You are on page 1of 16

RESPONS IMUN INFEKSI HIV

Sel limfosit CD4 merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, terganggunya homeostasis dan fungsi sel-sel lainnya dalam sistem imun tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan berbagai gejala penyakit dengan spektrum yang luas. Gejala penyakit tersebut terutama merupakan akibat terganggunya fungsi imunitas seluler, disamping imunitas humoral karena gangguan sel T helper (TH) untuk mengaktivasi sel limfosit B. HIV menimbulkan patologi penyakit melalui beberapa mekanisme, antara lain: terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan infeksi oportunistik, terjadinya reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas dan kecenderungan terjadinya malignansi atau keganasan pada stadium lanjut.1-6

undefined Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama, yaitu transmisi melalui mukosa genital, transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. Untuk bisa menginfeksi sel, HIV memerlukan reseptor dan reseptor utama untuk HIV adalah molekul CD4 pada permukaan sel pejamu. Namun reseptor CD4 saja ternyata tidak cukup.7-8 Ada beberapa sel yang tidak mempunyai reseptor CD4, tapi dapat diinfeksi oleh HIV. Diperkirakan ada reseptor lain untuk HIV, yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, dan molekul CD26 yang diperkirakan merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virus kedalam sel. Disamping itu telah ditemukan juga koreseptor kemokin yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses masuknya HIV ke dalam sel yaitu CCR5 dan CXCR4. 1,8-10 Penelitian intensif di bidang virologi HIV dan kemajuan di bidang imunologi akhir-akhir ini dapat dengan lebih jelas menerangkan bagaimana HIV masuk kedalam sel pejamu dan menimbulkan perubahan patologi pada tubuh manusia.11

Struktur HIV
HIV merupakan suatu virus RNA bentuk spheris dengan diameter 1000 angstrom yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus.12 Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp 41. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase (gambar 1). 9,13 Gambar 1. Struktur HIV (9)

Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983 14 dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 pada penderita AIDS di Afrika Barat.15 Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas

penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.

HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama, HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai vpx, sedangkan sebaliknya HIV-2 mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai vpu.9,16 Perbedaan struktur genome ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut. Karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka penelitian-penelitian klinis dan laboratoris lebih sering dilakukan terhadap HIV-1. 17-19

Gambar 2. Perbedaan struktur gen HIV-1 dan HIV-2

Sel target
Sel yang merupakan target utama HIV adalah sel yang mempunyai reseptor CD4, yaitu limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) dan monosit/makrofag. Beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vivo atau in vitro adalah megakariosit, epidermal langerhans, periferal dendritik, folikular dendritik, mukosa rektal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikroglia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. Beberapa sel yang pada mulanya dianggap CD4 negatif, ternyata juga dapat terinfeksi HIV namun kemudian diketahui bahwa sel-sel tersebut mempunyai CD4 kadar rendah. Sel tersebut antara lain adalah sel mieloid progenitor CD34+ dan sel Thymocyte triple negative.
1,2,8

Disamping itu memang ada sel yang benar-benar CD4 negative tetapi dapat terinfeksi HIV. Untuk hal ini diperkirakan ada reseptor lain untuk HIV, yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, atau galactosyl ceramide. Terakhir ditemukan molekul CD26 yang diperkirakan merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virion setelah terjadi binding. Mekanisme imunitas pada keadaan normal Aktivasi sel Th dalam keadaan normal terjadi pada awal terjadinya respon imunitas. Th dapat teraktivasi melalui dua sinyal, yaitu: pertama terikatnya reseptor Ag -TCR (T Cell Receptor) dengan kompleks Antigen- molekul MHC Clas II yang dipresentasikan oleh makrofag sebagai antigen presenting cells (APCs) yang teraktivasi oleh antigen. Sinyal kedua berasal dari Sitokin IL-1 yang dihasilkan oleh APC yang teraktivasi tadi. Kedua sinyal tadi akan merangsang Th mengekspresikan reseptor IL-2 dan produksi IL-2 dan sitokin lain yang dapat mengaktivasi makrofag, CTLs (cytotoxic T Lymphocyte atau TC) dan sel limfosit B. IL-2 juga akan berfungsi autoaktivasi terhadap sel Th semula dan sel Th lainnya yang belum memproduksi IL-2 untuk berproliferasi. Jadi dengan demikian akan terjadi amplifikasi respon yang diawali oleh kontak APCs dengan sel Th semula 8, 20, 21

Aktivasi sel Tc yang berfungsi untuk membunuh benda asing atau nonself-antigen, dan Tc dapat dibedakan dengan Th karena Tc mempunyai molekul CD8 dan akan mengenal antigen asing melalui molekul MHC class I. Seperti sel Th, sel Tc juga teraktivasi melalui dua sinyal, yaitu sinyal pertama adalah interaksi reseptor Ag-TCR dengan kompleks epitope benda asing dan molekul MHC Class I. Sel tersebut bisa berupa sel tumor atau jaringan asing. Sinyal kedua adalah rangsangan dari sitokin IL-2 yang diproduksi oleh sel Th tersebut 8, 20, 21 Tangan ke tiga dari imunitas seluler di lakukan oleh sel NK (natural killer), yaitu sel limfosit dengan granula kasar dengan petanda CD16 dan CD56. Fungsinya secara non spesifik menghancurkan langsung sel-sel asing, sel tumor atau sel terinfeksi virus. Atau juga dengan cara spesifik untuk sel-sel yang di lapisi oleh antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC).1-3,8 Aktivasi sel limfosit B memerlukan paling sedikit tiga sinyal, yaitu pertama oleh imunogen yang terikat pada reseptor antigen, dan dua sinyal lainnya adalah limfokin BCDF (B cell differentiaton factor ) dan BCGF (B cell growth factor) yang di produksi oleh sel TH yang teraktivasi. Dengan aktivasi sel limfosit B, maka akan terjadi pertumbuhan dan differensiasi sel limfosit B menjadi sel plasma sebagai sel yang akan memproduksi antibodi.

