You are on page 1of 24

REFERAT INISIASI ARV TERHADAP INFEKSI OPORTUNISTIK TUBERKULOSIS PARU

Pembimbing: dr.YUNUS TANGGO, SpPD. PhD

Disusun oleh: MONALISA MANURUNG (0861050114)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA RSU UKI PERIODE: 27 Mei 2013 20 Juli 2013
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan anugrah-Nya yang telah diberikan sehingga penyusun dapat menyelesaikan referat ini. Adapun tujuan utama pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui lebih dalam tentang inisiasi ARV terhadap infeksi oportunistik tuberculosis paru . Serta melengkapi syarat dalam menempuh pendidikan profesi dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada : 1. Direktur Rumah Sakit UKI yang telah memberikan kesempatan untukn mengikuti kegiatan kepaniteraan ini . 2. Seluruh konsulen yang telah memberikan bimbingan, waktu , motivasi dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat selama kepaniteraan serta penulisan referat ini . 3. Seluruh dokter dan staf UKI yang telah membantu penyusunan referat selama mengikuti kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam di RS UKI . 4. Keluarga dan teman teman sejawat yang telah memberikan dukungan kepada penyusun selama mengikuti kepaniteraan dan meyelesaikan referat ini .

Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca . Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penyusun demi kebaikan karya tulis yang akan datang.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ DAFTAR ISI ........................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ BAB III KESIMPULAN ......................................................................... DAFTAR PUSTAKA .............................................................................

i ii 1 2 15 16

ii

BAB I PENDAHULUAN
Masalah HIV AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara diseluruh dunia. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV.1 Tuberkulosis (TB) dan HIV telah berhubungan erat sejak munculnya AIDS. Di seluruh dunia, TBC adalah infeksi oportunistik yang paling umum yang mempengaruhi orang HIV-seropositif dan tetap menjadi penyebab kematian paling umum pada pasien dengan AIDS. Infeksi HIV telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan yang signifikan dalam kejadian di seluruh dunia TB. Dengan memproduksi penurunan progresif dalam imunitas diperantarai sel, HIV mengubah patogenesis TB, sangat meningkatkan risiko penyakit akibat TB pada orang koinfeksi HIV dan mengarah ke keterlibatan lebih sering paru, manifestasi radiografi atipikal, dan paucibacillary penyakit, yang dapat menghambat diagnosis. Meskipun TB terkait HIV adalah baik diobati dan dicegah, kejadian terus meningkat di negara berkembang dimana infeksi HIV dan TB adalah endemik dan sumber daya terbatas. Interaksi antara HIV dan obat TB, tumpang tindih toksisitas obat, dan sindrom pemulihan kekebalan (IRIS) menyulitkan cotreatment HIV dan TB. Bab ini akan meninjau epidemiologi, patogenesis, manajemen, dan pencegahan TB dalam pengaturan infeksi HIV.2,3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang ditandai dengan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS dapat dikatakan suatu kumpulan tanda / gejala atau sindrom yang terjadi akibat adanya penurunan daya kekebalan tubuh yang didapat atau tertular/terinfeksi, bukan dibawa sejak lahir. Penderita AIDS mudah diserang infeksi oportunistik (infeksi yang disebabkan oleh kuman yang pada keadaan system kekebalan tubuh normal tidak terjadi ) dan kanker dan biasanya berakhir dengan kematian.1

EPIDEMIOLOGI
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus hiv yaitu, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada penggunaan narkotika, transfuse komponendarah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkanya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV / AIDS misalnya pengguna narokotika ,pekerja seks komersil dan narapidana.2

PATOGENESIS

Gambar 1 Proses terjadinya infeksi Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limfosit thelper / inducer yang mengandung marker CD4 (sel T4) .Limfosit merupakanpusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik.kelainan selektif pada satu ,jenis sel menyebabkan kelainan selektif pada Human Immunodeficiency Virus mempunyai tropisme selektif terhadap sel T4, karena molekul CD4 yang terdapat terdapat pada dindingnya adalah reseptor dengan affinitas yang tinggi untuk virus ini. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD4, virus masuk kedalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse ia merubah bentuk RNA nya menjadi DNA agar dapat bergabung menyatakan diri dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak mengundang bahan genetik mengundang bahan genetik virus.Infeksi oleh HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Berbeda dengan virus lain,virus HIV menyerang sel target dalam jangka lama.Jarak dari masuknya Jarak dari masuknya virus ketubuh sampai terjadinya AIDS sangat lama yakni 5 tahun atau lebih. Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi sistem kekebalan tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang,akibatnya penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri protozoa dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma kaposi. HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel menyebabkan kerusakan neurologis.234

