You are on page 1of 49

PEMBAHASAN

1. ASETAMINOFEN (PARACETAMOL) Parasetamol (asetaminofen) seringkali dikelompokkan sebagai NSAID, walaupun sebenarnya parasetamol tidak tergolong jenis obatobatan ini, dan juga tidak pula memiliki khasiat anti nyeri yang nyata.Merupakan penghambat prostaglandin yang lemah.Parasetamol mempunyai efek analgetik dan antipiretik, tetapi kemampuan

antiinflamasinya sangat lemah. Intoksikasi akut parasetamol adalah Nasetilsistein, yang harus diberikan dalam 24 jam sejak intake parasetamol. Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen dapat dilihat strukturnya pada gambar 2.1. Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolik fenasetin dengan efek antipireutik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipireutik ditimbulkan oleh gugus amino benzen. Fenazetin tidak digunakan lagi dalam pengobatan karena penggunaannya dikaitkan dengan terjadinya analgesik nefropati, anemia hemolitik dan mungkin kanker kandung kemih. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama Paracetamol dan tersedia sebagai obat bebas. Walaupun demikian laporan kerusakan faal hepar akibat takar lajak akut perlu diperhatikan. Tetapi perlu dilakukan pemakaian maupun dokter bahwa efek anti inflamasi parasetamol hampir tidak ada.

1.1. Farmakodinamik Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperi salisilat. Efek anti inflamasinya sangat lama, oleh karena itu parasetamol tidak digunakan sebagai anti reumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa. 1.2. Farmakokinetik Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tinggi dalam plasma dicapai dalam waktu jam dan masa paruh plasma 1 3 jam. Obat ini tersebar keseluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolik hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini di ekskresikan melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi.

Indikasi Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai anlagesik dan antipireutik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik lainnya parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik. Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong. Karena hampir tidak mengiritasi lambung, parasetamol sering dikombinasi dengan AINS untuk efek analgesik.

1.3. Sediaan dan Pasologi Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5 mL. Selain itu parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg-1g per kali, dengan maksimum 4g perhari ; untuk anak 6-12 tahun : 150 300 mg/kali, dengan maksimum 1,2 g/hari. Untuk anak 1-6 tahun : 60-120 mg/kali

dan bayi dibawah 1 tahun : 60 mg/kali ; pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari. 1.4. Efek Samping Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa. Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi enzim G6PD dan adanya metabolit yang abnormal. Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia jarng

menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan masalah pada takar lajak. Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat Asetosal daripada Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropati analgetik.

1.5 Mekanisme Toksisitas Pada dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat hepatotoksik, didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam

merkapturi yang bersifat non toksik dan diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan keracunan

Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation. Dengan proses yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik. Dosis Toksik Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20g bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit meningkat. Gambaran Klinis Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium : a. Stadium I (0-24 jam) Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual, muntah, pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat. b. Stadium II (24-48 jam) Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang dan muncul ikterus, nyeri perut kanan atas, meningkatnya bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria. c. Stadium III ( 72 - 96 jam ) Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul kembali, ikterus dan terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum. d. Stadium IV ( 7- 10 hari) Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif dapat terjadi sepsis, Disseminated Intravascular

Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana Darsono 2002)

Diagnosis Ditegakkan berdasarkan : a. Adanya riwayat penggunaan obat. b. Uji kualitatif: sampel diambil dari urin, isi lambung atau residu di tempat kejadian. Caranya: 0,5ml sampael + 0,5ml HCL pekat, didihkan kemudian dinginkan, tambahkan 1ml larutan O-Kresol pada 0,2ml hidrolisat, tambahkan 2ml larutan ammonium hidroksida dan aduk 5 menit, hasil positip timbul warna biru dengan cepat. Uji ini sangat sensitive c. Kuantitatif: Kadar dalam plasma diperiksa dalam 4 jam setelah paparan dan dapat dibuat normogram untuk memperkirakan beratnya paparan. d. Pemeriksaan laboratorium: Elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, transaminase hati dan prothrombin time. Penanganan a. Dekontaminasi Sebelum ke Rumah Sakit: Dapat diberikan karbon aktif atau sirup ipekak untuk menginduksi muntah pada anak-anak dengan waktu paparan 30 menit. Rumah Sakit: Pemberian karbon aktif, jika terjadi penurunan kesadaran karbon aktif diberikan melalui pipa nasogastrik. Jika dipilih pemberian metionin sebagai antidotum untuk menstimulasi glutation, karbon aktif tidak boleh diberikan karena akan mengikat dan menghambat metionin. b. Antidotum N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk

keracunan Parasetamol. N-asetil-sistein bekerja mensubstitusi

glutation, meningkatkan sintesis glutation dan mening-katkan konjugasi sulfat pada parasetamol. N-asetilsistein sangat efektif bila diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi metabolit. Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat aman dan murah tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N asetilsistein Dosis - Cara pemberian N-asetilsistein a. Bolus 150 mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara perlahan selama 15 menit, dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml dextrose 5 % selama 4 jam, kemudian 100 mg/KBB dalam 1000 ml dextrose melalui IV perlahan selama 16 jam berikut. b. Oral atau pipa nasogatrik Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis pemeliharaan 70 mg / kg BB setiap 4jam sebanyak 17 dosis. Pemberian secara oral dapat menyebabkan mual dan muntah. Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid ( 60-70 mg IV pada dewasa ). Larutan N-asetilsistein dapat dilarutkan dalam larutan 5% jus atau air dan diberikan sebagai cairan yang dingin. Keberhasilan terapi bergantung pada terapi dini, sebelum metabolit terakumulasi.

2. ANTASIDA 2.1. Pendahuluan Antasida (antacid,antiacid ) merupakan salah satu pilihan obat dalammengatasi sakit maag. Antasida diberikan secara oral (diminum) untukmengurangi rasa perih akibat suasana lambung yang terlalu asam, dengan caramenetralkan asam lambung. Asam lambung dilepas untuk embantu memecahprotein. Lambung, usus, dan esophagus dilindungi

dari asam dengan berbagaimekanisme. Ketika kondisi lambung semakin asam ataupun mekanismeperlindungan kurang memadai, lambung, usus dan esophagus rusak oleh asammemberikan gejala bervariasi seperti nyeri lambung, rasa terbakar, dan berbagaikeluhan saluran cerna lainnya. 2.2. Pengertian Antacid adalah obat yang menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk menghilangkan nyeri tukak peptik. Antacid tidak

mengurangi volume HCl yang dikeluarkan lambung, tetapi peninggian PH akan menurunkan aktivitas pepsin. Beberapa antacid misalnya, alumunium hidroksida, diduga menghambat pepsin secara langsung. Kapasitas menetralkan asam dari berbagai antacid pada dosis terapi bervariasi, tetapi umumnya PH lambung tidak sampai diatas 4, yaitu keadaan yang jelas menurunkan aktivitas pepsin ; kecuali bila pemberiannya sering dan terus menerus. Mula kerja antacid sangat bergabtung pada kelarutan dan kecepatan netralisasi asam ; sedangkan kecepatan pengosongan lambung sangat menentukan masa kerjanya. Umumnya antacid merupakan basa lemah. Senyawa oksialumunium (basa lemah) sukar untuk meninggikan PH lambung lebih dari 4, sedangkan basa yang lebih kuat seperti magnesium hidroksida secara teoritis dapat meninggikan PH sampai 9, tapi kenyataannya tidak terjadi. Semua antasid meningkatkan produksi HCl berdasarkan kenaikan PH yang meningkatkan aktivitas gastrin. Antasid di bagi dalam dua golongan yaitu antacid sistemik dan antacid nonsitemik. Antasid sistemik, misalnya natrium bikarbonat, diabsorpsi dalam usus halus sehingga menyebabkan urin bersifat alkalis. Pada pasien dengan kelainan ginjal, dapat terjadi alkalosis metabolis. Penggunaan kronik natrium bikarbonat memudahkan nefrolitiasis fospat. Antasid nonsistemik hampir tidak di arbsorpsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolic. Contoh antasid nonsistemik adalah sediaan magnesium, alumunium dan kalsium.