Pengaruh HIV terhadap sistem imun HIV terutama menginfeksi limfosit CD4 atau T helper (Th), sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akan semakin menurun. Th mempunyai peranan sentral dalam mengatur sistem imunitas tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik respon imun seluler maupun respon imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh. Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistem imun seluler. Jadi akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang menyebabkan hampir keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal. 1. Abnormalitas pada Imunitas seluler Untuk mengatasi organisme intra seluler seperti parasit, jamur dan bakteri intraseluler yang paling diperlukan adalah respon imunitas seluler yang disebut Cell Mediated Immunity (CMI). Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs (cytotoxic T Lymphocyte atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Demikian juga sel NK (Natural Killer), yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non spesifik, disamping secara spesifik membunuh sel yang di bungkus oleh antibody melalui mekanisme antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). 8,22-24 Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV. Sel Th : Jumlah dan fungsinya akan menurun. Pada umumnya penyakit indikator AIDS tidak terjadi sebelum jumlah CD4 mencapai 200/uL bahkan sebagian besar setelah CD4 mencapai 100/uL. Makrofag : Fungsi fagositosis dan kemotaksisnya menurun, termasuk juga kemampuannya menghancurkan organisme intra seluler, misalnya kandida albikans dan toksoplasma gondii.

Sel Tc : Kemampuan sel T sitotoksik untuk menghancurkan sel yang terinfeksi virus menurun, terutama pada infeksi stadium lanjut, sehingga terjadi reaktivasi virus yang tadinya laten, seperti herpes zoster dan retinitis sitomegalo. Demikian juga sering terjadi differensiasi sel ke arah keganasan atau malignansi. Sel NK : Kemampuan sel NK untuk menghancurkan secara langsung antigen asing dan sel yang terinfeksi virus juga menurun. Belum diketahui dengan jelas apa penyebabnya, diperkirakan kemungkinan karena kurangnya IL-2 atau efek langsung HIV.

2. Abnormalitas pada imunitas humoral Imunitas humoral adalah imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel plasma yang berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4 yang teraktivasi. Sitokin IL-2, BCGF (B cell growth factors) dan BCDF (B cell differentiation factors) akan merangsang limfosit B tumbuh dan berdifferensiasi menjadi sel Plasma. Dengan adanya antibody diharapkan akan meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui proses opsonisasi .21-23 HIV menyebabkan terjadi stimulasi limfosit B secara poliklonal dan non-spesifik, sehingga terjadi hipergammaglobulinaemia terutama IgA dan IgG. Disamping memproduksi lebih banyak immunoglobulin, limfosit B pada odha (orang dengan infeksi HIV/AIDS) tidak memberi respon yang tepat.1-3,8, Terjadi perubahan dari pembentukan antibodi IgM ke antibodi IgA dan IgG. Infeksi bakteri dan parasit intrasel menjadi masalah berat karena respons yang tidak tepat, misalnya reaktivasi Toxoplasma gondii atau CMV tidak direspons dengan pembentukan immunoglobulin M (IgM). Respons antibodi pasca vaksinasi dengan antigen protein atau polisaccharide sangat lemah, misalnya vaksinasi Hepatitis B, Influenza, pneumokokus, dll. Fungsi neutrofil juga terganggu, karena itu sering terjadi infeksi oleh stafilokokus aureus yang menyebabkan infeksi kulit dan pneumonia. Apalagi pemakaian obat antiretrovirus (ARV) seperti zidovudine atau anti virus sitomegalo yaitu ganciclovir dapat menimbulkan terjadinya neutropenia. Banyak yang belum diketahui tentang antibodi terhadap HIV. Apakah antibodi bisa mencegah meluasnya infeksi HIV didalam tubuh, atau paling tidak berperan untuk menetralkan HIV. Produksi antibodi terutama neutralizing antibodi kasus AIDS stadium lanjut (dimana limfosit CD4 < 200/uL) bila dibandingkan dengan orang tanpa HIV, ternyata sangat berbeda. Sedangkan pada stadium sebelumnya dimana sel Th masih diatas 200-500/ uL, produksi anitibodi tidak begitu berbeda. Antibodi spesifik terutama neutralizing antibody baru mulai muncul pada minggu kedua atau ketiga, bahkan bisa mundur beberapa bulan setelah infeksi. Secara umum dapat dikatakan respon antibodi terhadap HIV sangat lemah, dan hanya sebagian kecil saja dari fraksi antibodi ini yang dapat menetralisasi HIV. Karena itu HIV dapat melewati respon antibodi sehingga dapat bertahan hidup dan menginfeksi sel lainnya.

