You are on page 1of 14

INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT

Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama (insekta, jamur dan gulma). Sehingga pestisida dikelompokkan menjadi : - Insektisida (pembunuh insekta) - Fungisida ( pembunuh jamur) - Herbisida (pembunuh tanaman pengganggu) Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan dirumah tangga untuk memberantas nyamuk, kepinding, kecoa dan berbagai serangga penganggu lainnya. Dilain pihak pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang. Kematian yang disebabkan oleh keracunan pestisida banyak dilaporkan baik karena kecelakaan waktu menggunakannya, maupun karena disalah gunakan (unttuk bunuh diri). Dewasa ini bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik pada serangga.

DEFINISI Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Organofosfat dapat digolongkan fosforothioat, menjadi beberapa golongan dan antara lain, Contoh fosfat, dari

fosforamidat, fosfonat,

sebagainya.

organofosfat termasuklah insektisida (malathion, parathion, diazinon, fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos, ethion), dan antihelmintik (trichlorfon). Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi kulit atau mukosa atau parenteral, per oral, inhalasi dan juga injeksi.

Struktur umum organofosfat

Gugus X pada struktur di atas disebut leaving group yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini paling sensitif terhidrolisis. Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, menjadi misalnya OCH3 atau OC2H5. Organofosfat dapat digolongkan

beberapa golongan antara

lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat,

fosfonat, dan sebagainya. PREDISPOSISI Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dariluar tubuh (eksternal), faktor-faktor tersebut adalah : 1. Faktor dalam tubuh (internal) antara lain : a. Umur Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka usia pun akan bertambah. Seiring dengan pertambahan umur maka fungsi metabolisme tubuh juga menurun. Semakin tua umur maka rata-rata aktivitas kolinesterase darah semakin rendah, sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida. b. Status gizi Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya tahantubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yangburuk, protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas dan enzimkolinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan enzimkolinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang memilikitingkat gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata kolinesterase lebih besar. c. Jenis kelamin Kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata 4,4g/ml. Analisis dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan bahwatiap-tiap individu mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga relatifkonstan dan kadar ini tidak meningkat setelah makan atau pemberian oral sejumlah besar kholin. Ini menunjukkan adanya

mekanisme dalam tubuh untuk mempertahankan kholin dalam plasma pada kadar yang konstan. Jenis kelamin sangat mempengaruhi aktivitas

enzim kolinesterase, jenis kelamin laki-laki lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuan karena pada perempuan lebih banyak kandungan enzim kolinesterase, meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot dengan menggunakan pestisida, karena pada

saat kehamilan kadar rata-rata kolinesterase cenderung turun. d. Tingkat pendidikan Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan tambahan pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebihtinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya juga lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan lebih baik. 2. Faktor di luar tubuh (eksternal) a. Dosis Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakin mempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida. Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan

pestisida, hal ini ditentukan dengan lama pajanan. Untuk dosis penyemprotan di lapangan khususnya golongan organofosfat, dosis yang dianjurkan 0,5 1,5 kg/ha. b. Lama kerja Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering kontak dengan pestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida

semakin tinggi. Penurunan aktivitas kolinesterase dalam plasma darah karena keracunan pestisida akan berlangsung mulai seseorang

terpapar hingga 2 minggusetelah melakukan penyemprotan. c. Tindakan penyemprotan pada arah angina Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat melakukan penyemprotan. Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angindengan kecepatan tidak boleh melebihi 750 m per menit. Petani pada saatmenyemprot melawan arah angin akan mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan petani yang saat menyemprot searah dengan arah angin.

d. Frekuensi penyemprotan Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pula resiko keracunannya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai

dengan ketentuan. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dengan pestisida maksimal 5 jam perhari. e. Jumlah jenis pestisida Jumlah jenis pestisida yang banyak yang digunakan dalam waktu penyemprotan akan menimbulkan efek keracunan lebih besar

biladibanding dengan penggunaan satu jenis pestisida karena daya racun ataukonsentrasi pestisida akan semakin kuat sehingga

memberikan efek samping yang semakin besar PATOFISIOLOGI

Penghambatan kerja enzim

terjadi karena organophosphate melakukan

fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.

Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetylkholin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh. Hambatan ini dapat terjadi beberapa jam hingga beberapa minggu tergantung dari jenis antikolinesterasenya. Hambatan oleh turunan karbaamat hanya beberapa jam dan bersifat reversible. Hambatan yang bersifat irreverssibel dapat diturunkan oleh turunan ester asam fosfat yang dapat merusak kolinesterase dan perbaikan baru timbul setelah mensintesis kembali kolinesterase.

Asetilkolin adalah suatu neurotransmitter yang terdapat di antara ujung-ujung saraf dan otot serta berfungsi meneruskan rangsangan saraf. Apabila rangsangan ini berlangsung terus menerus akan menyebabkan penimbunan asetilkolin. Kolinesterase yang terdapat di berbagai tempat dengan jalan menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat dalam waktu sangat cepat, sehingga penimbunan asetilkolin asetilkolin tidak terjadi. Organofosfat merupakan pestisida yang sangat berbahaya karena ikatan pestisida organofosfat dan kolinesterase hamper bersifat irreversible. Intoksikasi dapat timbul akibat penyerapan dari beberapa tempat termasuk dari kulit dan saluran nafas. Penurunan aktivitas kolinesterase hingga menjadi 60% akan menyebabkan timbulnya gejala yang tidak spesifik seperti pusing, mual, lemah, sakit dada dan lain-lain. Pada umumnya gejala dan kelainan neurologic muncul setelah terjadinya penghambatan 50% atau lebih aktivitas kolinesterase. Menurut WHO, penurunan aktivitas kolinesterase sebesar 30% dari normal menunjukkan telah terjadi pemaparan organofosfat. GEJALA Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat terbagi menjadi 3 bagian: (1) efek muskarinik, (2) efek nikotinik, dan (3) efek Sistem Saraf Pusat a. Efek muskarinik atau toksisitas akut Tanda dan gejala yang timbul 12-24 jam pertama setelah terpapar termasuk: diare, urinasi, miosis (tidak pada 10% kasus), bronkospasma/ bradikardi, mual muntah, peningkatan lakrimasi, hipersalivasi dan hipotensi. Efek muskarinik menurut sistem organ termasuk: 1. Kardiovaskular - Bradikardi, hipotensi 2. Respiratori bronkospasma, batuk, depresi saluran pernafasan 3. Gastrointestinal hipersalivasi, mual muntah, nyeri abdomen, diare, inkontinensia alvi 4. Genitourinari Inkontinensia urin 5. Mata mata kabur, miosis 6. Kelenjar Lakrimasi meningkat, keringat berlebihan Tanda-tanda muscarinic dapat diingat dengan menggunakan salah satu dari dua mnemonik :

SLUDGE / BBB : Salivasi , lakrimasi , Buang air kecil, buang air besar , lambung Emesis , Bronchorrhea , Bronkospasme , Bradikardia . DUMBELS : Buang air besar , buang air kecil , Miosis , Bronchorrhea / Bronkospasme / Bradikardia, Emesis , lakrimasi , Air liur .

Perlu dicatat bahwa mnemonik ini tidak mengambil memperhitungkan efek kritis SSP dan nicotinic dari racun ini. Efek nicotinic termasuk fasikulasi , neuromuscular junction . Mekanisme ini analog dengan efek depolarisasi dari succinylcholine dalam memproduksi blokade neuromuskuler. Reseptor nicotinic dan muskarinik juga telah diidentifikasi dalam otak , dan dapat berkontribusi untuk pusat depresi pernapasan , lesu , rangsangan , kejang dan koma . Insufisiensi pernapasan dapat hasil dari kelemahan otot , penurunan gairah pusat, meningkat sekresi , dan bronkospasme . b. Efek Nikotinik atau Syndrome Intermediate Efek nikotinik termasuklah fasikulasi otot, kram, lemah, dan gagal diafragma yang bisa menyebabkan paralisis otot. Efek nikotinik autonom termasuk hipertensi, takikardi, midriasis, dan pucat. c. Efek sistem saraf pusat atau Organophosphorous Agent-Induced Delayed Peripheral Neuropathy ( OPIDN ) Efek sistem saraf pusat termasuk emosi labil, insomnia, gelisah, bingung, cemas, depresi salur nafas, ataksia, tremors, kejang, dan koma. Sindrom Menengah terjadi 24-96 jam setelah eksposur . Bulbar , pernapasan , dan otot proksimal kelemahan adalah ciri yang menonjol dan umumnya sembuh dalam 1-3 minggu. sindrom menengah ( IMS ) - pertama disebut oleh Wadia et al sebagai tipe II kelumpuhan pada tahun 1974 - adalah sindrom yang ditandai oleh kelumpuhan otot setelah kolinergik akut fase . Terminologi ini kemudian diubah oleh Senanayake dan Karalliedde pada tahun 1987 sampai sindrom menengah seperti itu muncul antara periode awal sindrom kolinergik dan akhir onset perifer neuropati . Organofosfat agen -induced neuropati perifer tertunda biasanya terjadi beberapa minggu setelah paparan . Ada terutama keterlibatan motorik . Ini mungkin menyelesaikan secara spontan , tetapi dapat mengakibatkan disfungsi neurologis permanen .