PENULARAN1
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit sumber infeksi , vehikulum yang membawa agent ,host yang rentan tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman. Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel limfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan

menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yangterbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darahpenderita. Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV , namun hingga kini cara penularan HIV diketahui melalui : 1. Transmisi seksual penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resikoseropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada 3

hubungan seksualyang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubunganseksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisikotinggi terinfeksi virus HIV . Homoseksual Di Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksualv menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongankrusial. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual denganresiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital. Heteroseksual Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubunganheteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual - Transmisi Parenteral Jarum suntik dan alat tusuk lainnyan yang telah terkontaminasi,misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntikyang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu.Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%. Darah/Produk Darah Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negarabarat sangat jarang, karena donor darah telah diperiksa sebelum ditransfusikan.Resiko tertular

infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.

-Transmisi Transplasental Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyairesiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dansewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

Faktor risiko dari infeksi HIV ini antara lain: 1. melakukan hubungan seksual tanpa perlindungan yaitu tanpa menggunakan kondom yang terbuat dari latex atau polyurethane setiap saat. 2. Mempunyai penyakit menular seksual .Banyak penyakit menular seksual

mengakibatkan adanya luka terbukapada genitalia. Luka ini merupakan pintu masuk infeksi HIV. 3. Menggunakan obat-obatan melalui intravena orang yang menggunakan obat-obatan intravena sering berbagi jarum suntik. Ini akan memaparkan infeksi melalui darah. 4. Laki-laki yang tidak sirkumsisi ,beberapa studi menemukan bahwa tidak sirkumsisi meningkatkan risikopenularan HIV heteroseksual.

DIAGNOSIS1
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual , baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada penggunaan narkotika, transfusekomponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkanya. Olehkarena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS misalnya penggunanarkotika, pekerja seks komersil dan pelangganya serta narapidana . Untuk menegakkan diagnosis pada penderita perlu dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan tes laboratorium . Apabila dengan pemeriksaan terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh maka penderitadinyatakan terinfeksi HIV. Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapatinfeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel / mm3.Untuk keperluan surveilans epidemiologi seorang dewasa (< 12 tahun) dianggap menderita AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategipemeriksaan yang sesuai dan sekurang kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor dan gejala gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan keadaan lain yang tidak berkaitan dengan HIV :

1. Gejala Mayor : Berat badan menurun > 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan , demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan , penurunan kesadaran dan gangguan neurologis , demensia , atau HIV enselopati. 2. Gejala Minor : Batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalisata yanggatal, adanya herpes zoster multisegmental dan atau berulang, kandidiasis oro faringeal, herpes simpleks kronis progresif, limfadenopati generalisata, infeksi jamur pada alat kelamin perempuan..Pada pasien ini ditemukan hasil determinan tes positif, adanya 2 5

gejala mayor yaitu Berat Badan menurun > 10%

dalam 1 bulan dan demam

berkepanjangan lebih dari 1 bulan, sedangkan pada gejala minor didapatkan Batuk menetap lebih dari 1 bulan dan kandidiasis oro-faringeal. Sehingga padapasien ini dapat didiagnosa sebagai HIV karena memenuhi kriteria sekurang kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor.

Tes HIV1
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karena pada infeksi HIV gejala klinis nya baru dapat terlihat setelah bertahun-tahun lamanya.Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi : 1. Pemeriksaan serologic untuk mendeteksi adanya antibody terhadap HIV 2. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV

Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetic dalam darah pasien.Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibody HIV . Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik: 1. ELISA ( enzyme linked immunosorbent assay) 2. Aglutinasi atau dot blot immunobinding assay

Metode yang biasa digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA. Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus

mendapatkan konseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar mendapatkan informasi yang jelas mengenai infeksi HIV / AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerimaapapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survey tidak diperlukan konseling prates karena orang yang dites tidak akan diberitahu hasil tesnya . Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baikhasil tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasimengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta carapencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidakberisiko.

