Professional Documents
Culture Documents
1995
Bulletin ini diterbitkan oleh Paguyuban Paskibraka 1978 dan dikelola oleh para Purna Paskibraka 1978 yang ada di Jadebotabek dengan tujuan untuk menggalang kembali rasa persaudaraan (brotherhood) sesama teman seangkatan. Sebagian atau seluruh isi buletin ini dapat dikutip/diperbanyak atau dibagikan kepada Purna Paskibraka angkatan lain bila dianggap perlu. Harapan kami, buletin sederhana ini juga dapat menjadi media komunikasi alternatif antar Purna Paskibraka, meski ruang gerak dan edarnya sangat terbatas. Surat-surat/tulisan dapat dialamatkan ke: SYAIFUL AZRAM, PondokTirta Mandala E4 No. 1 Depok 16415, atau BUDIHARJO WINARNO, Gema Pesona AM-7, Jl. Tole Iskandar 45, Depok 16412 , atau SMS ke 0818866130 dan 08161834318 atau e-mail ke: muztbhe_depok@yahoo.com.
Bulletin Paskibraka 78
H. Idik Sulaeman
sigap, Paskibraka dan Pramuka menggotong jenazah dari ambulans menuju pekuburan. Langsung dimasukkan ke liang lahat dan diuruk tanah. Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah gundukan tanah dengan nisan terpancang bertuliskan nama Husein Mutahar. Bagi saya, kepergian Kak Mut adalah sebuah kehilangan yang sangat besar. Mutahar adalah kakak saya. Dalam pembinaan Paskibraka, pada tahun 1969-1973 saya pernah menjadi penerus ketika beliau ditunjuk menjadi Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh di Tahta Suci Vatikan. Tapi, eksistensi seorang Mutahar di mata Paskibraka tak pernah bisa digantikan oleh
siapa pun. Beliau adalah Bapak Paskibraka. Sebagai adiknya, saya merasa berkewajiban untuk meneruskan perjuangan Kak Mut dalam membina para pemuda Paskibraka. Bahkan sampai saat ini, sekalipun saya tidak bisa lagi terlibat langsung. Di mata saya, Kak Mut adalah pribadi yang unik. Ia seorang humoris yang mampu membuat kita tertawa pada saat kita belum sadar ada sesuatu yang lucu. Ia sering memberikan kejutan pada saat kita belum siap. Sekali waktu, pernah ada peristiwa menggelikan. Saat ia ulang tahun di Tahta Suci Vatikan, saya menulis surat ulang tahun ukuran setengah halaman, suratnya 4 halaman. Surat tersebut dibalas oleh beliau dengan tulisan di atas gulungan kertas selebar 1 cm dengan lima warna (merah, putih, biru, jingga, dan kuning). Kelima gelondong kertas yang dimasukkan ke dalam amplop itu panjang seluruhnya 45 meter. Terlalu banyak kenangan manis yang ditinggalkan Kak Mut. Rasanya tidak cukup dirangkai dalam tulisan sepanjang apapun. Berusaha untuk selalu jujur, sabar, bijaksana, ikhlas dan bertanggungjawab adalah nilai-nilai yang diberikan kepada kami sebagai bekal. Kini semuanya tinggal kenangan. Semoga beliau tenang di tempat peristirahatannya dan kita bisa mewarisi semangat beliau dalam membina Paskibraka.*
tentang siapa yang akan dan mau menjadi penerus Kak Husein Mutahar dan Idik Sulaeman dalam membina Paskibraka. Di usianya yang kini hampir 74 tahun (lahir di Kuningan, 20 Juli 1933), suara Kak Idik terdengar tetap lembut dan empuk walaupun agak terbata-bata. Kepada beliau lalu saya ceritakan tentang Paskibraka 1978 yang masih tetap mengadakan pertemuan walaupun tak sesering dulu. Lalu soal rencana menerbitkan buku untuk menyempurnakan Buku Kenangan 25 Tahun Paskibraka. Mau dicetak berapa banyak? Kak Idik bertanya antusias. Saya tidak bisa menjawab pasti, tapi cuma bilang sekitar seribu atau dua ribu barangkali. Yah, memang masih banyak yang harus ditulis tentang Paskibraka. Sayang, saya sudah tidak bisa banyak membantu, katanya merendah. Ketika saya singgung soal pertemuan Purna Paskibraka di Halim yang difasilitasi
Kak Trisno/Merry untuk membicarakan apa yang terbaik buat Paskibraka, Kak Idik menyatakan rasa syukur dan berharap Purna Paskibraka tetap mau memikirkan kepentingan sesamanya. Memang itu tugas kalian sebagai kakak yang lebh tua. Kalau bukan kalian, siapa lagi? ujarnya bertanya. Memang, dalam beberapa pertemuan terakhir Paskibraka 1978, ada niat untuk mengajak Kak Idik seperti sebelumnya. Saya juga ingin menyampaikan kalau bulan Juni ini akan ziarah ke makam Kak Mut, untuk memperingati tiga tahun wafatnya beliau. Namun, belum niat itu saya sampaikan, beliau telah lebih dulu bilang, Kalau kumpul-kumpul lagi, jangan lupa saya diajak ya.... Ucapan halus itu ibarat palu godam menimpa kepala saya. Kadang, kita memang terlalu asyik dengan diri kita sendiri, sehingga lupa mengajak orangtua yang masih peduli dan sayang kepada kita untuk ikut urun rembuk. Syaiful Azram
Bulletin Paskibraka 78
ERISTIWA itu terjadi beberapa hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia pertama. Presiden Soekamo memanggil ajudannya, Mayor (Laut) M. Husain Mutahar dan memberi tugas agar segera mempersiapkan upacara peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1946, di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. Ketika sedang berpikir keras menyusun acara demi acara, seberkas ilham berkelebat di benak Mutahar. Persatuan dan kesatuan bangsa, wajib tetap dilestarikan kepada generasi penerus yang akan menggantikan para pemimpin saat itu. "Simbol-simbol apa yang bisa digunakan?" pikirnya. Pilihannya lalu jatuh pada pengibaran bendera pusaka. Mutahar berpikir, pengibaran lambang negara itu sebaiknya dilakukan oleh para pemuda Indonesia. Secepatnya, ia menunjuk lima pemuda yang terdiri dari tiga putri dan dua putra. Lima orang itu, dalam pemikiran Mutahar, adalah simbol Pancasila. Salah seorang pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1946 itu adalah Titik Dewi Atmono Suryo, pelajar SMA asal Sumatera Barat yang saat itu sedang menuntut ilmu dan tinggal di Yogyakarta. Sampai peringatan HUT Kemerdekaan ke-4 pada 17 Agustus 1948, pengibaran oleh lima pemuda dari berbagai daerah yang ada di Yogyakarta itu tetap dilaksanakan. Sekembalinya ibukota Republik Indonesia ke Jakarta, mulai tahun 1950 pengibaran bendera pusaka dilaksanakan di Istana Merdeka Jakarta. Regu-regu pengibar dibentuk dan diatur oleh Rumah Tangga Kepresidenan Rl sampai tahun 1966. Para pengibar bendera itu memang para pemuda, tapi belum mewakili apa yang ada dalam pikiran Mutahar. Mutahar tidak lagi menangani pengibaran bendera pusaka sejak ibukota negara dipindahkan dari Yogyakar ta. Upacara Peringatan Proklamasi Kemerdekaan diadakan di Istana Merdeka Jakarta sejak 1950 sampai 1966. Ia pun seakan hilang bersama impiannya. Namun, ia mendapat "kado ulang tahun ke49" pada tanggal 5 Agustus 1966, ketika ditunjuk menjadi Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka (Dirjen Udaka) di Departemen Pendidikan & Kebudayaan (P&K). Saat itulah, ia kembali teringat pada gagasannya tahun 1946. Setelah berpindah-pindah tempat kerja dari Stadion Utama Senayan ke eks
gedung Departemen PTIP di Jalan Pegangsaan Barat, Ditjen Udaka akhirnya menempati gedung eks Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Jalan Merdeka Timur 14 Jakarta. Tepatnya, di depan Stasiun Kereta Api Gambir. Dari sana, Mutahar dan jajaran Udaka kemudian mewujudkan cikal bakal latihan kepemudaan yang kemudian diberi nama Latihan Pandu Ibu Indonesia BerPancasila. Latihan itu sempat diujicoba dua kali, tahun 1966 dan 1967. Kurikulum ujicoba Pasukan Penggerek Bendera Pusaka dimasukkan dalam latihan itu pada tahun 1967 dengan peserta dari Pramuka Penegak dari beberapa gugus depan yang ada di DKI Jakarta. Latihan itu mempunyai kekhasan, terutama pada metode pendidikan dan pelatihannya yang menggunakan pendekatan sistem "Keluarga Bahagia" dan diterapkan secara nyata dalam konsep "Desa Bahagia". Di desa itu, para peserta latihan (warga desa) diajak berperan serta dalam menghayati kehidupan sehari-hari yang menggambarkan penghayatan dan pengamalan Pancasila. Saat Ditjen Udaka difusikan dengan Ditjen Depora menjadi Ditjen Olahraga dan Pemuda, lalu berubah lagi menjadi Ditjen Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (Diklusepora), salah satu direktorat di bawahnya adalah Direktorat Pembinaan Generasi Muda (PGM). Direktorat inilah yang kemudian meneruskan latihan dengan lembaga penyelenggara diberi nama Gladian Sentra Nasional. Tahun 1967, Husain Mutahar kembali dipanggil Presiden Soeharto untuk dimintai pendapat dan menangani masalah pengibaran bendera pusaka. Ajakan itu, bagi Mutahar seperti "mendapat durian runtuh" karena berarti ia bisa melanjutkan gagasannya membentuk pasukan yang terdiri dari para pemuda dari seluruh Indonesia. Mutahar lalu menyusun ulang dan mengembangkan formasi pengibaran dengan membagi pasukan menjadi tiga kelompok, yakni Kelompok 17 (Pengiring/ Pemandu), Kelompok 8 (Pembawa/Inti) dan Kelompok 45 (Pengawal). Formasi ini merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Republik Indonesia 17 Agustus 1945 (17-8-45). Mutahar berpikir keras dan mencoba mensimulasikan keberadaan pemuda utusan daerah dalam gagasannya, karena dihadapkan pada kenyataan saat itu
bahwa belum mungkin untuk mendatangkan mereka ke Jakarta. Akhirnya diperoleh jalan keluar dengan melibatkan putra-putri daerah yang ada di Jakarta dan menjadi anggota Pandu/Pramuka untuk melaksanakan tugas pengibaran bendera pusaka. Semula, Mutahar berencana untuk mengisi personil kelompok 45 (Pengawal) dengan para taruna Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) sebagai wakil generasi muda ABRI. Tapi sayang, waktu liburan perkuliahan yang tidak tepat dan masalah transportasi dari Magelang ke Jakarta menjadi kendala, sehingga sulit terwujud. Usul lain untuk menggunakan anggota Pasukan Khusus ABRI seperti RPKAD (sekarang Kopassus), PGT (sekarang Paskhas), Marinir dan Brimob, juga tidak mudah dalam koordinasinya. Akhirnya, diambil jalan yang paling mudah yaitu dengan merekrut anggota Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres), atau sekarang Paspampres, yang bisa segera dikerahkan, apalagi sehari-hari mereka memang bertugas di lingkungan Istana. Pada tanggal 17 Agustus 1968, apa yang tersirat dalam benak Husain Mutahar akhirnya menjadi kenyataan. Setelah tahun sebelumnya diadakan ujicoba, maka pada tahun 1968 didatangkanlah pada pemuda utusan daerah dari seluruh Indonesia untuk mengibarkan bendera pusaka. Selama enam tahun, 1967-1972, bendera pusaka dikibarkan oleh para pemuda utusan daerah dengan sebutan Pasukan Penggerek Bendera. Pada tahun 1973, Drs Idik Sulaeman yang menjabat Kepala Dinas Pengembangan dan Latihan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) dan membantu Husain Mutahar dalam pembinaan latihan melontarkan suatu gagasan baru tentang nama pasukan pengibar bendera pusaka. Mutahar yang tak lain mantan pembina penegak Idik di Gerakan Pramuka setuju. Maka, kemudian meluncurlah sebuah nama antik berbentuk akronim yang agak sukar diucapkan bagi orang yang pertama kali menyebutnya: PASKIBRAKA, yang merupakan singkatan dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. Memang, Idik Sulaeman yang memberi nama Paskibraka. Tapi pada hakekatnya penggagas Paskibraka tetaplah Husein Mutahar, sehingga ia sangat pantas diberi gelar Bapak Paskibraka.
