You are on page 1of 27

A Paper About

ANALISIS REKONSTRUKSI NASIONALISME PENDIDIKAN ISLAM

Abaz Zahrotien

A. Meninjau Ulang Kajian dan muatan Nasionalisme dalam Pendidikan


Islam

Sebagai sebuah sistem yang berjalan, pendidikan Islam tentunya


memiliki orientasi dan target tertentu yang menjadi tujuan dasar proses
berpendidikan. Disamping target tersebut, ada efek dominio yang muncul
sebagai bagian yang turut serta menyertai tercapainya targetan yang telah
terencana. Artinya, selain ada tujuan, juga ada hasil proses yakni nilai
turunan yang diperoleh dari upaya mencapai tujuan.

Terlepas dari tujuan awal bahwa pendidikan adalah sebuah sistem


yang berupaya mencerdaskan masyarakat dengan pengetahuan, ada misi
etis yang dibawa sebagai dampak tidak langsung dari proses tersebut.
Taruhlah misalnya sebagai sebuah sistem pendidikan agama, pesantren
bertujuan menciptakan sumber daya manusia yang memiliki kapasistas
dan kapabilitas pengetahuan agama serta penerapan dalam laku sosialnya.
Efek domino dari upaya mencapai target tersebut yang turut membangun
adalah, menciptakan sumber daya manusia yang prihatin, rajin, ulet dan
memiliki kesalehan individu dan sosial.

Demikian juga pendidikan secara umum, bahwa tujuan pendidikan


untuk mencerdaskan masyarakat, mengarahkan potensi peserta didik ke
dalam ruang yang aplikatif dan sesuai, maka ada target turunannya berupa
bagaimana peserta didik mampu menjadi sumber daya manusia yang
disiplin, menghargai proses dan kecakapan sosial. Dampak turunan dari
proses pendidikan inilah justru yang terpenting yang dapat membentuk
karakter peserta didik karena pengalaman membuktikan bahwa guru yang
terbaik bukan dari materi pelajaran atau buku-buku yang terkait dengan
hal tersebut, tetapi hal yang paling baik dan mencerdaskan adalah
pengalaman.

Kembali pada term awal, bahwa sebelum di tinjau ulang seberapa


jauh pendidikan agama memiliki target, baik target dominan maupun efek
domino, terhadap pengembangan nasionalisme dalam berbangsa, maka
akan lebih jelas ketika harus dirumuskan dan didefinisikan kembali secara
tematik mengenai pendidikan, agama dan nasionalisme. Ini penting untuk
dapat membedakan ruang yang satu dengan ruang yang lain sehingga
dalam analisisnya tidak kacau serta ada penyerobotan ruang gerak antara
satu tema dengan tema yang lain.

Diawali dengan pendidikan, bahwa pendidikan pada dasarnya


adalah proses memanusiakan manusia (humanising human being) artinya
pendidikan adalah suatu upaya pengangkatan manusia ke taraf insani
sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh dan
membudayakan diri. Pendidikan sebagai proses homonisasi dan
humanisasi, membantu manusia muda untuk berkembang menjadi
manusia yang utuh, bermoral, bersosial, berkarakter, berpribadi,
berpengetahuan dan berohani. Pendidikan merupakan salah satu sarana
yang efektif untuk membina dan mengembangkan potensi yang ada pada
diri manusia. Hal tersebut dapat terlaksana dalam masyarakat apabila
pendidikan dilaksanakan dengan teratur, rapi berdaya guna dan berhasil
guna.

Menarik apa yang ditesiskan oleh John Dewey bahwa pendidikan


adalah sebagai kebuTuhan hidup (a necessary of life), sebagai suatu fungsi
sosial (a social fungtion), sebagai bimbingan (as directing) dan sebagai
sarana pertumbuhan (as growth) yang mempersiapkan, membukakan dan
membentuk disiplin hidup1.
1
John Dewey, 1966, Democracy and Education, New York, The Free Press, hal 54,
sebagaimana dikutip Ali Muhi Amnur (Ed), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, 2007, Pustaka
Banyak definisi mengenai pendidikan dengan berbagai perspektif
para pendefinisnya, ada yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan
upaya survival collective masyarakat berbudaya untuk bertahan atas
budayanya itu. Ada pula yang menafsirkan sebagai sebuah upaya untuk
menciptakan tatanan yang lebih ideal dari tatanan yang sudah ada dalam
tujuan pendidikan jangka panjangnya. Apapun pengertiannya, gambaran
global dari pendidikan telah dapat dirumuskan, yakni sebuah proses untuk
mencerdaskan manusia secara intelektual dan menanamkan nilai citra diri
ideal peserta didik yang bermoral.

Sementara itu, agama sebagai sebuah institusi lebih akan berbicara


mengenai sebuah sistem lembaga sosial yang bergerak dalam bidang
pembenahan, pertahanan serta memajukan kondisi spiritual masyarakat,
baik secara kolektif maupun individual, yang mengarah pada suatu hal
yang transenden dalam upaya menciptakan tatanan masyarakat yang
berbudaya, berwawasan serta bermoral dengan sesuatu yang transenden
tadi sebagai titik sentralnya.

Agama dengan berbagai ritus menciptakan kesalehan diri,


berupaya untuk membentuk karakter masyarakat secara keseluruhan yang
berbudaya, bernuansa keagamaan dan yang paling diutamakan adalah
(dalam bahasa agama) menyelamatkan manusia dari kejahatan yang
terstruktur untuk mencapai tujuan akhir yang baik (khusnul khatimah).

Sebagai sebuah institusi sosial dan sistem nilai kolektif, agama


berperan erat dalam menciptakan tatanan sosial yang ideal. Bahwa dengan
adanya agama, sebagai sistem nilai, maka peran agama menjadi social
justice terhadap tatanan sosial yang menyeleweng dari aturan agama.
Maksudnya, agama dalam hal ini berperan sebagai sistem nilai yang
memiliki kewenangan dalam memberikan peraturan, kontrol sosial serta
social justice. Lebih jelasnya lagi, bahwa agama dalam sistem sosial
bertindak sebagai institusi sosial yang membuat peraturan, mengawasi

Fahima, Jogjakarta, hal 71


peraturan serta memberikan sanksi atas pelanggaran sosial dalam upaya
menciptakan tatanan masyarakat yang ideal sebagaimana yang menjadi
misi etis agama dalam ranah sosial.

Sementara itu, dalam ranah transenden, agama bertindak sebagai


mediator manusia untuk ‘menjumpai’ Tuhan penciptanya. Dalam ritus
transendennya, manusia memasrahkan diri terhadap Tuhan tentang
pertanggungjawabannya atas tindakannya pada saat itu yang dinilai tepat
atau kurang tepat dengan ajaran agama yang dianutnya. Bahawa agama
dalam ruang ini merupakan ruang privasi, yakni ruang yang hanya dapat
diisi individu dengan Tuhannya meskipun terkadang dalam menjalankan
ritus tersebut secara kolektif.