DIAGNOSIS 1. Diperlukan autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta diperlukan bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian. 2. Sejarah dan gambaran klinis Sejarah konsumsi , ketersediaan botol dan gejala klinis yang khas dan tandatanda membantu untuk mendiagnosa keracunan OP . Banyak agen organofosfat memiliki karakteristik bau seperti minyak atau bawang putih, yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis . 3. atropine challenge Jika ada keraguan apakah organofosfat atau karbamat telah tertelan , percobaan 1 mg atropine pada orang dewasa ( atau 0,01-0,02 mg / kg pada anak-anak ) dapat dipekerjakan . Tidak adanya tanda-tanda atau gejala efek antikolinergik saat chalenge atropine sangat mendukung diagnosis

keracunan dengan acetylcholinesterase inhibitor . 4. RBC acetylcholinesterase Pengukuran langsung dari RBC acetylcholinesterase ( RBC AChE ) aktivitas menyediakan ukuran tingkat toksisitas , tetapi tes ini biasanya tidak tersedia . Assay untuk plasma ( atau pseudo ) aktivitas cholinesterase lebih mudah dilakukan tetapi tidak berkorelasi dengan baik dengan tingkat keparahan keracunan dan tidak boleh digunakan untuk memandu terapi . 5. Analisis kimia dari muntahan atau aspirasi lambung Analisis kimia dari muntahan atau aspirasi lambung dapat mengidentifikasi racun. Analisis kimia juga mungkin sangat penting dalam kasus keracunan diri menggunakan beberapa senyawa . Dengan demikian, setelah lavage lambung atau muntah , yang aspirasinya atau muntahan harus diawetkan . 6. Bagi pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun sama ada dengan cara inhalasi, per oral, absorpsi kulit dan mukosa atau parenteral, yang amat berpengaruh pada efek kecepatan dan lamanya reaksi keracunan. 7. Pemeriksaan klinis paling awal adalah menilai status kesadaran pasien. Hal ini diikuti oleh penemuan tanda dan gejala klinis seperti yang telah dihuraikan sebelumnya 8. Akhir sekali diagnosa dikuatkan lagi dengan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1) Laboratorium klinik analisa gas darah darah lengkap serum elektrolit pemeriksaan fungsi hati Pemeriksaan fungsi ginjal sedimen urin

2) EKG Deteksi gangguan irama jantung

3) Pemeriksaan radiologi Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi atau dugaan adanya perforasi lambung.

PENATALAKSANAAN a. Stabilisasi Pasien Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan symptom toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan dan intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status mental dan kelemahan

neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung. Hipotensi yang terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan oksigen harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini harus diberikan secara paralel dengan pemberian antidotum. dukungan oksigen dan ventilasi Memberikan 100 persen oksigen melalui sungkup muka ; pertimbangkan kuat intubasi keracunan sedang sampai berat . Selain itu, pasien yang tampak agak beracun mungkin cepat mengembangkan kegagalan pernafasan karena kombinasi CNS pernapasan pusat depresi , reseptor nicotinic kelemahan mediateddiaphragmatic , bronkospasme , dan sekresi berlebihan . kegagalan pernapasan terjadi pada 23,1 % ( 15 dari 65 ) pasien dalam satu seri

dilaporkan di sini . Dengan pengobatan mendukung yang cukup, termasuk ventilasi buatan , mayoritas pasien sembuh , sebagai 73,3 % ( 11 dari 15 ) pasien pulih dalam laporan di atas . Dengan demikian , pasien dengan keracunan berat sedang sampai juga harus dipertimbangkan untuk intubasi endotrakeal awal . b. Dekontaminasi Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami keracunan. Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harrus segera dibersihkan dengan sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan yang mempunyai ventilasi yang baik untuk menghindari