DERAJAT BERAT INFEKSI HIV & AIDS1


Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan sesuai ketentuan WHO melalui stadium klinis pada orang dewasa serta klasifikasi klinis dan CD4 dari CDC.

Stadium Klinis I 1. Asimtomatis 2. Limfadenopati persisten generalisata

Stadium Klinis II 1. Penurunan berat badan , tetapi < 10% dari berat badan sebelumnya. 2. Manifestasi mukokutaneus minor ( dermatitis seborhic , prurigo , infeksi jamur pada kuku ulserasi mukosa oral berulang , cheilitis angularis ) 3. Herpes zoster dalam waktu 5 tahun terakhir 4. Infeksi berulang pada saluran pernapasan

Stadium Klinis III 1. Penurunan berat badan > 10 % 2. Diare kronis dengan penyebab tidak jelas > 1 bulan 3. Demam dengan sebab yang tidak jelas > 1 bulan 4. Kandidiasis oral 5. Oral hairy leukoplakia 6. TB pulmonal dalam satu tahun terakhir 7. Infeksi bacterial berat ( misalnya pneumonia )

Stadium Klinis IV 1. HIV wasting syndrome 2. Ensefalitis Toksoplasmosis 3. Diare karena cryptodporidiosis > 1 bulan 4. Berbagai Infeksi jamur berat 5. Kandidiasis esofagus ,trachea atau bronkus 6. Mikobakteriosis atypical 7. Infeksi virus sitomegalo 8. TB , esktrapulmoner

9. Limfoma maligna 10. Sarkoma kaposis 11. Enselopati HIV

HIV Simptomatis-berhubungan dengan nephropathy atau HIVCardiomyopathyDari datadata yang ditemukan pada pasien ini didapat penurunan beratbadan yang parah tanpa penyebab yang jelas (lebih dari 10% berat badanterukur), demam yang menetap tanpa sebab yang jelas, Candidiasis oralpersisten, TB Paru, sehingga pasien ini termasuk HIV stage 3.

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis yaitu : 1. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral(ARV) 2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV / AIDS seperti jamur , tuberculosis , hepatitis , toksoplasma sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks 3. Pengobatan simptomatis yang bertujuan untuk menghilangkan gejala yang muncul pada pasien 4. Pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psisosial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan,harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV )3

Gambar 2. Algoritme Penilaian dan Monitor infeksi kronis HIV

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Berikut ketentuannya:

1. ARV dimulai pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yangtermasuk dalam kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukkan gejala yang sangatberat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+ 2. ARV dimulai pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 350sel / mm3. 3. ARV dimuali pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200 350 sel /mm3. 4. ARV dapat dimulai atau ditunda pada pasien asimptomatik dengan limfositCD4+ lebih dari 350 sel / mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml. 5. ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.Tabel 1. Keadaan klinik dalam penentuan pemberian terapi ARV.

Tabel 1. Keadaan klinik dalam penentuan pemberian terapi ARV Target population Asymptomatic clinical condition individuate Who clinical stage 1 recommendation Start ARV if CD4 < 350

(including pregnat women ) symptomatic individuate Who clinical stage 2 Start ARV if CD4 < 350 startARV irnespectife or CD4 Who clinical stage 3 or 4 TB dan hepatitis B Active TB disease cell count startARV irnespectife or CD4 cell count HBV infection requiring startARV irnespectife or CD4 cell count

(including pregnat women )

coinfections

Tabel 2 .kombinasi obat ARV untuk terapi inisial Kolom A Lamivudin + zidovudin Lamivudin + didanosin Lamivudin + stavudin 9 Evafirenz* Kolom B

Lamivudin + zidovudin Lamivudin + stavudin Lamivudin + didanosin Lamivudin + zidovudin Lamivudin + stavudin Lamivudin + didanosin Nelvinafir Nevirapin

Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama. Tambahan : Kombinasi yang sama sekali tidak boleh adalah zidovudin = stavudin.