Fase infeksi akut

Setelah transmisi HIV melalui mukosa genital yang merupakan transmisi utama, sel dendritic (DC) yang ada di lamina propria mukosa vagina akan menangkap HIV. DC bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) dan mempresentasikan HIV ke sel limfosit CD4 sehingga dapat merangsang limfosit T nave. Hal ini terjadi karena DC mengekpresikan molekul major histocompatibility complex (MHC) klas I, MHC klas II dan molekul kostimulator lain pada permukaannya. Setelah HIV tertangkap DC akan menuju kelenjar limfoid dan mempresentasikannya kepada sel limfosit T naive. Disamping mengangkut HIV kekelenjar limfe, DC juga mengaktivasi sel limfosit CD4, dengan demikian akan meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel limfosit Th. Perlu diketahui terikatnya HIV ke DC melalui pengikatan protein envelop gp 120 pada sekelompok molekul yang disebut C-type lectin receptor. Termasuk dalam C-type lectin receptor adalah dendritic cel specific ICAM -3- grabbing non-integrin (DC-SIGN), mannose receptor dan Langerin. Masing-masing molekul ini dapat mengikat gp 120 dan ini lalu dipresentasikan pada sel DC yang berbeda. DC sel mengekspresikan molekul CD4 dan molekul CCR5 tapi tidak mempunyai CXCR4. Mungkin ini berpengaruh dan dapat menjelaskan mengapa hampir 95% strain HIV yang ditemukan pada infeksi primer adalah strain M- tropik atau R5 HIV strain. Sama seperti transmisi mukosa, transmisi HIV secara vertikal juga terutama Strain R5. Pada manusia waktu lama dari infeksi mukosa sampai terjadi viremia, berkisar antara 4-11 hari. Hal ini juga tergantung dari apakah ada hal-hal lain yang merusak barier mukosa, seperti misalnya inflamasi dan infeksi (cervisitis, urethritis, ulkus genitalis, dsb). HIV baik sebagai virus bebas ataupun yang berada dalam sel yang terinfeksi akan menuju kelenjar limfe regional dan merangsang respon imun seluler maupun humoral. Mobilisasi limfosit ke kelenjar ini justru menyebabkan makin banyak sel limfosit yang terinfeksi. Dalam beberapa hari akan terjadi limfopenia dan menurunnya limfosit CD4 dalam sirkulasi. Dalam fase ini didalam darah akan ditemukan HIV bebas titer tinggi dan komponen inti p24, yang menunjukkan tingginya replikasi HIV yang tidak dapat dikontrol oleh sistim imun. Dalam 24 minggu akan terjadi peningkatan jumlah sel limfosit total yang disebabkan karena tingginya subset limfosit CD8 sebagai bagian dari respon imunitas seluler terhadap HIV. Diperkirakan paling sedikit 10 milyard HIV diproduksi dan dihancurkan setiap harinya, karena waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam. Tapi ada yang mengatakan turnover HIV adalah 2x10 milyard perhari, sedangkan sebagai bandingan, estimasi penurunan CD4 limfosit adalah 20-200 x 1 juta perhari dengan klirens waktu paruhnya sekitar dua hari.1 Setelah fase akut, akan terjadi penurunan jumlah HIV bebas dalam plasma maupun dalam sel. Masih belum jelas, mengapa bisa demikian, akan tetapi analogi dengan infeksi virus pada umumnya. Sel limfosit T sitotoksik CD8 yang sebagai efektor sel dapat mengontrol infeksi akut oleh virus, karena dia bisa mengenal dan menghancurkan sel yang telah terinfeksi (ini kadang-kadang dapat merugikan juga), sehingga dapat mencegah replikasi dan pembantukan virus baru. Pada infeksi HIV sejak awal ditemukan tingginya jumlah sel T limfosit sitotoksik (TCLs atau Tc). Sel limfosit sitotoksik yang mempunyai petanda CD8, akan teraktivasi oleh HIV dan akan mengeluarkan sejumlah solubel sitokin (termasuk CAF ), yang dapat menghambat replikasi HIV dalam limfosit CD4. Keadaan seperti ini juga terjadi pada infeksi HIV akut, bahkan sebelum serokonversi.1 Disamping jumlahnya menurun, maka fungsi limfosit CD4 juga terganggu, bahkan pada stadium dimana jumlahnya masih diatas 500/ml. Ternyata kemampuannya untuk proliferasi karena rangsangan berbagai macam antigen dan kemampuannya untuk memproduksi sitokin untuk fungsi helper juga menurun.Terjadi

