You are on page 1of 11

Pendekatan Integrated Coastal Management di Xiamen China dan di Indonesia

A. KONDISI INTEGRATED COASTAL ZONE MANAGEMENT (ICZM) DI CINA 1). Kondisi Umum Republik Rakyat Cina (RRC) Cina memiliki pantai dengan tiga zona iklim, yaitu beriklim sedang, sub-tropis, tropis, dan tropis. Oleh karena itu berbagai macam spesies dalam sejumlah ekosistem berbeda. Rentang di zona pantai dari dataran pasang surut ke ekosistem delta sung sungai, termasuk aam laut, dan bahkan mencakup hutan bakau dan terumbu karang. Morfologi pantai bervarias dari batuan dasar ke pantai berpasir, beberapa daerah telah mengalami erosi, dengan memiliki panjang garis pantai 18.000 km, sementara wilayah pesisir did didefenisikan efenisikan salah satunya oleh Wang (1992) dalam Lau (2005), yaitu meliputi wilayah 10 km ke arah darat dan ke laut sampai kontur batimetri 15-20 15 m, sedangkan menurut SOA, 5-10 10 km ke arah darat dan 20 m isobath ke laut. Sementara konstribusi wilayah pesisir terhadap PDB nasional Cina sebesar 66%. Selain itu, perkembangan ekonomi kelautan Cina berkembang luar biasa. Sektor ekonomi kelautan tersebut termasuk: a) pendapatan primer: perikanan, budidaya perairan, dan sumberdaya mineral laut (sumber minyak lepas pantai antai serta mineral tanah), b) pendapatan sekunder: pariwisata, galangan kapal, dan transportasi laut bahkan jenis yang lebih tradisional seperti produksi garam dan obatobat obatan dari laut. Data resmi Pemerintah Cina melaporkan bahwa output industri kelautan mencapai total 350 miliar Yuan (RMB) pada tahun 1999, dengan wilayah yang paling berhasil seperti wilayah Guangdong, Shandong, Shanghai, Fujian, Zheijiang, dan Liaoning. Konsep pembangunan berkelanjutan telah dimasuk dalam agenda politik di Cina pada tahun tahu 1980-an, an, dan secara luas dipahami sebagai agenda 21 dan Deklarasi United Nations Conference on Environment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992. Dalam mengitegrasikan setiap kemungkinan masalah dan pengembangan menjadi m konsep adalah sebuah kesulitan. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memulai mengevauasi strategi dan teknologi. Evaluasi strategi dan teknologi dapat menjadi isu. Terakhir adalah aspek perencanaan dan implementasi. Pada tahap perencaaan dan implementa implementasi si perlu menekannkan pandanganpandangan pandangan orang Cina. 2). Persyaratan formal CZM dan Kondisi di Cina Secara umum aspek yang dianggap sebagai hambatan dalam melanjutkan ICZM adalah hal yang berkaitan dengan legislasi, badan pelaksana dan partisipasi publik. Publik menekankan pada unsur-unsur unsur sebagai persyaratan, karena sangat erat kaitannya dengan sistem politik. Hal ini mencerminkan apa yang disiapkan oleh pemerintah untuk mengizinkan dan faktor-faktor faktor yang tergantung pada struktur organisasi. Pelaksanaan CZM ZM harus memiliki fungsi konstitusional, yang berarti bahwa lembaga dibentuk dengan kewenangannya. Sebuah perencanaan CZM didukung oleh undang undang-undang undang atau peraturan mengenai wilayah pesisir. UU RRC di Laut Teritorial dan Zona Contigous (1992) dan Undang-Undang dang ZEE dan Continental Shelf RC (1998), Undang Undang-Undang Undang Penggunaan dan Pengelolaan Wilayah Laut (2001), memegang peranan yang sangat penting kaena merupakan satu-satunya satunya hukum yang secara eksplisit berkaitan dengan pengelolaan daerah baru yang dtetapkan untuk tuk kegiatan tertentu. Kemudian juga mengatur yurisdiksi atas laut antara State Oceanic Administrasi (SOA), Fishery Departement, dan Maritime Safety Administation. Selain

itu ada versi perubahan yang terkait, misalnya Law of Fisheries dari tahun 1986 (amandemen 2002), dan Marine Environmental Protection Law dari tahun 1982 (diamandemen 1999). Dalam pemerintahan demokratis, partisipasi stakeholders sangat penting. Di Cina, partisipasi publik difokuskan pada peningkatan kesadaran dan kegiatan pendidikan. Dalam implementasinya, partsipasi publik telah meningkat (menerima informasi) namun tidak aktif dalam pengambilan keputusan. Syarat umum lainnya yang berkaitan erat dengan sistem politik suatu negara berfokus pada badan pelaksana CZM. Biasanya lembaga pelaksana CZM dibentuk dengan balutan kepentingan ekonomi dibawa satu payung CZM. Lembaga CZM yang diusulkan ditekankan perlunya status politik tertinggi dan kepemimpinan yang jelas. SOA bertanggungjawab atas CZM. Sejak didirikan lebih dari 40 tahun yang lalu, telah mengalami perubahan-perubahan besar dalam hal tanggungjawab, defenisi dari tugas-tugas utama, dan sub ordinasi ke tingkat