Populasi Target

Pedoman terapi ARV Pedoman terapi ARV 2008 2011

INDIKASI MULAI TERAPI ARV Odha tanpa gejala klinis (stadium klinis 1) dan belum pernah mendapat terapi ARV (ARV-nave) Odha dengan gejala klinis dan belum terapi pernah Semua pasien CD4 < 200 Stadium klinis 2 bila ARV sel/mm3 Stadium klinis 3 atau 4, berapapun jumlah CD 4 Atau Stadium klinis 3 atau 4, berapapun jumlah CD4 CD4 < 350 sel/mm3 CD4 < 200 sel/mm3 CD4 < 350 sel/mm3

mendapat (ARV-nave)

Perempuan hamil dengan HIV Stadium klinis 1 atau 2 dan CD4 < 200 sel/mm3 Semua ibu jumlah hamil CD4

berapapun

Stadium klinis 3 dan atau apapun stadium klinis CD4 < 350 sel/mm3 Stadium klinis 4

berapapun jumlah CD4

10

Odha dengan Koinfeksi TB yang belum pernah Adanya gejala TB aktif Mulai terapi berapapun mendapat terapi ARV dan CD4 < 350 sel/mm3 jumlah CD4

Odha dengan Koinfeksi Hepatitis B (HBV) yang Tidak ada rekomendasi Odha dengan koinfeksi belum pernah mendapat khusus terapi ARV Hepatitis B (kronis aktif), berapapun jumlah CD4.

PADUAN TERAPI ARV Odha yang belum pernah mendapat (ARV-nave) terapi ARV AZT atau d4T + 3TC Menggunakan TDF

(atau FTC) + EFV atau sebagai lini pertama NVP Perlunya memulai phaseout d4T dan memulai

terapi dengan AZT atau TDF, samping mengingat efek

Perempuan hamil HIV + AZT + 3TC + NVP AZT atau TDF sebagai lini pertama

Koinfeksi TB-HIV AZT atau d4T + 3TC TDF menggantikan d4T (atau FTC) + EFV sebagai lini pertama

Koinfeksi HIV-Hepatitis B (kronis aktif) TDF + 3TC (atau FTC) + Diperlukan paduan NRTI EFV yang berisi TDF + 3TC (atau FTC)

11

Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV . Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan , dengan keunggulan dan kerugian masing-masing. Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang umumnya digunakan adalah kombinasi zidovudin , / lamivudin dengan nevirapin. Pada pasien ini diberikan antibiotik cotrimoxazole 2x960 mg dan ceftriaxone 2x1gr iv untuk terapi oportunistik.Juga diberikan Nystatin drop 4x3 cc untuk mengatasi oral rush.Terapi simtomatis diberikan oksigen 2-4 liter permenit melalui nasal canule karena pasien mengeluh sesak dan ambroxol untuk keluhan batuknya. Terapi suportif diberikan dengan pemberian diet tinggi kalori dan tinggi protein 2100 kkal/hari.ARV tidak langsung diberikan pada pasien ini ,namun diberikan setelah 25 hari yaitu stavudin 2x1 tablet, lamivudin 2x1 tablet dan efavirenx 2x1 tab, yang berupa kombinasi NRTI ( Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor ) dan NNRTI ( Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor ).

INFEKSI OPORTUNISTIK

TUBERKULOSIS
Tuberkulosis merupakan salah satu Infeksi oportunistik tersering pada ODHA di Indonesia.Infeksi HIV akan memudahkan terjadinya Infeksi mycobacterium tuberculosis. ODHA mempunyai resiko nlebih besar menderita TB dibandingkan non HIV dan TB merupakan penyebab kematian tersering. Patogenesis TB pada pasien HIV Infeksi TB terjadi ketika orang dengan karier basil TB dalam tubuhnya ,tetapi bakteri yang ada dalam jumlah kecil dan dorman. Dorman bakteri ini diatur oleh mekanisme pertahanan tubuh, sehingga tidak menyebabkan penyakit. Pada pasien dengan HIV terjadi penurunan imunitas tubuh sehingga bakteri TB dengan mudah dapat menyerang. Pada beberapa penelitian dikatakan bahwa TB menyebabkan peningkatan replikasi virus HIV dalam tubuh , sehingga adanya infeksi oportunistik TB pada HIV akan memperparah HIV tersebut.

