You are on page 1of 103

SUKSESI VEGETASI DI GUNUNG PAPANDAYAN PASCA LETUSAN TAHUN 2002

WELLY RAHAYU E 14201033

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

RINGKASAN
Welly Rahayu. Suksesi Vegetasi Di Gunung Papandayan Pasca Letusan Tahun 2002. Di Bawah Bimbingan Ir. Iwan Hilwan, MS. Masyarakat hutan merupakan suatu siste m hidup dan tumbuh, atau suatu masyarakat yang dinamis. Untuk mencapai keadaan seimbang/dinamis (dynamic equilibrium) masyarakat hutan memerlukan jangka waktu yang sangat lama. Masyarakat hutan yang telah seimbang/dinamis sering terusik oleh beberapa gangguan. Pertama aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan seperti perladangan berpindah dan pembalakan. Kedua karena faktor alam yang bersifat alami seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin ribut dan lain-lain. Kerusakan hutan akibat faktor alam terjadi di Gunung Papandayan yang meletus pada tahun 2002 yang telah mengakibatkan kerusakan baik pada kondisi lingkungan maupun ekosistem yang menyebabkan kawasan hutan berbeda dengan kondisi awal. Dimana untuk mencapai keadaan seimbang (dynamic equilibrium) dibutuhkan suatu proses dalam jangka waktu yang sangat lama yaitu proses suksesi. Penelitian ini bertujuan untuk m engetahui tingkat suksesi yang terjadi di kawasan hutan pasca letusan Gunung papandayan. Data ini sebagai data awal yang dapat digunakan untuk penelitian pada tahun-tahun berikutnya. Penelitian suksesi ini dilaksanakan di kawasan hutan Gunung Papandayan Garut, pada hutan yang terkena letusan dan hutan yang tidak terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl dan 2500 m dpl. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni September 2005. Bahan-bahan yang digunakan adalah etiket gantung, lembar herbarium dan label, sasak bambu, kertas gambar dan kertas koran, isolatif, kantong palstik dan Alkohol 70%. Alat-alat yang digunakan adalah Alat ukur meteran, alat tulis, tali rafia atau tali plastik, golok dan pisau, kompas, gunting ranting, tally sheet, pita keliling, pita t anda, kamera digital, paralon, haga meter, GPS, dan termometer. Kegiatan yang dilakukan adalah analisis vegetasi, analisis tanah dan pembuatan herbarium. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode jalur berpetak. Pada setiap ketinggian dibuat sebanyak lima jalur (20 x 100 m) dimana setiap jalur dibagi menjadi lima petak contoh (20 x 20 m). Petak contoh ini dibagi lagi menjadi sub petak contoh yang terdiri dari tingkat semai (2 x 2 m), pancang (5 x 5 m), tiang ( 10 x 10 m), dan pohon (20 x 20 m). Sedangkan untuk herba dan semak (5 x 5 m), liana dan efifit (20 x 20 m). Jarak antar jalur adalah 30 m. Data hasil analisis vegetasi berupa Indek Nilai Penting, Indeks Keragaman, Indeks Kekayaan, Indeks Kemerataan, Indeks Dominansi dan Indeks Kesamaan Komunitas. Untuk analisis tanah metode yang dilakukan adalah metode tanah terusik. Data yang dianalisis adalah sifat fisik (tekstur) dan sifat kimia (pH, Al, P, C-organik, N-total, KTK, Mg, K, Ca, dan KB) tanah. Pembuatan herbarium dengan cara mengambil specimen di lapangan. Pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl belum ditemukannya vegetasi sedangkan hutan di ketinggian 2500 m dpl vegetasi yang mendominasi adalah vegetasi tingkat herba dan semak. Indek keragaman, Kekayaan dan Kemerataan jenis pada hutan terkena letusan lebih rendah

dibandingkan hutan tidak terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl. Sedangkan untuk Indeks Dominansi pada hutan yang terkena letusan lebih tinggi dibandingkan hutan tidak terkena letusan baik di ke tinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl.. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl Indek Kesamaan Komunitas terbesar adalah pada tingkat tiang dengan nilai sebesar 19,44% sedangkan di ketinggian 2500 m dpl adalah pada tingkat herba dan semak dengan nilai sebesar 49,26%. Akibat adanya peristiwa letusan Gunung Papandayan yang terjadi pada tahun 2002, telah mengakibatkan perubahan yang sangat drastis pada kondisi lingkungan maupun ekosistem yang menyebabkan kawasan hutan tersebut berbeda dengan kondisi awalnya. Kemudian seiring dengan perubahan alam dari waktu ke waktu, telah terjadinya suatu proses suksesi yaitu suksesi sekunder pada areal-areal terbuka yang mengalami kerusakan akibat letusan. Proses suksesi sekunder yang berjalan lebih kurang tiga tahun lamanya telah membentuk suatu komunitas baru yang berbeda dari komunitas sebelumnya. Proses suksesi yang terjadi telah masuk kedalam tingkatan pertama yaitu vegetasi rumput herba dan semak kecil. Proses ini telah terjadi pada hutan yang terkena letusan di ketinggia n 2500 m dpl dimana pada hutan tersebut didominasi oleh vegetasi untuk tingkat herba dan semak. Sedangkan pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl, proses suksesi berjalan sangat lambat karena hingga saat ini belum ditemukannya vegetasi bar u yang tumbuh pada hutan tersebut. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena hutan pada ketinggian 2300 m dpl sangat dekat dengan sumber letusan (2200 m dpl) sehingga menyebabkan kerusakan yang sangat parah. Tekstur tanah yang diperoleh menunjukkan bahwa pada hutan terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl tekstur tanahnya lebih halus daripada hutan tidak terkena letusan. Ini menunjukkan bahwa tanah tersebut dapat meresap air dan mengikat unsur hara dengan baik. Sedangkan untuk sifat kimia tanah setelah terjadi letusan pada umumnya mengalami penurunan kecuali pH, Al, dan P

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian Nama Mahasiswa NRP Program studi : Suksesi Vegetasi Di Gunung Papandayan Pasca Letusan Tahun 2002 : Welly Rahayu : E 14201033 : Budi Daya Hutan

Disetujui,

(Ir. Iwan Hilwan, MS) Dosen Pembimbing

Diketahui,

(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) Dekan Fakultas Kehutanan

SUKSESI VEGETASI DI GUNUNG PAPANDAYAN PASCA LETUSAN TAHUN 2002

WELLY RAHAYU E 14201033

Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Pemelihara, yang telah melimpahkan nikmat dan karunianya, termasuk nikmat yang Dia berikan kepada penulis dalam pelaksanaan serangkaian tugas akhir hingga tuntasnya skripsi ini. Skripsi ini be rjudul Suksesi Vegetasi Gunung Papandayan Pasca Letusan Tahun 2002. Skripsi ini dilakukan penulis untuk mempelajari tingkat suksesi yang terjadi di kawasan hutan pasca letusan Gunung papandayan. Data ini sebagai data awal yang dapat digunakan untuk penel itian pada tahun-tahun berikutnya. Dengan penuh kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Keluarga tercinta yang telah memberikan doa, dukungan serta pengorbanan yang terbaik. 2. Ir. Iwan Hilwan, MS atas kesediaan dan keikhlasan beliau membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini. 3. Ir. I. Ketut N Pandit, MS dan Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata atas saran dan masukan yang telah diberikan demi kesempurnaan skripsi ini. 4. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Kritik serta saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya, semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi sumber informasi bagi yang menggunakannya. Bogor, Januari 2006 Penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Dumai, Propinsi Riau pada tanggal 20 Juli 1983. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Ridwan. AR (Ayah) dan Yunimar (Ibu). Penulis menjalani pendidikan Sekolah Dasar Negri 014 Dumai tahun 1989-1995, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negri 2 Dumai tahun 1995-1998 dan Sekolah Menengah Umum Negri 2 Dumai tahun 1998-2001. Pada tahun 2001, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Dalam bidang akademik, penulis telah mengikuti beberapa prakte k lapang antara lain : Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada bulan Juli-Agustus 2004 di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (KPH Banyumas Barat, BKPH Rawa Timur dan KPH Banyumas Timur, BKPH Gunung Slamet Barat) dan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, KPH Ngawi. Pada bulan Februari April 2005, penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Diamond Raya Timber, Riau. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi anggota Komunitas Masyarakat Rumput (MR) tahun 2002-2003, anggota Departemen Public relation ASEAN Forestry Students Association (AFSA) LC IPB 2003-2004, dan asisten mata kuliah Dendrologi dan Ekologi Hutan 2004-2006. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi dengan judul Suksesi Vegetasi Di Gunung Papandayan Pasca Letusan Tahun 2002 di bawah bimbingan Ir. Iwan Hilwan, MS.

DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR...................................................................................... i DAFTAR ISI.................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... I. PENDAHULUAN ....................................................................................... A. Latar Belakang ...................................................................................... B. Tujuan Penelitian .................................................................................... C. Manfaaat Penelitian ................................................................................ II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. A. Dinamika Masyarakat Tumbuhan ......................................................... 1. Pengertian Suksesi .............................................................................. 2. Macam Suksesi ................................................................................... 3. Karakteristik Suksesi............................................................................ 4. Tahapan Perkembangan Suksesi .......................................................... B. Morfologi Tumbuhan.............................................................................. 1. Struktur dan Komposisi Daun.............................................................. 2. Struktur dan Komposisi Bunga ............................................................ 3. Buah ..................................................................................................... C. Eksplorasi Botani Hutan ......................................................................... D. Sifat Fisik dan Kimia Tanah .................................................................. 1. Sifat Fisik Tanah.................................................................................. a. Tekstur Tanah................................................................................... 2. Sifat Kimia Tanah ................................................................................ a. Reaksi Tanah .................................................................................... b. Bahan Organik .................................................................................. c. Nitrogen............................................................................................ d. Fosfor ............................................................................................... e. Kalium .............................................................................................. f. Magnesium dan Kalsium .................................................................. g. Kapasitas Tukar Kation .................................................................... h. Kejenuhan Basa ................................................................................ II. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK.................................................... A. Luas dan Letak .................................................................................... B. Topografi dan Iklim ............................................................................. C. Sumber Air .......................................................................................... D. Tanah .................................................................................................. E. Flora dan Fauna ..................................................................................... ii v vi vii 1 1 2 2 3 3 3 5 5 6 9 9 10 11 13 14 14 14 15 16 17 17 18 19 19 20 21 22 22 22 23 23 23

1. Flora ................................ ............................................................. 2. Fauna ................................ ............................................................. F. Keadaan Sosial Ekonomi ....................................................................... 1. Penduduk............................... ........................................................ 2. Mata Pencaharian .................. ........................................................ 3. Jenis Penggunaan Lahan ............. ...................................................... IV. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................. B. Bahan dan Alat ..................................................................................... 1. Bahan ................................................................................................ 2. Alat..................................................................................................... C. Metode Penelitian.................................................................................. 1. Analisis Vegetasi ............................................................................. 2. Pembuatan Herbarium...................................................................... 3. Analisis Tanah ................................................................................. 4. Dokumentasi .................................................................................... 5. Analisis Data ................................................................................... a Kegiatan Analisis Vegetasi ........................................................ i. Indeks Nilai Penting................................................................ ii. Indeks Kekayaan Jenis ............................................................ iii.Indeks Keanekaragaman Jenis ................................................ iv.Indeks Kemerataan Jenis ......................................................... v. Indeks Dominansi.................................................................... vi.Indeks Kesamaan Komunitas .................................................. b. Tanah........................................................................................... V. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................. A. Hasil Penelitian...................................................................................... 1. Indeks Nilai Penting ........................................................................... a. Hutan Terkena Letusan pada 2300 m dpl....................................... b. Hutan Tidak Terkena Letusan pada 2300 m dpl ............................ c. Hutan Terkena Letusan pada 2500 m dpl....................................... d. Hutan Tidak Terkena Letusan pada 2500 m dpl ............................ 2. Indeks Keragaman Jenis Shannon-Wiener (H)................................. 3. Indeks Kekayaan Margalef (R1) ........................................................ 4. Indeks Kemerataan (E) ....................................................................... 5. Indeks Dominansi (C) ........................................................................ 6. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)...................................................... 7. Sifat Fisik Tanah ................................................................................ 8. Sifat Kimia Tanah.............................................................................. B. Pembahasan ........................................................................................... 1. Indeks Nilai Penting ........................................................................... 2. Indeks Keragaman, Keka yaan, dan Kemerataan................................ 3. Indeks Dominansi (C) ........................................................................ 4. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)...................................................... 5. Tingkat suksesi yang terjadi............................................................... 6. Sifat Fisik Tanah ................................................................................

23 23 24 24 24 24

25 25 25 25 25 25 27 27 28 28 28 28 29 29 29 30 30 31 32 32 32 32 32 33 36 40 41 42 44 45 46 46 54 54 57 58 59 60 61

7. Sifat Kimia Tanah.............................................................................. 61 VI. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 67 A. Kesimpulan............................................................................................ 67 B. Saran...................................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 68 LAMPIRAN .................................................................................................... 70

DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman 15

1. Hubungan Kelas Tekstur dengan Kapasitas Infiltrasi pada Penutupan yang Berbeda .............................................................................................. 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah ( Staf Pusat Penelitian Tanah, 1981) .............................................................................. 3. Jumlah Penduduk Kecamatan Cisurupan, Kecamatan Sukaresmi dan Desa Neglawangi ................................................................................ 4. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah ........................................................ 5. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak (2300 m dpl tidak Terkena Letusan) ........................................................................................ 6. Nilai Penting Tingkat Semai (2500 m dpl Terkena Letusan)..................... 7. Nilai Penting Tingkat Pancang (2500 m dpl Terkena Letusan) ................. 7. Nilai Penting Tingkat Tiang (2500 m dpl Terkena Letusan) ..................... 8. Nilai Penting Tingkat Pohon (2500 m dpl Terkena Letusan) .................... 9. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak (2500 m dpl Terkena Letusan) ...................................................................................................... 10. Nilai Penting Tingkat Semai (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) ............ 11. Nilai Penting Tingkat Pancang (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) ........................................................................................ 12. Nilai Penting Tingkat Tiang (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) ............ 13. Nilai Penting Tingkat Pohon (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) ........................................................................................ 14. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) ...................................................................................................... 15. Data Tekstur Tanah ................................................................................... 16. Data Sifat Kimia Tanah dan Kriteria Kesuburan Tanah Berdasarkan Lembaga Penelitian Tanah (LPT) 1981.....................................................

16 24 31

33 34 34 35 35

36 37 37 38

38 39 46 47

DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman 22 26 40 41

1. Peta Papandayan......................................................................................... 2. Petak Pengamatan ...................................................................................... 3. Indeks Keragaman Jenis ............................................................................ 4. Indeks Kekayaan Jenis ...............................................................................

5. Indeks Kemerataan Jenis ................................................................................ 43 6 Indeks Dominansi....................................................................................... 7. Indeks Kesamaan Komunitas..................................................................... 8. Reaksi Tanah (pH Tanah) .......................................................................... 9. Kandungan Aluminium.............................................................................. 10. Kandungan Fosfor...................................................................................... 11. Kandungan Karbon Organik ...................................................................... 12. Kandungan Nitrogen Total......................................................................... 13. Kapasitas Tukar Kation (KTK) .................................................................. 14. Kandungan Magnesium.............................................................................. 15. Kapasitas Kalium ....................................................................................... 16. Kandungan Kalsium ................................................................................... 17. Kejenuhan Basa (KB) ................................................................................. 44 45 47 48 49 49 50 51 51 52 53 53

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman 1. Hutan Terkena Letusan dan Tidak Terkena Letusan di Ketinggian 2300 m dpl................................................................................................ 70 2. 3. 4. Hutan Terkena Letusan dan Kondisi Vegetasi pada Hutan Terkena letusan dan tidak terkena letusan di Ketinggian 2300 m dpl.................... Bahan-Bahan Herbarium.......................................................................... Indeks Nilai Penting pada Hutan Terkena letusan di ketinggiaan 2300 m dpl................................................................................................ Indeks Nilai Penting pada Hutan Tidak Terkena letusan di ketinggiaan 2300 m dpl................................................................................................ Indeks Nilai Penting pada Hutan Terkena letusan di ketinggiaan 2500 m dpl................................................................................................ Indeks Nilai Penting pada Hutan Tidak Terkena letusan di ketinggiaan 2500 m dpl................................................................................................ Indeks Keragaman Jenis Shannon-Wiener (H) ....................................... Indeks Kekayaan Margalef(R) .................................................................

71 72

73

5. 6.

74

76

7. 8. 9.

79 83 83 84 84 85 85 86 88 89

10. Indeks Kemerataan (E) ............................................................................. 11. Indeks Dominansi (C) .............................................................................. 12. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)............................................................ 13. Daftar Nama Jenis Pohon di Gunung Papandayan................................... 14. Daftar Nama Jenis Tumbuhan Bawah di Gunung Papandayan............... 15. Data Kimia Tanah .................................................................................... 16. Data Fisik Tanah......................................................................................

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Gunung Papandayan adalah salah satu gunung api aktif yang ada di Jawa Barat, dan merupakan Taman Wisata Alam (TWA) yang semula bagian dari Cagar Alam (CG) yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya dan rekreasi. Secara umum, areal Gunung Papandayan ini berupa hutan, dimana berdasarkan pengertiannya hutan sebagai suatu ekosistem yang merupakan hasil interaksi antara faktor biotik dan abiotik. Komponen biotik meliputi semua organisme hidup, baik flora, fauna termasuk juga manusia. Sedangkan faktor abiotik meliputi curah hujan, angin, temperatur, kelembaban, tanah, ketinggian, topografi, dan lain sebagainya. Masyarakat hutan merupakan komunitas biotik yaitu suatu sistem hidup dan tumbuh, suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur -angsur melalui beberapa tahap yaitu : invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi atau keseimbangan dinamis. Dimana untuk mencapai keadaan seimbang (dynamic equilibrium) memerlukan angka j waktu yang sangat lama. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah suksesi. Masayarakat hutan yang stabil sering terusik oleh beberapa macam gangguan. Pertama, karena keberadaan manusia yang kian hari kian bertambah populasinya menyebabkan kebutuhan akan keperluan hidup juga bertambah sehingga banyak aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan seperti perladangan berpindah dan pembalakan. Kedua , karena faktor alam yang bersifat alami seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin ribut dan lain-lain. Kerusakan hutan akibat faktor alam ini terjadi di Gunung Papandayan yang meletus pada tahun 2002 yang telah mengakibatkan kerusakan baik pada kondisi lingkungan maupun ekosistem yang menyebabkan kawasan hutan berbeda denga n kondisi awal.

B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat suksesi yang terjadi di kawasan hutan pasca letusan Gunung Papandayan.

C. Manfaat Penelitian Data suksesi yang diperoleh merupakan data awal guna memantau perkembangan suksesi vegetasi pasca letusan di kawasan hutan Gunung Papandayan yang dapat digunakan untuk penelitian tahun-tahun berikutnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Dinamika Masyarakat Tumbuhan Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh secara dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap : invasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses tersebut disebut sebagai suksesi (Soerianeg ara dan Indrawan, 1988). 1. Pengertian suksesi Spurr (1964), menyatakan bahwa suksesi merupakan proses yang terjadi secara terus-menerus yang ditandai oleh banyaknya perubahan dalam vegetasi, tanah dan iklim mikro. Perubahan ini terjadi secara bersama -sama dan komponen yang satu dengan yang lain akan saling berhubungan. Selanjutnya dikatakan oleh Ewusie (1990), bahwa suksesi merupakan hasil dari tumbuhan itu sendiri, dalam arti bahwa tumbuhan yang berbeda dalam daerah itu pada waktu tertentu mengubah lingkungannya yang terdiri dari tanah, tumbuhan dan iklim mikro yang berada di atasnya, sedemikian rupa sehingga membuatnya cocok untuk jenis yang lain daripada tumbuhan itu sendiri. Sedangkan menurut Kartawinata, Ressodarmo dan Soegiarto (1992), suksesi merupakan suatu proses perubahan dalam komunitas yang

berlangsung menuju kesatu arah secara teratur. Lebih lanjut dikatakan bahwa suksesi ini tidak lebih dari pergantian jenis yang oportunis (jenis-jenis pionir) oleh jenis-jenis yang lebih mantap dan dapat me nyesuaikan secara lebih baik dengan lingkungannya. Selama suksesi berlangsung hingga tercapai keseimbangan dinamis dengan lingkungannya, terjadi pergantian-pergantian masyarakat tumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut klimaks (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Selaunjutnya dikatakan bahwa dalam masyarakat yang telah stabil pun selalu terjadi perubahan-perubahan, misalnya karena pohon-pohon yang tua dan mati, maka timbullah anakan pohon atau pohon-pohon yang selama itu tertekan.