yang lebih tinggi. SOA berada dibawah Departemen Pertanahan dan Sumberdaya (Ministry of Land and Resource, MLR). Berdasarkan pengalaman Cina, semakin banyak unit pengelola yang terlibat, maka akan semakin sulit untuk dalam pembagian kewenangan dan koordinasi. Pada dasarnya, penelitian ilmiah pada kondisi pesisir dan proses-proses alam serta pemantauan indikator untuk mengevaluasi langkahlangkah yang diterapkan dianggap paling penting dalam siklus CZM. di Cina pada tahun 1980an, survey ilmiah di wilayah pesisir dan dataran pasang surut diperkenalkan sebagai era baru, yang bertepatan dengan reformasi ekonomi dan administrasi Deng Xiaoping. Survey di wilayah pantai dari tahun 1980-1986, diikuti oleh survey laut dan pulau dari 1988-1993. Tahun 1999 merupakan perubahan besar dari penelitian untuk isu-isu pengelolaan. Dalam membangun SOA, secara bertahap diberi tanggung jawab baru. Sebagai contoh, pada tahun 1989, kantor SAO diberi tanggungjawab pembentukan dan pengalokasian cagar alam laut dan kawasan perlindungan laut. Namun tidak berarti bahwa kewenangan atas pesisir dan laut selalu jelas. Misalnya, State Evironmental Protection Agency (SEPA), hanya memberikan perbedaan cagar alam dan area yang dilindungi. 3). Sistim politik Cina Sistem politik dan budaya politik paling menentukan struktur kekuasaan dalam politik Cina. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi aspek-aspek formal institusional dan aspek informal, seperti karakteristik budaya yang unik. Kekuatan aspek informal budaya. Aspek utama budaya politik Cina ditemukan dalam hubungan jaringan yang disebut guanxi, yaitu politis, adalah hubungan patronase; karier politik hanya mungkin dengan perlindungan resmi yang lebih senior. Sosial, guanxi menunjukkan berbagai jenis pribadi dan jaringan sosial, misalnya jaringan sesama alumni, kelompok-kelompok pribadi mulai dari tentara, sampai kelompok-kelompok kepentingan, keluarga atau marga. Setiap hubungan guanxi ini didasarkan pada saling menguntungkan. Kebanyakan ilmuan yang bekerja pada bidang ini (aspek kekuasaan informal) menekankan bahwa, guanxi sering menghasilkan lingkungan yang korup, ini sangat menghambat efektifitas ICM. Apek kekuatan formal Aspek formal adalah struktur kas negara Leninis. Dimana tidak ada pemisahan, kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif yang semuanya di pegang oleh satu agen, di Cina adalah Partai Komunis Cina, dimana tidak ada perbedaan antara partai dan pemerintah. Untuk menjelaskan kendala dalam proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan lingkungan, keseimbangan struktur kekuasaan vertikal dan horisontal yang disebut kuai-tiao-

system. Yang paling penting adalah kementrian memegang kakuatan yang sama posisinya sebagai pemerintah daerah dengan cara ini kementrian tidak dalam posisi memberikan perintah langsung ke tingkat lokal. Hubungan vertikal tiao menunjukan satu arah distribusi tenaga, untuk sebagaian besar di tafsirkan sebagai perinatah yang mengikat, sedang hubungan kuai jauh lebih terbuka untuk negosiasi karenanya dapat dianggap efektif dalam dua arah. Akibatnya, kekuatan lembaga-lembaga ditingkat lokal sangat tergantung pada hubungan kekuasaan pemerintah daerah ke pusat. Organisasi pemerintah Cina terdiri atas pusat, provinsi, prevekture, kabupaten dan tingkat kota. Tingkat provinsi (shengji) mencakup semua provinsi, kota madya secara langsung di bawah Dewan Negara (State Council). Distribusi tenaga administratif di Cina di fokuskan pada pusat-daerah, yang kebanyakan membawa dimensi hirarkis atau hubungan antar lokal yang semakin mencerminkan situasi persaingan. Sejak reformasi ekonomi dan administrasi 1979 kekuasaan pusat telah banyak di transfer ketingkat lokal. 4). Dampak dari sistim politik Cina CZM dan reformasi administrasi Dalam konteks pengelolaan kawasan pesisir perubahan signifikan yang bertangung jawab dan instansi terkait akan di jelaskan sebagai berikut. Agen utama untuk pengelolaan kawasan pesisir adalah SOA, yang sebelumnya (dalam terjemahan) National Bureu of Oceanografy. Hingga 1993 statusnya langsung di bawah dewan negara. Hal ini memberikan status lembaga yang paling mungkin memiliki kekuatan kemandirian dan administrasi. Pada saat yang sama tanggung jawab lembaga telah diperpanjang yang di dominasi oleh kegiatan pengelolaan kawasan pesisir. Sebagai contoh pada tahun 1989 diberikan tanggung jawab atas pendirian, administrasi dan menejement Marine Protected Area dan Marine Nature Reserves. Pada 1993, SOA dimasukan kedalam Commission of Science and Technology (CST). Pada tahun 1998, reorganisasi struktur dan tanggung jawab adminstrasi. Jadi selama keempat reformasi administrasi, SOA telah dimasukan ke dalam bentuk MLR.Hal ini mencerminkan kembali organisasi sedikit peningkatan, SOA saat ini menjadi kompatibel ke unit management dari MLR. Perbedaan penting adalah MLR tidak terlibat dalam keuangan SOA. Pada saat yang sama CST berubah menjadi pelayanan tanpa perubahan tanggung jawab yang besar. Dalam hal perlindungan alam, di wilayah pantai tidak dikelola oleh SOA atau oleh Biro Nasional Kehutanan (National Bureu of Forestry) yang bertanggung jawab terhadap mangrove. Lembaga penting lainnya di kawasan pesisir adalah departemen pertanian (Ministry of Agriculture) dengan Departemen of Fishery, oleh karena itu kepentingan daerah yang signifikan di wilayah pesisir sebagai bagian dari pembagian sumberdaya. Sejak 1998 tujuan dari SOA telah menjadi lebih banyak dan tanggung jawabnya meluas kepada manajemen dan kelembagaan koordinasi. Namun hal ini dapat di tafsirkan pada tiga tingkatan, yaitu : 1) tanggung jawab internal mencakup manajemen semua lembaga dan kantor-kantor yang terlibat mulai dari perencanaan dan pengelolaan laut keberbagai lembaga dari oseanograpy dan penelitian lembaga lainnya, misalnya Journal of China Ocean Press in Beijing; 2) tanggung jawab eksternal adalah usaha untuk mengkoordinasikan semua lembaga yang terlibat dalam pengelolaan daerah pesisir yang akan menjadi tugas departemen SOA; dan 3) hal ini mungkin menyarankan kerjasama internasional yang dilaksanakan oleh kerjasama internasional departemen SOA

Isu-isu CZM SOA menekankan tujuan dalam menjaga hak dan kepentingan pengelolaan wilayah laut, mengkoordinasikan pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya kelautan, melindungi lingkungan laut, dan mitigasi bencana alam. Fungsi zonasi wilayah laut sebagian besar dianggap sebagai sarana CZM. Namun, di Cina di tekanan diletakan pada rencana pembangunan laut, industri kelautan dan marginal di daerah perlindungan laut. SOA bekerja sama dengan lembagalembaga pemerintahan tertentu lainnya, antara lain: the Ministry of Science and Technology (MST), the Chinese Academy of Sciences (CAS), the Ministry of Land and Resources (MLR), the State Environmental Protection Administration (SEPA), the National Bureau of Forestry (NBF), and the Ministry of Agriculture (MOA) with its Fishery Department. Secara ilmiah, terkait zonasi atau sumberdaya lingkungan dan isu-isu yang signifikan yang berorientasi pada tumpang tindih fungsi dapat terjadi. Dalam rangka untuk menyelidiki sifat dan isi tumpang tindih tersebut, harus dikelopokan sesuai dengan status kerja sama. Dalam gambar 3 di atas, tugas-tugas yang sesuai dengan program SOA dimasukan kedalam matriks CZM. 4). Pendekatan lokal CZM di Cina Berikut akan dibahas tentang pendekatan CZM di kota Xiamen yang telah berhasil menerapkan CZM dibandingkan dengan pendekatan CZM di Indonesia. CZM di Xiamen telah didukung oleh lembaga internasional yang bergantung pada system profesional awal partisipasi dan struktur, yan berorientasi pada masalah (seperti piramida berdiri). Perencanaan dan pelaksanaan utama adalah sebuah komite eksekutif tterlibat erat dengan pemerintah setempat. Tanggungjawab terletak pada walikota, yang juga mengawasi Committee executive dan SOA ke Committee executive dapat dianggap sama. Selanjutnya, administrasi serta pemangku kepentingan ekonomi (dalam kerjasama dengan Science and Technology Commission dalam menangani masalah teknis) memiliki awal khususnya input ke dalam tahap pelaksanaan. Science and Technology Commission juga memiliki masukan praktis terhadap pelaksanaan. B. KONDISI INTEGRATED COASTAL ZONE MANAGEMENT (ICZM) DI INDONESIA Beberapa proyek di Indonesia yang dibiayai oleh dana APBN, APBD maupun oleh lembaga donor dari luar negri seperti Work Bank, ADB, AUSAID, dan lain sebagainya. Proyek tersebut sebagaimana yang kita kenal, seperti MREP, CRMP, COREMAP dan lain sebagainya. Kenyataannya bahwa seringkai begitu proyek atau program selesai dilaksanakan tetapi dampak dari proyek atau program tersebut tanpa bekas (tidak berkelanjutan karena tergantung pada proses pendanaan). Program kadang tidak menunjukkan keberhasilan yang berarti dan hanya meninggalkan beberapa persoalan baru. Terjadinya fenomena seperti ini tidak terlepas dari peran para perencana dan pengelola proyek atau program yang gagal mempertimbangkan faktor-faktor keberlanjutan proyek atau program dalam desain awal. Makalah ini mencoba membandingkan pengelolaan pesisir terpadu di Cina dan di Indonesia. Mengenai permasalahan ini, kami mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan program pembangunan khususnya program pengelolaan pesisir terpadu. Diharapkan tapping point dari pengelolaan yang telah berhasil (seperti di Xiamen, Cina) dapat diintroduce dalam pengelolaan pesisir terpadu di Indonesia khususnya yang diidentifikasi dalam makalah ini dan semoga memberi manfaat kepada pihak-pihak yang berkepintingan (perencana, pengelola dan pelakasana, serta para pemerhati) dalam penyelenggaraan pengelolaan pesisir