Tabel 5 . Dampak infeksi HIV pada lifetime Risk dari M.tuberculosis-infected ndividual Developing TB. HIV STATUS NEGATIVE LIFETIME RISK OF DEVELOPING TB 5-10%

12

POSITIVE

50%

Dampak

Infeksi

HIV

pada

Patogenesis

Tuberkulosis3

TB dapat berkembang melalui pengembangan infeksi baru saja diakuisisi (penyakit primer), reaktivasi infeksi laten, atau reinfeksi eksogen. Infeksi M tuberkulosis dapat terjadi ketika seseorang terkena kasus menular TB menghirup partikel (<5 pM dalam ukuran) yang mengandung basil tuberkulum. Jika basil mencapai alveoli paru, mereka dapat dicerna oleh makrofag alveolar, yang baris pertama pertahanan terhadap M tuberculosis. Penggabungan basil tuberkulum biak dalam makrofag dan akhirnya menjalani penyebaran hematogen ke area lain dari tubuh. Pada infeksi HIV, makrofag rusak berfungsi sebagai respon terhadap infeksi TB, yang mungkin sebagian peningkatan kerentanan terhadap penyakit TBC.Meskipun demikian, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa orang HIV-seropositif lebih mungkin untuk mendapatkan infeksi TB dibandingkan HIV-negatif individu, mengingat tingkat yang sama eksposur.

Setelah infeksi tidak terjadi, bagaimanapun, risiko perkembangan yang cepat jauh lebih besar di antara orang dengan infeksi HIV, karena HIV merusak kemampuan host untuk mengandung infeksi TB baru. Individu imunokompeten terinfeksi M tuberculosis memiliki sekitar risiko seumur hidup 10% mengembangkan TB, dengan setengah dari risiko yang terjadi dalam 1-2 tahun pertama setelah infeksi. Sebaliknya, orang yang terinfeksi HIV dengan TB laten adalah sekitar 20-30 kali lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit TB dibandingkan mereka yang tidak terinfeksi HIV, pada tingkat 8-10% per tahun. koinfeksi HIV juga meningkatkan risiko pengembangan infeksi baru saja diakuisisi menjadi penyakit aktif. Dalam beberapa pengaturan wabah, 35-40% pasien terinfeksi HIV terkena TB dalam perawatan kesehatan atau pengaturan perumahan dikembangkan penyakit TBC aktif dalam 60-100 hari setelah terpapar.

Infeksi M tuberkulosis pada orang imunokompeten diperkirakan memberikan kekebalan protektif bermakna terhadap reinfeksi eksogen.Namun, reinfeksi telah dilaporkan di kedua HIV-negatif dan orang HIV-seropositif, meskipun insiden tidak diketahui. DNA fingerprinting pada isolat dipasangkan M tuberkulosis dari 17 pasien yang berulang kali memiliki kultur positif di sebuah rumah sakit tunggal di New York City menemukan 4 pasien telah memperoleh baru, virus yang tahan obat dari M tuberculosis melalui reinfeksi 13

eksogen,

mungkin

sebagai

akibat

dari

nosokomial

transmisi.

TB dapat terjadi pada awal perjalanan infeksi HIV dan seluruh tahap infeksi HIV. Risiko TB meningkat segera setelah terinfeksi HIV, dalam sebuah penelitian di Afrika Selatan penambang emas, risiko TB dua kali lipat selama tahun pertama setelah infeksi HIV Meskipun TB dapat menjadi manifestasi yang relatif awal infeksi HIV, itu. Penting untuk dicatat bahwa risiko pengembangan TB, dan infeksi disebarluaskan, meningkat sebagai jumlah CD4 menurun. Bahkan dengan pemulihan kekebalan yang efektif dengan ART, risiko TB umumnya tetap tinggi pada pasien yang terinfeksi HIV di atas risiko latar belakang dari populasi umum, bahkan pada jumlah CD4 tinggi.

Presentasi TB juga dipengaruhi oleh tingkat imunosupresi terkait HIV. Pada pasien dengan jumlah CD4> 350 sel / uL, presentasi klinis dan radiografi mirip dengan pasien tanpa infeksi HIV. Namun, karena kemajuan imunosupresi, presentasi radiografi menjadi kurang khas dan luar paru dan disebarluaskan penyakit menjadi lebih umum. Dalam beberapa penelitian pasien terinfeksi HIV dengan TB paru, jumlah CD4 rata-rata adalah> 300 sel / uL. Namun, pada pasien dengan keterlibatan ekstrapulmoner terutama atau penyakit disebarluaskan, jumlah CD4 mungkin jauh lebih rendah.