Antasid sistemik Natrium bikarbonat Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi; reaksi kimianya ialah sebagai berikut :

NaHCO3 + HCl

NaCl + H2O + CO2

Karbon dioksida (CO2) yang terbentuk dalam lambung akan menimbulkan efek carminative yang menyebebkan sendawa. Distensi lambung dapat terjadi, dan dapat menimbulkan perforasi. Selain menimbulkan alkalosis metabolik obat ini dapat menyebabkan resistensi natrium dan udem. Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai antasid. Obat ini digunakan untuk mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi urin dan pengobatan lokal pruritus. Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000 mg. Satu gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-4 gr. Pemberian dosis besar NaHCO3 atau CaCO3 bersama sama susu atau krim pada pengobatan tukak peptic menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali syndrome).

Antacid non sistemik Alumunium hidroksida (Al (OH)3) Reaksi yang terjadi di dalam lambung ialah sebagai berikut :

Al (OH)3 + 3 HCl

AlCl3 + 3H2O

Daya menetralkan asam lambungnya lambat tetapi masa kerjanya lebih panjang. Al (OH)3 bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan obat yang tidak larut lainnya. Al (OH)3 dan

sediaan Al lainnya bereaksi dengan fospat dapat membentuk alumunium fospat yang sukar diasorpsi di usus kecil, sehingga ekskresi fospat melaui urin berkurang, sedangkan melaui tinja bertambah. Ion alumunium dapat bereaksi dengan protein bersifat astringen. Antasid ini mengadsorpsi pepsin dan menginaktivasinya. Absorpsi makanan setelah pemberian AL tidak banyak di pengaruhi dan komposisi tinja tidak berubah. Aluminium juga bersifat demulsen dan adsorben. Efek samping AL (OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan memberikan antsid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorpsi fospat dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom deplesi fospat disertai osteomalasia. Al (OH)3 dapat mengurangi absorpsi bermacam macam vitamin dan tetrasiklin. Al (OH)3 lebih sering menyebabkan konstipasi pada usia lanjut. Alumunium hidroksida digunakan untuk mengobati tukak peptic, nefrolitiasis fospat dan sebagai adsorben pada keracunan. Antacid AL tersedia dalam bentuk suspense. AL (OH)3 yang mengandung 3,6-4,4% AL2O3. Dosis yang dianjurkan 8 ml. tersedia pula dalam bentuk tablet Al (OH)3 yang mengandung 50% Al2O3. Satu gram Al (OH)3 dapat menetralkan 25 mEq asam. Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6 gram. Kalsium karbonat Kalsium karbonat merupakan antacid yang efektif, karena mula kerjanya cepat, masa kerjanya lama dan daya menetralkan asamnya cukup tinggi. Kalsium karbonat dapat menyebabkan konstipasi, mual, muntah, perdarahan saluran cerna dan disfungsi ginjal dan fenomen acid rebound. Fenomena tersebut bukan berdasar daya netralisasi asam, tetapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal yang mengeluarkan HCl (H+). Sebagai akibatnya, sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi

10

yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini. Efek serius yang dapat terjadi ialah hiperkalsemia, kalsifikasi metastasik, alkalosis, azotemia, terutama terjadi pada penggunaan kronik kalsium karbonat bersama susu dan antacid lain (milk alkali syndrome). Pemberian 4 gram kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia ringan, sedangkan pemberian 8 gram dapat menyebabkan hiperkalsemia sedang. Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 dan 100 mg. 1 gram kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2 gram. Magnesium hidroksida (Mg(OH)2). Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antacid. Obat ini praktis tidak larut dan tidak efektik sebelum obat ini bereaksi dengan HCl membentuk MgCl2. Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi akan tetap berada dalam lambung dan akan menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama. Antacid ini dan natrium bikarbonat sama efektif dalam hal menetralkan HCl. Ion magnesium dalam usus akan diarbsorpsi dan cepat diekskresikan melalui ginjal, hal ini akan membahayakan pasien yang fungsi ginjalnya kurang baik. Ion magnesium yang diabsorpsi akan bersifat sebagai antacid sistemik sehingga menimbulkan alakaliuria, tetapi jarang terjadi alkalisis. Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek katartiknya,sebeb magnesium yang larut tidak diabsorbsi, tetap berada dalam usus dan akan menarik air. Sebanyak 510% magnesium diarbsorbsi dan dapat menimbulkan kelainan neurologik, neuro muscular, dan kardiovaskular. Sediaan susu magnesium (milk of magnesia) berupa suspensi yang berisi 7-8,5% Mg (OH)2. Satu ml susu magnesium dapat menetralkan 2,7 mEq asam. Dosis yang di anjurkan 5-30ml. bentuk

11

lain ialah tablet susu magnesium berisi 325 mg Mg(OH)2 yang dapat menetralkan 11,1 mEq asam. Magnesium trisilikat Magnesium trisilikat (Mg2Si3O8nH2O) sebagai antacid non sistemik bereaksi dalam lambung sebagai beriukut : Mg2Si3O8(n)H2O + 4H+ Mg++ + 3SiO2 + (n+2) H2O

Silicon dioksid berupa gel yang berbentuk dalam lambung diduga berfungsi menutup tukak. Sebanyak 7% silica dari magnesium trisilikat akan diarbsorbsi melalu usus dan di ekskresi dalam urin. Silica gel dan magnesium trisilikat mrupakan adsorben yang baik; tidak hanya mengarbsorbsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan. Mula kerja magnesium trisilikat lambat , untuk menetralkan 30% HCl 0,1 N diperlikan waktu 15 menit sedangkan untuk menetralkan 60% HCl 0,1 N diperlukan waktu 1 jam. Dosis tinggi magnesium trisilikat menyebabkan diare. Banyak di laporkan terjadinya batu silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisilikat. Di tinjau dari efektivitasnya yang rendah dan potensinya untuk menimbulkan toksisitas yang khas, kurang beralasan untuk

menggunakan obat ini sebagai antacid. Magnesium trisilikat tersedia dalam bentuk tablet 500 mg ; ddosis yang di anjurkan 1-4 gram. Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisilikat yang mengandung sekurang-kurangnya 20% MgO dan 45% silicon dioksida. 1 gram magnesium trisilikat dapat menetralkan 13-17 mEq asam. Sediaan antacid lain dan pasologinya dapat dilihat pada tabel 34-1

12

Tabel 34-1 : Sediaan Antasid Lain

Nama Obat

Bentuk sediaan dan dosis

Toksisitas

Keterangan

Natrium bikarbonat

Tablet : 500 mg Dosis : 1-4 g/hari

Alkalosis sistemik, udem, perforasi lambung

Digunakan untuk mengobati asidosis sistemik. Untuk menbuat urin alkali. Untuk mengatasi pruritus pada penggunaan lokal.

Aluminium hidroksida

Tablet Suspensi 4% Dosis tunggal 0,6 g

Ekskresi Al-fosfat melalui tinja meningkat,menimbulkan sindroma deplesi fosfat. Menyebabkan konstipasi, mual, muntah, dan obstruksi usus

Masa kerja sebagai antasid lama. Mempunyai sifat astringen dan demulsen. Dapat digunakan untuk mengobati nefrolitiasis fosfat.

Aluminium fospat

Suspensi 4-5% Dosis : 15-45 ml

konstipasi

Al-karbonat basa

Suspensi berisi 5% Al2O3 dan 2-4% CO2 Dosis : 8 ml

Konstipasi

Sifat farmakologi sama seperti aluminium hidroksida. Satu ml suspensi dapat menetralkan 1,2-1,5 mEq asam.

Al-natrium

Tablet : 300 mg

Konstipasi

Kombinasi antara

13

dihidroksikarbonat Dosis : 300-600 mg Kalsium karbonat Dosis : 2-3 g/hari Tablet : 0,5-0,6 g Fenomen acid rebound; tinja menjadi keras, konstipasi, kerusakan ginjal, hiperkalsemia, alkalosis, milk alkali syndrome Magnesium karbonat Dosis : 0,6-2 g/hari Diare

NaHCO3 dan aluminium hidroksida Mula kerja cepat, masa kerja panjang.

Efeknya lebih lambat daripada kalsium karbonat. Kebutuhannya lebih besar daripada kalsium karbonat.

Magnesium hidroksida

Suspensi susu magnesium 76% Dosis : 5-30 ml Tablet : 325 mg

Diare (berifat katartik), ion magnesium yang diserap akan menyebabkan kelainan neuromuskular

Kerjanya lama, efek netralisasinya lengkap. Ion magnesium yang di absorpsi akan menyebabkan efek sistemik. Urin menjadi alkalis.

