You are on page 1of 30

1

BAB 1 HEMOROID

1.1 Definisi Hemoroid Plexus hemoroid merupakan pembuluh darah normal yang terletak pada mukosa rektum bagian distal dan anoderm. Gangguan pada hemoroid terjadi ketika plexus vaskular ini membesar. Sehingga kita dapatkan pengertiannya dari hemoroid adalah dilatasi varikosus vena dari plexus hemorrhoidal inferior dan superior (Dorland, 2002). Hemoroid adalah kumpulan dari pelebaran satu segmen atau lebih vena hemoroidalis di daerah anorektal. Hemoroid bukan sekedar pelebaran vena hemoroidalis, tetapi bersifat lebih kompleks yakni melibatkan beberapa unsur berupa pembuluh darah, jaringan lunak dan otot di sekitar anorektal (Felix, 2006). Hemoroid yaitu bagian vena yang berdilatasi dalam kanal anal (Smeltzer, 2001). Hemoroid adalah pelebaran (varices satu segmen atau lebih vena-vena hemoroiddalis) (McKesson, 2004). 1.2 Etiologi Hemoroid Menurut Villalba dan Abbas (2007), etiologi hemoroid sampai saat ini belum diketahui secara pasti, beberapa faktor pendukung yang terlibat diantaranya adalah: 1. Penuaan 2. Kehamilan 3. Hereditas 4. Konstipasi atau diare kronik 5. Penggunaan toilet yang berlama-lama 6. Posisi tubuh, misal duduk dalam waktu yang lama 7. Obesitas. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan kongesti vaskular dan prolapsus mukosa (Schubert dkk, 2009). Selain itu dikatakan ada hubungan

antara hemoroid dengan penyakit hati maupun konsumsi alkohol (Mc Kesson Health Solution LCC, 2004). 1.3 Anatomi Anal Canal Anal canal adalah akhir dari usus besar dengan panjang 4 cm dari rektum hingga orifisium anal. Setengah bagian ke bawah dari anal canal dilapisi oleh epitel skuamosa dan setengah bagian ke atas oleh epitel kolumnar. Pada bagian yang dilapisi oleh epitel kolumnar tersebut membentuk lajur mukosa (lajur morgagni). Suplai darah bagian atas anal canal berasal dari pembuluh rektal superior sedangkan bagian bawahnya berasal dari pembuluh rektal inferior. Kedua pembuluh tersebut merupakan percabangan pembuluh darah rektal yang berasal dari arteri pudendal interna. Arteri ini adalah salah satu cabang arteri iliaka interna. Arteri-arteri tersebut akan membentuk pleksus disekitar orifisium anal.

Gambar 2.1. : Anatomi anal canal yang memperlihatkan pleksus hemoroid internal dan eksternal ( Penninger dan Zainea, 2001). Hemoroid adalah bantalan vaskular yang terdapat di anal canal yang biasanya ditemukan di tiga daerah utama yaitu kiri samping, kanan depan, dan bagian kanan belakang. Hemoroid berada dibawah lapisan epitel anal canal

dan terdiri dari plexus arteriovenosus terutama antara cabang terminal arteri rektal superior dan arteri hemoroid superior. Selain itu hemoroid juga menghubungkan antara arteri hemoroid dengan jaringan sekitar. Persarafan pada bagian atas anal canal disuplai oleh plexus otonom, bagian bawah dipersarafi oleh saraf somatik rektal inferior yang merupakan akhir percabangan saraf pudendal (Snell, 2006). 1.4 Patofisiologi Anal canal memiliki lumen triradiate yang dilapisi bantalan (cushion) atau alas dari jaringan mukosa. Bantalan ini tergantung di anal canal oleh jaringan ikat yang berasal dari sfingter anal internal dan otot longitudinal. Di dalam tiap bantalan terdapat plexus vena yang diperdarahi oleh

arteriovenosus. Struktur vaskular tersebut membuat tiap bantalan membesar untuk mencegah terjadinya inkontinensia (Nisar dan Scholefield, 2003). Efek degenerasi akibat penuaan dapat memperlemah jaringan penyokong dan bersamaan dengan usaha pengeluaran feses yang keras secara berulang serta mengedan akan meningkatkan tekanan terhadap bantalan tersebut yang akan mengakibatkan prolapsus. Bantalan yang mengalami prolapsus akan terganggu aliran balik venanya. Bantalan menjadi semakin membesar dikarenakan mengedan, konsumsi serat yang tidak adekuat, berlama-lama ketika buang air besar, serta kondisi seperti kehamilan yang meningkatkan tekanan intra abdominal. Perdarahan yang timbul dari pembesaran hemoroid disebabkan oleh trauma mukosa lokal atau inflamasi yang merusak pembuluh darah di bawahnya (Acheson dan Schofield, 2006). McKesson (2004) menyimpulkan bahwa sel mast memiliki peran multidimensional terhadap patogenesis hemoroid, melalui mediator dan sitokin yang dikeluarkan oleh granul sel mast. Pada tahap awal vasokonstriksi terjadi bersamaan dengan peningkatan vasopermeabilitas dan kontraksi otot polos yang diinduksi oleh histamin dan leukotrin. Ketika vena submukosal meregang akibat dinding pembuluh darah pada hemoroid melemah, akan terjadi ekstravasasi sel darah merah dan perdarahan. Sel mast juga melepaskan platelet-activating factor sehingga terjadi agregasi dan trombosis yang merupakan komplikasi akut hemoroid. Pada tahap selanjutnya hemoroid yang

mengalami trombosis akan mengalami rekanalisasi dan resolusi. Proses ini dipengaruhi oleh kandungan granul sel mast. Termasuk diantaranya tryptase dan chymase untuk degradasi jaringan stroma, heparin untuk migrasi sel endotel dan sitokin sebagai TNF- serta interleukin 4 untuk pertumbuhan fibroblas dan proliferasi. Selanjutnya pembentukan jaringan parut akan dibantu oleh basic fibroblast growth factor dari sel mast. 1.5 Pathway
Faktor resiko hemoroid