Diagnosis

TB

dengan

HIV234

Membuat diagnosis TB pada orang yang terinfeksi HIV dapat menantang. Pasien HIV memiliki tingkat lebih tinggi dahak penyakit BTA-negatif. BTA-negatif, TB biakan-positif lebih umum dan lebih sering terjadi dengan penekanan kekebalan lanjut. Tingkat penyakit BTA-negatif AFB bervariasi tetapi telah dilaporkan setinggi 66%. Secara umum, tingkat BTA positif berkorelasi dengan tingkat penyakit radiografi. Sebagai contoh, pasien dengan lesi kavitas disebabkan oleh TB aktif akan lebih sering memiliki hasil BTA positif, sedangkan hasil BTA negatif pada pasien dengan penyakit minimal pada rontgen dada tidak akan luar biasa, dan tidak akan mengesampingkan TB aktif. Namun, pada pasien terinfeksi HIV, hasil tes yang positif dapat dilihat dengan bukti radiografi relatif sedikit. Diagnosis TB pada infeksi HIV juga dibuat lebih sulit oleh tingginya tingkat penyakit paru dan kebutuhan untuk membedakan TB dari komplikasi infeksi dan neoplastik lainnya HIV.

Skrining

Gejala

Alat skrining berdasarkan gejala yang utilitas terbatas dalam menetapkan diagnosis TB pada orang yang terinfeksi HIV, mengingat banyak komplikasi infeksi HIV yang dapat 14

menyebabkan gejala dan beragam manifestasi penyakit TB pada pasien terinfeksi HIV. Dalam sebuah penelitian, kehadiran batuk setiap durasi, demam durasi apapun, atau berkeringat di malam hari berlangsung 3 minggu atau lebih dalam 4 minggu sebelumnya adalah 93% sensitif untuk TB, tetapi hanya 36% yang spesifik. Namun, penggunaan layar gejala ditargetkan dapat membantu untuk mengecualikan diagnosis TB pada pasien terinfeksi HIV yang memulai ART atau isoniazid (INH) pengobatan untuk infeksi TB laten. Satu metaanalisis menunjukkan bahwa tidak adanya demam, keringat malam, penurunan berat badan, batuk dan durasi setiap memiliki 97,7% nilai prediksi negatif untuk mengecualikan infeksi TB aktif. Namun, infeksi TB subklinis asimtomatik telah dijelaskan, terutama di lokasi-lokasi dengan prevalensi TB tinggi, ini akan terjawab dengan skrining gejala saja.

BTA

dan

Budaya

Disarankan bahwa setidaknya 2 sampel dahak dikumpulkan untuk BTA dan budaya pada orang yang diduga TB paru. Incremental hasil dari dahak ketiga BTA terbatas, serendah 2% dalam satu studi. Mengingat tingginya tingkat penyakit BTA-BTA negatif, budaya dapat menjadi penting untuk mengkonfirmasi diagnosis HIV. Dalam satu seri, penggunaan 1 berbasis kaldu mikobakteri Pertumbuhan Indikator Tabung (MGIT) budaya diidentifikasi 71% kasus TB, dan penggunaan 3 MGIT budaya telah hasil tertinggi dari strategi dievaluasi, mengidentifikasi 98% kasus TB. Dalam hal hasil tambahan, budaya MGIT kedua mengidentifikasi kasus TB 17% lebih, sedangkan budaya MGIT ketiga telah menghasilkan kasus 10% lebih dari budaya kedua.Ketika spesimen sputum ekspektorasi adalah BTA negatif, evaluasi lebih lanjut dapat diindikasikan . Bronkoskopi dengan bronchoalveolar lavage dan biopsi transbronkial mungkin berguna dalam evaluasi orang dengan kelainan foto toraks citra ketika hasil dahak negatif. Dalam pengaturan ini, diagnosis dugaan cepat TB, berdasarkan histologi dan BTA spesimen diperoleh dengan bronkoskopi, dapat dibuat dalam 30-40% individu, yaitu mirip dengan hasil bronkoskopi dalam kasus terinfeksi HIV dengan BTAnegatif TB paru.

