You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Zaman ini berciri khas dengan adanya peningkatan kegiatan transportasi yang serba cepat, baik lewat udara, laut, maupun darat. Dengan berkembangnya industri yang kompleks dan adanya berbagai macam olahraga, baik yang kompetetif maupun untuk rekreasi, membuat zaman ini identik dengan trauma atau injury .Angka harapan hidup yang tinggi juga berkontribusi kepada kejadian trauma dengan meningkatkan populasi usia tua yang memiliki kemampuan koordinasi yang berkurang sehingga sering menyebabkan kecelakaan. Oleh karena hal-hal tersebut kejadian trauma sangat tinggi dan terus meningkat. Di kawasan Amerika Utara trauma menjadi penyebab kematian tertinggi, terutama pada usia 1-44 tahun, dan menjadi penyebab kematian ke tiga tertinggi pada semua usia .Dari semua trauma yang terjadi pada manusia dua per tiganya melibatkan sistem muskuloskeletal , termasuk patah tulang. Dari seluruh tempat tidur di rumah sakit di kawasan Amerika Utara 10% diisi oleh pasien trauma8

Trauma muskuloskletal jarang fatal, akan tetapi merupakan suatu keadaan serius karena menyebabkan penderitaan fisik yang berat, mental distress, dan kerugian waktu.Dapat dikatakan walaupun trauma muskuloskeletal memiliki mortalitas yang rendah, tetapi memiliki morbiditas yang tinggi.8

Di benua Amerika Utara saja trauma muskuloskeletal menghabiskan dana 160 milyar dollar untuk perawatannya per tahun7. Berdasarkan data kecelakaan Ditlantas Kota Jambi Pada tahun bulan Agustus Desember 2011dengan jumlah kecelakaan 256 insiden .yang mengalami luka-luka mencapai 114 dan yang meninggal mencapai 142.10

Berdasarkan Data Rekam medik tahun 2011 di RSUD Raden Mattaher Mengenai Fraktur tulang yakni sebanyak 233 kasus.yang terdiri dari Fraktur tulang dan muka 15 kasus.Fraktur leher,toraks atau panggul 15 kasus.Fraktur Paha 163.Fraktur tulang anggota lainnya 90 kasus.

1.2 Rumusan Masalah Bagaimana prevalensi kejadian Fraktur Tulang Panjang di rumah sakit raden mattaher Jambi

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1Tujuan Umum Mengetahui Prevalensi Kejadian Fraktur Tulang Panjang Di Rumah Sakit Raden Mattaher Jambi

1.3.2Tujuan Khusus 1. Mengetahui prevalensi kejadian fraktur tulang panjang terbuka berdasarkan derajat Gustillo-Anderson di rumah sakit raden mattaher. 2. Mengetahui prevalensi kejadian fraktur tulang panjang terbuka berdasarkan lokasi fraktur di Rumah Sakit Raden Mattaher 3. Mengetahui Prevalensi Kejadian Fraktur Tulang Panjang Terbuka Berdasarkan Usia Di Rumah Sakit Raden Mattaher

1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat Ilmiah 1. Menambah informasi dan pengetahuan kedokteran terutama di bidang kedokteran orthopaedi 2. Sebagai dasar penelitian berikutnya

1.4.2 Manfaat Praktis 1. Sebagai petunjuk bagi tenaga kesehatan Di Rumah Sakit Raden Mattaher untuk melakukan tindakan preventif

2. Sebagai acuan bagi tenaga kesehatan Di Rumah Sakit Raden Mattaher dalam menentukan perencanaan tindakan 3. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak manajemen rumah sakit dalam perencanaan unit gawat darurat rumah sakit.

1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti 1. Sebagai sarana penerapan ilmu yang telah dipelajari khususnya ilmu bedah orthopedi 2. Mengimplementasikan ilmu yang didapatkan terhadap permasalahan yan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tulang Tulang merupakan jaringan hidup yang mampu merubah strukturnya sebagai respon terhadap stress atau tekanan yang terjadi padanya. Seperti jaringan ikat yang lain, tulang teridiri ats sel, serat, dan matriks. Tulang menjadi keras akibat kalsifikasi dari matriks eksrtraseluler dan memiliki tingkat keelastisitas tertentu sehingga karena adanya serat-serat organik. Tulang memiliki fungsi protektif, sebagai contoh tulang tengkorak dan tulang belakang melindungi otak dan korda spinalis dari trauma; sternum dan tulang rusuk melindungi organ-organ di thoraks dan abdomen bagian atas. Tulang juga berfungsi sebagai tuas atau pengungkit seperti pada tulang panjang dan tempat penyimpanan garam kalsium. Dalam rongganya terdapat pula sumsum tulang .9

