Professional Documents
Culture Documents
TRANSDERMAL
OLEH:
KELOMPOK 4
KELAS A
SYAMSIAH (N111 08 253)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
BAB I
PENDAHULUAN
senyawa atau molekul obat yang diinginkan. Oleh karena penelitian obat biasanya
ditargetkan untuk suatu daerah terapeutik yang khas, potensi relatif pada produk
saingan dan bentuk-bentuk sediaan untuk manusia bisa diketahui. Serupa dengan hal
tersebut, ahli kimia medisinal mungkin mendalami kelemahan molekul tersebut
sebagai hasil usaha untuk mensintesis senyawa tersebut. Selain itu, penelusuran
literatur juga harus dilakukan untuk memberikan pengertian tentang mekanisme
pelapukan yang mungkin terjadi dan kondisi-kondisi yang dapat meningkatkan
peruraian obat. Informasi ini dapat menyarankan suatu cara stablilisasi, kunci uji
stabilitas atau senyawa acuan stabilitas. Informasi tentang cara atau motode yang
diusulkan dari pemberian obat, juga melihat kembali literatur tentang formulasi,
bioavailabilitas, dan farmakokinetika dari obat-obat yang serupa, seringkali berguna
bila menentukan bagaimana mengoptimumkan bioavailabilitas suatu kandidat obat
baru.
Jika suatu senyawa atau molekul aktif telah dibuktikan secara farmakologis,
maka senyawa tersebut selanjutnya memasuki tahap pengembangan dalam bentuk
molekul optimumnya. Setelah sintesis, suatu senyawa atau molekul melalui proses
screening, yang melibatkan pengujian awal obat pada sejumlah kecil hewan dari jenis
yang berbeda (biasanya 3 jenis hewan) ditambah uji mikrobiologi untuk menemukan
adanya efek senyawa kimia yang menguntungkan. Pada tahap ini sering kali
dilakukan pengujian yang melibatkan teratogenitas, mutagenitas dan karsinogenitas,
disamping pemeriksaan LD50 dan toksisitas akut dan kronik.
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini
diperoleh informasi tentang efficacy (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan
toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah
pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi,
selanjutnya perlu diuji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur
tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau primata. Hewanhewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Karena hanya dengan
menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik
pada dosis pengobatan atau tidak. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial
untuk mengevaluasi :
a.
b.
c.
d.
obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil
pengamatan pada hewan tersebut menentukan apakah calon obat tersebut dapat
diteruskan dengan uji pada manusia atau tidak. Ahli farmakologi bekerja sama
dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat untuk menghasilkan
bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia.
2.
Kelompok umur dan kondisi fisik manusia yang dituju, dengan pertimbangan
khusus untuk anak-anak, wanita hamil atau orang lanjut usia.
3.
tersebut menjadi IND (Investigational New Drug) atau obat baru dalam penelitian.
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan
percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik).
Uji pada manusia. Uji klinis pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya
oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :
Fase I, calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah
sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini
ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil
farmakokinetik obat pada manusia.
Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efficacy pada penyakit
yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial
dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan
pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat.
Fase III melibatkan kelompok besar pasien, di sini obat baru dibandingkan
efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Selama uji
klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat
baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya
lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah
ada. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di
Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA
(Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh
MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain
oleh EMEA (European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di
Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh
badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan
klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efficacy dan keamanannya harus
sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dan lain-lain) yang telah
memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. Setelah calon obat dapat
dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan
menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi
oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta
dapat diresepkan oleh dokter.
Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran
(post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi,
berbagai usia dan ras. Studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat
nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah
hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika
membahayakan. Sebagai contoh cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia
yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat anti disentri
amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON
disease), fenil propanol amin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan
dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan
tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang
sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi, troglitazon
suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.
industri
farmasi
di
negara-negara
sedang
berkembang
adalah
mengembangkan bentuk sediaan dengan sistem penghantaran obat yang baru (New
Drug Delivery System/DDS), karena untuk penemuan senyawa obat baru diperlukan
biaya yang sangat mahal sekali di mana tidak semua industri mampu melakukannya.
Tujuan dari pengembangan DDS tersebut terutama ditujukan untuk perbaikan produk
yang lama menghasilkan formulasi obat yang lebih manjur, aman, stabil, dapat
diproduksi dalam skala besar dan konsisten, serta dengan biaya yang murah.
Beberapa inovasi DDS yang telah dikembangkan oleh industri farmasi saat ini
antara lain adalah:
1. Oral Drug Delivery
Rapid dissolving & taste making tablet, untuk mengatasi kesulitan pasien
dalam menelan obat, terutama untuk anak-anak, orang lanjut usia serta pasien
yang mengalami gangguan seperti kejang atau mual.
untuk
mengurangi
frekuensi
pemakaian
obat
(dosing),
meningkatkan kenyamanan pasien (pasien tidak perlu minum 3-4 kali sehari
dan menghindari/tidak perlu adanya pemakaian obat pada malam hari).