Poin terakhir, nasionalisme yakni merupakan manifesto dari


pernyataan tatanan kolektif yang diikrarkan secara tidak langsung.
Artinya, merupakan bukti dan rasa cinta terhadap komunitas, bangsa atau
negara yang dibuktikan dengan turut serta mempertahankan kedaulatan
komunitas, bangsa atau negaranya dari berbagai upaya desintegrasi yang
memecah belah kedaulatan tersebut. Mudahnya, nasionalisme
bermodaldasarkan rasa memiliki dan cinta terhadap komunitas, bangsa
atau negaranya sendiri yang diterjemahkan dalam laku sosialnya.

Nasionalisme yang merupakan tanggungjawab semua warga


negara dalam menciptakan tatanan negara yang berdauat merupakan
manifestasi dari pernyataan secara tradisi untuk mengakui negara sebagai
sistem sosial yang paling dapat menjamin kemerdekaan sosial
masyarakatnya. Kesepakatan secara turun temurun ini berangkat dari satu
kesamaan nasib sejarah yang kemudian menimbulkan cita-cita bersama
dan bergerak pada ruang yang sama untuk mencapai satu tujuan,
kedaulatan negara.

Hari ini, nasionalisme merupakan jawaban pasti atas problem


desintegrasi bangsa. Bahwa nasionalisme hari ini sudah mulai lapuk dan
harus disuburkan kembali karena banyak ekses-ekses yang merangsang
terjadinya chauvinisme yang mengunggulkan komunitasnya atas
komunitas yang lain dalam kehidupan berbangsa secara kolektif. Rasa
memiliki secara komunal telah hilang, jangankan rasa cinta, bahkan rasa
memiliki saja sudah tidak dimiliki atau cenderung diabaikan karena proses
sosial yang terjadi di sekitarnya.

Pada titik terakhir, setelah ketiga ruang tadi diterjemahkan dalam


terjemahan yang realis, kemudian yang pertama harus dilakukan adalah
meneliti kembali sejauh mana peran pendidikan mampu menciptakan rasa
nasionalisme. Pendidikan agama yang ada di Indonesia sejauh mana dapat
menjamin masyarakatnya untuk memiliki rasa cinta terhadap integritas
Indonesia sebagai bangsa dan Indonesia sebagai sebuah negara yang
berdaulat penuh tanapa harus menguarai segala bentuk perbedaan
keyakinan, suku, ras, dan warna.

Sebelum sampai menguji jauh, terlebih dahulu kembali harus kita


tentukan, apakah pendidikan agama yang dimaksud disini sebagai
pendidikan formal institusional atau pendidikan agama yang kultural non
formal?. Ini penting mengingat dalam khazanah klasik masyarakat
Indonesia lembaga pendidikan agama non formal menjamur di tiap daerah.
Munculnya pondok pesantren, madrasah diniyah, forum halaqah,
pengajian, forum bahtsul masa’il dan sebagainya merupakan contoh riil
adanya pendidikan non formal struktural yang ada dan berkembang di
Indonesia, bahkan sejak zaman dahulu sebelum sekolah formal
diperkenalkan dalam ruang publik.

Pemisahan ini bukan bertujuan untuk mendikotomikan antar dua


sistem yang berbeda untuk kemudian menjustifikasi kebenaran atas salah
satunya, namun lebih pada bagaimana teori nasionalisme itu dijamin dan
ditumbuhkembangkan dalam sistem yang mana serta menguji sejauh mana
korelasi kedua sistem ini dalam pengembangan nasionalisme.

Padahal, antara sistem pendidikan formal dengan pendidikan non


formal yang ada di Indonesia, merupakan dua hal yang tidak terpisahkan,
bahwa munculnya yang pertama merupakan cikal bakal dari sistem yang
kedua, demikian juga yang kedua, sistem non formal selanjutnya
dikembangkan dalam suasana yang lebih tertata dengan sistem formal.
Oleh karenanya, kedua sistem inilah yang kemudian akan menjadi objek
analisis ini dengan model generalisasi masalah tanpa mendikotomikan
antara yang satu dengan yang lain.

Pendidikan non formal seperti Pondok Pesantren merupakan ciri


khas sistem pendidikan di Indonesia. Sebelum munculnya pondok
pesantren di berbagai tempat, sejarah juga mencatat bahwa ada sistem
pendidikan yang sama dengan pesantren. Orang-orang datang ke sebuah
tempat dan belajar agama budha/hindu, kepada orang yang lebih pandai,
tinggal ditempat tersebut untuk beberapa waktu, serta mengikuti disiplin
pendidikan yang disusun sesuai norma agama hindu/Budha yakni yang
dikenal sebagai padepokan. Peran padepokan dan pondok pesantren
sebagai institusi pendidikan lebih riil menggambarkan sistem pendidikan
yang tertua di indonesia. Pesantren ataupun padepokan muncul jauh-jauh
hari sebelum Belanda mengenalkan politik etis yang isi salah satunya
adalah mengenai pendidikan.

Pendidikan non formal tersebut, meskipun konsentrasi


pendidikannya lebih menekankan pendidikan keagamaan, namun itu tidak
dapat dipungkiri bahwa pesantren dan padepokan memberikan kontribusi
yang besar terhadap pengembangan masyarakat dan pemupukan jiwa-jiwa
nasionalisme. Taruhlah sebagai contoh pondok pesantren Ampeldenta
(yang konon dianggap sebagai pesantren tertua) yang didirikan Sunan
Ampel di Surabaya, selain sebagai tempat untuk memperoleh ilmu-ilmu
agama dari Sunan Ampel, pesantren ini juga mengajarkan tentang
bagaimana membangun masyarakat, beliau (Sunan Ampel) selalu
mengajarkan kepada santrinya untuk mendarmabaktikan dirinya untuk
kepentingan kemaslahatan masyarakat. Sunan Kalijogo, Sunan Kudus dan
Sunan Gunungjati sebagai contoh, mereka adalah beberapa santri sunan
Ampel yang muncul dipermukaan.

Sunan Gunungjati merupakan seorang ulama besar (yang


tergabung dalam walisongo) serta prajurit yang taat dan pemberani. Salah
satu kebesaran kerajaan Demak adalah karena peran serta Sunan Gunung
jati yang mendarmabhaktikan dirinya untuk masyarakat, agama dan
negara.

Lain halnya dengan Sunan Kalijogo, ulama yang konon juga


seorang wali ini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berdakwah
di daerah-daerah terpencil dengan memanfaatkan kearifan lokal yang ada
seperti tari-tarian, wayang, tetembangan (lagu-lagu), dolanan (permainan)
dan sebagainya. Sunan Kalijogo menghabiskan waktunya untuk
mengembangkan masyarakat dan memberikan pendidikan kepada
masyarakat secara kultural dengan tidak mendirikan institusi pendidikan
secara resmi untuk masyarakat grass root.

