You are on page 1of 15

PENGARUH POLITIK DALAM BIROKRASI ADMINISTRASI NEGARA

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Dasar-dasa ilmu politik

MAKALAH

Disusun Oleh : NELI ANALIKA SARI Kelas Administrasi Publik A

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS SUBANG 2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya maka tugas ini dapat diselesaikan. Atas semua bantuan yang telah diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyusunan tugas ini hingga selesai, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini belum sempurna, baik dari segi materi meupun penyajiannya. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan tugas ni. Terakhir penulis berharap, semoga tugas akhir ini dapat memberikan hal yang bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga.

Subang, Januari 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................i DAFTAR ISI ......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1 BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................2 BAB III KESIMPULAN ...................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I PENDAHULUAN

Hubungan antara administrasi negara dan politik telah berjalan lama, karena secara praktis tidak ada batas yang tegas antara politik dan administrasi. Orientasi politik dalam studi administrasi negara meletakkan administrasi negara sebagai satu elemen dalam proses pemerintahan. Administrasi negara dipandang sebagai satu aspek dari proses politik dan sebagai bagian dari sistem pemerintahan. Munculnya dikotomi politik-administrasi sebenarnya merupakan gerakan koreksi terhadap buruknya karakter pemerintah. Dalam perkembangannya, orientasi politik dalam studi administrasi negara dikombinasikan dengan orientasi manajerial yang dikenal dengan orientasi politik-manajerial, dan orientasi sosiopsikologis yang dikenal dengan orientasi politik-sosio-psikologis. Dengan demikian, telah nampak orientasi politik dalam adminstrasi publik.

BAB II PEMMBAHASAN

Hubungan Birokrasi dan Politik Hubungan antara birokrasi dan politik telah menjadi tema klasik dalam studi administrasi public. Dimana muncul konsep Dikotomi antara Politik dengan Administrasi oleh Woodrow Wilson. Ia menjelaskan bahwa politik dan administrasi berada di dua posisi yang berbeda. Politik menyangkut bagaimana membuat kebijakan publik sedangkan administrasi berkaitan dengan implementasi kebijakan publik. Perjalanan administrasi public tidak terlepas dengan perkembangan ilmu politik. Dalam Paradigma Ilmu administrasi antara tahun 1900-1926 terjadi dikotomi Politik dan Administrasi, namun pada tahun 19501970 Administrasi Negara masuk sebagai ilmu politik. Namun setelah era tersebut sekitar tahun 1970-an sampai sekarang administrasi negara berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu ilmu politik menjadi bagian tak terpisahkan dari ilmu administrasi Negara. Kajian birokrasi dan politik, mengingatkan kembali antar hubungan masa lalu antara ilmu administrasi Negara dengan ilmu politik. Kedua disiplin ilmu tersebut memilki ranah yang berbeda, namun dalam prakteknya kedua ilmu tersebut sulit untuk dibedakan. Terkadang keduanya saling mendukumg bahkan saling menghambat satu sama lain. Melihat kondisi saat ini dinamika antara birokrasi dan politik sangatlah pelik. Namun kombinasi keduanya jika ditempatkan dalam posisi yang tepat masih memiliki kesempatan untuk menuju good governance. Yang diperlukan birokrasi saat ini adalah memiliki criteria a man who knows the way, shows the way and goes the way. Berusaha untuk mengetahui jalan atau cara yang akan ditempuh publik, menunjukkannya ke publik dan ikut menjalankannya bersama publik. Netralitas birokrasi memang merupakan acuan yang ideal untuk mewujudkan administrasi negara yang stabil, bersih dan efisien. Namun realitanya birokrasi adalah alat implementasi keputusan politik yang pada akhirnya akan menyimpulkan bahwa birokrasi dan politik akan selalu berjalan
2

bersama-sama. Hanya saja birokrasi harus punya batasan tertentu agar tidak terjebak di dalam kepentingan kekuasaan politik. Birokrasi juga harus lebih meningkatkan profesionalismenya melalui perubahan orientasi pelayanan dari perilaku kotak-kotak menuju perilaku team work, dan dari orientasi pada atasan menuju costumer focus dan costumer satisfaction. Semua ini bisa terwujud jika didukung oleh Sumber Daya Aparatur yang berkualitas.