penurunan respon pengenalannya terhadap antigen bakteri, virus atau toksin yang pernah dikenal, lalu hilangnya respon terhadap sel asing (allogeneic response), terakhir juga kehilangan kemampuan untuk respon mitogen non-spesifik seperti phytohaemaglutinin.3 Risiko infeksi oportunistik dipengaruhi oleh jumlah CD4. Pada jumlah CD4 dibawah 100 dapat terjadi infeksi toksoplasma sedangkan pada jumlah CD4 dibawah 50 dapat terjadi infeksi Sitomegalo Peranan Kelenjar Limfe pada Infeksi Primer Penelitian tentang peranan kelenjar limfe dalam infeksi akut HIV, dilakukan secara histopatologik biopsy kelenjar yang diikuti baik secara longitudinal, maupun cross sectional, pada percobaan rhesus monkey dengan SIV dan orang yang terinfeksi HIV. Didapatkan HIV telah berada dalam kelenjar limfe kera 5 hari setelah infeksi SIV, dan bila dilakukan analisis hibrida terhadap RNA HIV/SIV pada fase itu, ternyata HIV kebanyakan terdapat sebagai selsel individual yang mengekspresikan RNA, dan mencapai puncak pada hari ke 7 setelah inokulasi. Analisis biopsy kelenjar secara cross sectional pada orang yang terinfeksi HIV bersifat konsisten dengan model rhesus monkey. Dengan bukti itu, maka kelenjar limfe merupakan organ anatomi yang pertama yang terinfeksi HIV. Pada fase transisi ke fase kronik, terjadi switch dari ekspresi sel-secara individual ke bentuk trapping HIV oleh jaringan sel dendritik folikuler didalam germinal senter kelenjar limfe. Bentuk ini mendominasi keberadaan HIV dan pada saat ini terjadi penurunan secara drastis jumlah sel-sel individual yang mengekspresikan HIV. Jadi pada fase akut ini dapat dilihat adanya upaya sel-sel limfosit T sitotoksik untuk mengurangi jumlah HIV. akan membentuk kompleks dengan imunoglobulin dan komplemen. Kompleks ini akan terikat pada reseptor komplemen pada permukaan sel dendritik. Secara klinik akan terjadi penurunan jumlah RNA HIV dalam plasma dan menghilangnya sindroma infeksi akut Terjadinya gejala-gejala AIDS umumnya didahului oleh percepatan penurunan jumlah limfosit CD4, sering terjadi pada keadaan dimana sebelumnya jumlah limfosit CD4 diatas 300/uL. Pada umumnya perubahan ini berkorelasi dengan munculnya strain HIV yang lebih virulen, yaitu strain SI (Syncitial Inducing), diikuti oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang merupakan prognosis yang buruk. Hal ini terjadi akibat hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe, ditandai oleh membanjirnya HIV kedalam sirkulasi karena rusaknya struktur kelenjar limfe.

3. Reaksi Autoantibodi Reaksi autoantibodi cenderung terjadi pada fase awal infeksi HIV pada saat sistem imunitas masih relatif bagus. Karena limfosit B tidak memberi respon yang tepat1-3,8,, terbentuk autoantibodi terhadap beberapa protein tubuh, antara lain antibodi terhadap platelet, neutrofil, limfosit dan myelin. Mekanismenya tidak begitu jelas, ada dua jalur. Pertama akibat aktivasi sel B yang disregulasi sehingga terjadi poliklonal hipergammaglobulinemia. Kedua karena adanya molecular mimicry antara antigen HIV dengan beberapa protein tubuh. Keadaan ini menimbulkan sindroma autoimun, antara lain Autoimun trombositopenik purpura (AITP), antiphospholipid antibodi (APLA), autoimun gastropati dengan hipochlorhidria, autoimun

hemolitik anemia (AIHA), pruritic papulovesicular eruption (PPVE). Proses autoimun juga mempercepat penurunan jumlah T CD4.4 Pada stadium awal infeksi HIV juga dapat terjadi Sindroma yang dimediasi oleh limfosit T-CD8, seperti sindroma Sjogrens, Lymphocytic Interstitial Pneumonitis (LIP), Autoimun Polymyositis, Autoimun chronic active hepatitis dan Cardiac myositis. Sindroma demyelinisasi, seperti sindroma Guillain Barre, chronic idiopathic demyelinating polyneuropathy dan sindroma kompleks imun seperti polyarteritis nodosa-like arteritis dan Hypersensitivity vasculitis bisa timbul juga pada awal penyakit Gambar 5 menunjukkan gejala klinik di hubungkan dengan lama infeksi dan jumlah Th (CD4).25 Jumlah CD4 menentukan manifestasi gejala klinik yang timbul melalui patogenesis yang berbeda. Pada awal merupakan respon tubuh yang sama seperti infeksi oleh virus lain, setelah itu, pada saat jumlah CD4 masih cukup tinggi (500-700) dapat timbul gejala akibat reaksi autoantibodi. Gejala klinik pada waktu CD4 sudah rendah (<500) merupakan infeksi oportunistik atau kanker oportunistik.

4. Reaksi Hipersensitivitas pada infeksi HIV Reaksi hipersensitivitas pada infeksi HIV tidak jarang terjadi, dan umumnya berkaitan dengan obat-obatan. Daftar obat-obatan yang diketahui menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada infeksi HIV semakin lama semakin bertambah. Kejadian hipersensitivitas terhadap obat jauh lebih tinggi pada infeksi HIV dibandingkan pada non HIV. Misalnya hipersensitivitas terhadap Trimethoprim-sulfametoksazole dosis tinggi untuk mengobati PCP terjadi antara 27%-64%, dibandingkan 3% pada orang imunokompeten atau imunodefisiensi karena non HIV. Kejadian hipersensitivitas terhadap obat ini akan lebih buruk lagi karena selalu diperlukan obat pengganti, dimana obat ini mempunyai efektifitas kurang atau mempunyai efek yang lebih toksik. Patogenesis terjadinya reaksi hipersensitivitas ini diperkirakan melalui jalur reaksi alergi, (jadi bersifat immune mediated) atau karena toksik yang penyebabnya belum diketahui. Namun reaksi hipersensitivitas yang ditemukan pada infeksi HIV ini tidak dapat dimasukkan pada salah satu dari 4 tipe reaksi hipersensitivitas menurut klasifikasi Gell and Coombs.5 Memang bertentangan sekali terjadi reaksi hipersensitivitas pada orang yang anergi terhadap beberapa stimulan lain, misalnya vaksinasi Hepatitis B atau tes tuberculin. Beberapa keadaan yang diduga berperan adalah: a. Disregulasi pada sistem imun. Reaksi terhadap Amoxycilin, Trimethoprimsulfametoksazole dan obat anti TB (OAT) sering terjadi pada CD4 rendah (20-<200/uL). Pemeriksaan histopatologi kulit menunjukkan kelainan yang sama, tidak tergantung obat pencetus, sehingga diperkirakan patogenesisnya bersifat umum. b. Koinfeksi virus-virus lain, seperti virus Epstein-Barr (EBV), Sitomegalo (CMV) dan beberapa virus saluran nafas dikatakan berhubungan dengan terjadinya rash kulit akibat Ampisilin. Tidak ditemukan timbulnya rash kulit, bila fase infeksi akut oleh virus-virus tersebut sudah lewat.

