Professional Documents
Culture Documents
LEPRA
Oleh :
Andhika Arie P
Wisnu Bimo S
Dwi Suseno
PENDAHULUAN
Lepra merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Lepra
berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Lepra
merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat menyebabkan
ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita lepra tidak hanya menderita akibat
penyakitnya saja tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu,
penulis akan membahas penyakit lepra lebih mendalam dalam makalah ini. 1
Lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intrasellular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1
Penderita lepra tersebar di seluruh dunia. Jumlah yangtercatat 888.340 orang
pada tahun 1997. Sebenarnya kapan penyakit lepra ini mulai bertumbuh tidak dapat
diketahui dengan pasti, tetapi ada yang berpendapat penyakit ini berasal dari Asia
Tengah kemudian menyebar ke Mesir, Eropa, Afrika dan Amerika. Di Indonesia tercatat
33.739 orang penderita lepra. Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak
penderitanya setelah India dan Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk.2
DEFINISI
Lepra adalah penyakit menular kronik yang berkembang lambat, disebabkan
oleh Mycobacterium leprae dan ditandai dengan pembentukan lesi granulomatosa atau
neurotropik pada kulit, selaput lendir, saraf, tulang, dan organ-organ dalam.
Manifestasinya berupa gejala-gejala klinis dengan spektrum luas, yang terdiri dari dua
tipe utama, dengan jenis lepromatous pada ujung spektrum dan tuberkuloid di ujung
yang lain: diantara dua tipe ini terdapat tipe borderline, dengan dua sub tipe, borderline
tuberkuloid dan borderlinelepromatous. Disebut juga Hansen’s disease. 3
Lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intrasellular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1
Armaur Hansen,orang Norwegia menemukan basil penyebab lepra,
Mycobacterium leprae pada tahun 1873. 4
PATOGENESIS
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal
pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua
adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator
APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan
mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya
TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1.
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan
fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan
berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan
difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu
CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran
oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan
secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan
terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan
dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang
makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan
membentuk granuloma.
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari
eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B
untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada
Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan
dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan
dengan Th1.
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang
dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC
yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan
antigen asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel
denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc
akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan
adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC
matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena
adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh
DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan
GEJALA KLINIS
Manisfestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelas
pada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik
saja7. Penderita kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta dengan
atau tanpa pemerikasaan bakteriologis dan memerlukan suatu pengobatan8.
Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada7:
1. multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae
2. respons imun penderita terhadap kuman M. leprae
3. komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,
saraf, dan membran mukosa9. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi
menjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen
multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy).Kusta multibasiler, dengan
tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit
yang menyerupai kusta tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan;
bagian yang besar dapat mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi
dengan kelemahan dan kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat
menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta tuberkuloid.Kusta tuberkuloid ditandai
dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula kulit dan bagian yang tidak berasa
(anestetik).Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris,
dermis kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang menyebabkan
penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun
pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat.
Secara umum, lepra mempengaruhi kulit, saraf perifer, dan mata. Kemungkinan
juga mempengaruhi gejala sistemik. Gejala-gejala spesifik berubah-ubah menyesuaikan
beratnya penyakit.
Gejala-gejala prodromal pada umumnya begitu diabaikan sehingga penyakit ini
tidak diketahui sampai timbulnya erupsi kutaneus. Bagaimanapun juga, 90% dari pasien
sudah memiliki riwayat kebas, beberapa tahun sebelum lesi pada kulit muncul.
Sensasi yang pertama hilang adalah sensasi suhu. Pasien tidak dapat
merasakan perbedaan besar antara suhu panas dengan suhu dingin. Sensasi
berikutnya yang menghilang adalah sentuhan ringan, kemudian nyeri, dan pada
akhirnya tekanan yang dalam. Kehilangan-kehilangan ini terutama didapatkan pada
tangan dan kaki, oleh karena itu, keluhan utamanya dapat berupa terbakar atau borok
pada ekstremitas yang mati rasa.
Bagian tubuh lain yang mungkin terpengaruh adalah area dingin, dimana dapat
termasuk saraf perifer superficial, ruang mata anterior, testis, dagu, malar eminen,
cuping telinga, dan lutut. Dari stage ini, sebagian besar lesi berubah menjadi tipe-tipe
tuberkuloid, borderline, atau lepromatosa.