Menurut Clarke (1954), adanya perubahan dalam masyarakat tumbuhan terutama disebabkan oleh aktivitas masing-masing masyarakat tumbuhan di dalam lingkungannya sendiri. Dijelaskan lebih lanjut bahwa di dalam hutan, pohon-pohon akan meningkat dalam bentuk dan ukurannya, sehingga bersifat menaungi dan akibatnya kelembaban akan bertambah tinggi. Tumbuhan mengambil hara dari dalam tanah dalam bentuk yang berbeda. Akumulasi humus, perubahan pH tanah dan kandungan air semuanya akan berubah, akibatnya habitat akan berubah pula. Per ubahan ini akan menciptakan keadaan habitat yang baik untuk pertumbuhan jenis yang lain dari jenis yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, jenis yang berbeda alam kondisi selanjutnya akan menguasai. Menurut Wirakusumah (2003), pada dasarnya ada komunitas yang statis tetapi pada hakikatnya senantiasa berubah menurut peredaran waktu. Perubahan ini dikenal dalam jenjang-jenjang, yang pertama tentunya terjadi karena organisme tumbuh, berinteraksi atau mati. Perubahan lain dalam jangka waktu lebih lama mengakibatkan perubahan besar pada komposisi dan struktur suksesi ekologik, sebagai reaksi komunitas perubahan faktor biotik fundamental dan evolusi komunitas. Suksesi ekologik ini dapat digambarkan dari awal suatu ekosistem yang mengalami gangguan sehingga m engakibatkan tanah menjadi gundul. Kendati demikian pada lahan gundul itu dapat tersisa vegetasi akar-akaran dan biji-biji dorman yang mulai hidup kembali membentuk ekosistem baru. Jenisjenis pertama yang mulai membentuk komunitas baru itu disebut jenis p ionir, yang memelopori hidup di lingkungan gersang yang kemudian mati, ditambah semak-semaknya sewaktu masih tumbuh dan meningkatkan mutu kondisi lingkungan abiotik, yang memungkinkan organisme lain hidup, baik dari yang dominan di tempat maupun kedatangan spesies baru dari luar, meningkatkan komunitas semakin dewasa. Pertumbuhan komunitas semakin dewasa ini disebut proses suksesi. Proses ini berlanjut terus menuju keseimbangan puncak atau dikenal dengan istilah klimaks.

2. Macam Suksesi Manan (1978), membedakan proses terjadinya suksesi menjadi dua macam, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder. Suksesi primer bermula dari suatu habitat yang tidak bervegetasi sebelumnya, sedangkan suksesi sekunder bermula dari suatu habitat yang tadinya sudah ditumbuhi veg etasi yang kemudian terjadi kerusakan yang disebabkan oleh adanya gangguan, seperti bencana alam (kebakaran, banjir, longsor, gunung meletus) atau kerusakan oleh adanya perladangan, vegetasinya rusak dan musnah digantikan oleh jenis tumbuhan baru yang sesuai dengan keadaan tempat terbuka. Soerianegara dan Indrawan (1988), membedakan pula suksesi atas dua bagian, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder. Suksesi primer merupakan perkembangan vegetasi mulai dari habitat yang tidak bervegatasi hingga mencapai masyarakat yang stabil atau klimaks, sedangkan suksesi sekunder terjadi apabila klimaks atau suksesi yang normal terganggu atau dirusak. Jika gangguan atau kerusakan itu tidak hebat, maka suksesi sekunder ini dapat mencapai klimaks semula, tetapi apabila kerusakan yang terjadi berat sekali, sehingga kondisi klimaks tidak mungkin lagi tercapai, maka terbentuklah apa yang disebut disklimaks. 3. Karakteristik Suksesi Odum (1971), menyebutkan tiga karakteristik suksesi yang berperan penting dalam perkembangan ekosistem, yaitu : a. Suksesi merupakan suatu perkembangan komunitas yang meliputi perubahan di dalam struktur jenis dan metabolisme komunitas yang searah dengan waktu sehingga dapat diramalkan. b. Suksesi merupakan proses induksi komunitas dan organisme yang meneruskan perubahan lingkungan fisik. Perubahan dalam lingkungan fisik menentukan pola dan dasar dari suksesi dalam habitat. c. Suksesi berperan penting untuk pembentukan stabilitas komunitas dengan biomassa maksimum, keanekaragaman jenis dan penggunaan semua kemungkinan tempat hidup organisme. Kecepatan proses suksesi menurut Kartawinata, dkk. (1992)

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :

a. b. c. d.

Luasnya komunitas asal yang rusak karena gangguan. Jenis-jenis yang terdapat di sekitar komunitas yang terganggu. Kehadiran pemancar biji dan benih Iklim, terutama arah dan kecepatan angin yang membawa biji dan spora serta perkembangan semai selanjutnya.

e. f.

Macam substrat baru yang terbentuk. Sifat-sifat jenis tumbuhan yang ada di sekitar terjadinya suksesi.

4. Tahapan Perkembangan Suksesi Mengenai adanya perubahan habitat, Whittaker (1975), menyatakan bahwa selama proses suksesi berjalan terjadi beberapa macam perubahan, yaitu : a. Adanya perkembangan dari sifat tanah, seperti meningkatnya kedalaman tanah, meningkatnya kandungan bahan organik dan meningkatnya perbedaan lapisan tanah. b. Meningkatnya komunitas tumbuh-tumbuhan dalam tinggi, massa kayu (biomassa), kerimbunan dan perbedaan strata tajuk. c. Dengan berkembangnya sifat-sifat tanah dan struktur komunitas yang lebih baik, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik meningkat. d. e. Adanya perkembangan dari kerapatan, penutupan tajuk dan iklim mikro dalam komunitas. Keanekaragaman meningkat dari komunitas sederhana pada tingkat awal suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi. f. Populasi meningkat, pergantian suatu populasi oleh populasi lainnya meningkat sampai tingkat yang stabil. Jenis yang berumur pendek digantikan jenis yang berumur panjang. g. Kestabilan relatif dari suatu komunitas pada tingkat awal komunitas tidak stabil, dimana populasi secara cepat digantikan oleh populasi yang lain, sedangkan populasi akhir biasanya stabil dan dikuasai oleh tumbuhan yang berumur panjang serta komposisi dari komunitas yang tidak banyak mengalami perubahan.

Ewusie (1990), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang memegang peranan penting dalam terbentuknya suatu komuntas: a. Tersedia kesempatan berkoloni atau bahan-bahan serbuan ( invading material) misalnya benih, buah dan spora-spora. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam perke mbangan komunitas tumbuhan pada setiap waktu tertentu. Jadi tergantung bahan yang terbawa ke lokasi tersebut. b. Seleksi pada bahan-bahan yang tersedia secara alam di lingkungan tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni dan semai telah mulai hidup pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang dapat toleran terhadap lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik. Lingkungan dapat tidak baik untuk perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan semai semai tertentu sampai tidak dapat tumbuh. Tingkat ini adalah tingkat yang kritis, karena secara umum selang toleran semai lebih sempit daripada tumbuhan yang telah dewasa. Tentunya perbedaan lingkungan

menghasilkan perbedaan dalam tingkat seleksi. Sebagai kasus yang ekstrim misalnya pada permukaan batu telanjang atau bukit pasir, di sini hanya beberapa jenis saja yang dapat tumbuh. c. Modifikasi lingkungan oleh tumbuhan. Dari saat yang akan berkoloni pertama tiba pada habitat yang telanjang tersebut dan mulai tumbuh, masyarakat tumbuhan mulai memodifikasi lingkungan. Pengaruhnya dapat dilihat pada tahap akhir dari perkembangan. Sedangkan Odum (1971), menyatakan kesamaan/kesejajaran antara suksesi dengan perkembanagn organisme-organisme individual sebagai berikut : a. Suatu proses yang berlangsung secara teratur/ berurutan yang cukup terarah dan dengan demikian dapat diduga. b. Terjadi sebagai hasil modifikasi lingkungan fisik oleh komunitas, artinya perkembangan tersebut adalah perkembangan yang dikontrol oleh komunitas.

c. Mencapai puncaknya di dalam suatu ekosistem yang telah stabil (disebut juga ekosistem klimaks, ekosistem yang telah matang) dengan sifat homeostatis (ekosistem dalam keadaan yang setimbang dan sehat). Sedangkan Shukla dan Chandel (1982), membagi suksesi kedalam sembilan tahapan, yaitu : a. b. Nudation , yaitu proses terbentuknya vegetasi penutup tanah. Migration, yaitu proses tumbuh-tumbuhan sampai dan tersebar dalam bentuk biji pada daerah yang terbuka. c. Ecesis , yaitu proses perkecambahan, pertumbuhan, perkembangbiakan dan menetapnya tumbuhan baru tersebut. d. Agregation , yaitu pola pengelompokan dari koloni individu yang tumbuh berkembang pada areal yang kosong. e. Evolution of community relationship , yaitu suatu proses yang terjadi apabila daerah yang kosong ditempati jenis-jenis yang berkoloni, dan jenis tersebut akan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. f. Invation , yaitu dalam proses kolonisasi, biji tumbuhan yang telah beradaptasi dalam waktu yang relatif panjang akan tumbuh dan menetap di tempat tersebut. g. Reaction , yaitu terjadinya perubahan habitat yang disebabkan oleh tumbuhan itu sendiri dan habitat tempat tumbuhnya. Reaction merupakan proses yang terus menerus dan menyebabkan kondisi yang kurang cocok bagi tumbuhan yang telah ada dan lebih cocok pada individu yang baru. Dengan cara demikian, reaction memegang peranan yang sangat penting di dalam pergantian jenis tumbuhan. h. Stabilization, yaitu suatu proses dimana telah terbentuk individu yang dominan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur vegetasi yang sudah dapat dikatakan relatif konstan. i. Climax, yaitu tahap akhir perubahan vegetasi, keadaan habitat telah mencapai batas. dan struktur vegetasi relatif konstan, karena pembentukan jenis dominan

Proses suksesi yang terjadi menurut Gates (1949), dapat dibagi ke dalam empat tahapan, yaitu : a. b. c. d. Tahap rumput-rumput pionir Tahap semak Tahap pohon sementara Tahap hutan klimaks Sedangkan Danserau (1954), memperkenalkan lima tahapan dalam suksesi, yaitu : a. b. c. d. e. Tahap pionir Tahap konsolidasi Tahap sub klimaks Tahap quasi klimaks Tahap klimaks

B. Morfologi Tumbuhan 1. Struktur dan Komposisi Daun Daun merupakan bagian atau organ tumbuhan yang berfungsi membentuk makanan (fotosintesis), respirasi dan transpirasi. Karena daun menunjukkan pola-pola khas, maka dinilai sangat penting dipelajari dalam taksonomi (Samingan, 1980). Daun terdiri dari helai daun atau lamina dan tangkai daun atau petiole. Tangkai daun dapat panjang atau pendek, lentur atau kaku, bersurut, beralur, atau memipih dan kadang-kadang mempunyai kelenjar. Pada beberapa kasus, tangkai daun tidak ada dan helai melekat langsung pada ranting, daun demikian ini disebut daun duduk atau sessile . Beberapa daun disertai organ yang menyerupai daun atau seperti sisik yang disebut daun penumpu atau stipule yang melekat pada ranting di bawah pangkal atau dikedua sisi tangkai daun tadi. Tumbuhan yang memiliki stipule disebut stipulate, sedangkan tumbuhan yang tidak memiliki stipule disebut estipulate (Harlow & Harar,1958). Menurut Benson (1957), setiap jenis pohon biasanya memiliki tata daun seperti satu di antara tiga cara berikut ini :

a.

Bersilang atau opposite , yaitu apabila daun berpasangan pada ketinggian yang sama, satu pada masing-masing sisi dari ranting.

b.

Melingkar atau Whorled atau Verticillate , yaitu apabila lebih dari dua daun dijumpai pada ruas yang sama.

c.

Berseling atau alternate , yaitu hanya satu helai daun saja yang melekat pada ruas dan dengan pengamatan yang seksama akan tampak ditata dalam spiral mengitari ranting. Komposisi daun dengan satu helai disebut daun tunggal ( simple leaf)

dan jika dua atau lebih helai daun yang melekat pada tangkai persekutuan disebut daun majemuk ( compound leaf ) dan helai - helai daunnya disebut anak daun (leaflet). Tangkai menopang anak daun disebut rachis. Apabila jumlah anak daun yang melekat sepanjang rachis disebut daun bersirip (pinnately compound) berjumlah ganjil atau genap, maka hal tersebut menunjukkan jumlah anak daun yang ada. Daun bersirip ganda adalah daun majemuk bersirip dan anak-anak daun bersirip lagi yang disebut pinulle (Samingan, 1980). 2. Struktur dan Komposisi Bunga Bunga dapat dianggap sebagai ranting dengan daun yang berubah fungsinya (Samingan, 1980). Terjadinya perubahan fungsi tersebut menurut Loveless (1989) akan mengakibatkan : a. b. Bunga tidak mempunyai kuncup pada ketiak daunnya. Buku-bukunya pendek sehingga jarak vertikal antara daun yang berurutan sangat pendek. c. Bunga menunjukkan pertumbuhan yang terbatas, yaitu segera setelah meristem ujung membentuk bunga, maka pertumbuhan lebih lanjut akan terhenti. Bunga terdiri dari beberapa bagian bunga, yaitu : kelopak (sepal), mahkota bunga (petal), benang sari (stamen), dan putik (pistil). Jika bunga mempunyai semua bagian tersebut, maka bunga disebut bunga lengkap (complete ) dan jika salah satu bagian bunga tidak ada maka disebut bunga tidak lengkap ( incomplete ) (Samingan, 1980).

Bunga yang sempurna adalah bunga yang memiliki putik dan benang sari, sedangkan bagian tambahan lainnya seperti daun kelopak dan atau daun mahkota hanya sebagai pelengkap. Sedangkan bunga tidak sempurna adalah bunga yang hanya mengandung benang sari atau putik saja. Sehingga bunga tidak sempurna merupakan bunga berkelamin satu, sedangkan bunga sempurna adalah bunga biseksual atau hermaphrodit (Harlow & Harar,1958). Samingan (1980) mengatakan bahwa bunga tidak sempurna dap at berbentuk bunga jantan (apabila benang sari yang berfungsi, sedangkan putik mandul) atau dapat juga berbentuk bunga betina (apabila putik yang berfungsi, sedangkan benang sari mandul). 3. Buah Buah adalah organ tumbuhan yang mengandung biji. Struktur b uah memberikan cirri khas yang sangat bermanfaat bagi klasifikasi tumbuhan berbunga. Secara morfologi, buah konifer dapt dibedakan menjadi buah kering dan buah berdaging yang terdiri dari dua tipe, yaitu : a. Buah yang terdiri dari satu biji, yang sebagian atau seluruhnya tertutup oleh aril (daging biji). b. Buah yang terdiri dari beberapa sisi berkayu atau keras atau sisik berdaging, masing-masing dengan satu atau lebih biji dan tersusun pada sumbu membentuk kerucut atau cone. Sedangkan buah angiospermae biasanya dikatakan sebagai bakal buah yang masak, yang dapat dibagi menjadi dua yaitu : a. Buah tunggal (yang terbentuk oleh satu putik) b. Buah majemuk (yang terbentuk oleh dua atau lebih putik yang terdapat pada dasar bunga yang sama) Kedua macam buah ini dap at merupakan buah kering atau buah berdaging (sekulen) menurut keadaan buahnya waktu matang (Samingan, 1980).

Loveless (1989) membagi buah tunggal menjadi tiga bentuk, yaitu a. Buah kering tidak merekah, terdiri dari tipe : i. Buah longkah, yaitu buah kecil, berongga dan berbiji satu. ii. Samara, yaitu buah keras bersayap. iii. Nut, yaitu buah keras kecil b. Buah kering merekah terdiri dari tipe : i. Buah polong atau legume, yaitu hasil dari putik tunggal yang merekah sepanjang garis suture (kampuh). ii. Buah bumbung atau follicle , yaitu hasil dari satu putik yang merekah melalui dua atau lebih suture (kampuh). iii. Buah kotak atau capsule , yaitu hasil dari putik majemuk merekah melalui dua atau lebih suture (kampuh) iv. Buah berdaging, yaitu hasil dari putik majemuk m erekah melalui dua atau lebih suture (kampuh) c. Buah berdaging terdiri dari tipe : i. Buah empulur atau pome , yaitu hasil putik majemuk ; dinding luar bakal buah berdaging, dinding dalam menjangat membungkus banyak biji. ii. Buah batu atau drupe , yaitu buah berdaging berbiji satu ; biasanya hasil dari putik tunggal, dinding luar berdaging, dinding dalam keras. iii. Buah buni atau berry , yaitu buah berbiji banyak ; dinding luar dan dalam berdaging dengan biji-biji terbungkus dalam massa yang seperti bubur (tomat). Sedangkan buah majemuk dapa t dibagi menjadi dua, yaitu : a. Buah aggregate , yaitu merupakan kumpulan buah tunggal yang berasal dari putik-putik terpisah pada bunga yang sama yang terdapat pada dasar bunga persekutuan. b. Buah multiple , yaitu kumpulan buah tunggal yang berasal dari putik-putik bunga yang terpisah-pisah.

C. Eksplorasi Botani Hutan Eksplorasi botani di hutan dan penelitian botani tentang pohon-pohon akan memberikan data/informasi mengenai flora pohon di hutan yang bersangkutan. Kegiatan eksplorasi botani hutan dan penelitian teknologi kayu sudah sejak dahulu dilakukan, dimana Endert pada tahun 1917 untuk pertama kalinya melakukan eksplorasi ini dan menghasilkan sekitar 4000 jenis pohon. Eksplorasi botanis dan teknologi kayu pada dasarnya merupakan bagian dari eksplorasi atau survey hutan yang bertujuan untuk mendapatkan data tentang letak, luas, struktur hutan, komposisi jenis dan data kondisi tempat tumbuhnya (Kusmana, 1995). Metode terbaik yang digunakan dalam eksplorasi botanis menurut Kusmana (1995) adalah metode jalur, yang memiliki lebar 10 m atau 20 m dengan panjang satu km atau lebih. Setelah itu, semua pohon yang berdiameter 20 cm ke atas yang masuk ke dalam jalur dicatat nama daerahnya, diameternya, tinggi total dan tinggi bebas cabangnya. Contoh-contoh herbarium sangatlah berguna untuk keperluan eksplorasi botani di suatu daerah. Contoh herbarium ini selain bahan identifikasi atau determinasi jenis tumbuhan, tetapi juga sebagai barang bukti yang didokumentasikan bahwa jenis-jenis tumbuhan yang bersangkutan terdapat di daerah tersebut (Kusmana, 1995). Lebih lanjut Kusmana (1995) mengatakan bahwa suatu contoh herbarium yang baik harus mengandung bagian-bagian tumbuhan yang lengkap yang terdiri dari contoh ranting-ranting berdaun (daun muda dan daun tua), bunga (kuncup bunga dan bunga yang sudah mekar), buah (buah muda dan muda tua) dan biji. Kemudian Kusmana (1995) menambahkan beberapa petunjuk dalam pengumpulan herbarium, antara lain : 1. Bahan herbarium tidak boleh dipungut dari tanah, t etapi harus diambil dari pohon yang bersangkutan. 2. Untuk pohon (berdiameter 10 cm atau lebih) atau berupa pohon kecil diambil ranting yang berdaun yang ada bunganya dan bila ada dilengkapi dengan buah. Sekurang-kurangnya dikumpulkan lima ranting dari tiap p ohon yang tidak berbunga dan 10 ranting dari tiap pohon yang berbunga dan berbuah.