Magnesium trisilikat

Tablet : 500 mg Dosis : 1-4 hari

Diare, siliceous nephroliths SiO2 yang terjadi dapat melapisi dan melindungi ulkus. Kerjanya lambat. Sebagai adsorben pada keracunan oral.

14

2.3. Jenis - jenis Antasida dan Karakteristiknya Umumnya antasida merupakan basa lemah. Biasanya terdiri dari zat aktif yang mengandung alumunium hidroksida, madnesium hidroksida, dan kalsium.Terkadang antasida dikombinasikan juga dengan simetikon yang dapatmengurangi kelebihan gas.

Aluminium karbonat

Dapat

digunakan

dalam

terapi

hiperfosfatemia

(abnormalitaskadar fosfat dalam darah) dengan cara mengikat senyawaanfosfat di saluran cerna sehingga menghambat prosesabsorbsinya. Karena kemampuan ini juga aluminium karbonatdapat digunakan untuk mencegah pembentukan batu ginjal (batuginjal terbentuk dari berbagai macam senyawaan salah satunyaadalah fosfat)

Calcium karbonat

Dapat digunakan pada kondisi kekurangan kalsium contohnya osteoporosis posmenopause

Magnesium karbonat

Dapat digunakan pada kasus defisiensi magnesium

2.4. Nama dan Struktur Kimia - Aluminium Hydroxide (Al(OH)), - Magnesia magma, milk of magnesia (MOM), magnesium hydroxide (Mg(OH)2.), - Magnesii trisilicas, - Magnesii subcarbonas. - Aluminum magnesium hydroxide sulfate ((Al5Mg10(OH)31(SO4)2,xH2O.), - Calcii carbonas((CaCO3 ))

15

2.5. Macam macam Merek Dagang - Aludonna - Aludonna D - Asidrat - Biogastron - Corsamag - Dexanta - Di-Gel - Flatucid - Gastran - Gastrinal - Gastrucid - Promag - Gelusil MPS - Gestabil - Gestamax - Lagesil - Lambucid - Lexacrol - Lexacrol Forte - Madrox - Magalat - Magasida - Magnidicon - Simeco - Magtacid - Magtral - Magtral Forte - Mepromaag - Mylanta - MylantaForte - Neosanmag - Neusilin - Nudramag

2.6. Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian Antasida:dewasa:oral:600-1200 mg antara waktu makan dan sebelum tidur malam. Hiperfosfatemia:anak:50-150 mg/kg/24 jam dalam dosis terbagi tiap 46 jam, titrasi dosis sampai tercapai kadar fosfat dalam rentang normal.Dewasa:dosis awal:300-600 mg 3 kali/hari bersama makanan. Magnesium hidroksida sebagai antasida diberikan dalam dosis

sampaidengan 1 g per oral. Sebagai laksatif osmotik magnesium hidroksidadiberikan dengan dosis sekitar 2-5 g per oral. Diberikan dengan dosis sampai dengan 2 g per oral.1 Magaldrate diberikandi antara waktu makan dan malam sebelum tidur . Dosis sebagai antasida biasanya sampai dengan 1,5 g per oral. Kalsiumkarbonat mengikat posfat dalam saluran cerna untuk membentuk komplekyang tidak larut dan absobsi mengurangi posfat.

16

2.7. Indikasi 1. Pengobatan hiperasiditas, hiperfosfatemia. 2. Pengobatan jangka pendek konstipasi dan gejala-gejala hiperasiditas,terapi penggantian magnesium. Magnesium hidroksida juga digunakansebagai bahan tambahan makanan dan suplemen magnesium padakondisi defisiensi magnesium.

2.8. Kontraindikasi 1. Hipersensitivitas terhadap garam aluminum atau bahan-bahan lain dalamformulasi. 2. Hipersensitivitas terhadap bahan-bahan dalam formulasi, pasien dengankolostomi atau ileostomi, obstruksi usus, fecal impaction, gagal ginjal,apendisitis. 3. Pada pasien yang harus mengontrol asupan sodium (seperti:gagal jantung, hipertensi, gagal ginjal, sirosis, atau kehamilan)

2.9. Efek samping Tidak ada antacid yang bebas efek samping, terutama pada penggunaan dosis besar jangka lama. Efek samping yang timbul antara lain; a. Sindroma susu alkali Sindroma ini hanya timbul pada pasien yang memakai atau menggunakan antasida sistemik atau kalsium karbonat dan minum susu dalam jumlah besar untuk jangka lama. Gejalanya antara lain ; sakit kepala, iritabel, lemah, mual, dan muntah. Sindroma ini ditandai dengan hiperkalsemia, alkalosis ringan, kalsifikasi dan terbentuknya batu ginjal serta gagal ginjal kronik. Keadaan ini diduga di sebabkan protein dalam susu yang meningkatkan absorbsi kalsium. Hiperkalsemia yang timbul mungkin menekan sekresi hormone paratiroid yang selanjutnya meningkatkan ekskresi kalsium urin, dan dapat membentuk batu kalsium kerena pengendapan di saluran kemih.

17

b. Batu ginjal,osteomlasia dan osteoporosis Aluminium hidroksida dan fospat dapat menbentuk senyawa yang sukar larut dalam usus halus, sehingga mengurangi absorpsi fospat dan diikuti penurunan ekskresi fospat urin. Penurunan absorpsi ini berakibar resorpsi tulang yang selanjutnya menyebabkan

hiperkalsiuria dan meningkatnya absorpsi kalsium dari usus halus. Perubahan metabolisme kalsium ini dapat berakibat batu kalsium saluran kemih, osteomalasia, dan osteoporosis. c. Neurotoksisitas Aluminium yang di absorpsi dalam jumlah kecil dapat tertimbun dalam otak, dan di duga mendasari sindroma ensefalopati yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dan pasien penyakit alzheimer. d. Saluran cerna Penggunaan menyebabkan antacid diare yang dan mengadung yang magnesium dapat

mengandung

aluminium

menimbulkan obstruksi terutama berbahaya pada orang tua dengan perdarahan usus e. Asupan natrium Hampir semua antacid mengandung natrium, sehingga perlu diperhatikan penggunaanya pada pasien yang harus diet rendah natrium, misalnya pada penyakit kardiovaskuler f. Interaksi dengan obat lain Antacid dapat mengurangi absorpsi berbagai obat misalnya INH, penisilin, tetrasiklin, nitrofurantoin, asam nalidiksat, sulfonamide, fenilbutazon, digoksin dan klorpromazin. Antacid sistemik dapat meningkatkan PH urin, sehingga menurunkan ekskresi amin misalnya kina dan afetamin serta meningkatkan ekskresi salisil.

18

3. FUROSEMID

Loop Diuretik (Diuretik Kuat/High-ceiling diuretics) Termasuk dalam kelompok ini adalah asam etakrinat, furosemid dan bumetanid. Asam etakrinat termasuk diuretik yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral dengan hasil yang memuaskan. Furosemid atau asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfomail antranilat masih tergolong derivat sulfonamid. Diuretik loop bekerja dengan mencegah reabsorpsi natrium, klorida, dan kalium pada segmen tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi pembawa klorida. Obat ini termasuk asam etakrinat, furosemid da bumetanid, dan digunakan untuk pengobatan hipertensi, edema, serta oliguria yang disebabkan oleh gagal ginjal. Pengobatan bersamaan dengan kalium diperlukan selama menggunakan obat ini.

3.1. Farmakodinamik

Loop

dieuretik

terutama

bekerja

dengan

menghambat

reabsorbsi elektrolit Na+/K+/2Cl- di ansa henle ascenden bagian epitel tebal; tempat kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal (yang menghadap ke lumen tubuli). Pada pemberian IV obat ini cenderung menigkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerulus. Peningkatan aliran darah ginjal ini relative hanya berlangsung sebentar. Dengan berkurangnya cairan ekstra sel akibat dieresis, maka aliran darah ginjal menurun dan hal ini akan mengakibatkan meningkatnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal. Hal terakhir ini merupakan suatu mekanisme kompensasi yang membatasi jumlah zat terlarut yang mencapai bagian epitel tebal Henle ascendens sehingga mengurangi dieresis.

19

Masih dipertentangkan apakah diuretik kuat juga bekerja di tubuli proksimal. Furosemid dan juga bumetanid mempunyai daya hambat enzim karbonik anhidrase karena keduanya merupakan

derivat sulfonamid, seperti tiazid dan asetazolamid, tetapi aktivitasnya terlalu lemah untuk menyebabkan diuresis di tubuli proksimal. Asam etakrinat tidak menghambat enzim karbonik anhidrase.

