You are on page 1of 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.

Karies Gigi Karies berasal dari bahasa latin yaitu caries yang artinya kebusukan. Definisi sederhana karies gigi adalah suatu proses kronis regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam microbial dari substrat sehingga timbul destruksi komponen-komponen organic yang akhirnya terjadi kavitas (Schuurs, 1992) Menurut Sumawinata (2000), karies gigi adalah suatu penyakit jaringan keras gigi yang diakibatkan oleh mikroorganisme pada karbohidrat yang dapt difermentasikan sehingga terbentuk asam dan menurunkan pH dibawah pH kritis, sehingga terjadi demineralisasi jaringan keras gigi. Tanda karies adalah terjadinya demineralisasi mineral email dan dentin diikuti oleh disintegrasi bagian organiknya. Karies gigi adalah penghancuran terlokalisasi dari jaringan gigi oleh mikroorganisme (Pine, 1997). Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yaitu email, dentin, dan sementum yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan (Kidd & Bechal,1991) Newburn mendefinisikan karies gigi sebagai penyakit bacterial yang menyerang gigi dimana bagian organik dari gigi mengalami destruksi, sedangkan bagian anorganiknya mengalami dekalsifikasi (Darwita,2004). Karies gigi merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroba yang bersifat menyebabkan infeksi pada gigi yang menyebabkan pelarutan dan penghancuran pada jaringan yang mengalami kalsifikasi. Karies gigi merupakan infeksi endogen kronik yang disebabkan oleh flora oral komensal. Lesi karies merupakan akibat dari demineralisasi email dan kemudian dentin karena asam yang dihasilkan oleh mikroorganisme karena bakteri tersebut memetabolisme karbohidrat. Karies didefinisikan sebagai destruksi yang terlokalisir pada jaringan gigi karena fermentasi karbohidrat oleh bakter (samaranayake, 2002). Lesi primer karies berbatas jelas, berupa lesi yang berwarna putih seperti kapur.yang mana kontinuitas permukaan enamel tertembus. Factor factor utama yang terlibat dalam etiologi karies adalah: Factor host (gigi, saliva) Makanan (terutama asupan karbohidrat yang mudah mengalami fermentasi) Mikroorganisme pada plak

Factor host Struktur gigi Laju aliran dan komposisi saliva

Aksi pembersihan secara mekanis oleh saliva merupakan mekanisme yang sangat efektif dalam menghilangkan debris makanan dan mikroorganisme oral yang tidak melekat. Salive memiliki kapasitas buffering yang tinggi yang cenderung untuk menetralisir asam yang dihasilkan oleh bakteri. Makanan Terdapat hubungan langsung antara karies gigi dan asupan karbohodrat. Gula yang paling kariogenik adalah sukrosa. Mikrobiologi Mikroorganisme dalam pembentukan plak gigi merupkan prasyarat dalam perkembangan karies gigi. Mikroorganisme yang dianggap paling berperan adalah streptococcus mutan

TUNARUNGU Anak Tunarungu/tunawicara/wicara adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Menurut WHO ketulian (deafness) merupakan kehilangan kemampuan untuk mendengar secara total pada satu atau dua telinga. Sedangkan tunarungu (hearing impairment) mengacu pada kehilangan kemampuan mendengaran baik sebagian ataupun seluruhnya. Terdapat dua jenis tunarunu, berdasarkan bagian telinga mana yang mengalami kerusakan. Tunar

Masalah pendengaran bersumber dari berbagai factor sebelum kelahiran, saat lahir, dan setelah lahir, seperti sebagai berikut: 1.

2.