Syaiful Azram
Bulletin Paskibraka 78
Bulletin Paskibraka 78
mayor angkatan darat. Sesaat sebelum Bung Karno dibuang ke Sumatera, setelah serangan Belanda yang melumpuhkan Yogyakar ta pada 1948, Mutahar diserahi bendera merah putih yang pertama kali dikibarkan pada proklamasi kemerdekaan di Pegangsaan Timur. Bendera itu aslinya dijahit oleh Fatmawati, istr i Bung Karno, ibunda Presiden RI Megawati. Mutahar menyelamatkan bendera itu, yang kemudian dikenal sebagai Bendera Pusaka. Nama Mutahar harus dicatat dalam sejarah sebagai orang yang berjasa dalam gerakan pendidikan kepanduan. Pada awal 1960-an, Partai Komunis Indonesia berusaha menyetir kepanduan menjadi mirip pionir di Uni Soviet. Berkonspirasi dengan PM Djuanda, ia kemudian berhasil membelokkannya jadi kompromi yang lebih netral, Gerakan Pramuka. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Kak Mut, sesuai dengan tradisi kepanduan. Ia masih akrab dengan bekas anak didiknya dan sering menyelenggarakan reuni bersama mereka. Karena Kak Mut tidak menikah seumur hidupnya, semua anak pandu Kak Mut adalah anaknya. Otomatis, anak-anak mereka semua menjadi cucu-cucu Eyang Mutahar. Mutahar juga mempunyai sembilan orang anak semang istilah yang lebih disukainya ketimbang anak angkat atau anak asuh. *** UTAHAR penggemar berat musik klasik. Ia hampir selalu hadir pada setiap pergelaran musik di Jakarta. Karena itu pulalah Addie MS dari Twilite Orchestra tak pernah lupa mengundang Kak Mut ke pementasannya. Sebagai pencipta lagu, ia bisa dibilang spesialis himne. Karya puncaknya adalah Syukur yang hampir setiap malam kita dengar sebagai lagu penutup TVRI. Syukur, menurutnya, diciptakan pada 1944, adalah sebuah puji syukur yang dipersiapkannya untuk kemerdekaan RI yang ketika itu diduganya sudah hampir tercapai. Lagu Hari Merdeka yang sering diperdengarkan pada aubade HUT Proklamasi, menurut pengakuannya sendiri, diciptakan di dalam toilet Hotel Garuda Yogyakarta. Ketika itu ia sekamar dengan Hugeng kemudian menjadi Kepala Polr i yang sama-sama mengawal Bung Karno. Hugeng kebingungan mencarikan kertas dan pulpen karena Mutahar tergopoh-gopoh hendak menuangkan gagasannya ke atas kertas. Lagu-lagu ciptaan Husein Mutahar hampir mencapai seratus. Karya-karya terakhirnya, antara lain, adalah Dirga-
Jenazah Husein Mutahar diusung oleh anggota Paskibraka dan keluarga, didahului sebuah foto terakhirnya dengan pakaian seragam Pramuka lengkap. (Foto: ANTARA / Jefri Aries)
hayu Indonesiaku (diterima sebagai lagu resmi peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka), Himne Universitas Indonesia, dan beberapa himne yang lahir dari keprihatinannya atas kehancuran alam Indonesia. Ia tampak amat terharu ketika ciptaannya berjudul Syukur dan Hari Merdeka digarap ulang Addie MS dengan orkes filharmoni di Australia. Matanya terkatup, beberapa tetes air mata meleleh di pipinya yang renta, beberapa tahun silam ketika Addie MS memperdengarkan rekaman itu di rumahnya. Kak Mut sengaja membeli tape recorder baru untuk mendengarkan karya megah itu. Perhatiannya pada dunia seni suara sangat tinggi. Ia tak segan merogoh uang dari koceknya sendiri untuk keperluan itu. Belasan tahun yang silam, contohnya, ia pernah menunjukkan kepada saya makalahnya tentang hubungan seni suara dengan Nuzulul Quran. Ia menangis
ketika istri saya membuat sebuah tesis musikal tentang Tuhan, dengan menampilkan berbagai interpretasi tentang Tuhan menurut berbagai komponis dan penyanyi. Ia juga suka membina anak-anak muda yang berbakat seni. Ia hampir tak pernah absen menghadiri pergelaran orkestra remaja Perguruan Cikini. Pada pergelaran mereka Agustus mendatang, pastilah absennya Om Mutahar akan terasa sangat mencekam. Ya, kita semua memang harus menerima realita ini. Kak Mut telah tiada. Ia telah pulang ke Timur Abadi sebuah kata sandi yang suka dipakainya untuk menyebut Hadirat Allah. Selamat jalan, Kak Mut. Allah Sang Maha Pencipta telah membebaskanmu dari segala derita dunia. Hati ikhlas kami penuh. Pergilah dalam damai!
1994
Kak Mut di antara para Purna Paskibraka seusai memimpin Ulang Janji Paskibraka 1978 pada tahun 1994. (Foto: Syaiful Azram)
Bulletin Paskibraka 78
bernafaskan nasionalisme dan patriotisme, pendidikan (lagu anak-anak dan pramuka). Ia pernah menjadi pelopor kepanduan bangsa Indonesia pada masa pra kemerdekaan yang kalau itu lazim disebut Pandu Rakyat Indonesia. Dari sinilah, dalam kiprah kepanduan Indonesia selanjutnya, lahir nama baru Pramuka (praja muka karana). Berbagai jabatan yang pernah diemban H Mutahar menunjukkan bahwa ia adalah seorang abdi negara sejati yang punya kredibilitas, dedikasi dan akuntabilitas (istilah yang marak dipakai pejabat-pejabat era reformasi sekarang ini) disertai ketulusan, kesederhanaan, kerendahan hati dan keindahan (seni musik). Lagu Syukur yang termasuk jenis lagu himne (gita puja), pujian kepada Tuhan, merupakan lagu pertama ciptaan Mutahar dan untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada khayalak ramai pada Januari 1945. Itu berarti beberapa bulan menjelang Proklamasi RI (17 Agustus 1945) yang diumumkan oleh Soekarno-Hatta, Mutahar ingin mengungkapkan magnifikasi (pernyataan pujian) yang agung ke seluruh penjuru tanah air lewat lagu Syukur itu. Tembang dengan syair yang bernuansa magnificant ini mau menegaskan kepada kita bahwa tanah air Indonesia yang sebentar lagi akan merdeka adalah sebuah karunia Tuhan: Dari yakinku teguh, hati ikhlasku penuh, akan karuniaMu Tanah air pusaka, Indonesia Merdeka, syukur aku sembahkan ke hadirat-Mu Tuhan. Makna yang dalam serta nilai musikal yang kuat dalam lagu himne Syukur ini seringkali membuat banyak orang terenyuh dan terpesona bahkan mencucurkan air mata ketika dinyanyikan kelompok paduan suara dengan penuh penjiwaan. Tak heran lagu berwatak serindai ini selalu menjadi salah satu lagu utama (prime song) pada parade lagulagu perjuangan perayaan 17 Agustus atau hari besar nasional lainnya. Wawasan kebangsaan dan tema kemerdekaan selalu terdepan dalam derap perjuangan bangsa Indonesia masa pra kemerdekaan. Itulah sebabnya seorang Mutahar tahu betul dan yakin bahwa tanpa pengorbanan putra-putri terbaik bangsa (para pahlawan) di medan perang, niscaya kemerdekaan itu berhasil direngkuh dan direbut dari tangan penjajah sebagaimana ia
daraskan pada bait kedua: Dari yakinku teguh, cinta ikhlasku penuh, akan jasa usaha Pahlawanku yang baka, Indonesia Merdeka, syukur aku hunjukkan, ke bawah duli tuan. Dia menutup syair-syair lagunya itu dengan sebuah apresiasi pada Gerakan Pramuka Indonesia. Ia melihat institusi kepramukaan itu tidak sekadar sebuah organisasi pemuda/i tapi lebih dari itu sebuah model perjuangan bangsa menuju kemerdekaan dengan satu prinsip perjuangan yaitu kerukunan: Dari yakinku teguh, bakti ikhlasmu penuh, akan azas rukunmu. Pandu bangsa yang nyata, Indonesia merdeka, Syukur aku hunjukkan, ke hadapanmu tuan Lagu-lagu Indonesia masa sebelum kemerdekaan masuk kategori musik perjuangan dengan penekanan pada aspek sosial dan politik, berbicara tentang identitas dan kesatuan bangsa, merefleksi kembali fase-fase berat masa lalu, bertutur tentang korban berjatuhan di medan perang. Jadi terminologi untuk musik/lagu-lagu perjuangan masa itu disebut musik fungsional atau musik berguna dengan tujuan utama pada makna dan isi teks, mudah dicerna, gampang dinyanyikan oleh semua lapisan masyarakat. Di tahun 1946 Mutahar berhasil menggubah lagu mars Hari Kemerdekaan yang berkarakter brio (bersemangat) sehingga selalu dinyanyikan dengan semangat pula (con brio). Sedangkan judul-judul seperti Gembira, Tepuk Tangan Silang-silang, Mari Tepuk, Slamatlah, Jangan Putus Asa, Saat Berpisah dan Pramuka adalah deretan lagu anak-anak ciptaan Mutahar. Inilah sosok seorang Mutahar. Potret musikus ulung yang rada tenggelam dalam keruwetan negeri ini. Ketika bangsa ini merayakan usia emas 50 tahun (1995) sekali lagi ia diberi kepercayaan oleh pemerintah pusat untuk menggubah lagu khusus yang berjudul Dirgahayu Indonesiaku sebagai lagu resmi ulang tahun kemerdekaan ke-50 RI. Inilah karyanya yang terakhir sebelum ia tutup usia. Mutahar memang telah tiada, namun lagu-lagunya akan hidup sepanjang masa, sebab itulah hakekat seni ars longa, vita brevis kata adagium Latin.***
Willem B Berybe
Guru SMAK Giovanni Kupang
Bulletin Paskibraka 78
Sekolah: 1. ELS (Europese Lagere School) (SD Eropa 7 tahun), merangkap mengaji/ membaca Al-Quran pada guru wanita, Encik Nur. 2. MULO (Meer Uitgebreid Lager Ondewwijs) atau SMP 3 tahun di Semarang, merangkap mengaji pada Kiai Saleh. 3. AMS (Algemeen Midelbare School) 1995 atau SMA, jurusan Sastra Timur, khusus bahasa Melayu, di Yogyakarta. 4. Universitas Gajah Mada, Jurusan Hukum merangkap Jurusan Sastra Timur, khusus Jawa Kuno di Yogyakarta (sesudah 2 tahun drop out karena perjuangan). 5. Semua Kursus/Training Pemimpin Pandu di Indonesia dan di London. 6. Training School Diplomatic and Consulair Affairs di Nederland. 7. Training School Diplomatic and Consulair Affairs di kantor PBB (United Nation Organization/UNO), New York. Pekerjaan: 1. Guru Bahasa Belanda di SD swasta Islam di Pekalongan. 2. Wartawan berita kota, surat kabar Belanda "Het Noorden" di Semarang, 1938. 3. Klerk di Cosultatie Bureau der Afdeling Nijverheid voor Noord Midden Java , Departement Ekonomische Zaken, 1939-1942. 4. Sekretaris Keizai Bucho (Kepala Bagian Ekonomi) Kantor Gubernur Jawa Tengah, 1943. 5 Pegawai Rikuyu Sokyoku (Jawatan Kereta Api Jawa Tengah Utara) di Semarang, 1943-1948. 6. Sekretaris Panglima Angkatan Laut Republik Indonesia, 1945-1946. 7. Ajudan III, kemudian Ajudan II Presiden Republik Indonesia, 1946-1948. 8. Pegawai Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 1969-1979. 9. Diperbantukan pada Depar temen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka (Dirjen Udaka) Departemen P&K, 1966-1968. 10. Diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia pada Tahta Suci di Vatikan, 1969-1973. 11. Direktur Protokol Departemen Luar Negeri merangkap Protokol Negara, 1973-1974 12. InspekturJenderal Departemen Luar Negeri dan selama 16 bulan, merangkap Direktur Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, merangkap Kepala Protokol Negara, 1974. 13. Pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil, golongan IVe. Pergerakan: 1. Pemimpin Pandu dan Pembina Pramuka, 1934-1969
9.
