You are on page 1of 2

Prabowo Subianto: Bintang panas di pentas militer

Jalan mulus si anak emas


Prabowo menyelesaikan bangku sekolah menengahnya di usia 16 tahun di American School di London,
U.K.. Konon, Prabowo terkenal rewel dii kelasnya. Untuk itu, ia ‘dihukum’ dengan dinaikkan kelasnya ke
satu level yang lebih tinggi. Lulus sekolah di usia yang lebih muda ketimbang teman-teman sebayanya,
Prabowo kemudian diterima sebagai mahasiswa di tiga universitas di Amerika Serikat. Salah satunya
adalah Universitas Colorado.

Namun kuliah di usia muda justru mencemaskan Sumitro. Menurutnya, tak baik secara psikologis bagi
Prabowo bila duduk di bangku kuliah di usia yang begitu muda. Untuk itu, ia mengusung Prabowo kembali
ke tanah air dan memintanya menunda keinginannya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi.

Tetapi yang ada di benak Prabowo rupanya berbeda dengan Soemitro. Ditariknya Prabowo dari negeri
Pangeran Charles itu justru mencuatkan kembali cita-cita lama Prabowo, yaitu sekolah di bidang militer.
Awalnya, Sumitro yang rewel. Katanya, “Ada banyak hal terjadi-demonstrasi mahasiswa, Orde Baru.”
Kemudian dijawab oleh Prabowo, “Saya ingin menjadi bagian dari itu. Saya ingin kembali."

Keukeuh dengan pendiriannya, Prabowo pun melanjutkan sekolahnya di Akademi Militer Nasional (AMN),
sebagai Taruna Akabri Darat Magelang. Sponsor utama untuk pendidikan di sekolah militer ini datang dari
Jendral Sutopo Juwono. Di sekolahnya, Prabowo kerap menjadi bulan-bulanan teman-temannya. Soalnya,
bahasa Indonesia nya masih setengah-setengah, ditambah lagi ia adalah anak Sumitro yang notabene saat
itu tengah menjabat Mentri Perdagangan.

Prabowo menamatkan pendidikannya di AMN tahun 1974. Beberapa nama dari angkatan yang sama
dengan Prabowo yang cukup kesohor kemudian diantaranya Kolonel Syafrie Syamsudin, Kolonel Mahidin
Simbolon, dan Kolonel Eddi Budianto. Namun, tak seperti yang lainnya, masa tugas Prabowo lebih banyak
dilalui di lingkungan pasukan tempur. Meski suasana tak bergejolak saat itu, toh, karirnya tak menuai
buntung.

Dengan pangkat Letnan Dua, pada tahun 1976 ia menjadi Komandan Peleton Grup I Kopasandha (nama
lawas Kopassus). Setahun kemudian, naik menjadi Komandan Kompi di lingkungan Grup I kesatuan yang
sama, Kompi Nanggala 28, hingga tahun 1980. Ia tiba di Tmor-Timur untuk tugas pertamanya pada bulan
Maret 1976, sekitar 3 bulan setelah separo pulau tersebut ditinggalkan bangsa Portugis dan diduduki
Indonesia. “Kami semacam pasukan penggempur,” paparnya.

Ia mengimbuhkan, “Kami keluar dari Dili selama dua, tiga minggu untuk patroli dengan jangkauan
panjang. Sekali, kami dikepung ratusan gerilya. Pada waktu itu, kami tidak mempunyai banyak helikopter
dan cuacanya tidak bagus sekali. Saya ingat berharap: Kalau saya tertembak, biarkan saya tertembak pada
pagi hari. Karena kalau tertembak sesudah jam 2, tidak ada helikopter yang akan datang dan
menyelamatkan.”

Kemudian tahun 1978, ia kembali sebagai komandan Kompi 112, dengan kode Nanggala 28. Bersama
beberapa anak buahnya Prabowo pernah bekerja sama dengan beberapa anggota Batalyon 744. Operasi itu
berhasil menewaskan Presiden dan Menteri Pertahanan Fretilin Nicolao Dos Reis Labato di Timor Timor.
Ini pula yang membuat Prabowo mendapatkan kenaikan pangkat. Lima tahun kemudian, ia memimpin
satuan tugas anti gerilya. Akhirnya, Prabowo ditempatkan di Timor Timur dari tahun 1988 hingga 1989
sebagai Komandan Batallion Udara 328 Kostrad.

Karirnya terus naik kelas. Pada tahun 1980, jabatannya naik lagi menjadi Perwira Operasi di Grup I.
Jabatan ini diembannya sampai tahun 1983. Lebih kontroversial ketimbang sekadar menjadi anak Soemitro,
di tahun 1983 Prabowo menikahi Siti Hedijati Harijadi (Titiek), anak keempat Presiden Soeharto. Prabowo
kemudian menjadi bagian dari the first family di Indonesia. Sejak itu, Prabowo dikenal sebagai menantu
kesayangan Soeharto lantaran kecerdasannya berada di atas rata-rata prajurit kebanyakan. Pernikahan itu
pula yang kemudian disebut-sebut sebagai pemicu kenaikan pangkat Prabowo yang mulus.