c. Besar dosis dan lama pemakaian obat. Misalnya ditemukan reaksi hipersensitivitas pada pemakaian dosis tinggi trimethoprim-sulfametoksazole bila dibandingkan dengan pemakaian dosis rendah sebagai profilaksis. Dan semakin lama obat dikonsumsi, semakin tinggi kemungkinan terjadinya reaksi hipersensitivitas.5 d. Faktor lain misalnya imunoglobulin yang spesifik untuk obat tertentu dan Struktur obat dan metabolismenya dalam tubuh. 5. Timbulnya malignansi atau tumor sekunder pada infeksi HIV Telah diketahui bahwa degenerasi maligna akan disebabkan oleh adanya differensiasi dan proliferasi sel yang abnormal. Kerusakan genetik sel dapat berakibat kematian sel, atau beberapa sel dengan struktur genetik yang berubah tersebut masih dapat hidup dan menunjukkan fenotipe yang berbeda. Fenotipe yang berbeda bisa berkembang kearah malignansi atau keganasan. Disinilah peran sistem imun, terutama respon imun seluler berfungsi untuk menghancurkan antigen asing. Sebab bila tidak terjadi klirens, maka antigen asing tersebut merupakan stimuli kronis terhadap proliferasi sel-sel imun yang cenderung berlebihan. Misalnya proliferasi poliklonal dari sel limfosit B dengan berbagai akibatnya dan terjadinya limfadenopati generalisata. Disamping itu sistem imun berfungsi untuk menghancurkan sel dengan fenotipe yang berubah kearah keganasan akibat adanya virus yang bersifat onkogenik. Pada infeksi HIV dengan adanya defisiensi imun akan memungkinkan aktivasi virus-virus laten dalam tubuh sehingga terjadi keganasan sekunder, misalnya EBV berkaitan dengan timbulnya Limfoma Non Hodgkins, HPV (human papiloma virus) berkaitan dengan timbulnya karsinoma leher rahim, dan Human herpes Virus 8 berkaitan dengan sarkoma Kaposis.6

Faktor pejamu dan virus yang mempengaruhi infeksi HIV Respon imun spesifik terhadap HIV tidak dapat mengontrol atau menghambat infeksi kearah kronik. Faktor-faktor yang menentukan hal tersebut adalah: faktor genetik host, mekanisme imunologis untuk melepaskan diri dari imun survailan dan faktor virusnya sendiri. Faktor pejamu : Genetik dengan HLA class I haplotype sering menunjukkan penyakit yang tidak progresif dibanding HLA lainnya. Disamping itu ditemukan adanya mutasi genetik homozigot pada reseptor kemokin CCR5, seperti 32CCR5-32CCR5 akan relatif resisten terhadap infeksi HIV. Akan tetapi mutasi heterozigot seperti CCR5-32CCR5 tidak dapat mencegah infeksi, namun secara bermakna berhubungan dengan progresifitas penyakit yang lambat. Faktor imunologik yang dapat mempengaruhi, antara lain: tingginya RNA HIV plasma yang terjadi setelah infeksi akut yang disebut set point, dapat dipakai untuk menduga kecepatan progresifitas penyakit. Virologic set point pada orang yang terinfeksi HIV akan berbeda-beda, tapi cenderung tetap stabil pada orang yang sama pada fase kronik. Menghilangnya clone sel sitotoksik limfosit CD8 yang spesifik, gangguan fungsi APCs, dan adanya respon antibodi humoral.

Faktor virus : HIV dapat bertahan dalam tubuh karena HIV mempunyai kemampuan untuk tetap berada dalam limfosit CD4 dan mempunyai kemampuan untuk replikasi, adanya variabilitas genetik HIV dan trapping HIV pada permukaan sel folikuler dendritik. Pooling tersebut mengandung DNA provirus dengan daya replikasi. Sebagai catatan, tipe ini juga dapat dijumpai pada seseorang yang telah memakai HAART selama 2 tahun, sehingga bila HAART dihentikan, maka HIV plasma akan meningkat lagi yang berarti gejala penyakit akan muncul lagi. Perusakan sel limfosit CD4 yang membawa provirus ini terjadi sangat lambat sekali, dan prosesnya tidak dapat dipengaruhi oleh HAART, sehingga menghambat eradikasi HIV. Trapping oleh sel folikuler dendritik sebenarnya merupakan fungsi fisiologis untuk melakukan klirens terhadap patogen, akan tetapi pada HIV justru akan menjadi reservoir kronik yang stabil ( karena HIV terbebas dari serangan CTLs spesifik) dan merupakan sumber infeksi bagi limfosit CD4 , sehingga terjadi inflamasi kronik yang mengakibatkan terjadi destruksi jaringan limfosit pada stadium lanjut. HIV dapat bertahan dan berada dalam organ atau sel tertentu pada manusia, sehingga merupakan sumber HIV secara kronik.