Gambaran selanjutnya, apakah pendidikan yang mengajarkan


untuk mencerdaskan orang lain melalui sebuah sistem, kemudian
ditumbuh kembangkan lagi keilmuannya dalam mengembangkan
masyarakat dan mencerdaskan sosial tidak merupakan bagian dari
nasionalisme?.

Atau paling tidak, apa yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati
yang merupakan tentara kerajaan Islam Demak Bintoro untuk berperang
melawan Belanda di Batavia dan Banten tidak merupakan contoh konkrit
dari laku nasionalisme?.

Untuk mengetahui kepastiannya, beberapa ulasan selanjutnya


mungkin dapat membantu untuk memecahkan kebuntuan. Pertanyaan
diatas hanya sebagai acuaan untuk memberikan landasan pengetahuan
bahwa nasionalisme tidak hanya mengajarkan mengenai berperang untuk
mempertahankan kedaulatan negara, menjadi anggota militer atau turut
serta bermain dalam ranah politik negara. Tetapi hal-hal kecil yang
merupakan manifesto rasa cinta terhadap negara juga merupakan
pengejawantahan dari nasionalisme dalam konteks laku. Inilah yang sering
dilalaikan, bahwa membicarakan nasionalisme maka ingatan publik lebih
menjurus kepada militer yang memegang senjata dari pada seorang guru
ngaji yang sedang mengajar ilmu agama.

Sejarah mencatat, bahwa sebelum abad ke-20 Indonesia berada


pada “ruang hampa”, dimana yang ada dalam benak masyarakat secara
keseluruhan adalah bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-
hari tanpa mendapat kekejian dan ancaman dari Belanda. Demikian juga
dengan upaya meraih kemerdekaan, perjuangan itu dilakukan tidak
tersentral dan terstruktur, yang ada masing-masing daerah melakukan
perlawanan tanpa melibatkan daerah yang lain, perjuangan sektoral,
demikian istilahnya.

Selanjutnya, pasca disahkannya politik etis dari kerajaan Belanda,


masyarakat negara Indonesia memiliki sedikit keleluasaan untuk
memperoleh pendidikan, pengairan untuk pertanian serta mendapatkan
lahan baru dengan transmigrasi ke luar pulau Jawa yang dinilai telah
terlalu padat.

Pada masa ini, pergerakan nasional mulai nampak muncul di


permukaan, dimulai dari Boedi Oetomo yang hendak mencerdaskan
masyarakat miskin melalui pola pendidikan yang mengarusutamkan
kearifan lokal yang ada sebagai tindak perlawanan atas hegemoni
pendidikan Belanda yang diskriminatif dan tidak menjamin kemerdekaan
berpendidikan secara kolektif.

Dalam wilayah ini, peranan pendidikan agama juga masih


memberikan kontribusi yang besar, dimana pada masa ini, pondok
pesantren merupakan tempat selain untuk belajar ilmu agama juga sebagai
kawasan militer sipil, yakni kaum santri yang dianjurkan untuk berjihad
dengan berperang melawan penjajah. Sebagai komandannya, Ustadz atau
Kiyainya menjadi pemimpin terdepan ‘santri militer’ ini dalam setiap
pertempuran mengusir penjajah. Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan
produsen pesantren semacam ini dan menjamur di tiap-tiap daerah.

Gaya santri militer juga didukung oleh masyarakat sekitar


pesantren, ketika berperang, masyarakat yang memang selalu merasa
dirugikan oleh kebijakan penjajah juga turut serta angkat senjata ala
kadarnya dalam mengusir penjajah. Meskipun alat perangnya sederhana,
seperti bambu runcing, yang kemudian ditarungkan dengan senjata api,
namun kekuatan santri militer ini tetap tangguh karena menurut informasi
yang beredar turun temurun bahwa senjata yang digunakan seperti bambu
runcing mengandung kekuatan mistis.

Terlepas dari itu, dalam hal ini akan penulis petik salah satu
maqalah dari As Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang berbunyi,

‫حب الوطن من اليمان‬


Artinya: “ Cinta Tanah Air merupakan sebagian dari Iman” 2

Maqalah (dawuh) ini memberikan arti yang mendalam tentang


bagaimana masyarakat itu peduli terhadap negara, mencintai negara
sebagai manifestasi keiman terhadap Sang Pencipta alam, karena negara,
dalam pandangan beliau, adalah sebuah sistem yang akan menjamin
kemeredekaan sosial sebagaimana yang dicita-citakan oleh agama sendiri.
Maka dengan pandangan itu KH. Hasyim Asy’ari dan NU pada umunya
mengajukan konsep persaudaraan dalam masyrakat yang plural seperti
Indonesia dengan persaudaraan sesama manuisa (Ukhuwah basyariyah),
persaudaraan sesama umat beragama (ukhuwah diniyah), persaudaraan
sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah) dan persaudaraan sesama warga
negara (ukhuwah wathaniyah).3

2
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, LkiS, Yogyakarta, 2007, hal. 190
3
Ibid, hal. 175-176
Bahwa, peranan pesantren pada masa penjajahan lebih banyak
sebagai lembaga pendidikan yang terkonsentrasi pada pengenalan ajaran
agama dengan didukung doktrinasi untuk mempertahankan negara dari
serangan bangsa asing yang hendak meruntuhkan kedaulatan negara.

B. Rekonstruksi Paradigmatik pendidikan Islam yang Berwawasan


Nasionalisme

Sebagaimana telah dijelaskan di sub bab sebelumnya, bahwa pada


dasarnya, pendidikan merupakan upaya humanisasi dan hominisasi. Kalau
hominisasi lebih bagaimana mengembangkan manusia menjadi manusia
sebagai makhluk, pendeknya, pertumbuhan biologis psikis, maka akan lain
halnya dengan humanisasi yang orientasinya lebih bagaimana manusia itu
tumbuh dan mengenal dirinya serta menumbuhkan rasa tanggung jawab
untuk mensejahterakan manusia yang lain dan dirinya sendiri.

Pada titik lain, bahwa yang membendakan manusia dengan


makhluk yang lain adalah bahwa manusia diciptakan dengan dianugerahi
akal (otak) sebagai alat berfikir dan mencari penemuan-penemuan baru.
Dengan dianugerahinya akal, maka praktis manusia harus lebih maju dan
berkembang dibandingkan dengan makhluk lainnya karena fungsi otak
(akal) saat ini sebagai control of doing dan think to be better. Apabila
kedua fungsi ini digabungkan, maka yang pertama kali sebelum sampai
pada berpikir untuk mencapai yang terbaik dengan penemuan baru adalah
mengasah kekuatan otak, memfungsikan otak sebagai alat berfikir untuk
mendapatkan pemikiran baru.