Needleless injection
Liposomal injection
sickness
(scopolamine),
Smoking
cessation
(nicotine),
Depression
10
3. Bentuk sediaan semi (setengah) padat. Contoh dari bentuk sediaan ini antara
lain: unguentum (salep), cream, jel, dan pasta.
4. Bentuk sediaan khusus. Contoh bentuk sediaan khusus ini antara lain: injeksi,
supositoria, ovula, inhaler, aerosol, sediaan transdermal, dan lain-lain
Agar efek terapi yang optimal dapat terwujud, maka pemilihan bentuk sediaan
obat harus benar-benar dipertimbangkan dengan cermat dan hati-hati. Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bentuk sediaan, antara lain: (1)
bioavalabilitas obat, yaitu nilai kecepatan dan jumlah obat yang dapat sampai ke
sirkulasi sistemik, (2) kondisi penyakit, yang berkaitan dengan tujuan penggunaan
sediaan obat itu sendiri, apakah diperlukan pemberian secara sistemik atau lokal.
Pemberian obat melalui mulut (per-oral) merupakan cara pemberian yang
paling utama untuk memperoleh efek sistemik. Lebih dari 90% obat untuk sistem
sistemik diberikan secara per-oral. Bila suatu obat baru ditemukan, perusahaan
farmasi mula-mula akan menanyakan apakah obat tersebut dapat efektif seperti yang
diharapkan bila diberikan melalui mulut. Namun demikian, salah satu tantangan
terbesar para ahli dan peneliti bidang teknologi formulasi sediaan obat, terutama
untuk sediaan per-oral adalah upaya untuk meningkatkan ketersediaan hayati
(bioavailabilitas), terutama untuk obat-obat yang memiliki kelarutan kecil atau
bahkan sukar larut.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
12
obat ini memiliki keunggulan dibandingkan jalur panghantaran obat yang lain, di
antaranya:
a. Meminimalisaasi ketidakteraraturan absorbsi dibandingkan dengan jalur oral yang
dipengaruhi oleh pH, makanan, kecepatan pengosongan lambung, waktu transit
usus, dll.
b. Obat terhindar dari first passed effect
c. Terhindar
dari
degradasi
oleh
saluran
gastro
intestinal;
Jika terjadi efek samping yang tidak diinginkan (missal reaksi alergi, dll)
pemakaian dapat dengan mudah dihentikan
d. Absorbsi obat relatif konstan dan kontinyu
e. Input obat ke sirkulasi sistemik terkontrol serta dapat menghindari lonjakan obat
sistemik
f. Relatif mudah digunakan dan dapat didesain sebagai sediaan lepas terkontrol
yang digunakan dalam waktu relatif lama (misalnya dalam bentuk transdermal
patch atau semacam plester)sehingga dapat meningkatkan penerimaan pasien.
Namun sayangnya, tidak semua obat dapat diberikan scara transdermal dengan
baik. Idealnya, obat obat yang akan diberikan secara transdermal memiliki sifat
sifat:
a. Memliki bobot molekul relatif kecil (kurang dari 500 Da). Hal ini karena pada
dasarnya stratum corneum pada kulit merupakan barrier yang cukup efektif untuk
13
14
ditentukan oleh gradient konsentrasi obat dari konsentrasi tinggi (pada sediaan yang
diaplikasikan) menuju konsntrasi rendah di kulit. Obat dapat mempenetrasi kulit utuh
melalui dinding folikel rambut, kelenjar minyak, atau kelenjar lemak. Dapat pula
melalui celah antar sel dari epidermis dan inilah cara yang paling dominan untuk
penetrasi obat melalui kulit dibandingkan penetrasi melalui folikel rambut, kelenjar
minyak, maaupn kelenjar lemak. Hal ini terkait perbandingan luas permukaan di
antara keempatnya.
Sebenarnya, kulit yang rusak pun (robek, iritasi, pecah pecah, dll) dapat
terpenetrasi oleh obat. Bahkan penetrasinya lebih banyak dari pada kulit normal. Hal
ini karena kulit rusak telah kehilangan sebagian lapisan pelindungnya. Meski
demikian, penetrasi melalui kulit yang rusak tidak dianjurkan karena absorbs obat
menjadi sulit untuk diprediksi.
Di antara faktor faktor yang mempengaruhi absorbs perkutan antara lain:
1. Sifat fisiko kimia obat
2. Sifat pembawa
3. Kondisi kulit
4. Uap air
15
luar):
4. Lapisan pelindung yang akan dibuang ketika plester digunakan. Lapisan ini
berguna untuk mencegah melekatnya lapisan perekat pada kemasan sebelum
digunakan. Terkadang, ada pula lapisan tambahan yaitu rate-controlling membrane
yang terbuat dari polypropylene berpori mikro dan yang berfungsi sebagai membrane
pengatur jumlah dan kecepatan pelepasan obat dari sediaan menuju permukaan kulit.