Wajah Birokrasi dan Politik di Indonesia Birokrasi identik dengan keteraturan, sitematis,dan kaku namun disamping itu birokrasi adalah garda terdepan pelayanan rakyat. Birokrasi berlaku dalam segala Lini pemerintahan baik dari tingkat nasional maupun tingkat desa. Birokrasi menekankan pada efisiensi dan kecepatan dalam mencapai tujuan. Seperti yang telah disampaikan oleh Bintoro Tjokroamidjojo yang

mengemukakan pengertian tentang birokrasi, menurutnya sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan terselesaikan secara cepat dan teroganisir. Disamping itu Blau dan Page (1956) menambahkan bahwa Birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas

administrative yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. Sangat jelas terlihat bahwa adanya birokrasi pasti berhubungan dengan administrasi, dan idealnya birokrasi menjamin

keberlangsungan administrasi secara efektif dan efisien. Namun dalam prakteknya, birokrasi sering diidentikkan sebagai suatu kinerja yang berbelit-belit, tidak jelas, lama, pelayanan yang kaku dan tidak memuaskan, penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme. Seharusnya birokrasi lebih mengutamakan kepentingan umum, nyatanya birokrasi hanya

menguntungkan pihak-pihak tertentu. Terbukti dengan berbagai macam kasus yang terjadi dari kubu birokrasi indonesia. Seperti fenomena suap yang masih tumbuh subur dalam tubuh birokrasi. Sistem birokrasi yang ada saat ini menempatkan birokrasi sebagai penguasa daripada pelayan masyarakat, sehingga dimata public kinerja birokrasi dianggap buruk.
3

Maraknya berbagai macam kasus dalam tubuh birokrasi tidak terlepas dari para pejabat yang berkuasa yang berlindung dalam kekuatan politik. Terlepas dari kasus-kasus suap yang melibatkan birokrasi pemerintah dan politik, sebenarnya sudah sejak lama birokrasi Indonesia berada dalam bayang-bayang politik. Birokrasi yang merupakan pemegang peran sentral dalam masyarakat sering dihadapkan pada situasi dilematis, dimana birokrasi sering dijadikan sebagai alat politik untuk memperoleh atau mempertahankan sebuah kekuasaan dalam pemerintahan. Realitanya, birokrasi memang sulit lepas dari bayang-bayang politik, mengingat bahwa kebanyakan pemimpin-pemimpin birokrasi berasal dari para politisi yang menduduki jajaran petinggi dalam partai politik. Untuk mengembalikan peran birokrasi yang sesungguhnya yaitu sebagai administrator publik yang berorientasi pada profesionalisme dan efisiensi pelayanan public diperlukan adanya reformasi birokrasi. Banyak pandangan tentang hubungan diantara keduanya ketika keduanya berjalan bersama. Pandangan yang pertama Birokrasi terkesan menjadi penghambat berlangsungnya pemenuhan tujuan-tujuan politik. Seperti contohnya apabila terdapat pejabat poitik yang meiliki visi untuk rakyatnya terkadang harus terhambat pelaksanaannya dengan alasan tidak sesuai dengan prosedur, perlu waktu, dsb. Sedangkan pandangan yang kedua melihat bahwa politiklah yang menjadi kambing hitam dari segala permasalahan birokrasi. Politik cenderung membuat birokrasi berbelok dari kodratnya. Birokrasi yang terorganisir menjadi birokrasi yang penuh dengan pemakluman, yang semula sebagai pelayan rakyat, kini menjadi pelayan golongan. Memang patut dibenarkan jika birokrasi hanya sebagai pelaksana kebijakan public, sedangkan politik sebagai aktor yang membuat kebijakan public. Apabila pembuat kebijakan publiknya lebih mementingkan kepentingan golongan tertentu maka alur birokrasi akan mengikutinya. Jadi dapat dikatakan bahwa warna birokrasi tergantung warna politiknya.

