You are on page 1of 6

1

Meraih Kembali Fitrah Kemanusiaan yang Hilang


Khutbah Idul Fitri 1425 H. di KBRI Brussels [Bruxelles] Belgia

Oleh: Ayang Utriza NWAY, S.Ag.

Mahasiswa DEA Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris

Sekolah
Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS)
Centre Asie du Sud-Est (CASE)
Bureu 732, 54 Bd. Raspail 75006, Paris, France.

Indonesia
Cibening RT. 007 RW. 03 No. 9
Bintara-Jaya Bekasi Barat 17136 Bekasi
Telepon (62-21) 864 53 11
Faks (62-21) 864 54 54

O ó ¡Î0 « !$ # Ç ` » u H ÷ q §  9 $ # É O Ï m §  9 $ #

Allahu akbar, Allahu akbar wa Lillahil Hamd


Kaum muslimin dan muslimat yang dimuliakan Allah swt.

Pesan Moral Ibadah Puasa


Pada hari ini kita merayakan hari kemenangan, yaitu idul fitri. Sebelum memasuki hari
yang agung ini, kita menjalankan ibadah puasa selama 1 bulan penuh. Bulan puasa merupakan
kawah candradimuka bagi setiap muslim. Ia adalah bulan pelatihan jiwa. Puasa mengajak kita
untuk merasakan lapar yang biasa dirasakan orang-orang papah dan miskin.
Hawa nafsumu adalah segala induk berhala, kata Jalaluddin Rumi. Puasa mengajak
kita menghancurkan berhala hawa nafsu ini. Puasa menyuruh Kita memperhatikan apa yang
kita makan. Jangan kita makan sembarang makanan. Jangan makan dari uang yang berasal
harta haram hasil dari tipu-tipu dan korupsi. Jangan jadikan perut kita kuburan orang-orang
miskin. Jangan biarkan dahaga kita meraup keuntungan dengan cara menyengsarakan rakyat.
Kekang keinginan kita menindas orang lain. Puasa mengingatkan kita untuk berhati-hati
dengan apa yang kita makan dan dari mana muasal uang yang kita belanjakan itu.
Puasa mengundang kita agar dapat mengendalikan diri. Suatu ketika Rasulullah
dilaporkan bahwa ada seorang perempuan yang selalu puasa di siang hari dan salat tahajud
ketika malam (tashûmu nahâran wa tushallî layaliyan), tapi ia sering menyakiti hati
tetangganya. Rasul mengatakan bahwa tempat perempuan itu di neraka. Puasa tidak
mempunyai arti apapun bagi perempuan itu, karena ia tidak menangkap pesan moral ibadah
puasa: kendalikan dirimu! Puasa harus dapat mengendalikan apa yang keluar dari mulut Kita.
Membicarakan keburukan orang lain, mengadu domba, memberikan sumpah palsu dan
berbohong adalah prilaku yang membatalkan puasa. Kata-kata yang keluar dari mereka yang
berpuasa adalah kata-kata bijak dan bermanfaat.
Puasa juga berarti menghadirkan Tuhan dalam diri kita. Kita tidak akan makan dan
minum, walaupun haus dan lapar dan di tempat yang tak seorang pun melihat, karena kita
tahu bahwa Allah mengawasi semua prilaku kita. Dengan kesadaran bahwa Allah selalu
mengawasi kita, maka tujuan yang ingin dicapai dari puasa yaitu ketakwaan akan tercapai.
Hasan al-Bashri menggambarkan seorang yang memiliki ketakwaan yang sebenar-benarnya
adalah, antara lain: semakin berkuasa, semakin bijak dan tidak mengambil yang bukan haknya
dan tidak menahan hak orang lain. Karena itu puasa menjadi barometer dan garis demarkasi
yang jelas antara yang mengaku dirinya Muslim dan beriman. Ia juga sebagai wadah penguji
antara yang orisinil dan imitasi. Inilah pesan moral puasa.
Dengan puasa ini diharapkan menjadi rentetan purna-praktis keberagamaan sekaligus
sebagai jenjang-jenjang transendensi yang diyakini sebagai wasilah (penyambung) bagi
manusia untuk menuju predikat taqwa (la’allakum tattaqun). Titik puncak dan kristalisasi
kesalehan Muslim dari berpuasa itu adalah masuknya hari raya Idul Fitri.