terpadu di mana saja. 1). Wilayah Pesisir dan ICZM di Indonesia Definisi wilayah pesisir masih menjadi perdebatan banyak pihak mengingat sulitnya membuat batasan zonasi wilayah pesisir yang dapat dipakai untuk berbagai tujuan kepentingan. Kay and Alder (1999) mengelompokkan pengertian wilayah pesisir dari dua sudut pandang yaitu dari sudut akademik keilmuan dan dari sudut kebijakan pengelolaan. Dari sisi keilmuan Ketchum, 1972 sebagaimana yang diacu Kay and Alder (1999) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai sabuk daratan yang berbatasan dengan lautan dimana proses dan penggunaan lahan di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan sebaliknya. Sedang dalam Supriharyono (2000), wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air laut. Sedangkan ke arah laut, mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh karena kegiatan manusia di darat, seperti penggundulan hutan dan pencemaran. UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir didefenisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut (pasal 1 ayat 2). Namun dalam kepentingan pengelolaan atau wilayah perencanaan, UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil membatasi ruang lingkup pengelolaannya meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai (pasal 2). 2). Persyaratan Formal ICM di Indonesia Landasan hukum pelaksanaan CZM di Indonesia, sudah sejak lama disusun, namun di dalam pelaksanaannya seringkali belum maksimal. Dalam tingkat pemerintahan, CZM di Indonesia telah diperkuat dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam undangundang tersebut, disebutkan salah satunya bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan mengatur wilayah perairan yang ada di wilayahnya sejauh 4 mil dari garis pantai. Di dalam pelaksanaan CZM secara teknis, juga telah diatur mengenai pembagian kawasan strategis berdasarkan peruntukannya dengan kewenangan tertentu oleh masing-masing tingkat pemerintahan, yaitu di dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti UU No. sebagai pengganti UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang. Namun yang lebih teknis dan lebih rinci, implementasi CZM praktis telah diatur dengan lahirnya UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di Indonesia, implementasi proyek CZM sangat sulit tanpa melibatkan partisipasi berbagai instansi/lembaga maupun kelompok masyarakat. Di dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil khususnya, konsep integrated telah menjadi salah satu asas (Bab II pasal 3). Namun tidak berarti bahwa semakin tinggi instansi atau lembaga terlibat akan menjamin keberhasilan dari program ICZM. Ini agak berbeda berdasarkan pengalaman Cina, semakin banyak unit pengelola yang terlibat, maka akan semakin sulit untuk dalam pembagian kewenangan dan koordinasi (Lau, 2005). 3). Pembelajaran untuk CZM di Indonesia

Berikut beberapa catatan tentang kasus pengelolaan pesisir terpadu di Indonesia. Kasus yang dibahas adalah kasus yang terjadi di Sulawesi Utara (Taman Nasional Bunaken) dan di Jawa Tengah (Segara Anakan). Kasus-kasus di dua lokasi ini terdokumentasi di Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Edisi Khusus, No. 1, 2003. Kasus lain adalah hasil evaluasi the Coastal Resouce Management Project (CRMP) yang dilaksanakan di propinsi-propinsi Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Kasus di luar negeri diambil dari buku Cincin-Sain dan Knecht (1998) yang merangkum pengalaman pelaksanakan program pengelolaan pesisir dan lautan terpadu di 58 negara di dunia. Selain itu, Clark (1996) memuat kasus-kasus internasional yang menarik. Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Christie (2003) menemukan kasus yang menarik di Taman Nasional Laut Bunaken di propinsi Sulawesi Utara, dengan membandingkan dua lokasi di Taman Nasional Laut Bunaken, yaitu perairan di selatan Pulau Nain dan perairan Alung Banoa dan lainnya di sebelah selatan Pulau Bunaken. Ada perbedaan yang cukup tajam antara dua lokasi ini. Di sekitar Pulau Nain tidak ada zona larang tangkap dan belum terdapat kegiatan pengelolaan kawasan konservasi atau zonasi. Sebaliknya, di Pulau Bunaken dan wilayah perairan lautnya telah dilakukan zonasi secara partisipatif dan telah ditetapkan dua zona larang tangkap. Di lokasi ini juga telah lama dilaksanakan program pengelolaan kawasan konservasi, yaitu Natural Resource Management Program. Di samping itu penduduk Pulau Nain dikenal sebagai penangkap ikan illegal dan pembudi-daya rumput laut yang kurang memperhatikan kelayakan lingkungan. Hasil kajian di dua lokasi menunjukkan bahwa secara umum kondisi terumbu karang dan jumlah ikan di selatan Pulau Naim lebih baik dari wilayah selatan Pulau Bunaken. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah bahwa penduduk Pulau Naim, walaupun masih meneruskan kegiatan penangkapan ikan, telah memiliki kesibukan lain yaitu budidaya rumput laut yang secara ekonomi menghasilkan tambahan penghasilan keluarga yang signifikan. Dengan demikian tekanan penduduk terhadap terumbu karang dan komunitas ikan semakin menurun. Hal ini tampaknya sangat sederhana dan obvious, namun kebenarannya tidak perlu diragukan. Orang yang kelaparan cenderung untuk menggunakan berbagai cara untuk mengatasi kelaparannya, termasuk cara-cara yang kurang bersahabat terhadap alam. Dalam hal suatu program pengelolaan pesisir terpadu yang menyediakan jasa dan sarana kepada komunitas pesisir yang tingkat ekonominya kurang memadai, Beatly (2002) mengingatkan bahwa pengalaman di Amerika Utara faktor pemerataan dan keterjangkauan (equity dan affordability) merupakan faktor yang sangat penting terhadap kelanjutan keberhasilan program. Proses Perencanaan dan Pengambilan Keputusan Pollnac et al. (2003) dalam penelitiannya yang dilakukan di dua lokasi terpisah, yakni di wilayah Cilacap, Jawa Tengah, sehubungan dengan Coastal Resources Management (CRM) dan Segara Anakan Conservation and Development Project, dan di Taman Nasional Laut Bunaken di Sulawesi Utara sehubungan dengan Natural Resource Management Project (NRMP-1) menemukan bahwa peranserta pihak-pihak yang berkepentingan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek, baik secara individu maupun secara bersama-sama, berperan sangat penting sebagai faktor utama penentu keberlanjutan program pengelolaan pesisir terpadu. Peranserta tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh beberapa hal. Para pemangku kepentingan bersedia untuk berperanserta karena mereka melihat (a) manfaat yang diharapkan akan diperolehnya (perceived benefits), (b) kemungkinan pemerataan manfaat di antara para

pemangku kepentingan, dan (c) keberlanjutan manfaat setelah proyek selesai. Oleh karena para pemangku kepentingan berperanserta dalam perencanaan proyek dan merasa memainkan peran dalam membidani lahirnya proyek, maka mereka merasa bahwa proyek tidak dipaksakan dari luar. Christie (2003) juga mensinyalir bahwa dukungan seluruh pemangku kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi, di antara konsituen (seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan, pejabat pemerintah, LSM, dan konsevasionis) akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkah-langkah proaktif. Ketidakpuasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, bisa mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan pesisir terpadu karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan disepakati. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa peranserta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan pesisir terpadu, baik secara individu atau secara bersama-sama, cenderung berakibat pada kesesuaian kegiatan proyek dengan keinginan mereka daripada proyek yang dipaksakan dari luar. Peranserta seperti ini menumbuhkan rasa memiliki di kalangan pihak-pihak yang berkepentingan dan meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir. Perasaan memiliki digabungkan dengan peningkatan keberdayaan masyarakat pesisir dan kesesuaian kegiatan pengelolaan pesisir terpadu dengan kondisi lokal tampak telah berdampak pada keberlanjutan kegiatan pengelolaan pesisir terpadu oleh masyarakat pesisir sendiri setelah proyek selesai. Seluruh proses perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pengelolaan pesisir terpadu hendaknya didukung dengan informasi ilmiah yang diperoleh melalui riset dan pengalaman empiris. Informasi ilmiah sangat diperlukan untuk membantu memahami permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan untuk memberi arah pengelolaan pesisir terpadu, karena begitu