Sebelum masa lahir a. Penyakit turunan yang disebabkan oleh gen b. Bukan penyakit turunan Sakit semasa hamil terutama oleh virus seperti rubella, demam glandular, dan salesma Semasa hamil sang ibu mengonsumsi obat ataupun bahan kimia seperti kuanin dan streptomycin Sang ibu menderita toksemia pada masa akhir kehamilan Sering hamil Saat melahirkan a. Masa melahirkan yang terlalu lama atau bayi sulit keluar yang menyebabkan terjadinya tekanan yang kuat pada bagian telinga. b. Kelahiran premature c. Cedera pada saat dilahirkan terutama pada telinga d. Penyakit hemolisis yang seringkali disebabkan oleh factor Rh Setelah kelahiran a. Anak mengidap penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus seperti gondok dan campak b. Kecelakaan yang mencederai bagian telinga c. Pengonsumsian antibiotic seperti streptomycin d. Menangkap bunyi yang terlalu keras dalam jangka waktu lama.

3.

Tahap Kehilangan Pendengaran Tingkatan masalah pendengaran adalah sebagai berikut: 1. Masalah Pendengaran a. Ringan (mild) Tingkat kehilangan pendengaran antara 27 hingga 40 Db Memahami percakapan Mengalami kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang pelan dan jauh Memerlukan terapi penutuan b. Sedang (moderate) Tingkat kehilangan pendengaran antara 41 hingga 55 Db Dapat mendengar bunyi pada jarak satu hingga 1,5 meter darinya Memahami percakapan Sulituntuk ikut perbincangan dalam kelas Memerlukan alat bantu dengar Memerlukan terapi penuturan c. Menengah serius (moderate-severe) Tahap kehilangan pendengaran antara 56 hingga 70 Db Memerlukan alat bantu dengar dan latihan pendengaran Memerlukan latihan penuturan dan komunikasi Orang yang ingin berbicara dengan mereka harus berbicara dengan keras 2. Tuli a. Serius (severe) Tingkat hilangnya pendengaran antara 71 hingga 90 Db Dapat mendengar bunyi yang keras pada jarak antara nol hingga 30,5 cm darinya Mungkin hanya dapat memnedakan sebagian dari bunyi saja Memiliki masalah dalam penuturan Membutuhkan pendidikan khusus, alat bantu dengar dan latihan penuturan dan komunikasi. b. Sangat serius (profound) Tingkat kehilangan pendengaran lebih dari 90 Db Sulit untuk mendengar bunyi, walaupun keras Memerlukan alat bantu pendengaran dan terapi penuturan Anak-anak yang kehilangan pendengarannya sebelum bertutur dan berbahasa berada dalam kategori tuli pralingual yang biasanya menyebabkan masalah dalam pembelajaran. Kehilangan pendengaran setelah dapat bertutur dan berbahasa disebut sebagai tuli pascalingual.

Jenis-jenis kehilangan pendengaran Jenis kehilangan pendengaran dapat ditentukan melalui tes pendengaran dengan menggunakan audiometer. Terdapat dua jenis kehilangan pendengaran utama, yaitu: a. Kehilangan pendengaran konduktif atau bagian penerimaan. Kecacatan ini terjadi akibat dari kerusakan pada telinga luar atau telinga tengah yang mengurangi intensitas bunyi yang sampai ke telinga dalam. Bunyi yang masuk melalui saluran auditoris ke gendang telinga akan menyebabkan tiga tulang kecil dalam telinga tengah yang mengurangi intensitas bunyi yang sampai ke telinga dalam. Bunyi yang masuk melalui saluran auditoris ke gendang telinga akan menyebabkan tiga tulang kecil dalam telinga tengah bergetar dan mengantar bunyi ke telinga dalam mungkin terganggu akibat kotoran telinga atau penyebab lainnya. Gendang telinga yang pecah, luka atau berlubang juga menghalangi bergetarnya tiga tulang kecil yang menyebabkan terjadinya ketulian. Ketulian jenis ini biasanya dapat dibantu dengan alat bantu pendengaran. b. Kehilangan pendengaran sensoris-neural atau bagian penangkap bunyi. Kecacatan ini terjadi akibat kerusakan pada telinga dalam atau saraf auditoris yang membawa impuls (getaran) ke otak. Kehilangan pendengaran pada jenis ini biasanya tak dapat menerima sebagian frekuensi atau keseluruhan.

