You are on page 1of 17

BAB II LANDASAN TEORI

II.A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING II.A.1. Definisi Psychological Well-Being Teori psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Segala aktifitas yang dilakukan oleh individu yang berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut kemungkinan mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai dari kondisi mental negatif sampai pada kondisi mental positif, misalnya dari trauma sampai penerimaan hidup dinamakan psychological well-being (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995). Ryff (dalam Allan Car, 2008) mendefinisikan psychological well-being sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan. Dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-being individu menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidup yang akan membuat psychological well-being individu tersebut menjadi tinggi (Ryff & Keyes, 1995). Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat menghasilkan kondisi emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu

Universitas Sumatera Utara

menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989). Ryff (1989) menyatakan ada enam dimensi yang membentuk

psychological well-being yakni penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positif relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth). II.A.2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being Ryff dalam buku Human Development (2000) mengemukakan enam dimensi psychological well-being, yakni : 1. Penerimaan diri (self acceptance) Penerimaan diri yang dimaksud adalah kemampuan seseorang menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini dan masa lalunya. Seseorang yang menilai positif diri sendiri adalah individu yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. Sebaliknya, individu yang menilai negatif diri sendiri menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan masa lalu, bermasalah dengan kualitas personalnya

Universitas Sumatera Utara

dan ingin menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri atau tidak menerima diri apa adanya (Ryff,1995). 2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Hubungan positif yang dimaksud adalah kemampuan individu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu, individu tersebut juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antarpribadi. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1995). 3. Otonomi (autonomy) Otonomi digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bebas namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas, mampu untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dan mengatur perilaku diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk mmembuat keputusan penting, serta

Universitas Sumatera Utara

mudah terpengaruh oleh

tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku

dengan cara-cara tertentu (Ryff, 1995). 4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Penguasaan lingkungan digambarkan dengan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sebaliknya individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya (Ryff,1995). 5. Tujuan hidup (purpose of life) Tujuan hidup memiliki pengertian individu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Individu yang tinggi dalam dimensi ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup,

Universitas Sumatera Utara

merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup. Sebaliknya individu yang rendah dalam dimensi tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan (Ryff,1995). 6. Pertumbuhan pribadi (personal growth) Individu yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi rendah akan merasakan dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik (Ryff,1995).

Universitas Sumatera Utara

II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Faktor-faktor sosiodemografis yang dapat mempengaruhi psychological well-being pada diri individu (Ryff, 1989), yakni : 1. Usia Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia (Ryff, 1989b, 1991; Ryff & Keyes,1995; Ryff & Singer, 1998c). Ryff membagi kelompok usia ke dalam tiga bagian yakni young (25-29 tahun), mildlife (3064tahun), dan older (> 65 tahun). Pada individu dewasa akhir (older), memiliki skor tinggi pada dimensi otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan penerimaan diri sementara pada dimensi

pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup memiliki skor rendah. Individu yang berada dalam usia dewasa madya (mildlife) memiliki skor tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan, otonomi, dan hubungan positif dengan orang lain sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan penerimaan diri mendapat skor rendah. Individu yang berada dalam usia dewasa awal (young) memiliki skor tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup sementara pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan otonomi memiliki skor rendah (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001).

Universitas Sumatera Utara

2. Gender Hasil penelitian Ryff (1989) menyatakan bahwa dalam dimensi hubungan dengan orang lain atau interpersonal dan pertumbungan pribadi, wanita memiliki nilai signifikan yang lebih tinggi dibanding pria karena kemampuan wanita dalam berinteraksi dengan lingkungan lebih baik dibanding pria.Keluarga sejak kecil telah menanamkan dalam diri anak laki-laki sebagai sosok yang agresif, kuat, kasar dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, tidak berdaya, serta sensitif terhadap perasaan orang lain dan hal ini akan terbawa sampai anak beranjak dewasa. Tidak mengherankan bahwa sifat-sifat streotype ini akhirnya terbawa oleh individu sampai beranjak dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-ornang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki psychological well-being yang tinggi dalam dimensi hubungan positif karena ia dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain (Papalia & Feldman, 2008). 3. Status Sosial Ekonomi Ryff mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri (dalam Ryan & Decci, 2001). Perbedaan status sosial ekonomi dalam psychological well-being berkaitan erat dengan kesejahteraan fisik maupun mental seseorang. Individu dari status sosial rendah cenderung lebih mudah stress