kompleksnya permasalahan yang ada di wilayah pesisir. Kaitan antara lingkungan hidup, sumber daya alam, dan faktor sosial-ekonomi masyarakat pesisir merupakan hubungan yang sangat kompleks yang memerlukan penjelasan ilmiah dari ilmu-ilmu yang terkait. Tanpa dukungan informasi ilmiah, mustahil untuk dapat memahami penyebab-penyebab mendasar yang mengakibatkan timbulnya permasalahan-permasalahan di wilayah pesisir. Kondisi demikian menjadi ironis di Indonesia, dimana seringkali kajian ilmiah hanya menjadi dokumen tanpa tindaklanjut. Selain itu, porsi untuk kajian ilmiah di dalam proses perencanaan hanya sedikit padahal kajian ilmiahlah yang harus dijadikan landasan dalam perencanaan dan sekaligus menjadi evaluasi dan pembelajaran. Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang yang inklusif, transparan, dan didukung oleh pengetahuan ilmiah ini sebenarnya dirancang untuk mencapai beberapa keluaran penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan kegiatan pengelolaan pesisir terpadu. Keluarankeluaran dari proses perencanaan dan pengambilan keputusan ini tampak sejalan dengan yang dianggap sebagai enam parameter berkelanjutan pengelolaan pesisir terpadu oleh Bengen sebagai berikut: (1) sesuai dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal; (2) sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat; (3) didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia dan kelembagaan; (4) keterlibatan aktif stakeholder; (5) memiliki rencana dan program yang jelas; (6) memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Keenam faktor ini tentu akan lebih lengkap dengan tambahan faktor ketujuh (7), yaitu dukungan informasi ilmiah. Sievanen (2003) dalam studinya mengenai Komunitas Berpindah dan Implikasi Keberlanjutan memberi catatan khusus, yaitu bahwa wisata bahari sebagai mekanisme pengenalan modal

internasional dan kekuasaan negara justru sering berakibat buruk, yaitu marginalisasi pengguna sumber daya pesisir yang telah ada. Lebih lanjut dia berargumentasi bahwa wisata bahari secara inheren memperbesar kemungkinan termaginalisasinya para pengguana sumber daya pesisir yang telah ada. Oleh karena itu, dia merekomendasikan dua hal. Pertama, perlunya mendefinisikan secara lebih tegas komunitas yang hendak dijadikan sasaran untuk diberdayakan oleh suatu program ICZM, karena sering dijumpai ketidak-jelasan mengenai siapa yang akan diuntungkan oleh suatu program pengelolaan pesisir terpadu. Kedua, kemitraan antara sektor publik dan sektor dunia usaha yang saat ini sedang digiatkan dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pembangunan lingkungan hidup hendaknya mencakup komunitas yang hidupnya tergantung pada sumber daya pesisir dan lautan (coastal and marine-dependent communities), karena sering justru mereka yang termaginalkan. Penutupan Proyek secara Tepat Satu faktor yang tampak kecil namun penting dan sering terlupakan oleh para penyelenggara program pengelolaan pesisir terpadu adalah cara penutupan suatu program. Hanson (2003) mengatakan the ability to wind down activities is about as important as the capacity to start new initiatives in a project that seeks to Penyelesaian suatu proyek harus benar-benar memperhatikan keberlanjutan dari apa-apa yang telah dicapai oleh proyek. Apabila tidak, bisa jadi suatu proyek yang telah dianggap sangat berhasil, baik dalam pengertian ekologi maupun ekonomi, akan berhenti seperti pasar malam, tidak meninggalkan dampak yang berlanjut. Kerangka Hukum yang Memadai Begitu pentingnya kerangka hukum dalam pengelolaan pesisir terpadu, Patlis (2003) mengatakan perhaps no field more than the management of coastal resources requires a well functioning legal system for its success. Lebih lanjut disebutkan bahwa keberlanjutan pengelolaan pesisir terpadu terhalangi oleh systemic issues yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundangan (statutory drafting) serta interpretasi dan pemecahan masalah (interpretation and resolution) dalam sistem hukum, terlepas dari penerapan dan penegakan hukum yang sering dijadikan sebagai alasan kegagalan. Hukum hendaknya dapat menciptakan kondisi yang kondusif untuk pengelolaan pesisir terpadu secara berkelanjutan. Oleh karena itu, kerangka hukum perlu mendapat perhatian dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pengelolaan pesisir terpadu dari awal hingga akhir. Dengan pola pikir bahwa creating an integrated system is not about drafting laws and regulations that look good on paper but rather about designing norms that are rooted in peoples