Gambar 1. Tempat kerja dan mekanisme kerja diuretik kuat (furosemide) di ansa Henle. Diuretik kuat juga menyebabkan meningkatnya eksresi K+ dan kadar asam urat plasma, mekanismenya kemungkinan besar sama dengan tiazid. Eksresi Ca++ dan Mg++ juga ditingkatkan sebanding dengan peningkatan ekskresi Na+. Berbeda dengan tiazid, golongan ini tidak meningkatkan re-absorbsi Ca++ di tubuli distal. Berdasarkan atas

20

efek kalsiuria ini, golongan diuretik kuat digunakan untuk pengobatan simptomatik hiperkalsemia. Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat dititrasi (titrable acid) dan ammonia. Fenomena yang terjadi karena efeknya di nefron distal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya alkalosis metabolik. Bila mobilisasi cairan edema terlalu cepat, alkalosis metabolik oleh diuretik kuat ini terutama terjadi akibat penyusutan volume cairan ekstrasel.

Gambar 2. Struktur Kimia Furosemide, azomide, Bumetanide, dan Piretanide

3.2.Farmakokinetik Absorbsi Loop diuretic mudah diserap melelui saluran cerna, dengan derajat yang berbeda-beda. Bioavalabilitas furosemid 65% sedangkan bumetenid hampir 100%. Distribusi

21

Obat golongan ini terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui system transport asam organic di tubulus proksimal. Metabolisme Obat terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali di tempat kerja didaerah yang lebih distal lagi. Eksresi Kira-kira 2/3 dari asam etakrinat yang diberikan IV diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa sulfhidil terutama sistein dan N-asetil sistein.

3.3.Indikasi atau Penggunaan klinik Gagal jantung Furosemid merupakan obat standar untuk gagal jantung yang disertai edem dan tanda-tanda bendungan sirkulasi seperti peninggian tekanan vena jugular, edema paru, edema tungkai, dan asites. Furosemid lebih banyak digunakan dari pada asam etakrinat, karena gangguan saluran cerna lebih ringan dan kurva dosis respons kurang curam. Untuk edema paru akut diperlukan pemberian secara intravena. Pada keadaan ini perbaikan klinik dicapai karena terjadi perubahan hemodinamik dan penurunan volume cairan ekstrasel dengan cepat, sehingga alir balik vena dan curah ventrikel kanan berkurang.

Edema refrakter Untuk mengatasi edema refrakter diuretic loop biasanya diberikan bersama diuretic lain, misalnya thiazid atau diuretic hemat kalium. Pemakaian dua macam obat diuretic loop secara bersamaan merupakan tindakan tidak rasional.

22

Asites dan edema akibat gagal ginjal Diuretic loop merupakan obat efektif untuk asites akibat penyakit sirosis hepatis. Dan edema akibat gagal ginjal.

Gagal ginjal akut Loop diuretic diberikan pada pasien gagal ginjal akut yang masih awal baru terjadi namun hasilnya tidak konsisiten.

Menurunkan kadar kalsium plasma Diuretic loop dapat menurunkan kadar kalsium plasma pada pasien hiperkalsemia simptomatis dengan cara meningkatkan ekskresi kalsium melalui urin. Bila digunakan untuk tujuan ini, maka perlu pula diberika suplemen Na+ dan Cl- untuk menggantikan kehilangan Na+ dan Cl- melalui urin.

3.4.Cara pemberian dan dosis Sebaiknya diberikan secara oral, kecuali bila diperlukan untuk dieresis segera, maka dapat diberikan IM satu IV. Bila ada nefrosis atau gagal ginjal kronik maka diperlukan dosis furosemid jauh lebih besar daripada dosis biasa. Hal ini disebabkan oleh banyaknya protein dalam cairan tubuli yang akan mengikat furosemid sehingga menghambat dieresis. Selain itu pada pasien dengan uremia, sekresi furosemid melalui tubuli menurun. Furosemide ada yang dalam bentuk oral (tablet) dan injeksi (IV/IM). Untuk yang penggunaan oral mungkin pasien sudah familiar , tetapi untuk yang injeksi biasanya pasien diberikan injeksi oleh dokter. Untuk penggunaan injeksi dirumah, maka pasien akan diberikan latihan tentang cara penggunaan injeksi oleh petugas kesehatan. Dalam hal ini pasien harus benar-benar mengerti apa yang telah diajarkan baik tentang pengaturan dosis sampai teknik aseptic sebelum melalukan

23

injeksi. Pasien tidak diijinkan untuk meningkatkan dosis sendiri lebih dari yang telah diresepkan atau berhenti menggunakan obat tanpa Obat Furosemid Sediaan Tab.20&40 mg ; Injeksi 20mg/ampl 2 ml Dosis 10-40 mg oral 2x sehari (HT) 20-80 mg iv, 23 x sehari Efek Diuresis dalam 20 menit Efek maksimal 250mg 1,5 jam Lama kerja 4-5 jam Onset menit Efek mg oral maksimal 60 menit Lama kerja 6-8 jam 10-

(CHF) Sampai 2000 oral/iv 5-10 mg oral, 1 x sehari

Torsemid

10

(HT), 10-20 (CHF),

atau iv, dapat naik 200 mg sampai

Butenamid

Tab.0,5&1mg ; Inj. 5 mg

0,5-2 mg, oral 1-2x sehari Maksimum 10 mg/hari 50-200mg/hari 0,5-1 BB mg/kg

Onset 75-90 menit Lama kerja 4-5 jam

Asam etakrinat

Tab 25& 50 mg ; Injeksi 50mg/amp

24

konsultasi terlebih dahulu kepada dokter. Dosis yang diberikan tergantung pada keadaan klinis pasien dan respon terhadap terapi.

Pada anak-anak penggunaan dosis lebih dari 6 mg/kgBB tidak dianjurkan. Pemakaian dosis pertama mungkin akan meningkatkan jumlah urin atau pasien akan sering BAK, oleh karena itu supaya tidak mengganggu kenyamanan tidur pasien, maka dianjurkan untuk mengkonsumsi obat sebelum jam 6 sore.

Untuk pemberian injeksi dosis Minimal/Maximal untuk dewasa adalah 10 mg/600mg. untuk anakanak dosis Minimal/Maximal adalah 0.5mg/kg / 6 mg/kg. Sedangkan untuk pemberian secara oral untuk dewasa dosis Minimal/Maximal adalah 20mg / 600mg, dan untuk anak-anak dosis Minimal/ Maximal adalah 0.5mg/kg / 6mg/kg.

Untuk pengobatan edema, pada dewasa bisa digunakan Furosemide tablet 20-80 mg sigle dose. Jika dibutuhkan, pada dosis yang sama dapat diberikan 6-8 jam berikutnya atau dosis bisa ditingkatkan. Dosis bisa ditingkatkan 20 atau 40 mg dan tidak diberikan kurang dari 6-8 jam berikutnya. Pasien dengan sigle dose harus diberikan satu atau dua kali sehari (misal : pada jam 8 pagi dan 2 siang). Untuk anak-anak dapat juga diberikan per oral tablet dengan dosis 2 mg/kg BB diberikan single dose. Jika respon diuretik tidak juga hilang maka dosis dinaikkan 1-2 mg/kg BB diberikan 6-8 jam setelah pemberian sebelumnya, asalkan pemberian dosis tidak mencapai kadar minimal yaitu lebih dari 6 mg/kgBB.

Pada pengobatan hipertensi dapat juga diberikan furosemide tablet 80 mg, biasanya dibagi menjadi 40 mg dan diberikan dua kali sehari. Jika respon tidak begitu memuaskan, dapat ditambahkan agen

25

antihipertensi yang lain. Tetapi perubahan tekanan darah harus selalu dimonitor ketika furosemide diberikan dengan agen antihipertensi yang lain. Untuk mencegah tekanan darah yang turun secara mendadak, dosis agen-agen yang lain harus dikurangi minimal 50% ketika furosemide tablet ditambahkan ke dalam regimen.

Durasi furosemide adalah 6-8 hari dimana waktu paruhnya adalah 2 hari, sehingga pemberian ulang dosis setiap dua hari jika perlu. Obat diekskresikan lewat urin.