Universitas Sumatera Utara

dibanding individu yang memiliki status sosial yang tinggi (Adler, Marmot, McEwen, & Stewart, 1999). 4. Pendidikan Pendidikan menjadi satu faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being. Semakin tinggi pendidikan maka individu tersebut akan lebih mudah mencari solusi atas permasalahan yang dihadapinya dibanding individu berpendidikan rendah. Faktor pendidikan ini juga berkaitan erat dengan dimensi tujan hidup individu (Ryff, Magee, Kling & Wing, 1999). 5. Budaya Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme atau kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki nilai yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

II.B. PERKOSAAN II.B.1. Pengertian Perkosaan Perkosaan berasal dari bahasa Latin yakni raptus yang digunakan untuk mendefenisikan tindakan seorang laki-laki dalam merusak properti atau kepemilikan seseorang (Smith, 2004). Kusumah (dalam Kompas, 1995) menyatakan bahwa perkosaan dinilai sebagai kejahatan dengan derajat kekejaman yang tinggi dan dinilai amat merendahkan harkat manusia. Dalam Kamus Besar

Universitas Sumatera Utara

Bahasa Indonesia, istilah perkosaan adalah pemaksaan hubungan kelamin (persetubuhan) seorang pria terhadap seorang wanita (Poerwadarminta, 1984). Supardi dan Sadarjoen (2006) menjelaskan bahwa perkosaan adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban. Berdasarkan beberapa definisi mengenai perkosaan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perkosaan adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual lakilaki kepada perempuan dapat berupa ancaman secara fisik maupun secara psikologis yang memberikan dampak traumatis dalam hidup korban. II.B.2. Jenis-Jenis Perkosaan Menurut Arif (1987), jenis-jenis perkosaan dibedakan berdasarkan kategori pelaku, yakni : 1. Stranger rape Jenis perkosaan dimana korban tidak mengetahui siapa pelaku perkosaan, biasanya pelaku adalah orang yang tidak dikenal atau orang asing. 2. Acquaintance rape Jenis perkosaan dimana korban mengetahui siapa pelaku perkosaan walaupun bukan teman dekat ataupun bagian anggota keluarga.

Universitas Sumatera Utara

3. Date rape Jenis perkosaan dimana pelaku perkosaan tidak lain adalah individu yang menjalin hubungan kekasih dengan korban. 4. Multiple rape Jenis perkosaan dimana korban diperkosa lebih dari satu pelaku secara bergilir. 5. Marital rape Jenis perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga dimana pelaku perkosaan adalah suami dan korbannya adalah istri. II.B.3. Pengertian dan Jenis-Jenis Korban Perkosaan II.B.3.i. Pengertian Korban Perkosaan Menurut Arif (1987), korban perkosaan adalah seorang wanita yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan. Dari definisi ini dapat diambil beberapa pengertian sebagai berikut : 1. Korban perkosaan harus seorang wanita tanpa batas umur. 2. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan, yang artinya tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku. 3. Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu.