Patogen penyebab Infeksi oportunistik pada AIDS Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi akibat adanya kesempatan untuk timbul pada kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan, karena itu IO bisa disebabkan oleh organisme non patogen. Pada infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV), tubuh secara gradual akan mengalami penurunan imunitas akibat penurunan jumlah dan fungsi limfosit CD4. Pada keadaan dimana jumlah limfosit CD4 <200/ml atau kurang, sering terjadi gejala penyakit indikator AIDS. 26,27 Spektrum infeksi yang terjadi pada keadaan imunitas tubuh menurun pada infeksi HIV ini disebut sebagai infeksi oportunistik. Organisme penyebab IO adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami reaktivasi. Spektrum IO pada defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola tertentu dibandingkan IO pada defisiensi imun lainnya. Namun ada gambaran IO yang spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Semakin menurun jumlah limfosit CD4 semakin berat manifestasi IO dan semakin sulit mengobati, bahkan sering mengakibatkan kematian. Pengobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat menekan replikasi HIV, sehingga jumlah limfosit CD4 relatif stabil dalam jangka waktu panjang, dan keadaan ini mencegah timbulnya infeksi oportunistik. Organisme yang sering menyebabkan IO terdapat dilingkungan hidup kita yang terdekat, seperti air, tanah, atau organisme tersebut memang berada dalam tubuh kita pada keadaan normal, atau tinggal secara laten lalu mengalami reaktivasi. Penyebab IO pada AIDS, sumber dan cara transmisinya dapat dilihat dalam tabel 1. 3 Tabel 1 : Penyebab Infeksi Oportunistik pada AIDS, sumber dan transmisinya.3

Organisme

Sumber

Cara transmisi

Penularan org ke orang

Bakteria: 1. MTB 2. MAC 3. Salmonella

Reaktivasi endogen, org sakitAir, tanah Air, tanah

Inhalasi Inhalasi, ingestion Ingestion

Ya Tidak Tidak

Virus: 1. 2. 3. 4. Herpes simpleks Herpes Zoster CMV EBV

Reaktivasi endogen, org sakit Reaktivasi endogen, org sakit Reaktivasi endogen, org sakit Reaktivasi endogen, org sakit

Seksual Tidak tentu Seksual, darah Inhalasi/ingestion?

Ya Tidak tentu Ya Ya

Parasit: 1. 2. 3. 4. Pneumocystiscarinii Toksoplasma Gondii Mikrosporidia Cryptosporidia

Reaktivasi endogen, org sakit Reaktivasi endogen, kotoran kucing, daging mentah Air, orang/bint terinfeksi Air, orang/bint terinfeksi

Inhalasi Ingestion

Mungkin Tidak

Ingestion/inhalasi? Ingestion

Ya Ya

Jamur 1. Kandida

Air ,tanah, Tanah, kotoran

Tidak

2. Cryptococcus Neoforman 3. Aspergilus 4. Histoplasma Capsulatum 5. Coccidioido immitis

burung/ binatang Tanah Air, tanah

Tidak

Tidak Tidak

Tidak

Gambaran infeksi oportunistik di POKDISUS AIDS RSCM

Pola infeksi oportunistik diberbagai negara dapat berbeda. Di Amerika Serikat infeksi oportnunistik yang sering dijumpai adalah PCP ( Pneumocystic Carinii Peneumonia ) namun di Indonesia infeksi oportnusisik yang sering dijumpai adalah infeksi jamur saluran vcerna dan tbc. Pola infeksi oportunistik di RS Ciptomangunkusumo dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Pola infeksi oportunistik di RS. Ciptomangunkusumo (n=698)28
Infeksi oportunistik %

Kandidiasis (oroparing, esofagus) TBC paru Diare kronik Pneumonia bakteri Toksoplasma ensefalitis TBC luar paru Herpes zoster

40 37,1 27,1 16,7 12 11,8 6,3

Sindrom Imun rekonstitusi dan disfungsi imun

Pemberian obat antiretroviral akan menekan jumlah HIV dalam darah sehingga penghancuran CD4 dapat dikurangi. Akibatnya jumlah CD4 akan meningkat. Peningkatan CD4 bermanfaat untuk mengurangi risiko infeksi oportunistik. Penderita yang berhasil meningkatkan CD4 diatas 200 risiko infeksi oportunistiknya akan rendah. Namun demikian pemulihan kekebalan tubuh juga dapat menimbulkan sindrom imun rekonstitusi yaitu sindrom yang timbul akibat terjadinya proses radang setelah kekebalan tubuh pulih kembali. Sindrom ini dapat berupa demam, pembengkakan kelenjar limfe, batuk serta perburukan foto toraks. Sindrom ini sering terjadi pada penderita yang mengalami infeksi oprtunistik tbc namun juga dapat timbul pada infeksi oportnunistik lain. Sindrom ini biasanya timbul 6-8 minggu penggunaan obat antiretroviral, namun dapat juga muncul beberapa bulan sesudahnya. Pada sindrom ini gejala klinis lain seperti berat badan membaik, jumlah CD4 meningkat namun gejala karena infeksi oportnusitik timbul kembali sebagai akibat gejala inflamasi. Selain infeksi oportunistik, sindrom ini juga bisa bermanifestasi sebagai penyakit autoimun (lupus, penyakit Graves), perburukan hepatitis B atau C yang sudah ada, atau penyakit inflamasi lainnya (sarkoidosis). Terapi obat antiretroviral perlu diteruskan dan untuk menekan gejala radang diberikan obat kortikosteroid. Pada sisi lain dapat terjadi disfungsi imun, yaitu perbaikan klinis nyata namun CD4 tidak atau meningkat dengan lambat .