3.5.Efek samping

Efek samping asam etakrinat dan furosemid dapat dibedakan atas : 1. Reaksi toksik berupa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang sering terjadi 2. Efek samping yang tidak berhubungan dengan kerja utamanya jarang terjadi.

Gangguan saluran cerna lebih sering terjadi dengan asam etakrinat daripada furosemid. Tidak dianjurkan pada wanita hamil kecuali bila mutlak diperlukan. Sebagian efek samping ini berkaitan dengan gangguan keeimbangan cairan dan elektrolit, antara lain hipotensi, hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia dan

hipomagnesemia.

Gangguan cairan elektrolit Sebagian efek berkaitan dengan gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan antara lain: hipotensi, hiponatremia, hipokalemia, hipokloremia, hipokalsemia, dan hipomagnesia

26

Ototoksisitas Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun menetap, dan ini merupakan efek samping serius. Ketulian sementara juga dapat terjadi pada furosemid dan jarang pada butenamid. Ketulian disebabkan oleh perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfa.

Efek metabolik Hiperuresemia, hiperglikemia, penigkatan kolesterol LDL dan trigliserida serta penurunan HDL.

Reaksi alergi Berkaitan dengan struktur model yang menyerupai

sulfonamide, sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi sulfonamide.

Nefritis intersisialis alergik Furosemid dapt menyebabkan nefritis intersisialis alergik yang menyebabkan gagal ginjal reversible.

3.6.Kontraindikasi dan perhatian Gagal ginjal yang disertai anuria, Hati-hati pada pasien yang dicurigai hipokalemia, gout, hiperkalsemia, pengguna digitalis dan sirosis hepatik Tidak dianjurkan pada wanita hamil.

3.7.Interaksi obat Pemberian diuretic loop dapat meningkatkan risiko aritmia pada pasien yang juga mendapat digitalis atau obat antiaritmia.

27

Pemberian bersama obat yang bersifat nefrotoksik seperti amininoglikosida dan anti kanker sispaltin akan meningkatkan risiko nefrositotoksisitas. Probenesid mengurangi sekresi diuretic ke lumen tubulus sehingga efek diuresisnya berkurang. Berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui penggeseran ikatannya dengan protein. Pada penggunaan jangka lama diuretic loop dapat menurunkan klirens litium. Penggunaan bersama sefalosporin dapat menigkatkan

nefrotoksisitas sefalosporin Anti inflamasi non steroid terutama indometasin dan

kortikosteroid melawan kerja furosemid. 4. DIGOXIN 4.1. Pendahuluan Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolic secara abnormal. Gagal jantung merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dari segala jenis penyakit jantung congenital (bawaan) maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal

jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaankeadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel; dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas

28

miokardium kardiomiopati.

dapat

menurun

pada

infark

miokardium

dam

Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik secara sendirisendiri maupun secara gabungan dari : 1) beban awal, 2) kontraktilitas, dan 3) beban akhir. Prinsip penatalaksanaan gagal jantung : 1. Menigkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan

menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas. 2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung Obat inotropik positif Obat inotropik positif bekerja dengan meningkatkan kontraksi otot jantung (miokardium) dan digunakan untuk gagal jantung, yakni keadaan dimana jantung gagal untuk memompa darah dalam volume yang dibutuhkan tubuh. Keadaan tersebut terjadi karena jantung bekerja terlalu berat atau karena suatu hal otot jantung menjadi lemah. Beban yang berat dapat disebabkan oleh kebocoran katup jantung, kekakuan katub, atau kelainan sejak lahir dimana sekat jantung tidak terbentuk dengan sempurna. Ada 2 jenis obat inotropik positif, yaitu a. Glikosida jantung Glkosida jantung adalah alkaloid yang berasal dari tanaman Digitalis purpurea yang kemudian diketahui berisi digoksin dan digitoksin. Keduanya bekerja sebagai inotropik positif pada gagal jantung. b. Penghambat fosfodiesterase Obat-obat dalam golongan ini merupakan penghambat enzim fosfodiesterase yang selektif bekerja pada jantung. Hambatan enzim ini menyebabkan peningkatan kadar siklik AMP (cAMP) dalam sel

29

miokard yang akan meningkatkan kadar kalsium intrasel. Diantaranya adalah Milrinon dan Aminiron. Dalam case study obat yang diberikan adalah digoksin, berikut akan menjelaskan mengenai digoksin.

4.2. Pembahasan Digoksin adalah suatu obat yang diperoleh dari tumbuhan Digitalis lanata, diekstraksi dari tanaman foxglove. Digoksin digunakan terutama untuk meningkatkan kemampuan memompa (kemampuan kontraksi) jantung dalam keadaan kegagalan

jantung/congestive heart failure (CHF). Obat ini juga digunakan untuk membantu menormalkan beberapa dysrhythmias ( jenis abnormal denyut jantung). Obat ini termasuk obat dengan Therapeutic Window sempit (jarak antara MTC [Minimum Toxic Concentration] dan MEC [Minimum Effectiv Concentration] mempunyai jarak yang sempit. Artinya rentang antara kadar dalam darah yang dapat menimbulkan efek terapi dan yang dapat menimbulkan efek toksik sempit. Sehingga kadar obat dalam plasma harus tepat agar tidak melebihi batas MTC yang dapat menimbulkan efek toksik. Digoksin memiliki rumus molekul C41H64O14 dengan bobot molekul 780,938 g/mol. Rumus struktur digoksin adalah sebagai berikut:

Gbr. Struktur kimia digoksin

30

4.3.Farmakokinetik Absorpsi Setelah pemberian dosis oral baik dalam bentuk tablet maupun eliksir, sekitar 60-85% digoksin akan diabsorpsi. Digoksin dalam sediaan kapsul cair akan diabsorpsi sekitar 90-100%. Absorpsi terutama terjadi pada usus kecil yang kemungkinan melalui proses nonsaturable. Penundaan pengosongan lambung atau adanya makanan mungkin akan memperlambat penyerapan digoksin, tetapi tidak

mengurangi tingkat penyerapannya. Penyerapan digoksin dari saluran cerna akan mengalami penurunan hanya jika digoksin diberikan bersama makanan tinggi serat. pH lambung tidak menghalangi penyerapan digoksin. Penyerapan digoksin dapat terganggu akibat keadaan malabsorpsi. Konsentrasi plasma digoksin bervariasi pada tiap-tiap individu dengan dosis tertentu dapat mengakibatkan efek terapeutik pada seseorang, namun dapat juga menghasilkan efek toksik pada orang lain. Ambilan digoksin dari otot jantung pada bayi hampir 2 kali lebih besar dibandingkan pada orag dewasa. Untuk mengetahui konsentrasi plasma digoksin pada pasien maka sampel darah harus diambil pada 68 jam setelah pemberian digoksin. Konsentrasi plasma yang menghasilkan efek terapeutik pada orang dewasa umumnya sekitar 0,52 ng/mL, sedangkan pada pasien dengan fibrilasi atrial memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi yaitu sekitar 2-4 ng/mL akibat adanya pelambatan laju ventrikel. Pada orang dewasa kecuali dengan fibrilasi atrial toksisitas dapat terjadi pada kondisi plasma yang stabil lebih dari 2 ng/mL. Neonatus umumnya mampu mentolerir konsentrasi plasma yang lebih tingg dibanding orang dewasa. Pada pemberian IV 400-600 mcg dalam dosis tunggal menghasilkan onset pada 5-30 menit dan efek

31

maksimum terjadi pada 1-4 jam. Efek digoksin dapat bertahan selama 3-4 hari. Distribusi Pada konsentrasi plasma terapeutik, sekitar 20-30% digoksin terikat pada protein plasma. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat memiliki volume distribusi yang lebih kecil dibandingkan pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Saat berada dalam darah, seluruh glikosida jantung secara luas didistribusikan ke jaringan, termasuk sistem saraf pusat. Metabolisme Umumnya hanya sedikit digoksin yang akan mengalami metabolisme, namun tingkat metabolisme ini dapat bervariasi dan berakibat fatal pada beberapa pasien. Sebagian kecil metabolisme terjadi dihati, dan metabolisme juga dapat terjadi oleh bakteri dilumen usus setelah pemberian oral atau setelah eliminasi empedu pada pemberian IV. Digoksin mengalami reaksi pembelahan bertahap dari gugus gula untuk membentuk digoksigenin-bisdigitoxosida,

digoksigenin-monodigitoxosida, dan digoksigenin, metabolit tersebut bersifat menurunkan kardioaktivitas digoksin. Digoksin juga

mengalami pengurangan cincin lakton membentuk dihidrodigoksin yang kemudian juga mengalami pembelahan bertahap pada gugus gulanya. Eliminasi Waktu paruh distribusi (t1/2) digoksin setelah pemberian IV adalah sekitar 30 menit baik pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal maupun normal. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal waktu

