Professional Documents
Culture Documents
Abaz Zahrotien
Atau paling tidak, apa yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati
yang merupakan tentara kerajaan Islam Demak Bintoro untuk berperang
melawan Belanda di Batavia dan Banten tidak merupakan contoh konkrit
dari laku nasionalisme?.
Terlepas dari itu, dalam hal ini akan penulis petik salah satu
maqalah dari As Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang berbunyi,
2
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, LkiS, Yogyakarta, 2007, hal. 190
3
Ibid, hal. 175-176
Bahwa, peranan pesantren pada masa penjajahan lebih banyak
sebagai lembaga pendidikan yang terkonsentrasi pada pengenalan ajaran
agama dengan didukung doktrinasi untuk mempertahankan negara dari
serangan bangsa asing yang hendak meruntuhkan kedaulatan negara.
Yang kemudian harus dilihat secara kritis dan jeli adalah pada
wilayah metodologisnya, bahwa metode untuk mendapatkan pemikiran-
pemikiran baru tersebut merupakan barometer untuk menguji apakah
pemikiran-pemikiran tersebut terstruktur atau hanya penemuan pemikiran
berbasis realita yang lacakan akar epistemologi dan aksiologinya tidak
terdeteksi. Ini hal yang paling menarik karena dengan mengetahui pola
pemikiran yang terstruktur dan tidak terstruktur merupakan bagian yang
paling menentukan dalam membaca tingkat kecerdasan positivistik (dalam
bahasa Auguste Comte) yang merupakan ciri tata sosial modern.
4
Ali Muhdi Amnur (Ed), 2007, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima,
Jogjakarta, hal. 18-19
Oleh karenanya, dalam sub-bab ini, penulis lebih terkonsentrasi
pada membaca paradigma dan ideologi pendidikan Islam, kemudian
mencari titik anomalinya, selanjutnya direkonstruksi kembali untuk
mendapatkan penyempurnaan dari pendidikan Islam yang berwawasan
Nasionalisme sebagaimana yang menjadi tujuan dan cita-cita paradigma
pendidikan islam.
5
William F. O’Neil, 2001, Ideologi-ideologi Pendidikan, Terj. Omi Intan Naomi, Pustaka
Pelajar, Jogjakarta, hal. 104-110
pertimbangan-pertimbangan filosofis dan intelektual, serta cenderung
untuk mendasarkan diri pada penerimaan yang relatif tanpa kritik
terhadap kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang
sudah mapan (taken for granted).
Setidaknya dari dua aliran tersebut diatas dan enam ideologi yang
menjadi turunannya, dimanakah letak ideologi pendidikan Islam yang ada
ditengah-tengah proses pendidikan islam di Indonesia?.
6
Ali Muhdi, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima, Yogyakarta, 2007,
hal 20-21
yang dianut oleh ratusan juta masyarakat Indonesia. Sejarah mencatat,
bahwa kelahiran Islam di Indonesia tidak kemudian langsung taken for
granted, menerima apa adanya ajaran yang diberikan oleh para
pendahulunya, melainkan melalui proses yang teramat panjang dengan
berbagai pergulatan, baik pergulatan budaya maupun pergulatan ideologi.
Bahwa sejarah telah tercantum, Islam di Indonesia adalah Islam yang
mengalami proses akulturasi dengan khazanah lokal, Islam di Indonesia
dalam sisi muammalah telah mengalami percampuran peradaban, namun
tidak mengacaukan pada sisi akidahnya. Proses pergulatan ideologi inilah
yang memberikan warna terhadap kemajemukan negara Indonesia.
Artinya, yang ingin ditegaskan dalam hal ini bahwa pancasila telah
cukup untuk dapat dijadikan sebagai satu ideologi pendidikan Islam di
Indonesia. Yakni Ideologi pendidikan Islam yang berbasis pada kearifan
lokal sebagainama negara meletakan pancasila sebagai dasar negara
Indonesia yang final7. Yang menghargai perbedaan kultural dan
memberikan kebebasan untuk menjalankan tradisinya itu selama tidak
bertentangan dengan nilai dasar pancasila.
7
M. Sayafi`i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoneisa (Jakarta:Paramadina, 1995), hal.
208
Dalam kajian ini, akan diuaraikan praksis pendidikan yang lahir
sekarang dan seharusnya. Proses pendidikan yang terjadi dewasa ini yang
cenderung mengalineasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita
memerlukan suatu perubahan paradigma, dari pendidikan nasional untuk
menghadapai proses globalisasi dan menata kembali kehidupan
masyarakat Indonesia (selanjutnya akan dikupas dalam sub-bab
berikutnya) dengan sistem demokrasi pendidikan.
8
Ibid, hal, 24
Pendidikan oleh masyarakat artinya bahwa masyarakat bukanlah
merupakan objek pendidikan, untuk melaksanakan kemauan negara atau
suatu kelompok semata-mata, tetapi partisipasi yang aktif dari masyarakat,
dimana masyarakat mempunyai peranan di dalam setiap langkah program
pendidikannya. Hal ini berarti masyarakat bukan sekedar penerima belas
kasih dari pemerintah, tetapi suatu sistem yang percaya kepada
kemampuan masyarakat untuk bertanggungjawab atas pendidikan generasi
mudanya.
9
M Yusni Amru Ghazaly, Solidaritas NU, www.nu-uk.org
kebudayaan, NU sangat memperhatikan lokalitas isu dan tidak pernah
memandang atau mengembangkan isu promordialisme. Jadi bagi NU
toleransi dan penghargaan atas kelompok adalah juga merupakan budaya
yang harus dipelihara sebgai wujud kesetiaan dan pengakuan atas ideologi
bangsa ini.10
10
Drs Hi Iskandar Lexy Arie Gobel, Memahami NU adalah memahami Indonesia; Refleksi
Hari Ulang Tahun NU ke – 82, Opini, Mei 2008, www.nu-uk.org, hal. 12
pluralitas tanpa menimbulkan kecemburuan sosial pihak lain dan ditengah
perbedaan kultural yang ada.
11
Hujair AH. Sanaky, “Studi Pemikiran Pendidikan Islam Modern”, Jurnal Pendidikan
Islam, Konsep dan Implementasi, Volume V Th IV, ISSN: 0853 – 7437, FIAI UII, Yogyakarta,
Agustus 1999, hlm. 11
12
Djohar,“Soal Reformasi Pendidikan Omong Kosong,Tanpa Mengubah UU
No.2/89”,Kedaulatan Rakyat,4 Mei 1999, Yogyakarta.