Terdapat dua bentuk tulang: cortical dan cancellous. Cortical bone tampak seperti sebuah massa solid; cancellous bone terdiri dari jaringan trabekula yang bercabang-cabang. Trabekula tersusun sebagaimana akan dapat menahan tegangan dan tekanan yang dapat terjadi pada tulang.9

Tulang dapat dikelompokkan berdasarkan bentuknya secara umum menjadi: tulang panjang (long bone), tulang pendek (short bone), tulang pipih (flat bones), tulang tidak teratur (irregular bones), tulang sesamoid (sesamoid bones). Tulang panjang adalah tulang yang panjangnya melebihi lebarnya. Tulang panjang akan dibahas lebih dalam di paragraf berikutnya. Tulang pendek berbentuk seperti kubus dan terdiri dari cancellous bone yang dilapisi cortical bone. Tulang pendek ditemukan di tangan dan kaki. Yang termasuk tulang pendek antara lain tulang talus dan kalkaneus. Tulang pipih mencakup tulang-tulang tengkorak seperti tulang frontal dan parietal, termasuk juga dalam kelompok ini

tulang scapula. 8 Terdiri dari dua bagian, yang pertama disebut tables, yang terdiri dari cortical bone pada lapisan dalam yang tipis dan lapisan luarnya. Lapisan luar dan lapisan dalam dari tables dipisahkan oleh lapisan cancellous bone yang disebut diploe. Tulang pelakang dan tulang panggul termasuk dalam kelompok tulang tidak beraturan. Tulang ini terdiri dari lapisan luar yang tipis yang terbuat dari cortical bone dan bag ian dalamnya terdiri dari cancellous bone. Tulang sesamoid adalah tulang berbentuk nodul kecil yang ditemukan pada tendon tertentu di tempat di mana tendon tersebut bergesekkan dengan permukaan tulang. Sebagian besar dari tulang sesamoid berada di dalam tendon, dan permukaan yang tidak merada dalam tendon dilapisi oleh tulang rawan. Tulang patella merupakan tulang sesamoid terbesar yang ada dalam tubuh.9

2.1.1Tulang Panjang

Seperti yang telah disebutkan pada paragraph

sebelumnya, dalam

paragraph ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang tulang panjang. Tulang panjang adalah tulang yang panjangnya melebihi lebarnya. Biasanya terdiri dari sebuah batang berbentuk tabung yang disebut diafisis dan sebuah epifsisi pada ujungujungnya. Pada masa pertumbuhan diafisis dari tulang panjang dipisahkan dari epifisis oleh sebuah epifisis tulang rawan. Bagian diafisi yang terletak berdekatan dengan epifisis cartilage disebut dengan metafisis. Bagian batang atau diafisis dari tulang panjang memiliki sebuah rongga sempit di bagian tengahnya yang berisi sumsum tulang. Pada saat anak-anak rongga tersebut berisi sumsum tulang merah yang perlahan-lahan berubah menjadi sumsum kuning saat dewasa. Bagian luar dari diafisis terdiri dari cortical bone yang dilapisi jaringan ikat yaitu periosteum. Bagian ujung dari tulang panjang, yaitu epifisis dan metafisis, terdiri dari cancellous bone yang dikelilingi oleh lapisan cortical bone yang tipis. Permukaan artikular dari ujung tulang panjang dilapisi oleh cartilage hialin. Tulang panjang ditemukan pada tungkai. Yang termasuk tulang panjang adalah femur, tibia, dan fibula dari paha 9 dan betis, humerus, radius, dan ulna dari lengan, serta metatarsal, metacarpal, dan phalanges dari kaki dan tangan. Tulang panjang pada kaki mencakup setengah dari tinggi manusia. Tulang panjang terutama tumbuh

akibat perpanjang diafisis. Pertumbuhan longitudinal dari tulang panjang merupakan hasil dari osifikasi endokondrial dari lempeng epifise. Pertumbuhan memanjang tulang distimulasi oleh growth hormone (GH) yang disekresikan lobus anterior dari glandula pituitary.9

2.2 Patah Tulang

1.Tranversal

2.Oblique

3.Spiral

4.Kompresi Pada tulang belakang

Fraktur atau Patah Tulang adalah terputusnya kontinuigas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna,dan dapat pula berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang clavikula atau radius distal patah.4

Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma,kekuatan,dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan patah tulang dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.4 Menurut Oswari E, (1993).2 patah tulang dapat terjadi akibat tiga hal:

1. Kekerasan langsung : Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. 2. Kekerasan tidak langsung : Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. 3. Kekerasan akibat tarikan otot : Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

Keragaman dan kekhasan dari setiap kejadian patah tulang membuat diperlukannya suatu pengelompokkan yang baku agar patah tulang yang terjadi dapat dideskripsikan secara akurat. Pendeskripsian ini penting secara klinis karena akan menunjukkan masalah klinis dan penganan yang akan dibutuhkan. Maka dari itu, sebuah patah tulang dideskripsikan berdasarkan lokasi, luasnya, hubungan

antara patahan tulang, hubungan patahan tulang dengan lingkungan luar, dan ada atau tidaknya komplikasi .8