32

paruh eliminasinya sekitar 34-44 jam. Waktu paruh eliminasi berkepanjangan akan terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada pasien anephrik waktu paruh eliminasi dapat mencapai 4,5 hari atau lebih. Waktu paruh eliminasi digoksin akan menurun pada pasien dengan overdosis akut. Waktu paruh eliminasi meningkat pada pasien hipotiroid dan menurun pada pasien hipertiroid. Pada pasien tak terdigitalisasi, yang menerima dosis pemeliharaan tanpa loading dose yang telah mencapai konsentrasi steady-state akan mengalami peningkatan waktu paruh eliminasi yaitu sekitar 4-5 kali waktu paruh eliminasi atau sekitar 7 hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Eliminasi harian pada pasien dengan fungsi ginjal normal adalah sekitar 30%, dan 14% pada pasien anurik. Presentase eliminasi harian digoksin dapat dihitung dengan persamaan: %Eliminasi =

14+(bersihan kreatinin (ml/menit)/5). Penggunaan persamaan diatas harus ekstra hati-hati karena bersihan kreatinin tidak akurat menggambarkan fungsi ginjal dan bersihan digoksin total dari dalam tubuh pasien.

33

4.4. Farmakodinamik Mekanisme kerja digoksin yaitu dengan menghambat pompa Na+- K+ATPase yang menghasilkan peningkatan natrium intracellular yang menyebabkan lemahnya pertukaran natrium/kalium dan

meningkatkan kalsium intracellular. Hal tersebut dapat meningkatkan penyimpanan kalsium intrasellular di sarcoplasmic reticulum pada otot jantung, dan dapat meningkatkan cadangan kalsium untuk memperkuat /meningkatkan kontraksi otot. Ion Na+ dan Ca2+ memasuki sel otot jantung selama/setiap kali depolarisasi. Ca2+ yang memasuki sel melalui kanal Ca2+ jenis L selama depolarisasi memicu pelepasan Ca2+ intraseluler ke dalam sitosol dari retikulum sarkoplasma melalui reseptor ryanodine (RyR). Ion ini menginduksi pelepasan Ca2+ sehingga meningkatkan kadar Ca2+ sitosol yang tersedia untuk berinteraksi dengan protein kontraktil, sehingga kekuatan kontraksi dapat ditingkatkan. Selama repolarisasi myocyte dan relaksasi, Ca2+ dalam selular kembali terpisahkan oleh Ca2+ sarkoplasma retikuler ATPase. dan juga akan dikeluarkan dari sel oleh penukar Na+- Ca2+ (NCX) dan oleh Ca2+ sarcolemmal -ATPase. Kapasitas dari penukar untuk mengeluarkan Ca2+ dari sel tergantung pada konsentrasi Na+ intrasel. Pengikatan glikosida jantung ke sarcolemmal Na+,K+-ATPase dan penghambatan aktivitas pompa Na+ seluler
+

menghasikan

pengurangan tingkat aktifitas ekstrusi Na dan peningkatan sitosol Na+. Peningkatan Na+ intraseluler mengurangi gradien transmembran Na+ yang mendorong ekstrusi Ca2+ intraseluler selama repolarisasi myocyte. Dengan mengurangi pengeluaran Ca2+ dan masuknya kembali Ca2+ pada setiap kali potensial aksi, maka Ca2+ terakumulasi dalam myocyte: serapan Ca2+ ke dalam SR meningkat; ini juga meningkatkan Ca2+ sehingga dapat dilepaskan dari SR ke troponin C dan protein Ca2+-sensitif dari aparatus kontraktil lainnya selama siklus

34

berikutnya dari gabungan eksitasi-kontraksi, sehingga menambah kontraktilitas myocyte (Gambar 33-8). Peningkatan dalam pelepasan Ca2+ dari retikulum sarkoplasma adalah merupakan substrat biologis di mana glikosida jantung meningkatkan kontraktilitas miokard.

Glikosida jantung berikatan secara khusus ke bentuk terfosforilasi dari a subunit dari Na+, K+-ATPase. Ekstraselular K+ mendorong defosforilasii enzim sebagai langkah awal dalam translokasi aktif kation ke dalam sitosol, dan juga dengan demikian menurunkan afinitas enzim dari glikosida jantung. Hal ini menjelaskan sebagian pengamatan bahwa dengan meningkatnya ekstraselular K+ dapat membalikkan beberapa efek toksik dari glikosida jantung. Selain itu, digoksin juga bekerja secara aksi langsung pada otot lunak vascular dan efek tidak langsung yang umumnya dimediasi oleh system saraf otonom dan peningkatan aktivitas vagal (refleks dari system saraf otonom yang menyebabkan penurunan kerja jantung).

4.5. Indikasi Digoksin sebagai glikosida jantung digunakan untuk digitalisasi dan terapi pemeliharaan. Digoksin juga digunakan secara intravena (IV) untuk digitalisasi cepat pada kondisi darurat.

4.6. Dosis dan Cara Pemberian

Cara Pemberian Digoksin umumnya diberikan secara oral sebagai dosis harian tunggal. Sedangkan untuk bayi dan anak kurang dari 10 tahun, dosis harian sebaiknya diberikan dalam dosis terbagi. Guna tercapainya konsentrasi serum puncak yang lebih tinggi yang belum terbentuk, maka dosis harian terbagi direkomendasikan bagi pasien dengan kriteria berikut:

35

1. Bayi dan anak dengan umur kurang dari 10 tahun 2. Pasien yang memerlukan dosis harian 300 mcg atau lebih 3. Pasien dengan riwayat atau beresiko terhadap toksisitas dalam penggunaan glikosida jantung 4. Pasien tanpa masalah kepatuhan terapi, jika pasien cenderung melanggar kepatuhan maka dosis harian tunggal lebih

direkomendasikan Jika terapi oral kurang efektif atau karena diperlukannya efek terapi yang cepat, maka digoksin dapat diberikan melalui injeksi IV. Namun terapi oral harus segera menggantikan injeksi IV bila telah memungkinkan. Untuk injeksi IV, digoksin harus dilarutkan terlebih dahulu setidaknya 5 menit atau dilarutkan dengan 4 kali lipat atau lebih besar dari volume dengan menggunakan air untuk injeksi, dekstrosa 5%, atau NaCl 0,9% dengan lama pemberian sekurang-kurangnya 5 menit. Penyuntikan digoksin dengan volume pengenceran kurang dari 4 kali volume awal dapat menyebabkan presipitasi digoksin. Pelarutan digoksin harus dilakukan secara perlahan. Infus intravena lambat lebih direkomendasikan daripada pemberian secara cepat. Infus IV cepat digoksin dapat menyebabkan penyempitan arteriolar sistemik dan koroner, yang dapat berakibat fatal, pemberian digoksin ini harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah terlatih. Jika pengukuran dosis digoksin yang sangat kecil dengan menggunakan jarum suntik tuberkulin, maka ini akan berpotensi overdosis. Pencampuran digoksin dengan obat lain dalam satu jarum suntik, atau dengan pemberian simultan sangat tidak direkomendasikan.

Meskipun digoksin dapat juga diberikan melalui injeksi intramuskular (IM), namun cara pemberian ini kurang

direkomendasikan karena sering menyebabkan iritasi lokal yang parah disamping timbulnya rasa nyeri, disamping itu pemberian secara IV

36

dapat menghasilkan efek yang lebih cepat dan dapat diprediksi. Pemberian injeksi IM tidak memberikan keuntungan dibanding injeksi IV, kecuali jika injeksi IV dikontraindikasikan. Jika terpaksa obat harus diberikan melalui injeksi IM, maka obat harus diberikan jauh ke dalam otot dengan disertai pijatan dari tempat suntikan, dengan volume penyuntikan tidak boleh lebih dari 2 mL pada satu sisi tempat penyuntikan. Terapi digoksin oral seyogyanya segera menggantikan terapi injeksi tersebut.