beliefs (De Soto 2000) dan law is better viewed as a process for decision making (Reisman 1987) sebagaimana yang diacu dalam Wiyana (2004). Selain itu, Patlis (2003) mengatakan bahwa peranserta menjadi fungsi sistem hukum, transparansi dan akses terhadap informasi menjadi fungsi sistem hukum, akses terhadap keadilan dan alokasi yang merata menjadi fungsi sistem hukum. Apa yang dikatakan Patlis di atas telah diupayakan pelaksanaannya di tiga lokasi di Sulawesi Utara (Blongko, Talise, dan Bentenan-Tumbak) oleh the Coastal Resources Management Project (CRMP). Program pengelolaan pesisir terpadu di tiga lokasi tersebut dilengkapi dengan perangkat hukum yang memadai mulai dari tingkat desa (Perdes), tingkat kabupaten (Perda Kabupaten), dan tingkat propinsi (Perda Propinsi), yang kesemuanya disusun secara transparan dan partisipatif. Perda Kabupaten Minahasa telah menetapkan sebesar prosentasi tertentu dari APBD-nya untuk dialokasikan di Kabupaten Minahasa setiap tahunnya guna pendanaan program pengelolaan pesisir terpadu. Di samping perangkat hukum di tingkat daerah tersebut, kini

Pemerintah sedang menyusun rancangan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir terpadu secara nasional. Desain Program dengan prinsip ICM Selain faktor-faktor di atas, desain program pengelolaan pesisir terpadu juga turut berpengaruh terhadap keberlanjutan. Hanson (2003) menemukan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan Coastal Resources Management Project di Indonesia, dilihat hari visibilitas dan pengaruhnya, adalah desainnya yang fleksibel yang bisa beradaptasi dengan perubahan sosial politik yang terjadi di sekitarnya. Dapat diumpamakan bahwa suatu proyek atau program sebagai sebuah senapan yang didesain untuk menembak suatu sasaran tertentu, maka apabila tata-letak sasaran yang akan ditembak berubah maka senapannya pun harus ikut beradaptasi dengan tataletak tersebut, apabila tidak maka tembakannya akan meleset dari sasarannya. Apabila suatu proyek atau program pembangunan tidak bisa berubah mengikuti perubahan sosial politik yang ada, maka besar kemungkinan proyek atau program tersebut akan gagal memecahkan persoalan yang ingin diselesaikannya. Hal yang lebih penting adalah desain program pengelolaan pesisir terpadu hendaknya memenuhi prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Cincin-Sain (1998) merangkum prinsipprinsip pengelolaan pesisir terpadu yang telah disepakati secara internasional, yaitu prinsip pemerataan antar generasi (intergenerational equity), kehati-hatian (precautionary), pencemar membayar (polluters pay), menyeluruh atau holistik, dan antar disiplin ilmu (interdisciplinary). Aplikasi prinsip-prinsip ini dalam desain program atau proyek, selain akan membantu keberhasilan program atau proyek tersebut dalam mencapai keluaran-keluaran yang diinginkan, akan membantu keberlanjutan kegiatan pengelolaan pesisir terpadu setelah proyek selesai. C. KESIMPULAN CZM DI CINA DAN DI INDONESIA Konsep Integrated Coastal Management (ICZM) perlu pendefenisian secara luas agar dapat diterapkan di daerah lain. Karena sistem politik di Cina dan situasi sosial ekonomi, faktor-faktor yang menentukan kebijakan dan pelaksanaan struktur CZM perlu didefenisikan kembali dengan realitas politik yang ada. Dengan demikian pengertian CZM Cina misalnya, sebagian besar mengabaikan partisipasi publik sebagai salah satu faktor penting dari CZM. Pentingnya partisipasi publik dalam penerapan CZM di Indonesia telah sarankan, namun pada kenyataannya belum optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan krusial, termasuk kendala teknis, anggaran terbatas, perilaku pelaksana proyek, dan lain sebagainya. Namun keterlibatan instansi/lembaga yang terlalu banyak juga akan mempengaruhi keberhasilan dari program CZM sebagaimana yang di Xiamen, Cina. Meskipun implementasi CZM di berbagai daerah dapat berbeda-beda, tetapi pengalaman dari CZM di Xiamen, Cina perlu dijadikan sebagai pelajaran. Di tingkat nasional, organisasi kelembagaan badan pelaksana memiliki posisi yang penting terutama dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan program. Koordinasi dari setiap badan/instansi yang terkait (memiliki kepentingan dalam wilayah pesisir) merupakan tantangan yang besar tidak terkecuali di Cina maupun di Indonesia. Tampaknya bahwa kejelasan kewenangan sangat penting. Tumpang tindihnya tanggungjawab dan kewenangan seringkali menghambat pembangunan dan karenanya membutuhkan solusi yang lebih baik. Salah satunya adalah penjelasan batasan kewenangan yang sering menjadi tumpang tindih. Di Indonesia, beberapa ekosistem maupun sumberdaya yang menjadi domain dari Departemen Kelautan dan