Dilatasi & distensi pembuluh darah

Hemoroid

Prolaps dan trombosis

Iritasi tekan pada area rektum

Pembedahan Kurang pengetahuan tentang prosedur operasi

Nyeri akut

Mengabaikan dorongan defekasi akibat nyeri

Luka post operasi Konstipasi Hygiene kurang

Ansietas Invasi kuman dan bakteri

Resiko infeksi

Sumber : McKesson (2004)

1.6 Klasifikasi Hemoroid Hemoroid diklasifikasikan berdasarkan asalnya, dimana dentate line menjadi batas histologis. Klasifikasi hemoroid yaitu: 1. Hemoroid eksternal, berasal dari dari bagian distal dentate line dan dilapisi oleh epitel skuamos yang telah termodifikasi serta banyak persarafan serabut saraf nyeri somatik 2. Hemoroid internal, berasal dari bagian proksimal dentate line dan dilapisi mukosa. 3. Hemoroid internal-eksternal dilapisi oleh mukosa di bagian superior dan kulit pada bagian inferior serta memiliki serabut saraf nyeri (Corman, 2004) 1.7 Derajat Hemoroid Internal Menurut Person (2007), hemoroid internal diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan yakni: 1. Derajat I, hemoroid mencapai lumen anal canal. 2. Derajat II, hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada saat pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan. 3. Derajat III, hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat masuk kembali secara manual oleh pasien. 4. Derajat IV, hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal canal meski dimasukkan secara manual. 1.8 Gejala klinis Hemoroid Gejala klinis hemoroid dapat dibagi berdasarkan jenis hemoroid (Villalba dan Abbas, 2007) yaitu: 1.8.1 Hemoroid internal 1. Prolaps dan keluarnya mukus. 2. Perdarahan. 3. Rasa tak nyaman. 4. Gatal. 1.8.2 Hemoroid eksternal 1. Rasa terbakar. 2. Nyeri ( jika mengalami trombosis).

3. Gatal. 1.9 Diagnosis Hemoroid Diagnosis hemoroid dapat dilakukan dengan melakukan: 1. Anamnesis. 2. Pemeriksaan fisik. 3. Pemeriksaan penunjang. 1.9.1 Anamnesis Hemoroid Pada anamnesis biasanya didapati bahwa pasien menemukan adanya darah segar pada saat buang air besar. Selain itu pasien juga akan mengeluhkan adanya gatal-gatal pada daerah anus. Pada derajat II hemoroid internal pasien akan merasakan adanya masa pada anus dan hal ini membuatnya tak nyaman. Pasien akan mengeluhkan nyeri pada hemoroid derajat IV yang telah mengalami trombosis (Canan, 2002). Perdarahan yang disertai dengan nyeri dapat mengindikasikan adanya trombosis hemoroid eksternal, dengan ulserasi thrombus pada kulit. Hemoroid internal biasanya timbul gejala hanya ketika mengalami prolapsus sehingga terjadi ulserasi, perdarahan, atau trombosis. Hemoroid eksternal bisa jadi tanpa gejala atau dapat ditandai dengan rasa tak nyaman, nyeri akut, atau perdarahan akibat ulserasi dan trombosis ( Wexner, Person, dan Kaidar-person, 2006) 1.9.2 Pemeriksaan Fisik Hemoroid Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya pembengkakan vena yang mengindikasikan hemoroid eksternal atau hemoroid internal yang mengalami prolaps. Hemoroid internal derajat I dan II biasanya tidak dapat terlihat dari luar dan cukup sulit membedakannya dengan lipatan mukosa melalui pemeriksaan rektal kecuali hemoroid tersebut telah mengalami trombosis (Canan, 2002). Daerah perianal juga diinspeksi untuk melihat ada atau tidaknya fisura, fistula, polip, atau tumor. Selain itu ukuran, perdarahan, dan tingkat keparahan inflamasi juga harus dinilai (Nisar dan Scholefield, 2003).

Pada pemeriksaan colok dubur, hemoroid interna stadium awal tidak dapat diraba sebab tekanan vena di dalamnya tidak terlalu tinggi dan biasanya tidak nyeri. Hemoroid dapat diraba apabila sangat besar. Apabila hemoroid sering prolaps, selaput lendir akan menebal. Trombosis dan fibrosis pada perabaan terasa padat dengan dasar yang lebar. Pemeriksaan colok dubur ini untuk menyingkirkan kemungkinan karsinoma rectum (McKesson, 2004).