Dosis Pertimbangan Umum Pedoman dosis yang diberikan didasarkan pada respon rata-rata pasien dan berbagai variabel substansial yang dapat diamati pada pasien. Penentuan dosis harus didasarkan pada kondisi klinis masingmasing pasien. Dokter umumnya mendasarkan pemilihan dosis

berdasarkan konsentrasi serum digoksin. Radioimmunoassay dapat digunakan untuk memantau efek khasiat dan toksisitas dari digoksin. Digoksin memiliki indeks terapi sempit, sehingga penentuan dosis harus sangat berhati-hati. Dosis biasa adalah dosis rata-rata yang pada beberapa pasien memerlukan modifikasi dengan memperhatikan kebutuhan dan respon tiap individu, kondisi umum, status

kardiovaskular, fungsi ginjal, berat badan dan usia pasien, kondisi penyakit penyerta, obat-obatan lain, dan faktor-faktor lain yang mungkin mengubah farmakodinamika dan farmakokinetika digoksin, dan konsentrasi plasma digoksin. Perbedaan ketersediaan hayati digoksin pada pemberian oral, IV atau IM harus diperhatikan saat pasien beralih dari satu rute pemberian ke rute pemberian lainnya. Tidak ada perbedaan yang berarti pada ketersediaan hayati sediaan oral digoksin baik yang berbentuk tablet maupun eliksir, kedua bentuk sediaan tersebut dapat digunakan secara bergantian. Namun saat rute

37

pemberian digoksin diubah dari oral atau IM ke IV, maka dosis digoksin harus dikurangi sekitar 20-25%.

Pertimbangan Pengurangan Dosis pada Pasien dengan Pemantauan EKG Pemantauan fungsi jantung dengan EKG harus dilakukan selama terapi digoksin pada kondisi: 1. Terapi digoksin diberikan secara intravena 2. Terapi digoksin diberikan secara oral dalam waktu lama 3. Bila terapi digoksin diberikan pada pasien dengan resiko reaksi negatif terhadap digoksin seperti pada pasien dengan penyakit jantung atau ginjal yang berat Dosis glikosida jantung, termasuk digoksin harus dikurangi pada kelompok pasien-pasien berikut: 1. Pasien dengan hipokalemia 2. Pasien dengan hipotiroid 3. Pasien dengan kerusakan miokard yang luas 4. Pasien dengan gangguan konduksi 5. Pasien geriatri, terutama bila disertai penyakit arteri koroner 6. Dosis digoksin individual harus diberikan pada pasien yang juga menerima terapi quinidin, karena eliminasi dan volume distribusi digoksin kemungkinan akan menurun Dosis bagi Pasien Gagal Jantung Kongestif Pada kondisi ini digoksin dapat diberikan baik secara digitalisasi cepat ataupun digitalisasi lambat yang berfrekuensi pada dosis maupun frekuensi pemberiannya. 1. Digitalisasi cepat (hanya jika diperlukan secara medis), loading dose digoksin harus diberikan dengan memperhatikan proyeksi

38

penyimpanan digoksin dalam tubuh. Dosis pemeliharaan harian harus mengikuti loading dose, dan dihitung sebagai prosentase dari loading dose. Puncak penyimpanan digoksin dalam tubuh umumnya sebesar 8-12 mcg/Kg BB yang akan memberikan efek terapi dengan resiko toksisitas mimimum pada pasien dengan gagal jantung kongestif, irama sinus normal, dan fungsi ginjal yang normal. 2. Digitalisasi lambat, terapi ini harus dimulai dengan dosis pemeliharaan harian yang tepat yang memungkinkan penyimpanan digoksin dalam tubuh secara perlahan. Konsentrasi steady-state umumnya akan dicapai dalam waktu 5 kali waktu paruh obat pada setiap pasien tergantung pada kondisi ginjal pasien. Umumnya memerlukan waktu 1-3 minggu. Loading Dose (Untuk Digitalisasi Cepat) Loading dose adalah pemberian obat dalam dosis terbagi dengan pemberian awal sekitar 50% dari total dosis, dan diikuti dengan fase pemberian berikutnya sebesar 25% pada interval 6-8 jam setelah pemberian pertama baik pada pemberian secara oral, IM maupun IV. Loading dose ini harus disertai dengan pemantauan klinis pasien terlebih bila dilakukan penambahan dosis. Jika berdasarkan respon klinisnya pasien memerlukan perubahan dosis, maka dosis

pemeliharaannya dihitung berdasarkan jumlah loading dose yang sebenarnya, yaitu dosis totalnya. Biasanya dosis inisiasi oral sebesar 500-750 mcg (0,5-0,75 mg) digoksin tablet, atau 400-600 mcg (0,4-0,6 mg) digoksin kapsul cair menghasilkan efek terdeteksi setelah 0,5-2 jam dan terjadi efek maksimal pada waktu 2-6 jam. Dosis tambahan sekitar 125-375 mcg tablet digoksin atau 100-300 mcg digoksin kapsul cair bila perlu dapat diberikan secara hati-hati pada 6-8 jam setelah pemberian dosis inisiasi hingga diperoleh respon klinis yang memadai.

39

Pasien dengan berat badan 70 Kg umumnya mendapatkan respon klinis yang memadai pada dosis 750-1250 mcg digoksin tablet atau setara dengan 600-1000 mcg digoksin kapsul cair. Dosis inisiasi IV umumnya adalah 400-600 mcg (0,4-0,6 mg) yang segera akan menghasilkan efek terdeteksi setelah 5-30 menit pemberian dan mencapai efek maksimum setelah 1-4 jam setelah pemberian pada pasien dewasa. Dosis tambahan 100-300 mcg digoksin dapat diberikan secara hati-hati setelah 6-8 jam setelah pemberian dosis inisiasi hingga diperoleh respon klinis yang memadai. Dosis IV digoksin pada pasien dewasa dengan berat badan 70 Kg adalah sekitar 600-1000 mcg.

Dosis Pemeliharaan Dosis pemeliharaan harian berfungsi untuk menggantikan digoksin yang tereliminasi dari tubuh pasien, maka dosis tersebut dapat diperkirakan dengan mengalikan prosentase eliminasi dengan

penyimpanan tubuh (loading dose) yang menghasilkan respon klinis memadai. Pasien dengan fungsi ginjal normal umumnya

mengeliminasikan sekitar 30% dosis harian total, sedangkan pasien anurik umumnya mengeliminasikan sekitar 14% dari total dosis harian digoksin. Dosis pemeliharaan digoksin pada pasien dewasa umumnya adalah 125-500 mcg sekali sehari, dosis harus dititrasi sesuai umur, berat badan, dan fungsi ginjal. Dosis pemeliharaan umumnya dimulai dengan dosis 250 mcg sekali perhari pada pasien dewasa dengan usia kurang dari 70 tahun dengan fungsi ginjal normal, dosis dapat ditingkatkan setiap 2 minggu sesuai dengan respon klinis. Sedangkan dosis pemeliharaan oral dengan kapsul cair umumnya sebesar 150-350 mcg setiap hari pada pasien dengan bersihan kreatinin lebih dari 50 ml/menit. Dosis pemeliharan digoksin IV biasanya 125-350 mcg sekali perhari pada pasien dengan bersihan kreatinin 50 ml/menit atau lebih.

40

Dosis pada Pasien Dewasa dengan Fibrilasi Atrial Penyimpanan digoksin tubuh lebih dari 8-12 mcg/Kg diperlukan untuk sebagian besar pasien gagal jantung koroner dan irama sinus normal untuk mengendalikan laju ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atrial. Dalam pengobatan pasien dengan fibrilasi atrial kronis, dosis digoksin harus dititrasi ke dosis minimum untuk menghasilkan efek yang diinginkan pada ventrikel. Dosis Pediatrik Dosis pada neonatus terutama bayi prematur harus dititrasi secara sangat berhati-hati karena kemungkinan klirensnya menurun. Bayi dan anak umur dibawah 10 tahun umumnya secara proporsional memerlukan dosis yang lebih besar dari anak umur lebih dari 10 tahun dan orang dewasa yang dihitung berdasarkan berat badan atau luas permukaan tubuh. Anak usia lebih dari 10 tahun memerlukan dosis dewasa dengan perhitungan berat badan anak-anak. Kapsul cair tidak direkomendasikan penggunaannya pada neonatus dan anak-anak. Dosis pemeliharaan pada anak usia 2-5 tahun dengan fungsi ginjal normal adalah 10-15 mcg/Kg BB, anak usia 5-10 tahun dengan fungsi ginjal normal adalah 7-10 mcg/Kg BB, sedangkan anak usia lebih dari 10 tahun dengan fungsi ginjal normal adalah 3-5 mcg/Kg BB. Dosis digitalisasi IV umumnya adalah 80% dari dosis tablet atau eliksir.