Faktor-Faktor Politik Dalam Kinerja Birokrasi Dalam proses menjalankan suatu kebijakan, birokrasi-birokrasi negara tidaklah steril dari lingkungan politik suatu negara. Berjalan atau statisnya implementasi kebijakan negara oleh birokrasi-birokrasi negara sangat dipengaruhi lingkungan perpolitikan suatu negara. Pengaruh-pengaruh tersebut dalam berlangsung dari lingkup internal, eksternal, resmi, ataupun non resmi. B. Guy Peters, sehubungan dengan dimensi pengaruh politik suatu negara terhadap jalannya administrasi publik yang dijalankan birokrasi-birokrasi negara, membaginya ke dalam dua dimensi. Peters mendasarkan dimensi-dimensi tersebut pada sejumlah aktivitas politik yang dilakukan seorang administrator publik. Dimensi pertama adalah internal-eksternal, sementara dimensi kedua adalah formal-informal. Demi mudahnya penjelasan, berikut adalah skema Peters mengenai kedua dimensi politik tersebut: Dimensi pertama, internal-eksternal, khususnya internal, menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan politik di dalam suatu birokrasi yang berupaya mencari sejumlah masukan dari kelompok kepentingan, partisan, eksekutif politik, dan sejumlah besar sumber-sumber lain guna membuat suatu kebijakan. Pada sisi eksternal, adalah kegiatan-kegiatan politik birokrasi yang berupaya mencapai pemeliharan dan perkembangan organisasi. Dimensi kedua, formal-informal, bicara mengenai sifat resmi dari suatu politik administrasi. Pada administrator publik berinteraksi baik dengan pejabat-pejabat resmi pemerintahan (DPR, eksekutif, perwakilan-perwakilan daerah). Selain itu, para administrator publik juga bersentuhan dengan para aktor politik yang tidak resmi seperti tokoh-tokoh masyarakat, para pengacara, kelompok penekan, dan sejenisnya. Sifat formal ataupun informal pun sulit dibedakan sebab terkadang terdapat lobi-lobi tidak resmi antara birokrat publik dengan para anggota DPR, misalnya, dalam menjalankan suatu proyek pembangunan. Kedua dimensi politik tersebut sulit untuk dilepaskan dari aktivitas keseharian birokrasi-birokrasi negara termasuk para birokratnya. Kondisi steril atas pengaruh kedua dimensi politik tersebut sulit untuk diciptakan. Pengaruh kedua dimensi
5

tersebut pula kemungkinan besar yang membuat roda birokrasi negara tersendat atapun maju dalam mencapai target-target pekerjaannya.

Dimensi Internal-Formal Dimensi Internal-Formal kegiatan politik dalam birokrasi negara misalnya hubungan antar individu di dalam birokrasi ataupun antara birokrasi tersebut dengan kolega birokrasinya. Misalnya, kepolisian nasional suatu negara menghendaki lintas komunikasi yang positif antara pimpinan tertinggi dengan jajaran di bawahnya. Fenomena kontemporer semisal konflik di tubuh Kepolisian Republik Indonesia membuktikan tidak terbangunnya koordinasi komprehensif antara pimpinan-bawahan. Buruknya hubungan tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi kinerja birokrasi kepolisian, khususnya dalam hal pemrosesan informasi dan lalu-lintas wewenang di dalam organisasi. Selain itu, negara memiliki birokrasi yang bervariasi. Tercapainya tujuan negara, salah satunya ditentukan baik dan koordinatifnya hubungan antar birokrasi. Misalnya, kasus Buruh Migran Indonesia di luar negeri menampakkan koordinasi kerja yang kurang koordinatif antara Departemen Tenaga Kerja, Departemen Luar Negeri, dan Kedutaan Besar Indonesia di negara luar. Departemen Tenaga Kerja bertugas melakukan pemastian legalitas pekerjaan seorang Indonesia yang hendak berangkat ke negara asing. Departemen Luar Negeri menjamin legalitas lalu-lintas seorang pegawai ke luar negeri dan menjalin kerja sama dengan negara luar guna melindungi tenaga kerja Indonesia. Sementara itu, kedutaan besar melakukan pemantauan sehari-hari atas nasib orang-orang Indonesia di wilayah

kewenangannya. Ketidakpaduan kerja ketiga Departemen tersebut membuat lambat, tidak efektif, dan terabaikannya nasib orang-orang Indonesia di luar negeri. Dimensi Internal-Informal Kendati sifatnya informal, lobi memainkan peranan khusus dalam advokasi suatu kebijakan oleh birokrasi negara. Misalnya, dalam kasus penggusuran atau pengalihan lahan rumah dan pasar-pasar tradisional. Dalam kasus tersebut, birokrasi negara (misalnya walikota atau gubernur) tidak dalam sekadar
6