Sedangkan ukuran ranting yang dikumpulkan untuk herbarium adalah sekitar 27 cm x 42 cm (ukuran setengah halaman kertas Koran). Tiap ranting sekurang-kurangnya berisi lima d aun apabila daun tidak terlalu besar. Untuk daun berukuran besar, cukup dua helai daun per ranting. 3. Untuk mengambil contoh herbarium yang tinggi dilakukan dengan cara dipanjat, melempar ranting atau cabang terendah yang mengandung bunga dan atau buah denga n sepotong kayu atau menembak dengan senapan atau memakai tali pancing dari nilon yang dilemparkan dengan ketapel.

D. Sifat Fisik dan Kimia Tanah


Tanah merupakan tubuh alam bebas yang terbentuk dari hasil kerjasama antara kelima faktor pembentuk tanah yaitu bahan induk, iklim, organisme, relief dan waktu.

1. Sifat Fisik Tanah


a. Tekstur Tanah Tekstur tanah adalah perbandingan relief dari berbagai golongan besar partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksi-fraksi liat, debu, dan pasir (Sarief,1985) Kadar liat merupakan kriteria penting sebab liat mempunyai kemampuan menahan air yang tinggi. Tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya, dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butirbutir liat semakin tinggi nisbah liat maka laju infiltrasi semakin kecil (Arsyad, 2000). Seperti yang dikemukan oleh Hardjowigeno (2003) bahwa tanahtanah bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit menyerap dan menahan air atau unsur hara. Tanah-tanah yang bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang besar sehingga kemampuan menahan air dan menyimpan unsur hara tinggi. Tanaman yang ditanam pada tanah pasir umumnya lebih mudah kekeringan daripada tanah-tanah bertekstur lempung atau liat.

Perbedaan tekstur dan struktur adalah tekstur merupakan ukuran butir-butir tanah sedangkan struktur adalah kumpulan butir-butir tanah disebabkan terikatnya butir-butir pasir, liat, dan debu oleh bahan or ganik, oksidasi besi, dan lain-lain (Hardjowigeno,2003). Struktur tanah memegang peranan penting terhadap pertumbuhan tanaman, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bila tanah padat, maka akar susah untuk menembus tanah tersebut. Bila struktur tanah remah, maka akar akan tumbuh dengan baik (Sarief, 1985). Daya infiltrasi dan ukuran butir -butir tanah akan menentukan mudah atau tidaknya terangkut air. Tanah dengan agregat yang mudah didispersikan oleh air dan daya infiltrasinya kecil dengan ukuran butirbutir tanah halus, peka terhadap erosi atau erodibilitasnya besar (Sarief, 1985). Menurut Lee (1990) harga-harga khas kapasitas infiltrasi dihubungkan dengan tekstur tanah dan tajuk (penutup lahan) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hubungan Kelas Tekstur dengan Kapasitas Infiltrasi pada Penutupan yang Berbeda. Tekstur Kapasitas infiltrasi (mm/jam) Tanah gundul Liat Lempung berliat Lempung Lempung berpasir Pasir 20-25 40-50 0-5 5-10 10-15 15-20 Bervegetasi 5-10 10-20 20-30 30-40

2. Sifat Kimia Tanah Sifat kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Sifat-sifat yang perlu dianalisis untuk mengetahui kadar unsur hara dalam tanah adalah pH, Corganik, N-total, P, Mg, K, Ca, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB). Evaluasi kesuburan tanah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1981)
Sifat Kimia No Tanah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 C-organik N-total P Mg K Ca KTK KB Al Sangat Masam 10 pH <4,5 4,5 5,5 Rendah <0,100 <0,10 <10 <0 4 <0,1 <2 <5 <20 <10 Masam 1,00 2,00 0,10 0,20 10 - 15 0,4 1,0 0,1 0,2 2-5 5 - 16 20 35 10-20 Agak Masam 5,6 6,5 6,6 - 7,5 2,01 3,00 0,21 0,50 16 - 25 1,1 2,0 0,3 0,5 6 - 10 17 - 24 36 - 50 21-30 Netral 3,01 5,00 0,51 0,75 26 - 35 2,1 8,0 0,6 1,0 11 - 20 25 - 40 51 - 70 31-60 Agak Alkalis 7,6 8,5 >8,5 Sangat Rendah Sedang Tinggi Tinggi >5,00 >0,75 >35 >8,0 >1,0 >20 >40 >70 >70 Alkalis Sangat

a. Reaksi tanah (pH tanah) Reaksi tanah merupakan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dalam pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion
+ Hidrogen (H+) di dalam tanah. Semakin tinggi kadar ion H di dalam tanah,

semakin masam tanah tersebut. Di dalam tanah selain ion H+ juga ditemukan ion OH , yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+.
+

Pada

tanah-tanah yang masam jumlah ion H lebih tinggi daripada ion OH , sedang pada tanah-tanah alkalis kandungan OH lebih banyak daripada H+ . Bila kandungan H+ sama dengan OH maka tanah bereaksi netral yaitu pH = 7 (Hardjowigeno, 2003). Kemasaman tanah merupakan salah satu sifat yang penting, sebab terdapat beberapa hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara, juga terdapat beberapa hubungan antara pH dan semua pembentukan serta sifat -sifat tanah. Sejumlah organisme mempunyai toleransi yang agak kecil terhadap variasi pH, tetapi organisme lain dapat toleran terhadap kisaran pH yang lebar. Penelitian-penelitian telah memperlihatkan bahwa konsentrasi actual H+ dan OH tidak begitu penting, kecuali dalam lingkungan yang ekstrim. Hal ini

merupakan kondisi yang berkaitan dari suatu nilai pH tertentu yang terpenting (Foth, 1988). b. Bahan Organik Hardjowigeno (1995), menyatakan bahwa bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah. Jumlahnya tidak besar, hanya 3-5 % saja tetapi pengaruhnya terhadap sifat -sifat tanah sangat besar. Adapun pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan akibatnya terhadap pertumbuhan tanaman adalah sebagai granulator yaitu memperbaiki struktur tanah, sumber unsur hara N, P, S dan unsur mikro lainnya, menambah kemampuan tanah untuk menahan air, menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara dan sumber energi bagi mikroorganisme. Sumber asli bahan o rganik adalah jaringan tumbuhan, dalam keadaan alami bagian di atas tanah, akar pohon, semak-semak, rumput, dan tanaman tingkat rendah lainnya tiap tahunnya menyediakan sejumlah besar sisa-sisa organik. Karena bahan ini didekomposisikan dan dihancurkan oleh banyak macam organisme tanah, hasilnya akan menjadi bagian dari horizon di bawahnya, karena adsorpsi atau pencampuran fisik secara aktif. Bagian bahan organik yang dioksidasi terdiri dari karbon, hydrogen yang menyusun lebih dari separuh bahan kering (Buckman dan Brady, 1969). c. Nitrogen (N) Sumber N berasal dari atmosfer sebagai sumber primer dan lainnya adalah berasal dari aktifitas kehidupan di dalam tanah sebagai sumber sekunder. Fiksasi N secara simbiotik, khususnya terdapat pada tanaman jenis leguminosae dengan bakteri tertentu. Bahan organik juga membebaskan N dan senyawa lainnya setelah mengalami dekomposisi oleh aktifitas jasad renik tanah (BKS, PTN, 1991). Nitrogen berada di dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk-bentuk organik meliputi NH4 , NO3, NO2 , dan unsur N. Tanaman menyerap unsur ini terutama dalam bentuk NO3. Namun bentuk lain yang juga dapat diserap adalah NH4, dan urea (CO(N2))2 dalam bentuk NO3 (BKS.PTN, 1991).

Selanjutnya BKS.PTN (1991), menyatakan bahwa dalam siklusnya, nitrogen organik di dalam tanah mengalami mineralisasi, sedangkan bahan mineral mengalami imobilisasi. Sebagian N terangkut bersama panen, sebagian kembali lagi sebagai residu tanaman, hilang ke atmosfer dan kembali lagi, hilang melalui pencucian dan bertambah lagi melalui pemupukan. Adanya yang hilang tererosi atau bertambah karena pengendapan. Nitrogen ditambahkan ke tanah sebagai komponen presipitasi. Penambahan sebagian besar nitrogen secara alami ke tanah di tambahkan mel alui fiksasi biologis simbiotik dan nonsimbiotik (Foth, 1988). d. Fosfor (P) Fosfor memainkan peranan yang sangat diperlukan seperti bahan bakar yang universal untuk semua aktifitas biokimia dalam sel hidup. Masalah utama dalam pengambilan fosfor dari tanah oleh tanaman adalah kelarutan yang rendah dari sebagian besar campuran fosfor dan konsentrasi fosfor yang dihasilkan sangat rendah dalam lapisan tanah pada setiap waktu tertentu (Foth, 1988). Sebagian besar P tanah bersumber dari pelapukan batuan dan mineral mineral yang mengandung P yang terdapat pada kerak bumi. Salah satu sifat dari unsur ini adalah tingkat kestabilannya di dalam tanah yang tinggi, sehingga kehilangan akibat pencucian relatif tidak pernah terjadi. Hal ini pula yang menyebabkan kelarutan P dalam tanah sangat rendah sehingga ketersediaan untuk tanah relatif sangat sedikit. Dengan demikian ketersediaan P tanah sangat tergantung kepada sifat dan ciri tanah (BKS.PTN, 1991). Ketersediaan P dapat diartikan sebagai P tanah yang dapat diekstrasikan oleh air dan asam sitrat. Penambahan unsur ini diharapkan berasal dari pupuk fosfat, pelapukan mineral-mineral fosfat, dan residu hewan dan tanaman. Sedangkan kehilangan P dapat terjadi karena terangkut tanaman, tercuci dan tererosi (BKS.PTN, 1991).

e. Kalium (K) Kalium adalah unsur hara ketiga setelah nitrogen dan fosfor yang diserap tanaman dalam bentuk ion K+. Muatan positif dari Kalium akan membantu menetralisir muatan listrik yang disebabkan oleh muatan negatif nitrat, fosfat atau unsur lainnya (BKS.PTN, 1991). Kalium tanah adalah berasal dari pelapukan batuan dan mineral mineral yang mengandung kalium. Melalui proses dekomposisi bahan tanaman dan jasad renik maka kalium akan larut dan kembali ke tanah. Selanjutnya sebagian besar kalium tanah yang larut akan tercuci atau tererosi dan kehilangan ini dipercepat lagi oleh serapan tanaman dan jasad renik. Di dalam tanah dikenal empat bentuk kalium, yaitu K -mineral, K-terfiksasi, Kdipertukarkan dan K-larutan. Tetapi untuk kepentingan pertumbuhan ta naman, kalium tanah dibedakan berdasarkan ketersediaannya bagi tanaman, dan digolongkan ke dalam kalium relatif tidak tersedia, kalium lambat tersedia, dan kalium segera tersedia. Kalium dapat dipertukarkan dan kalium larut, langsung, dan mudah diserap tanaman disebut kalium tersedia (BKS.PTN, 1991). Menurut Foth (1988), pada dasarnya kalium dalam tanah ditemukan dalam mineral-mineral yang terlapuk dan melepaskan ion-ion kalium. Ion-ion diadsorbsi pada kation tertukar dan cepat tersedia untuk diserap tanam an. f. Magnesium (Mg) dan Kalsium (Ca) Kalsium dan magnesium merupakan kation-kation utama pada kompleks pertukaran . Keduanya mempunyai sifat dan prilaku yang mirip dalam ta nah. Unsur-unsur tersebut biasanya dihubungkan dengan masalah kemasaman tanah dan pengapuran, karena keduanya merupakan kation yang paling cocok untuk mengurangi kemasaman dan menaikkan pH tanah. Kalsium dan magnesium tanah diserap tanaman masing-masing sebagai Ca 2+ dan Mg2 + yang berasal dari b entuk dapat ditukar dan atau bentuk larut air (BKS.PTN, 1991). Kalsium merupakan komponen struktural dinding-dinding sel tanaman. Ia sangat mempengaruhi permeabilitas membran sitoplasma. Membran akar akan rusak apabila tidak ada kalsium. Sedangkan

Magnesium merupakan satu-satunya unsur anorganik yang menyusun molekul klorofil dan merupakan unsur yang terlibat pada kebanyakan reaksi enzimatis. Oleh karena itu magnesium amat esensial pada proses metabolisme di dalam tanaman. Dibandingkan dengan kalsium , magnesium tidak begitu kuat diadsorbsi pada tempat pertukaran kation, sedikit rendah magnesium dapat ditukar ada dalam tanah, dan defisiensi magnesium lebih sering ditemukan. Defisiensi kalsium dicirikan oleh suatu bentuk yang cacat pembentukan yang kurang dan disintegrasi bagian ujung dari tanaman sedangkan defisiensi magnesium berakibat pada suatu perubahan warna khusus pada daun (Foth, 1988). g. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kation adalah ion yang bermuatan positif seperti Ca++, Mg+ , K+, Na+ , NH+, H+ , Al3+ dan sebagainya. Di dalam tanah kation-kation tersebut terlarut di dalam air tanah atau dijerap oleh koloid-koloid tanah. Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah persatuan berat tanah (biasanya per 100 g) dinamakan Kapasitas tukar kation (KTK). Kation-kation yang telah dijerap oleh koloid-koloid tersebut sukar tercuci oleh air gravitasi, tetapi dapat digantikan oleh kation lain yang terdapat dalam larutan tanah. Hal tersebut dinamakan pertukaran kation. Jenis-jenis kation yang telah disebutkan di atas merupakan kation-kation umum ditemukan dalam kompleks jerapan tanah. Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa, Ca, Mg, K, Na (kejenuhan basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi bila didominasi oleh kation asam Al, H (kejenuhan basa rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah (Hardjowigeno, 2003).

h. Kejenuhan Basa (KB) Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kationkation basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Kation-kation basa umumnya merupakan unsu r hara yang diperlukan tanaman. Di samping itu basa-basa umumnya mudah tercuci, sehingga tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak pencucian dan merupakan tanah yang subur. Kejenuhan basa berhubungan erat dengan pH tanah, dimana tanahtanah dengan pH rendah umumnya mempunyai kejenuhan basa rendah, sedang tanah-tanah dengan pH tinggi mempunyai kejenuhan basa yang tinggi pula (Hardjowigeno, 2003). Nilai kejenuhan basa bergantung pada intensitas pencucian yang berarti bergantung pada curah hujan, pengatusan setempat dan perembihan sedangkan pengaruh bahan induknya tergolong kecil. Kejenuhan basa tergolong tinggi apabila berkembang pada tempat yang bercurah hujan rendah dan nilai kejenuhan basa tersebut lebih kecil jika berkembang pada tempat yang bercurah hujan tinggi (Purwowidodo, 1998)

III. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK


A. Luas dan Letak Kawasan Cagar Alam (CA) Papandayan dan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Papandayan ditetapkan sebagai kawasan konservasi CA dan TWA Papandayan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 226 / Kpts II / 1990 tgl. 8 Mei 1990 seluas ; 7.032 Ha, terdiri dari Cagar Alam seluas : 6.807 Ha, TWA seluas : 225 Ha. Letak geografis CA/TWA Papandayan berada pada 730 Lintang Selatan dan 10731 180 Bujur Timur.

Keterangan A B C D E

: : Lokasi Parkir : Kompleks Kawah : Blok Bunderan : Jalan Kendaraan : Blok Pondok Saladah : Blok Bandung Vooruit : Batas Kawasan TWA

P apandayan Jarak lokasi dengan kota terdekat : Garut : 32 Km Bandung : 97 Km (melalui Cisurupan) 81 Km (melalui Pangalengan

Gambar 1. Peta Papandayan B. Topografi dan Iklim Konfigurasi lapangan bergelombang dengan topografi curam, berbukit dan bergunung-gunung serta tebing yang terjal, ketinggian berkisar antara 2.170 s/d 2.662 mdpl. Termasuk tipe iklim B, dengan kelembaban udara 70-90 % dan suhu berkisar antara 17-25 C.

C. Sumber Air Di dalam Kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Papandayan terdapat sumber air baik air panas maupun air dingin. Sungai yang mengalir di dalam kawasan antara lain adalah Ciparugpug, Cibeureum, Cisaladah, Cigebog, Cingenah dan lain-lain. Sebagian sungai mengalir bereaksi asam karena melewati daerah belerang tetapi ada juga sungai yang airnya tawar dan dapat digunakan untuk mandi dan memasak.

D. Tanah Secara geologi Cagar Alam Papandayan mempunyai jenis batuan yang terdiri dari batuan vulkanik, pigosol, andosol, dan batuan intermediet gelombang bergunung dengan ketebalan solum 30-60 cm dengan tingkat kesuburan tanahnya baik (subur).

E. Flora dan Fauna 1. Flora Secara keseluruhan vegetasi di TWA/CA Gunung Papandayan diantaranya adalah pohon Cantigi (Vacinium lucidum) dan Edelweiss (Anaphalis javanica), dan vegetasi hutan campuran terdiri dari perdu, pohon dan semak belukar dengan tajuk saling menutupi diantaranya adalah : Puspa (Schima walichii), Saninten (Castanopsis argentea), Jamuju ( Podocarpus imbricatus ), Pasang ( Quercus sp), dan Lame (Alstonia angustifolia ). 2. Fauna Jenis satwa yang terdapat di TWA/CA Gunung Papandayan yang mudah ditemukan secara langsung umumnya berbagai jenis burung, antara lain : Walik (Teron grisscipilla ), Kadanca (Dacula sp ), Walet (Collocalia vulconorium), Saeran (Dicrurus mococarpus ), Elang dll. Jenis satwa lain yang terdapat di kawasan TWA/CA Papandayan ini antara lain adalah Lutung (Presbytitis cristata ), Musang (Paradoxurus hermaproditus), Babi (Sus sp), Kijang (Muntiacus muntjak ), Landak (Histrix sp) dan lain-lain.

F. Keadaan Sosial Ekonomi 1. Penduduk Jumlah penduduk di Kabupaten Garut khususnya di Kecamatan Cisurupan yaitu 82.053 orang dengan jumlah Laki-laki 42.571 orang, perempuan 39.482 orang, Kecamatan Sukaresmi 31.439 orang dengan jumlah Laki-laki 15.122 orang, Perempuan 16. 317 orang, dan Desa Neglawangi Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung adalah 4.879 orang dengan jumlah Laki-laki 2.376 orang dan jumlah Perempuan sebanyak 2.503 orang. Tabel 3. Jumlah Penduduk Kecamatan Cisurupan, Kecamatan Sukaresmi dan Desa Neglawangi. No Nama Kecamatan / Jenis Kelamin Jumlah Desa Laki-laki (org) 1 1 2 3 Cisurupan Sukaresmi Neglawangi Jumlah 2. Mata Pencaharian Mata pencaharian masyarakat di sekitar kawasan CA. Papandayan umumnya bergerak dalam bidang pertanian, hal ini didukung kondisi alam yang memadai. 3. Jenis Penggunaan Lahan Jenis penggunaan lahan di sekitar kawasan Cagar Alam Papandayan adalah Perkebunan, Hutan Lindung, Hutan Produksi, Ladang, Padang Rumput dan Sawah. 2 3 42.571 15.122 2.503 60.196 Perempuan (org) 4 39.482 16.317 2.376 58.175 5 82.053 31.439 4.879 118.371

Sumber : Garut dalam Angka 2003 dan Monografi Desa Kecamatan. Kertasi 2003

IV. METODOLOGI
A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian suksesi ini dilaksanakan di kawasan hutan Gunung Papandayan Garut, dengan melakukan analisis vegetasi di hutan yang terkena letusan dan hutan yang tidak terkena letusan yang masing-masing dilakukan pada ketinggian 2300 m dpl dan ketinggian 2500 m dpl. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni Septe mber 2005.