Bayangkan seandainya manusia tidak dianugerahi otak, maka baik


pithecantropus erectus ataupun Nabi Adam (dalam khazanah agama
samawi) tidak mampu berfikir dan manusia hari ini tidaklah jauh berbeda
dengan binatang-binatang lainnya yang ada disekitarnya, bahkan ada juga
kemungkinan manusia punah. Manusia hari ini tidak ubahnya seperti kera
apabila memang teori Charles Robert Darwin, The Origin of Species itu
benar adanya. Untunglah manusia memiliki otak sebagai control of doing
dan think to be better yang akan terus berinovasi mencari penemuan baru
guna mempermudah kondisi dan situasi yang sedang dijalaninya. Bahkan
sempat pula muncul pernyataan bahwa kemajuan suatu bangsa lebih dapat
dilihat dari kualitas pendidikan serta pemanfaatan potensi kekuatan otak
untuk mencari penemuan baru.

Dalam konteks tersebut, dapat diketahui bahwa kemajuan suatu


bangsa tidak dapat terlepas dari fungsi pendidikan. Bahwa pendidikan
turut memberikan sumbangsih yang besar terhadap pengembangan bangsa.
Penemuan teknologi-teknologi baru yang semakin mempermudah kinerja
manusia, tidak dapat lepas dari fungsi dunia pendidikan, meskipun dalam
ranah riil kemajuan bidang teknologi dan industri itu telah mengalahkan
laju perkembangan pendidikan, namun pada dasarnya bahwa kemajuan
bidang teknologi dan industri itu merupakan produk dunia pendidikan baik
secara langsung maupun melalui teori dasar yang dikembangkan melalui
penelitian otodidaknya pasca pendidikan.

Dapat kemudian diketahui setelah melihat kondisi diatas, bahwa


pendidikan merupakan tumpuan kemajuan suatu bangsa. Melalui
pendidikan dapat diukur sejauh mana bangsa tertentu telah maju.
Berkembangnya wacana merupakan bukti konkrit bahwa ilmu
pengetahuan yang hari ini dipelajari semakin mengalami penyempurnaan
teoritik untuk mendapatkan tesis-tesis yang akan menemukan titik terang
atau jalan menuju titik terang itu semakin lebar. Suatu bangsa yang
didalamnya wacana pengetahuan berkembang pesat, maka dapat diyakini
bahwa bangsa tersebut telah selesai dalam persoalan pendidikan dan
pengembangannya.

Yang kemudian harus dilihat secara kritis dan jeli adalah pada
wilayah metodologisnya, bahwa metode untuk mendapatkan pemikiran-
pemikiran baru tersebut merupakan barometer untuk menguji apakah
pemikiran-pemikiran tersebut terstruktur atau hanya penemuan pemikiran
berbasis realita yang lacakan akar epistemologi dan aksiologinya tidak
terdeteksi. Ini hal yang paling menarik karena dengan mengetahui pola
pemikiran yang terstruktur dan tidak terstruktur merupakan bagian yang
paling menentukan dalam membaca tingkat kecerdasan positivistik (dalam
bahasa Auguste Comte) yang merupakan ciri tata sosial modern.

Menarik apa yang disampaikan Ali Muhdi, bahwa pendidikan


merupakan usaha sadar yang memiliki tujuan, yang tentunya memiliki
suatu landasan. Bagi suatu bangsa, proses pendidikan tidak lepas dari
filosofi dan kultur bangsa dimana proses pendidikan itu berlangsung.
Filosofi dan kultur bangsa akan menentukan idealisme manusia seutuhnya,
yang kemudian akan disampaikan dan bagaimana cara penyampaian
dilakukan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perbeedaan sistem dan
praktik pendidikan bermula dari perbedaan ideal manusia seutuhnya yang
dimiliki bangsa yang bersangkutan. Konsekuensinya, suatu bangsa tidak
mungkin dapat mengambil alih begitu saja sistem dan praktik pendidikan
yang demikian ini dari negara asalnya4

Selain memiliki ideologi, pendidikan juga membutuhkan


paradigma, yakni suatu cara atau model berfikir untuk mencapai tujuan
pendidikan. Melihat perannya yang begitu penting, sebuah Paradigma
haruslah efektif dan akurat. Paradigma yang dimiliki seseorang dengan
orang lain atau suatu bangsa dengan bangsa lain seringkali berbeda, dan
sebagai cara berfikir paradigma bisa berubah setiap saat sesuai dengan
kebutuhan.

Ada hal penting yang harus diperhatikan dalam membaca


mengenai ideologi pendidikan, bahwa tidak seluruh paradigma atau bagian
paradigma yang dilaksanakan berhasil sebagaimana yang diharapkan oleh
penemu paradigma tersebut. Banyak pelaksanaan paraigma mengalami
anomali, sehingga hal itu membuka jalan kepada penemuan baru atau teori
baru sehingga melahirkan paradigma baru pula.

4
Ali Muhdi Amnur (Ed), 2007, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima,
Jogjakarta, hal. 18-19
Oleh karenanya, dalam sub-bab ini, penulis lebih terkonsentrasi
pada membaca paradigma dan ideologi pendidikan Islam, kemudian
mencari titik anomalinya, selanjutnya direkonstruksi kembali untuk
mendapatkan penyempurnaan dari pendidikan Islam yang berwawasan
Nasionalisme sebagaimana yang menjadi tujuan dan cita-cita paradigma
pendidikan islam.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa ideologi merupakan sistem


keyakinan yang dianut masyarakat untuk menata dirinya sendiri.
Sementara secara terminologi, ideologi memiliki formulasi yang beraneka
ragam, yang dapat disimpulkan sebagai seperangkat aturan yang diyakini
dan dijadikan pedoman dalam hidup. Seperangkat aturan tersebut dapat
berasal dari kebudayaan, agama atau kombinasi keduanya. Ideologi selalu
menentukan arah hidup suatu masyarakat. Satu yal yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pengertian ideologi tidak cukup hanya dipandang
rasionalistik sebagai suatu yang disadari, tetapi perlu memperhitungkan
aspek-aspek afektif, ketidaksadaran dan simbolis dari ideologi. Aspek-
aspek afektif misalnya, menentukan bagaimana seseorang hidup dengan
relasinya yang spontan terhadap setu struktur kekuasaaan dalam kehidupan
masyarakatnya.

Sehubungan dengan pendidikan, ideologi diartikan sebagai


seperangkat aturan yang diyakini dan dijadikan landasan bagi pendidikan
dalam rangka mencapai tujuan. Sebuah ideologi pendidikan akan
bergantung pada aliran pendidikan itu sendiri, yaitu konservatif dan
liberal. Masing-masing aliran mempunyai tiga ideologi pendidikan5

Dalam aliran konservatif setidaknya ditemukan tiga ideologi,


yakni:

1. Ideologi fundamentalisme, pada dasarnya idelogi ini memiliki ciri


yang anti terhadap intelektual dalam arti meminimalkan

5
William F. O’Neil, 2001, Ideologi-ideologi Pendidikan, Terj. Omi Intan Naomi, Pustaka
Pelajar, Jogjakarta, hal. 104-110
pertimbangan-pertimbangan filosofis dan intelektual, serta cenderung
untuk mendasarkan diri pada penerimaan yang relatif tanpa kritik
terhadap kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang
sudah mapan (taken for granted).

