You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan dan pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain maanfaatnya obat dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat dapat mengenai banyak organ antara lain paru, ginjal, hati dan sumsum tulang tetapi reaksi kulit merupakan manifestasi yang tersering. Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan yang tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi simpang obat yang dapat diduga (predictable) terjadi pada semua individu, biasanya berhubungan dengan dosis dan merupakan efek farmakologik obat yang telah diketahui. Reaksi ini meliputi 80% dari seluruh efek simpang obat termasuk diantaranya efek samping dan overdosis (kelebihan dosis). Reaksi simpang yang tidak dapat diduga (unpredictable) hanya terjadi pada orang yang rentan, tidak bergantung pada dosis dan tidak berhubungan dengan efek farmakologis obat, termasuk diantaranya reaksi alergi obat. Reaksi alergi obat pada kulit disebut erupsi alergi obat. Exanthematous Drug Eruption merupakan salah satu bentuk erupsi kulit karena obat. Exanthematous Drug Eruption ditandai dengan erupsi makulopapular atau morbiliformis yang dapat diinduksi oleh hampir semua obat.1

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI Exanthematous Drug Eruption merupakan erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa yang dapat diinduksi dari semua obat.1 Exanthematous drug eruption adalah suatu reaksi simpang hipersensitivitas terhadap obat yang diadministrasi secara parenteral atau ditelan. Ia ditandai dengan erupsi kulit yang menyerupai campak seperti eksantem virus dan penglibatan sistemik yang rendah.2 2.2 EPIDEMIOLOGI Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan3. Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. Sekitar 3% seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-obatan. Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000 jiwa meninggal

setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Beberapa jenis erupsi obat yang sering timbul adalah3:

eksantem makulopapuler sebanyak 91,2%, urtikaria sebanyak 5,9%, dan vaskulitis sebanyak 1,4%

2.3 ETIOLOGI Etiologi Exanthematous Drug Eruption yang paling sering adalah ampisilin, NSAID, sulfonamid dan tetrasiklin.1 Obat-obat penyebab Exanthematous Drug Eruption yaitu Obat-obatan yang tinggi probabilitas berlakunya reaksi eksantematosa yaitu penicilin dan antibiotik yang berkaitan, karbamazepin, allopurinol. Obat-obatan yang sedang probabilitas reaksinya adalah sulfonamid (bakteriostatik, antidiabetik, direutik), Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), hidantoin derivative, isoniazid, kloramfenikol, eritromisin, streptomisin. Manakala obat-obatan yang rendah probabilitas reaksinya adalah barbiturat, benzodiazepam, fenotiazin, tetrasiklin. 2.4 PATOGENESIS Exanthematous drug eruption merupakan idiosinkratik, mediasi sel-T dan melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (Tipe IV).3 Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan sel Langerhans yang mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan

antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat yaitu terjadi 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin.1 2.5 DIAGNOSIS Anamnesis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan manifestasi klinis yang khas. Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk gejala klinis, macam obat, dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat sebelumnya penting untuk membuat diagnosis. Manifestasi Klinis Ditandai dengan erupsi makulopapular atau morbiliformis yang dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris terdiri atas eritema, selalu ada gejala pruritus.1 Kadang-kadang ada demam, malese dan nyeri sendi.1 Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi.1 Reaksi awal pada pasien yang sebelumnya sensitif, erupsi mulai timbul dalam 2 atau 3 hari setelah obat diadministrasi ulang.2 Untuk reaksi akhir, sensitisasi timbul ketika administrasi atau setelah menyelesaikan kursus obat, puncak insidens adalah hari kesembilan setelah administrasi.2 Namun ACDR (Adverse Cutaneous Drug Reaction) bisa timbul pada antara hari pertama hingga minggu ketiga setelah rawatan dimulai.2 Simptom pada kulit biasanya cukup pruritus juga menganggu tidur.2 Bagian lesi kulit yang sakit menunjukkan perkembangan ACDR Adverse Cutaneous Drug

Reaction) yang lebih serius seperti toksik epidermal nekrolisis (TEN).2 Pasien juga bisa demam dan menggigil.2 Simetrik.2 Hampir selalu pada badan dan ekstremitas.2 Lesi konfluens di daerah intertriginosa, yaitu, ketiak, selangkangan, daerah inframammary.2 Telapak tangan dan telapak kaki terlibat secara bervariasi.2 Pada anak-anak, mungkin terbatas pada wajah dan ekstremitas.2 Reaksi terhadap ampisilin biasa muncul awalnya di siku, lutut, dan badan, memperluas simetris ke sebagian besar daerah tubuh.2

Gambar1. Exanthematous drug eruption: ampicillin tersebar dengan simetris, makula eritema dan papul yang terang, berlainan di sebagian area dan konfluens pada daerah lainnya, di badan dan ektremitas2