kontaminasi skunder dari udara. Dalam kasus paparan topikal dengan potensi penyerapan dermal,

dekontaminasi agresif dengan penghapusan lengkap dari pakaian pasien dan irigasi yang kuat dari daerah yang terkena dampak harus dilakukan . Pakaian pasien dan barang-barang harus dibuang karena mereka menyerap agen organofosfat , dan mungkin reexposure terjadi bahkan setelah dicuci . Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan. Bilas lambung dan arang aktif Dekontaminasi pada saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika organofosfat dalam bentuk

cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang mengalami muntah. Mengosongkan perut dengan lavage lambung yang paling berguna jika berusaha dalam 1 sampai 2 jam setelah konsumsi dari jumlah yang mengancam kehidupan berpotensi racun . jika pasien tidak sadar , waktu sejak konsumsi mungkin kurang relevan karena jelas bahwa dosis beracun telah tertelan dan stasis gastrointestinal yang sering menyertai koma dapat menunda pengosongan lambung . Oleh karena itu disarankan agar lavage lambung dilakukan di setiap teracuni bersabar jika jalan napas dapat

dilindungi . lavage lambung mungkin lebih penting sedemikian situasi . Arang aktif ( 1gm/Kg ) harus dipertimbangkan dalam kasus agen organofosfat . Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap toksikan yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah pasien mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami

pasien perlu dikontrol untuk menghindari aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan dengan pneumonitis dan gangguan paru kronik. c. Pemberian Antidotum a) Agen Antimuskarinik Atropin dan terapi oxime bersama dengan ventilasi dan langkah-langkah pendukung lainnya , seperti yang diperlukan , bisa mencegah sebagian besar kematian keracunan karena senyawa organofosfat . Pada keracunan OP , kematian umumnya karena pernapasan dan terjadi diamdiam tanpa pasien mengeluh atau membuat suara . Penghentian drip atropin di malam hari adalah penyebab umum kematian . Dengan demikian, drip atropin terus dipantau . Itu harus meyakinkan drip atropin tidak berhenti di malam hari . para kerabat pasien yang hadir harus terlibat dan menjelaskan untuk memperhatikan infus dan untuk menginformasikan segera . atropin 2 - 5 mg IV bolus ( 0,05 mg / kg IV pada anak-anak ) . Meningkat (double) dosis setiap 3 - 5 menit sampai sekresi bronkial dan mengi berhenti . setelah pasien sepenuhnya atropinized , atropin infus diatur dengan memberikan setiap jam 20 % sampai 30 % dari jumlah total yang diperlukan untuk atropinize pasien awalnya . Dosis infus dipertahankan selama 2 sampai 3 hari mempertahankan atopinization penuh, maka infus dosis harian dikurangi dengan sampai 1/3 dari dosis hari sebelumnya. Jadi untuk menulis orde baru , maka perlu tahu berapa banyak atropin pasien sebenarnya menerima hari

sebelumnya . Takikardia dan midriasis tidak kontraindikasi pada penggunaan atropin . Jika pasien tidak atropinized benar , dosis atropin mungkin harus ditingkatkan dan jika pasien sangat atropinized , dosis harus dikurangi .

Pengamatan dekat pada pasien dengan hasil pemeriksaan tersebut dari dosis atropin diperlukan . ratusan miligram mungkin diperlukan selama beberapa hari di keracunan yang parah , seperti dalam kasus ini dilaporkan . dalam salah satu seri dilaporkan dari Nepal , jumlah rata-rata dan durasi atropin digunakan dalam pengobatan total pasien 136,7 mg ( kisaran 20-600 mg ) dan masing-masing 5,5 hari (kisaran 2 - 20 hari ). Dosis dan durasi atropin juga tergantung pada jenis dan jumlah senyawa organofosfat dikonsumsi . Methyl parathion ( metacid) Adalah salah satu senyawa organofosfat yang relatif beracun dikonsumsi secara lokal . pralidoksim Terapi oksim dianjurkan pada pasien dengan bukti toksisitas kolinergik pada pasien dengan keracunan organofosfat . PAM tidak dianjurkan untuk keracunan karena keracunan karbamat ( inhibitor reversibel asetil cholinesterase ). Standar direkomendasikan dosis PAM adalah 2 g ( 25 50 mg / kg pada anak-anak ) IV lebih dari 30menit , dengan melanjutkan infus pada 8 mg / kg / jam orang dewasa (10 - 20 mg / kg / jam pada anak-anak ) . Biasanya PAM diberikan dalam dosis 1 gram bolus diikuti oleh 0,5-1 gm 6 sampai 8 jam pada pasien dewasa. Terapi PAM dapat dilanjutkan per keparahan keracunan . Pralidoksim seharusnya tidak diberikan tanpa atropin bersamaan , untuk mencegah memburuknya gejala karena sementara inhibisi acetylcholinesterase oximeinduced . Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena

keracunan organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki riwayat penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan karena keracunan organofosfat pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan

bronkorea. Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan setiap 2-3 menit sampai 0,05mg/kg BB teratropinisasi. Untuk anak-anak setiap 2-3 dosis menit awalnya sampai

yang digandakan Tidak ada

teratropinisasi.

kontraindikasi penanganan keracunan

organofosfat dengan Atropin.

Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat.

Terapi ini diperlukan karena Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh organofosfat. dengan Oxime dapat

mereaktivasi

enzim

kholinesterase

membuang fosforil

organofosfat dari sisi aktif enzim. Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi penggunaan Atropine total dan mengurangi jumlah

penggunaan ventilator. Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi, peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri pada tempat injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi pada penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat. d. Pemberian anti-kejang Diazepam 0,1-0,2 mg / kg / IV , dapat diberikan , diulang seperlunya , jika kejang terjadi . Penggunaan awal diazepam dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas Diazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas, gelisah (dosis: 5-10 mg IV) dan bisa juga digunakan untuk mengkontrol kejang (dosis: sehingga 10-20 mg IV) e. Keseimbangan cairan dan elektrolit dan pendukung lainnya Biasanya langkah-langkah dukungan lain juga penting . Keseimbangan cairan dan elektrolit sangat penting . Pasien mungkin memerlukan cairan tambahan dan elektrolit untuk mengkompensasi kerugian akibat muntah , diare , dan demam tinggi , dan untuk asupan menurun . Jadi, selain untuk kebutuhan minimum harian cairan ( misalnya sekitar 2 liter ) , natrium dan kalium , IV cairan mungkin harus diberikan untuk tambahan - cairan dan penggantian elektrolit . Investigasi untuk menyingkirkan penyakit yang berhubungan seperti diabetes atau komplikasi seperti pneumonia aspirasi yang diperlukan . antibiotic mungkin diperlukan untuk pneumonia aspirasi .

f.

Diskusi simpatik dan peduli dengan pasien Sebagai diri keracunan - sebagian besar merupakan ' teriakan minta tolong ' , semua pasien memerlukan pendekatan simpatik dan peduli dan penilaian psiko-sosial dengan memperlakukan dokter dan perawat . Tiga poin penting dalam hal ini: mencari tahu alasan konsumsi , membiarkan pasien melampiaskan perasaan mereka dan berdiskusi dengan mereka aspek yang berbeda dari mereka situasi memberi mereka paradigma yang berbeda . Sebagian besar waktu dukungan dan diskusi tersebut cukup dan harus dilakukan oleh dokter dan perawat terlibat dalam pengelolaan pasien . Konseling jasa oleh psikiater adalah seperti sulit untuk mendapatkan di negara-negara berkembang. Beberapa pasien memerlukan rujukan untuk perawatan psikiatris . Kurang dari 20 % pasien keracunan diri membuat ulangi percobaan. Sebagian besar kasus biasanya membutuhkan rawat inap selama 7 sampai 10 hari . Dalam satu seri di sini , rata-rata tinggal di rumah sakit adalah 10,2 hari . Dengan pendekatan yang dibahas di atas , kematian dilaporkan di unit kedokteran umum di rumah sakit pusat di Nepal adalah 7,4 % .

KOMPLIKASI Gagal nafas kejang pneumonia aspirasi neuropati kematian DAFTAR PUSTAKA

Bhattarai MD, Singh DL, Chalise BS, Koirala P. A Case Report and Overview of Organophosphate (OP) Poisoning. Kathmandu University Medical Journal (2006), Vol. 4, No. 1, Issue 13, 100-104 Raini, Mariana. 2007. Kajian: Toksikologi Pestisida dan Penanganan Akibat Keracunan. Media Litbang Kesehatan Volume XVII Nomor 3 Tahun 2007.

You might also like