Gambar 2.2: menunjukkan hemoroid yang mengalami trombosis (Schubert, Schade, dan wexner, 2009). 1.9.3 Pemeriksaan Penunjang Hemoroid Anal canal dan rektum diperiksa dengan menggunakan anoskopi dan sigmoidoskopi. Anoskopi dilakukan untuk menilai mukosa rektal dan mengevaluasi tingkat pembesaran hemoroid (Halverson, 2007). Side-viewing pada anoskopi merupakan instrumen yang optimal dan tepat untuk mengevaluasi hemoroid. Allonso-Coello dan Castillejo (2003) dalam Kaidar-Person, Person, dan Wexner (2007) menyatakan bahwa ketika dibandingkan dengan sigmodoskopi

fleksibel, anoskopi mendeteksi dengan presentasi lebih tinggi terhadap lesi di daerah anorektal. Gejala hemoroid biasanya bersamaan dengan inflamasi pada anal canal dengan derajat berbeda. Dengan menggunakan

sigmoidoskopi, anus dan rektum dapat dievaluasi untuk kondisi lain

sebagai diagnosa banding untuk perdarahan rektal dan rasa tak nyaman seperti pada fisura anal dan fistula, kolitis, polip rektal, dan kanker. Pemeriksaan dengan menggunakan barium enema X-ray atau kolonoskopi harus dilakukan pada pasien dengan umur di atas 50 tahun dan pada pasien dengan perdarahan menetap setelah dilakukan pengobatan terhadap hemoroid (Canan, 2002). 1.10 Diagnosa Banding hemoroid Menurut Kaidar-Person dkk (2007) selama evaluasi awal pasien, kemungkinan penyebab lain dari gejala-gejala seperti perdarahan rektal, gatal pada anus, rasa tak nyaman, massa serta nyeri dapat disingkirkan. Kanker kolorektal dan anal, dan melanoma anorektal merupakan contoh penyebab gejala tersebut. Dibawah ini adalah diagnosa banding untuk gejala-gejala diatas: 1. Nyeri a. Fisura anal b. Herpes anal c. Proktitis ulseratif d. Proctalgia fugax 2. Massa a. Karsinoma anal b. Perianal warts c. Skin tags 3. Nyeri dan massa a. Hematom perianal b. Abses c. Pilonidal sinus 4. Nyeri dan perdarahan a. Fisura anal b. proktitis 5. Nyeri, massa, dan perdarahan Hematom perianal ulseratif

6. Massa dan perdarahan Karsinoma anal 7. Perdarahan a. Polips kolorektal b. Karsinoma kolorektal c. Karsinoma anal 1.11 Penatalaksanaan Hemoroid Menurut Acheson dan Scholefield (2006), penatalaksanaan hemoroid dapat dilakukan dengan beberapa cara sesuai dengan jenis dan derajat daripada hemoroid. 1.11.1 Penatalaksanaan Konservatif Sebagian besar kasus hemoroid derajat I dapat ditatalaksana dengan pengobatan konservatif. Tatalaksana tersebut antara lain koreksi konstipasi jika ada, meningkatkan konsumsi serat, laksatif, dan menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan kostipasi seperti kodein (Daniel, 2010) Penelitian meta-analisis akhir-akhir ini membuktikan bahwa suplemen serat dapat memperbaiki gejala dan perdarahan serta dapat direkomendasikan pada derajat awal hemoroid (Zhou dkk, 2006). Perubahan gaya hidup lainnya seperti meningkatkan konsumsi cairan, menghindari konstipasi dan mengurangi mengejan saat buang air besar dilakukan pada penatalaksanaan awal dan dapat membantu pengobatan serta pencegahan hemoroid, meski belum banyak penelitian yang mendukung hal tersebut. Kombinasi antara anestesi lokal, kortikosteroid, dan antiseptik dapat mengurangi gejala gatal-gatal dan rasa tak nyaman pada hemoroid. Penggunaan steroid yang berlama-lama harus dihindari untuk mengurangi efek samping. Selain itu suplemen flavonoid dapat membantu mengurangi tonus vena, mengurangi hiperpermeabilitas serta efek antiinflamasi meskipun belum

diketahui bagaimana mekanismenya (Acheson dan Scholrfield, 2008).

10

1.11.2 Pembedahan Acheson dan Scholfield (2008) menyatakan apabila hemoroid internal derajat I yang tidak membaik dengan

penatalaksanaan konservatif maka dapat pembedahan.

dilakukan tindakan

HIST (Hemorrhoid Institute of South Texas) menetapkan indikasi tatalaksana pembedahan hemoroid antara lain: 1. Hemoroid internal derajat II berulang. 2. Hemoroid derajat III dan IV dengan gejala. 3. Mukosa rektum menonjol keluar anus. 4. Hemoroid derajat I dan II dengan penyakit penyerta seperti fisura. 5. Kegagalan penatalaksanaan konservatif. 6. Permintaan pasien. Pembedahan yang sering dilakukan yaitu: 1. Skleroterapi. Teknik ini dilakukan menginjeksikan 5 mL oil phenol 5 %, vegetable oil, quinine, dan urea hydrochlorate atau hypertonic salt solution. Lokasi injeksi adalah submukosa hemoroid. Efek injeksi sklerosan tersebut adalah edema, reaksi inflamasi dengan proliferasi fibroblast, dan trombosis

intravaskular. Reaksi ini akan menyebabkan fibrosis pada sumukosa hemoroid. Hal ini akan mencegah atau mengurangi prolapsus jaringan hemoroid (Kaidar-Person dkk, 2007). Senapati (1988) dalam Acheson dan Scholfield (2009)

menyatakan teknik ini murah dan mudah dilakukan, tetapi jarang dilaksanakan karena tingkat kegagalan yang tinggi. 2. Rubber band ligation. Ligasi jaringan hemoroid dengan rubber band menyebabkan nekrosis iskemia, ulserasi dan scarring yang akan menghsilkan fiksasi jaringan ikat ke dinding rektum. Komplikasi prosedur ini adalah nyeri dan perdarahan. 3. Infrared thermocoagulation. Sinar infra merah masuk ke jaringan dan berubah menjadi panas. Manipulasi instrumen

