Professional Documents
Culture Documents
Mahasiswa DEA Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris
Sekolah
Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS)
Centre Asie du Sud-Est (CASE)
Bureu 732, 54 Bd. Raspail 75006, Paris, France.
Indonesia
Cibening RT. 007 RW. 03 No. 9
Bintara-Jaya Bekasi Barat 17136 Bekasi
Telepon (62-21) 864 53 11
Faks (62-21) 864 54 54
O ó ¡Î0 « !$ # Ç ` » u H ÷ q § 9 $ # É O Ï m § 9 $ #
Hari raya idul fitri merupakan pintu menuju fitrah kemanusiaan yang sesungguhnya.
Mulai malam takbiran hingga menjelang salat hari raya pada pagi hari ini 1 Syawal kita
mengucapkan kalimat takbir, tahmid, dan tahlil. Dengan takbir, Allâhu Akbar, akan memupus
ego kemanusiaan, ego-kekuasaan, ego-kekayaan. Dengan tahmid, Alhamdulillâh, akan
memupus rasa pamrih pada sesama manusia. Dan dengan tahlil, lâ ilâha illa Allâhu, akan
menggiring manusia pada yang Satu, yaitu Allah swt. agar berkenan menghapus salah dan
dosa pada-Nya. Sungguh hari raya idul fitri mengandung nilai rohani yang agung.
gabungan dari tiga unsur yaitu: benar, baik, dan indah. Sehingga seorang yang ber-idul fitri
dalam arti “kembali ke kesuciannya” akan selalu berbuat yang baik, benar, dan indah. Bahkan
lewat kesucian jiwanya itu, ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif, akan
menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan, dan keburukan orang lain. Kalaupun itu terlihat,
ia selalu mencari sisi positifnya dalam sikap negatif tersebut. Dan kalaupun tidak
diketemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada yang melakukan
kesalahan (Shihab:1997). Oleh karena itu, sesungguhnya, pada hari raya Idul Fitri ini, kita
dituntut untuk mampu menunjukan nilai kemanusiaan kita masing-masing “in optima forma”
dalam bentuk yang setinggi-tingginya, yaitu ihsan (Madjid:1995) sebagaimana firman Allah
swt:
ª ! $ # u r = Ï tä úüÏ Z Å ¡ó sß Jø9 $ # ÇÊ ÌÍ »
“...Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan“ (QS. Alu-’Imrân/3:134).
Dengan demikian, idul fitri bermakna “kembali kepada kesucian kita.“ Lalu, kesucian
apakah yang kembali pada hari ini? Paling tidak ada 2 kesucian atau fitrah yang kembali pada
hari ini, yaitu fitrah asal atau (fitrah primordial) dan fitrah persamaan (fitrah egalitarian).
Fitrah pertama adalah fitrah asal, atau fitrah kelahiran, maksudnya bahwa setiap
manusia yang lahir adalah suci, sebagaimana termaktub dalam hadis Nabi:
ó O Ï % r ' s ù y 7 y g ô _ u r » û ï Ï e $ # Ï 9 $ Z ÿÏ Z y m 4 | N t ô ÜÏ ù « ! $ #
ÓÉ L© 9 $ # t s Ü s ù } ¨$¨Z 9 $ # $ p k ö n = t æ 4 w @ Ï ö7 s ?
» ,ù= y ÜÏ 9 « ! $ # 4 Ï 9 º s Úú ï Ï e $ ! $ # Þ O Í h s )ø9 $ # Æ Å 3 » s 9 u r
u s Y ò 2 r & Ĩ$¨Z 9 $ # w t b q ß J n = ô è t Ç Ì É »
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Al-
Rûm/30:30)”.
Sejak dari kehidupan manusia dalam alam ruhani, ia berjanji untuk mengakui Tuhan
Yang Maka Esa sebagai pusat orientasi hidupnya, mendaku Allah sebagai tuhannya. Hasilnya
ialah kelahiran manusia dalam keadaan suci (fitrah), dan diperkirakan ia akan tumbuh dalam
kesucian itu jika seandainya tidak ada pengaruh lingkungan yang buruk. Kesucian itu
bersemayam dalam hati nurani (nurâni, dari bahasa Arab yang berarti bercahaya terang), yang
mendorong untuk senantiasa mencari, berpihak dan berbuat yang baik dan benar (sifat
hanafiyyah) (Madjid: 1995;192-94).
Dalam kondisi inilah manusia telah mengalami kondisi aslinya, yakni manusia fitrah
yang akan selalu abadi. Pada hari inilah, nilai kesucian itu terlahir kembali. Sebab barangkali
selama ini kita yang wujudnya manusia, setelah menjalani kehidupan, sifat-sifat kita sudah
berubah sebagai makhluk yang lain, bukan lagi sebagai makhluk yang disebut manusia. Kita
telah jatuh berbuat dosa, kita menjadi bintang, kita tidak lagi memiliki rasa kemanusiaan,
seperti harimau, kita selalu siap memakan orang lain. Bila kita pedagang kita bangga kalau
bisa menyauk keuntungan dengan menipu, memperdayakan, atau menjatuhkan orang lain.