1. Lokasi. Sebuah patah tulang dapat terjadi pada diafise, metafise, epifise, atau intra-artikuler.8 2. Luasnya. Sebuah patah tulang dapat terjadi lengkap atau tidak lengkap. Lengkap apabila tulang benar-benar patah menjadi dua fragmen atau lebih. Tak lengkap apabila tulang terpisah secara tak lengkap dan periosteum tetap menyatu.1 3. Bentuk. Patahan dapat bebentuk melintang, oblik, atau spiral. Dapat terdiri dari lebih dari dua fragmen patahan yang disebut patah tulang kominutif. Bentuk patahan terjadi sesuai dengan energi yang menyebabkan patah tulang seperti yang telah dijelaskan di atas.8 4. Hubungan antara patahan tulang. Patah tulang dapat bergeser ataupun tidak bergeser. Pergeseran yang terjadi dapat berupa aposisi, kesamping, ke depan, atau kebelakang; penjajaran; rotasi; atau berubahnya panjang.8 5. Hubungan patahan tulang dengan lingkungan luar. Jika kulit di atasnya masih utuh keadaan ini disebut patah tulang tertutup atau sederhana; kalau kulit atau salah satu dari rongga tubuh tertembus, keadaan ini disebut patah tulang terbuka atau compound, yang cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi .1 Patah tulang terbuka akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab berikutnya. 6. Ada atau tidaknya komplikasi. Sebuah patah tulang bisa tanpa komplikasi dan tetap tanpa komplikasi, dapat pula dengan komplikasi atau terjadi komplikasi. Komplikasi yang terjadi bisa local atau sistemik, dan dapat terjadi akibat trauma awal atau penanganannya.1

2.3 Patah Tulang Terbuka

Seperti telah dijelaskan di atas, salah satu pengklasifikasian patah tulang dibagi berdasarkan hubungan patah tulang dan lingkungan luar, yaitu patah tulang tertutup dan patah tulang terbuka. Patah tulang terbuka adalah terputusnya kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma, baik trauma langsung ataupun tidak lansung,4 Penyebab patah tulang terbuka sendiri dapat berupa trauma, patologis, ataupun degenerasi spontan. Pada patah tulang terbuka, kerusakan yang menyebakan fragmen tulang berhubungan dengan lingkungan luar dapat terjdi dengan dua cara, yaitu penyebab ruda paksa merusak kulit, jaringan lunak, hingga ke tulang sehingga terjadi hubungan dengan lingkungan luar yang disebut dengan out in. Dapat pula terjadi dengan cara fragmen tulang merusak jaringan lunak dan menembus kulit sehingga terjadi hubungan ke lingkungan luar yang disebut dengan in out.7

Manifestasi klinis pada patah tulang terbuka, selain manifestasi patah tulang pada biasanyanya, disertai juga dengan perdarahan dengan warna darah yang keluar terlihat lebih kehitaman dengan disertai butiran lemak.7

2.4 Penanganan Patah Tulang Terbuka Tujuan dari penanganan patah tulang terbuka adalah untuk mencegah infeksi, mencapai penyembuhan tulang (bone union), menghindari malunion, dan mengembalikan ekstermitas dan pasien pada kondisi fungsi penuh sedini mungkin. Dari semuanya, yang paling penting adalah mencegah infeksi, karena infeksi merupakan komplikasi tersering dan menyebabkan nonunion dan kehilangan fungsi ekstremitas (Chapman, 2001)

Saat di unit gawat darurat, nilai secara cepat fungsi vital tubuh dari pasien dan lakukan resusitasi dan stabilisasi seperlunya. Saat resusitasi dan evaluasi awal, bidai patah tulang pasien dan tutup luka terbuka dengan balut tekan steril (Chapman, 2001)

Luka harus tetap ditutup hingga pasien tiba di kamar bedah. Antibiotika diberikan secepat mungkin, tak peduli berapa kecil laserasi itu, dan dilanjutkan hingga bahaya infeksi infeksi terlewati. Pada umumnya, pemberian kombinasi benzilpenisilin dan flukloksasilin tiap enam jam selama 48 jam akan mencukupi; kalau luka amat terkontaminasi, sebaiknya mencegah organism Gram-negatif dengan menambah gentamisin atau metronidazol dan melanjutkan terapi selama empat atau lima hari. Pemberian profilaksis tetanus juga penting. Toksoid diberikan pada mereka yang sebelumnya telah diimunisasi, jika belum diberi antiserum manusia.1

Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari bahan asing dan dari jaringan mati, memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian itu. Dalam anestesi umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten mempertahankan traksi pada tungkai yang mengalami cedera dan menahannya agar tetap diam. Pembalut yang sebelumnya digunakan pada luka diganti dengan bantalan steril dan kulit di sekelilingnya dibersihkan dan dicukur. Kemudian bantalan itu diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan sejumlah besar garam fisiologis; irigasi akhir dapat disertai obat antibiotika misalnya basitrasin. Turniket tidak digunakan karena akan lebih jauh membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan struktur yang mati. Jaringan itu kemudian ditangani sebagai berikut. Saat melakukan debridement, hanya sesedikit mungkin kulit yang dieksisi dari tepi luka; pertahankan sebanyak mungkin kulit. Luka sering perlu diperluas dengan insisi yang terencana untuk memperoleh daerah terbuka yang memadai; setelah diperbesar, pembalut dan bahan asing lain dapat dilepas. Lalu, fasia dibelah secara meluas sehingga sirkulasi tidak terhalang. Otot yang mati berbahaya, karena dapat menjadi makanan bagi bakteri. Otot yang mati ini biasanya dapat dikenal melalui perubahan warna yang keungu-unguannya, konsistensinya yang buruk, tidak dapat berkontraksi bila dirangsang dan tak berdarah bila dipotong. Semua otot mati dan yang kemampuan hidupnya meragukan perlu dieksisi. Pembuluh darah yang banyak mengalami pendarahan

diikat dengan cermat tetapi, untuk meminimalkan jumlah benang yang tertinggal dalam luka, pembuluh yang kecil dicepit dengan gunting tang arteri dan dipilin. Saraf yang terpotong biasanya lebih baik dibiarkan saja, tetapi, bila luka itu bersih dan ujung-ujung saraf tidak terdiseksi, selubung saraf dijahit dengan bahan yang tak dapat diserap untuk memudahkan pengenalan di belakang hari. Biasanya, tendon yang terpotong juga dibiarkan saja. Seperti halnya saraf, penjahitan diperbolehkan hanya kalau luka itu bersih dan diseksi tak perlu dilakukan. Permukaan patah tulang dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan kembali pada posisi yang benar. Tulang, seperti kulit, harus diselamatkan, dan fragmen baru boleh dibuang bila kecil dan lepas sama sekali. Cedera sendi terbuka sebaiknya diterapi dengan pembersihan luka, penutupan sinovium dan kapsul, dan antibiotika sistemik: drainase atau irigasi sedotan hanya digunakan kalau terjadi kontaminasi hebat.1 . Perlu ditutupnya atau tidak kulit pada patah tulang terbuka tergantung derajat luka dan kontaminasi yang terjadi. Luka derajat I yang kecil dan tidak terkontaminasi, yang dibalut dalam beberapa jam setelah cedera, setelah debridement, dapat dijahit, dengan syarat tanpa tegangan, atau dilakukan pencangkokan kulit. Luka lain harus dibiarkan terbuka hingga bahaya tegangan dan infeksi telah terlewati. Luka itu dibalut sekadarnya dengan kasa steril dan diperiksa setelah lima hari: kalau bersih, luka itu dijahit atau dilakukan pencangkokan kulit.1

Stabilitas diperlukan untuk mengurangi kemungkinan infeksi, maka dari itu pada patah tulang terbuka perlu dilakukan stabilisasi. Stabilisasi yang dilakukan disesuaikan dengan derajat patah tulang terbuka yang terjadi. Untuk luka derajat I atau derajat II yang kecil dengan patahan yang stabil, boleh menggunakan gips yang dibelah secara luas atau untuk femur digunakan traksi pada bebat. Tetapi pada luka yang lebih berat (dan luka tembak) patah tulang perlu difiksasi secara ketat. Metoda yang paling aman adalah fiksasi eksterna. Pemasangan pen intramedula dapat digunakan untuk femur atau tibia, dan dengan

penguncian apabila patah tulang kominutif, sebainya jangan melakukan pelebaran luka (reamaining) yang akan meningkatkan risiko infeksi. Plat dan sekrup dapat digunakan untuk patah tulang metafisis atau artikuler.1

Selama dalam perawatan tungkai ditinggikan di atas tempat tidur dan sirkulasinya diperhatikan. Kalau luka dibiarkan terbuka, periksa setelah 5-7 hari. Jika terdapat banyak kehilangan kulit, dilakukan pencangkokan kulit.1