C. Karakteristik Uden (1971) dan Meadow (1980) dalam Bunawan dan Yuwati (2000) mengemukakan beberapa ciri atau sifat yang sering ditemukan pada anak tunarungu atau dikenal dengan karakteristik dari tunarungu yaitu: 1. Sifat egosentris yang lebih besar daripada anak mendengar. Sifat ini membuat mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain serta kurang menyadari/peduli tentang efek perilakunya terhadap orang lain. Dalam tindakannya dikuasai perasaan dan pikiran secara berlebihan. Sehingga mereka sulit menyesuaikan diri. Kemampuan bahasa yang terbatas akan membatasi pula kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman dan akan makin memperkuat sifat egosentis ini. 2. Memiliki sifat impulsif, yaitu tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang hati-hati dan jelas serta tanpa mengantisipasi akibat yang mungkin timbul akibat perbuatannya. Apa yang mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi. Adalah sulit bagi mereka untuk merencanakan atau menunda suatu pemuasan kebutuhan dalam jangka panjang. 3. Sifat kaku (rigidity), menunjuk pada sikap kurang luwes dalam memandang dunia dan tugastugas dalam kesehariannya. 4. Sifat lekas marah dan mudah tersinggung 5. Perasaan ragu-ragu dan khawatir Seiring dengan pengalaman yang dialaminya secara terus-menerus, mereka juga memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar sebagai upayanya untuk dapat tetap

survived. Oleh karena itu untuk mengatasi hambatan ini, diperlukan upaya latihan artikulasi dan bicara yang komunikatif, serta membaurkan anak tunarungu ke dalam komunitas anak yang mendengar dan tidak mendengar, agar termotivasi untuk berkomunikasi sehingga rasa rendah diri dan terisolasi dapat diatasi dan berkembang menjadi rasa percaya diri. D. Dampak Ketunarunguan Terhadap Kemampuan Berbahasa Ketunarunguan yang berarti tidak memiliki kemampuan mendengar, tentunya akan membawa dampak juga pada kemampuan untuk memperoleh pendidikan bagi penderitanya. Sementara pendidikan memiliki peran penting dalam kemampuan berpikir seseorang. Dalam hal ini, masa kanak-kanak merupakan masa yang penting dalam proses pendidikan. Sebagaimana yang diutarakan Bloom (2003) dalam Mahesa (2005), bahwa separuh perkembangan intelektual anak berlangsung sebelum usia empat tahun. Lebih jelas lagi, menurut Landshears (2004) dalam Mahesa (2005), pada usia empat tahun, perkembangan intelektual mencapai 50 %, selebihnya 30 % untuk 4-8 tahun, dan 20 % usia 9-17 tahun. Dari semua kendala yang ada, maka dampak paling besar pada ketunarunguan adalah terjadinya kemiskinan bahasa (Uden, 1977 dan Meadow, 1980 dalam Bunawan dan Yuwati, 2000). Adalah suatu kenyataan bahwa kebanyakan orang beranggapan bahwa ketunarunguan hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara. Padahal lebih dari itu, dampak ketunarunguan adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan (Leigh, 1994 dalam Nugroho, 2004). Artinya tanpa pendidikan khusus, mereka tidak akan mengenal lambang bahasa atau nama guna mewakili suatu benda, kegiatan, peristiwa, dan perasaan serta tidak akan memahami aturan/sistem bahasa yang berlaku dan digunakan dalam lingkungannya. Penguasaan bahasa pada anak mendengar terjadi secara wajar, yakni di lingkungan keluarga selama usia balita. Pada usia empat tahun, mereka pada umumnya sudah memasuki tahap purna bahasa (postlingual) yaitu mengenal dan memahami lambang bahasa serta tanpa disadari sudah mampu menerapkan aturan bahasa yang digunakan di lingkungannya. Sedangkan bagi anak tunarungu, pada umumnya baru akan memasuki tahap purna bahasa pada usia 12 tahun. Itupun hanya akan terjadi bila anak dan orangtua mereka mengikuti program bimbingan dan intervensi dini (paling lambat sejak anak berusia 1,5 tahun, dengan intelegensi normal serta tidak mempunyai kecacatan lain) yang ditangani secara professional oleh ahli yang bersangkutan. Proses pendidikan di semua lembaga pendidikan, termasuk SLB tunarungu bertopang pada kemampuan berbahasa peserta didiknya. Dapat dikatakan bahwa dalam segala kegiatan pembelajaran, kegiatan berbahasa memegang peran baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun isyarat. Apabila anak mengerjakan tugas yang menuntut daya logika dan abstraksi yang lebih tinggi, maka diharapkan keterampilan berbahasa akan membawa anak didik belajar berfikir runtut dan logis. Keterlambatan dan kemiskinan perkembangan kemampuan berbahasa anak tunarungu sebagai akibat dari ketunaanya, seyogyanya menjadi acuan bagi para pendidik dan pengambil kebijakan, karena di situlah terletak kebutuhan pendidikan khusus mereka. Dan selanjutnya, segala upaya pengembangan pendidikan anak tunarungu sejak usia dini, sudah sepatutnya dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan khusus tersebut.
13