B. Bahan dan Alat 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : a. Etiket gantung (dari karton manila). b. Lembar herbarium (dari karton tebal) dan label. c. Sasak kayu atau bambu. d. Kertas gambar dan kertas koran. e. Isolatif f. Kantong palstik g. Alkohol 70% 2. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : a. Alat ukur meteran b. Tali rafia atau tali plastik c. Kompas d. Tally sheet e. Pita tanda f. Paralon g. GPS h. Alat tulis i. Golok dan pisau j. Gunting ranting k. Pita keliling l. Kamera digital m. Haga meter n. Termometer

C. Metode Penelitian 1. Analisis Vegetasi Pengambilan data dengan cara analisis vegetasi bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis yang ada di kawasan Gunung Papandayan Garut. Metode yang digunakan adalah metode jalur berpetak yang d ianggap dapat mewakili areal tersebut. Kegiatan analisis vegetasi dilakukan pada hutan yang terkena letusan dan hutan yang tidak terkena letusan yang masing-masing dilakukan pada ketinggian yang berbeda pula yaitu 2 300 m dpl dan 2 500 m dpl. Perbedaan ketin ggian ini untuk mengetahui apakah ketinggian mempengaruhi tingkat kerusakan akibat letusan Gunung Papandayan . Pada setiap ketinggian, jalur berpetak ini dibuat sebanyak lima jalur dengan ukuran jalur 20 m x 100 m. Satu jalur terdiri dari lima petak contoh yang masing petak berukuran 20 m x 20 m dimana jarak antar jalur adalah 30 m. Di dalam petak contoh dibuat lagi subpetak contoh berukuran 2 m x 2 m (untuk tingkat semai), 5 m x 5 m (untuk tingkat pancang), 10 m x 10 m (untuk tingkat tiang) dan 20 m x 20 m (untuk tingkat pohon). Penentuan letak petak contoh dibuat searah dengan arah kontur. Skema petak contoh dan subpetak contoh yang digunakan seperti pada gambar 2.

5m 2m 20 m 20 m

Untuk menentuka n tingkat permudaan pertumbuhan, digunakan kriteria sebagai berikut : a. Semai (seedling ), yaitu permudaan dari m ulai kecambah sampai setinggi 1,50 meter.

10 m

Arah rintisan 100 m

Gambar 2. Jalur Pengamatan

b. Pancang (sapling), yaitu permudaan yang tingginya 1,50 m sampai pohon muda yang berdiameter 10 cm. c. Tiang (pole ), yaitu pohon muda yang berdiameter 10-20 cm. d. Pohon dewasa, yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm. Untuk analisis vegetasi herba dan semak dilakukan pada subpetak contoh yang berukuran 5 m x 5 m. Sedangkan analisis vegetasi liana dan epifit dilakukan pada subpetak contoh yang sama dengan pohon yaitu yang berukuran 20 m x 20m. 2. Pembuatan Herbarium Langkah-langkah pembuatan herbarium adalah sebagai berikut : a. Bahan herbarium diambil dari pohon (bukan yang sudah jatuh ke tanah), berupa ranting yang berdaun. Setiap jenis pohon diambil satu ranting. Bahan herbarium yang telah diambil diberi etiket gantung (label ) secara berurutan sesuai dengan urutan pengambilannya. b. Pencacatan setiap bahan herbarium yang telah diberi label da lam buku lapangan untuk kegiatan risalah pohon. c. Bahan-bahan herbarium dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran (satu lembar kertas koran untuk satu contoh tumbuhan). d. Bahan herbarium yang telah dibungkus koran disusun sebanyak 20-25 di dalam sasak bambu dan kemudian diikat dengan tali rafia. e. Setiap sasak dimasukkan ke dalam kantong plastik lalu disiram dengan alkohol 70 %. f. Kemudian bahan herbarium tersebut disimpan selama satu malam. g. Penggantian semua kertas koran yang digunakan untuk membungkus bahan herbarium dengan kertas koran yang kering. h. Bahan herbarium disusun kembali di dalam sasak bambu dan diikat dengan tali rafia. i. Semua bahan herbarium yang telah disasak, selanjutnya dikeringkan menggunakan oven bersuhu 60 C sampai bahan herbarium tersebut kering. j. Bahan herbarium yang telah kering selanjutnya siap untuk diidentifikasi.

3. Analisis Tanah Contoh tanah (sample tanah) diambil pada masing-masing ketinggian (2300 m dpl dan 2500 m dpl) baik di hutan yang terkena letusan maupun hutan yang tidak terkena letusan. Hal ini sangat diperlukan agar data yang didapat lebih akurat. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada dua kedalaman yaitu 0 -20 cm dan 20-40 cm dengan menggunakan metode contoh tanah terusik/terganggu, dimana untuk metode ini contoh tan ah dapat diambil menggunakan alat berupa bor tanah/golok/pisau. Contoh tanah diambil di dalam petak contoh secara acak (random) sebanyak 3 kali ulangan pada masing-masing kedalaman. Setelah contoh tanah diambil kemudian

dimasukkan ke dalam kantong palstik dan diberi label sesuai tempat dan kedalaman pengambilan contoh tanah tersebut. 4. Dokumentasi Guna menyimpan dan penyebarluasan hasil penelitian untuk pengguna di lapangan akan dibuat dokumentasi berupa : a Foto atau gambar

b Penyimpanan spesimen herbarium untuk identifikasi. 5. Analisis Data a Kegiatan Analisis Vegetasi Hasil dari kegiatan analisis vegetasi diolah dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut : 1. Indeks Nilai Penting Indeks Nilai penting ini digunakan untuk menetapkan domin asi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Nilai penting merupakan jumlah dari Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), dan Frekuensi Relatif (FR).

Jumlah individu Kerapatan (K) = Luas petak contoh (btg/ha)

Jumlah petak ditemukan suatu jenis Frekuensi (F) = Jumlah seluruh petak Jumlah bidang dasar Dominansi (D) = Luas petak contoh

Kerapatan suatu jenis Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan seluruh jenis Frekuensi suatu jenis Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi seluruh jenis Dominansi suatu jenis Dominansi Relatif (DR) = Dominansi seluruh jenis Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR Pohon dan Tiang Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR Semai dan Pancang 2. Indeks Kekayaan Jenis dari Margelaf S-1 R1 = ln (n) Dimana : R1 = Indeks Margelaf S = Jumlah jenis N = Jumlah total individu 3. Indeks Keanekaragaman Jenis berdasarkan Shannon- Weinner H = - [(Pi) ln (Pi)] Dimana : H = Indeks keanekaragaman jenis Pi = ni/N x 100% x 100% x 100%

ni

= INP setiap jenis

N = Total INP seluruh jenis 4. Indeks Kemerataan Jenis H E = ln (S)

Dimana : E S = Indeks kemerataan jenis = Jumlah jenis

H = Indeks keanekaragaman jenis

5. Indeks Dominansi (C) C = (ni/N)2 Dimana : C = Indeks Dominansi ni = INP setiap jenis N = Total INP seluruh jenis

6. Indeks Kesamaan Komunitas Indeks kesamaan komunitas digunakan untuk mengetahui kesamaan relatif komposisi jenis dari dua teg akan yang dibandingkan pada masing-masing tingkat pertumbuhan. 2W IS = a+b X 100%

Dimana : IS = koefisien kesamaan komunitas (index of similarity) W = jumlah nilai penting yang sama atau nilai yang terendah () dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua petak contoh yang dibandingkan a = jumlah nilai penting dari semua jenis yang terdapat pada komunitas A b = jumlah nilai penting dari semua jenis yang terdapat pada komunitas B

b. Tanah Contoh contoh tanah baik terganggu maupun contoh tanah utuh masing-masing di bawa ke laboratorium tanah untuk dianalisis dengan metode seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah No Sifat Tanah Metode Analisis 1 Sifat fisik Tekstur Pipet 2 Sifat kimia tanah pH C-organik N-total P Mg Ca K Al KTK KB Satuan %

pH meter Walkley dan black Kjeldahl P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1

% % me/100g me/100g me/100g me/100g me/100g me/100g me/100g

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan didapat data semai, pancang, tiang dan pohon yang kemudian diolah untuk memperoleh Indeks Nilai Penting (INP) dari masing-masing data di atas. Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya Indeks Nilai Penting (INP), dimana jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuaian terhadap lingkungan yang lebih tinggi dari jenis yang lain.

1. Indeks Nilai Penting a. Hutan Terkena Letusan pada 2300 m dpl i. Tingkat Pancang Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat pancang didominasi oleh jenis Suwagi ( Vaccinium varingifolium) dengan nilai INP adalah 200,00%. ii. Tingkat Tiang Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat tiang didominasi oleh jenis Suwagi ( Vaccinium varingifolium) dengan nilai INP adalah 300,00%. iii. Tingkat Pohon Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat pohon didominasi oleh jenis Suwagi (Va ccinium varingifolium) dengan nilai INP adalah 300,00%. b. Hutan Tidak Terkena Letusan pada 2300 m dpl i. Tingkat Semai Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat semai didominasi oleh tiga jenis saja yaitu jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium), Cantigi (Vaccinium lucidum) dan Segel (Wormia excelsa) dengan nilai INP berturut-turut sebesar 159,52%; 32,77% dan 7,70%.

ii. Tingkat Pancang Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat pancang didominasi oleh jenis Suwagi ( Vaccinium varingifolium) dan Cantigi (Vaccinium lucidum) dengan nilai INP masing-masing sebesar 194,12% dan 5,88%. iii. Tingkat Tiang Hasil analisis vegetasi Berdasarkan dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat tiang didominasi ole h jenis Suwagi (Vaccinium

varingifolium) dengan nilai INP adalah 300,00%. iv. Tingkat Pohon Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat pohon didominasi oleh jenis Suwagi ( Vaccinium varingifolium) dengan nilai INP adalah 300,00%. v. Tingkat Herba dan Semak Hasil analisis vegetasi tingkat herba dan semak dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak Terkena Letusan) No Nama Lokal Nama Ilmiah 1 Paku andam Gleichania linearis 2 Ilateun Agrostis infirma 3 Pakis munding Angiopteris evecta 4 Jajambuan Eugenia sp 5 Harendong Melastoma malabathricum 6 Paku tangkur Selliguea heterocarpa 7 Edelweis Anaphalis javanica Jumlah (2300 m dpl tidak Nilai Penting (%) 56,90 47,04 45,54 16,94 16,30 15,65 1,64 200,01

Berdasarkan data pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat herba dan semak didominasi oleh jenis Paku andam (Gleichania linearis ) dengan nilai INP adalah 56,90%. c. Hutan Terkena Letusan pada 2500 m dpl i. Tingkat semai Hasil analisis vegetasi tingkat semai dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

6. Nilai Penting Tingkat Semai (2500 m dpl Terkena Letusan) Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) Kendung Helicia serrata 83,07 Segel Wormia excelsa 43,49 Anggrid Neonauclea lanceolata 27,08 Huru batu Litsea glutinosa 12,24 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora 12,24 Huru minyak Lindera polyantha 11,72 Jamuju Podocarpus imbricatus 3,65 Ki sapu Eurya acuminata 3,65 Huru beureum Literatur belum ditemukan 2,87 Jumlah 200,01

Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat semai didominasi oleh jenis Kendung (Helicia serrata ) dengan nilai INP adalah 83,07%. ii. Tingkat Pancang Hasil analisis vegetasi tingkat pancang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai Penting Tingkat Pancang (2500 m dpl Terkena Letusan) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Nama Lokal Segel Anggrid Huru batu Kendung Suwagi Huru beureum Huru buah Huru minyak Ki banen Ki sapu Nama Ilmiah Wormia excelsa Neonauclea lanceolata Litsea glutinosa Helicia serrata Vaccinium varingifolium Literatur belum ditemukan Beilschmiedia gemmiflora Lindera polyantha Crypteronia peniculata Eurya acuminata Jumlah Nilai Penting (%) 72,18 39,05 28,61 26,79 11,35 5,68 4,09 4,09 4,09 4,09 200,02

Berdasarkan data pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat pancang didominasi oleh jenis Segel (Wormia excelsa) nilai INP adalah 72,18%. dengan

iii. Tingkat Tiang Hasil analisis vegetasi tingkat tiang dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai Penting Tingkat Tiang (2500 m dpl Terkena Letusan) No 1 2 3 4 5 6 7 Nama Lokal Segel Anggrid Huru batu Kendung Suwagi Jamuju Huru minyak Nama Ilmiah Wormia excelsa Neonauclea lanceolata Litsea glutinosa Helicia serrata Vaccinium varingifolium Podocarpus imbricatus Lindera polyantha Jumlah Nilai Penting (%) 134,50 67,18 44,92 18,74 18,44 12,04 4,18 300,00

Berdasarkan data pada Tabel 8 dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat tiang didominasi oleh jenis Segel (Wormia excelsa) dengan nilai INP adalah 134,50%. iv. Tingkat Pohon Hasil analisis vegetasi tingkat pohon dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai Penting Tingkat Pohon (2500 m dpl Terkena Letusan) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Nama Lokal Anggrid Segel Jamuju Suwagi Huru batu Huru cabe Kendung Ki teke Pasang beunyeur Huru buah Huru bodas Huru minyak Nama Ilmiah Neonauclea lanceolata Wormia excelsa Podocarpus imbricatus Vaccinium varingifolium Litsea glutinosa Buchanania arborescens Helicia serrata Myrica javanica Literatur belum ditemukan Beilschmiedia gemmiflora Ficus padana Lindera polyantha Jumlah Nilai Penting (%) 148,48 63,81 20,22 13,68 10,12 8,89 8,22 7,69 6,93 5,48 3,92 2,57 300,01

Berdasarkan data pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat pohon didominasi oleh jenis Anggrid ( Neonauclea lanceolata ) dan Segel (Wormia excelsa) dengan nilai INP adalah 148,48% dan 63,81%.

v. Tingkat Herba dan Semak Hasil analisis vegetasi tingkat herba dan semak dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak (2500 m dpl Terkena Letusan) No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Bagedor paku Cyathea contaminans 55,45 2 Ilateun Agrostis infirma 49,82 3 Ramo giling Schefflera aromatica 26,63 4 Pakis bulu Literatur belum ditemukan 18,12 5 Pakis munding Angiopteris evecta 14,73 6 Bungbrun Polygonum chinense 13,54 7 Paku tangkur Selliguea heterocarpa 10,41 8 Paku-pakuan Filices sp 5,87 9 Kokosan Lansium domesticum 2,34 10 Harendong Melastoma malabathricum 1,55 11 Kembang anting Belum diketahui 1,55 Jumlah 200,01 Berdasarkan data pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat herba dan semak didominasi oleh jenis Bagedor paku (Cyathea contaminans) dengan nilai INP adalah 55,45%. vi. Tingkat Liana dan Epifit Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat liana didominasi oleh jenis Areuy bulu (Argyreia capitata) dan Cocok bubu (Argostemma montanum) dengan nilai INP masing-masing sebesar 172,62% dan 17,69%. Sedangkan dominasi tingkat epifit didominasi oleh jenis Anggrek (Vanilla planifolia ) dengan nilai INP adalah 9,69%. d. Hutan yang Tidak Terkena Letusan pada 2500 m dpl i. Tingkat Semai Hasil analisis vegetasi tingkat semai dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Nila i Penting Tingkat Semai (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Salam Kendung Huru sintok Ki putri Huru batu Segel Huru bodas Kiurat beureum Anggid Kayu manis Huru minyak Huru buah Eugenia operculata Helicia serrata Cinnamomum sintoc Podocarpus neriifolius Litsea glutinosa Wormia excelsa Ficus padana Plantago major Neonauclea lanceolata Cinnamomum burmanii Lindera polyantha Beilschmiedia gemmiflora Jumlah 76.23 26,96 19,13 16,56 13,86 10,53 8,73 7,97 6,93 5,27 4,37 3,47 200,01

Berdasarkan data pada Tabel 11 dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat semai didominasi oleh jenis Salam (Eugenia operculata ) dengan nilai INP adalah 76,23%. ii. Tingkat Pancang Hasil analisis vegetasi tingkat pancang dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel l2. Nilai Penting Tingkat Pancang (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Salam Eugenia operculata 33,31 2 Huru bodas Ficus padana 31,17 3 Anggrid Neonauclea lanceolata 22,25 4 Ki putri Podocarpus neriifolius 21,79 5 Kendung Helicia serrata 20,61 6 Segel Wormia excelsa 10,05 7 Huru minyak Lindera polyantha 9,51 8 Pasang beureum Quercus lineata 8,96 9 Pasang beunyeur Literatur belum ditemukan 8,33 10 Huru sintok Cinnamomum sintoc 6,14 11 Ki urat beureum Plantago major 6,10 Schefflera aromatica 12 Ramo gencel 5,60 13 Puspa Schima walichii 5,01 14 Huru batu Litsea glutinosa 3,91 15 Huru cabe Buchanania arborescens 3,37 16 Huru jeruk Litsea amara 2,23 17 Huru huut Litsea monopetala 1,68 Jumlah 200,02

Berdasarkan data pada Tabel 12 dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat pancang didominasi oleh jenis Salam (Eugenia operculata ) dan Huru bodas (Ficus padana ) dengan nilai INP adalah 33,31% dan 31,17%. iii. Tingkat Tiang Hasil analisis vegetasi tingkat tiang dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Nilai Penting Tingkat Tiang (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Segel Wormia excelsa 53,79 2 Pasang beureum Quercus lineata 44,23 3 Salam Eugenia operculata 40,06 Schefflera aromatica 4 Ramo gencel 33,50 5 Huru sintok Cinnamomum sintoc 27,34 6 Anggrid Neonauclea lanceolata 19,89 7 Huru bodas Ficus padana 18,33 8 Huru batu Litsea glutinosa 13,49 9 Huru minyak Lindera polyantha 12,95 10 Huru cabe Buchanania arborescens 12,33 11 Ki putri Podocarpus neriifolius 6,98 12 Kendung Helicia serrata 6,89 13 Puspa Schima walichii 3,65 14 Ki harendong Astronia spectabilis 3,30 15 Ki seueur Antidesma tentrandum 3,28 Jumlah 300,01 Berdasarkan data pada Tabel 13 dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat tiang didominasi oleh jenis Segel (Wormia excelsa) dengan nilai INP adalah 53.79%. iv. Tingkat Pohon Tabel 14. Nilai Penting Letusan) No Nama Lokal 1 Salam 2 Huru batu 3 Huru bodas 4 Pasang beureum 5 Huru sintok 6 Puspa 7 Segel 8 Anggrid 9 Kendung 10 Ki putri Tingkat Pohon (2500 m dpl tidak Terkena Nilai Penting (%) 52,56 44,57 34,10 28,79 23,75 17,89 15,34 14,85 9,07 8,05

Nama Ilmiah Eugenia operculata Litsea glutinosa Ficus padana Quercus lineata Cinnamomum sintoc Schima walichii Wormia excelsa Neonauclea lanceolata Helicia serrata Podocarpus neriifolius

11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

8,03 7,82 5,78 Schefflera aromatica 5,33 Engelhardia spicata 4,74 Litsea monopetala 4,28 Astronia spectabilis 3,76 Literatur belum ditemukan 2,83 Lindera polyantha 2,71 Metroxylon spec 2,20 Litsea cubeba 0,94 Eugenia occlusa 0,89 Podocarpus imbricatus 0,86 Beilschmiedia gemmiflora 0,86 Jumlah 300,00 Berdasarkan data pada Tabel 14 dapat diketahui bahwa dominasi jenis

Huru cabe Huru jeruk Ki seueur Ramo gencel Ki hujan Huru huut Ki harendong Pasang beunyeur Huru minyak Kiray Lemo Huru piit Jamuju Huru buah

Buchanania arborescens Litsea amara Antidesma tentrandum

tingkat pohon didominasi oleh jenis Salam (Eugenia operculata) dan Huru batu ( Litsea glutinosa) dengan nilai INP adalah 52,56% dan 44,574%. v. Tingkat Herba dan Semak Hasil analisis vegetasi tingkat herba dan semak dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Nilai Penting Tingkat Herba (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) dan Semak No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Bagedor paku Cyathea contaminans 34,77 2 Ilateun Agrostis infirma 30,64 3 Teklan Eupathorium riparicum 29,22 4 Arben Duchesnea indica 21,26 5 Harendong Melastoma malabathricum 13,21 6 Kirinyu Eupathorium oderata 8,94 7 Paku tangkur Selliguea heterocarpa 8,79 8 Ki urat beureum Plantago major 8,74 9 Kokosan Lansium domesticum 8,54 10 Canar Smilax celebica 8,35 11 Bubukuan bulu Sambucus javanica 5,70 12 Paku-pakuan Filices sp 5,60 13 Bungbrun Polygonum chinense 5,30 14 Paku munding Angipteris evecta 3,44 15 Bulu manik Literatur belum ditemukan 2,41 16 Pohpohan Buchanaria arborescens 1,42 17 Pinding Literatur belum ditemukan 1,23 18 Babadotan Ageratum conyzoides 1,23 19 Tarate gunung Gunnera macropylla 1,23 Jumlah 200,02

Berdasarkan data pada Tabel 15. dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat herba dan semak didominasi oleh jenis Bagedor paku (Cyathea contaminans) dan Ilateun (Agrostis infirma ) dengan nilai INP adalah 34,77% dan 30,64%. vi. Tingkat Liana dan Epifit Hasil analisis vegetasi.dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat liana didominasi oleh jenis Seureuh leuweung (Piper sulcatum) dengan nilai INP adalah 102.86% sedangkan untuk tingkat efipit didominansi oleh jenis Anggrek (Vanilla planifolia ) dengan nilai INP sebesar 97,14%.