Dosis Geriatrik Pada pasien geriatrik dosis harus dikurangi terlebih bila pasien menderita penyakit jantung koroner. Usia lanjut dapat menjadi indikator adanya penurunan fungsi ginjal. Dosis pemeliharaan pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun umumnya dimulai dengan dosis 125 mcg sekali sehari peroral (daam bnetuk tablet).

41

Dosis pada Pasien dengan Penurunan Fungsi Hati Tak ada penyesuaian dosis untuk pasiendengan penurunan fungsi hati.

Dosis pada Pasien dengan Penurunan Fungsi Ginjal Dosis digoksin pada pasien dengan insufisiensi ginjal (bersihan kreatinin kurang dari 10 ml/menit, maka penyesuaian dosis ditentukan berdasarkan konsentrasi puncak penyimpanan digoksin dalam tubuh (6-10 mcg/Kg BB) karena penurunan fungsi ginjal ini akan mempengaruhi pola distribusi dan eliminasi digoksin. Dosis pemeliharaan digoksin pada pasien dewasa dengan gangguan fungsi ginjal dapat dimulai dengan 125 mcg sekali sehari (tablet) atau 62,5 mcg pada pasien yang ditandai mengalami kerusakan ginjal, dosis dapat ditingkatkan setiap 2 minggu sesuai dengan respon klinis.

4.7. Kontraindikasi Intermittent complete heart block ; Blok AV derajat II ; supraventricular arrhytmias yang disebabkan oleh Wolff-ParkinsonWhite Syndrome ; takikardia ventricular atau fibrilasi ; hypertropic obstructive cardiomyopathy.

4.8. Efek Samping Biasanya berhubungan dengan dosis yang berlebih, termasuk : anoreksia, mual , muntah, diare, nyeri abdomen, gangguan penglihatan, sakit kepala, rasa capek, mengantuk , bingung, delirium, halusinasi, depresi ; aritmia, heart block ; jarang terjadi rash, isckemia intestinal ; gynecomastia pada penggunaan jangka panjang , trombositopenia.

42

4.9. Interaksi dengan Obat lain Efek Cytochrome P450: substrat CYP3A4 (minor):

Meningkatkan efek/toksisitas : senyawa beta-blocking (propanolol), verapamil dan diltiazem mempunyai efek aditif pada denyut jantung. Karvedilol mempunyai efek tambahan pada denyut jantung dan menghambat metabolisme digoksin. Kadar digoksin ditingkatkan oleh amiodaron (dosis digoksin diturunkan 50 %), bepridil, siklosporin, diltiazem, indometasin, itrakonazol, beberapa makrolida (eritromisin, klaritromisin), metimazol, nitrendipin, propafenon, propiltiourasil, kuinidin dosis digoksin diturunkan 33 % hingga 50 % pada pengobatan awal), tetrasiklin dan verapamil. Moricizine dapat meningkatkan toksisitas digoksin . Spironolakton dapat mempengaruhi pemeriksaan digoksin, namun juga dapat meningkatkan kadar digoksin secara langsung. Pemberian suksinilkolin pada pasien bersamaan dengan digoksin dihubungkan dengan peningkatan risiko aritmia. Jarang terjadi kasus toksisitas akut digoksin yang berhubungan dengan pemberian kalsium secara parenteral (bolus). Obat-obat berikut dihubungkan dengan peningkatan kadar darah digoksin yang menunjukkan signifikansi klinik : famciclovir, flecainid, ibuprofen, fluoxetin, nefazodone, simetidein, famotidin, ranitidin, omeprazoe, trimethoprim. Menurunkan efek : Amilorid dan spironolakton dapat

menurunkan respon inotropik digoksin. Kolestiramin, kolestipol, kaolin-pektin, dan metoklopramid dapat menurunkan absorpsi

digoksin. Levothyroxine (dan suplemen tiroid yang lain) dapat menurunkan kadar digoksin dalam darah. Penicillamine dihubungkan dengan penurunan kadar digoksin dalam darah.

43

4.10. Sediaan Digoksin

Digoksin tersedia dalam bentuk tablet, eliksir, kapsul cair, dan injeksi.

Contoh sediaan injeksi digoksin

Contoh sediaan tablet digoksin

44

Contoh sediaan eliksir drop digoksin untuk anak-anak dan bayi

Contoh sediaan eliksir digoksin

Contoh sediaan kapsul lunak digoksin

45

ANALISA OBAT

1. Furosemide mg 40 setiap hari di pagi hari Sangat mungkin bahwa furosemid sedang diberikan kepada Mrs A sebagai terapi diuretik untuk mengobati retensi cairan yang biasanya terkait dengan Gagal Jantung kongestif. Dosis Mrs A dari 40 mg setiap hari di pagi hari adalah dosis awal standar namun harus disesuaikan dengan respon. Dosis pagi sudah benar diimplementasikan untuk mengurangi sulit tidur dan mengurangi gangguan lambung.Furosemide bisa meningkatkan sensitivitas Mrs A ke digoxin. Selain itu, diet kalium tinggi dapat membantu mengurangi kerugian kalium dan risiko hipokalemia sementara menghilangkan kebutuhan untuk suplemen kalium.

2. Digoxin 250 mikrogram sehari Digoxin digunakan untuk mengobati CHF. Dosis 250 mikrogram setiap hari jauh melebihi dosis pemeliharaan rutin untuk pasien usia seperti kasus tersebut. Dengan demikian Mrs A menderita toksisitas digoxin yang dapat diperparah dengan pemberian furosemid. Gejala Mrs A kebingungan, lekas marah kelelahan, dan gangguan visual merupakan gejala keracunan digoxin. Mylanta (yang juga digunakan) dapat menekan efektivitas digoxin namun dalam kasus ini dosis digoxin begitu tinggi sehingga Mylanta akan memiliki dampak minimal. Dosis digoxin Mrs A harus disesuaikan dengan kondisi klinis dan kadar serum nya dipantau. Digoxin harus diambil dengan makanan untuk mengurangi efek iritasi lambung yang dapat menyertai pengobatan

3. Parasetamol 500 mg, 1-2 tablet 4-jam jika nyeri sendi Parasetamol diberikan kepada Mrs A untuk mengobati rasa sakit yang terkait dengan osteoarthritis.Dosis yang diambil relatif tinggi. Parasetamol

46

tidak bereaksi negatif dengan obat lain yang diambil oleh Mrs A, namun dosis nya harus dipantau dan disesuaikan menurut kebutuhan.

4. Mylanta suspension, 20 ml prn

Mylanta yang mungkin digunakan untuk meningkatkan sensitivitas furosemide dan penurunan penyerapan pada digoxin.

47

KESIMPULAN ANALISA KASUS

Berdasarkan analisa obat yang telah dijabarkan, terjadi masalah penggunaan dosis yang tidak pantas. Mrs A menerima dosis berlebihan dalam penggunaan digoxin. Hal ini menyebabkan gejala keracunan digoxin yang terjadi pada Mrs. A. Dengan demikian Mrs A menderita toksisitas digoxin yang dapat diperparah dengan pemberian furosemid. Gejala Mrs A kebingungan, lekas marah kelelahan, dan gangguan visual merupakan gejala keracunan digoxin. Mylanta (yang juga digunakan) dapat menekan efektivitas digoxin namun dalam kasus ini dosis digoxin begitu tinggi sehingga Mylanta akan memiliki dampak minimal

48

DAFTAR PUSTAKA

1. Gailbraith, A, Bullock, S & Manias, E, Ed 2001, Fundamentals of Pharmacology. A textbook for nurses and allied health professionals. Australia: Addison-Wesley. 2. Estuningtyas, Ari dan Azalia Arif.2009. Obat Lokal dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal : 518-522. 3. Setiawati, Arini dan Nafrialdi. 2009. Obat Gagal Jantung dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal : 309-310. 4. Wilmana, P. Freddy dan Sulistia Gan.2009. Analgesik-Antipireutik, Analgesi-Anti inflamasi non steroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. H al : 237-239. 5. Setiawati, Arini dan Nafrialdi. 2009. Obat Gagal Jantung dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal : 305-306.

49

You might also like