Dewasa ini, terdapat dua tipe plester yaitu plester dengan sistem reservoir dan
plester dengan sistem matriks (drug in adhesive system). Inti perbedaan di antara
keduanya adalah pada sistem reservoir laju pelepasan obat dari sediaan dan laju
permeasi kulit ditentukan oleh kemampuan kulit mengabsorbsi obat sedangkan pada
sistem matriks laju pelepasan obat dari sediaan diatur oleh matriks.
Contoh obat yang diberikan secara transdermal adalah nitrogliserin (digunakan
untuk pengobatan angina). Pada umumnya patch nitrogliserin transdermal
ditempelkan di dada atau punggung. Yang harus diperhatikan adalah patch ini harus
ditempatkan pada kulit yang bersih, kering, dan sedikit ditumbuhi rambut agar patch
dapat menempel dengan baik.
II.5 Keuntungan Rute Transdermal
Transdermal memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan rute oral:
a. Mengurangi penguraian obat dengan melewati digesive system. Sehingga
membutuhkan dosis yang lebih rendah dibandingkan sediaan rute oral.
17
18
formulasi krim: air, glukosamin sulfat ( 10% b/v), campuran minyak nabati dan
palmitol, disiapkan dan dilakukan penetapan bioekuivalennya terhadap sekelompok
tikus.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian glukosamin secara oral
pada tikus sebanyak 0.4g/kg berat badan menunjukkan konsentrasi plasma dari
glukosamid sulit dideteksi bahkan setelah enam jam pemberian. Sebaliknya,
pemberian secara topikal pada dosis yang sama menunjukkan tanda-tanda adanya
glukosamin pada darah setelah 30 menit pemberian. Setelah itu, terjadi peningkatan
mencapai 160 g/ml dan bertahan pada konsentrasi tersebut selama enam jam..
Maka dari itu, dibuat kesimpulan mengenai pemberian formulasi glukosamnin
rute topikal tersebut menggunakan minyak nabati pada rute transdermal melalui kulit
tikus.
19
20
Permeation
Drug
Polymer
Solvent
Plasticizer
enhancer
Theophylline and
PEG 400
Water
salbutamol
Dimethyl sulfoxide,
Isopropanol: water
Salbutamol sulfate
Eudragit RL100
Isopropyl myristate,
Tween80, Sodium
6:4
lauryl sulfate with
propylene glycol
21
Permeation
Drug
Polymer
Solvent
Plasticizer
enhancer
Ethylcellulose:
Polyvinyl pyrrolidone
Carvedilol
Chloroform
Di-n-butyl phthalate
Chloroform
polyvinyl pyrrolidone
Naproxan
Eudragit RS100
Dichloromethane
PEG
Span 80
Carvone
Propylene glycol
Eudragit RL100:
Dichloromethane :
Nitrendipine
Haloperidol
Eudragit NE 30D
Polyvinyl alcohol
Benzalkonium
Lorazepam
Eudragit RL PM
2- Propanol
chloride, sodium
lauryl sulfate
Drug
Polymer
Plasticizer
22
Drug
Scopolamine
EVA
Nicotine
EC
Toluene
--
Chloroform and
Dibutyl phthalate
dichloromethane
Scopolamine
EC
Methylene chloride
--
BAB III
KESIMPULAN
Sistem penghantaran obat secara transdermal merupakan salah satu inovasi
dalam sistem penghantaran obat modern untu mengatasi problema bioavailabilitas
obat tersebut jika diberikan melalui jalur lain seperti oral. Obat yang diberikan secara
transdermal masuk ke tubuh melalui permukaan kulit yang kontak langsung
dengannya baik secara transeluler maupun secara inter seluler.
Sediaan transdermal yang biasa dijumpai di pasaran saat ini adalah
transdermal therapeutic system (TTS) yang biasa disebut sebagai plester. Secara
sederhana, plester terdiri atas komponen komponen berikut (dimulai dari lapisan
paling luar):
23
1. Impermeable backing
2. Drug Reservoir
3. Lapisan perekat
4. Lapisan pelindung yang akan dibuang ketika plester digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Htpp://www.medivizion.com/product_func.php?id=transdermal
, 2007, A health check-up for global pharma, in Biospectrum, Asia Edition,
Vol. 2.
Gennaro, A., R., Remington: The Science and Practice of Pharmacy, 20th Edition,
Lippincott Williams & Wilkins, Maryland USA.
Priyambodo, B., 2007, Manajemen Farmasi Industri, Ed. 1, cetakan 1, Penerbit
Global Pustaka Utama, Yogyakarta.
Walters, Kenneth A. dan Michael S. Robert. 2008. Dermatologic, Cosmetic, and
24
25