2. Indeks Keragaman Jenis Indeks keanekaragaman menunjukkan tingkat keanekaragaman vegetasi disuatu komunitas yang ditentukan dua hal yaitu kelimpahan jenis dan kemerataannya. Pada gambar 3 dapat dilihat besarnya nilai indeks keragaman Shannon-Wiener pada masing-masing tingkat vegetasi dan lokasi pengamatan
Indeks Keragaman
3.00 2.50 Nilai Indeks 2.00 1.50 1.00
0.53 1.74 1.53 2.45 2.40 2.53 2.31 1.93 1.75 1.42 1.49 1.40

2300 m dpl terkena letusan 2300 m dpl tidak terkena letusan 2500 m dpl terkena letusan
0.68 0.42

0.50
0.00

2500 m dpl tidak terkena letusan

0.03 0.00

0.00 0.00

0.00 0.00

0.00

0.00 0.00

0.00
semai pancang tiang pohon herba dan semak Liana dan Epifit

Tingkat Vegetasi

Gambar 3. Indeks Keragaman Jenis Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa di ketinggian 2300 m dpl hutan yang terkena letusan memiliki indeks keragaman yang lebih kecil dibandingkan hutan yang tidak terkena letusan. Pada hutan yang terkena letusan untuk semua tingkat vegetasi memiliki nilai indeks keragaman sebesar 0,00.

Berbeda pada hutan yang tidak terkena letusan untuk tingkat semai, pancang dan herba dan semak memiliki nilai indeks keragaman masing-masing sebesar 0,53; 0,03; dan 1,40 sedangkan untuk tingkat tiang, pohon da n liana dan epifit memiliki nilai indeks keragaman yang sama yaitu 0,00. Begitu juga dengan hutan di ketinggian 2500 m dpl, hutan yang terkena letusan memiliki indeks keragaman yang lebih kecil dibandingkan dengan hutan yang tidak terkena letusan. Hutan yang terkena letusan untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak dan liana dan efifit memiliki nilai indeks keragaman masing-masing sebesar 1,53; 1,75; 1,42; 1,49; 1,93 dan 0,42 sedangkan pada hutan yang tidak terkena letusan nilai indeks keragaman untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak dan liana dan epifit memiliki nilai indeks keragaman masing-masing sebesar 1,74; 2,45; 2,40; 2,53; 2,31 dan 0,68.

3. Indeks Kekayaan Jenis Indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya indeks kekayaan ini nilainya dipengaruhi oleh banyaknya spesies vegetasi. Pada Gambar 4 dapat dilihat besarnya nilai Indeks Kekayaan marg alef (R1) pada masing-masing tingkat vegetasi dan lokasi pengamatan.
Indeks Kekayaan
4.00 3.50
3.79

2300m dpl terkena letusan


2.37 2.00 2.22 2.00

Nilai Indeks

3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 semai pancang tiang pohon herba Liana dan dan Epifit semak
1.18 0.85 0.22 0.00 0.10 0.00 1.30 1.01 1.00 0.57 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.510.51 0.00 0.00

2300 m dpl tidak terkena letusan 2500 m dpl terkena letusan 2500 m dpl tidak terkena letusan

Tingkat Vegetasi

Gambar 4. Indeks Kekayaan Jenis

Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa di ketinggian 2300 m dpl hutan yang terkena letusan memiliki indeks kekayaan yang lebih kecil dibandingkan hutan yang tidak terkena letusan. Pada hutan yang terkena letusan untuk semua tingkat vegetasi memiliki nilai indeks kekayaan sebesar 0,00. Berbeda pada hutan yang tidak terkena letusan untuk tingkat semai, pancang dan herba dan semak memiliki nilai indeks kekayaan masing-masing sebesar 0,22; 0,10; dan 0,57 sedangkan untuk tingkat tiang, pohon dan liana dan epifit memiliki nilai indeks kekayaan yang sama yaitu 0,00. Begitu juga dengan hutan di ketinggian 2500 m dpl, hutan yang terkena letusan memiliki indeks kekayaan yang lebih kecil dibandingkan dengan hutan yang tidak terkena letusan. Hutan yang terkena letusan untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak dan liana dan epifit memiliki nilai indeks kekayaan masing-masing sebesar 0,85; 1,30; 1,01; 2,22; 1,00 dan 0,51 sedangkan pada hutan yang tidak terkena letusan nilai indeks kekayaan untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak dan liana dan efifit memiliki nilai indeks kekayaan masing-masing sebesar 1,18; 2,00; 2,37; 3,79; 2,00 dan 0,51.

4. Indeks Kemerataan Jenis Indeks yang menunjukkan pola penyebaran vegetasi di suatu areal apakah menyebar merata ataukah hanya terpusat pada suatu tempat saja. Dimana semakin besar nilai indeks kemerataan maka komposisi penyebaran jenisnya semakin merata. Pada Gambar 5 dapat dilihat besarnya nilai Indeks Kemerataan (E) pada masing-masing tingkat vegetasi dan lokasi pengamatan .

Indeks Kemerataan
1.20 1.00
0.86 0.89 0.80 0.73 0.60 0.80 0.78 0.72 0.76 0.700.70 0.99

2300 m dpl terkena letusan 2300 m dpl tidak terkena letusan 2500 m dpl terkena letusan
0.38

Nilai Indeks

0.80

0.60 0.40

0.48

2500 m dpl tidak terkena letusan

0.20
0.00 0.04 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

0.00 semai pancang tiang pohon herba dan semak Liana dan Epifit

Tingkat Vegetasi

Gambar 5. Indeks Kemerataan Jenis Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa di ketinggian 2300 m dpl hutan yang terkena letusan memiliki indeks ke merataan yang lebih kecil dibandingkan hutan yang tidak terkena letusan. Pada hutan yang terkena letusan untuk semua tingkat vegetasi memiliki nilai indeks ke merataan sebesar 0,00. Berbeda pada hutan yang tidak terkena letusan untuk tingkat semai, pancang dan herba dan semak memiliki nilai indeks kemerataan masing-masing sebesar 0,48; 0,04 dan 0,72 sedangkan untuk tingkat tiang, pohon dan liana dan efifit memiliki nilai indeks kemerataan yang sama yaitu 0,00. Begitu juga dengan hutan di ketinggian 2500 m dpl, hutan yang terkena letusan memiliki indeks ke merataan yang lebih kecil dibandingkan dengan hutan yang tidak terkena letusan. Hutan yang terkena letusan untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak dan liana dan epifit memiliki nilai indeks ke merataan masing-masing sebesar 0,70; 0,76; 0,73; 0,60; 0,72 dan 0,38 sedangkan pada hutan yang tidak terkena letusan nilai indeks kemerataan untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak dan liana dan epifit memiliki nilai indeks kemerataan masing-masing sebesar 0,70; 0,86; 0,89; 0,80; 0,78 dan 0,99.

5. Indeks Dominansi (C) Indeks Dominansi digunakan untuk menentukan dominansi jenis dalam suatu komunitas dan untuk menetapkan dimana dominansi itu di pusatkan. Pada Gambar 6 dapat dilihat besarnya nilai Indeks Dominansi (C) pada masing-masing tingkat vegetasi dan lokasi pengamatan.
Indeks Dominansi

1.200 1.000
1.00 0.94 1.00 1.00 1.00 1.00

2300 m dpl terkena letusan


0.76

Nilai Indeks

0.800
0.67

2300 m dpl tidak terkena letusan 2500 m dpl terkena letusan 2500 m dpl tidak terkena letusan

0.600 0.400 0.200


0.00 0.25 0.19 0.21 0.10 0.11 0.30 0.18 0.10 0.09 0.00 0.02 0.00 0.00

0.50

0.28

0.000 semai pancang tiang pohon herba dan semak Liana dan Epifit

Tingkat Vegetasi

Gambar 6. Indeks Dominansi Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa di ketinggian 2300 m dpl hutan yang terkena letusan memiliki indeks dominansi yang cenderung sama dengan hutan yang tidak terkena letusan. Pada hutan yang terkena letusan untuk tingkat semai, herba dan semak, liana dan epifit memiliki nilai indeks dominansi masing-masing sebesar 0,00 sedangkan untuk tingkat pancang, tiang dan pohon nilai indeks dominansi masing-masing sebesar 1,00. Berbeda pada hutan yang tidak terkena letusan untuk tingkat semai, pancang dan herba dan semak memiliki nilai indeks dominansi masing-masing sebesar 0,67; 0,94 dan 0,18; untuk tingkat tiang, pohon nilainya masing-masing sebesar 1,00 sedangkan untuk tingkat liana dan epifit nilainya sebesar 0,00. Begit u juga dengan hutan di ketinggian 2500 m dpl, hutan yang terkena letusan memiliki indeks doninansi yang lebih besar dibandingkan dengan hutan yang tidak terkena letusan. Hutan yang terkena letusan untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak dan liana dan epifit memiliki nilai indeks dominansi masing-masing sebesar 0,25; 0,21; 0,28; 0,30; 0,18 dan 0,76

sedangkan pada hutan yang tidak terkena letusan nilai indeks dominansi untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak dan liana dan efifit memiliki nilai indeks kemerataan masing-masing sebesar 0,19; 0,10; 0,11; 0,09; 0,10 dan 0,50.

6. Indeks Kesamaan Komunitas (IS) Indeks Kesamaan Komunitas digunakan untuk mengetahui kesamaan komposisi jenis dari dua tegakan yang dibandingkan pada masing-masing tingkat vegetasi. Dalam hal ini yang dibandingkan adalah vegetasi pada tingkatan yang sama dan ketinggian yang sama antara hutan yang terkena letusan dan yang tidak terkena letusan. Pada Gambar 7 dapat dilihat besarnya nilai Indeks Kesamaan Komunitas (IS) pada tingkat vegetasi yang sama dan ketinggian yang sama.

Indeks Kesamaan Komunitas


60.00 50.00
49.26

Nilai Indeks

40.00 30.00 20.00 10.00 0.00


0.00 1.77 20.92 31.35 26.83 19.44 20.24

2300 m dpl

2500 m dpl

9.09 0.00 3.51 0.00

semai

pancang

tiang

pohon

herba dan semak

Liana dan Epifit

Tingkat Vegetasi

Gambar 7. Indeks Kesamaan Komunitas Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa pada hutan di ketinggian 2300 m dpl nilai indeks kesamaan komunitas yang paling tinggi adalah pada tingkat tiang dengan nilai sebesar 19,44% sedangkan yang paling rendah adalah pada tingkat semai, herba dan semak, dan liana dan epifit dengan nilai sebesar 0,00%. Berbeda pada hutan di ketinggian 2500 mdpl nilai indeks kesamaan komunitas yang paling tinggi adalah pada tingkat herba dan semak dengan nilai sebesar 49,26% sedangkan yang paling rendah adalah pada tingkat liana dan epifit dengan nilai sebesar 3,51%.

6. Sifat Fisik Tanah Tekstur tanah pada empat lokasi pengamatan dengan dua kedalaman yaitu 0 20 cm dan 20-40 cm di analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian dengan menggunakan metode pipet. Data yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Data Tekstur Tanah No 1 Lokasi Pengamatan 2300 m dpl terkena letusan 2300 m dpl tidak terkena letusan 2500 m dpl terkena letusan 2500 m dpl tidak terkena letusan Kedalaman 0-20 cm 20-40 cm 0-20 cm 20-40 cm 0-20 cm 20-40 cm 0-20 cm 20-40 cm Tekstur (pipet) % Pasir Debu Liat 52,96 45,95 52,70 48,37 26,90 36,01 57,30 37,29 25,99 21,05 24,81 29,24 12,66 12,66 18,31 18,31 41,59 31,51 32,87 49,11 24,43 18,27 38,36 24,35 Kelas tekstur Lempung liat berpasir Lempung Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berliat Liat Lempung berpasir Lempung

Secara umum tekstur tanah sangat mempengaruhi besarnya ruang pori yang terdapat dalam tanah tersebut. Tekstur tanah mengambarkan kandungan butirbutir koloid tanah yaitu pasir, debu dan liat. Butir tanah tanah digolongkan berdasarkan ukurannya yaitu pasir : 2 mm- 50, debu 50- 2 dan liat kurang dari 2. Tekstur tanah ditentukan berdasarkan perbandingan kandungan pasir, debu dan liat. Dari hasil analisis tanah, tekstur tanah pada hutan terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl, tekstur tanahnya lebih halus dibandingkan hutan tidak terkena letusan. 7. Sifat Kimia Tanah Dampak kimia yang paling langsung dari letusan Gunung Papandayan adalah pembebasan unsur-unsur mineral yang tercuci dan masuk ke dalam tanah. Data sifat kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Da ta Sifat Kimia Tanah dan Kriteria Kesuburan Tanah Berdasarkan Lembaga Penelitian Tanah (LPT) 1981.
No 1 2 3 4 Lokasi Pengamatan 2300 m dpl terkena letusan 2300 m dpl tidak terkena letusan 2500 m dpl terkena letusan 2500 m dpl tidak terkena letusan Kedalaman tanah 0-20 cm 20-40cm 0-20 cm 20-40cm 0-20 cm 20-40cm 0-20 cm 20-40cm pH tanah 4,21 (SM) 4,28 (SM) 4,42 (SM) 4,59 (SM) 4,63 (M) 4,6 (M) 4,86 (M) 4,47 (M) Al 22,93 (S) 26,15 (S) 9,04 (SR) 7,54 (SR) 21,31(S) 7,06 (SR) 1,58 (SR) 2,94 (SR) P 37,80 (ST) 46,00 (ST) 24, 60 (S) 21, 30 (S) 23, 00 (S) 6,60 (SR) 20, 50 (S) 21, 30 (S) C-organik 2,17 (S) 1,59 (R) 6,69 (ST) 3,26 (T) 1,00 (R) 6,52 (ST) 6,01 (ST) 6,60 (ST) N -Total 0,17 (R) 0,11 (S) 0,46 (S) 0,23 (S) 0,09 (R) 0,38 (S) 0,36 (S) 0,42 (S) KTK 12,18 (R) 12,94 (R) 18,65 (S) 18,28 (S) 22,45 (S) 25,12 (T) 20,55 (S) 22,07 (S)

Tabel 17. Data Sifat Kimia Tanah dan Kriteria Kesuburan Tanah Berdasarkan Lembaga Penelitian Tanah (LPT) 1981 (Lanjutan)
No 1 2 3 4 Lokasi Pengamatan 2300 m dpl terkena letusan 2300 m dpl tidak terkena letusan 2500 m dpl terkena letusan 2500 m dpl tidak terkena letusan Kedalaman tanah 0-20 cm 20-40cm 0-20 cm 20-40cm 0-20 cm 20-40cm 0-20 cm 20-40cm Mg 0,92 (S) 0,79 (S) 2,06 (S) 2,30 (T) 1,45 (R) 1,68 (R) 1,08 (R) 0,86 (R) K 0,36 (S) 0,28 (S) 0,42 (S) 0,46 (S) 0,36 (S) 0,48 (S) 0,32 (S) 0,30 (S) Ca 2,48 (R) 2,90 (R) 4,68 (R) 4,72 (R) 3,30 (R) 4,27 (R) 3,43 (R) 2,90 (R) KB 34,80 (S) 33,50 (R) 41,40 (S) 44,10 (S) 25,2 (R) 27,80 (R) 25,50 (R) 20,00 (R)

Keterangan menurut Lembaga Penelitian Tanah (LPT) 1981 : : Sangat Rendah SR R : Rendah S : Sedang T : Tinggi ST : Sangat Tinggi M : Masam SM : Sangat Masam

a. Reaksi Tanah (pH Tanah)


4.9 4.8 4.7 4.6 4.5 4.4 4.3 4.2 4.1 4 3.9 3.8
4.86

4.59

4.63

4.60 4.47

pH tanah

4.42 4.28 4.21

2300 m dpl 2300 m dpl 2500 m dpl 2500 m dpl terkena letusan tidak terkena terkena letusan tidak terkena letusan letusan

0-20 cm 20-40 cm

Lokasi pengamatan

Gambar 8. Reaksi Tanah (pH Tanah)

Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah terjadi letusan nilai pH tanah cenderung menurun baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl pH tanah untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami penurunan masingmasing sebesar 0,07 dan 0,17. Begitu juga pada hutan di ketinggian 2500 m dpl pH tanah untuk kedalaman 0 -20 cm mengalami penurunan sebesar 0,23 sedangkan untuk kedalaman 20-40 cm mengalami peningkatan sebesar 0,13. b. Kandungan Aluminium (me/100 gr)
30.00 26.15 22.93 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 2300 m dpl terkena letusan 2300 m dpl tidak terkena letusan 2500 m dpl terkena letusan 2500 m dpl tidak terkena letusan 1.58 2.94 21.31

Aluminium (me/100 gr)

9.04 7.54 7.06

0-20 cm 20-40 cm

Lokasi pengamatan

Gambar 9. Kandungan Magnesium Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah terjadi letusan kandungan Al tanah mengalami peningkatan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl kandungan Al untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami dan 18,61 me/100gr. peningkatan masing-masing sebesar 13,89 me/100gr

Begitu juga pada hutan di ketinggian 2500 m dpl kandungan Al untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami peningkatan sebesar 19,73 me/100gr dan 4,12 me/100gr. c. Kandungan Fosfor (ppm)

50.00 45.00
37.80

46.00

Fosfor (ppm)

40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00

24.60 21.30

23.00

20.50 21.30

6.60

2300 m dpl 2300 m dpl 2500 m dpl 2500 m dpl terkena letusan tidak terkena terkena letusan tidak terkena letusan letusan

Lokasi pengamatan

0-20 cm 20-40cm

Gambar 10. Kandungan Fosfor Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah terjadi letusan kandungan P tanah mengalami perubahan yang berbeda antara hutan di ketinggian 2300 m dpl dengan 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl kandungan P untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami peningkatan masing-masing sebesar 13,2 ppm dan 24,7 ppm. Berbeda pada hutan di ketinggian 2500 m dpl kandungan P untuk kedalaman 0-20 cm mengalami peningkatan sebesar 2,5 ppm sedangkan untuk kedalaman 20-40 cm mengalami penurunan sebesar 14,7 ppm. d. Kandungan Karbon Organik (%)
6.69 6.52 6.60 6.01

7 6

C-organik (%)

5 4 3 2 1 0 2300 m dpl 2300 m dpl 2500 m dpl 2500 m dpl terkena letusan tidak terkena terkena letusan tidak terkena letusan letusan
2.17 1.59 1.00 3.26

0-20 cm 20-40 cm

Lokasi Pengamatan

Gambar 11. Kandungan Karbon Organik

Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah terjadi letusan kandungan C-organik tanah mengalami penurunan yang drastis khususnya untuk kedalaman 0-20 cm baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl kandungan C-organik untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami penurunan masingmasing sebesar 4,52% dan 1,67%. Begitu juga pada hutan di ketinggian 2500 m dpl kandungan C-organik untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami penurunan sebesar 5,01% dan 0,08%. e. Kandungan Nitrogen Total (%)
0.5 0.45
0.38 0.46 0.42 0.36

0.4

N-Total (%)

0.35 0.3 0.25


0.17 0.23

0.2 0.15 0.1 0.05 0 2300 m dpl terkena letusan 2300 m dpl tidak terkena letusan 2500 m dpl terkena letusan 2500 m dpl tidak terkena letusan
0-20 cm 20-40 cm
0.11 0.09