Allahu akbar, Allahu akbar wa Lillahil Hamd


Bapak, Ibu, Saudaraku yang baik hatinya,

Hari raya idul fitri merupakan pintu menuju fitrah kemanusiaan yang sesungguhnya.
Mulai malam takbiran hingga menjelang salat hari raya pada pagi hari ini 1 Syawal kita
mengucapkan kalimat takbir, tahmid, dan tahlil. Dengan takbir, Allâhu Akbar, akan memupus
ego kemanusiaan, ego-kekuasaan, ego-kekayaan. Dengan tahmid, Alhamdulillâh, akan
memupus rasa pamrih pada sesama manusia. Dan dengan tahlil, lâ ilâha illa Allâhu, akan
menggiring manusia pada yang Satu, yaitu Allah swt. agar berkenan menghapus salah dan
dosa pada-Nya. Sungguh hari raya idul fitri mengandung nilai rohani yang agung.

Menuju fitrah kemanusiaan


Makna Idul fitri adalah kembali pada kesucian. Id berarti kembali, sementara fitri
berasal dari kata kerja fatara-yafturu yantg berarti suci. Kesucian (fitrah) ini merupakan
3

gabungan dari tiga unsur yaitu: benar, baik, dan indah. Sehingga seorang yang ber-idul fitri
dalam arti “kembali ke kesuciannya” akan selalu berbuat yang baik, benar, dan indah. Bahkan
lewat kesucian jiwanya itu, ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif, akan
menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan, dan keburukan orang lain. Kalaupun itu terlihat,
ia selalu mencari sisi positifnya dalam sikap negatif tersebut. Dan kalaupun tidak
diketemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada yang melakukan
kesalahan (Shihab:1997). Oleh karena itu, sesungguhnya, pada hari raya Idul Fitri ini, kita
dituntut untuk mampu menunjukan nilai kemanusiaan kita masing-masing “in optima forma”
dalam bentuk yang setinggi-tingginya, yaitu ihsan (Madjid:1995) sebagaimana firman Allah
swt:
ª ! $ # u r  = Ï tä † š úüÏ Z Å ¡ó sß Jø9 $ # ÇÊ ÌÍ »
“...Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan“ (QS. Alu-’Imrân/3:134).
Dengan demikian, idul fitri bermakna “kembali kepada kesucian kita.“ Lalu, kesucian
apakah yang kembali pada hari ini? Paling tidak ada 2 kesucian atau fitrah yang kembali pada
hari ini, yaitu fitrah asal atau (fitrah primordial) dan fitrah persamaan (fitrah egalitarian).
Fitrah pertama adalah fitrah asal, atau fitrah kelahiran, maksudnya bahwa setiap
manusia yang lahir adalah suci, sebagaimana termaktub dalam hadis Nabi:

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitri)…”


Fitrah adalah sesuatu yang sesuai dengan asal kejadian alam dan manusia, ketika mula
pertama diciptakan Allah. Fitrah adalah kesucian yang bersemayam di dalam diri kita sejak
kita diciptakan, saat ibu mengandung, sebagaimana firman Allah swt:

ó O Ï % r ' s ù y 7 y g ô _ u r » û ï Ï e $ # Ï 9 $ Z ÿ‹Ï Z y m 4 | N t  ô ÜÏ ù « ! $ #
ÓÉ L© 9 $ # t  s Ü s ù } ¨$¨Z 9 $ # $ p k öŽ n = t æ 4 Ÿ w Ÿ @ ƒ Ï ‰ ö7 s ?
» ,ù= y ÜÏ 9 « ! $ # 4 š  Ï 9 º s Œ Úú ï Ï e $ ! $ # Þ O Í h Š s )ø9 $ # Æ Å 3 » s 9 u r
u Ž s Y ò 2 r & Ĩ$¨Z 9 $ # Ÿ w t b q ß J n = ô è t ƒ Ç Ì É »
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Al-
Rûm/30:30)”.