10.
Hobi: 1. Seni Suara 2. Studi Agama Islam dan perbandingan agama-agama serta organisasi kerohanian, baik di dunia Timur maupun Barat. Keluarga: Tidak menikah, namun mempunyai 8 anak semang (6 laki-laki dan 2 perempuan). Sebagian merupakan serahan dari ibu mereka yang janda atau bapak mereka beberapa waktu sebelum meninggal dunia. Ada pula bapak/ibu yang sukarela menyerahkan anaknya untuk diakui sebagai anak sendiri. Semua sudah berumah tangga dan mempunyai 15 orang cucu (7 laki-laki dan 8 perempuan). Meninggal dunia: Hari Rabu, 9 Juni 2004, pukul 16.30 WIB, dalam usia 87 tahun di Jln. Damai No.20 Cipete, Jakarta Selatan. Dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Sebetulnya, beliau berhak dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata karena memiliki tanda kehormatan Mahaputera atas jasa menyelamatkan bendera pusaka Merah Putih dan Bintang Gerilya atas jasanya ikut perang gerilya tahun 1948-1949. Tetapi, beliau tidak mau, bahkan mengurus hal itu kepada pengacara dengan membuat surat wasiat.
Bulletin Paskibraka 78
Zeverina@kompas.com
Dari yakinku teguh hati ikhlasku penuh Akan karunia-Mu Tanah Air pusaka Indonesia Merdeka Syukur aku sembahkan ke hadirat-Mu Tuhan...
Mudah-mudahan masih ada yang bisa menggumamkannya, jika sungkan dengan orang-orang sekitar, cukup bernyanyi dalam hati saja ya... Lagu patriotik jaman dulu ini sering kita nyanyikan ketika mengheningkan cipta (Petuah Seorang Bijak) dalam acara-acara resmi, namun pernahkah kita membayangkan keseharian Husein Mutahar, atau Kak Mut 1994 atau Om Mutahar? Penyelamat Bendera Pusaka, tokoh kepanduan dan pendiri Gerakan Pramuka ini di akhir masa hidupnya menghuni sebuah rumah sederhana di ruas jalan sempit di sebelah Pasar Cipete. Ia memang tak membutuhkan penghargaan berlebihan, bila perlu merelakan diri agar orang lain selamat. Begitulah watak mulia Pramuka yang dibawanya hingga wafat 9 Juni 2004, dua bulan menjelang ulang tahunnya yang ke-88. Ada sebuah foto berSosok Pandu yang sederhana: Bunda Dari Bunakim dan Kak warna berukuran besar Husein Mutahar. (Foto: Syaiful Azram) di dekat jenazahnya, dalam balutan seragam Pramuka, lengkap dengan tanda jasa pemakaman persis seperti yang diinginiBintang Gerilya dan Bintang Mahaputra, nya, khidmat dan sederhana. Bondan serta tanda kemahiran Pramuka sebagai sendiri, adalah juga seorang Pramuka. pembina bertaraf internasional. Menurut Kesederhaan, adalah kehidupan yang penuturan war tawan senior, Bondan juga dijalani seorang bunda bernama Winarno, foto itu baru diambil dua minggu Dari Bunakim, yang hampir sepanjang sebelurnnya oleh cucunya, dengan umurnya dihabiskan untuk kegiatan kamera digital pinjaman. pramuka, mendaki gunung, menjelajahi Ia telah pulang ke Timur Abadi sehutan, juga berkemah. Pramuka dikebuah kata sandi yang suka dipakainya nalnya tahun 1928, saat ia berumur 11 untuk menyebut Hadirat Allah. Selamat tahun. Jalan, tulis Bondan di Harian Kompas, Sejak tahun 1968, ia menjadi salah lima hari setelah kematiannya. Ya, Om satu pembina pasukan pengibar benMutahar telah mendapatkan upacara dera pusaka (Paskibraka). Hingga usia
Biarkanlah orang tertawa, ketika engkau memulai kehidupan ini dengan jeritan tangis, begitu engkau keluar dari rahim ibumu. Tetapi buatlah mereka menangis, sedangkan engkau tertawa, ketika engkau mengakhiri hidupmu di dunia ini, tatkala ajal menjemputmu.
senjanya bunda Bunakim masih mencuci, membersihkan rumah, dan memasak sendiri. Pakaiannya pun dia buat sendiri. Wanita tua ini ke mana-mana naik bus, ia selalu berjalan kaki dari rumahnya ke tempat pemberhentian bus, dan dari pemberhentian bus ke tempat yang ditujunya. Itulah mengapa ia masih sanggup naik gunung di usia uzur. Dahsyat! (Zeverina lupa menyebutkan bahwa Bunda Bunakim juga telah meninggalkan kita pada Juli 2005, juga di usia 88 tahun, Red) Manusia-manusia berhati mulia dan terhormat seperti Om Mutahar dan Bunda Bunakin, menyiratkan jati diri seorang pramuka yang sesungguhnya, yang begitu meyakini ungkapan yang ditinggalkan Stephenson Smyth Baden Powell, beberapa saat sebelum ia meninggal dunia. Sebuah tulisan terakhir yang ditemukan di antara tumpukan kertas, setelah Bapak Pandu Sedunia itu wafat.
Kebahagiaan tidaklah timbul dari kekayaan, juga tidak dari jabatan yang menguntungkan ataupun dari kesenangan itu sendiri. Jalan menuju kebahagiaan ialah membuat dirimu lahir dan batin sehat dan kuat pada waktu kamu masih kanak-kanak, sehingga kamu dapat berguna bagi sesamamu dan dapat memaknai hidup, jika kamu kelak telah dewasa. Usahamu menyelidiki alam akan menimbulkan kesadaran dalam hatimu, betapa banyaknya keindahan dan keajaiban yang diciptakan oleh Tuhan di dunia supaya kamu dapat menikmatinya.
Yah, seorang pandu, bagaimanapun akan tetap seorang pandu. Mereka, manusia-manusia yang mampu berlayar dengan memanfaatkan matahari. Orangorang yang membuat banyak orang menangis tatkala ajal menjemput. Mereka yang membawa ketenangan di tengah kerusuhan, membawa damai bila terjadi kekalutan, membawa kegembiraan di tengah kesedihan, membawa kepastian bila terjadi kebimbangan, dan menjadi penyelamat di tengah bahaya. Salam Pramuka!!
Dicuplik dari: Kolom Kita Kompas Cyber Media Community Jumat, 08 September 2006, 17:33 wib
Bulletin Paskibraka 78
nya dan berdoa, Tanggungjawabnya terasa sungguh berat. Akhirnya, ia berhasil memecahkan kesulitan dengan mencabut benang jahitan yang menyatukan kedua bagian merah dan putih bendera itu. Dengan bantuan Ibu Perna Dinata, kedua carik kain merah dan putih itu berhasil dipisahkan. Oleh Mutahar, kain merah dan putih itu lalu diselipkan di dasar dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Ia hanya bisa pasrah, dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang ada dalam pemikiran Mutahar saat itu hanyalah satu: bagaimana agar pihak Belanda tidak mengenali bendera merah-putih itu sebagai bendera, tapi hanya kain biasa, sehingga tidak melakukan penyitaan. Di mata seluruh bangsa Indonesia, bendera itu adalah sebuah prasasti yang mesti diselamatkan dan tidak boleh hilang dari jejak sejarah. Benar, tak lama kemudian Presiden Soekarno ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Prapat (kota kecil di pinggir danau Toba) sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka, sedangkan wakil presiden Mohammad Hatta langsung dibawa Bangka. Mutahar dan beberapa staf kepresidenan juga ditangkap dan diangkut dengan pesawat Dakota. Ternyata mereka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Pada saat menjadi tahanan kota, Mutahar berhasil melarikan diri dengan naik kapal laut menuju Jakarta. Di Jakarta Mutahar menginap di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang sebelumnya tidak ikut mengungsi ke Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, ia kost di Jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah Bapak R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala Kepolisian RI yang pertama). Selama di Jakarta Mutahar selalu mencari informasi dan cara, bagaimana bisa segera menyerahkan bendera pusaka kepada presiden Soekarno. Pada suatu pagi sekitar pertengahan bulan Juni 1948, akhirnya ia menerima pemberitahuan dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) Jakarta. Pemberitahuan itu menyebutkan bahwa ada surat dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepadanya. Sore harinya, surat itu diambil Mutahar dan ternyata memang benar berasal dari Soekarno pribadi. Isinya sebuah perintah agar ia segera menyerahkan kembali bendera pusaka yang dibawanya dari Yogya kepada Sudjono, agar dapat dibawa ke Bangka.