2.5 Derajat Gustillo-Anderson

Tujuan dari sistem klasifikasi patah tulang terbuka manapun adalah untuk mengira keadaan fraktur dan parameter penatalaksanaan(Cross and Swiontkowski, 2008). Walau banyak sistem klasifikasi untuk patah tulang terbuka, sistem klasifikasi Gustillo-Anderson-lah yang paling sering digunakan di seluruh dunia. Sistem ini menilai patah tulang terbuka berdasarkan ukuran luka, derajat kerusakan jaringan lunak dan kontaminasi, dan derajat fraktur .5 Hal-hal lain yang juga diperhatikan antara lain adalah ada atau tidaknya kerusakan pada saraf, energy transfer (derajat comminution dan periosteal stripping), dan wound dimension (Anonymous, 2004). Terdapat tiga macam patah tulang terbuka pada sistem klasifikasi Gustillo-Anderson, dengan derajat yang ke tiga dibagi ke dalam tiga subtype lagi berdasarkan kerusakan periosteal, ada tidaknya kontaminasi dan derajat kerusakan pembuluh darah.6

Pengklasifikasian patah tulang terbuka menurut Gustillo-Anderson adalah sebagai berikut:

1. Derajat I: Luka biasanya berupa tusukan kecil dan bersih, berukuran kurang dari 1 cm. Terdapat tulang yang muncul dari luka tersebut. Sedikit kerusakan jaringan lunak tanpa adanya crushing dan patah tulang tidak kominutif. Patah

tulang biasanya berupa sederhana, melintang, atau oblik pendek. Biasanya berupa patah tulang energi rendah.

2. Derajat II: Luka lebih besar dari 1 cm, tanpa adanya skin flap ataupun avulsion. Kerusakan pada jaringan lunak tidak begitu banyak. Kominusi dan crushing injury terjadi hanya sedang. Juga terdapat kontaminasi sedang. Bisanya juga berupa patah tulang energi rendah. 3. Derajat III: Terdapat kerusakan yang luas pada kulit, jaringan lunak, struktur neurovaskuler, dengan adanya kontaminasi pada luka. Dapat juga terjadi kehilangan jaringan lunak. Luka yang berat dengan adanya high-energy transfer ke tulang dan jaringan lunak. Biasanya disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi sehingga fraktur tidak stabil dan banyak komunisi. Amputasi traumatik, patah tulang segemental terbuka, luka tembak kecepatan tinggi, patah tulang terbuka lebih dari 8 jam, patah tulang terbuka yang memerlukan perbaikan vaskuler juga termasuk dalam derajat ini. derajat III ini dibagi lagi menjadi tiga subtype: a. Derajat IIIA : Tulang yang patah dapat ditutupi oleh jaringan lunak, atau terdapat penutup periosteal yang cukup pada tulang yang patah. b. Derajat IIIB : Kerusakan atau kehilangan jaringan lunak yang luas disertai dengan pengelupasan periosteum dan komunisi yang berat dari patahan tulang tersebut. Tulang terekspos dengan kontaminasi yang massif. c. Derajat IIIC : Semua patah tulang terbuka dengan kerusakan vaskuler yang perlu diberbaiki, tanpa meilhat kerusakan jaringan lunak yang terjadi

Klasifikasi ini menjadi sangat penting untuk menentukan terapi. Klasifikasi ini juga menunjukkan resiko terjadinya infeksi, dilihat dari derajat kontaminasi, derajat kerusakan jaringan lunak, dan tindakan operatif pada patah tulang. Resiko infeksi semakin meningkat seiring dengan derajat yang terjadi. Resiko terjadinya infeksi pada derajat I adalah 0-12%, pada derajat II 2-12%, dan pada derajat III 955%. Derajat patah tulang terbuka ini juga sangat erat kaitannya dengan kejadian amputasi, delayed union dan non-union, dan kecacatan atau penurunan fungsi

ekstermitas. Penentuan derajat patah tulang terbuka secara definitive dilakukan setelah debridement yang adekuat telah dilakukan.6

2.6 Proses Penyembuhan Patah Tulang Proses Penyembuhan Patah Tulang adalah proses biologis alami yang akan terjadi pada setiap patah tulang,tidak peduli apapun yang telah dikerjakan dokter pada patahan tulang tersebut.Pada Permulaan akan terjadi perdarahan di sekitar Patahan Tulang, yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periost.Fase ini disebut Hematoma.hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler didalamnya. Jarinagn ini yang menyebabkan fragmen tulang saling menempel. Fase ini disebut fase jaringan fibrosis,dan jaringan yang menempelkan fragmen patahn tulang tersebut dinamakan kalus fibrosa.kedalam hematom dan jariangn fibrosis ini kemudian juga tumbuh sel jaringan mesenkim yang bersifat osteogenik.sel ini akan berubah menjadi sel kondroblast yangberbentuk kondroid yang merupakan bahan dasar tulang rawan, sedangkan ditempat yang jauh dari patahan tulang yang vaskularisasinya relative banyak,sel ini berubah menjadi osteoblast dan membentuk osteoid yang merupakan bahan dasar tulang.kondroid dan osteoid ini

mula-mula tidak mengandung kalsium sehingga tidak terlihat pada foto rontgen.pada tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi.kesemuanya ini enyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang.pada foto rontgen, proses ini terlihat sebagai radio-opak,tetapi bayangan garis patah tulang masih terlihat .fase ini disebut fase penyatuan klinis selanjutnya,terjadi pergantian sel tulang secara berangsur-angsur oleh sel tulang yang mengatur diri sesuai dengan garis tekanan dan tarikan yang bekerja pada tulang.akhirnya seltulang ini mengatur diri secara lamellar seperti sel tulang normal.kekuatan kalus ini sama dengan kekuatan tulang biasa dan fase ini disebut fase konsolidasi.4 1.Hematom