Definisi Karies Karies merupakan suatu penyakit pada jaringan keras gigi, yaitu email, dentin dan sementum yang disebabkan aktivitas jasad renik yang ada dalam suatu karbohidrat yang diragikan. Proses karies ditandai dengan terjadinya demineralisasi pada jaringan keras gigi, diikuti dengan kerusakan bahan organiknya. Hal ini akan menyebabkan terjadinya invasi bakteri dan kerusakan pada jaringan pulpa serta penyebaran infeksi ke jaringan periapikal dan menimbulkan rasa nyeri. Sampai sekarang, karies masih merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara-negara bekembang. Klasifikasi Karies Pada tahun 1908, GV Black mempublikasikan klasifikasi karies berdasarkan lokasinya pada gigi:

Kelas 1: lesi terletak pada pit dan fissure pada bagian gigi manapun Kelas 2: lesi terletak pada permukaan proksimal gigi premolar dan molar Kelas 3: lesi terletak pada permukaan proksimal incisive dan caninus yang tidak memerlukan pembuangan dan restorasi pada sudut incisal Kelas 4: lesi terletak pada permukaan proksimal gigi incisive dan caninus yang memerlukan pembuangan dan restorasi pada sudut incisal Kelas 5: lesi terletak pada 1/3 gingival pada permukaan labial, buccal atau lingual. Tampilan Klinis Lesi primer karies berupa lesi yang berbatas jelas, berwarna putih seperti kapur, dan kontinuitas permukaan enamel tertembus. Lesi ini dapat sembuh atau mengalami remineralisasi dan pleh sebab itu pada tahap ini bersifat reversible. Meskipun demikian, saat lesi berkembang, permukaan menjadi kasar dan terbentuk kavitas. Jika lesi tersebut tidak ditangani, kavitas akan meluas ke dentin dan dapat menghancurkan pulpa Faktor Etiologi