Bung Karno sengaja tidak memerintahkan Mutahar sendiri datang ke Bangka dan menyerahkan bendera pusaka itu langsung kepadanya. Dengan cara yang taktis, ia menggunakan Soedjono sebagai perantara untuk menjaga kerahasiaan perjalanan bendera pusaka dari Jakarta ke Bangka. Itu tak lain karena dalam pengasingan, Bung Karno hanya boleh dikunjungi oleh anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Nations Committee for Indonesia). Dan Sudjono adalah salah satu anggota delegasi itu, sedangkan Mutahar bukan. Setelah mengetahui tanggal keberangkatan Soedjono ke Bangka, Mutahar berupaya menyatukan kembali kedua helai kain merah dan putih dengan meminjam mesin jahit tangan milik seorang istri dokter yang ia sendiri lupa namanya. Bendera pusaka yang tadinya terpisah dijahitnya persis mengikuti lubang bekas jahitan tangan Ibu Fatmawati. Tetapi sayang, meski dilakukan dengan hati-hati, tak urung terjadi juga kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujungnya. Dengan dibungkus kertas koran agar tidak mencurigakan, selanjutnya bendera pusaka diberikan Mutahar kepada Soedjono untuk diserahkan sendiri kepada Bung Karno. Hal ini sesuai dengan perjanjian Bung Karno dengan Mutahar sewaktu di Yogyakar ta. Dengan diserahkannya bendera pusaka kepada orang yang diperintahkan Bung Karno maka selesailah tugas penyelamatan yang dilakukan Husein Mutahar. Sejak itu, sang ajudan tidak lagi menangani masalah pengibaran bendera pusaka. Tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka dengan membawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka dikibarkan lagi di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. Naskah pengakuan kedaulatan lndonesia ditandatangani 27 Desember 1949 dan sehari setelah itu Soekamo kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah empat tahun ditinggalkan, Jakarta pun kembali menjadi ibukota Republik Indonesia. Hari itu juga, bendera pusaka dibawa kembali ke Jakarta. Untuk pertama kalinya setelah Proklamasi bendera pusaka kembali dikibarkan di Jakarta pada peringatan Detikdetik Proklamasi 17 Agustus 1950.
Syaiful Azram
Bulletin Paskibraka 78
Catatan BudihardjoWinarno tentang Husein Mutahar
EPERTI lirik lagu Sheila on 7 yang saya kutip, Husein Mutahar memang sebuah anugerah terindah yang pernah saya miliki. Saya bahagia bisa mengenalnya bukan saja sebagai seorang bijak yang selalu memberikan petuah berharga, tapi juga seorang guru yang mampu mendidik dengan kasih sayang, seorang Bapak yang dapat menenteramkan hati anaknya di kala gundah serta seorang sahabat yang bisa diajak berdiskusi tentang masalah pribadi. Saya pertama kali bertemu dengan Kak Mut pada tahun 1978, saat ia memberikan ceramah kepada anggota Paskibraka 78 di Asrama Haji Cempaka Putih. Saya, begitu juga teman-teman lain, yang sudah kelelahan akibat latihan keras siang harinya, sebenarnya sudah sangat ingin beristirahat. Tapi, malam itu kami harus berhadapan dengan seorang tinggi besar berwajah Arab dan sangat berwibawa. Tapi, ketika pria yang tadinya menyeramkan itu memulai ceramahnya, suasana menjadi cair. Kak Mut mampu membuat kami santai dan tertawa lepas kare-
Melihat tawamu mendengar senandungmu Terlihat jelas dimataku warna-warna indahmu Menatap langkahmu, meratapi kisah hidupmu Terlukis jelas bahwa hatimu, Anugerah terindah yang pernah kumiliki Sifatmu nan slalu redakan ambisiku Tepikan khilafku dari bunga yang layu Saat kau disisiku kembali dunia ceria Tegaskan bahwa kamu Anugerah terindah yang pernah kumiliki _____________________ Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki Sheila on 7
na gerak wajah, hidung, mulut maupun tubuhnya yang sangat lucu. Pria yang kelihatan seram itu ternyata kocak dan humoris. Dia menyapa kami dengan ka-
sih sayang sebelum mencoba membuka mata kami tentang wawasan kebangsaan, nasionalisme dan persaudaraan. Beberapa tahun kemudian saya bertemu lagi dengan Kak Mutahar. Bersama Bunda Boenakim saya hadir untuk ikut merayakan ulang tahunnya pada tanggal 5 Agustus. Tahun 1980, setelah pindah dan berdomisli di Jakarta, saya semakin sering sowan ke rumahnya yang asri di Prapanca Buntu. Ucapan khas selalu meluncur dari bibir Kak Mut setiap kali saya muncul di depan pintunya. Eee.... Pak Budi Yogya to ini. Piye kabarmu Bud? Kalimat yang sama dan diucapkan dengan kocak itu juga tak pernah ketinggalan saat saya menghubunginya melalui telepon. Dengan segala kerendahan hati, izinkan saya menuliskan kembali sejumlah kenangan yang pernah saya dapatkan dari Kak Mut, baik sebagai Pembina, Guru, Bapak maupun Sahabat. Semoga dapat menjadi gambaran betapa seorang Mutahar pantas disebut seorang manusia istimewa di bumi Indonesia.
Budiharjo Winarno
nyaman di mata maupun hati. Rasanya seperti ada yang hilang, gitu. Apa karena mataku sudah tidak bagus kondisinya atau sebab lain aku tidak tahu. jelasnya. Alasan kedua, jika aku difoto dan mereka menyimpannya, maka kenangan itu tidak akan berumur panjang. Kalau orang yang menyimpan fotoku sudah bosan atau tak memerlukannya, foto itu pasti tidak akan dirawat atau malah dibuang ke tong sampah. Jadi tidak ada artinya apa-apa lagi. Kamu pasti tahu arti pepatah gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama. Begitu juga aku. Jika pada saatnya nanti aku harus menghadap Al-Khalik, maka aku ingin meninggalkan nama yang baik bukan sekadar foto. Misalnya ada orang yang menyanyikan lagu Syukur, kemudian ditanya siapa pengarangnya, maka akan dijawab lagu Syukur dikarang oleh Mutahar, bukan ini foto pengarangnya. Jadi yang aku tinggalkan adalah nama dan itu akan abadi.
Akupun tidak ingin mengubah nama supaya kelihatan keren sebagai pengarang lagu Syukur. Biarlah namaku tetap Husein Mutahar seperti yang diberikan oleh orangtuaku dan itu adalah salah satu peninggalan dari leluhurku yang harus kujaga kehormatannya, karena jika nama itu jelek maka sama saja aku tidak menghargai kedua orangtuaku yang telah memberikan nama itu. Dengan penjelasan itu, akhirnya saya mengerti mengapa Kak Mut selalu memalingkan muka ketika difoto. Saat ramah tamah seusai menjadi pembicara pada Sarasehan Paskibraka 1995 di Hotel Sahid Jakarta, Kak Mut menggamit tangan saya dan berkata, Bud, nanti kalau ada yang mau memotret, aku dan kamu pura-pura ngobrol ya, biar mereka tidak bisa memotret dari depan. Biar mereka tidak tahu kelemahan mataku. Saat itu, saya terpaksa memenuhi permintaan Kak Mut. Tentu saja dengan alasan yang sama, tak ingin Kak Mut kaget karena kilatan blitz, lalu hilang keseimbangan dan sempoyongan.***
10
Bulletin Paskibraka 78
Jeda Aktivitas
UATU hari seusai Munas Purna Paskibraka Indonesia (PPI) ke-2 di Lembang, Bandung, saya menelepon Kak Mutahar. Karena sudah lama tidak bertemu, beliau lalu menyuruhku datang. Ada yang ingin kubicarakan denganmu, pesannya. Hari Minggu berikutnya saya benarbenar datang berkunjung dengan bertanya-tanya dalam hati apa gerangan yang ingin dibicarakan. Seperti biasa kami ngobrol kesana-kemari, sampai akhirnya beliau bertanya. Setelah Munas temantemanmu datang ke sini. Kamu nggak ikut dan katanya mengundurkan diri dari kepengurusan. Ono opo tho le... ayo crito karo aku (ada apa nak, coba ceritakan padaku), pinta Kak Mut.
Beberapa saat saya terdiam. Beliau kemudian melanjutkan, Kan sayang Bud, kalau angkatanmu 78 sudah kompak dan mau maju, tiba-tiba kamu nggak mau aktif lagi. Susah lho menemukan Purna Paskibraka seperti angkatanmu yang begitu akrab dan tulus. Sambil minum teh dan makan jajan pasar yang dihidangkan, saya lalu memberikan penjelasan dengan hati-hati. Sebenarnya saya nggak ngambek atau nggak mau aktif lagi di Paskibraka 78 dan PPI. Banyak alasan yang membuat saya sementara waktu harus menarik diri. Bukan karena tidak cinta Paskibraka dan memutuskan persaudaraan, jawab saya. Lha, dadi alasanmu opo? Kak Mut mendesak. Saya terpaksa menjelaskan pandangan saya lebih detail. Sejak Reuni Paskibraka 78 pada tahun 1994 dan kami membuat rekomendasi ke Direktorat Pembinaan Generasi
Muda untuk perbaikan pembinaan Paskibraka, saya berpandangan sebaiknya Paskibraka 78 berdiri di luar organisasi PPI tapi selalu memberi masukan yang membangun. Dengan demikian, kami bebas dari kepentingan pribadi pada saat memberikan kritik dan saran. Tapi ada sebagian teman yang mempunyai pandangan berbeda. Kami dianggap bisa meletakkan dasar-dasar pembinaan organisasi hanya bila kami ada di dalamnya. Nah, di saat mereka sibuk di PPI, tentu tidak bisa aktif di Paskibraka 78. Jadi saya memilih berada di luar dan tetapmemberikan kritik membangun. Nanti kalau mereka sudah tidak sibuk lagi di PPI, saya pasti ngumpul lagi dengan mereka di 78, papar saya. Kak Mut manggut-manggut. Ooo... ya sudah kalau itu maumu, asal jangan ngambek aja. Ngambek sedikit ya boleh, asal jangan terlalu lama, pintanya. ***
ILA dikatakan Kak Mut tidak suka dengan organisasi Purna Paskibraka Indonesia (PPI), tentu kenyataannya berbeda. Tahun 1995, ia rela datang ke Direktorat Binmud untuk menyaksikan pengukuhan Pengurus PPI hasil Munas II. Namun, sebelum itu ia pernah mengungkapkan ketidak-setujuannya pada alasan dibentuknya PPI. Pertama, nama PPI seharusnya tidak dipilih karena sudah dipakai oleh Persatuan Pelajar Indonesia. Kedua, bila harus membentuk organisasi di tingkat nasional, mengapa harus mengubah organisasi alumni tingkat daerah yang telah lebih dulu lahir seperti Purna Eka Paskibraka (Yogya) dan Reka Purna Paskibraka (Jakarta). Itu berarti, organisasi PPI berdiri atas dasar perintah dari atas bukan karena keinginan para Purna Paskibraka sendiri seperti PEP DIY maupun Reka Purna di DKI, ujarnya. Kak Mut berpendapat, sebaiknya organisasi lahir dari keinginan anggotanya, bukan karena perintah atasan atau orang lain. Cikal bakal yang sudah ada tak perlu dilebur jadi satu, tapi biarkan berkembang ke atas dan mengakar ke bawah. Ya seperti Indonesia ini, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu, jadi biarlah organisasi yang sudah ada tetap eksis karena organisasi tersebut sudah berakar di bawah, sayang kalau harus dibubarkan atau harus ganti nama, lanjutnya. Kak Mut juga kemudian memahami bagaimana perasaan saya yang sedih