Lokasi pengamatan Gambar 12. Kandungan Nitrogen Total

Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah terjadi letusan kandungan N-total tanah me ngalami penurunan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl kandungan N -total untuk kedalaman 0 -20 cm dan 20-40 cm mengalami penurunan masing-masing sebesar 0,29% dan 0,12%. Begitu juga pada hutan di ketinggian 2500 m dpl kandungan N-total untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami penurunan sebesar 0,27% dan 0,04%.

f. Kapasitas Tukar Kation (KTK)


30.00 25.00
18.65 18.28 22.45 25.12 20.55 22.07

20.00

KTK

12.94

15.00 10.00 5.00 0.00

12.18

2300 m dpl 2300 m dpl 2500 m dpl 2500 m dpl terkena tidak terkena terkena tidak terkena letusan letusan letusan letusan

0-20 cm 20-40 cm

Lokasi pengamatan

Gambar 13 Kapasitas Tukar Kation (KTK) Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah terjadi letusan KTK tanah mengalami perubahan yang berbeda antara hutan di ketinggian 2300 m dpl dengan 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl kandungan KTK untuk kedalaman 0 -20 cm dan 20-40 cm mengalami penurunan masing-masing sebesar 6,47 dan 5,34. Berbeda pada hutan di ketinggian 2500 m dpl kandungan KTK untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami peningkatan sebesar 1,90 dan 3,05. g. Kandungan Magnesium (me/100 gr)
2.50
2.06 2.30

Magnesium (me/100 gr)

2.00
1.45

1.68

1.50
1.08 0.92 0.79 0.86

1.00

0.50

0.00 2300 m dpl 2300 m dpl 2500 m dpl 2500 m dpl terkena letusan tidak terkena terkena letusan tidak terkena letusan letusan

Lokasi pengamatan

0-20 cm 20-40 cm

Gambar 14. Kandungan Magnesium

Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah terjadi letusan kandungan Mg tanah mengalami perubahan yang berbeda antara hutan di ketinggian 2300 m d pl dengan 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl kandungan Mg untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,14 me/100gr dan 1,51. me/100gr. Berbeda pada hutan di ketinggian 2500 m dpl kandungan Mg untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami peningkatan sebesar 0,37 me/100gr dan 0,82 me/100gr. h. Kandungan Kalium (me/ 100 gr)
0.5 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
0.46 0.42 0.36 0.28 0.36 0.32 0.3 0.48

Kalium (me/100 gr)

2300 m dpl terkena letusan

2300 m dpl 2500 m dpl tidak terkena terkena letusan letusan

2500 m dpl tidak terkena letusan

0-20 cm 20-40 cm

Lokasi pengamatan

Gambar 15. Kandungan Kalium Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah terjadi letusan kandungan K tanah mengalami perubahan yang berbeda antara hutan di ketinggian 2300 m dpl dengan 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl kandungan K untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami penurunan masing-masing sebesar 0,06 me/100gr dan 0,18 me/100 gr. Berbeda pada hutan di ketinggian 2500 m dpl kandungan K untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami peningkatan sebesar 0,04 me/100 gr dan 0,18 me/100 gr.

i. Kandungan Kalsium (me/100 gr)


4.68 4.72 4.27

5.00 4.50

Kalsium (me/100 gr)

4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00


2.48 2.90

3.30

3.43 2.90

2300 m dpl 2300 m dpl 2500 m dpl 2500 m dpl terkena letusan tidak terkena terkena letusan tidak terkena letusan letusan

0-20 cm 20-40 cm

Lokasi pengamatan

Gambar 16. Kandungan Kalsium Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah terjadi letusan kandungan Ca tanah mengalami perubahan yang berbeda antara hutan di ketinggian 2300 m dpl dengan 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl kandungan Ca untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm dan 2,24. mengalami penurunan masing-masing sebesar 2,20 me/100gr

me/100gr. Berbeda pada hutan di ketinggian 2500 m dpl kandungan Ca untuk kedalaman 0 -20 cm mengalami penurunan sebesar 0,13 me/100gr sedangkan untuk kedalaman 20-40 cm mengalami peningkatan sebesar 1,37 me/100gr. j. Kejenuhan Basa (KB)
41.40 44.10

45.00 40.00 35.00 30.00


25.20 27.80 25.50 20.00 34.80 33.50

KB

25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 2300 m dpl terkena letusan 2300 m dpl tidak terkena letusan 2500 m dpl terkena letusan

2500 m dpl tidak terkena letusan

0-20 cm 20-40 cm

Lokasi pengamatan

Gambar 17. Kejenuhan Basa (KB)

Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah terjadi letusan KB tanah mengalami perubahan yang berbeda antara hutan di ketinggian 2300 m dpl dengan 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl kandungan KB untuk kedalaman 0-20 cm penurunan masing-masing sebesar 6,6 dan 20-40 cm mengalami

dan 10,6. Berbeda pada hutan di

ketinggian 2500 m dpl kandungan KTK untuk kedalaman 0-20 cm mengalami penurunan sebesar 0,30 sedangkan untuk kedalaman 20-40 cm mengalami peningkatan sebesar 7,80.

B. Pembahasan 1. Indeks Nilai Penting Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya Indeks Nilai Penting (INP), dimana jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuian terhadap lingkungan yang lebih tinggi dari jenis lain. Suatu jenis dikatakan dominan apabila jenis tersebut t erdapat di daerah yang bersangkutan dalam jumlah yang banyak, tersebar merata keseluruh areal dan berdiameter besar, sehingga penetapan suatu jenis dominan dengan berdasarkan suatu indeks yang merupakan gabungan dari tiga nilai yaitu nilai kerapatan, nilai frekuensi dan nilai dominansi adalah sangat tepat (Sutisna, 1981). Selanjutnya Sutisna (1981), juga menyatakan bahwa suatu jenis dapat dikatakan berperan jika nilai INP pada tingkat semai dan pancang lebih dari 10%, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15 %. Pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl belum ditemukannya vegetasi untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah lainnya. Vegetasi yang ditemukan hanya beberapa jenis Suwagi ( Vaccinium

varingifolium) baik untuk tingkat pancang, tiang dan pohon dengan nilai INP 200,00% untuk tingkat pancang dan 300,00% untuk tingkat tiang dan pohon. Hal ini disebabkan karena hutan di ketinggian 2300 m dpl terlalu dekat dengan sumber letusan (2200 m dpl) sehingga kerusakan akibat letusan pada ketinggian ini sangat parah yang menyebabkan semua vegetasi yang ada di hutan tersebut m ati. Hanya jenis-jenis tertentu saja yang dapat bertahan hidup seperti jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium) karena jenis ini biasanya hidup pada tempat terbuka terutama dekat kawah. Begitu juga pada hutan yang tidak terkena letusan, untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon didominasi oleh jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium) dengan nilai INP sebesar 159,52% untuk tingkat semai, 194,12% untuk tingkat pancang, dan 300,00% untuk tingka t tiang dan pohon. Dari semua tingkat vegetasi dapat dilihat bahwa jenis Suwagi (Vaccinium

varingifolium) sangat mendominasi baik dari faktor kerapatan maupun frekuensi ditemukannya di lapangan. Pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl, untuk tingkat semai didominasi oleh jenis Kendung (Helicia serrata ) dengan nilai INP adalah 83,07%. Untuk tingkat pancang dan tiang sama-sama didominasi oleh jenis Segel ( Wormia excelsa ) dengan nilai INP berturut-turut adalah 72,18% dan 134,50%. Untuk tingkat pohon jenis yang paling dominan adalah jenis Anggrid (Neonauclea lanceolata) dengan nilai INP sebesar 148,48%. Untuk tingkat Herba dan semak, jenis yang paling dominan adalah jenis Bagedor paku (Cyathea contaminans) dengan nilai INP adalah 55,45%. Untuk tingkat liana didominasi oleh jenis Areuy bulu (Argyreia capitata ) dengan nilai INP sebesar 172.62% sedangkan untuk tingkat epifit didominasi oleh jenis Anggrek ( Vanilla planifolia) dengan nilai INP sebesar 9,69%. Berbeda dengan hutan yang tidak terkena letusan untuk tingkat semai dan pancang sama -sama didominasi oleh jenis Salam (Eugenia operculata ) dengan nilai INP berturut-turut adalah 76,23% dan 33,31%. Untuk tingkat tiang didominasi oleh jenis Segel (Wormia excelsa) dengan nilai INP adalah Huru batu (Litsea glutinosa) dengan nilai INP

53,79%. Jenis yang mendominasi pada tingkat pohon adalah jenis Salam (Eugenia operculata ) dan

berturut-turut sebesar 52,56% dan 44,57%. Pada tumbuhan bawah, Herba dan Semak jenis yang mendominasi adalah Bagedor paku (Cyathea contaminans) dan Ilateun (Agrostis infirma ) dengan nilai INP berturut-turut adalah 34,77% dan 30,64%. Untuk tingkat liana didominasi oleh jenis Seureuleung dengan nilai INP adalah 102,86% sedangkan untuk tingkat epifit jenis yang dominan adalah jenis Anggrek ( Vanilla planifolia) dengan nilai INP sebesar 97,14%. Jenis-jenis yang memiliki nilai INP yang tinggi menunjukkan bahwa jenisjenis tersebut merupakan jenis yang lebih adaptif terhadap lingkungan dengan kata lain jenis ini lebih mampu menyesuaikan diri pada lingkungan tempat hidupnya daripada jenis lain. Selain itu juga, suatu jenis dikatakan dominan dalam komunitas, apabila jenis tersebut berhasil memanfaatkan sebagian besar sumber daya yang ada untuk pertumbuhan hidupnya dibandingkan dengan jenis yang lain. Hal ini ditegaskan oleh Soerianegara dan Indrawan (1988),

bahwa tumbuhan mempunyai korelasi yang sangat nyata dengan tempat tumbuh (habitat) dalam hal penyebaran jenis, kerapatan dan dominansinya. Jenis-jenis yang dominan tersebut memiliki nilai kerapatan, frekuensi dan dominansi yang tinggi. Kerapatan jenis yang tinggi menunjukkan bahwa jenis ini memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan di lapangan dibandingkan jenis lainnya. Tingginya frekuensi suatu je nis menunjukkan bahwa jenis ini tersebar merata hampir diseluruh petak pengamatan. Sedangkan dominansi yang tinggi menunjukkan bahwa jenis ini paling berkuasa di dalam komunitas terutama dalam penguasaan ruang tempat tumbuh. Suatu permudaan hutan harus terdapat ketersediaan yang cukup akan semai, pancang, dan tiang untuk menjamin adanya pergantian atau regenerasi yang alami. Di dalam menentukan cukup tidaknya suatu permudaan pada komunitas hutan digunakan kriteria Wyatt- Smith (1963). Permudaan dianggap cukup apabila tersedia 40% atau 1000 semai/ha yang tersebar merata, pada tingkat pancang paling sedikit 60% atau 240 pancang/ha yang tersebar merata, pada tingkat tiang 75% atau 75 tiang/ha yang tersebar merata dan pada tingkat pohon 100% atau 25 pohon/ha yang tersebar merata. Berdasarkan kriteria Wyatt-Smith pada hutan yang terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl dapat diketahui bahwa permudaan alam untuk tingkat semai, pancang, dan tiang belum dianggap memadai untuk suatu permudaan hutan. Hal ini dapat disebabkan karena proses suksesi masih berjalan lebih kurang tiga tahun sehingga keanekaragaman jenis yang ada masih sedikit. 2. Indeks Keragaman, Kekayaan dan Kemerataan jenis. Indeks Keanekaragaman Jenis ditentukan oleh dua hal, yaitu kekayaan jenis (kelimpahan jenis) dan kemerataan jenisnya. Deshmukh (1992) menjelaskan bahwa keanekaragaman jenis lebih besar bilamana kemerataannya lebih besar, yaitu jika populasi-populasi yang ada satu sama lain adalah merata dalam kelimpahannya, bukan beberapa populasi sangat banyak sedangkan populasi lainnya sangat sedikit.

Menurut Shannon-Wiener nilai Indeks Keanekaragaman Jenis umumnya berada pada kisaran antara 1.0 -3.5 dimana semakin mendekati nilai 3.5 maka menggambarkan tingkat keanekaragaman yang semakin besar. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis pada hutan di ketinggian 2300 m dpl baik hutan yang terkena letusan maupun hutan yang tidak terkena letusan memiliki nilai yang relatif rendah. Pada hutan yang terkena letusan nilai Indeks Keanekaragaman Jenisnya pada semua tingkatan bernilai 0, hal ini dikarenakan hanya satu jenis vegetasi saja yang ditemukan di lapangan yaitu jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium). Begitu pula pada hutan yang tidak terkena letusan, Indeks Keanekaragaman Jenis tertinggi adalah pada tingkat Herba dan Semak dan nilai terendah pada tingkat pohon, tiang dan liana dan epifit. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat Herba dan Semak memiliki keanekaragaman jenis yang lebih beragam dibandingkan dengan tingkat pohon, tiang dan liana dan epifit. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl, nilai tertinggi adalah pada tingkat Herba dan Semak dan nilai terendah pada tingkat liana dan epifit. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat Herba da n Semak memiliki keanekaragaman jenis yang lebih beragam dibandingkan dengan tingkat liana dan epifit. Demikian pula halnya pada hutan yang tidak terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl, Indeks Keanekaragaman Jenis tertinggi adalah pada tingkat pohon dan nilai terendah pada tingkat liana. Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa pada tingkat pohon memiliki keanekaragaman jenis yang lebih beragam dari tingkatan lainnya. Namun jika dibandingkan antara nilai Indeks Keanekaragaman Jenis yang diperoleh dilapangan dengan kisaran nilai Shannon-Wiener (1.0-3.5), hutan di ketinggian 2300 m dpl baik hutan yang terkena letusan maupun hutan yang tidak terkena letusan memilki keanekaragaman jenis yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan yang ada di ketinggian 2500 m dpl. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya jumlah jenis yang ditemukan, tingkat kerusakan lahan dan kelerengan. Semakin banyak jumlah jenis yang ditemukan, maka keanekaragaman jenisnya semakin beragam. Tingkat

kerusakan lahan sangat berkaitan dengan kandungan hara mineral tanah yang berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah. Kelerengan sangat berkaitan dengan kekuatan ikatan antar partikel tanah yang akan mempengaruhi keteguhan tanah dalam menahan limpasan air. Karena Indeks kean ekaragaman jenis ditentukan oleh dua hal, yaitu kekayaan jenis (kelimpahan jenis) dan kemerataan jenisnya maka nilainya pun berbanding lurus dengan nilai Indeks Keragaman Jenis. Semakin besar nilai keragaman jenisnya maka semakin besar pula kelimpahan dan kemerataan jenisnya. Di kawasan hutan Gunung Papandayan hutan di ketinggian 2300 m dpl baik hutan yang terkena letusan maupun hutan yang tidak terkena letusan memiliki keanekaragaman jenis yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan yang ada di ketinggian 2500 m dpl, hal ini berarti bahwa hutan di ketinggian 2500 m dpl memiliki kelimpahan jenis yang tinggi dan merata dari pada hutan di ketinggian 2300 m dpl. 3. Indeks Dominansi (C) Nilai Indeks Dominansi menggambarkan pola dominansi jenis dalam suatu tegakan. Nilai indeks dominansi yang tertinggi adalah 1, yang menunjukkan bahwa tegakan tersebut dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl baik hutan terkena letusan maupun hutan tidak terkena letusan mempunyai Indeks Dominansi yang relatif tinggi. Pada hutan yang terkena letusan untuk tingkat pancang, tiang dan pohon mempunyai nilai Indeks Dominansi tertinggi yaitu 1, yang menunjukkan bahwa tegakan tersebut dikuasai oleh satu jenis saja yaitu jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium). Begitu juga pada hutan yang tidak terkena letusan untuk tingkat tiang dan pohon dikuasai oleh satu jenis saja yaitu Suwagi (Vaccinium varingifolium) sehingga Indeks Dominasinya bernilai 1. Pada hutan yang terkena letusan di ketinggia n 2500 m dpl dapat diketahui nilai Indeks Dominansi tertinggi adalah pada tingkat liana dan epifit dan nilai terendah adalah pada tingkat herba dan semak. Sedangkan pada hutan yang tidak terkena letusan, nilai Indeks Dominansi tertinggi adalah pada tingkat liana dan epifit dan nilai terendah adalah pada tingkat pohon. Hal ini menunjukkan bahwa pada hutan yang terkena letusan untuk tingkat liana dan

epifit lebih didominasi oleh suatu jenis saja yaitu jenis Areuy bulu, sedangkan untuk tingkat Herba dan semak dominansi yang terjadi lebih merata pada semua jenis yang ditemukan. Berbeda dengan hutan yang tidak terkena letusan tingkat liana dan efifit lebih didominasi oleh satu jenis saja yaitu jenis Seureuleung, sedangkan pada tingkat pohon dominansi yang terjadi lebih merata pada semua jenis. 4. Indeks Kesamaan Komunitas (IS) Nilai Indeks Kesamaan Komunitas digunakan untuk mengetahui kesamaan komposisi jenis dari dua tegakan yang dibandingkan pada masing-masing tingkat vegetasi. Besarnya Indeks Kesamaan Komunitas berkisar dari 0% untuk petak contoh yang mempunyai komposisi jenis yang tidak sama dan 100% untuk petak contoh yang mempunyai komposisi jenis yang sama. Suatu komunitas yang dibandingkan dapat dikatakan relatif sama jika memiliki nilai Indeks Kesamaan Komunitas sebesar 80% (Sutisna,1981). Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl, nilai Indeks Kesamaan Komunitas untuk semua tingkatan dapat dikatakan mempunyai nilai Indeks Kesamaan Komunitas yang sangat rendah. Nilai Indeks Kesamaan Komunitas tertinggi adalah pada tingkat tiang dengan nilai sebesar 19,44% sedangkan nilai terendah adalah pada tingkat liana dan epifit dengan nilai sebesar 3,51%.Hal ini menunjukkan bahwa pada hutan di ketinggian 2300 m dpl masih sangat jauh berbeda dengan komunitas asalnya. Besar nya nilai Indeks Kesamaan Komunitas pada hutan di ketinggian 2500 m dpl, untuk semua tingkat vegetasi mempunyai nilai Indeks Kesamaan Komunitas di bawah 75%. Nilai Indek Kesamaan Komunitas tertinggi pada tingkat Herba dan Semak sebesar 49,26% sedangkan nilai terendah adalah pada tingkat semai, herba dan semak dan liana dan efifit dengan nilai sebesar 0,00%. Hal ini menunjukkan bahwa hutan di ketinggian 2500 m dpl masih relatif berbeda dengan komunitas asalnya. 5. Tingkat Suksesi yang terjadi Soerianegara dan Indrawan (1988) menyatakan bahwa proses suksesi adalah perubahan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan

penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Seda ngkan Manan (1978), mengartikan suksesi sebagai suatu perubahan masyarakat tumbuhan (jenis dan strukturnya) bersamaan perubahan tempat tumbuhnya. Kawasan hutan di Gunung Papandayan pada awalnya telah membentuk suatu komunitas hutan primer yang telah mencapai klimaks. Namun akibat adanya peristiwa letusan Gunung Papandayan yang terjadi pada tahun 2002, telah mengakibatkan perubahan yang sangat drastis pada kondisi lingkungan maupun ekosistem yang menyebabkan kawasan hutan tersebut berbeda dengan kondisi awalnya. Kemudian seiring dengan perubahan alam dari waktu ke waktu, telah terjadinya suatu proses suksesi yaitu suksesi sekunder pada areal-areal terbuka yang mengalami kerusakan akibat letusan. Proses suksesi sekunder yang berjalan lebih kurang tiga tahun l amanya telah membentuk suatu komunitas baru yang berbeda dari komunitas sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian, hutan di ketinggian 2300 m dpl, setelah terjadi letusan belum ditemukan tumbuhan bawah, tingkat semai dan pancang. Sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon yang ditemukan merupakan vegetasi yang telah ada sebelum terjadinya letusan, dimana setelah terjadinya letusan vegetasi ini masih dapat bertahan hidup. Hal ini dapat dilihat dari tunas-tunas yang tumbuh pada tiang dan pohon tersebut. Berbeda dengan hutan yang terkena letusan pada ketinggian 2500 m dpl, dimana pada hutan ini telah ditemukan vegetasi untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak serta liana dan epifit. Tetapi yang paling mendominasi hutan tersebut adalah tingkat herba dan semak (tumbuhan bawah). Proses suksesi yang terjadi sekarang bila mengacu pada tingkatan suksesi menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) telah masuk kedalam tingkatan pertama yaitu vegetasi rumput herba dan semak kecil. Proses ini telah terjadi pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl dimana pada hutan tersebut didominasi oleh vegetasi untuk tingkat herba dan semak. Sedangkan pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl, proses suksesi berjalan sangat lambat karena hin gga saat ini belum ditemukannya vegetasi baru yang tumbuh pada hutan tersebut. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan

karena hutan pada ketinggian 2300 m dpl sangat dekat dengan sumber letusan (2200 m dpl) sehingga menyebabkan kerusakan yang sangat parah. 6. Sifat Fisik Tanah a. Tekstur Tanah Secara umum tekstur tanah sangat mempengaruhi besarnya ruang pori yang terdapat dalam tanah tersebut. Dari data tekstur tanah pada Tabel 16 diperoleh hasil bahwa pada hutan terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl tekstur tanahnya lebih halus daripada hutan tidak terkena letusan. Data ini menunjukkan bahwa tanah tersebut dapat meresap air dan mengikat unsur hara dengan baik. 7. Sifat Kimia Tanah a Reaksi tanah Setelah terjadi letusan di Gunung Papandayan pH tanah cenderung mengalami penurunan baik pada hutan di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl. Berdasarkan kriteria LPT (1981) hutan terkena letusan di ketinggian 2300 mdpl termasuk ke dalam golongan tanah yang sangat masam karena pH tana hnya dibawah 4,5. Sedangkan pada hutan terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl termasuk ke dalam golongan tanah yang masam. Penurunan nilai pH tanah diduga disebabkan oleh tebalnya kandungan abu pada hutan yang terkena letusan yang mengandung Al dan Fe ya ng tinggi. b. Kandungan Aluminium (Al) Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm kandungan Al tergolong sedang sedangkan hutan tidak terkena letusan tergolong sangat rendah. Berbeda pada hutan diketinggian 2500 m dpl untuk kedalaman 0 -20 cm kandungan Al tergolong sedang sedangkan hutan tidak terkena letusan tergolong sangat rendah. Pada hutan terkena letusan dan hutan tidak terkena letusan untuk kedalaman 20-40 cm sama-sama tergolong sangat rendah.