2.Pembentukan Kalus

3. Penyatuan tulang

4.Konsolidasi dan Proses Swapugar

2.8 Komplikasi pada Patah Tulang Komplikasi Segera Lokal - Kulit :abrasi,laserasi,penetrasi - Pembuluh darah robek - Sistem saraf :Sumsum tulang belakang,sarah tepi motorik dan Sensorik Organ dalam : Jantung,paru,hepar,limfa (pada fraktur

kosta),kandung kemih (pada fraktur pelvis).

Komplikasi Dini Lokal - Nekrosis Kulit,Gangren,Sindrom Kompartemen,Trombosis Vena,Infeksi Sendi,Osteomielitisumum - ARDS,Emboli paru,Tetanus

Komplikasi Lama Lokal - Sendi,: Ankilosis Fibrosa,Ankilosis osal - Tulang : Gagal taut/salah Taut/Taut lama Distrofi Refleks Osteoporosis Pascatrauma Gangguan Pertumbuhan Osteomielitis Patah tulang Ulang - Otot/Tendo : Penulangan otot, Ruptur Tendon - Saraf : Kelumpuhan saraf lambat Umum - Batu Ginjal ( Akibat Imobilisasi Lama di Tempat Tidur).4

2.9 Lokasi Patah Tulang Lokasi patah tulang merupakan salah satu hal yang penting untuk diketahui pada kasus patah tulang terbuka. Hal ini karena lokasi patah tulang menetukan penatalaksanaan serta prognosa penyembuhan dan kemungkinan komplikasi. Pada tulang panjang patahan secara umum dapat terjadi pada jubagian epifisis, metafisis, atau diafisis.8

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya epifisis adalah bagian tulang panjang yang berada di kedua ujung dari tulang panjang tersebut.8 Epifisis terdiri dari cancellous bone yang dilapisi cortical bone, sehingga apabila terjadi patah tulang di bagian epifise proses penyembuhan yang terjadi sesuai dengan pertumbuhan cancellous bone. Berbeda dengan epifisis, diafisis terdiri dari cortical bone, sehingga apabila terjadi patah tulang di bagian diafisis proses penyembuhannya sesuai dengan proses penyembuhan pada cortical bone.7 Proses penyembuhan pada cortical bone berbeda dengan cancellous bone dalam hal pada cancellous bone terjadi penyembuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan cortical bone karena pada cancellous bone terdapat suplai darah yang banyak sehingga membantu proses terjadinya penyembuhan tulang yang sangat bergantung pada suplai darah.8

Patah tulang dibagian metafisis mengikuti proses penyembuhan seperti pada epifisis karena metafisis juga terdiri dari cancellous bone, sehingga proses penyembuhannya relatif cepat dibandingkan patah tulang yang terjadi pada bagian diafisis. Namun, karena metafisis meliputi lempeng epifisis atau growth plate yang berperan terhadap pertumbuhan longitudinal tulang, sehingga apabila terjadi patah tulang di bagian metafisis sangat rawan untuk lempeng epifisis terkena dan menyebabkan komplikasi berupa gangguan pertumbuhan .8

2.10 Usia dan Kejadian Patah Tulang Panjang Terbuka Usia atau umur adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan seseorang, terhitung sejak lahir hingga saat ini. Sangatlah sulit untuk menetapkan batasanbatasan usia secara tegas pada masing-masing perkembangan yang dialami (Parni, 2010). Pada bidang orthopedi pembagian usia dibedakan berdasarkan laju pertumbuhan dan kemampuan rekonstruksi tulang. Usia anak-anak adalah usia 020 tahun (Wilkins dan Aroojis ,2001). Sedangkan diatas 20 tahun dianggap dewasa karena kecepatan rekonstruksi tulang sudah menurun dibandingkan masa

anak-anak dan cukup stabil hingga usia tua (Salter, 1999). Walaupun kecepatan penyembuhan tulang cukup stabil dari dewasa muda hingga usia tua, namun perlu dipertimbangkan adanya penyakit-penyakit lain pada usia tua serta aktivitas pada umur tersebut yang dapat mempengaruhi keadaan pasien, sehingga usia 20 ke atas dapat dibagi lagi menjadi dewasa muda(20-39 tahun), dewasa (40-59 tahun) dan tua (60 tahun ke atas) (Wong, 1967).