karena PEP harus berubah menjadi PPI dan sekaligus mengganti AD dan ARTnya yang telah dibuat dengan susah payah. Semoga saja organisasi ini berkembang dengan baik dan menjadi wadah bagi Paskibraka di daerah terutama yang tidak bisa menjadi Paskibraka di tingkat nasional, kata kak Mut penuh harap. Kenyataan terbalik bahwa PPI kini lebih mementingkan urusan besar soal organisasi sehingga melupakan hal-hal kecil yang menyangkut alumninya sendiri dan pembinaan Paskibraka, sepertinya sangat disadari Kak Mut. Hal yang sama dialaminya sendiri dalam gerakan kepanduan, ketika nama Pandu harus diubah menjadi Pramuka. Kami yang bergerak lebih dahulu dengan nama Pandu yang dasar keanggotaannya adalah panggilan hati nurani, tiba-tiba berganti nama menjadi Pramuka yang anggotanya bersifat wajib untuk semua angkatan sekolah sesuai dengan instruksi pemerintah, kisahnya. Waktu itu aku juga sangat sedih, bahkan sempat menarik diri. Tetapi, seiring dengan perjalanan waktu dan tidak mungkin mengubah nama itu lagi karena merupakan kebijaksanaan pemerintah, maka aku akhirnya dapat menerima. Untungnya waktu itu aku diangkat menjadi Duta Besar di Vatikan sehingga dapat melupakan sejenak permasalahan itu. Kak Mut merasa tenang setelah dalam perkembangannya arah pembinaan Pramuka ternyata tidak menyimpang dari jiwa Pandu, walaupun ada penurunan kualitas. Cobalah kamu belajar untuk berpikir positif untuk kemajuan Paski-
braka. Kamu boleh kecewa tapi jangan terus-terusan menarik diri. Kasihan adikadikmu yang butuh perhatian, pintanya. Untuk mengantisipasi kemungkinan ada Purna Paskibraka yang tidak mendapat tempat di PPI karena organisasinya berbentuk organisasi massa (bukan lagi organisasi alumni) yang berbasis daerah, Kak Mut lalu memberi jalan. Kamu sudah menulis buku tentang Paskibraka, jadi kamu tidak boleh berhenti. Bimbinglah adik-adikmu karena kamulah tempat mereka bertanya. Kalau teman-temanmu sudah kumpul lagi, bentuklah paguyuban angkatan 78, lalu ajak angkatan lain melakukan hal serupa. Dari hal yang kecil, dan keinginan yang murni dari dalam hati hasilnya akan jauh lebih baik. Pastikan semua Purna Paskibraka mendapatkan kesempatan dalam membina adik-adikmu. Jangan ada yang ditinggalkan, termasuk kakak-kakakmu penggerek bendera sebelum tahun 1967. Mereka semua juga Paskibraka, jelas Kak Mut. Lalu, gambaran sikap yang aktivitas yang dilakukan organisasi alumni Paskibraka dicontohkan Kak Mut seperti ia membentuk Parani Dharma Bhakti Indonesia (Padi). Organisasi ini berjiwa Pandu dan bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Kita harus selalu berlapang dada dan berjiwa besar untuk mengikuti arus perkembangan zaman yang kadang-kadang tidak sesuai dengan keinginan kita. Jangan selalu marah, apalagi putus asa, dan teruslah membina adik-adikmu Paskibraka, lagi-lagi Kak Mutahar memompa semangatku. ***
11
Bulletin Paskibraka 78
Tentang Keluarga
UATU hari, kami berdiskusi tentang hidup dan akhirnya sampai pada soal rumah tangga. Tiba-tiba Kak Mut bertanya, Bud kapan kamu menikah? Saya yang saat itu sedang mempersiapkan pernikahan, kaget dengan pertanyaan itu. Soalnya, Kak Mut sendiri tidak menikah sampai akhir hayatnya. Ya rencananya beberapa bulan lagi Kak, jawab saya tergagap. Setelah menanyakan persiapan menjelang pernikahan, termasuk kursus perkawinan di gereja yang diharuskan bagi umat Katholik saya dan Kak Mut lalu terlibat obrolan serius tentang perkawinan, keluarga dan rumah tangga. Aku hanya mau berpesan kepadamu. Kalau benar-benar mau menikah, kamu harus tahu arti dan maksud dari pernikahan sehingga kehidupan keluargamu nanti dapat bahagia dan langgeng, kata Kak Mut membuka nasihat. Selanjutnya, saya menerima sebuah wejangan panjang yang sekalilgus menjelaskan prinsip-prinsip yang dianut Kak Mut dalam soal perkawinan. Pertama, jika kamu menikah hanya untuk tujuan seksual, sebaiknya tidak usah menikah. Akan lebih mudah kalau kamu jajan, karena dapat memilih sesuai selera, banyak variasi dan gampang mendapatkannya, asal kamu punya duit. Tetapi kamu harus ingat bahwa seks itu hanyalah sebagian kecil dari hidup. Coba, berapa lama waktu yang dibutuh-
kan untuk seks dan berapa kuat kamu melakukannya dalam satu hari yang 24 jam? Padahal kamu hidup puluhan tahun dan sebagian besar waktumu dihabiskan untuk bekerja mencari nafkah dan kehidupan sosial lainnya. Jadi, tidak masuk akal dan terlalu mahal jika seks harus didapatkan dengan menikah. Sebaliknya, hehidupan yang mendewakan seks juga tidak baik karena bisa merusak kesehatan maupun keharmonisan keluarga. Kedua, kalau kamu menikah hanya untuk mencari keturunan atau anak maka sebaiknya tidak usah menikah, karena dapat dilakukan dengan adopsi. Banyak sekali anak yang tidak terawat dan membutuhkan kasih sayang karena ditinggalkan orang tuanya dengan berbagai alasan. Kamu bebas merawat anak itu sesuai keinginanmu tanpa campur tangan orang lain. Ketiga, jika kamu ingin membentuk keluarga dalam ikatan cinta kasih yang suci tanpa mempersoalkan seks, anak dan lain-lainnya, maka pilihan kamu benar. Isteri didalam falsafah Jawa adalah Garwo atau Sigaraning Nyowo yaitu belahan dari nyawamu sendiri. Oleh sebab itu, cintailah istrimu dengan tulus dan setia karena dia adalah pilihanmu yang akan mendampingimu selamanya, Jangan sia-siakan istrimu, rawatlah dia dengan sebaik-baiknya. Jika dia mempunyai kekurangan, kamu harus bisa menerimanya, baik dari soal seks, keturunan maupun kecantikannya. Sebaliknya, istrimu juga harus dapat menerima semua keadaanmu dengan penuh cinta kasih.
Jika suatu saat istrimu badannya tidak ramping dan tidak cantik lagi, ya harus kamu terima karena dialah garwo-mu, Jika tidak terpuaskan dalam kehidupan seksual, kamu tak perlu menyeleweng. Jika belum dikaruniai keturunan jangan saling menyalahkan atau bahkan saling meninggalkan. Jangan kamu sia-siakan istrimu karena dia titipan Allah yang dianugerahkan kepadamu. Kamu sudah berniat membentuk keluarga dengan menikah, maka apapun yang terjadi harus kamu jalani. Biarlah semuanya mengalir sesuai kehendak-Nya. Banyak keindahan dan kebahagiaan yang dikaruniakan Tuhan kepada kita, tapi kadang-kadang sangat susah untuk kita pahami. Karena itu, sayangilah istrimu dan keluargamu dengan penuh cinta kasih sampai Allah memanggilmu. Jalanilah kehidupan rumah tanggamu sesuai keinginanmu dan istrimu. Jika dikaruniai momongan, cintai dan rawatlah dia dengan baik sehingga dapat menjadi anak yang sholeh dan selalu bersandar pada ajaran-Nya. Jika tidak diberi, jangan sedih dan kecil hati karena memang tidak semua orang harus punya momongan. Mungkin ada maksud lain dari Allah yang nanti akan kamu pahami seiring dengan berputar dan berjalannya kehidupanmu. Aku hanya terdiam sepanjang Kak Mut menyampaikan wejangannya. Suatu petunjuk kehidupan dengan gaya bahasa sederhana tetapi bermakna sangat dalam. Kak Mut memang konsisten dengan prinsipnya itu didampingi 8 anak semang (adopsi) sampai ajal menjemputnya.***
untuk dijadikan beras. Lagu tersebut diciptakan Kak Mut untuk menggambarkan ungkapan syukur para petani sehabis panen. Ibu-ibu menumbuk gabah dengan sukacita, lalu ditampi dengan tambir (semacam tampah) untuk mendapatkan beras. Indah sekali memang, tapi akhirnya aku minta agar lagu itu tidak dinyanyikan lagi, kenang Kak Mut. Tapi mengapa? Setelah lagu itu sering dinyanyikan di acara perkemahan dan aku dengarkan baik-baik, aku sangat terkejut karena tanpa aku sadari intronya dipengaruhi atau bahkan hampir sama dengan irama lagu Beethoven yang iramanya trettttt tet tet tet trettttttttt tet tet tet, tet tet tet tet tet, kata kak Mutahar sambil bernyanyi dan tangannya memencet tuts piano. Setelah berhenti sejenak kak Mutahar melanjutkan. Melodi lagu Beethoven itu terlalu akrab denganku, sehingga tanpa sadar mempengaruhiku saat menciptakan Padi Ditumbuk. Karena merupakan karya komponis lain, maka dengan sukarela aku minta lagu itu tidak dinyanyikan lagi, papar Kak Mut. Sejak itu, Padi Ditumbuk memang tak pernah lagi dinyanyikan, padahal lagu itu sendiri sudah sempat begitu menyatu dengan Pramuka. Semua itu didasari sikap hormat Kak Mut terhadap karya cipta seni yang agung. Sikap tahu malu dan menghargai sesama komponis yang tak ingin menjiplak karya pendahulunya hanya untuk membesarkan namanya sendiri.***
12
Bulletin Paskibraka 78
karta dengan judul Isi dan Dinamika Purna Eka Paskibraka. Biar kubaca dulu buku ini. Nah, sekarang untuk melengkapinya, apa yang ingin kamu ketahui tentang Paskibraka dari saya? Sejak itu, hampir setiap hari Minggu saya datang untuk berdiskusi. Kak Mut banyak bercerita tentang sejarah Paskibraka dan perkembangannya setelah diestafetkan kepada Kak Idik Sulaeman, Kak Dharminto Surapati dan Bunda Boenakim. Setelah tuntas membaca draft buku saya, suatu hari Kak Mut berkomentar, Bukumu tentang Purna Eka Paskibraka cukup bagus isinya dan memang seperti itu yang seharusnya Paskibraka. Tetapi kamu harus siap untuk menjelaskan jika ditanya orang, terutama tentang kepemimpinan. Konsep yang kamu tulis sangat ideal dan berguna bagi tiap individu untuk mengembangkan diri menjadi pemimpin yang bertanggungjawab dan mumpuni. Tapi, yang seperti itu sulit ditemui dalam kenyataan, karena kepemimpinan kerap bergantung ke atas seperti militer yang harus patuh dan taat pada komandan walaupun komandannya tidak mampu dan berbuat salah. Dari pertemuan intensif dengan Kak Mut dan Pembina yang lain, draft buku pun semakin sempurna. Hasil akhir itu saya serahkan untuk dikomentari dan dikoreksi. Karena kesibukan kerja dan