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang terikat dengan “perjanjian


asalnya/primodialnya” sebagai makhluk yang sadar kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan
sebagaimana firman Allah swt:
øŒ Î) u r x ‹ s { r & y 7 • / u ‘ . `Ï B ûÓÍ _ t / t P y Š # u ä `Ï B ó O Ï d Í ‘q ß g àß
ö N å k tJƒ Í h ‘ è Œ ö N è d y ‰ p k ô r& u r # ’n ? tã ö N Í k Å ¦ à ÿR r& à M ó ¡s9 r&
ö N ä 3 În /t Î / ( (# q ä 9 $ s% 4 ’n ? t/ ¡ !$ tR ô ‰ Î g x © ¡ cr& (# q ä 9 q à )s?
tP ö q tƒ Ï p y J » u Š É ) ø 9 $ # $ ¯ R Î ) $ ¨ Z à 2 ô `tã # x ‹» y d tû, Î # Ï ÿ» x î ÇÊÐ Ë »
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini
Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS.
Al-‘A’râf/7:172).

Sejak dari kehidupan manusia dalam alam ruhani, ia berjanji untuk mengakui Tuhan
Yang Maka Esa sebagai pusat orientasi hidupnya, mendaku Allah sebagai tuhannya. Hasilnya
ialah kelahiran manusia dalam keadaan suci (fitrah), dan diperkirakan ia akan tumbuh dalam
kesucian itu jika seandainya tidak ada pengaruh lingkungan yang buruk. Kesucian itu
bersemayam dalam hati nurani (nurâni, dari bahasa Arab yang berarti bercahaya terang), yang
mendorong untuk senantiasa mencari, berpihak dan berbuat yang baik dan benar (sifat
hanafiyyah) (Madjid: 1995;192-94).
Dalam kondisi inilah manusia telah mengalami kondisi aslinya, yakni manusia fitrah
yang akan selalu abadi. Pada hari inilah, nilai kesucian itu terlahir kembali. Sebab barangkali
selama ini kita yang wujudnya manusia, setelah menjalani kehidupan, sifat-sifat kita sudah
berubah sebagai makhluk yang lain, bukan lagi sebagai makhluk yang disebut manusia. Kita
telah jatuh berbuat dosa, kita menjadi bintang, kita tidak lagi memiliki rasa kemanusiaan,
seperti harimau, kita selalu siap memakan orang lain. Bila kita pedagang kita bangga kalau
bisa menyauk keuntungan dengan menipu, memperdayakan, atau menjatuhkan orang lain.
Bila kita atasan, kita bahagia jika kita bisa merampas hak bawahan, memungut hasil keringat
mereka, atau menakut-nakuti mereka supaya berkorban demi kesenangan kita. Bila kita hanya
pegawai kecil, kita tidak malu-malu mengorbankan iman kita demi sesuap nasi. Dengan
begitu idul fitri bisa jadi sangat kontekstual bila diartikan sebagai titik kesempurnaan
pengembaraan dan pencarian jati diri seseorang akan sifat-sifat kemanusiaannya yang sejati
(Rakhmat:1995). Maka dengan ber-idul Fitri dimaksudkan agar kita kembali seperti bayi yang
baru dilahirkan dari rahim ibu kita masing-masing.

Allahu akbar, Allahu akbar wa Lillahil Hamd


Ayah, Bunda, Hadirin yang dikasihi Allah,

Fitrah yang kedua adalah fitrah persamaan, yaitu kembalinya manusia kepada tataran
kesadaran fitrah perasamaan (egaliterianisme/musawa) sebagaimana termaktub dalam QS. Al-
Hujurât/49:13:
5

p k š‰ r'¯ » t ƒ â ¨$ ¨Z 9 $ # $ ¯ R Î ) /ä 3 » o Y ø) n = y z `Ï i B 9  x . sŒ $
4 Ó s\ R é & u r öN ä 3 » o Y ù= y è y _u r $ \/q ã è ä © Ÿ @ Í ¬ !$ t7 s % u r
(# þq è ùu ‘$y è tG Ï 9 4 ¨b Î ) ö/ä 3 t B t ò 2 r& y‰ YÏ ã «!$ #
öN ä 3 9 s )ø ?r& 4 ¨b Î ) © !$ # î LìÎ= tã × Ž  Î 7 y z ÇÊ Ì »
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”