11

tersebut dapat digunakan untuk mengatur banyaknya jumlah kerusakan jaringan. Prosedur ini menyebabkan koagulasi, oklusi, dan sklerosis jaringan hemoroid. Teknik ini singkat dan dengan komplikasi yang minimal. 4. Bipolar Diathermy. Menggunakan energi listrik untuk

mengkoagulasi jaringan hemoroid dan pembuluh darah yang memperdarahinya. Biasanya digunakan pada hemoroid internal derajat rendah. 5. Laser haemorrhoidectomy. 6. Doppler ultrasound guided haemorrhoid artery ligation. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan proktoskop yang dilengkapi dengan doppler probe yang dapat melokalisasi arteri. Kemudian arteri yang memperdarahi jaringan hemoroid tersebut diligasi menggunakan absorbable suture. Pemotongan aliran darah ini diperkirakan akan mengurangi ukuran hemoroid. 7. Cryotherapy. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan temperatur yang sangat rendah untuk merusak jaringan. Kerusakan ini disebabkan kristal yang terbentuk di dalam sel, menghancurkan membran sel dan jaringan. Namun prosedur ini menghabiskan banyak waktu dan hasil yang cukup

mengecewakan. Cryotherapy adalah teknik yang paling jarang dilakukan untuk hemoroid (American Gastroenterological

Association, 2004). 8. Stappled Hemorrhoidopexy. Teknik dilakukan dengan

mengeksisi jaringan hemoroid pada bagian proksimal dentate line. Keuntungan pada stappled hemorrhoidopexy adalah berkurangnya rasa nyeri paska operasi selain itu teknik ini juga aman dan efektif sebagai standar hemorrhoidectomy (Halverson, 2007).

12

1.12 Pencegahan Menurut Nagie (2007), pencegahan hemoroid dapat dilakukan dengan: 1. Konsumsi serat 25-30 gram sehari. Makanan tinggi serat seperti buahbuahan, sayur-mayur, dan kacang-kacangan menyebabkan feses menyerap air di kolon. Hal ini membuat feses lebih lembek dan besar, sehingga mengurangi proses mengedan dan tekanan pada vena anus. 2. Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari 3. Mengubah kebiasaan buang air besar. Segera ke kamar mandi saat merasa akan buang air besar, jangan ditahan karena akan memperkeras feses. Hindari mengedan.

13

BAB 2 PERAWATAN LUKA DAN ANASTESI

2.1 Perawatan Luka 2.1.1 Perawatan Luka Dengan Balutan Basah Da Lembab (Kompres) (Suparmi, 2008). 1. Pengertian Tindakan perawatan luka dan kompres yang membutuhkan balutan basah atau lembab.
2. Tujuan

a. Mencegah, membatasi, atau mengontrol infeksi b. Mengangkat jaringan nekrotik untuk meningkatkan penyembuhan luka c. Menyerap drainase (eksudat) d. Mempertahankan lingkungan luka yang lembap 3. Indikasi a. Luka kronis dan banyak drainase/ pus b. Luka yang banyak kehilangan jaringan kulit 4. Persiapan alat a. Satu set steril sesuai kebutuhan b. Plester c. Kasa steril dalam tempatnya, perban bila perlu d. Sarung tangan bersih e. Sarung tangan steril f. Larutan normal saline steril (NaCl 0,9%) g. Kantong sampah infeksius h. Perlak dan alasnya i. Tempat penyimpanan barang steril, seperti bengkok (piala ginjal) dan mangkuk steril (kopyes) diatas troli 5. Prosedur a. Siapkan alat-alat, termasuk peralatan steril di meja/troli b. Identifikasi pasien, jelaskan tujuan dan prosedur c. Berikan privasi d. Tinggikan tempat tidur dan turunkan penghalang tempat tidur untuk bekerja di samping pasien e. Tempatkan kantong untuk meletakkan balutan yang kotor di dekat pasien f. Cuci tangan g. Bentangkan perlak di bawah daerah yang akan diganti balutan

14

Pakai sarung tangan bersih (tidak steril) Lepaskan plester ke arah luka atau buka ikatan balutan Tuang larutan normal saline pada balutan Lepaskan kasa satu per satu, lalu buang ke kantong plastik Lepaskan sarung tangan Buka set steril dengan tetap mempertahankan kesterilan alat Tuang larutan normal saline ke dalam kopyes dan letakkan beberapa potong kasa di daerah steril tersebut o. Pakai sarung tangan steril p. Bersihkan area luka menggunakan kasa, tekan kasa pada daerah depresi atau lubang q. Kaji luka, ukur, identifikasi tipe dan tentukan apakah ada tanda-tanda infeksi r. Bentangkan kasa lembap dan basa dalam lapisan tunggal dan tempatkan di bagian atas menutupi seluruh area s. Kemudian tutup dengan kasa kering pada balutan untuk menahannya t. Lepaskan sarung tangan dan masukkan ke dalam kantong sampah infeksius u. Plester hanya pada bagian ujung-ujung balutan, plester montgomeri dapat digunakan untuk mencegah iritasi kulit yang berlebihan dan kerusakan yang disebabkan oleh ganti balutan yang sering. Untuk daerah tertentu, dapat ditambah gulungan perban untuk memperkuat fiksasi v. Kembalikan pasien ke posisi semula. Turunkan tempat tidur dan kembali naikkan penghalang tempat tidur w. Buang materi yang kotor ke dalam wadah yang tepat (sampah infeksius) x. Cuci tangan y. Bereskan alat-alat z. Catat dalam rekam medik 2.1.2 Perawatan Luka Dengan Balutan Kering (Suparmi, 2008). 1. Pengertian Tindakan pembersihan luka dan penggantian balutan kering
2. Tujuan

h. i. j. k. l. m. n.

a. Mencegah infeksi sekunder b. Luka bersih dan kering c. Meminimalkan mikroorganisme 3. Indikasi Untuk luka atau insisi pembedahan yang mempunyai drainase minimal dan tidak ada jaringan yang hilang.