pribadi, beberapa bulan kemudian baru saya bisa datang. Kak Mut menyambut saya dengan tersenyum. Bud, rencana pembuatan buku tentang Paskibraka akan segera terwujud, karena Direktorat Pembinaan Generasi Muda akan menerbitkannya. Kemarin Kak Idik Sulaeman, Kak. Dharminto dan Bunda Bunakim sebagai Pembina Paskibraka berkumpul disini dan minta kepada saya untuk bercerita sebagai bahan penulisan buku tersebut. Ya sudah, draft bukumu aku serahkan saja kepada mereka agar dilengkapi dan segera diterbitkan. Toh apa yang akan saya omongkan semuanya sudah kamu tulis. katanya bersemangat. Akhirnya, buku Paskibraka yang diinginkan Kak Mutahar dapat juga terwujud, meski bentuk dan isinya masih sangat sederhana. Buku tersebut diterbitkan Direktorat Pembinaan Generasi Muda pada tahun 1993 dengan judul Buku Kenangan 25 Tahun Paskibraka. ***
di Vatikan, sering para petugas keamanan mampir dan mengecek kondisi keamanan kedutaan. Nah, waktu itu pas malam hari serta musim dingin. Ada dua petugas kepolisian yang datang ke kedutaan Indonesia, dan setelah ngobrol kulihat mereka agak kedinginan. Untuk menghangatkan badan, aku tawari minum kopi dan mereka tidak menolak. Tapi, mereka pesan kopinya tidak pakai gula. Aku berbisik kepada ajudanku, Buatkan kopi tiga, yang dua dicampur vodka agak banyak. Setelah kopi datang, aku berikan kopi yang ada vodkanya pada mereka sedang aku mengambil kopi murni, ujar Kak Mut. Kak Mut dan kedua polisi itu ngobrol dengan penuh canda tawa sambil minum kopi. Udara dingin dan kopinya hangat, dua hal yang sangat klop. Tak heran saat cangkir pertama kosong, mereka malah minta lagi. Aku beri dua cangkir lagi kopi campur vodka seperti yang tadi dan tak lama ludes lagi, papar Kak Mut. Saat mau pulang, kedua polisi itu penasaran. Pak Dubes, baru sekali ini
saya minum kopi sangat enak dan benarbenar dapat menghangatkan badan. Bagaimana caranya membuat kopi bisa seenak ini? tanya mereka. Sambil tersenyum Kak Mut menjawab, Oo... itu gampang. Memang ada resep khusus cara membuatnya. Saya akan beritahu pada tuan-tuan, tapi jangan disebarluaskan. Ini warisan leluhur kami, jadi jangan sampai ditiru banyak orang. Mereka mengangguk setuju, lalu sambil berbisik Kak Mut bilang, Tuan bikin kopi setengah cangkir, dan campurkan vodka setengah cangkir juga. Maka jadilah kopi enak dan badan tuan-tuan pasti akan hangat. Mereka kaget dan tertawa terbahakbahak. Untung baru minum dua cangkir. Coba kalau habis sepuluh cangkir, pasti mabuk, kata mereka. Di lain waktu, Kak Mut bertemu lagi dengan mereka di sebuah coffee-shop. Tuan Dubes, mari kita minum kopi yang sangat menghangatkan badan, kata mereka bercanda. Kami pun tertawa lagi bersama-sama.***
13
Bulletin Paskibraka 78
Blad 17, Blok AA II, No. 456. Seperti juga makam-makam lain di kompleks itu, makam Kak Mut menempati kavling berukuran sama. Tidak ada sesuatu yang istimewa, bahkan sangat sederhana dibanding beberapa makam lain di kiri dan kanannya. Hanya sebuah gundukan tanah yang ditanami rumput Jepang, tanpa dinding dari batu atau semen. Di atasnya ada sebuah nisan dari batu granit dengan tulisan:
Inna lillahi wainna ilaihi rajiuun H. HUSEIN MUTAHAR bin SALIM MUTAHAR. Lahir: Semarang 5-8-1916, Wafat: Jakarta, 9-6-2004.
Sederhana, memang itulah yang diinginkan Kak Mut. Sebelum wafat, ia telah membuat surat wasiat yang meminta
agar jasadnya tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Di Jeruk Purut pun, ia dikebumikan tanpa derap genderang, tembakan salvo, atau upacara resmi apa. Padahal, sebagai seorang yang berjasa besar kepada negara, ia berhak atas semua itu. Tepat tiga tahun hari wafatnya, 9 Juni 2007, kami sengaja menyediakan waktu untuk berziarah ke makam Kak Mut. Mengenang kembali saat-saat kami bertemu dan berbincang dengannya, atau begitu bersemangatnya ia ketika menyanyikan lagu-lagu ciptaannya sambil memainkan piano, di rumahnya Prapanca Buntu 119. Dari kesederhanaan makam yang kami lihat, dan ketenangan yang terpancar dari dalamnya, kami akhir semakin yakin bahwa pilihan hidup bersahaja layaknya seorang Pandu, adalah jauh lebih baik dan mulia daripada ikut berkubang dalam hiruk-pikuknya manusia yang sibuk mengejar kesenangan dunia. Dari sana pula, kami tahu bahwa kebahagiaan hidup ada pada hati yang tenteram dan damai. Jauh dari nafsu atau angkara yang hanya hiasan palsu belaka. Bila untuk Indonesia ia telah menciptakan lagu Indonesia Merdeka, maka untuk dirinya Kak Mut telah mendapatkan kemerdekaan dengan caranya sendiri pula. Sebuah kemerdekaan abadi yang membuatnya mampu mengangkat kepala ketika bertemu dengan Sang Pencipta. Makam Kak Mut yang tanpa apa-apa hanya berbeda blok dan berjarak sekitar 20 meter dari makam almarhum Chrisye yang berdindingkan marmer dari Italia. Makam Husein Mutahar adalah sebuah makam sederhana untuk seorang yang luar biasa... Budi Winarno & Syaiful Azram
14
Bulletin Paskibraka 78
nya. Tapi yang pasti, hampir semua lagunya adalah lagu kebangsaan selain lagu-lagu Pramuka. Lagu Syukur, misalnya, yang ditulis Mutahar di Semarang pada 7 September 1944, lahir dari sebuah kepedihan yang dalam. Sebagai pemuda ia merasakan betapa pahitnya penjajah Belanda memperlakukan bangsa Indonesia. Bahkan, Belanda merekayasa keadaan sebegitu rupa sehingga orang Indonesia selalu tergantung kepada mereka. Jepang yang datang kemudian dan mengaku sebagai saudara tua, toh tak lebih dari sebuah siasat. Karena di mata mereka, orang Indonesia tetap manusia kelas dua. Rakyat susah mencari nafkah, susah mendapatkan makanan dan pakaian, kisah Mutahar. Mutahar tak tahu lagi apa jadinya rakyat Indonesia bila Sekutu datang atau penjajah lain muncul setelah Jepang. Pada saat itulah, tiba-tiba ia bermimpi menyaksikan Indonesia merdeka. Maka, ia pun menuliskan sebuah lagu yang menggambarkan rasa terima kasih kepada Tuhan dengan judul Syukur. Mimpi Mutahar pun akhirnya menjadi kenyataan setahun kemudian.***
Syaiful Azram
Aku Dikerjaiin...
KU cukup lama mengenal kak Mut dan banyak kenangan bersama beliau sebagai anak didiknya di Paskibraka. Tetapi yang paling aku ingat adalah saat aku mengantarkan undangan pernikahanku kepada beliau. Sepulang kantor aku datang ke rumah beliau, lalu kami ngobrol tentang berbagai hal. Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 22.00, maka aku mohon pamit untuk pulang. Tetapi beliau menahanku jangan pulang dulu karena masih banyak yang diobrolkan. Tak bisa mengelak, akupun tak jadi pulang dan kami ngobrol lagi. Eh, tak terasa sudah jam 23.30. Rasanya sangat tidak enak bermain ke rumah orang tua sampai selarut itu. Aku pun lalu mohon pamit dengan alasan sudah malam dan rokok sudah habis. Ooo... rokokmu sudah habis to. Ya sudah, sana beli lagi, kata Kak Mutahar. Beliau menyuruh pembantunya untuk membelikan rokok untukku dan... ternyata dibelikan sampai 3 bungkus. Mati aku! Jam berapa nih aku bisa pulang, kataku dalam batin. Lagi-lagi,
untuk tidak menyinggung perasaan beliau, aku pun teruskan mengobrol. Ada saja yang diomongkan Kak Mut dan ia tak pernah kehabisan kamus sehingga obrolan tidak pernah putus. Waktu semakin larut dan akhirnya menembus dinihari, tapi obrolan masih berlanjut. Mataku semakin berat, aku mengobrol sambil terkantuk-kantuk. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh Kak Mut. Ya udah Li, kamu pulang sana! Wong kamu sudah ngantuk berat, besok masih masuk kerja lagi kan? Tapi aku nggak ngusir lho. Kapankapan main lagi ke sini ya dan kita ngobrol lagi. Baik Kak, saya mohon pamit, jawabku. Sambil berdiri aku melirik jam tangan. Masya Allah! Sudah jam 03.20 pagi! Maka, pulanglah aku terkantukkantuk diiringi embun yang mulai turun. Esoknya aku pergi kerja dengan kepala masih nyut-nyutan. Aku dikerjain oleh Kak Mut, tapi itulah kenangan paling manis yang pernah aku alami bersama orang yang sangat aku hormati dan cintai. Fahly Riza, Paskibraka 1984
15
Bulletin Paskibraka 78
ALAM sejarah hidup Husein Mutahar, kamera adalah salah satu benda yang sangat dihindarinya. Kamera memang identik dengan publisitas, tapi dia bukan penganut anti-publisitas, walaupun publikasi berlebihan kerap menggambarkan seorang manusia tinggi hati dan suka pamer (riya). Dia hanya mempunyai prinsip bahwa mati meninggalkan nama yang baik akan jauh lebih berharga daripada hanya meninggalkan foto yang mungkin akan dibuang bila tidak dibutuhkan lagi. Begitulah Mutahar yang saya temui lagi pada tahun 1993, setelah 15 tahun berlalu sejak di Paskibraka 1978. Namun herannya, setelah merasa dekat, pelan-pelan ia mulai merelakan wajahnya diterpa lampu kilat dari kamera saya. Foto-foto di halaman ini, foto halaman depan dan beberapa foto lainnya yang bukan hasil reproduksi dari media massa di buletin ini merupakan sebagian dari hasil jepretan kamera saya. Semuanya diperoleh dari tiga kesempatan, yakni saat Paskibraka 78 bersilaturahmi ke rumahnya di Jl. Prapanca Buntu No. 119 (tahun 1993), saat Ulang Janji Paskibraka 1978 di Cibubur (tahun 1994) dan pelantikan Pengurus Purna Paskibraka Indonesia (PPI) di Direktorat Pembinaan Generasi Muda (tahun 1995). Tiga tahun itulah yang mencatat bahwa seorang Mutahar yang mulanya kurang suka publikasi, akhirnya membiarkan saja kamera mengabadikannya. Alasannya barangkali hanya satu: karena merasa sejuk berada di tengah-tengah anak didiknya serta ingin meninggalkan kenangan dan pesan bahwa ia sangat mencintai anakanaknya di Paskibraka... (Teks dan foto: Syaiful Azram)