Usia memiliki hubungan yang cukup bermakna dengan kejadian patah tulang panjang terbuka. Usia dapat menjadi faktor resiko terjadinya patah tulang panjang terbuka maupun menjadi faktor prognosa kesembuhan (Salter, 1999).

Pada usia 20-30 tahun dalam beberapa penilitian ditemukan bahwa sering terjadi patah tulang, seperti pada penelitian Ibeanusi dan Ekere tentang patah tulang terbuka pada tibia dan penelitian Grecco et al tentang patah tulang tibia. Hal ini diperkirakan karena usia tersebut adalah kelompok usia produktif yang memiliki aktivitas yang banyak sehingga kemungkinan terjadi kecelakaan lebih besar. Terdapat juga pendapat lain bahwa usia tua menjadi faktor resiko terjadinya patah tulang terbuka diakarenakan kemampuan koordinasi yang menurun sehingga lebih sering terjadi kecelakaan (Salter, 1999). Namun apabila dilihat dari susunan tulangnya, anak-anak lebih beresiko. Hal ini karena tulang pada anak-anak kurang termineralisasi dan memiliki lebih banyak saluran vaskuler dibandingkan orang dewasa, akibatnya tulangnya memiliki modulus elastisitas yang lebih rendah. Sehingga apabila diberikan beban stress yang sama, pada tulang anak, akan terjadi ketegangan yang lebih, dibandingkan yang akan terjadi pada tulang dewasa (Price, Phillips, & Devito, 1990).

Usia juga dapat menetukan pronosa suatu patah tulang panjang terbuka. Anak cenderung mengalami penyembuhan patah tulang lebih cepat dari pada dewasa. Hal ini dikarenakan potensi osteogenik yang dimiliki anak-anak serta besarnya respon vaskuler pada anak-anak (Price, Phillips, & Devito, 1990). Pada tulang panjang anak-anak terdapat lebih banyak sumsum tulang merah yang membantu

proses penyembuhan tulang, dibandingkan dengan tulang panjang dewasa yang mengandung sumsum tulang kuning, karena sumsum tulang merah lebih osteogenik dari pada sumsum tulang kuning, sehingga membantu proses penyembuhan tulang (Chapman, Madison, & Martin, 2001). Periosteum pada anak juga lebih kuat dan lebih aktif, sehingga pada saat terjadi patah tulangperiousteum tidak lepas sehingga dapat digunakan pada closed reduction. Periosteum pada anak juga lebih osteogenik (Salter, 1999). Pada proses penyembuhan diperlukan suplai darah yang cukup, sehingga pada tulang anakanak yang memiliki lebih banyak saluran vaskuler akan terjadi penyembuhan tulang yang lebih cepat (Lovell, 1990 dan Keating, 2000). Komplikasi berupa non-union pada anak-anak jarang terjadi, namun komplikasi berupa gangguan pertumbuhan dapat terjadi apabila lokasi patah tulang pada lemppeng epifisis yang merupakan tempat lempeng pertumbuhan (Lovell, 1990 dan Salter, 1999). Pada umur yang lebih tua, prognosa kesembuhan dapat menjadi buruk akibat adanya penyulit-penyulit lain berupa penyakit degenerative, seperti diabetes mellitus. Akibat patah tulang panajng terbuka seseorang akan menjadi dalam keadaan imobilisasi yang cukup lama, sehingga dapat terjadi komplikasi akibat kejadian tersebut berupa ulkus dekubitus bahkan kematian (Salter, 1999).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah survei deskriptif, dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian dengan metode ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik objek yang diteliti tanpa dilakukan analisis yang mendalam.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian Ruang Rekam Medik Di RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi dengan waktu penelitian dilaksanakan pada Tahun 2011 Subjek Penelitian 3.3.1 Populasi Populasi penelitian adalah seluruh pasien Fraktur Tulang Di RSUD Raden Mattaher. Berdasarkan Rekam Medik yang ada 3.3.2 Sampel Penelitian dan Besar Sampel Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah semua penderita Fraktur tulang RSUD Raden Mattaher 2011 yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Perkiraan sampel minimal dihitung menggunakan rumus:5 N = (Z)2 * d2 PQ

Keterangan:

N Z

= Besar sampel = Deviat baku alpha

P Q d

= Proporsi kategori = 1-P = Presisi

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi 3.3.3.1 Kriteria Inklusi Semua penderita Patah Tulang Panjang Di RSUD Raden Mattaher pada Tahun 2011 Berdasarkan Rekam medik yang ada

3.3.3.2 Kriteria Eksklusi Kasus patah tulang panjang Di RSUD Raden Mattaher Tahun 2011 dengan catatan rekam medik yang tidak lengkap atau tidak terbaca. Kasus patah tulang panjang Di RSUD Raden Mattaher Tahun 2011 dengan lokasi patah di tulang clavicula, metacarpal, metatarsal, dan phalanges .