2. Ideologi intelektualisme, ideologi ini didasarkan pada sistem-sistem


pemikiran filosofis atau religius yang pada dasarnya otoritarian.

3. Ideologi konservatisme. Ideologi ini mendukung ketaatan terhadap


lembaga-lembaga dan proses-proses buadya yang sudah teruji lewat
waktu, disertai dengan rasa hormat yang mendalam terhadap hukum
dan tatan sebagai landasan perubahan sosial yang konstruktif.

Adapun ideologi-ideologi liberal antara lain;

1. Idelogi liberalisme. Ideologi ini mengajarkan bahwa sekolah adalah


lembaga untuk menjadikan anak siap menghadapi kehidupannya.

2. Ideologi libarasionisme, ialah ideologi yang bertujuan untuk


memajukan kebebasan individu dan mempromosikan perwujudan
potensi-potensi diri semaksimal mungkin.

3. Ideologi anarkisme, yaitu ideologi yang menekankan perlunya


meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan
kelembagaan terhadap perlaku personal.6

Setidaknya dari dua aliran tersebut diatas dan enam ideologi yang
menjadi turunannya, dimanakah letak ideologi pendidikan Islam yang ada
ditengah-tengah proses pendidikan islam di Indonesia?.

Sebelum sampai pada menemukan mana yang merupakan ideologi


pendidikan islam Indonesia, hal yang pertama harus disadari bahwa
sejarah turut memberikan andil yang besar terhadap proses pendidikan
islam yang berlaku di Indonesia. Artinya bahwa sejarah telah berperan
sebagai bukti tentang bagaimana Islam mampu menjadi satu mainstream

6
Ali Muhdi, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima, Yogyakarta, 2007,
hal 20-21
yang dianut oleh ratusan juta masyarakat Indonesia. Sejarah mencatat,
bahwa kelahiran Islam di Indonesia tidak kemudian langsung taken for
granted, menerima apa adanya ajaran yang diberikan oleh para
pendahulunya, melainkan melalui proses yang teramat panjang dengan
berbagai pergulatan, baik pergulatan budaya maupun pergulatan ideologi.
Bahwa sejarah telah tercantum, Islam di Indonesia adalah Islam yang
mengalami proses akulturasi dengan khazanah lokal, Islam di Indonesia
dalam sisi muammalah telah mengalami percampuran peradaban, namun
tidak mengacaukan pada sisi akidahnya. Proses pergulatan ideologi inilah
yang memberikan warna terhadap kemajemukan negara Indonesia.

Dalam catatan perjalanan sejarah bangsa yang demikian itu, maka


praktis akan ditemukan berbagai ritus keagamaan (pada sisi muammalah)
yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Masing-masing
suku bangsa yang ada, memiliki ritus sosio religius sendiri yang berbeda
dengan yang lainnya karena memang pada dasarnya, sebagaiman
disebutkan dimuka, ritus muammalah mengalami proses akulturatif
dengan khazanah klasik lokal. Jelasnya, Islam di Indonesia adalah islam
yang berbeda dengan Islam lainnya karena penanaman ideologi
muammalahnya cenderung lebih menekankan pada penguasaan khazanah
klasik, yang tujuan dasarnya lebih pada bagaimana ideologi (agama) dapat
lebih mudah diterima oleh semua kalangan masyarakat, pada lapisan grass
root sekalipun.

Yang sebenarnya ingin penulis katakan, bahwa Islam di Indonesia


adalah plural dan majemuk, yakni Islam yang beragam sesuai dengan
khazanah lokal yang ada dimasing-masing suku bangsanya. Bahwa Islam
Indonesia merupakan Islam yang kompleks yang pada beberapa sisi akan
ditemukan ciri khas yang menonjol yang akan membedakan antara satu
daerah dengan daerah yang lain, meskipun masih dalam satu kawasan.
Ambillah contoh permisalan, di Jogjakarta, tradisi memperingati kelahiran
nabi Muhammad SAW tidak hanya diperingati dengan mengadakan
pengajian akbar saja, tetapi ritus-ritus klasiknya ditampilkan berupa
adanya prosesi kultur sesucen (mensucikan), membersihkan dan
mengarakkan benda-benda keramat (keris, tombak, gamelan dsb),
mengarak kuda keramat, memainkan gamelan keramat, membersihkan
harta dan jiwa atau kesemua prosesi kultural tersebut dinamakan grebeg
mulud.

Ini akan berbeda dengan yang terjadi di wilayah lain, misalnya di


pesisir pantai utara pulau Jawa yang masih dalam satu region. Masyarakat
pantura (sebutan tempat untuk wilayah utara pulau Jawa) prosesi seperti
diatas diadakan pada bulan sadran (sya’ban) yang intinya merupakan bukti
kepasrahan diri pada tuhan untuk mensucikan harta dan jiwanya sebelum
dibasuh lebih bersih dalam bulan ramadhan.

Jelaslah bahwa dalam tradisi sosial, akulturasi budaya semacam ini


memang menjadi hal yang menarik dan menunjukkan adanya perbedaan
kultural antara satu daerah dengan daerah yang lain. Hal inilah yang
kemudian menjadi persoalan apabila dalam menentukan ideologi
pendidikan Islam diseragamkan maka yang akan terjadi adalah ideologi
tersebut tidak akan dapat merealisasikan cita-citanya (anomali). Ramalan
anomali ini lebih dipertimbangkan karena dalam pengetahuan masyarakat,
ada banyak kultur yang berbeda dan satu sama lain memiliki landasan
filosofis sendiri yang dipegang kuat.

Selanjutnya, untuk mempermudah penjelasan, dengan mengetahui


bahwa negara indonesia tidak hanya kaya akan suku, bangsa, agama, ras
dan adat-istiadat, di dalam islam sendiri, sebagai satu bagian keragaman
terdapat banyak hal yang berbeda yang masing-masing memiliki akar
tradisi dan landasan filosofis yang kuat. Intinya, bahwa Islam di Indonesia
adalah islam yang jamak dan multikultural. Sehingga dalam penerapan
ideologinya harus bertumpu pada keragaman tersebut. Dimana penanaman
ideologi ini lebih menitikberatkan pada bukan upaya penyeragaman secara
ideologi, tetapi menghargai perbedaan dengan menciptakan suasana tertib
multikultural.

Ideologi berbasis multikultural ini, sebaiknya para peneliti dan


pemikir tidaklah terlalu repot menciptakan ideologi, tetapi cukuplah
dengan pancasila sebagai suatu landasan ideologi. Dalam ruang kesadaran
masyarakat, telah diyakini bahwa pancasila (bukan Jakarta Charter) telah
menjamin suasana yang kondusif multikultural. Pancasila dengan berbagai
pasalnya yang mengarahkan pada satu sistem ideologi yang bertumpu
pada khazanah lokal terbukti mampu mengatasi krisis desintegrasi.