1994
1994
1995
1994
1993
16
Sejarah
sah bila tahu awal masa kepemimpinannya dimulai tanpa bendera pusaka. Akhirnya diketahuilah bahwa bendera pusaka masih berada di tangan Bung Karno. Akan tetapi mereka tidak tahu bagaimana caranya mengambil bendera itu. Dalam kebingungan itu, saya dipanggil ke Istana. Hanya sedikit orang yang tahu bagaimana menghadapi Bung Karno pada saat-saat seperti itu. Tapi saya tahu sifat beliau. Maka saya bilang, kirimkan keempat Panglima Angkatan untuk meminta bendera itu, papar Mutahar. Tebakan Mutahar ternyata benar. Bung Karno yang sudah diistirahatkan di Bogor menjadi lembut hatinya ketika didatangi. Memang mulanya agak ragu-ragu, tapi beberapa saat kemudian Bung Karno berkata dengan tenang. Baik, tanggal 16 Agustus kalian datang lagi ke sini, lengkap dengan semua Panglima keempat Angkatan. Saya akan lakukan acara resmi serah terima bendera pusaka... Maka, sebagaimana dijanjikan, pada tanggal 16 Agustus malam, keempat Panglima Angkatan sebutan untuk pimpinan ABRI dan Polri masa itu menghadap ke Istana Bogor. Tanpa diduga, mereka kemudian diajak balik lagi ke Jakarta dan akhirnya menuju ke Monumen Nasional (Monas). Ternyata, selama itu bendera pusaka memang disimpan Bung Karno dalam ruang bawah tanah di dalam Monumen Nasional. Bendera pusaka kemudian dibawa ke Istana Merdeka. Atas perintah Presiden Soeharto, Mutahar dipanggil ke Istana untuk memastikan apakah bendera pusaka itu memang asli. Hanya Mutahar, satu-satunya orang yang tahu betul bentuk bendera pusaka, karena dia yang membuka jahitan tangan Ibu Fatmawati. Dia pula yang menyambungkan kembali bagian merah dan putih dengan mesin jahit dan terjadi kesalahan jahit kecil sekitar 2 cm di ujungnya. Sejak itu, Soeharto menempatkan bendera pusaka di Istana, dalam sebuah kotak kayu berukir yang di dalamnya diberi potongan kayu cendana sehingga berbau harum bila dibuka. Bendera pusaka yang sudah usang itu selalu diperlihatkan kepada para anggota Paskibraka setiap tanggal 16 Agustus, untuk membangkitkan semangat mereka sebelum bertugas esok hari. Memang terbetik berita, bendera pusaka rencananya akan kembali ditempatkan di Monumen Nasional. Berbagai persiapan telah dirancang, termasuk rencana mengarak bendera pusaka dari Istana Merdeka ke Monas yang jaraknya hanya beberapa ratus meter, yang konon menelan biaya tidak kecil. Namun, rencana itu belum terwujud. Begitulah, bendera pusaka memang dijahit oleh Ibu Fatmawati. Dikibar kan sesaat setelah dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di depan kediaman Bung Karno, Jalan PegangsaanTimur 56 Jakarta. Disimpan dan dijaga Bung Karno dengan segenap jiwa dan raga. Tapi, Bung Karno juga tahu, bahwa bendera pusaka adalah sebuah prasasti yang dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia, bukan miliknya pribadi. ***
Syaiful Azram
17
17
Bulletin Paskibraka 78
18
18
Bulletin Paskibraka 78
ARENA dikibarkan di tiang 17 Istana Merdeka setiap upacara 17 Agustus, bendera pusaka yang usianya sudah sangat tua mulai robek di keempat sudutnya. Pada bulan Agustus 1968, Husein Mutahar sudah diberitahu oleh Presiden Soeharto tentang rencana pembuatan duplikat bendera pusaka. Tapi ia mengusulkan agar penggantian dilakukan pada tahun berikutnya, 1969, karena bendera pusaka harus tetap dikibarkan saat Soeharto memulai jabatan Presiden RI. Pada tahun 1969, pembuatan bendera duplikat disetujui. Dalam usulannya, Mutahar meminta agar duplikat bendera pusaka dibuat dengan tiga syarat, yakni: (1) bahannya dari benang sutera alam, (2) zat pewarna dan alat tenunnya asli Indonesia, dan (3) kain ditenun tanpa jahitan antara merah dan putihnya. Sayang, gagasan itu tidak semuanya terpenuhi karena keterbatasan yang ada. Pembuatan duplikat bendera pusaka itu memang terlaksana, dan dikerjakan oleh Balai Penelitian Tekstil Bandung, dibantu PT Ratna di Ciawi Bogor. Syarat yang ditentukan Mutahar tidak terlaksana karena bahan pewama asli Indonesia tidak memiliki warna merah standar bendera. Sementara penenunan dengan alat tenun asli bukan mesin akan memakan waktu terlalu lama, sedangkan bendera yang akan dibuat jumlahnya cukup banyak. Duplikat akhimya dibuat dengan bahan sutera, namun menggunakan bahan pewarna impor dan ditenun dengan mesin. Bendera duplikat itu kemudian dibagi-bagikan ke seluruh daerah tingkat I, tingkat II dan perwakilan Indonesia di luar negeri pada 5 Agustus 1969. Namun, untuk pengibaran pada tanggal 17 Agustus 1969 di Istana Merdeka, sebelumnya telah dibuat sebuah duplikat bendera pusaka lain dengan bahan yang tersedia, yakni dari kain bendera (wool) yang berwarna merah dan putih kekuningkuningan. Karena lebar kainnya hanya 50 cm, setiap bagian merah dan putih bendera itu terdiri dari masing-masing tiga potongan kain memanjang. Seluruh potongan itu disatukan dengan mesin jahit dan pada
Bendera duplikat pertama, terbuat dari wool dengan tiga potong kain merah dan putih yang disambungkan dengan jahitan.
Duplikat bendera pusaka diserahkan kepada daerah tingkat I dan II oleh Presiden Soeharto di Jakarta pada 5 Agustus 1969 melalui Pangkowilhan masing-masing.
salah satu bagian pinggimya dipasangi sepotong tali tambat. Pemasangannya di tali tiang tidak satu persatu (seperti pada duplikat bendera pusaka hasil karya Balai Penelitian Tekstil), tapi cukup diikatkan pada kedua ujung tali tambatnya. Ketidaksamaan bentuk tali pengikat antara duplikat bendera pusaka di Istana Merdeka dengan duplikat bendera pusaka yang dibagikan ke daerah, seringkali menimbulkan masalah. Dalam pengibaran bendera pusaka di daerah, terjadi ketidakpraktisan saat mengikat tali tambat yang jumlahnya banyak. Hal itu sering membuat waktu yang dibutuhkan untuk mengikat menjadi sangat lama, belum lagi kemungkinan terjadi kesalahan sehingga bendera berbelit sewaktu dibentang sebelum dinaikkan. *** ADA tahun 1984, setelah dikibarkan di Istana Merdeka setiap tanggal 17 Agustus selama 15 kali, bendera duplikat yang terbuat dari kain wool itu pun terlihat terlihat mulai renta. Mutahar yang menonton upacara pengibaran bendera oleh Paskibraka melalui pesawat televisi, tiba-tiba dikejutkan dengan celetukan cucunya. Eyang, kok benderanya sudah tua, apa nggak robek kalau ditiup angin, kata sang cucu. Masya Allah. Aku baru sadar kalau ternyata bendera duplikat itu usianya sudah 15 tahun. Maka, siang itu juga aku mengetik surat yang kutujukan pada Pak Harto. Isinya mengingatkan beliau bahwa bendera duplikat yang dikibarkan di Istana sudah harus pensiun dan apa mungkin bila dibuatkan duplikat yang baru, papar Mutahar. Ternyata, Pak Harto membaca surat itu dan memenuhi permintaan Mutahar. Allah Maha Besar karena suratku diperhatikan oleh Pak Harto, kenang Mutahar. Maka, pada tahun 1985 bendera duplikat kedua mulai dikibarkan, sementara bendera duplikat pertama yang terbuat dari kain wool kini disimpan dalam museum di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Bendera duplikat kedua untuk seterusnya menjadi bendera yang dikibarkan setiap 17 Agustus sampai saat ini. Mengingat usianya yang juga sudah renta yakni 22 tahun, ada baiknya Presiden RI kembali diingatkan untuk memeriksa apakah bendera duplikat kedua itu masih layak untuk dikibarkan. Bila tidak, sudah waktunya pula bendera itu diistirahatkan dan ditempatkan di museum mendampingi duplikat pertama. Sementara untuk pengibaran di Istana Merdeka, bisa dibuatkan duplikat yang baru dengan bahan yang lebih baik dan tahan lama.***
19
Bulletin Paskibraka 78
Renungan
Kepolisian. Semuanya ada dalam arsip, dan bisa digandakan kapan saja. Mereka bisa mengetuk setiap pintu ruangan atau ngobrol akrab dengan setiap orang di PGM, termasuk Direkturnya. Purna selalu disambut dengan senyum di rumah itu. Begitu PGM pindah ke Gedung E Depdiknas di Senayan (dan berubah menjadi Direktorat Kepemudaan), suasana seakrab di Gambir tak lagi bisa ditemui. Anda harus melapor ke resepsionis Diklusepora lebih dulu, mengisi buku tamu, dan berbagai macam persyaratan layaknya bertamu ke sebuah gedung perkantoran. Tapi masih untung, karena ada orang yang Anda kenal di sana. Dan dokumen-dokumen Paskibraka masih utuh meski sedikit berceceran ketika dibawa pindah. Sekarang, ketika Direktorat Kepemudaan dilikuidasi dari Depdiknas dan diboyong ke Kantor Menpora, yang terjadi sangat membuat miris. Pemindahan birokrasi yang sangat sarat politis itu berdampak sangat buruk bagi sejarah maupun masa depan Paskibraka. Sebagian besar personalia PGM (terutama yang senior) tidak bersedia ikut pindah ke Kantor Menpora, mengakibatkan tidak terjaminnya lagi kualitas Gladian Sentra dalam latihan Paskibraka. Personalia PGM yang terpecah belah tidak lagi sempat memikirkan Paskibraka, karena lebih memilih peduli pada nasib sendiri. Dalam keadaan seperti itu, seorang Slamet Rahardjo pun tidak lagi bisa menentukan apakah isi lemarinya harus ikut diboyong ke tempat yang baru sementara ia tetap tinggal di Depdiknas. Atau, segerobak arsip termasuk lembaran formulir biodata asli tulisan tangan anggota Paskibraka itu harus dibawa pulang ke rumahnya di Bekasi. Tapi untuk apa? Pada saat-saat kalut seperti itu, dia pun lupa untuk menitipkan dokumen-dokumen bersejarah pada Purna Paskibraka. Pengurus PPI