15

4. Persiapan alat

Satu alat steril sesuai kebutuhan Plester Kasa steril dalam tempatnya, perban bila perlu Sarung tangan bersih Sarung tangan steril Larutan normal saline steril (NaCl 0,9 %) Kantong sampah infeksius Perlak dan alasnya Tempat penyimpanan barang steril, seperti bengkok (Piala ginjal) dan mangkuk steril (Kopyes) diatas troli 5. Prosedur a. Siapkan alat-alat, termasuk peralatan steril di meja/troli b. Identifikasi pasien, jelaskan tujuan dan prosedur c. Berikan privasi d. Tinggikan tempat tidur dan turunkan penghalang tempat tidur untuk bekerja di samping pasien e. Tempatkan kantong untuk meletakkan balutan yang kotor di dekat pasien f. Cuci tangan g. Bentangkan perlak di bawah daerah yang akan diganti balutan h. Pakai sarung tangan bersih (tidak steril) i. Lepaskan plester ke arah luka atau buka ikatan balutan j. Tuang larutan normal saline pada balutan k. Lepaskan kasa satu per satu, lalu buang ke kantong plastik l. Lepaskan sarung tangan m. Buka set steril dengan tetap mempertahankan kesterilan alat n. Tuang larutan normal saline ke dalam kopyes dan letakkan beberapa potong kasa di daerah steril tersebut o. Pakai sarung tangan steril p. Bersihkan area luka menggunakan kasa, tekan kasa pada daerah depresi atau lubang q. Kaji luka, ukur, identifikasi tipe dan tentukan apakah ada tanda-tanda infeksi r. Jika ada selang drain, bersihkan area drain dan sekitar area dengan gerakan sirkulasi (memutar kearah luar). Jangan menggunakan zat kimia sitotoksik atau yang berbahaya s. Pasang beberapa kasa pada drain t. Tutup daerah luka dengan kasa steril u. Lepaskan sarung tangan dan masukkan ke dalam kantong sampah infeksius

a. b. c. d. e. f. g. h. i.

16

v. Plester hanya pada bagian ujung-ujung balutan, plester montgomeri dapat digunakan untuk mencegah iritasi kulit yang berlebihan dan kerusakan yang disebabkan oleh ganti balutan yang sering. Untuk daerah tertentu, dapat ditambah gulungan perban untuk memperkuat fiksasi w. Kembalikan pasien ke posisi semula. Turunkan tempat tidur dan kembali naikkan penghalang tempat tidur x. Buang materi yang kotor ke dalam wadah yang tepat (sampah infeksius) y. Cuci tangan z. Bereskan alat-alat 2.2 Fisiologi Proses Penyembuhan Luka 1. Fase I ( Inflamasi) Penyembuhan luka leukosit mencerna bakteri dan jaringan rusak. Fibrin bertumpuk pada gumpalan yang mengisi luka dan pembuluh darah tumbuh pada luka dari benang fibrin sebagai kerangka. Lapisan tipis dari sel epitel bermigrasi lewat luka dan menutupi luka, pasien akan terlihat merasa sakit pada fase I selama 3 hari setelah bedah besar. 2. Fase II (Proliferasi) Berlangsung 3 sampai 14 hari setelah bedah, leukosit mulai menghilang dan ceruk mulai berisi kolagen serabut protein putih. Sel epitel beregenerasi dalam 1 minggu. Jaringan baru memiliki banyak pembuluh darah. Tumpukan kolagen akan menunjang luka dengan baik dalam 6 7 hari. Jadi jahitan diangkat pada waktu ini, tergantung pada tempat dan luasnya bedah. 3. Fase III (Maturasi ) Kolagen terus bertumpuk. Ini menekan pembuluh darah baru dan arus darah menurun. Luka terlihat seperti merah jambu yang luas. Fase ini berlangsung minggu kedua sampai minggu keenam. 4. Fase IV Fase terakhir berlangsung beberapa bulan setelah bedah. Pasien akan mengeluh gatal di seputar luka. Walaupun kolagen terus menimbun pada waktu ini luka menciut dan menjadi tegang. Karena penciutan luka terjadi ceruk yang berwarna/berlapis putih. Bila jaringan itu aseluler,

17

avaskuler, jaringan kolagen tidak akan menjadi coklat karena sinar matahari dan tidak akan keluar keringat dan tumbuh rambut (Smeltzer, 2001). 2.3 Anastesi 2.3.1 Anastesi Umum Anastesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali ( reversible ). Komponen trias anastesi terdiri dari hipnotik, analgesik, analgenik dan relaksasi otot. Cara pemberian anastesi umum : 1. Parenteral (intra muscular/intra vena) Singkat atau induksi anastesi. Umunya diberikan thiopental, namun pada kasus tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama anastesi parenteral dikombinasikan dengan cara lain.
2. Perektal.

Dapat dipakai pada anak untuk induksi anastesi atau tindakan tersebut.
3. Anastesi Inhalasi

Yaitu anestesi dengan penggunaan gas atau cairan anestesi yang mudah menguap (valatile agent) sebagai zat anastetik melalui udara pernafasan.zat anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan O) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya.tekanan parsial dalam jaringan otak akan menentukan daya anestesi.Zat anestetik disebut kuat bila dengan tekanan parsial yang rendah sudah dapat memberi anestesi yang adekuat. 2.3.2 Tahap-Tahap Anestesi Umum Anestesi terdiri dari empat tahap, yang masing-masing mempunyai tanda dan gejala yang pasti. Ketika duberikan narkotik dan bloker neuromuscular (relaksan), beberapa dari tahap ini tidak ada lagi.