Meningkatnya kandungan Al pada hutan terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl disebabkan adanya penambahan unsur Al dari abu hasil letusan yang banyak mengandung Al. c. Kandungan Fosfor (P) Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan terkena letusan di

ketinggian 2300 m dpl untuk kedalaman 0-20 cm, kandungan P tergolong sangat tinggi sedangkan hutan tidak terkena letusan tergolong tinggi. Pada hutan terkena letusan untuk kedalaman 20-40 cm kandungan P tergolong sangat tinggi sedangkan hutan tidak terkena letusan tergolong sedang. Begitu juga pada hutan di ketinggian 2500 m dpl, pada hutan terkena letusan dan tidak terkena letusan untuk kedalaman 0 -20 cm kandungan P tergolong sedang. Pada hutan terkena letusan untuk kedalaman 20-40 cm, kandungan P tergolong sangat rendah sedangkan hutan tidak terkena letusan tergolong sedang. Peningkatan kandungan P setelah terjadi letusan dapat disebabkan adanya penambahan unsur P dari pelapukan bahan-bahan organik dan mineral y ang mengandung P. Selain itu sifat kelarutan yang rendah juga dapat melindungi P dari pencucian. d. Kandungan Karbon Organik Tanah (C-organik) . Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl, kandungan C-organik untuk kedalaman 0 -20 cm tergolong sedang sedangkan pada hutan tidak terkena letusan tergolong sangat tinggi. Untuk kedalaman 20-40 cm hutan terkena letusan kandungan C-organiknya tergolong rendah sedangkan pada hutan tidak terkena letusan tergolong tinggi. Begitu juga pada hutan terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl, untuk kedalaman 0-20 cm kandungan C-organik tergolong rendah sedangkan pada hutan tidak terkena letusan tergolong sangat tinggi. Untuk kedalaman 20-40 cm pada hutan terkena letusan maupun tida k terkena letusan kandungan C- organik tergolong sangat tinggi. Jika dibandingkan hutan terkena letusan dengan hutan tidak terkena letusan, kandungan C-organik lebih tinggi pada hutan tidak terkena

letusan. Tingginya kandungan C-organik pada hutan tidak terkena letusan disebabkan karena pada hutan tersebut banyak mendapat sumbangan dari pelapukan bahan-bahan organik seperti serasah, ranting, tumbuhan bawah dan pohon-pohon yang telah mati. Selain itu, pada hutan tidak terkena letusan nilai pH tanah lebih tinggi dari pada hutan terkena letusan, sehingga penghancuran bahan organiknya lebih cepat dari pada hutan terkena letusan. e. Nitrogen Total Dari hasil analisis tanah, setelah terjadi letusan kandungan nitrogen mengalami penurunan baik pada hutan di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl. Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl, kandungan nitrogen untuk kedalaman 0 20 cm tergolong rendah sedangkan pada hutan tidak terkena letusan tergolong sedang. Pada hutan terkena letusan dan tidak terkena letusan untuk kedalaman 20-40 cm, kandungan nitrogen tergolong sedang. Demikian pula pada hutan di ketinggian 2500 m dpl, hutan terkena letusan untuk kedalaman 0-20 cm kandungan nitrogen tergolong sangat rendah sedangkan pada hutan tidak terkena letusan tergolong sedang. Pada hutan terkena letusan dan tidak terkena letusan untuk kedalaman 20-40 cm kandungan nitrogennya tergolong sedang. Kandungan nitrogen pada hutan terkena letusan lebih rendah di bandingkan hutan tidak te rkena letusan baik pada hutan di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl. Hal ini dapat disebabkan karena matinya mikroorganisme di dalam tanah akibat terjadinya letusan. Selain itu juga

dapat disebabkan karena pada hutan terkena letusan banyak terdapat areal yang terbuka sehingga nitrogen tanah hilang akibat proses erosi dan pencucian. f. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan yang terkena letusan di ketingggian 2300 m dpl untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm tergolong rendah sedangkan pada hutan tidak terkena letusan tergolong sedang.

Berbeda pada hutan yang terkena letusan dan tidak terkena di ketinggian 2500 m dpl untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm tergolong sedang. Menurunnya KTK pada hutan di ketinggian 2300 m dpl disebabkan karena kandungan C-organik dan N-total pada hutan ini juga mengalami penurunan sehingga nilai KTKnya menjadi lebih rendah dibandingkan hutan tidak terkena letusan. Sedangkan pada hutan terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl nilai KTK tidak ada perubahan yang nyata dengan hutan tidak terkena letusan karena nilai KTK sama-sama tergolong sedang. g. Kandungan Magnesium Berdasarkan Kriteria LPT (1981) pada hutan terkena letusan dan tidak terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl untuk kedalama n 0-20 cm kandungan Mg tergolong rendah. Pada hutan terkena letusan untuk kedalaman 20-40 cm kandungan Mg tergolong rendah sedangkan hutan tidak terkena letusan tergolong tinggi. Berbeda pada hutan terkena letusan dan tidak terkena letusan di ketinggian 2500 mdpl, kandungan Mg tergolong rendah baik pada kedalaman 0-20 cm maupun 20-40 cm. Pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl kandungan Mg mengalami penurunan, hal ini dapat disebabkan karena sifat Mg yang mampir sama dengan K, yaitu sedikit lebih cepat lapuk dari pada mineral mineral lain. Oleh karena itu ada kecenderungan Mg di dalam tanah menurun dengan meningkatnya pelapukan dan pencucian. Sedangkan pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl kandungan Mg tidak mengalami perubahan yang nyata dengan hutan tidak terkena letusan. Hal ini dapat dilihat dari kandungan Mg yang sama -sama tergolong sedang baik hutan terkena letusan maupun tidak terkena letusan. h. Kandungan Kalium (K) Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan terk ena letusan dan tidak terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl, kandungan K tergolong sedang. Hal ini menunjukkan bahwa pada hutan yang terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl kandungan K tidak mengalami perubahan yang nyata dengan hutan tidak terkena letusan.

h. Kandungan Kalsium .Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan terkena letusan dan tidak terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl, kandungan Ca tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pada hutan yang terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl kandungan Ca tidak mengalami perubahan yang nyata dengan hutan tidak terkena letusan. Rendahnya kandungan Ca di dalam tanah karena mineral mineral yang mengandung Ca pada umumnya sedikit lebih cepat lapuk dari pada mineral-mineral lain. Oleh karena itu ada kecenderungan Ca di dalam tanah menurun dengan meningkatnya pelapukan dan pencucian. i. Kejenuhan Basa (KB) Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm KB tergolong rendah sedangkan hutan tidak terkena letusan tergolong sedang. Berbeda pada hutan terkena letusan dan tidak terkena letusan di ketinggian 2500 m pdl untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm KB tergolong rendah. Penurunan nilai KB pada hutan di ketinggian 2300m dpl disebabkan pada hutan tersebut kandungan kation-kation basanya juga mengalami penurunan sehingga nilai KB

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN 1. Terjadinya perubahan komposisi hutan setelah terjadinya letusan Gunung Papandayan dari hutan klimaks menjadi vegetasi semak belukar terutama pada hutan yang berada di ketinggian 2500 m dpl, sedangkan pada ketinggian 2300 m dpl pertumbuhan permudaan masih sangat sedikit. 2. Jenis-jenis pionir yang terdapat pada areal hutan yang terkena letusan diantaranya Ilateun (Agrostis infirma ), Bagedor paku (Cyatea

contaminans ), dan Paku tangkur (Selliguea heterocarpa ). Sedangkan untuk pohon dan permudaannya Kendung (Helicia serrata ), Segel (Wormia excelsa), Anggrid (Neonauclea lanceolata ), Suwagi (Vaccinium varingifolium) dan Huru batu ( Litsea glutinosa). 3. Proses suksesi yang terjadi di Gunung Papandayan setelah tiga tahun letusan di ketinggian 2300 m dpl lebih lambat dibandingkan dengan 2500 m dpl. 4. Sifat fisik (tekstur) dan sifat kimia (pH, karbon organik, nitrogen total, fosfor, kalium, magnesium, kalsium, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basah) tanah tidak mengalami perubahan yang begitu besar setelah terjadinya letusan Gunung Papanday an.

B. SARAN Perlu dilakukan penelitian secara berkala dan kontinu untuk mengetahui tingkat perkembangan suksesi di Gunung Papandayan hingga terbentuknya hutan klimaks.

DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor Bens on, L. and J.D. Laudermik. 1975. Plant classification. DC Health and Company. Boston BKS. PTN. 1991. Kesuburan Tanah. Direktorat Jendral PendidikanTinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta Buckman, H.O. dan N.C. Brady. 1969. Ilmu Tanah. Sumigan (pen) 1982. Batara Karya Aksara. Jakarta Clarke, G. L. 1954. Element of Ecology. JohnWiley and Sons, Inc. New York. Danserau, P. 1954. Biogeography on Ecological Perspectivs. The Ronald Press Company. New York Desmukh, I. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit ITB. Bandung Foth, H. D. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Ed : Hudoyo, S. A. B. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Gates, F. C. 1949. Field Manual of Plant Ecology. Mc. Grow Hill Book Co. Inc. New York Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta ______________ 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta Harlow, W. M and E. S. Harar. 1958. Textbook of Dendrology. Mc. Graw Hill Book Company Inc. New York Kartawinata, K., S. Ressodarmo., A. Soegiarto. 1992. Pengantar Ekologi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung Kusmana, C. 1995. Bahan Kuliah Dendrologi I. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor Lee, R. 1990. Hid rologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Loveless, A.R. 1989. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropika 2. Gramedia. Jakarta

Manan, S. 1978. Masalah Pembinaan Kelestarian Ekosistem Hutan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor Odum, E. P. 1971. Fundamendal of Ecology. W.B.Saunders Company. Philadelphia Purwowidodo. 1998. Mengenal Tanah Hutan : Penampang Tanah. Laboratorium Pengaruh Hutan. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor Samingan, T. 1980. Dendrologi. Gramedia. Jakarta Sarief, E. S. 1985. Konservasi Tanah dan Air. C.V. Pustaka Buana. Bandung Shukla, R. S. and P. S. Chandel.1982. Plant Ecology. Fifth Revision and Enlarged Edision. Schand and Company Ltd. Ram Nagar. New Delhi Soerianegara, I. dan A. Indrawan. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor Spurr, S. H. 1964. Forest Ecology. The Ronald Press Company. USA. New York Sutisna, U. 1981. Komposisi Flora Hutan Bekas Tebangan di Kelompok Hutan Stagen Pulau Laut Kalimantan Selatan : Deskripsi dan Analisa. Lembaga Penelitian Hutan. Bogor Whittaker, R. H. 1975. Communities and Ecosystem. Clarendon Press. Oxford Wirakusumah, S. 2003. Dasar-Dasar Ekologi Bagi Populasi dan Komunitas. Universitas Indonesia Press. Jakarta Wyatt-Smith, J. 1963. Manual of Malaya Silviculture Part I-III. Malayan Forestry Rec. No. 23. Forest Research Institute. Kepong, Malaysia

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Hutan Terkena Letusan dan Tidak Terkena Letusan di Ketinggian 2300 m dpl

Hutan Tidak Terkena Letusan di Ketinggian 2300 m dpl

Hutan Terkena Letusan di Ketinggian 2300 m dpl

Lampiran 2 : Hutan Terkena Letusan dan Kondisi Vegetasi pada Hutan Terkena letusan dan tidak terkena letusan di Ketinggian 2300 m dpl

Hutan Terkena Letusan di Ketinggian 2500 m dpl

Kondisi Vegetasi pada Hutan Terkena Letusan di Ketinggian 2500 m dpl

Kondisi Vegetasi pada Hutan Tidak Terkena Letusan di Ketinggian 2500 m dpl

Lampiran 3 : Spesimen Herbarium

Huru sintok dan Anggrid

Huru buah dan Kokosan

Ki banen dan Ki sapu

Huru bodas dan Segel

Huru batu dan Kendung

Spesimen Herbarium

Lampiran 4 : Indeks Nilai Penting pada Hutan Terkena Letusan 2300 m dpl 1. Indeks Nilai Penting (INP) Pancang Nama Lokal Suwagi Nama Ilmiah Vaccinium varingifolium Jumlah K 176 176 KR 100 100 F 0.2 0.2 FR 100 100 INP 200 200

2. Indeks Nilai Penting (INP) Tiang Nama Lokal Suwagi Nama Ilmiah Vaccinium varingifolium Jumlah K 56 56 KR 100 100 F 0.28 0.28 FR 100 100 D 0.07 0.07 DR 100 100 INP 300 300

3. Indeks Nilai Penting (INP) Tiang Nama Lokal Suwagi Nama Ilmiah Vaccinium varingifolium Jumlah K 2 2 KR 100 100 F 0.08 0.08 FR 100 100 D 0.09 0.09 DR 100 100 INP 300 300

Lampiran 5 : Indeks Nilai Penting pada Hutan Tidak Terkena Letusan 2300 m dpl 1. Indeks Nilai Penting (INP) Semai Nama Lokal Cantigi Segel Suwagi Nama Ilmiah Vaccinium lucidum Wormia excelsa Vcacinium varingifolium Jumlah K 1400 300 8500 10200 KR 13.73 2.94 83.33 100 F 0.16 0.04 0.64 0.84 FR 19.05 4.76 76.19 100 INP 32.77 7.70 159.52 200

2. Indeks Nilai Penting (INP) Pancang Nama Lokal Cantigi Suwagi Nama Ilmiah Vaccinium lucidum Vaccinium varingifolium Jumlah K 400 19300 19700 KR 2.03 97.97 100 F 0.04 1 1.04 FR 3.85 96.15 100 INP 5.88 194.12 200

3. Indeks Nilai Penting (INP) Tiang Nama Lokal Suwagi Nama Ilmiah Vaccinium varingifolium Jumlah K 520 520 KR 100 100 F 1 1 FR 100 100 D 7.10 7.10 DR 100 100 INP 300 300

4. Indeks Nilai Penting (INP) Pohon Nama Lokal Suwagi Nama Ilmiah Vaccinium varingifolium Jumlah K 42 42 KR 100 100 F 0.64 0.64 FR 100 100 D 1.70 1.70 DR 100 100 INP 300 300

5. Indeks Nilai Penting (INP) Herba dan Semak Nama Jenis Edelweis Harendong Ilateun Jajambuan Pakis munding Paku andam Paku tangkur Nama Ilmiah Anaphalis javanica Melastoma malabathricum Agrostis infirma Eugenia sp Angiopteris evecta Gleichania linearis Selliguea heterocarpa Jumlah K 160 656 8320 896 12528 13152 1776 37488 KR 0.43 1.75 22.19 2.39 33.42 35.08 4.74 100 F 0.04 0.48 0.82 0.48 0.4 0.72 0.36 3.3 FR 1.21 14.55 24.85 14.55 12.12 21.82 10.91 100 INP 1.64 16.30 47.04 16.94 45.54 56.90 15.65 200.00

Lampiran 6 : Indeks Nilai penting pada Hutan terkena letusan 2500 m dpl 1. Indeks Nilai Penting (INP) Semai Nama Lokal Anggrid Huru batu Huru beureum Huru buah Huru minyak Jamuju Kendung Ki sapu Segel Nama Ilmiah Neonauclea lanceolata Litsea glutinosa Literatur belum ditemukan Beilschmiedia gemmiflora Lindera polyantha Podocarpus imbricatus Helicia serrata Eurya acuminata Wormia excelsa Jumlah K 1600 500 100 500 700 200 6100 200 2900 12800 KR 12.50 3.91 0.78 3.91 5.47 1.56 47.66 1.56 22.66 100.00 F 0.28 0.16 0.04 0.16 0.12 0.04 0.68 0.04 0.40 1.92 FR 14.58 8.33 2.08 8.33 6.25 2.08 35.42 2.08 20.83 100.00 INP 27.08 12.24 2.87 12.24 11.72 3.65 83.07 3.65 43.49 200.00

2. Indeks Nilai Penting (INP) Pancang Nama Ilmiah Neonauclea lanceolata Litsea glutinosa Literatur belum ditemukan Beilschmiedia gemmiflora Lindera polyantha Helicia serrata Crypteronia peniculata Eurya acuminata Wormia excelsa Vaccinium varingifolium Jumlah 3. Indeks Nilai Penting (INP) Tiang Nama Lokal Anggrid Huru batu Huru minyak Jamuju Kendung Segel Suwagi Nama Ilmiah Neonauclea lanceolata Litsea glutinosa Lindera polyantha Podocarpus imbricatus Helicia serrata Wormia excelsa Vaccinium varingifolium Jumlah K 76 52 4 12 20 188 20 372 Nama Lokal Anggrid Huru batu Huru beureum Huru buah Huru minyak Kendung Ki banen Ki sapu Segel Suwagi K 192 112 32 16 16 144 16 16 400 64 1008 KR 19.05 11.11 3.18 1.59 1.59 14.29 1.59 1.59 39.68 6.35 100.00 F 0.32 0.28 0.04 0.04 0.04 0.2 0.04 0.04 0.52 0.08 1.6 FR 20.00 17.50 2.50 2.50 2.50 12.50 2.50 2.50 32.50 5.00 100.00 INP 39.05 28.61 5.68 4.09 4.09 26.77 4.09 4.09 72.18 11.35 200.00

