You are on page 1of 9

DERMATITIS HERPETIFORMIS

I. DEFINISI Dermatitis herpetiformis (DH) adalah penyakit kulit autoimun kronis yang sangat gatal dan melepuh yang ditandai dengan deposit IgA granular dalam dermoepidermal junction dan selalu dihubungkan dengan penyakit celiac. Pada awalnya Duhring (1884) mendefinisikan sebagai kelainan kronis yang ditandai oleh gangguan pruritus yang intens dan lesi kulit pleomorfik berupa eritema, plak urtika, dengan papul serta vesikel.1, 2 Marks et. al. (1966) pertama kali melaporkan mengenai perubahan usus kecil pada 9 dari 12 pasien DH. Selanjutnya, kedua penyakit ini ditemukan saling terkait dengan HLA haplotype tertentu, khususnya dengan DR3 dan DQw5 (Sachs et. al. 1996). Kemajuan besar lainnya ditemukan oleh Cormane (1967) dimana ia menjelaskan terjadinya deposit immonuglobulin pada pada dermoepidermal junction pada pasien DH. Dua tahun kemudian, van der Meer (1969) mengidentifikasinya sebagai IgA.1 Dermatitis herpetiformis lebih banyak terjadi pada Eropa bagian Utara dan jarang terjadi pada orang Asia dan keturunan dari Afrika DH banyak muncul pada bangsa Irlandia dan Swedia.

Hasil studi di Amerika Serikat menunjukkan perbandingan pria dan wanita terkena DH adalah 1,44:1, namun studi internasional menunjukkan perbandingan pria dan wanita 2:1. Pada suatu studi dengan pasien Gluten Sensitive Enteropathy (GSE), 16% pria dan 9% wanita diantarnya menderita DH. Secara khas, onset DH timbul pada dekade kedua hingga keempat; namun, DH dapat terjadi pada semua umur. DH jarang terjadi pada kanak-kanak.2 II. ETIOLOGI Virus herpes tidak menyebabkan DH, walaupun pada nama penyakit menunjukkan demikian. Penyebab dari DH adalah alergi dari gluten, suatu protein yang ditemukan pada gandum dan beberapa tanaman biji-bijian.3 Limfoma pada usus halus dan limfoma nonintestinal juga dilaporkan menderita dermatitis herpetiformis dan penyakit celiac. Pasien limfoma yang menderita DH telah dikontrol dengan diet bebas gluten (GFD) atau telah dirawat dengan GFD selama lebih dari 5 tahun. Oleh karena itu, pasien telah disarankan untuk melalukan GFD secara ketat. Sebuah studi menunjukkan bahwa insidens dari limfoma non-Hodgkins meningkat pada pada pasien dengan DH. studi ini juga mengkonfirmasi bahwa pasien DH yang dirawat dengan GFD tidak mengalami peningkatan mortalitas.4

III. PATOGENESIS Dermatitis herpetiformis adalah suatu penyakit kulit yang disebabkan oleh pengendapan IgA pada papilla dermis, yang dapat memicu kaskade imunologi, yang mengakibatkan rekrutmen neutrofil dan aktivasi komplemen. DH adalah suatu hasil respon dari stimulasi kronis pada mukosa usus oleh diet gluten. Suatu kecenderungan genetis yang mendasari timbulnya DH telah didemonstrasikan. Baik DH dan penyakit celiac saling berhubungan dengan peninggian HLA-A1, HLA-B8, HLA-DR3, dan HLA-DQ2. Faktor lingkungan juga penting; kembar monozygot mungkin memiliki DH, penyakit celiac, dan/atau gluten sensitive enteropathy dengan gejala yang bervariasi. Suatu teori mengungkapkan bahwa dermatitis herpetiformis memiliki kecenderungan sensitif terhadap gluten, ditambah dengan diet tinggi gluten, mengarah pada pembentukan antibodi IgA untuk tissue-transglutaminase (t-TG), yang dapat ditemukan pada usus. Antibodi ini memberikan reaksi silang terhadap epidermal-tranglutaminase (e-TG). eTG homolog dengan tTG. Serum dari pasien yang sensitif terhadap gluten dengan atau tanpa penyakit kulit, mengandung antibodi IgA untuk kulit dan usus. Pengendapan IgA dan kompleks epidermal TG pada papilla dermis mengakibatkan lesi dari dermatitis herpetiformis.2

IV. GEJALA KLINIS Lesi utama dari DH adalah papul eritema, plak yang mirip dengan urtika atau yang paling sering yaitu vesikel. Bulla jarang terjadi. Vesikel, khususnya yang timbul di telapak tangan, mungkin saja dapat terjadi perdarahan. Lesi yang terus muncul dan bekas bekas lesi dapat berupa hiperpigmentasi dan hipopigmentasi. Pasien mungkin muncul hanya dengan krusta, dan pengamatan lebih lanjut mungkin tidak menunjukkan lesi primer.