Perikanan masih dibawah kewenangan departemen lain, seperti pengelolaan Taman Nasional Laut yang masih dibawah kewenangan Departemen Kehutanan. Selain kewenangan yang belum jelas, sering pemanfaatan sektor lainnya mendominasi sektor lain karena alasan ekonomi, misalnya sektor pertambangan yang selalu mengalahkan sektor perikanan. Dalam Chua Thia Eng (2006), ada dua pembelajaran yang didapatkan dari pengalaman di Xiamen, yaitu 1) sebab masalah di Xiamen sistematik, respon sistematik-berbasis integratif dan aksi koordinasi- menjadi utama. Kreasi dari mekanisme koordinasi hasil dari promosi pilihan kebijakan dan keputusan yang berbasis prioritas dan kapasitas yang tersedia, tetapi dengan evaluasi realistis dari dampak pada keseluruhan sistem: sektor ekologi, sosial, dan ekonomi; dan 2) sebab mekanisme koordinasi tidak sesederhana birokrasi bidang yang lain, Xiamen mengambil langkah lebih awal untuk efisiensi kelancaran yang berbeda melalui harmonisasi fungsi inter-agen dan operasi. Formulasi awal dari implementasi CZM dapat diterapkan untuk memperkuat SOA di Cina dapat dijadkan sebagai pelajaran. Begitu juga di Indonesia, dimana kelembagaan Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (dibawah Departemen Kelautan dan Perikanan) mungkin saja disejajarkan dengan SOA di Cina, harus dapat diperkuat, dan juga kemungkinan menaikkan status dari lembaga yang ada oleh pemerintah pusat. Kami menyarankan Dirjen P3K ini dapat ditingkatkan paling tidak menjadi sebuah kementrian.

BACAAN TAMBAHAN Badan Pusat Statistik Indonesia. 2009. Indikator Kesejahteraan Rakyat tahun 2008. Diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta. Beatly, T., D. J. Brower, and A. K. Schawab. An Introduction to Coastal Zone Management. Second Edition. Island Press, Washington DC, 2002. Chua Thia Eng, 2006. The Dynamics of Integrated Coastal management. Practical Applications in the Sustainable Coastal Development in East Asia. Published by the GEF/UNDP/IMO Regional Programme on Building Partnerships in Environmental Management the Seas of East Asia (PEMSEA). Cincin-Sain, B., and R. W. Kneck. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices. ISLAND PRESS, Washington DC. Clark, J.R. 1996. Coastal Zone Management Hand Book. Lewis Publisher, New York. Dahuri R, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, dan M.J Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan ke-3 Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisr dan Pulau-Pulau Kecil. Publikasi: Divisi Hukum, Organisasi, and Humas, Direkorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan

Ruang. Diterbikan oleh Sinar Grafika. Jakarta Hanson J., A., I. Agustine, C. A. Courtney, A. Fauzi, S. Gammage, and Koesoebiono. An Assessment of the Coastal Resource Management Project (CRMP) in Indonesia, CRC/URI, 2003. Hutabarat.A.A, Fredinan Yulianda, Achmad Facrudin, Sri Harteti, dan Kusharjani. 2009. Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu. Penerbit Pusdiklat Kehutanan-Departemen Kehutanan RISECEM Korea International Coorporation Agency. Jakarta. 171 Hal. Kay R, and Jacqueline Alder. 1999. Coastal Planning and Management. Published by E & FN Spon, an imprint of Routledge 11 New Fetter Lane. London EC4P 4EE. Lau M, 2005. Integrated coastal zone management in the Peoples Republic of ChinaAn assessment of structural impacts on decision-making processes. Ocean & Coastal Management 48: 115159 Patrick Christie, Daisy Makapedua, dan L.T.X. Lalamentik, Bio-Physical Impacts and Links to Integtrated Coastal Management Sustainability in Bunaken National Park, Indonesia dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources (Special Edition, No. 1, hlm. 8. Pollnac R., R. Pomeroy, and L. Bunce. Factors Influencing the Sustainability of Integrated Coastal Management Project in Central Java and North Sulawesi, Indonesia dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1. Dewan Kelautan Indonesia. 2008. UNCLOS, 1985 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS. Jakarta Sievanen L. Shifting Communities and Sustainability Implications dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengeolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Wiyana A. 2004. Faktor Berpengaruh Terhadap Keberlanjutan Pengelolaan Pesisir Terpadu (P2T). Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702). Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor

You might also like