18

1. Tahap I :Anestesi awal dengan pasien menghirup campuran

anestetik,

hangat,

pening

dan

perasaan

terpisah

dari

lingkunganmungkin dirasakan oleh pasien.pasien dapat mendengar bunyi deringan auman, atau dengungan ditelinganya dan, meski masih sadar, ia menyadari bahwa ia tidak mampu untuk menggerakkan ekstrimitasnya dengan mudah. Selama tahap ini, bunyi- bunyian sangat terdengar berlebihan, bahkan suara rendah atau suara minor terdengar sangat bising dan tidak nyata.untuk alasan ini, bunyi dan gerakan yang tidak perlu harus dihindari ketika anestesia telah di mulai.
2. Tahap II :Excaitement. Fase ini ditandai dengan gerakan melawan,

berteriak, berbicara, bernyanyi, tertawa, atau bahkan menangis sering dapat dihindari jika anestetik diberikan dengan lancar dan cepat. Pupil berdilatasi tetapi konsentrasi jika dipajankan dengnan cahaya frekuensi nadi cepat dan pernafasan tidak teratur. Karena gerakan pasien yang tidak terkontrol selama fase ini, ahli anestesi harus selalu ditemani oleh perawat untuk bersiaga membantu merestrain pasien. Sebuah strap mungkin sudah terpasang pasa paha pasien, dan tangan pasien diikatkan pada papan lengan, dan tangan disentuh kecuali untuk tujuan merestrain, tetapi restrain tidak boleh dipasang di atas tempat yang dioperasi.manipulasi meningkatkan sirkulasi pada tempat yang akan dioperasi, dengan demikian meningkatkan potensial

perdarahan.
3. Tahap III :Anestesia Bedah.Aneatesia bedah dicapai dengan

pemberin kontinu uap atau gas anestetik. Pasien dalam keadaan tidak sadar, berbaring dengan tenang dimeja operasi. Pupil mengecil tetapi akan lebih berkonsentrasi ketika dipajan oleh cahaya.pernafasan teratur, frekuensi dan volume nadi normal dan kulit berwarna merah muda dan kemerahan.dengan pemberian anestesi yang tepat, tahap hidup ini dapat dipertahankan berjamjam dengan salah satu bidang tubuh, berkisar dari ringan (1)

19

sampai

(4),

tergantung pada

kedalaman

anesthesia

yang

diperlukan.
4. Tahap IV :Takarjalak tahap ini dicapai ketika terlalu banyak

anestesia telah diberikan .pernafasan menjadi dangkal, nadi lemah dan cepat, pupil menjadi melebar dan tidak berkontraksi saat terpajan cahaya. Terjadi sianosis dan, kecuali tindakan cepat tidak dilakukan,akan terjadi kematian denagn cepat. Jika tahap ini terjadi anestetik harus segera dihentikan, dan dibutuhkan dukungan respiratori dan sirkulasi untuk mencegah kematian. Stimulan, walaupun jarang dipakai, mungkin diberikan jika terjadi takarjalak pemberian anestetik.antagonis narkotik dapat digunakan jika takarjalak disebabkan oleh narkotik. Selama pemberian anestetik dilakukan dengan lancar, tentunyaa tidak ada perbedaan mencolok antara tiga tahap pertama, tidak terjadi tahap IV. Pasien secara bertahap melewati satu tahap ketahap yang lain dan dengan observasi ketat terhadap tanda-tanda yang ditunjukan pasien ahli anestesi dapat mengontrol situasi tersebut. Respon pupil, tekanan darah, frekuensi pernafasan dan jantung yang kemungkinan menjadi pedoman kondisi pasien yang dapat diandalkan. 2.3.3 Mekanisme Kerja Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan mekanisme kerja anestetika dengan menetapkan hubungan antara sifat-sifat fisiokimia dari suatu obat dengan kegiatan anastetikanya, yang terpenting adalah teori lemak dari Mayer-overton. Karena sel-sel saraf dan membran yang mengandung lemak, maka menurut teori tersebut suatu anastetika dapat masuk kedalam jaringan-jaringan saraf, karena daya larutnaya dalam lemak. Semakin baik daya larut suatu obat kedalam lemak / minyak dan semakin kecil daya larutnya dalam air, maka semakin kuat pula khasiatnya depresinya atas sel saraf. Hubungan ini dirumuskan dengan suatu perbandingan yaiitu koefisien pembagian minyak-air (KMA).

