan, dan penguasaan teknologi petani. Pembinaan dan penyuluhan hendaknya dibedakan antara untuk petani maju (etnis pendatang) dan petani tertinggal. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan dan strategi pelaksanaan percepatan sektor pertanian yang berbasis sumber daya, baik lahan, air, iklim, dan sumber daya manusia secara terintegrasi dan sesuai dengan kondisi setempat. Akses energi agar diupayakan dari sumber daya setempat, seperti bioenergi terbarukan, dan atau dengan memanfaatkan sumber daya biomassa, sinar matahari, dan panas bumi. Konsep desa mandiri hendaknya mengutamakan sumbersumber kekayaan setempat untuk dijadikan bahan pangan dan bahan bakar, terutama untuk suplai energi listrik. Upaya selayaknya mendorong kemandirian ekonomi kerakyatan ke dalam pasar tradisional; jangan sampai posisi pasar tradisional digantikan oleh pasar-pasar modern dan toko-toko yang dibanjiri produk impor. Suku etnis Papua memiliki ikatan batin yang kuat dengan alam dan lingkungan tempat mereka berpijak. Hal ini harus dipertimbangkan dalam percepatan pengembangan pertanian, infrastruktur, dan investasi di Papua, termasuk pengembangan komoditas pangan lokal dan bioenergi. Aspek penguasaan dan status lahan di Papua tidak boleh memutuskan hubungan masyarakat adat dengan tanah ulayatnya.

You might also like