You are on page 1of 4

BI naikkan suku bunga untuk mengerem pertumbuhan ekonomi

Reporter : Sri Wiyanti


Jumat, 12 Juli 2013 17:27:00

KategoriUangBank Berita tag terkaitBI ketatkan aturan, penyaluran kredit rumah BRI tidak tergangguAgus Marto naikkan suku bunga acuan BI jadi 6,5 persen

Potret ibu kota Jakarta. 2013 Merdeka.com/arie basuki


0

Di tengah kondisi ekonomi dunia yang diliputi ketidakpastian, Bank Indonesia menilai pertumbuhan ekonomi 5,8 persen masih terbilang optimal. Direktur Eksekutif Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi justru dapat memicu over heating atau membuat ekonomi kepanasan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan neraca transaksi berjalan makin defisit, inflasi tinggi dan nilai tukar rupiah makin fluktuatif. "Pertumbuhan ekonomi di bawah 6 persen, tidak apa-apa, tapi dengan inflasi yang lebih terjaga. Current account defisit yang lebih baik. Dengan langsung menaikkan suku bunga BI rate, kelipatan 50 bps. Dengan kenaikan BI Rate itu sudah cukup atraktif karena return instrumen keuangan rupiah kita menjadi lebih mahal," papar Dody di Gedung Bank Indonesia, Jumat (12/7) Dody memaparkan, sasaran yang akan dicapai BI dengan menaikkan BI rate adalah mengerem pertumbuhan ekonomi. Kenaikan BI Rate akan memicu naiknya suku bunga bank baik untuk simpanan maupun kredit

"Sasaran akhirnya kreditnya akan berkurang, permintaan domestik akan lebih lambat. Yang kita kejar, melambatnya ekonomi domestik, inflasinya akan lebih rendah, impor berkurang, tekanan current account membaik. Ekonomi harus tumbuh lebih rendah di bawah 6 persen, kredit harus tumbuh lebih rendah. Skenarionya seperti itu," ungkap Dody. Dia menjelaskan, angka pertumbuhan kredit yang ideal ada di kisaran 21-22 persen. "Jangan bandingkan kita pernah 30 persen, waktu 2008, itu justru kredit yang sangat ekspansif. Kita mencoba kredit optimal, sesuai pertumbuhannya. Kalau di bawah 6 persen ekonomi, kredit bisa di bawah kredit optimal 21-22 persen," tegas Dody. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi Ahmad Johansyah menambahkan, dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, maka kinerja impor menurun. Dengan begitu rupiah semakin menguat dan inflasi bisa ditekan ke posisi lebih rendah. "Selama ini NPI (neraca pembayaran Indonesia) kita kalau defisit ditutup dengan TMF (transaksi modal dan finansial). Masalahnya sekarang, capital account kita outflow, itu yang membuat defisit, kita tidak ada yang menolong. Dampaknya kepada rupiah. Impornya tinggi terus. Dengan pertumbuhan yang lebih rendah, revisi. Kredit akan melambat, BOP (balance of payment) juga bisa lebih sehat," imbuh Difi. Menurutnya, dalam lingkup regional, pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen masih terbilang bagus. "Pertumbuhan di atas 5 persen itu masih oke di regional. Ibaratnya kita naik mobil itu ngerem sedikit lah. Harus ada trade off (dikurangi) antara growth dan inflasi. Indonesia itu pasti selalu begitu, penyakit kita, begitu kredit naik tinggi, current account defisit naik, rupiah kita kena," tutup Difi.

BI optimis neraca pembayaran Indonesia triwulan III surplus


Reporter : Sri Wiyanti
Sabtu, 13 Juli 2013 07:59:39

KategoriUangEkonomi Berita tag terkaitBI ketatkan aturan, penyaluran kredit rumah BRI tidak tergangguHatta takut jika ekonomi Indonesia turun, lapangan kerja kurang
Gedung Bank Indonesia. Merdeka.com / Dwi Narwoko

Bank Indonesia (BI) yakin balance of payment atau Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) akan kembali surplus pada triwulan III tahun ini. Optimisme ini didasari oleh perhitungan bahwa tingkat defisit transaksi berjalan akan menurun seiring turunnya impor dan pembayaran ke luar negeri. Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan secara musiman kondisi NPI triwulan III memang jauh lebih baik. Untuk triwulan III kali ini, transaksi berjalan diproyeksi hanya sekitar 2 persen (dari PDB) seiring dengan menurunnya impor. Di sisi lain, lanjut Perry, surplus neraca modal dan finansial juga berpotensi besar. "Sehingga secara keseluruhan balance of payment-nya bukan lagi defisit, tetapi sudah surplus. Sedangkan defisit transaksi berjalan akan lebih kecil karena impor biasanya menurun, tidak ada repatriasi dividen dan juga tidak ada pembayaran kupon ke luar negeri," jelas Perry di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, kemarin.

Untuk triwulan II, sebagaimana tren musiman, defisit transaksi berjalan biasanya tinggi. Kali ini defisit di atas 3 persen (dari PDB). Hal ini disebabkan oleh impor yang masih tinggi, repatriasi (pengembalian modal lewat dividen ke negara asal) besar dan adanya pembayaran luar negeri. "Tapi triwulan dua surplus neraca modal besar. Sehingga overall defisit (NPI) akan lebih rendah dari triwulan satu. Defisit NPI akan jauh lebih rendah dari 6 persen," tutupnya.

You might also like