20

2.3.4 Perubahan Fisiologis Lain. Pemberian anestetik dibarengi juga dengan aktifitas fisiologis lain. Hanya sedikit anestetik dapat menghasilkan hipersekresi mucus dan saliva. Hipersekresi ini dapat ditekan dengan pemberian atropin praopperasi. Dapat terjadi muntah atau regurgitasi, khususnya bila pasien dating keruang operasi dengan perut penuh. Jika terjadi cegukan pasien dimiringkan kesalah satu sisi, bagian kepala meja direndahkan dan disediakan besin untuk menampung muntahan. Peralatan suction selalu siap dan ini dapat digunakan untuk membuang saliva muntahan lambung. Selama anestesia suhu tubuh pasien dapat turun, dan karenanya segala upaya harus dilakukan untuk mencegah menggigil.selimut katun yang hangat harus disediakan. Metabolisme glukosa menurun dan sebagai akibatnya terjadi asidosis metabolik. Selain dari bahaya anestetik itu sendiri, ahli anestesi harus melindungi pasien terhadap asfiksia ini dapat disebabkan oleh benda asing didalam mulut, spasme pita suara, relaksasi lidah atau aspirasi muntahan, saliva atau darah. Komplikasi dicegah dengan memasang endotrakheal dengan yang kembungkan. 2.3.5 Obat Premidikasi Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi sebagai berikut :
1. Anelgetik Narkotik

a. Morfin. Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2mg/Kg BB) intramuskular diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang operasi, menghindari takipnu pada pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan dengan tenang dan dalam. Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan waktu pemulihan, timbul spasme serta kolik biliaris dan ureter. Kadang-kadang terjadi konstipasi, retensi urine, hipotensi, dan depresi napas.

21

b. Petidin. Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kg BB) intravena diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos. Dosis induksi 1-2 mg/kg BB intravena.
2. Barbutirat

Pentobarbital dan Sekorbarbital. Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa 100-200 mg, pada anak dan bayi 1 mg/kg BB secara oral atau intramuskular. Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan kurang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Yang mudah didapat adalah fenobarbital dengan efek depresen yang lemah terhadap pernapasan dansirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah.
3. Antikolinergik

Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular bekerja setelah 10-15 menit.
4. Obat Penenang

Midozolam.

Dibandingkan

dengan

diazepam,

midozolan

mempunyai awal dan lama kerja lebih pendek. Belakangan ini midozolam lebih disukai dibandingkan dengan diazepam. Dosis 50% dari dosis diazepam.

22

BAB 3 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN SISITEM PENCERNAAN PADA KASUS HEMOROID

3.1 Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001) 1. Data subyektif Data yang didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian (Nursalam, 2001) 2. Data objektif Data yang dapat diobservasi dan diukur (Nursalam, 2001) 3.1.1 Pengumpulan data Merupakan upaya untuk mendapatkan data sebagai informasi tentatang pasien. Data yang dibutuhkan tersebut mencakup data tentang biopsikososial dan spiritual atau data yang berhubungan dengan masalah pasien serta data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masalah pasien (Hidayat, A.A, 2006) 1. Identitas pasien meliputi nama pasien, tempat dan tanggal lahir, suku/bangsa, status perkawinan, agama, pendidikan, tanggal dan waktu datang ke Rumah sakit (Hidayat, A.A, 2006) 2. Identitas penanggung jawab: nama, umur jenis kelamin, alamat, pekerjaan, hubungan dengan klien.

23

3.1.2 Riwayat keperawatan 1. Riwayat keperawatan sekarang Riwayat keperawatan sekarang adalah faktor-faktor yang

melatarbelakangi atau hal-hal mempengaruhi atau mendahului keluhan. 2. Keluhan utama Keluhan utama, apa yang menyebabkan pasien berobat. 3. Lama keluhan Lama keluhan, seberapa lama pasien merasakan keluhan. 4. Riwayat penyakit saat ini Riwayat penyakit saat ini, merupakan penyakit yang dirasakan pasien pada saat dikaji (Hidayat, A.A, 2006). 5. Riwayat keperawatan sebelumnya Riwayat keperawatan sebelumnya adalah riwayat atau pengalaman masa lalu tentang kesehatan atau penyakit yang pernah di alami (Hidayat, A.A, 2006). 6. Riwayat keperawatan keluarga Riwayat keperawatan keluarga adalah riwayat kesehatan atau keperawatan yang dimiliki oleh salah satu anggota keluarga, apakah ada yang menderita penyakit yang seperti dialami pasien (Hidayat, A.A, 2006). 7. Riwayat lingkungan Apakah keadaan lingkungan keluarga / klien sudah memenuhi syarat kesehatan. 3.1.3 Pola Fungsi Kesehatan (Gordon) 1. Persepsi dan Penanganan Kesehatan 2. Nutrisi Metabolik 3. Eliminasi 4. Aktivitas Latihan

24

5. Istirahat Tidur 6. Kognitif Persepsi 7. Persepsi Diri dan Konsep Diri 8. Peran Hubungan 9. Seksualitas Reproduksi 10. Koping Toleransi Stres Nilai Kepercayaan 3.1.4 Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan Umum 2. Tingkat Kesadaran 3. Tanda tanda Vital 4. Head to toe 3.2 Diagnosa yang mungkin muncul (Nanda, 2012) Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah (Nursalam, 2001). 1. Nyeri Akut 2. Risiko Infeksi 3. Konstipasi 4. Ansietas

25

3.3 Intervensi Rencana keperawatan No 1 Diagnosa Keperawatan Nyeri akut berhubungan dengan: Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis), kerusakan jaringan Tujuan dan Kriteria Hasil NOC : Pain Level, pain control, comfort level Setelah dilakukan tinfakan keperawatan selama . Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil: 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 5. Tanda vital dalam rentang normal 6. Tidak mengalami gangguan tidur Intervensi NIC : 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan 4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri 6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin 8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: 9. Tingkatkan istirahat 10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur 11. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali

26

Risiko infeksi Faktor-faktor risiko : 0.Prosedur Infasif 1.Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan 2.Malnutrisi 3.Peningkatan paparan lingkungan patogen 4.Imonusupresi 5.Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi) 6.Penyakit kronik 7.Imunosupresi 8.Malnutrisi 9.Pertahan primer tidak adekuat (kerusakan kulit, trauma jaringan, gangguan peristaltik)