Gambar 2. Exanthematous drug eruption: ampicilin pada pasien dengan EBV mononucleosis Lesi makulopapular konfluens, generalisata

Effloresensi Lesi pada kulit berbentuk makula dan/atau papul, dengan ukuran beberapa millimeters sampai 1 cm.2 Merah terang.2 Lesi resolving memiliki nuansa cokelat dan ungu. Kemudian lesi akan menjadi konfluen membentuk makula besar, polisiklik/ eritem berkisar, erupsi retikuler, lembaran seperti eritem (sheet-like erithema), eritroderma, juga eritem seperti multiforme.2 Purpura dapat dilihat pada lesi di kaki bagian bawah.2 Individu dengan trombositopenia, erupsi eksantematosa dapat menyerupai vaskulitis akibat dari pendarahan intralesi.2 Scaling dan/atau deskuamasi mungkin timbul dengan penyembuhan.2

Gambar 3. Exanthematous drug eruption dengan macula dan papul dalam berbagai ukuran untuk membentuk plak. 4

Gambar 4. Exanthematous drug eruption dengan macula dan papul dalam belbagai ukuran untuk membentuk plak. 4

Tes Laboratorium Hemogram Eosinofilia perifer2 Dermatopathology Limfosit perivaskuler dan eosinofil2

2.6 DIAGNOSIS BANDING 1. Viral Eksantema Viral eksantema sebagian besarnya berhubungan dengan self-limited disease.5 Pada measles ruam terdiri dari makula eritematosa dan papula yang muncul di belakang telinga dan di garis rambut anterior, penggabungan, tersebar di bagian leher dan tungkai distal, dan akhirnya mempengaruhi ekstremitas atas dan bawah termasuk tangan dan kaki.5

Gambar 5. Measles4

2. Pitiriasis Rosea Pitiriasis Rosea dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus.1 Kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8 minggu.1 Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald patch), umumnya di badan, solitar, berbentuk oval dan anular, diameternya kira-kira 3 cm. Tempat predileksi pada badan, lengan atas bagian proksimal dan paha atas, sehingga seperti pakaian renang wanita aman dahulu. Kecuali bentuk yang lazim berupa eritroskuama, pitiriasis rosea dapat juga berbentuk urtika, vesikel, dan papul, yang lebih sering terdapat pada anak-anak.1

Gambar 6. Pitiriasis Rosea Bercak-bercak lentikuler, berbentuk lonjong dengan skuama-skuama halus di atasnya 1

3. Dermatitis Kontak Alergik Dermatitis kontak alergik hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif). Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana. Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemdian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. bula dapat pecah menimbulkan erosi dan dan eksudasi (basah).1 Pada kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin fisur, batasnya tidak jelas.1

Gambar 7. Dermatitis Kontak Alergik terdapat eritema dan hiperpigmentasi akibat kait bra dari nikel 1

10

2.7 PENATALAKSANAAN Langkah definitif dalam penatalaksanaan adalah untuk mengidentifikasi obat yang menyebabkan erupsi dan harus segera dihentikan.2 Sistemik a.kortikosteroid obat kortikosteroid yang sering digunakan di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin RSCM/FKUI ialah tablet prednison (1 tablet = 5 mg). b.antihistamin antihistamin dapat diberikan untuk mengurangi rasa gatal. Topikal Dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus, misalnya mentol 1% untuk mengurangi rasa gatal. Atau dapat diberikan juga krim kortikosteroid seperti krim hidrokortison 1% atau 2 %.1

2.8 PROGNOSIS Prognosis umumnya baik. Apabila obat yang menyebabkan erupsi telah dapat dipastikan maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut serta golongannya. Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya apabila penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya penyakit.

11

BAB III KESIMPULAN

1. Exanthematous Drug Eruption merupakan erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa yang dapat diinduksi dari semua obat. 2. Etiologi Exanthematous Drug Eruption yang paling sering adalah ampisilin, NSAID, sulfonamid dan tetrasiklin. 3. Patogenesis Exanthematous drug eruption melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (Tipe IV) yaitu terjadi 12-48 jam setelah pajanan. 4. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas. 5. Penatalaksanaannya yang terutama adalah penghentian penggunaan obat yang diduga mencetuskan Exanthematous Drug Eruption dan diberikan terapi sesuai gejala yang timbul terutama pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Mochtar Hamzah. Erupsi Obat Alergik. In. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-6. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011. 2. Wolff K, Johnson R. A. Adverse Cutaneous Drug Reactions. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. United States, Amerika: The McGraw Hill Companies, 2009. p. 557-60. 3. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352 4. Stern. R. S. Exanthematous Drug Eruptions. The New England Journal of Medicine. England: Masachusetts Medical Society, 2012. 5. Stone M. S, Scott L. A: Measles, Viral Exanthem. Dermatology Online Journal. Iowa, 2003.

13

You might also like