Universitas Sumatera Utara

II.B.3.ii. Jenis-Jenis Korban Perkosaan Arif (1995) mengatakan jenis-jenis korban perkosaan adalah sebagai berikut : 1. Korban Murni Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan terjadi. 2. Korban Ganda Korban perkosaan selain mengalami penderitaan selama diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosial, misalnya ; mengalami ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya, mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaan pengadilan, tidak mendapat ganti kerugian, mengeluarkan uang pengobatan, dikucilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus, dan lain-lain. 3. Korban Semu Korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku, berlagak diperkosa dengan tujuan mendapat sesuatu atau keuntungan dari pihak pelaku. Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena kehendaknya sendiri. Namun kemungkinan juga ia berbuat demikian karena disuruh atau dipaksa untuk berbuat demikian demi kepentingan yang seseorang yang menyuruhnya. Dalam pengertian tertentu, pelaku menjadi korban tindakan jahat lain.

Universitas Sumatera Utara

II.B.4. Dampak-Dampak Perkosaan Perkosaan akan memberikan dampak traumatis bagi korbannya. Korban perkosaan akan mengalami penderitaan pada saat perkosaan berlanjut bermingguminggu, berbulan-bulan bahkan sepanjang sisa hidupnya (Ehrlich, 2001). Dampak perkosaan dapat dibagi ke dalam tiga jenis yakni dampak fisik, psikologis, dan sosial. 1. Dampak Fisik Dampak fisik yang dirasakan oleh korban perkosaan antara lain kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, iritasi di sekitar area vagina, korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS), tertular HIV, kehamilan tidak dikehendaki, bahkan kematian. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Cling, 2004). 2. Dampak Psikologis Sable, dkk (2006) melakukan penelitian mengenai gambaran penderitaan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengambil data perempuan korban perkosaan di Amerika, yang diteliti 23 jam setelah perkosaan. Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa 96% mengalami pusing; 68% mengalami kekejangan otot yang hebat. Sementara pada periode post-rape yang dialami adalah 96% kecemasan, 96% rasa lelah secara

Universitas Sumatera Utara

psikologis, 88% kegelisahan tak henti, 88% terancam dan 80% merasa diteror oleh keadaan. Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingataningatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) (dalam Hayati, 2000). Kadangkala ketakutan yang dialami oleh korban membuat ia tidak berdaya dan lemah. Korban perkosaan mungkin akan mengalami ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada sendirian. Korban dapat merasa ketakutan pada saat ia hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini membuat korban tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Korban dapat pula menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya. Pemicu yang berhubungan dengan perkosaan seperti lagu yang didengar pada saat kejadian, bau minuman yang diminum oleh pelaku pada saat kejadian, bau parfum pelaku, ataupun melihat seseorang yang mirip dengan pelaku akan membuat korban merasa cemas dan takut (dalam Warshaw, 1994).

Universitas Sumatera Utara

3. Dampak Sosial Dampak sosial yang diterima oleh korban perkosaan adalah adanya stigma. Stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban perkosaan adalah perempuan yang hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dalam kasus perkosaan yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos yang salah mengenai perkosaan. Pandangan yang salah tersebut membuat masyarakat memberi label bahwa perempuan korban perkosaan sengaja menggoda dan menantang laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat, berdandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa (dalam Taslim, 1995). Hal seperti ini akan membuat korban semakin takut untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Korban akan merasa bahwa dirinya telah merusak nama baik keluarga, sehingga ia cenderung akan melakukan self-blaming yang justru akan semakin memperburuk keadaannya. Seringkali rasa bersalah ini juga membuat korban enggan untuk menceritakan pengalamannya kepada orang-orang di sekitarnya karena takut menerima vonis dari lingkungan sehingga korban akan menarik diri dari lingkungan karena merasa tidak mampu kembali berinteraksi secara sosial dengan masyarakat secara normal, tidak jarang dikucilkan dan dibuang oleh lingkungannya karena dianggap membawa aib, ditinggalkan teman dekat, merasa dikhianati, sulit jatuh cinta, sulit membina hubungan dengan pria, menghindari setiap pria, dan lain-lain (dalam Supardi & Sadarjoen, 2006).