Ada yang membedakan factor etiologi atau penyebab karies atas factor penyebab primer yang langsung mempengaruhi biofilm (lapisan tipis normal pada permukaan gigi yang berasal dari saliva) dan factor modifikasi yang tidak langsung mempengaruhi biofilm. Karies terjadi bukan disebabkan karena satu kejadian saja seperti penyakit menular lainnya tetapi disebabkan serangkaian proses yang terjadi selama beberapa kurun waktu. Pada tahun 1960-an oleh Keyes dan Jordan (cit. Harris and Christen, 1995), karies dinyatakan sebagai penyakit multifaktorial yaitu adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab terbentuknya karies. Ada tiga faktor utama yang memegang peranan yaitu faktor host atau tuan rumah, agen atau ikroorganisme, substrat atau diet dan ditambah faktor waktu, yang digambarkan sebagai tiga lingkaran yang bertumpangtindih (Gambar 1.1). Untuk terjadinya karies, maka kondisi setiap faktor tersebut harus saling mendukung yaitu tuan rumah yang rentan, mikroorganisme yang kariogenik, substrat yang sesuai dan waktu yang lama.

1. Faktor host atau tuan rumah Ada beberapa faktor yang dihubungkan dengan gigi sebagai tuan rumah terhadap karies yaitu faktor morfologi gigi (ukuran dan bentuk gigi), struktur enamel, faktor kimia dan kristalografis. Pit dan fisur pada gigi posterior sangat rentan terhadap karies karena sisa-sisa makanan mudah menumpuk di daerah tersebut terutama pit dan fisur yang dalam. Selain itu, permukaan gigi yang kasar juga dapat menyebabkan plak mudah melekat dan membantu perkembangan karies gigi. Enamel merupakan jaringan tubuh dengan susunan kimia kompleks yang mengandung 97% mineral (kalsium, fosfat, karbonat, fluor), air 1% dan bahan organik 2%. Bagian luar enamel

mengalami mineralisasi yang lebih sempurna dan mengandung banyak fluor, fosfat dan sedikit karbonat dan air. Kepadatan kristal enamel sangat menentukan kelarutan enamel. Semakin banyak enamel mengandung mineral maka kristal enamel semakin padat dan enamel akan semakin resisten. Gigi susu lebih mudah terserang karies daripada gigi tetap. Hal ini disebabkan karena enamel gigi susu mengandung lebih banyak bahan organik dan air sedangkan jumlah mineralnya lebih sedikit daripada gigi tetap. Selain itu, secara kristalografis kristal-kristal gigi susu tidak sepadat gigi tetap. Mungkin alasan ini menjadi salah satu penyebab tingginya prevalensi karies pada anak-anak. 2. Faktor agen atau mikroorganisme Plak gigi memegang peranan peranan penting dalam menyebabkan terjadinya karies. Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak di atas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan. Hasil penelitian menunjukkan komposisi mikroorganisme dalam plak berbeda-beda. Pada awal pembentukan plak, kokus gram positif merupakan jenis yang paling banyak dijumpai seperti Streptokokus mutans, Streptokokus sanguis, Streptokokus mitis dan Streptokokus salivarius serta beberapa strain lainnya. Selain itu, ada juga penelitian yang menunjukkan adanya laktobasilus pada plak gigi. Pada penderita karies aktif, jumlah laktobasilus pada plak gigi berkisar 104 105 sel/mg plak. Walaupun demikian, S. mutans yang diakui sebagai penyebab utama karies oleh karena S. mutans mempunyai sifat asidogenik dan asidurik (resisten terhadap asam). 3. Faktor substrat atau diet Faktor substrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena membantu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada permukaan enamel. Selain itu, dapat mempengaruhi metabolisme bakteri dalam plak dengan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk memproduksi asam serta bahan lain yang aktif yang menyebabkan timbulnya karies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang banyak mengonsumsi karbohidrat terutama sukrosa cenderung mengalami kerusakan pada gigi, sebaliknya pada orang dengan diet yang banyak mengandung lemak dan protein hanya sedikit atau sama sekali tidak mempunyai karies gigi. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa karbohidrat memegang peranan penting dalam terjadinyakaries. 4. Faktor waktu Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis pada manusia yang berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Lamanya waktu yang dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi suatu kavitas cukup bervariasi, diperkirakan 6-48 bulan.

Indeks Pengukuran Karies

You might also like