Bila kita atasan, kita bahagia jika kita bisa merampas hak bawahan, memungut hasil keringat
mereka, atau menakut-nakuti mereka supaya berkorban demi kesenangan kita. Bila kita hanya
pegawai kecil, kita tidak malu-malu mengorbankan iman kita demi sesuap nasi. Dengan
begitu idul fitri bisa jadi sangat kontekstual bila diartikan sebagai titik kesempurnaan
pengembaraan dan pencarian jati diri seseorang akan sifat-sifat kemanusiaannya yang sejati
(Rakhmat:1995). Maka dengan ber-idul Fitri dimaksudkan agar kita kembali seperti bayi yang
baru dilahirkan dari rahim ibu kita masing-masing.
Fitrah yang kedua adalah fitrah persamaan, yaitu kembalinya manusia kepada tataran
kesadaran fitrah perasamaan (egaliterianisme/musawa) sebagaimana termaktub dalam QS. Al-
Hujurât/49:13:
5
p k r'¯ » t â ¨$ ¨Z 9 $ # $ ¯ R Î ) /ä 3 » o Y ø) n = y z `Ï i B 9 x . s $
4 Ó s\ R é & u r öN ä 3 » o Y ù= y è y _u r $ \/q ã è ä © @ Í ¬ !$ t7 s % u r
(# þq è ùu $y è tG Ï 9 4 ¨b Î ) ö/ä 3 t B t ò 2 r& y YÏ ã «!$ #
öN ä 3 9 s )ø ?r& 4 ¨b Î ) © !$ # î LìÎ= tã × Î 7 y z ÇÊ Ì »
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
Manusia diciptakan sama, artinya kemuliaan seseorang bukan berdasarkan suku, ras,
dan derajat sosial, tetapi hanya ketakwaan yang membedakan manusia dihadapan Allah. Ayat
di atas mengandung nilai persamaan yang menegaskan ajaran menghormati sesama manusia
dalam semangat persamaan (egaliter), keadaban (civility), dan keadilan (justice). Faktor ini
semua merupakan dasar untuk sebuah masyarakat madani. Dalam membangun masyarakat
yang berperadaban itu, Rasulullah saw. melakukannya selama sepuluh tahun di Madinah.
Beliau membangun masyarkat adil, terbuka, dan demokratis dengan landasan takwa kepada
Allah swt. dan taat kepada ajaran-ajaran-Nya. Atas pertimbangan ajaran itulah Nabi saw.,
dalam rangka menegakkan masyarakat berperadaban (civil society), tidak pernah
membedakan antara “orang atas,” “orang bawah,” ataupun keluarga sendiri (Madjid:1995,
1998).
Warisan masyarakat madani yang berharga adalah nilai persamaan (egaliterianisme).
Nah, rasa persamaan itu dapat terhimpun kembali pada hari idul fitri yang suci ini. Dalam
semangat persamaan ini pula toleransi antarumat beragama harus dibangun dan dipelihara.
Seperti Mîtsaq al-Madinah (Piagam Madinah) yang didalamnya menuntut perlakuan yang
sama antarumat beragama.
Berhariraya idul fitri juga berarti merayakan kembalinya sifat kemanusiaan manusia
yang setinggi-tingginya. Rasa cinta kasih dan kemurahan hati yang dibarengi dengan
menahan marah dan bersifat pemaaf harus menghiasi jiwa yang merayakannya. Sikap batin
inilah merupakan wujud nyata dari fitrah manusia yang ditetapkan oleh Allah terhadap sifat
asal manusia ketika diciptakan-Nya.
Dengan demikian fitrah persamaan ini akan mengurangi dan menghapus jurang
pemisah antara individu dan kelas-kelas sosial. Terwujudnya semua ini merupakan tanda-
tanda nyata dari sebuah peradaban. Suatu masyarakat yang melindungi hak-hak mereka yang
lemah (mustadh’afin), menghargai martabatnya, melindungi dan menghormati kebebasan
kaum perempuan, menghargai, dan menghormati sesama pemeluk agama (toleransi),
melindungi anak-anak, mengasihi, dan mencintai mereka.
Dengan kembalinya kedua fitrah ini, kita tegaskan kembali rasa kebersamaan untuk
menatap masa depan yang lebih cemerlang pada hari raya yang suci dan agung seperti
sekarang. Mari kita buang jauh-jauh rasa kebencian dan permusuhan yang telah
menimbulkan berbagai bencana kehidupan bangsa ini. Mari kita saling memaafkan di hari
yang fitri ini, sebagaimana firman Allah:
b Î) (# r ß ö6 è ? # · ö y z ÷ r r& ç n q àÿøé B ÷ r r& (# q àÿ÷ è s? ` tã
& ä þ q ß ¨ b Î*sù © !$ # t b % x . # v q àÿtã # · Ï s % ÇÊ Í Ò »
«Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu
kesalahan (orang lain), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Kuasa » (QS. al-
Nisâ/4:149).
Semoga dalam peringatan hari raya idul fitri kali ini dapat mempererat tali
persaudaraan kita yang terburai. Dengan hari raya idul fitri ini diharapkan dapat menjadikan
cermin untuk melihat diri kita, keluarga kita, lingkungan kita, dan terutama negara kita agar
dapat memperbaiki semua aspek sehingga semuanya menjadi lebih baik.
(Puisi anak-anak dari Rudiawan Triwidodo yang dikutip Gus Dur dalam sebuah kesempatan)