NOC : NIC : 1. Pertahankan teknik aseptif Immune Status 2. Batasi pengunjung bila perlu Knowledge : Infection control 3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah Risk control tindakan keperawatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama pasien tidak mengalami infeksi 4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung dengan kriteria hasil: 5. Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai 1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi dengan petunjuk umum 2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah 6. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan timbulnya infeksi infeksi kandung kencing 3. Jumlah leukosit dalam batas normal 7. Tingkatkan intake nutrisi 4. Menunjukkan perilaku hidup sehat 5. Status imun, gastrointestinal, genitourinaria 8. Berikan terapi antibiotik:................................. 9. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan dalam batas normal lokal 10. Pertahankan teknik isolasi k/p 11. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase 12. Monitor adanya luka 13. Dorong masukan cairan 14. Dorong istirahat 15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi 16. Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam

27

Konstipasi berhubungan dengan - Fungsi:kelemahan otot abdominal, Aktivitas fisik tidak mencukupi - Perilaku defekasi tidak teratur - Perubahan lingkungan - Toileting tidak adekuat: posisi defekasi, privasi - Psikologis: depresi, stress emosi, gangguan mental - Farmakologi: antasid, antikolinergis, antikonvulsan, antidepresan, kalsium karbonat,diuretik, besi, overdosis laksatif, NSAID, opiat, sedatif. - Mekanis: ketidakseimbangan elektrolit, hemoroid, gangguan neurologis, obesitas, obstruksi pasca bedah, abses rektum, tumor - Fisiologis: perubahan pola makan dan jenis makanan,

NOC: NIC : Manajemen konstipasi Bowl Elimination 1. Identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan Hidration konstipasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2. Monitor tanda-tanda ruptur bowel/peritonitis . konstipasi pasien teratasi dengan kriteria 3. Jelaskan penyebab dan rasionalisasi tindakan hasil: pada pasien 1. Pola BAB dalam batas normal 4. Konsultasikan dengan dokter tentang 2. Feses lunak peningkatan dan penurunan bising usus 3. Cairan dan serat adekuat 5. Kolaburasi jika ada tanda dan gejala konstipasi 4. Aktivitas adekuat yang menetap 5. Hidrasi adekuat 6. Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan dan serat) terhadap eliminasi 7. Jelaskan pada klien konsekuensi menggunakan laxative dalam waktu yang lama 8. Kolaburasi dengan ahli gizi diet tinggi serat dan cairan 9. Dorong peningkatan aktivitas yang optimal 10. Sediakan privacy dan keamanan selama BAB

28

penurunan motilitas gastrointestnal, dehidrasi, intake serat dan cairan kurang, perilaku makan yang buruk Ansietas berhubungan dengan Faktor keturunan, Krisis situasional, Stress, perubahan status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang pengetahuan dan hospitalisasi

NOC : NIC : Anxiety Reduction (penurunan kecemasan) Kontrol kecemasan 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan Koping Setelah dilakukan asuhan selama 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien klien kecemasan teratasi dgn 3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang kriteria hasil: dirasakan selama prosedur 1. Klien mampu mengidentifikasi dan 4. Temani pasien untuk memberikan keamanan mengungkapkan gejala cemas dan mengurangi takut 2. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan 5. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, menunjukkan tehnik untuk mengontol tindakan prognosis cemas 6. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien 3. Vital sign dalam batas normal 4. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh 7. Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi dan tingkat aktivitas menunjukkan 8. Dengarkan dengan penuh perhatian berkurangnya kecemasan 9. Identifikasi tingkat kecemasan 10. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan 11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi 12. Kelola pemberian obat anti cemas:........

29

3.4 Implementasi Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik (Nursalam, 2001). 3.5 Evaluasi Hal hal yang perlu dievaluasi dalam pemberian asuhan keperawatan berfokus pada criteria hasil dari tiap-tiap masalah keperawatan dengan pedoman pembuatan SOAP, atau SOAPIE pada masalah yang tidak terselesaikan atau teratasi sebagian.

30

DAFTAR PUSTAKA

Chong, P.S. & Bartolo, D.C.C., (2008). Hemorrhoids and Fissure in ano. Gastroenterology Clinics of North America Dorland, (2002). Kamus Saku kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC. Felix. (2006). Duduk, Salah, Berdiri, Juga Salah. Farmacia Majalah Kedokteran dan Farmasi. Jakarta. Available from: http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/one-news.asp?IDNews=278 Herdman, TH. (2012). NANDA International Diagnosa Keperawatan. EGC : Jakarta. Hidayat, A.A. (2006). Kebutuhan dasar manusia 1. salemba medika: Jakarta McKesson Health Solution LLC, (2004). Hemorrhoids. Philadelpia: Clinical Reference System. Available from: http://www.mdconsult.com. Nursalam. (2001). Proses & dokumentasi keperawatan. salemba medika: Jakarta Nisar, P.J. & Scholfield, J.H., (2003). Managing Haemorrhoids. British Medical Journal Strate, L.L., Ayanlan, J.Z., Kotier, G., Syngal, S., (2008). Risk Faktor for Mortality in Lower Intestinal Bleeding. Clin Gastroenterol Hepatol Snell, R.S., (2006). Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed.6. Jakarta: EGC. Smeltzer, S. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8. EGC : Jakarta Suparmi Yulia, dkk. (2008). Panduan Praktik Keperawatan. Yogyakarta : Citra aji Parama Villalba, H., Abbas, M.A., (2007). Hemorrhoids : Modern Remedies for an Ancient Disease. The Permanente Journal Wilkinson, judith M. (2006). Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. EGC : Jakarta

You might also like