yang seharusnya peduli pun tidak pernah berbuat sesuatu. Akhirnya, kertas-kertas dokumen itu masuk ke gudang, dijual kiloan ke lapak, atau dibakar. Tidak diketahui persis, berapa banyak arsip tentang Paskibraka yang telah hilang. Berapa banyak pula yang masih ada, namun diurus oleh orang-orang yang tidak kita kenal di Deputi II Menpora. Betapa sulitnya kini untuk melengkapi dan mendokumentasikan data Paskibraka, Komandan Pasukan (Danpas), Pembina dan Pelatih, karena catatan itu sebagian besar telah hilang. *** alam pertama setelah saya seharian ngobrol habis-habisan dengan Kak Slamet, airmata saya sempat mengambang. Begini tragiskah episode akhir dari sebuah keluarga bernama Paskibraka? Begitu sulitkah mencari orang-orang yang mau peduli pada korps yang telah membuat diri mereka bangga karena berbeda dari yang lain? Semenjak PGM tak lagi berada di Gambir, kita telah kehilangan rumah dan sekolah yang sejuk dan nyaman. Sejak kepergian Kak Mutahar dan Bunda Bunakim, kita hampirhampir tak lagi punya orangtua dan guru karena yang tersisa hanya Kak Idik dan Kak Dharminto. Kini, setelah PGM tidak ada lagi dan hilang bersama sebagian besar dokumendokumen Paskibraka, kita kembali mengalami musibah kehilangan ijazah. Bayangkanlah beberapa tahun lagi, ketika orangtua dan guru-guru kita benar-benar semuanya telah pergi. Maka, sempurnalah kita, Purna Paskibraka, akan menjadi yatim piatu yang kehilangan orangtua dan guru, rumah dan sekolah serta ijazah. Itu berarti, kita juga akan kehilangan sejarah karena kita memang tak pernah mau menjaganya. (Syaiful Azram)
Wajah Kak Slamet atau Mas Slamet sudah teramat akrab di kepala setiap Purna Paskibraka, terutama kumisnya yang tebal. Sejak tahun 1970, saat usianya masih 20 tahun, ia sudah menjadi satu bagian dalam latihan Paskibraka. Meski tidak secara detail, ia masih bisa menceritakan bagaimana perjalanan Paskibraka sejak awal tahun 70-an, ketika masih dibina langsung oleh Kak Mutahar sampai dilimpahkan kepada Kak Idik Sulaeman. Dia pun masih terus bertahan di Direktorat Pembinaan Generasi Muda ketika Direktur-nya datang dan pergi silih berganti. Tetap di tempat yang sama: sebagai staf Sub Direktorat Pembinaan Latihan Kepemudaan (PLK). Kini, setelah memutuskan mengambil masa pensiun pada tahun 2005, Kak Slamet menghabiskan waktunya di rumahnya, Perumnas 3 Bekasi Timur. Selalu ada kerinduan kepada Paskibraka. Saya nggak bakal bosan ngobrol seharian dengan Paskibraka yang datang ke rumah, karena dengan begitu saya bisa bernostalgia. Inilah kehidupan yang bisa saya nikmati di masa tua seorang pensiunan. Mudah-mudahan kalian semua masih ingat sama saya, tuturnya.***
20
Bulletin Paskibraka 78
ANGGAL 21-22 April 2007 yang lalu (Sabtu sampai Minggu) Menpora bekerjasama dengan Paskibraka 78 dan sponsor-sponsor lainnya melaksanakan Time Rally yang melintasi tempat-tempat bersejarah dan Fasilitas Olahraga yang ada di DKI. Tujuannya mengingatkan kembali bahwa kita mempunyai sejarah yang memang harus diingat oleh generasi muda. Selain itu, setelah mengetahui fasilitas olahraga yang ada di DKI, peserta yang kebanyakan dari generasi muda diharapkan dapat memanfaatkan tempat tersebut dan tentu saja hasil akhirnya generasi muda yang lebih sehat. Pertandingan yang sifatnya fun ini diikuti oleh 62 peserta mobil (dapat berisi 4 peserta atau keluarga) dan 340 peserta motor (sekalian safety riding) Cukup sigifikan jumlahnya. Ada yang agak tidak biasa di dunia Rally atau balapan lainnya yaitu karena penyelenggaraannya pas tanggal 21 April, maka setiap peserta (satu) orang dalam 1 mobil diharuskan memakai baju Nasional. Juga, waktu pembukaan kita menyanyikan l a g u
Peserta rally sedang dilepas (paling atas), sticker Paskibraka 78 di helm peserta motor (kanan) dan kaca belakang mobil (bawah). (Foto2:Saras)
Ibu Kartini. Y a.... ini nggak biasa, tapi namanya juga Paskibraka, yang beginian perlu. Lucunya, banyak juga lho yang tidak hafal teksnya. Untungnya panitia telah menyiapkan teks lagu tersebut, alhasil, nyanyi barengan kaya koor gitu, rame deh! Time Rally kemarin memang
dikhususkan untuk Pemula dan soalnya sangat mudah. Bagi yang belum pernah ikut, belajarnya memang di event seperti ini. Time Rally ini tidak banyak koq hadiahnya, totalnya cuma Rp 17 juta, tapi yg cukup enak bagi penerimanya adalah hadiah pertama peserta Rp 4,6 Juta dan hadiah paling apesnya (akhir) 1 juta. Belum lagi berbagai gimmick dari sponsor yang memang banyak jumlahnya. Tujuan paling akhir dari penyelenggaraan ini tentu saja adalah mengingatkan kembali bahwa Paskibraka 78 masih eksis gitu lho! Impian akhir kita adalah menyelenggarakan Time Rally antar Provinsi pas tgl 17 Agustus. Dijamin pasti rame pesertanya, kan hari libur. Daripada jalan-jalan di Mall tiada akhir, mending ikut Time Rally trus ada hadiahnya uangnya, wah mana tahaaaan. Ada yang ingin ikutan?....tunggu berita selanjutnya di buletin in dan milis paskibraka_indonesia@yahoo.com. Saras
21
Bulletin Paskibraka 78
Kutemukan Saudaraku
(Kisah Budiharjo Winarno yang paling tidak pernah bertemu dengan Mahruzal dan Izziah)
IANG itu sms dari Sonny masuk ke HP memberi informasi kalau Mahruzal sedang ada di Jakarta. Maka, di saat jam isitrahat aku samber kesempatan untuk menelepon. Bapak yang super sibuk itu menjawab, tapi suaranya tidak jelas dan terputus-putus. Sorenya, ketika sedang mandi di rumah, HP-ku berbunyi dan langsung diangkat istriku. Ternyata ada suara cowok yang mencariku tapi langsung diputus saat istriku menjawab. Setelah aku cek ternyata miss call itu dari Mahruzal. Aku telepon lagi dia dan terdengarlah suara temanku yang hampir 29 tahun tidak bertemu. Zal tertawa setelah tahu kalau tadi yang mengangkat telepon adalah istriku. Lantaran yang menjawab perempuan, dia pikir salah sambung maka langsung diputus. Kami akhirnya ngobrol. Saat kutanya kabar kantor Zal menjawab, Aku sekarang tidak tugas di Sekretariat Bappeda lagi tapi jadi Kepala Bidang. Belum selesai ia menyebutkan jabatannya, langsung saja kupotong, Dari dulu, kamu itu memang sudah kepala bidang.... Zal terdiam sesaat, tapi kemudian terdengar tawanya berderai-derai. Sialan, lupa aku kalau kepalaku sudah bidang dan sekarang tinggal rambut yang di belakang aja, katanya mungkin sambil mengelus-elus kepalanya. Maka tertawalah kami berdua, lalu saling tanya kabar masing-masing. Karena kesibukan, aku tak sempat menghubungi Zal yang langsung balik ke Aceh. Tangal 9 Juni aku sms lagi Zal untuk menanyakan alamat rumahnya. Bulletin belum bisa dikirim karena alamat terakhirnya tak punya. Zal malah menelpon dan memberitahu kalau sedang ada di Jakarta dan kalau mau ketemu sebaiknya hari Senin, sebelum pulang ke NAD Sayang, pada hari tersebut aku juga harus dinas ke Yogya maka kamitak sempat bertemu. Zal hanya titip salam untuk teman-teman semua, dan minta nomor rekening yang bisa diisi untuk kas Paguyuban Paskibraka 1978. Siapa tahu, dengan menyumbang kas 78 rezekiku jadi berlebih, katanya. Semoga saja Zal selalu dilimpahi rezeki yang buanyak......
IDAK sampai satu bulan dari kedatangan Zal yang pertama, datang lagi sms dari Sonny memberi tahu kalau Izziah sedang di Jakarta dan menunggui anaknya yang sakit DHF . Aku langsung sms si Izziah Poh Poh dan menanyakan kondisi kesehatan anaknya. Datanglah jawaban, Sudah mendingan kondisinya, Thx ya. Oh ya ini dari mana? Nomornya baru? Koq saya gak punya sebelumnya. Ternyata Izziah tidak menyimpan nomor HP-ku, jadi kutelepon saja langsung. Dia nyerocos menceritakan kondisi anaknya, tapi mungkin baru sadar kalau dia belum bertanya siapa yang menelepon. Dia diam sebentar, lalu tanya, Eh Bapak ini siapa ya? Aku menjawab, Ini Budi, Bu Izziah, jawabku. Ooo, Pak Budi. Bagaimana kabarnya? Wah maaf Pak , belum sempat beri kabar kalau anakku sakit.... ia nyerocos lagi bla bla bla. Aku diam saja mendengar ocehannya. Setelah agak lama aku potong lagi, Emang Ibu ingat aku Budi yang mana? Eh iya, ini Budi yang..... lagi-lagi bla bla bla ia bicara nggak jelas. Aku langsung menjelaskan, Bukan Bu... Ini Budi teman Ibu yang sudah lamaaa sekali tidak ketemu. Eh dia malah menjawab Lho kok lama nggak ketemu, kenapa ya? Wah repot, lagi error nih, kataku dalam hati. Coba Ibu ingatingat. Kalau nggak salah dulu Ibu pernah jadi Paskibraka ya,pancingku. Langsung saja bicaranya berubah, Eeee... ini Budi siapa ya? Yang dari Jateng ya atau yang mana nih bingung aku, jawabnya. Maka aku jawab, Budi dari Yogya Bu... Meledaklah tawanya. Dengan logat Jawa Timur (Izziah dulu kuliah di ITS Surabaya, Red ) yang masih kental ia ngomel, Sialan kamu! Apa kabar..... dan bla bla bla hampir 5 menit nggak bisa diputus ia nyerocos lagi, tapi kali ini lumayan benar. Kami ngobrol cukup lama, pakai bahasa Jawa dan Jawa Timuran campur Aceh, kayak gado-gado. Dia bilang kalau hari Jumat-nya sudah pulang ke Aceh, tapi karena aku juga harus ke Yogya maka kami tidak sempat bertemu. Hanya sms-nya saja yang datang dan yang penting anaknya sudah sehat. Tapi 5 Juni 2007 dalam sms-nya dia sempat cerita kalau habis opname 2 hari karena kecapekan dan ngejar setoran, dan sudah sehat lagi. Dia mengaku jarang buka email karena sering keliling dari desa ke desa seantero NAD, tugas dari kantor ADB yang ada di Aceh. Heboh banget memang. Nggak terbayang bagaimana nanti kalau benar-benar bertemu langsung atau reuni... (Budi W)
22
Bulletin Paskibraka 78
23
Bulletin Paskibraka 78
Rahmawaty Siddik (Kaltim): Jl. Maduningrat Gg Family RT XX No. 39 Kampung Melayu, Tenggarong. Nunung Restuwanti (Kalsel): Jl. Kampung Baru RT XV/74 Murung Pudak, Tabalong 71571. Telp. 0516-21275. Redhany Gaffurie (Kalsel): Jl. Sutoyo Siswomiharjo, Gg.20 Komplek Purnasakti Jalur U/8 RT 40 Banjarmasin 70245. M. Ilham Radjoeni Rauf (Sultra): Jalan Sedap Malam No. 31, Taman Yasmin Bogor 16310. Telp. 0251-315534. HP.081310559578. Halidja Husein (Maluku): Kompleks Ditjen Perla Blok B/14 Kramat Jaya, Jakarta 10560. Telp. 021-4415269. HP. 08161645571. Johny Ronsumbe (Irja): Kompleks SD Inpres Komba. PO BOX 292 Sentani Jayapura. Welly Tigtigweria (Irja): d/a Rindam 7 Trikora, Ifar Gunung, Jayapura.
24