Artinya, yang ingin ditegaskan dalam hal ini bahwa pancasila telah
cukup untuk dapat dijadikan sebagai satu ideologi pendidikan Islam di
Indonesia. Yakni Ideologi pendidikan Islam yang berbasis pada kearifan
lokal sebagainama negara meletakan pancasila sebagai dasar negara
Indonesia yang final7. Yang menghargai perbedaan kultural dan
memberikan kebebasan untuk menjalankan tradisinya itu selama tidak
bertentangan dengan nilai dasar pancasila.

Setelah setidaknya dapat dianalisis bahwa pancasila menjadi satu


solusi terbaik dalam merumuskan ideologi pendidikan Islam, selanjutnya,
yang sebenarnya menjadi persoalan paling mendasar, yakni merumuskan
paradigma sabagai sebuah gagasan besar mengenai pentingnya paradigma
sebagai kerangka berpikir dan cara pandang secara kolektif.

Paradigma pada hakikatnya merupakan suatu model penelitian atau


model berfikir yang dianut oleh sekelompok manusia. Paradigma baru
pendidikan Isalm merupakan suatu konspirasi komitmen kelompok,
tentunya pertama-tama dari pakar pendidikan Islam, di dalam usaha
meletakkan dasar-dasar yang paling rasional untuk mengubah praksis
pendidikan guna membangun masyarakat Indonesia baru.

7
M. Sayafi`i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoneisa (Jakarta:Paramadina, 1995), hal.
208
Dalam kajian ini, akan diuaraikan praksis pendidikan yang lahir
sekarang dan seharusnya. Proses pendidikan yang terjadi dewasa ini yang
cenderung mengalineasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita
memerlukan suatu perubahan paradigma, dari pendidikan nasional untuk
menghadapai proses globalisasi dan menata kembali kehidupan
masyarakat Indonesia (selanjutnya akan dikupas dalam sub-bab
berikutnya) dengan sistem demokrasi pendidikan.

Proses demokrasi merupakan salah satu proses yang mewarnai


kehidupan berbangsa kita hari ini. Dimana demokrasi menjadi satu
madzhab yang memberi kebebasan berkespresi dengan batasan
tanggungjawab, kebebasan berpendapat serta mengakui keabsahan dari
konsensus atau resolusi internasional mengenai hak asasi manusia.
Demokrasi diejawantahkan dalam kebebasan menyuarakan pendapat
dimana kelompok yang paling banyak konstituennya merupakan
kelompok yang menang dengan batasan untuk kemaslahatan bersama.

Demokrasi pada intinya adalah upaya menciptakan suatu tatanan


(baik sosial ataupun politik, termasuk pendidikan) dari, oleh dan untuk
masyarakat secara kolektif.8 Artinya, bahwa masyarakat secara
keseluruhan adalah pihak yang, apabila dikaitkan dengan proses
pendidikan, mendirikan lembaga pendidikan (memberikan sumbangsih),
mengelola lembaga pendidikan dan sekaligus menerima dari proses
pendidikan itu sendiri. Sederhananya, masyarakat sebagai subjek sekaligus
objek dalam dunia pendidikan.

Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan harus memberikan


jawaban kepada kebutuhan dari masyarakat sendiri. Jadi pendidikan
tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai
kebijakan atau proyek apalagi perintah dari penguasa, yang seringkali sarat
kepentingan tertentu. Pendidikan yang diharapkan adalah yang tumbuh
dari masyarakat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sendiri.

8
Ibid, hal, 24
Pendidikan oleh masyarakat artinya bahwa masyarakat bukanlah
merupakan objek pendidikan, untuk melaksanakan kemauan negara atau
suatu kelompok semata-mata, tetapi partisipasi yang aktif dari masyarakat,
dimana masyarakat mempunyai peranan di dalam setiap langkah program
pendidikannya. Hal ini berarti masyarakat bukan sekedar penerima belas
kasih dari pemerintah, tetapi suatu sistem yang percaya kepada
kemampuan masyarakat untuk bertanggungjawab atas pendidikan generasi
mudanya.

Dalam prakteknya, di lembaga-lembaga pendidikan kita dewasa


ini, pendidikan lebih banyak mematikan otonomi masyarakat. Jenis
program yang ditentukan oleh pemerintah tanpa alternatif dapat
mematikan berbagai prakarsa dan eksperimen, termasuk kebebasan para
pendidik. Akibatnya, output sistem pendidikan nasional kita berupa
manusia-manusia robot tanpa inisiatif dan tentu saja tidak dapat bersaing
dengan bangsa-bangsa lain di era globalisasi. Pendidikan oleh masyarakat
bukan berarti melepaskan tanggung jawab pemerintah. Tugas pemerintah
di dalam pendidikan nasional ialah menjaga dan mengarahkan agar supaya
tanggung jawab dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Fakta yang terjadi akhir-akhir ini adalah, bahwa proses pendidikan


lebih dapat dilihat sebagai suatu proses alienasi dan proses
indemokratisasi. Dimana pemegang tampuk otoritas pendidikan langsung
ditangan pemerintah melalui menteri pendidikannya. Bahwa, peran serta
masyarakat dalam rangka menciptakan tatanan sosial pendidikan yang
seharusnya menjadi tanggung jawab kolektif hari ini didikte dan diarahkan
pada satu titik tertentu untuk kepentingan tertentu pada penguasa negara
kita. Demokratisasi pendidikan di negara kita hanyalah simbol, pada
prakteknya merupakan otoritarianisme pendidikan, seperti di Jerman pada
pemerintahan Nazisme Adolf Hitler. Sederhananya, pemerintah (presiden
dan mendiknas) tidak percaya kepada kemampuan masyarakat untuk
menjalankan proses pendidikan.
Seharusnya, proses pendidikan adalah tanggung jawab masyarakat,
dimana setiap kebijakan bukan merupakan otoritas penyelenggara negara,
tetapi merupakan aspirasi masyarakat yang kemudian dijustifikasi melalui
kewenangan lembaga pemerintah yang menangani hal pendidikan. Dan
untuk putaran selanjutnya, aspirasi yang telah mendapatkan legalitas itu
akan kembali ke masyarakat. Dan masyarakat bertanggung jawab atas
aplikasinya dalam dunia pendidikan dengan memanfaatkan, sekali lagi,
kearifan lokal.

Kearifan lokal menjadi bahan yang penting dalam penyelenggaraan


pendidikan. Mengingat bahwa pendidikan Indonesia hari ini harus sudah
berbasis realita. Artinya tidak ada hegemoni atau doktrinasi tertentu yang
tidak terbantahkan untuk kepentingan tertentu pula. Tetapi lebih pada
bagaimana pendidikan mampu menjaring kearifan lokal yang merupakan
realitas konkrit di lapangan sebagai satu medium, bahan kajian dan ritus
habitus masyarakat peserta didik dan pemegang tanggung jawab
pendidikan.