3.4 Variabel Penelitian 3.4.1 Variabel Bebas Variabel bebas dalam penelitian ini antara lain : 1. Derajat patah tulang Panjang 2. Lokasi patah tulang Panjang 3. Usia pasien 3.4.2 Variabel Terikat Variabel terikatnya adalah: 1. Fraktur Tulang Panjang

3.5 Definisi Operasional 3.5.1 Derajat Patah Tulang Terbuka Derajat patah tulang terbuka adalah derajat patah tulang terbuka yang dinilai berdasarkan Sistem Gustillo-Anderson, yang didiagnosis oleh dokter spesialis orthopedi di RSUD A. W. Sjahranie, sebagaimana yang tercantum dalam rekam medik. Kriteria Objektif : Derajat patah tulang dikategorikan sebagai berikut. 1. Derajat I 2. Derajat II 3. Derajat III A 4. Derajat III B 5. Derajat III C

3.5.2 Lokasi Patah Tulang Terbuka

Lokasi patah tulang terbuka adalah lokasi terjadinya patah tulang terbuka yang didiagnosa oleh dokter spesialis orthopedi sebagaimana yang tercantum dalam rekam medik. Kriteria Objektif: Lokasi patah tulang dikategorikan sebagai berikut. 1. Femur : a. 1/3 proximal b. 1/3 tengah c. 1/3 distal 2. Tibia : a. 1/3 proximal b. 1/3 tengah c. 1/3 distal 3. Fibula : a. 1/3 proximal b. 1/3 tengah c. 1/3 distal 4. Tibia-Fibula : a. 1/3 proximal b. 1/3 tengah c. 1/3 distal 5. Humerus : a. 1/3 proximal b. 1/3 tengah c. 1/3 distal 6. Ulna : a. 1/3 proximal b. 1/3 tengah c. 1/3 distal

7. Radius :

8. Radius-Ulna :

a. 1/3 proximal b. 1/3 tengah c. 1/3 distal a. 1/3 proximal b. 1/3 tengah c. 1/3 distal

9. Multipel lokasi 3.5.3 Usia Pasien Usia pasien pada saat terjadi patah tulang terbuka yang dinyatakan dalam tahun, sebagaimana yang tercantum dalam rekam medik. Kriteria Objektif : Usia pasien dikategorikan sebagai berikut. 1. Usia < 20 tahun : Anak 2. Usia 20-39 tahun : Dewasa muda 3. Usia 40-59 tahun : Dewasa 4. Usia 60 : Tua

3.6 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rekam Medik dan Hasil Rontren. yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang Fraktur Tulang Panjang. 3.7 Metode Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui kuisioner dari seluruh penderita Fraktur Tulang Di RSUD Raden Mattaher selama tahun 2011 Data tersebut meliputi: Derajat Patah tulang,Lokasi Patah Tulang,Usia Pasien.

3.8 Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan narasi. Data disusun dan dikelompokkan berdasarkan Derajat Patah Tulang,Lokasi Patah Tulang,Usia Pasien

3.9 Etika Penelitian Melalui Berbagai Prosedur Untuk melihat Data di Rekam Medik Di RSUD Raden Mattaher Yang telah Dijalani.

1. Apley, A.G., Nagayam S., Solomon, L., Warwick, D. (2001). Apleys System of Orthopaedics and Fractures. :Arnold

2. Anonymous.(2009).

Fraktur:

Patah

Tulang.

Retrieved

from

http://perawatpskiatri.blogspot.com/2009/03/fraktur-patah-tulang.html

3. Anymous. (2010). Why Do Some Countries Drive On the Right and Others On the Left?. Retrieved from

http://users.telenet.be/worldstandards/driving%20on%20the%20left.htm

4. De Jong, W. & Sjamsuhidajat, R.(2003).Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 5. Dahlan MS. Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Seri 2. Jakarta: PT Arkans, 2006. hal. 25-28

6. Gustillo, R. B., Merkow, R. L., Templeman, D.(1990).The Management of Open Fractures. The Journal of Bone and Joints Surgery.72-A(2).299-304

7. Puja.(2006). Asuhan Keperawatan Pasien dengan Patah Tulang Terbuka. Retrieved from http://wayanpuja.blinxer.com/?page_id=231

8. Salter, R. B.(1999).Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal System. Baltimore: Lipincott Williams & Wilkins

9. Snell, R. S.(2004).Clinical Anatomy.Baltimore: Lipincott Williams & Wilkins

10. http://ditlantaspoldajambi.net/index.php?option=com_content&view=article& id=217:kecelakaan-lalu-lintas-pada-tahun-2011&catid=48:berita

You might also like