Kultur positif untuk M tuberkulosis memberikan diagnosis definitif TB. Namun, sekitar 15% kasus TB yang dilaporkan adalah budaya negatif, tidak ada data yang tersedia untuk kasus-kasus yang terinfeksi HIV.

PENGUJIAN

CEPAT

UNTUK

TB

Asam amplifikasi (NAA) tes nukleat mendeteksi sekuens asam nukleat yang unik bagi organisme di kompleks TB M, memungkinkan untuk diagnosis cepat. Hanya 1 test 15

NAA disetujui saat ini oleh US Food and Drug Administration (FDA), yang Amplified Mycobacterium Tuberculosis Tes Langsung (MTD, Gen-Probe), untuk digunakan dalam spesimen pernafasan dari pasien yang belum pernah diobati untuk TB. Tes MTD telah disetujui untuk digunakan dalam sampel BTA positif atau BTA-negatif. Pada tahun 2010, CDC menerbitkan algoritma disarankan untuk digunakan dan interpretasi hasil tes NAA. Pedoman ini merekomendasikan pengujian NAA pada "setidaknya satu spesimen pernafasan dari setiap pasien dengan tanda dan gejala TB paru untuk siapa diagnosis TB sedang dipertimbangkan namun belum ditetapkan, dan untuk siapa hasil tes akan mengubah manajemen kasus atau kegiatan pengendalian TB. " Meskipun itu rekomendasi untuk meluasnya penggunaan pengujian NAA dalam evaluasi kasus TB yang dicurigai di Amerika Serikat, akses ke pengujian sering dibatasi oleh biaya, ketersediaan, dan lembaga pengendalian TB lokal, yang sering membatasi penggunaan pada spesimen BTA positif. Tes NAA merupakan tambahan penting untuk armamentarium kami alat diagnostik, tetapi mereka tidak menggantikan BTA, budaya, atau, yang lebih penting, penilaian klinis.

Tes TB cepat lain yang tersedia di luar Amerika Serikat termasuk garis penyelidikan tes, Xpert MTB / RIF, dan lipoarabinomannan kemih (LAM). The Xpert MTB / RIF telah kepentingan tertentu, seperti mengidentifikasi ada atau tidaknya TB serta adanya resistensi rifampisin, yang merupakan proxy untuk MDRTB, dalam waktu 2 jam. The Xpert MTB / RIF adalah reaksi mandiri polymerase chain (PCR) platform yang memerlukan keahlian teknis minimal dan memungkinkan untuk evaluasi dahak yang telah diolah (yaitu, setelah pencernaan, dekontaminasi), dan beberapa spesimen paru. Dalam Pengaturan TB-endemik, sensitivitas Xpert MTB / RIF uji dalam pengujian sampel dahak tunggal adalah sekitar 98% untuk AFB spesimen BTA positif dan 72-75% untuk BTA-negatif spesimen, dengan spesifisitas 98%. Sensitivitas Xpert MTB / RIF di AFB pasien BTA-negatif meningkat menjadi 90% dengan pengujian 3 sampel dahak. Data bervariasi pada dampak HIV pada kinerja tes Xpert MTB / RIF,. infeksi HIV dikaitkan dengan lebih BTA-negatif dan penyakit paucibacillary, dan Xpert MTB / RIF kurang sensitif dengan sampel BTA-negatif. Yang dikhawatirkan, beberapa studi telah menunjukkan kecenderungan berkurangnya sensitifitas di terinfeksi HIV, penderita BTA BTA positif , ini membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Xpert MTB / RIF saat ini tidak disetujui oleh FDA.

Pengujian LAM urin adalah tes point-of-perawatan yang benar, dengan dipstick lateral aliran yang dapat dicelupkan ke dalam urin pasien, dan memerlukan keahlian teknis minimal untuk memproses. LAM pengujian tampaknya tampil lebih baik pada pasien 16

dengan infeksi HIV dibanding mereka yang tanpa HIV, terutama pada mereka dengan jumlah CD4 <50 sel / uL, yang sebagian mungkin disebabkan oleh tingkat yang lebih tinggi TB disebarluaskan pada populasi itu. Sensitivitas keseluruhan pengujian LAM kemih pada pasien TB biakan-positif dengan infeksi HIV rendah (40-60%), tetapi meningkat menjadi 67-85% pada mereka dengan jumlah CD4 <50 sel / uL. Spesifisitas telah dilaporkan sebagai 99-100% pada infeksi HIV. Mengingat sensitivitas terbatas, LAM urin telah diusulkan sebagai "aturan dalam" tes tetapi tampaknya tidak memadai sebagai berdiri sendiri "menyingkirkan" tes untuk TB. OBAT ANTI TUBERKULOSIS ( OAT )6 Obat yang dipakai 1. Jenis obat lini pertama adalah INH Rimfapisin Pirazinamid Etambutol Streptomisin