Pentingnya kearifan lokal dapat digambarkan secara sederhana


dengan permisalan berikut, di bagian dalam pulau sumatera adalah masih
bergantung pada alam, dimana masyarakatnya lebih menggantungkan
kehidupannya dari kekayaan alam yang ada dengan sedikit polesan dari
produk-produk daerah lain. Yang mereka butuhkan bukan ilmu astronomi,
matematika lanjut atau akuntansi keuangan, tetapi kalau berkaca pada
kearifan lokal, yang mereka butuhkan adalah intensifikasi pertanian,
pengolahan lahan, pemberdayaan hasil hutan dan hal yang terkait dengan
itu. Ini akan lebih membantu masyarakat dibandingkan dengan
penyeragaman materi pendidikan, karena memang dalam pendidikan tidak
berdasarkan keseragaman, tetapi pemanfaatan potensi yang optimal dari
khazanah lokal. Dari sinilah kemudian materi muatan lokal dalam
kurikulum pendidikan menjadi hal yang harus diprioritaskan dibandingkan
materi lain yang tidak aplikatif dalam kehidupan riil.
Apabila tidak berkaca pada kearifan lokal dari permisalan diatas,
maka fungsi lembaga pendidikan sebagai lembaga yang mencerdaskan
masyarakat tidak berfungsi. Out put peserta didik yang latar belakangnya
petani, tidak lagi akan mengingat atau memfungsikan mata pelajaran
matematika lanjut, akuntansi keuangan, astrologi, serta materi lainnya
karena tidak semua masyarakat akan dapat melanjutkan pendidikannya
karena faktor ekonomi maka hal yang paling mungkin adalah setelah
sekolah kembali ke lahan pertaniannya. Lalu apabila demikian, maka
fungsi pendidikan sebagai alat meningkatkan kualitas peradaban
masyarakat dapat dikatakan gagal.

Analisis paradigmatik ini, apabila ditarik dalam sistem pendidikan


islam yang berlandaskan atas jiwa Nasionalisme, secara sederhana dapat
ditarik kesimpulan bahwa, paradigma yang digunakan dalam sistem
pendidikan islam adalah paradigma yang demokratis berbasis kearifan
lokal, sementara ideologi pendidikan yang tepat dalam sistem ini adalah
pancasila. Karena pancasila merupakan ideologi yang memfasilitasi semua
golongan tanpa mendiskreditkan golongan yang lain. Penempatan yang
sama dalam sistem yang seragam.

Pada ideologi pancasila apabila diterapkan dalam kurikulum


pendidikan islam maka akan mencegah terjadinya desintegrasi bangsa
karena sentimen rasial antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.
Pancasila yang mengakomodir setiap madzhab dalam Islam akan lebih
diterima sebagai ideologi pendidikan karena penyetaraan ditengah
pluralitas, dimana tidak ada yang diunggulkan dan tidak ada yang
didiskreditkan.

Kelompok Nahdliyin sebagai kelompok terbesar Islam di Indonesia


akan menempatkan diri sama seperti kelompok Rifa’iyyah yang minoritas
dengan ideologi pancasila sebagai sistem pendidikan Islam. Oleh
karenanya, kelompok minoritas tidak akan merasa dirugikan dengan
kelompok mayoritas dalam sistem.
Hal ini dapat dilahat, NU sebagai kelompok Islam yang selalu
berlandaskan pada konsep dasar bahwa Islam adalah Rahmatan Lil
’Alamin atau rahmat bagi seisi alam. Karena itu ruang bagi kelompok
Islam yang lain atau bahkan kelompok non muslim sangat lebar dalam
tubuh NU sendiri. Fakta menunjukkan bahwa NU malah kerap kali di cap
sebagai pembela kelompok lain.

Rahadi Wiratama menulis bahwa faktor ke-Indonesia-an telah


membuat NU sulit untuk menganggap kalangan non-muslim Indonesia
sebagai ‘pihak lain.’ Bahkan oleh mereka yang tidak memahami NU
secara socio-kultural sering memandang NU dengan terkejut (karena sikap
yang sangat toleran) dan bahkan di kritik sebagai pembela ‘kafir’. Tentu
bagi mereka yang memahami NU, tidak akan pernah punya sikap
demikian, karena prinsip pluralitas sudah ada dalam diri NU sendiri.
Kesadaran NU terhadap pluralisme dan solidaritas kehidupan beragama,
sebetulnya bukan sesuatu yang baru, atau karena menyesuaikan diri dalam
kondisi perubahan politik, atau karena akhir-akhir ini Indonesia
mengalami banyak kemelut dan konflik antar umat beragama. Sejak awal
berdirinya NU, ada empat tradisi bermasyarakat yang sudah dijalankan
dalam hidup berdampingan dengan kelompok Islam lain atau kelompok
non-Islam, keempat tradisi tersebut adalah: sikap tawazun
(keseimbangan), tasamuh (toleran), tawasut (moderat), dan I’tidal (adil).9

Keempat tradisi diatas membuat warga NU melihat hubungan antar


agama dan kelompok sebagai sesuatu yang penting dan menjadi bagian
dari semangat keseimbangan, toleransi dan keadilan.

Toleransi juga merupakan bagian dari kebudayaan Indoneisa, dan


bagi NU kebudayaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah
NU. KH. Mustofa Bisri, seorang ulama NU yang juga budayawan,
mengatakan bahwa kehadiran NU adalah merupakan wujud sumbangan
warga NU buat kebudayaan nasional. Dalam semangat pengembangan

9
M Yusni Amru Ghazaly, Solidaritas NU, www.nu-uk.org
kebudayaan, NU sangat memperhatikan lokalitas isu dan tidak pernah
memandang atau mengembangkan isu promordialisme. Jadi bagi NU
toleransi dan penghargaan atas kelompok adalah juga merupakan budaya
yang harus dipelihara sebgai wujud kesetiaan dan pengakuan atas ideologi
bangsa ini.10

Dalam ideologi pancasila, tidak mengenal istilah otoritarianisme


dan primordialisme kebijakan pendidikan, dimana kelompok yang
mayoritas akan menjadi penguasa dan memiliki kewenangan mutlak atas
tirani minoritas dibawahnya. Misalnya apabila kelompok nahliyin sebagai
penguasa, maka dia akan memaksakan Aswaja (ideologi kaum Nahdliyin)
untuk wajib diterapkan dan digunakan oleh kaum syi’ah yang minoritas.