Penilaian untuk tanda-tanda phisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus,
neuropathi, dan mata.
Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit. Makula
hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang
pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin
menjadi hipoesthetik. Lesi pada pantat sering sebagai indikasi tipe borderline.
Berkenaan dengan neuropathi, menilai untuk area yang hypoesthesia ( sentuhan
ringan, pinprick, suhu dan anhidrosis), terutama cabang saraf perifer dan saraf
kutaneus. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf tibia posterior. Saraf lainnya
yang pada umumnya mengalami kerusakan adalah ulna, median, poplitea lateral, dan
saraf facial. Disamping kehilangan sensoris, pasien dapat juga mengalami kelemahan
dan kehilangan gerak10.
Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra
1. neuropathy sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi
neuropathy motorik murni dapat juga muncul.
2. mononeuropathy dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna
dan peroneal yang lebih sering terlibat
3. neuropathy perifer simetris dapat juga timbul
Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk berikut:
1. anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
1. Hitung sel darah lengkap
2. Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests
3. HIV status, terutama nonresponder
4. Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
5. Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila
tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Imaging Studies
• Foto thorak
• Foto rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang
Foto polos bisa berguna untuk mendeteksi dan memonitor perubahan tulang
yang disebabkan lepra
Resorpsi, fragmentasi, dan fraktur maligna merupakan tanda-tanda umum
perubahan tulang yang disebabkan oleh lepra.
Foto Radiography dapat mengungkapkan tanda-tanda dari periostitis dan
osteomielitis, biasanya pada regio ephipisis dan metaphisis pada tulang-tulang
kecil di tangan dan kaki, terutama tulang jari11.
• MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan
• Magnetic resonance (MR) neurography pada kondisi khusus
• Ultrasonography dan Doppler ultrasonography
PENATALAKSANAAN1
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas
deteksi dini dan pengobatan penderita. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat
bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson
merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah
penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adalah
anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.
Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi
kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K
ATPase. Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,
warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara
menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan
pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk
penderita kusta dgn anemia berat. Vitamin A, untuk penderita kusta dgn kekeringan
kulit dan bersisik (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment.Kegunaan
MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi
ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada
pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal
diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung
RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak < 5 tahun
dan Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas
diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran
saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-
9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu
berhenti minum obat.
MB dengan lesi > 5. Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-
18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara
pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat
maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand ,
drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan
pengobatan. “Prinsip pengobatan reaksi Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian
analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis
yang tidak diubah. Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian
analgetik dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3x1
selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat
anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison. 18
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering
off) setelah terjadi respon maksimal. 18
KOMPLIKASI
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan pada organ tangan.
Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun
ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Hilangnya hidung dapat terjadi
pada kasus LL.19
PROGNOSIS
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan mejadi lebih sederhana dan
lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus
kronik, prognosis menjadi kurang baik. 20
1. Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007 ;73- 88.
2. Amiruddin, M Dali. Marwali Harahap. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit
Hipokrates. 2000 ; 260-271
3. Dorland, W.A.Newman. Kamus Kedokteran Dorland edisi kedua puluh sembilan.
Jakarta: EGC. 2002 ; 1195
4. Brown, R G, Burns, Tony. Lecture Notes: Dermatology. Jakarta : Erlangga. 2005.
5. Hunter, John dkk. Clinical Dermatology Third Edition. Blackwell Publising
Company. 2002 ; 197 -200
6. Murray, Rose Ann dkk. Mycobacterium leprae inhibits Denditric Cell Activation
and Maturation. Available at : www.jimmunol.org
15. McDougall AC. Leprosy : Clinical Aspects. Dalam : Harahap M. (ed), New
Clinical Applications Dermatology, Mycobacterial Skin Diseases. Kluwer
academic Publisher, Dordrecht. 1989 : 119-136
16. Faber, WR. Immunology of Leprosy . Kumpulan makalah ilmiah KONAS VII
PERDOSKI, Suplemen, Bukittinggi, 1992
17. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical Leprosy. In : Hastings RC. (ed), Leprosy.2end
ed. Churchill livingstone , Edinburgh. 1994 : 237-287
18. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aeusculapius
FKUI. 2000; 74-75
19. Fitzpatrick, Thomas B dkk. Leprosy in Color Atlas and Synopsys of Clinical
Dermatology. Singapore: McGraw Hill. 2008 ; 1794
20. Siregar, RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta; EGC. 2005 ;155