melakukan koordinasi dengan jajaran resmi pemerintah semisal Polisi Pamong Praja. Kasus tersebut menghendaki pendekatan atau lobbi khusus terhadap subyek penggusuran atau pengalihan lahan. Maraknya kasus konflik diametral antara warga tergusur dengan aparat pemerintah merupakan dampak dari lemahnya lobi yang dilakukan jajaran birokrasi negara terhadap mereka. Kendati bukan merupakan struktur politik formal, para warga dan tokoh-tokohnya merupakan warganegara yang harus dihormati hak-haknya untuk hidup dan memiliki tempat tinggal. Mereka bukan sekadar obyek mati yang dapat dipindahkan tanpa semangat negosiasi. Dalam kasus ini, pihak pemerintah daerah memiliki masalah resmi yaitu menciptakan tata ruang kota yang nyaman dan indah untuk ditinggali. Sebab itu, mereka harus mendekati (melobi) subyek warganegara yang menjadi sasaran dari proyek tersebut, kendati mereka adalah aktor informal suatu kebijakan. Contoh lain dari internal-lobbi adalah kepentingan Departemen Hukum dan HAM, Departemen Dalam Negeri, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan pengelolaan yang efektif dan efisien atas partai-partai politik di Indonesia. Salah satu kesulitan dari Indonesia adalah banyaknya partai-partai politik dengan perolehan suara yang kurang signifikan sehingga memperberat beban keuangan negara dan meningginya distrust publik atas partai politik. Ketiga birokrasi negara tersebut patut melakukan langkah-langkah komprehensif dan koordinatif dengan tokoh-tokoh partai politik guna membendung arus pendaftaran partai-partai peserta Pemilu baru yang cenderung membengkak di masa-masa menjelang Pemilu. Eksternal-Formal Salah satu hal yang sulit disediakan sendiri oleh birokrasi negara adalah budget (anggaran). Anggaran suatu departemen diperoleh dari kas negara dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Misalnya, kebijakan alokasi 20% APBN untuk pendidikan nasional merupakan berkah bagi Departemen Pendidikan Nasional sekaligus musibah bagi departemen-departemen lainnya yang juga amat membutuhkan anggaran dari kas negara demi operasionalisasi tujuan-tujuannya.
7

Kesepakatan budgeting bagi satu birokrasi negara murni merupakan kesepakatan formal antar birokrasi negara dengan Presiden selakukan regulatornya. Ini akibat penambahan budget bagi satu birokrasi dapat saja berarti pengurangan bagi birokrasi lainnya. Sebab itu kesepakatan formal antar pimpinan birokrasi (menteri atau eselon 1) merupakan syarat formal alokasi anggaran suatu negara. Tanpa kesepatakan tersebut, dapat dimungkinkan suatu kondisi hubungan tidak harmonis antarbirokrasi negara. Eksternal-Informal Selain mengandalkan pada kas negara, birokrasi-birokrasi negara juga kerap mengandalkan sumber daya yang bersifat informal. Sumber daya ini berasal dari klien kebijakan mereka (clientele support). Dapat dicontohkah, pasca Krisis Ekonomi 1997 dan tatkala melakukan pemulihan ekonomi nasional, karena keterbatasan dana yang dimiliki, pemerintah c.q. Departemen Keuangan mengeluarkan kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kendati masih memiliki andil pembiayaan awal lembaga tersebut, sebagian besar dana LPS berasal dari iuran Bank-bank yang menjadi anggota LPS. Bank-bank rela mengeluarkan dana bagi LPS karena diyakini akan membuat nasabah dan calon nasabah percaya untuk menyimpan uang di bank-bank milik mereka. Lewat iuran LPS, pemerintah c.q. Departemen Keuangan saling berbagi beban dengan bank-bank swasta nasional dalam mengatasi kemungkinan kredit macet dan krisis moneter. Langkah serupa juga umum dilakukan Departemen Pendidikan Nasional dalam proyek-proyek bantuan yang mereka kerjakan. Dalam suatu proyek bantuan bernilai Rp.200.000.000 misalnya, pemerintah memberi kewajiban subyek yang dibantu menyediakan dana sharing untuk menambah kebutuhan sehubungan proyek tersebut. Misalnya, dalam proyek peralatan otomotif, pemerintah menghendaki total biaya yang mereka keluarkan Rp.200.000.000 digunakan sepenuhnya untuk membeli mesin bubut dan mobil bekas. Sementara lembaga pendidikan yang dibantu harus menyediakan dana sendiri baik untuk listrik, tenaga penjaga, montir, atau sarana untuk menyimpan peralatan. Ini guna menjamin barang yang dibeli dari dana bantuan digunakan secara efektif di samping meringankan beban pemerintah jikalau harus
8