Gambar.1. Pola distribusi lesi dermatitis herpetiformis.5 Gejala juga dapat berupa rasa terbakar dan gatal pada sebagian besar pasien. Tempat predileksi biasanya simetris pada siku, lutut, bokong, bahu dan area sacral. Walaupun area tersebut paling sering terkena, kebanyakan pasien memiliki lesi di

kulit kepala dan pada area nukal posterior. Area yang juga paling sering terkena adalah pada wajah dan garis rambut pada wajah. Lesi pada mukosa jarang terjadi, seperti juga pada telapak tangan dan telapak kaki.5

Gambar.2. Dermatitis herpetiformis. A. eritema, ekskoriasi, papula pada siku. B. Ekskoriasi papul dan plak yang hampir simetris pada bokong.1 V. DIAGNOSIS a. Histopatologi Spesimen biopsi dari lesi mengungkapkan neutrofil dalam papilla dermis, dengan deposisi fibrin, fragmen neutrofil, dan edema. Eosinofil mungkin ada. Papilla berbentuk mikroabses dan berkembang menjadi vakuola subepidermal dan formasi

vesikel. Bentuk vesikel pada lamina lucida, bagian terlemah dari dermal-epidermal junction akibat neutrofil dan enzim lisozim.2

Gambar.3. Bentuk mikroabses pada papilla dan pembentukan vakuola subepidermal dan formasi vesikel pada lamina lucida, bagian terlemah dari dermoepidermal junction.2 b. Immunofluorosence Pada pemeriksaan imunofluorosence didapatkan, IgA tidak merata sepanjang kulit, dan IgA muncul dalam jumlah yang banyak pada dekat lesi aktif. Oleh karena itu, daerah yang disukai untuk biopsi untuk immunofluorosence adalah daerah yang tampak normal atau sedikit eritamatosa yang berdekatan pada lesi aktif. Pengendapan IgA biasanya dihancurkan di dalam lesi aktif selama proses peradangan. Lebih dari

90% pasien dengan DH memiliki endapan IgA granular atau fibrilar pada papilla dermis.4 VI. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS Diferensial diagnosis dari DH mungkin dapat dikacaukan oleh berbagai kondisi, hal ini disebabkan manifestasi klinis yang pleomorfis dan sering karena kurangnya lesi untuk diagnosis.

Neurotik ekskoriasi, eksema, papular urticaria, dermatosis akantolisis transien, pemfigoid, pemfigoid gestationis, eritema multiforme, dan berbagai macam dermatosis dapat dibedakan melalui pemeriksaan histologi dan imunologis. Linear IgA mungkin sulit dibedakan secara klinis dan histologis, tetapi dapat dibedakan secara imunologis. Indeks kecurigaan yang meninggi sangat membantu walaupun tidak nampak lesi primer. DH dapat didiagnosis berdasarkan tes in vivo granular IgA bond pada kulit yang nampak normal.5

VII. TATALAKSANA a. Diet bebas gluten ketaatan diet bebas gluten (hindari makanan mengandung gandum, rye dan barley) setidaknya dalam 6 bulan. Diet mesti diikuti selama beberapa bulan. (sering 2 tahun) sebelum pengobatan dapat dihentikan. Meskipun vili usus membaik, gejala dan lesi dapat kambuh dalam 1-3 minggu jika diet normal kembali. Bukti yang ada menunjukkan diet bebas gluten mesti dilanjutkan selama hidup. 4 b. Dapson (diamidiphenyl sulfone) dan sulfapyridine Dapson dan sulfapyridine merupakan pengobatan primer yang biasa

digunakan mengobati DH. Mekanisme secara pasti belum diketahui namun diduga berhubungan dengan inhibisi migrasi dan fungsi neutrofil. Pasien melaporkan perbaikan gejala dalam beberapa jam setelah pengobatan dengan dapsone. Pasien mesti dimonitor untuk melihat efek samping dari dapson, utamanya anemia hemolitik, methemoglobinemia, agranulositosis dan neuropaty. Bagi pasien yang intoleransi terhadap dapsone, utamanya yang mengalami hemolisis, sulfapyridine dapat digunakan sebagai pengganti. Lesi baru dapat ditekan setelah 2 hari pemberian dapsone, namun, dapsone tidak memperbaiki kerusakan mukosa GI.2

DAFTAR PUSTAKA

1.

Rose C, Zillikens D. Autoimmune diseases of the skin pathogenesis, diagnosis,management. In: Hertl M, editor. . New York: SpringerWienNewYork; 2001. p:95-101. Miller JL. Dermatitis herpetiformis. Available at: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1062640-overview#showall. Accessed April 3rd, 2012. Lin R. Dermatitis Herpertiformis. Available at: URL: http://www.aocd.org/skin/dermatologic_diseases/dermatitis_herpeti.html. Accessed 3rd April, 2012. Habif TP. Clinical dermatology a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed. Philadelphia: Mosby; 2004 p:554-558. Hall PH, Katz SI. Dermatitis herpetiformis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7th ed: McGraw-Hill; 2008 p: 500-504.

2.

3.

4. 5.

You might also like