Universitas Sumatera Utara

II.B.5. Psychological Well-Being Korban Perkosaan yang Membesarkan Anak Hasil Perkosaan Hernawati mengatakan siapapun tidak pernah membayangkan dirinya akan menjadi korban dari tindakan kriminal perkosaan (dikutip dari Bangkapos, 4 Feburari 2010). Seseorang yang menjadi korban perkosaan akan merasakan berbagai dampak traumatis di sepanjang kehidupannya. Terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki merupakan dampak fisik yang sifatnya paling rumit dari beberapa dampak traumatis lainnya. Dikatakan rumit karena korban tidak hanya menanggung trauma perkosaan akan tetapi beban hidup korban semakin bertambah dengan kehadiran janin di kandungannya. Wanita korban perkosaan yang positif hamil memiliki dua pilihan yakni aborsi atau mempertahankan kehamilan. Korban perkosaan yang memutuskan untuk mempertahankan janin yang dikandungnya dipengaruhi oleh faktor agama, hukum, dan medis. Kondisi untuk tetap melahirkan anak hasil perkosaan merupakan proses yang panjang dan tidak mudah untuk dijalani oleh korban perkosaan, mereka akan mendapat banyak tekanan baik dari dalam atau luar dirinya (Abrar, 1998). Tekanan yang berasal dari diri korban perkosaan adalah proses penerimaan anak hasil perkosaan di dalam kehidupannya. Ada dua pilihan yang dapat dilakukan wanita korban perkosaan setelah melahirkan anak yakni membesarkan anaknya sendirian atau menyerahkan anaknya kepada orang lain. Bila berkomitmen untuk membesarkan anak, wanita korban perkosaan harus mampu menerima anaknya, mencintai dengan tulus dan memberikan kasih sayang tanpa

Universitas Sumatera Utara

memperhatikan latar belakang anak tersebut. Wanita korban perkosaan harus berani menjalani hidup bersama anaknya sekalipun dengan bayangan trauma yang masih membekas dalam dirinya. Apabila korban perkosaan memutuskan untuk membesarkan anaknya, lingkungan sekitar juga menjadi salah satu tekanan kuat sebab lingkungan menjadi tempat korban perkosaan tumbuh dan hidup selama ini. Lingkungan akan sangat sulit menerima kehadiran korban perkosaan dan anaknya karena dianggap sebagai aib atau pembawa sial. Korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan mau tidak mau harus menelan julukan negatif tersebut setiap hari disamping menjalani kehidupannya. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari, tekanan-tekanan baik dari dalam maupun luar akan dirasakan oleh wanita korban perkosaan. Tidak mudah untuk menjalani hidup dengan berbagai tekanan yang muncul, kunci utama sepenuhnya berada dalam tangan korban perkosaan, apakah menjalani hidup dengan positif atau negatif. Hal-hal yang terjadi dalam hidup korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan daapat mempengaruhi perasaan-perasaannya mengenai aktivitas hidup sehari-hari yang disebut dengan psychological well-being. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif, misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan, dan sebagainya sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff dan Keyes, 1995). Ryff (1989) menyebutkan psychological well-being terdiri dari enam dimensi yaitu penerimaan diri, memiliki hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

Universitas Sumatera Utara

PARADIGMA PENELITIAN Perkosaan

Dampak Fisik Hamil

Dampak Psikologis Ketakutan, Cemas, Stress, Marah, SelfBlame, Malu

Dampak Sosial Dikucikan lingkungan, dilabel pembawa aib, menarik diri dari kehidupan sosial

Melahirkan

MEMBESARKAN SENDIRI

Memberikan Anak kepada Orang Lain

Psychological Well-Being 1. Self-Acceptance 2. Positive Relation with Others 3. Autonomy 4. Environmental Mastery 5. Purpose In Life 6. Personal Growth

Keterangan : Mengakibatkan Mempengaruhi Yang ingin diteliti

Universitas Sumatera Utara

You might also like