menyertakan dana lagi untuk memasang arus listrik dan sarana lain yang dibutuhkan sehubungan dengan bantuan termaksud. Konflik Birokrasi Michael Klaussner and Mary Ann Groves menyatakan, konflik baik di dalam maupun antar organisasi merupakan suatu hal yang lumrah dalam perjalanan roda administrasi publik. Konflik-konflik yang mungkin muncul dapat bersifat : (1) interpersonal (terjadi antar individu dalam organisasi), antarkelompok antardivisi (antara dua atau lebih kelompok dalam organisasi), ataupun antarorganisasi (melibatkan dua atau lebih organisasi). Birokrasi negara adalah pula merupakan sebuah organisasi yang dianggotai sejumlah individu. Secara teoretis, birokrasi - dalam pemahaman Max Weber--mengandaikan keterpaduan antar unsur di dalam organisasi. Jika keterpaduan tercipta, maka fungsi dan tujuan organisasi lebih mungkin terselenggara. Namun, birokrasi negara dapat saja menjadi medan tempur di mana dua atau beberapa individu memperebutkan pengaruh politik ataupun dukungan politik. Misalnya, birokrasi pemerintahan daerah Indonesia yang terkonfigurasi dari paduan dua atau lebih partai politik memiliki kepentingan berbeda-beda. Gubernur atau wakil gubernur yang kebetulan berasal dari dua partai berbeda dapat saja berkonflik satu sama lain dalam memanajemen birokrasi. Selain itu, di dalam tubuh organisasi umumnya terdapat bagian-bagaian atau divisi-divisi. Tidak jarang, masing-masing dari mereka memiliki kepentingan yang berbeda. Misalnya, departemen penelitian dan pengembangan memiliki hubungan yang konfliktual dengan departemen hubungan masyarakat.

Departemen pertama mengandalkan pekerjaan berjangka dan hati-hati, sementara departemen terakhir mengandalkan penampilan, kecepatan memberikan jawaban, dan respon cepat atau suatu kejadian. Konflik ketiga, yaitu antar organisasi kini tengah menjadi fenomena. Contohnya, di Amerika Serikat terdapat 2 organisasi yang saling bertolak belakang kepentingannya. Pertama National Security Agency yang menghendaki penutupan informasi dari publik, membatasi arus penyebaran suatu informasi, dan penekanan pada kehati-hatian. Kedua, National Aero Space Association (NASA) yang
9

menekankan pada publikasi penemuan yang sekecil-kecilnya, penyebarluasan informasi detail penelitian ruang angkasa dan sejenisnya. Jika NSA menilai suatu penemuan adalah penting untuk disimpan oleh pemerintah, mana NASA justru menilai penemuan tersebut adalah prestasi yang harus segera dipublikasikan kepada masyarakat luas bahkan dunia. Konflik antar organisasi ini muncul akibat karakter organisasi yang berbeda secara alamiah, sesuai fungsi masing-masing.

10

BAB III PENUTUP

Birokrasi dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Diantara keduanya saling mempengaruhi baik bersama menuju kebaikan maupun menuju ketidakbaikan. Wajah birokrasi yang tampak terkadang tergantung dari wajah politiknya. Karena birokrasi merupakan implementasi dari kebijakan-kebijakan politik. Birokrasi menuntut keteraturan sedangkan politik malah berlaku sebaliknya, namun diantara keduanya saling bersinergi membentuk satu kesatuan yang padu. Dinamika diantara keduanya terjadi saat kondisi diman birokrasi tidak sejalan dengan politik. Terdapat pemisahan ranah gerak antara birokrasi dan politik, ranah-ranah tersebut anatara lain dimensi Internal-formal, InternalInformal, Eksternal Formal dan eksternal-Informal. Jadi pada intinya keduanya dapat bergerak secara berkesinambungan dalam berbagai dimensi. Namun patut untuk dipahami bahwa dimensi-dimensi tersebut hanya berlaku dalam tataran sisitem, diluar itu masih banyak actor-aktor yang mewarnai kondisi keduanya. Aktor-aktor itulah yang menentukan warna dan arah gerak antara birokrasi dan Politik.

11

DAFTAR PUSTAKA

Maulana, Adieb. 2013.Dinamika Politik dan Birokrasi di Indonesia.dalam http://maulanaadieb.wordpress.com/2009/01/01/dinamika-politik-birokrasi-diindonesia/ Diakses pada 10 Maret 2013 Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta

12

You might also like