2. Jenis obat lini kedua adalah Kanamisin Kapreomisin Amikasin Kuinolon Sikloserin Etionamid/protionamid Para-Amino Salisilat(PAS)

PENGOBATAN OAT PADA TB HIV6 : 1. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS 2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat 3. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit 4. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril

17

5. Desensitisasi obat ( INH , rifampizin ) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati 6. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan,selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorsi obat.Pada pasien HIV/AIDS terdapat kolerasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum.

INTERAKSI OBAT TB DENGAN ANTI RETROVIRUS ( ARV ) Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan

kemungkinan terjadinya efek toksik OAT Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleotida kecuali didanosin ( ddl ) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OATY karena bersifat sebagai butterv antasida Interaksi dengan OAT golongan nonnukleotida dan inhibitor protease . Rimfapisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rimfapisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 37% tetapi saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan Pasien dengan koiinfeksi TB-HIV segera diberikan OAT dan pemberian ARV dalam 8 minggu pemberian OAT tanpa mempertimbangkan kadar CD4 Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis kotrimoksasol dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT.

PILIHAN PADUAN PENGOBATAN ARV PADA ODHA DENGAN TB Lini Pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV 2 NRTI + NVP Ganti dengan 2 NRTI + EFV atau ganti dengan 2 NRTI+LPV/r Lini kedua 2 NRTI + PI Ganti ke atau teruskan (bila sementara menggunakan

)paduan mengandung LPV/r

18

Tabel 9 Efek samping OAT atau ARV dan penyebabnya. KEMUNGKINAN EFEK SAMPING PENYEBAB

OAT Alergi ( kulit ) Pirazinamid INH Mual muntah Pirazinamid INH Hepatitid imbas onat Pirazinamid INH Leukopenia rifampisin ,rifampisin, zidovudin

ARV ,rifampisin, Nevirapin,efsvirens

,rifampisin, Nevirspin golongsn protease inhibitor zidovudin

Selain efek samping obat yang perlu diperhatikan pada ODHS dengan TB adalah kemungkinan resistensi terhadap OAT.karena itu tes resistensi BTA dilakukan pada ODHA yang mengalami TB.

19

BAB III KESIMPULAN


Tuberkulosis merupakan salah satu Infeksi oportunistik tersering pada ODHA di Indonesia.Infeksi HIV akan memudahkan terjadinya Infeksi mycobacterium tuberculosis. ODHA mempunyai resiko lebih besar menderita TB dibandingkan non HIV dan TB merupakan penyebab kematian tersering. Pengobatan koinfeksi HIV-TB aktif ditunjukan untuk menjamin terapi yang lengkap.Prioritas utama pada terapi TB baru disusul pemberian ARV . Pengobatan TBHIV diberikan sama seperti pasien TB yang tidak mengalami HIV. Pedoman pemberian pengobatan ARV pada koinfeksi HIV-TB segera diberikan OAT dan pemberian ARV dalam 8 minggu pemberian OAT tanpa mempertimbangkan CD4 .

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Nasrodudin . HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler klinis dan sosial . Jakarta . Airlangga University Press . hal 11-43 & 177-191. 2007 2. World Health Organization. Rapid Advice . Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescents . 2009. 3. World Health Organization. Global Tuberculosis Control. WHO Report 2011 4. World Health Organization. Global Tuberculosis Control: Surveillance, Planning, Finance. 2008. 5. Suthar AB, Lawn SD, del Amo J, et al. Antiretroviral therapy for prevention of tuberculosis in adults with HIV: a systematic review and meta-analysis. PLoS Med. 2012 Jul;9(7):e1001270. doi: 10.1371/journal.pmed.1001270. 6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia . hal.20-45 . 2011

21

You might also like