KR 20.43 13.98 1.08 3.23 5.38 50.54 5.38 100.00

F 0.56 0.32 0.04 0.12 0.16 0.80 0.12 2.12

FR 26.42 15.09 1.89 5.66 7.55 37.74 5.66 100.00

D 1.30 1.02 0.08 0.20 0.37 2.96 0.48 6.41

DR INP 20.33 67.18 15.85 44.92 1.22 4.18 3.15 12.04 5.82 18.74 46.22 134.49 7.41 18.44 100.00 300.00

4. Indeks Nilai Penting (INP) Pohon Nama Lokal Nama Ilmiah Anggrid Neonauclea lanceolata Huru batu Litsea glutinosa Huru bodas Ficus padana Huru buah Beilschmiedia gemmiflora Huru cabe Buchanania arborescens Huru minyak Lindera polyantha Jamuju Podocarpus imbricatus Kendung Helicia serrata Ki teke Myrica javanica Pasang beunyeur Literatur belum ditemukan Segel Wormia excelsa Suwagi Vaccinium varingifolium Jumlah 5. Indeks Nilai Penting (INP) Herba dan Semak Nama Lokal Nama Ilmiah Bagedor paku Cyathea contaminans Bungbrun Polygonum chinense Harendong Melastoma malabathricum Ilateun Agrostis infirma Kembang anting Literatur belum ditemukan Kokoasan Lansium domesticum Pakis bulu Belum diketahui Pakis munding Angiopteris evecta Paku tangkur Selliguea heterocarpa Paku-pakuan Filices sp Ramo giling Schefflera aromatica Jumlah

K 77 5 1 2 3 1 8 3 2 2 33 6 143 K 2192 768 16 2064 16 80 592 864 624 256 624 8096

KR 53.85 3.50 0.70 1.40 2.10 0.70 5.60 2.10 1.40 1.40 23.08 4.20 100.00

F 0.80 0.12 0.04 0.08 0.12 0.04 0.24 0.12 0.12 0.08 0.68 0.16 2.60 F

FR 30.77 4.62 1.54 3.08 4.62 1.54 9.23 4.62 4.62 3.08 26.15 6.15 100.00

D 6.73 0.21 0.18 0.11 0.23 0.04 0.59 0.16 0.18 0.26 1.54 0.35 10.54 FR 28.38 4.05 1.35 24.32 1.35 1.35 10.81 4.05 2.70 2.70 18.92 100.00

DR 63.86 2.01 1.68 1.01 2.18 0.33 5.39 1.51 1.67 2.46 14.58 3.33 100.00

INP 148.48 10.12 3.92 5.48 8.89 2.57 20.22 8.22 7.69 6.93 63.81 13.68 300.00

KR 27.08 9.49 0.20 25.50 0.20 0.99 7.31 10.67 7.71 3.16 7.71 100.00

0.84 0.12 0.04 0.72 0.04 0.04 0.32 0.12 0.08 0.08 0.56 2.96

INP 55.45 13.54 1.55 49.82 1.55 2.34 18.12 14.73 10.41 5.86 26.63 200.00

6. Indeks Nilai Penting (INP) Liana dan Efifit Nama Lokal Anggrek Areuy bulu Cocok bubu Nama Ilmiah Vanilla planifolia Argyreia capitata Argostemma montanum Jumlah K 1 44 5 50 KR 2 88 10 100 F 0.04 0.44 0.04 0.52 FR 7.69 84.6 7.69 100.00 INP 9.69 172.62 17.69 200.00

Lampiran 7 : Indeks Nilai penting pada Hutan tidak terkena letusan 2500 m dpl 1. Indeks Nilai Penting (INP) Semai Nama Lokal Anggid Huru batu Huru bodas Huru buah Huru minyak Huru sintok Kayu manis Kendung Ki putri Ki urat beureum Salam Segel Nama Ilmiah Neonauclea lanceolata Litsea glutinosa Ficus padana Beilschmiedia gemmiflora Lindera polyantha Cinnamomum sintoc Cinnamomum burmanii Helicia serrata Podocarpus neriifolius Plantago major Eugenia operculata Wormia excelsa Jumlah K 200 400 400 100 200 700 300 1000 700 600 5900 600 11100 KR 1.80 3.60 3.60 0.90 1.80 6.31 2.70 9.01 6.31 5.41 53.15 5.41 100.00 F 0.08 0.16 0.08 0.04 0.04 0.2 0.04 0.28 0.16 0.04 0.36 0.08 1.56 FR 5.13 10.26 5.13 2.56 2.56 12.82 2.56 17.95 10.26 2.56 23.08 5.13 100.00 INP 6.93 13.86 8.73 3.47 4.37 19.13 5.27 26.96 16.56 7.97 76.23 10.53 200.00

2. Indeks Nilai Penting (INP) Pancang Nama Lokal Anggrid Huru batu Huru bodas Huru cabe Huru huut Huru jeruk Huru minyak Huru sintok Kendung Ki putri Ki urat beureum Pasang beunyeur Pasang beureum Puspa Ramo gencel Salam Segel Nama Ilmiah Neonauclea lanceolata Litsea glutinosa Ficus padana Buchanania arborescens Litsea monopetala Litsea amara Lindera polyantha Cinnamomum sintoc Helicia serrata Podocarpus neriifolius Plantago major Literatur belum ditemukan Quercus lineata Schima walichii Schefflera aromatica Eugenia operculata Wormia excelsa Jumlah K 352 48 480 32 16 32 112 80 304 272 112 144 96 80 64 576 128 2928 KR 12.02 1.64 16.39 1.09 0.55 1.09 3.83 2.73 10.38 9.29 3.83 4.92 3.28 2.73 2.19 19.67 4.37 100.00 F 0.36 0.08 0.52 0.08 0-Jan 0.04 0.2 0.12 0.36 0.44 0.08 0.12 0.2 0.08 0.12 0.48 0.2 3.52 FR 10.23 2.27 14.77 2.27 1.14 1.14 5.68 3.41 10.23 12.50 2.27 3.41 5.68 2.27 3.41 13.64 5.68 100.00 INP 22.25 3.91 31.17 3.37 1.68 2.23 9.51 6.14 20.61 21.79 6.10 8.33 8.96 5.01 5.60 33.31 10.05 200.00

3. Indeks Nilai Penting (INP) Tiang Nama Lokal Anggrid Huru batu Huru bodas Huru cabe Huru minyak Huru sintok Kendung Ki harendong Ki putri Ki seueur Pasang beureum Puspa Ramo gencel Salam Segel Nama Ilmiah Neonauclea lanceolata Litsea glutinosa Ficus padana Buchanania arborescens Lindera polyantha Cinnamomum sintoc Helicia serrata Astronia spectabilis Podocarpus neriifolius Antidesma tentrandum Quercus lineata Schima walichii Schefflera aromatica Eugenia operculata Wormia excelsa Jumlah K 24 16 20 16 16 40 8 4 8 4 52 4 44 48 64 368 KR 6.52 4.35 5.44 4.35 4.35 10.87 2.17 1.09 2.17 1.09 14.13 1.09 11.96 13.04 17.39 100.00 F 0.2 0.12 0.2 0.16 0.12 0.2 0.08 0.04 0.08 0.04 0.44 0.04 0.32 0.36 0.6 3 FR 6.67 4.00 6.67 5.33 4.00 6.67 2.67 1.33 2.67 1.33 14.67 1.33 10.67 12.00 20.00 100.00 D 0.41 0.31 0.38 0.16 0.28 0.60 0.13 0.05 0.13 0.05 0.94 0.08 0.66 0.91 1.00 6.08 DR INP 6.70 19.89 5.14 13.49 6.23 18.33 2.65 12.33 4.61 12.95 9.80 27.34 2.05 6.89 0.88 3.30 2.14 6.98 0.86 3.28 15.43 44.23 1.23 3.65 10.87 33.50 15.02 40.06 16.40 53.79 100.00 300.00

4. Indeks Nilai Penting (INP) Pohon Nama Lokal Anggrid Huru batu Huru bodas Huru buah Huru cabe Huru huut Huru jeruk Huru minyak Huru piit Huru sintok Jamuju Kendung Ki harendong Ki hujan Ki putri Ki seueur Kiray Lemo Pasang beunyeur Pasang beureum Puspa Ramo gencel Salam Segel Nama Ilmiah Neonauclea lanceolata Litsea glutinosa Ficus padana Beilschmiedia gemmiflora Buchanania arborescens Litsea monopetala Litsea amara Lindera polyantha Eugenia occlusa Cinnamomum sintoc Podocarpus imbricatus Helicia serrata Astronia spectabilis Engelhardia spicata Podocarpus neriifolius Antidesma tentrandum Metroxylon spec Litsea cubeba Literatur belum ditemukan Quercus lineata Schima walichii Schefflera aromatica Eugenia operculata Wormia excelsa Jumlah K 21 70 49 1 8 6 8 3 1 31 1 11 5 5 10 7 3 1 3 40 25 7 94 20 430 KR 4.88 16.28 11.40 0.23 1.86 1.40 1.86 0.70 0.23 7.21 0.23 2.56 1.16 1.16 2.33 1.63 0.70 0.23 0.70 9.30 5.81 1.63 21.86 4.65 100.00 F FR 0.28 3.63 0.92 11.92 0.72 9.33 0-Jan 0.52 0.28 3.63 0.16 2.07 0.32 4.15 0.12 1.55 0.04 0.52 0.68 8.81 0.04 0.52 0.32 4.15 0.12 1.55 0.12 1.55 0.28 3.63 0.24 3.11 0.08 1.04 0.04 0.52 0.12 1.55 0.8 10.36 0.4 5.18 0.2 2.59 0.84 10.88 0.56 7.25 7.72 100.01 D 1.85 4.77 3.90 0.03 0.74 0.24 0.53 0.13 0.04 2.25 0.03 0.69 0.30 0.59 0.61 0.30 0.14 0.05 0.17 2.66 2.01 0.32 5.77 1.00 29.12 DR 6.34 16.37 13.37 0.11 2.55 0.81 1.82 0.46 0.14 7.73 0.11 2.37 1.04 2.02 2.10 1.04 0.47 0.18 0.58 9.13 6.89 1.11 19.82 3.43 99.99 INP 14.85 44.57 34.10 0.86 8.03 4.28 7.82 2.71 0.89 23.75 0.86 9.07 3.76 4.74 8.05 5.78 2.20 0.94 2.83 28.79 17.89 5.33 52.56 15.34 300.00

5. Indeks Nilai Penting (INP) Herba dan Semak Nama Lokal Arben Babadotan Bagedor paku Bubuk uan bulu Bulu manik Bungbrun Canar Harendong Ilateun Ki urat beureum Kirinyu Kokosan Pakis munding Paku tangkur Paku-pakuan Pinding Pohpohan Tarake gunung Teklan Nama Ilmiah Duchesnea indica Ageratum conyzoides Cyathea contaminas Sambucus javanica Literatur belum ditemukan Polygonum chinense Smilax celebica Melastoma malabathricum Agrostis infirma Plantago major Eupathorium oderata Lansium domesticum Angiopteris evecta Selliguea heterocarpa Filices sp Literatur belum ditemukan Pilea trinervis Gunnera macropylla Eupathorium riparicum Jumlah K 640 16 1488 128 112 96 176 320 1488 208 560 192 112 464 288 16 32 16 1792 8144 KR 7.86 0.20 18.27 1.57 1.38 1.18 2.16 3.93 18.27 2.55 6.88 2.36 1.38 5.70 3.54 0.20 0.40 0.20 22.00 100.00 F 0.52 0.04 0.64 0.16 0.04 0.16 0.24 0.36 0.48 0.24 0.08 0.24 0.08 0.12 0.08 0.04 0.04 0.04 0.28 3.88 FR 13.40 1.03 16.50 4.12 1.03 4.12 6.19 9.29 12.37 6.19 2.06 6.19 2.06 3.09 2.06 1.03 1.03 1.03 7.22 100.00 INP 21.26 1.23 34.77 5.70 2.41 5.30 8.35 13.21 30.64 8.74 8.94 8.54 3.44 8.79 5.60 1.23 1.42 1.23 29.22 200.02

Lampiran 8 : Indeks Keragaman Jenis Shannon-Wiener (H) Lokasi Pengamatan 2300 m dpl Tidak 2500 m dpl Terkena Letusan Terkena Letusan 0.53 1.53 0.03 1.75 0.00 1.42 0.00 1.49 1.40 1.93 0.00 0.42

Tingkat vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon Herba dan Semak Liana dan Epifit

2300 m dpl Terkena Letusan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

2500 m dpl Tidak Terkena Letusan 1.74 2.45 2.40 2.53 2.31 0.68

Lampiran 9 : Indeks Kekayaan Margalef (R1) Lokasi Pengamatan 2300 m dpl Tidak 2500 m dpl Terkena Letusan Tekena Letusan 0.22 0.85 0.10 1.30 0.00 1.01 0.00 2.22 0.57 1.00 0.00 0.51

Tingkat vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon Herba dan Semak Liana dan Epifit

2300 m dpl Terkena Letusan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

2500 m dpl Tidak Terkena Letusan 1.18 2.00 2.37 3.79 2.00 0.51

Lampiran 10 : Indeks Kemerataan (E) Lokasi Pengamatan 2300 m dpl Tidak 2500 m dpl Terkena Letusan Tekena Letusan 0.48 0.70 0.04 0.76 0.00 0.73 0.00 0.60 0.72 0.80 0.00 0.38

Tingkat vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon Herba dan Semak Liana dan Epifit

2300 m dpl Terkena Letusan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

2500 m dpl Tidak Terkena Letusan 0.70 0.86 0.89 0.80 0.78 0.99

Lampiran 11 : Indeks Dominansi (C) Lokasi Pengamatan 2300 m dpl Tidak 2500 m dpl Terkena Letusan Tekena Letusan 0.665 0.250 0.943 0.212 1.000 0.283 1.000 0.301 0.020 0.179 0.000 0.755

Tingkat vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon Herba dan Semak Liana dan Epifit

2300 m dpl Terkena Letusan 0.000 1.000 1.000 1.000 0.000 0.000

2500 m dpl Tidak Terkena Letusan 0.193 0.100 0.108 0.094 0.103 0.500

Lampiran 12 : Indeks Kesamaan Komunitas (IS) Ekosistem yang Dibandingkan Hutan 2300 m dpl 0.00 1.77 19.44 9.09 0.00 0.00 Hutan 2500 m dpl 20.92 26.83 31.35 20.24 49.26 3.51

Tingkat vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon Herba dan Semak Liana dan Epifit

Lampiran 13 : Daftar Nama Jenis Pohon di Gunung Papandayan Nama Lokal Anggrid Cantigi Huru batu Huru beureum Huru buah Huru bodas Huru cabe Huri huut Huru jeruk Huru minyak Huru piit Huru sintok Jamuju Kayu manis Nama ilmiah Neonauclea lanceolata Vaccinium lucidum Litsea glutinosa Belum diketahui Beilschmiedia gemmiflora Ficus padana Buchanania arborescens Litsea monopetala Litsea amara Lindera polyantha Eugenia occlusa Cinnamomum sintoc Podocarpus imbricatus Cinnamomum burmanni Suku/famili Rubiaceae Ericaceae Lauraceae Belum diketahui Lauraceae Moraceae Vitaceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Myrtaceae Lauraceae Podocarpaceae Lauraceae

Kendung Kiray Ki banen Ki harendong Ki hujan Ki putri Ki sapu Ki seueur Ki teke Ki urat beureum Lemo Pasang beureum Pasang beunyeur Puspa Ramo gencel Salam Segel Suwagi

Helicia serrata Metroxylon spec Crypteronia peniculata Astronia spectabilis Engelhardia spicata Padocarpus neriifolius Eurya acuminata Antidesma tentrandum Myrica javanica Plantago major Litsea cubeba Quercus lineata Belum diketahui Schima wallichii Schefflera aromatica Eugenia operculata Wormia excelsa Vaccinium varingifolium

Proteaceae Palmae Crypteroniaceae Melastomaceae Fagaceae Podocarpaceae Theaceae Euphorbiaceae Myricaceae Plantaginaceae Lauraceae Pagaceae Pagaceae Theaceae Aquifoliaceae Myrtaceae Dilleniaceae Ericaceae

Lampiran 14 : Daftar Nama Jenis Tumbuhan Bawah di Gunung Papandayan No 1 2 3 4 5 6 7 Nama Lokal Anggrek Arben Areuy bulu Babadotan Bagedor paku Bubukuan bulu Bulu manik Nama Ilmiah Vanilla planifolia Duchesnea indica Argyreia capitata Ageratum conyzoides Cyathea contaminans Sambucus javanica Belum diketahui Suku/Ilmiah Orchidaceae Rosaceae Convolvulaceae Compositae Cyatheaceae Caprifoliaceae Belum diketahui

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29

Bungbrun Canar Cocok bubu Edelweis Harendong Ilateun Jajambuan Kembang anting Kirinyu Ki urat beureum Kokosan Paku-pakuan Pakis bulu Pakis munding Paku andam Paku tangkur Pinding Pohpohan Ramo giling Seureuh leuweung Tarake gunung Teklan

Polygonum chinense Smilax celebica Argostemma montanum Anaphalis javanica Melastoma malabathricum Agrostis infirma Eugenia sp Belum diketahui Eupathorium oderata Plantago major Lansium domesticum Filices sp Belum diketahui Angiopteris evecta Gleichania linearis Selliguea heterocarpa Belum diketahui Buchanaria arborescens Schefflera lucescens Piper sulcatum Gunnera macropylla Eupathorium riparicum

Polygo naceae Smilaceae Rubiaceae Compositae Melastomaceae Actinidiaceae Myrtaceae Belum diketahui Melastomaceae Plantaginaceae Meliaceae Filices Belum diketahui Filices Gleichaniaceae Filices Belum diketahui Laportea Araliaceae Piperaceae Halorrhagidaceae Melastomaceae

Lampiran 15 : Data Kimia Tanah No 1 2 3 4 Lokasi Pengamatan 2300 m dpl terkena letusan 2300 mdpl tidak terkena letusan 2500 m dpl terkena letusan 2500 m dpl tidak terkena letusan Kedalaman Tanah 0-20 cm 20-40 cm 0-20 cm 20-40 cm 0-20 cm 20-40 cm 0-20 cm 20-40 cm pH 3.45 3.39 3.57 3.63 3.84 3.75 3.91 3.68 COrganik 2.17 1.59 6.69 3.26 1.00 6.52 6.01 6.60 N-Total 0.17 0.11 0.46 0.23 0.09 0.38 0.36 0.42 Pbray 37.8 46.0 4.6 21.3 23.0 6.6 20.5 21.3 P-Total 323.1 364.8 260.1 188.3 218.5 73.9 183.5 221.9 Ca 2.48 2.90 4.68 4.72 3.30 4.27 3.43 2.90 Mg 0.92 0.79 2.06 2.30 1.45 1.68 1.08 0.86 K 0.36 0.28 0.42 0.46 0.36 0.48 0.32 0.30 Na 0,48 0,36 0,56 0,58 0,54 0,56 0,42 0,36

No 1 2 3 4

Lokasi Pengamatan 2300 m dpl terkena letusan 2300 mdpl tidak terkena letusan 2500 m dpl terkena letusan 2500 m dpl tidak terkena letusan

Kedalaman Tanah 0-20 cm 20-40 cm 0-20 cm 20-40 cm 0-20 cm 20-40 cm 0-20 cm 20-40 cm

Al 22,93 26,15 9,04 7,54 21,31 7,06 1,58 2,94

H 7,46 6,72 1,90 1,54 2,74 1,16 0,94 1,02

Fe 28,08 8,24 3,16 1,80 5,12 13,80 3,16 3,20

Cu 6,20 9,20 0,72 0,28 1,96 1,20 0,36 0,32

Zn 7,60 14,00 4,48 4,12 3,36 1,80 1,80 1,48

Mn 9,84 12,04 8,88 6,84 7,44 26,16 25,28 19,00

KTK 12.18 12.94 18.65 18.28 22.45 25.12 20.55 22.07

KB 34.8 33.5 41.4 44.1 25.2 27.8 25.5 20.0

Lampiran 16 : Data Fisik Tanah No 1 2 3 4 Lokasi Pengamatan 2300 m dpl terkena letusan 2300 mdpl tidak terkena letusan 2500 m dpl terkena letusan 2500 m dpl tidak terkena letusan Kedalaman Tanah 0-20 cm 20-40 cm 0-20 cm 20-40 cm 0-20 cm 20-40 cm 0-20 cm 20-40 cm Tekstur Tanah Debu 25.99 24.81 34.64 33.32 41.59 32.87 24.43 38.36

Pasir 52.96 45.95 52.70 48.37 26.90 36.01 57.60 37.29

Liat 21.05 29.24 12.66 18.31 31.51 49.11 18.27 24.35

You might also like