Sistem pancasila tidak mengenal seperti itu, sistem pancasila


sebagai dasar ideologi pendidikan islam akan menempatkan sama satu
golongan dengan golongan lain, duduk berdampingan sebagai kekayaan
berasama tanpa dendam, ambisi kuasa menguasai dan lebih
mengutamakan kemaslahatan bersama dibandingkan kemaslahatan
individu atau kelompok. Dengan demikian, maka ditengah banyaknya
konflik rasial yang akhir-akhir ini muncul seperti di Aceh, Poso, Maluku,
Papua, Kalimantan dan terakhir sentimen golongan di Monas 1 Juni 2008
lalu, Pendidikan Islam dan Pancasila menjadi solusi yang terbaik agar
konflik rasial dapat diminimalisir.

Sementara sistem demokrasi dengan kearifan lokal menjadi satu


hal yang mutlak diperlukan dalam sistem pendidikan Islam. Hal ini
mengingat isu Nasionalisme sebagai manifesto pernyataan bernegara
adalah lebih subur berkembang secara sektoral dengan medium khazanah
kearifan lokal. Oleh karenanya sistem pendidikan islam harus
memfasilitasi ini sebagai sistem yang diterima oleh setiap golongan yang
ingin menyatakan pernyataan bernegara dan berbangsanya ditengah

10
Drs Hi Iskandar Lexy Arie Gobel, Memahami NU adalah memahami Indonesia; Refleksi
Hari Ulang Tahun NU ke – 82, Opini, Mei 2008, www.nu-uk.org, hal. 12
pluralitas tanpa menimbulkan kecemburuan sosial pihak lain dan ditengah
perbedaan kultural yang ada.

Khazanah kearifan lokal adalah bertumpu pada ritus habitus


pengejawantahan Nasionalisme dalam konteks lokal hingga tingkat
nasional. Ini akan dapat dipupuk dalam konteks pendidikan Islam dengan
pancasila sebagai ideologi dan demokrasi sebagai jalan besar menuju
kesuburan Nasionalisme pada masing-masing sektor.

Maka dalam Pendidikan Islam khususnya lembaga pendidikan NU


harus dikembangkan berdasarkan paradigma yang berorientasi pada:

1. Paradigma pendidikan Islam harus didasarkan pada filsafat teocentris


dan antroposentris sekaligus. Pendidikan Islam yang ingin
dikembangkan adalah pendidikan yang menghilangkan atau tidak ada
dikotomi antara ilmu dan agama, serta ilmu tidak bebas nilai tetapi
bebas dinilai. Selain itu, mengajarkan agama dengan bahasa ilmu
pengetahuan yang rasional tanpa meninggalkan sisi tradisional.

2. Pendidikan Islam mampu membangun keilmuan dan kemajuan


kehidupan yang integratif antara nilai spritual, moral dan meterial bagi
kehidupan manusia.

3. Pendidikan Islam mampu membangun kompotisi manusia dan


mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia
demokratis, kompetetif, inovatif dan bermoral berdasarkan nilai-nilai
Islam.

4. Pendidikan Islam harus disusun atas dasar kondisi lingkungan


masyarakat, baik kondisi masa kini maupun kondisi pada masa akan
datang, karena perubahan kondisi lingkungan merupakan tantangan
dan peluang yang harus diproses secara capat dan tepat. Pendidikan
Islam yang dikembangkan selalu diorientasikan pada perubahan
lingkungan, karena pendekatan masa lalu hanya cocok untuk situasi
masa lalu dan sering tidak tepat jika diterapkan pada kondisi berbeda,
bahkan sering kali menimbulkan problem yang dapat memundurkan
dunia pendidikan.

5. Pembaruan pendidikan Islam diupayakan untuk memberdayakan


potensi umat yang disesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat
modern tanpa meninggalkan khasanah klasik. Sistem pendidikan
Islam harus dikembangkan berdasarkan karakteristik masyarakat lokal
yang demokratisasi, memiliki kemampuan partisipasi sosial, mentaati
dan menghargai supermasi hukum, menghargai hak asasi manusia,
menghargai perbedaan [pluralisme], memiliki kemampuan kompotetif
dan kemampuan inovatif.

6. Penyelenggaraan pendidikan Islam harus diubah berdasarkan


pendidikan demokratis dan pendidikan yang bersifat sentralistik baik
dalam manajemen maupun dalam penyusunan kurikulum harus
disesuaikan dengan tuntutan pendidikan demokratis dan desentralistik.
Pendidikan Islam harus mampu mengembangkan kemampuan untuk
berpartisipasi di dalam dunia kerja, mengembangkan sikap dan
kemampuan inovatif serta meningkatkan kualitas manusia.

7. Pendidikan Islam lebih menekankan dan diorientasikan pada proses


pembelajaran, diorganisir dalam struktur yang lebih bersifat fleksibel,
menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang
memiliki potensi untuk berkembang, dan diupayakan sebagai proses
berkesinambungan serta senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

8. Pendidikan Islam harus di arahkan pada dua dimensi, yaitu “Pertama,


dimensi dialektika [horizontal] yaitu pendidikan hendaknya dapat
mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam
hubungannya dengan lingkungan sosialnya dan manusia harus mampu
mengatasi tantangan dunia sekitarnya melalui pengembangan iptek,
dan Kedua, dimensi ketundukan vertikal, yaitu pendidikan selain
sarana untuk memantapkan, memelihara sumberdaya alam dan
lingkungannya, juga memahami hubungannya dengan Sang Maha
Pencipta, yaitu Allah Swt”11

9. Pendidikan Islam lebih diorientasikan pada upaya “pendidikan sebagai


proses pembebasan, pendidikan sebagai proses pencerdasan,
pendidikan menjunjung tinggi hak-hak manusia, pendidikan
menghasilkan tindakan perdamaian, pendidikan sebagai proses
pemberdayaan potensi manusia, pendidikan menjadikan anak
berwawasan integratif, pendidikan sebagai wahana membangun watak
persatuan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik, pendidikan
menghasilkan manusia perduli terhadap lingkungan”, dan harus
dibangun suatu pandangan bahwa “sekolah bukan satu-satunya
instrumen pendidikan” ,12 akan tetapi masyarakat dan semua yang
bersinggungan dalam keseharian kita merupakan istrumen pendidikan.

Dengan kesembilan poin dasar paradigma pendidikan islam ini,


dapat kita simpulkan bahwa Islam sebagai sebuah sistem keyakinan akan
mampu memberikan perubahan dan kemajuan bangsa ini dari segala
sektor kehidupan tanpa harus mengorbankan golongan lain dengan alasan
islamisasi atau formalisasi Syariat Islam yang telah nyata akan
meruntuhkan kesatuan berbangsa dan bertanah air Indonesia.

11
Hujair AH. Sanaky, “Studi Pemikiran Pendidikan Islam Modern”, Jurnal Pendidikan
Islam, Konsep dan Implementasi, Volume V Th IV, ISSN: 0853 – 7437, FIAI UII, Yogyakarta,
Agustus 1999, hlm. 11
12
Djohar,“Soal Reformasi Pendidikan Omong Kosong,Tanpa Mengubah UU
No.2/89”,Kedaulatan Rakyat,4 Mei 1999, Yogyakarta.

You might also like