Empat bulan usai setelah pesta perkawinannya, ia kembali ke lapangan untuk mengepung Fretilin. Konon,
pada operasi tersebut, Prabowo sempat terkepung oleh pasukan Fretilin di medan yang banyak ilalang.
Kabarnya, di sinilah ketrampilannya sebagai prajurit pernah ditunjukkan. Fretilin membakar Prabowo.
Ayah satu anak ini pun kemudian menyelamatkan diri dengan cara masuk ke sebuah lubang. Seharian ia tak
menampakkan diri dan selama 12 jam ia diberitakan hilang.

Berkaitan dengan Timor-Timur, awal tahun 90-an, Prabowo pernah mencoba membujuk Jakarta untuk
memberikan otonomi pada Timor-Timur. Bukan sekadar basa-basi, duta besar Indonesia Francisco Lopez
da Cruz dan mantan menteri luar negeri Ali Alatas pun membenarkan fakta yang selama ini tak pernah
muncul di permukaan ini. Fransisco Lopez dan Ali Alatas memang lama terlibat dalam kebijakan Timor
Timur. Nah, Prabowo kemudian muncul belakangan menjadi satu dari para pengusul pertama otonomi.

“Dalam keadaan pemberontakan, selalu harus ada pemecahan yang bersifat politis," kata Prabowo. "Dan
saya pikir bahwa suatu daerah otonomi khusus akan ideal. Tetapi tentu saja siapa yang akan mendengarkan
seorang letnan dua, letnan satu atau seorang kapten?" Nyatanya, statusnya sebagai menantu Suharto tidak
banyak memberikan perbedaan, karena Soeharto tetap bersikeras agar Timor-Timur tetap menjadi bagian
dari Indonesia.

“Baginya (Soeharto—ed), integrasi merupakan hasil akhirnya,” kata Prabowo, yang merasa bahwa pilihan
Timor Timur untuk meninggalkan Indonesia, sebagian, merupakan suatu pembuktian. “Saya selalu
menentang diteruskannya peperangan tersebut. Pada akhirnya terbukti kebenarannya. Beberapa orang yang
berkedudukan tinggi punya ide gila bahwa bila dapat meneruskan peperangan ini akan merupakan hal
bagus.”

Pada tahun 1993, kembali ia ditugaskan di Kopassus, dengan jabatan Pejabat Sementara Komandan Grup
III Pusdik Kopassus, dan tak lama kemudian menjadi Komandan Grup 3 Pusat Pendidikan Pasukan Khusus
(Pusdikpasus). Tahun 1994, kembali ia dipromosikan untuk mendampingi Brigjen Soebagyo Hari Siswoyo,
yang saat itu menjabat Komandan Kopassus, sebagai Wakil Komandan Kopassus.

Sejak menjabat posisi Wakil Komandan Kopassus, aktifitas Prabowo di luar tugas keprajuritan makin
kentara. Malah, ia pun tak segan tampil di depan publik dan diliput media massa, baik dengan baret
merahnya, maupun kegiatannya selaku Ketua Majelis Pertimbangan Keluarga Mahasiswa Alumni Penerima
Beasiswa Supersemar.

Hanya magang menjadi Wakil Komandan selama 14 bulan, ia naik satu level lagi menggantikan
komandannya, Soebagyo, yang dipromosikan menjadi Panglima Kodam IV/Diponegoro dan menyandang
dua bintang di bahu. Dengan demikian, Prabowo tercatat sebagai jenderal pertama alumni angkatan 1974.
Bila Anda masih ingat, saat itu, hampir semua halaman koran memuat potret Prabowo di halaman utama
sebagai Komandan Kopassus anyar.

Sesungguhnya, jauh sebelum diresmikan sebagai Komandan Kopassus, kabar naiknya Prabowo ini sudah
santer beredar di Jakarta. Bahkan jurnal East-West Center, edisi 8 September 1995, yang terbit di Amerika
Serikat, tak ragu-ragu meramalkan keberuntungan anak ketiga Sumitro ini dua bulan sebelum pelantikan
Prabowo.

Rupanya, ramalan ini tak keliru. Surat Keputusan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Nomor 820/XI/1995 tanggal 15 November 1995 tentang ‘Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam
Jabatan di Lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia’ pun terbit. Surat yang berlaku sejak 1
Desember 1995 mensahkan Prabowo sebagai Komandan Kopasus dengan bintang satu di pundak.

You might also like