Penutup

Telah dibahas berbagai aspek imunodefisiensi pada infeksi HIV. Infeksi HIV mempunyai target utama sel limfosit CD4 yang berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, sehingga fungsi imunitas seluler terganggu. Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs (cytotoxic T Lymphocyte atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Demikian juga sel NK (Natural Killer), yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non spesifik, disamping secara spesifik membunuh sel yang di bungkus oleh antibody melalui mekanisme antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). 8,22-24 Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV. Disamping itu penurunan jumlah dan fungsi sel T CD4 ini mengakibatkan terganggunya homeostasis dan fungsi sel lainnya dalam sistem imun humoral, yaitu sel limfosit B yang berperan dalam imunitas humoral. Terganggunya fungsi limfosit B karena disregulasi oleh sel limfosit CD4 akan menimbulkan respon imun humoral yang tidak relevan dan terbentuknya poliklonal hipergammaglobulinemia. Dapat dirangkumkan, defisiensi imun akibat HIV dapat mengakibatkan terjadinya infeksi oportunistik, timbulnya reaksi autoimun, mudah terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap obat-obat yang sering dipakai dan pertumbuhan tumor ganas sekunder, seperti Limfoma Non Hodgkin, Sarkoma Kaposis dan karsinoma serviks.

Pemberian obat antiretroviral dapat meningkatkan CD4 sehingga risiko infeksi oprtunistik menurun. Namun pemulihan sistem imun juga dapat menimbulkan sindrom rekonstitusi imun . Sedangkan pada disfungsi imun, perbaikan klinik tidak disertai dengan peningkatan CD4 secara nyata. Daftar Pustaka

1. French RF, Stewart GJ, Penny R, Levy JA. How HIV produces immune deficiency. In: Stewart GJ editor. Managing HIV. Sydney: Australasian medical publishing Co. Limited, 1997.p.22-28. 2. Rizzardi GP and Pantaleo G. The Immunopathogenesis of HIV-1 Infection. In : Armstrong and Cohen eds. Infectious Diseases, London: Mosby Co.1999; 2, p5.61-12 3. Crowe S and Kornbluth RS. How HIV leads to Opportunistic infection. In: Stewart GJ editor. Managing HIV. Sydney: Australasian Medical Publishing Co. Limited, 1997 p.28-30. 4. Gala S and Fulcher DA. How HIV leads to Autoimmune disease. In: Stewart GJ editor. Managing HIV. Sydney: Australasian Medical Publishing Co. Limited, 1997 p.31-33. 5. Carr A and Garsia R. How HIV leads to Hypersensitivity Reactions. In: Stewart GJ editor. Managing HIV. Sydney: Australasian Medical Publishing Co. Limited, 1997 p.34-36. 6. Boyle MJ ; Goldstein DA, Frazer IH and Sculley TB. How HIV promotes malignancies. In: Stewart GJ editor. Managing HIV. Sydney: Australasian Medical Publishing Co. Limited, 1997 p.37-39. 7. Levy JA. HIV Pathogenesis : Virologic and Immunologic Features With attention to Cytokines. http://www.medscape.com/viewarticle/487733 di akses 5 Januari 2005 8. Pantaleo G, Graziosi C, Fauci AS. The Immunopathogenesis of Human Immunodeficiency Virus infection. N Engl J Med 1993; 328: 327-335. 9. Preiser W. HIV Pathogenesis : What do the Viruses do? http://www.kgu.de/zhyg/virologie/virologie.html . Diakses 8 Februari 2005 10. Luster AD. Chemokines Chemotactic Cytokines that mediate inflammation. N Eng J Med 1998; 338:436-45 11. Haseltine WA. Molecular biology of the human immunodeficiency virus type 1. FASEB J 1991; 5: 2349-2360. 12. Gallo RC and Montagnier L. The AIDS Epidemic. In : The Science of AIDS. WH Freeman and C., New York, 1989, p 1-12 13. Li X and Wainberg MA. In : Armstrong and Cohen eds. Infectious Diseases, vol 2, 5. 7.1-4 14. Barre-Sinoussi F, Nugeyre M, Dauguet C, et al. Isolation of a T-lymphocytotropic retrovirus from a patient at risk for acquired immune deficiency syndrome (AIDS). Science 1983; 220:868-871