Manusia diciptakan sama, artinya kemuliaan seseorang bukan berdasarkan suku, ras,
dan derajat sosial, tetapi hanya ketakwaan yang membedakan manusia dihadapan Allah. Ayat
di atas mengandung nilai persamaan yang menegaskan ajaran menghormati sesama manusia
dalam semangat persamaan (egaliter), keadaban (civility), dan keadilan (justice). Faktor ini
semua merupakan dasar untuk sebuah masyarakat madani. Dalam membangun masyarakat
yang berperadaban itu, Rasulullah saw. melakukannya selama sepuluh tahun di Madinah.
Beliau membangun masyarkat adil, terbuka, dan demokratis dengan landasan takwa kepada
Allah swt. dan taat kepada ajaran-ajaran-Nya. Atas pertimbangan ajaran itulah Nabi saw.,
dalam rangka menegakkan masyarakat berperadaban (civil society), tidak pernah
membedakan antara “orang atas,” “orang bawah,” ataupun keluarga sendiri (Madjid:1995,
1998).
Warisan masyarakat madani yang berharga adalah nilai persamaan (egaliterianisme).
Nah, rasa persamaan itu dapat terhimpun kembali pada hari idul fitri yang suci ini. Dalam
semangat persamaan ini pula toleransi antarumat beragama harus dibangun dan dipelihara.
Seperti Mîtsaq al-Madinah (Piagam Madinah) yang didalamnya menuntut perlakuan yang
sama antarumat beragama.
Berhariraya idul fitri juga berarti merayakan kembalinya sifat kemanusiaan manusia
yang setinggi-tingginya. Rasa cinta kasih dan kemurahan hati yang dibarengi dengan
menahan marah dan bersifat pemaaf harus menghiasi jiwa yang merayakannya. Sikap batin
inilah merupakan wujud nyata dari fitrah manusia yang ditetapkan oleh Allah terhadap sifat
asal manusia ketika diciptakan-Nya.
Dengan demikian fitrah persamaan ini akan mengurangi dan menghapus jurang
pemisah antara individu dan kelas-kelas sosial. Terwujudnya semua ini merupakan tanda-
tanda nyata dari sebuah peradaban. Suatu masyarakat yang melindungi hak-hak mereka yang
lemah (mustadh’afin), menghargai martabatnya, melindungi dan menghormati kebebasan
kaum perempuan, menghargai, dan menghormati sesama pemeluk agama (toleransi),
melindungi anak-anak, mengasihi, dan mencintai mereka.
Dengan kembalinya kedua fitrah ini, kita tegaskan kembali rasa kebersamaan untuk
menatap masa depan yang lebih cemerlang pada hari raya yang suci dan agung seperti
sekarang. Mari kita buang jauh-jauh rasa kebencian dan permusuhan yang telah
menimbulkan berbagai bencana kehidupan bangsa ini. Mari kita saling memaafkan di hari
yang fitri ini, sebagaimana firman Allah:
b Î) (# r ß ‰ ö6 è ? # ·Ž ö  y z ÷ r r& ç n q àÿøƒé B ÷ r r& (# q àÿ÷ è s? ` tã
& ä þ q ß ™ ¨ b Î*sù © !$ # t b % x . # v q àÿtã # · ƒ Ï ‰ s % ÇÊ Í Ò »
«Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu
kesalahan (orang lain), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Kuasa » (QS. al-
Nisâ/4:149).

Semoga dalam peringatan hari raya idul fitri kali ini dapat mempererat tali
persaudaraan kita yang terburai. Dengan hari raya idul fitri ini diharapkan dapat menjadikan
cermin untuk melihat diri kita, keluarga kita, lingkungan kita, dan terutama negara kita agar
dapat memperbaiki semua aspek sehingga semuanya menjadi lebih baik.

Agar tersedia tangis kami dengan wajar


Sebab hampir terlupa bagaimana kami harus menangis dengan benar
Mensyukuri berkat dan rakhmat-Mu yang melimpah di luar sadar kami
Agar basah sumur-sumur kami
Tersiram air kasih sayang memancar
Dari sumber ke-Maha-an-Mu
Amin

(Puisi anak-anak dari Rudiawan Triwidodo yang dikutip Gus Dur dalam sebuah kesempatan)

Allahu akbar, Allahu akbar wa Lillahil Hamd

Bârakallahu lî wa lakum fil qurânil ‘azhîm


wa nafa’aniî wa iyyâkum bimâ fîhi minal âyâti wa zikril hakim
Wa taqabballâhu minnî wa minkum tilâwatahu innahu huwas sami’ul ‘alîm
Fastagfirûhu faya fawzal mustaghfirîn wa yâ najât tâibîn

You might also like