15. Gallo RC, Salahudin SZ, Popovic M, et al.Frequent detection and isolation of cytopathic retroviruses (HTLV-III) from patients with AIDS and at risk for AIDS. Science 1984; 224:497-500 16. Essex M and Kanki PJ. The Origins of The AIDS Virus. In : The Science of AIDS. WH Freeman and C., New York, 1989, p 27-37 17. Levy JA, Hoffman AD, Kramer SM, et al. Isolation of limphocytopathic retroviruses from San Francisco patients with AIDS. Science 1984; 25:840-842. 18. Coffin J, Haase A, Levy JA, et al. What to call the AIDS virus ? Nature 1986; 321:10 19. Clavel F, guetard F, Brun-Veziner F, et al. Isolation of a new human retrovirus from West African patients with AIDS in West Africa. Science 1986; 233:343-346. 20. Abbas AK, Lichtman AH and Pober JS. Antigen Recognition and Lymphocyte Activation. In : Cellular and Molecular Immunology, 3rd eds. Philadelphia: WB Saunders Co. 1997; 35-65 21. Goodman JW. The Immune Response. In: Stites and Terr eds. Basic Human Immunology. Connecticut : Appleton and lange, 1995; 34-44 22. Delves PJ, Roitt IM. The Immune System. First of two parts. N Eng J Med 2000; 343: 37-49. 23. Delves PJ, Roitt IM. The Immune System. Second of two parts. N Eng J Med 2000; 343:108-117. 24. Lawn SD, Buter ST, Folks TM. Contribution of Immune activation to The pathogenesis and transmission of Human Immunodeficiency Virus Type 1 Infection. Clinical Microbiology Reviews 2001; 14:754-77. 25. Stewart GJ, Irvine SS, Scott M et al. Strategies of care in Managing HIV. In: Stewart GJ editor. Managing HIV. Sydney: Australasian Medical Publishing Co. Limited, 1997 p.3-8. 26. Marriot DJE and McMurchie M. HIV and advanced immune deficiency. In: Stewart GJ editor. Managing HIV. Sydney: Australasian Medical Publishing Co. Limited, 1997 p.15-16. 27. Bartlett JG and Gallant JE. Natural History and Classification. In: Bartlett and Gallant eds. Medical Management of HIV Infection. Baltimore, John Hopkins Medicine Health Publishing Business Group, 2004 p. 1-4. 28. Yunihastuti E. Changing opportunistic infection in Ciptomangunkusumo Hospital. Temu Ilmiah PDPAI. Jakarta 26-28 November 2005. 29. Ananworanich J, Phanupak P, Ruxrungtham K. Immune reconstitution syndrome: when patient deteriorates after starting highly active antiretroviral therapy. J Infect Dis Antimicrob Agents 2003;20:109-18.

PERJALANAN PENYAKIT HIV/AIDS

Perjalanan penyakit HIV merupakan perjalanan interaksi HIV dengan sistem imun tubuh yang terbagi dalam tiga fase yang menunjukkan terjadinya interaksi virus dan hospes yaitu fase permulaan/akut, fase pertengahan/kronik dan fase terakhir/krisis (Mitchell and Kumar). Fase akut
menandakan respon imun tubuh yang masih imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, fase tersebut ditandai oleh gejala yang sembuh dengan sendirinya yaitu 3 sampai 6 minggu setelah terinfeksi HIV. Gejalanya berupa radang tenggorokan, nyeri otot (mialgia), demam, ruam kulit, dan terkadang radang selaput otak (meningitis asepsis). Produksi virus yang tinggi menyebabkan viremia (beredarnya virus dalam darah) dan penyebaran virus ke dalam jaringan limfoid, serta penurunan jumlah sel T CD4+. Beberapa lama kemudian, respon imun spesifik terhadap HIV muncul sehingga terjadi serokonversi. Respon imun spesifik terhadap HIV diperantarai oleh sel T CD8+ (sel T pembunuh, T sitotoksik cell) yang menyebabkan penurunan jumlah virus dan peningkatan jumlah CD4+ kembali. Walaupun demikian, penurunan virus dalam plasma tidak disertai dengan berakhirnya replikasi virus. Replikasi virus terus berlangsung di dalam makrofag jaringan dan CD4+ (Mitchell and Kumar, ; Saloojee and Violari,).

Fase kronik ditandai dengan adanya replikasi virus terus menerus dalam sel T CD4+ yang berlangsung bertahun-tahun. Pada fase kronik tidak didapatkan kelainan sistem imun. Penderita dapat asimptomatik (tanpa gejala) atau mengalami limfadenopati persisten (pembesaran kelenjar getah bening) dan beberapa penderita mengalami infeksi oportunistik minor seperti infeksi jamur. Penurunan sel T CD4+ terjadi terus menerus, tetapi masih diimbangi dengan kemampuan regenerasi sistem imun. Setelah beberapa tahun, sistem imun tubuh mulai melemah, sementara replikasi virus sudah mencapai puncaknya sehingga perjalanan penyakit masuk ke fase krisis. Tanpa pengobatan, penderita HIV akan mengalami sindrom AIDS setelah fase kronik dalam jangka waktu 7 sampai 10 tahun (Mitchell and Kumar; Saloojee and Violari). Fase krisis ditandai dengan hilangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh. Peningkatan jumlah virus dalam darah (viral load) dan gejala klinis yang berarti. Penderita mengalami demam lebih dari 1 bulan, lemah, penurunan berat badan dan diare kronis. Hitung sel T CD4+ berkurang sampai dibawah 500/L. Penderita juga akan rentan terhadap infeksi oportunistik mayor, neoplasma (kanker) tertentu dan manifestasi neurologis sehingga dikatakan penderita mengalami gejala AIDS yang sebenarnya (Mitchell and Kumar, ; Saloojee and Violari).

Faktor yang mempengaruhi perjalanan HIV/AIDS meliputi faktor hospes dan virus. Faktor hospes mencakup umur dan faktor genetik. Pada usia anak, AIDS akan berjalan lebih progresif, selain itu viral load akan lebih tinggi dan infeksi bakteri atau infeksi oportunistik akan lebih sering dibandingkan pada orang dewasa. Faktor virus mencangkup virulensi yang dipengaruhi oleh gen virus tertentu, misalnya gen nef (Hogan et al; Learmont et al).

You might also like