You are on page 1of 15

Abortus Provokatus Kriminalis

Reveinska Talahatu 102010067 Kelompok C2 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara no.6 - Jakarta Barat 11470 Email : reveinska@hotmail.co.id

Pendahuluan Aborsi adalah tindak terminasi kehamilan yang berusia di bawah 20 minggu. Aborsi dapat terjadi secara alami akibat penyakit atau tindakan-tindakan tertentu untuk menginduksi pengguguran yang disebut abortus provokatus. Abortus provokatus secara dasarnya dilarang baik dalam undang-undang di kebanyakan negara termasuk di Indonesia. Abortus provokatus walau bagaimanapun dibenarkan dalam beberapa hal dengan tujuan untuk menyelamatkan nyawa ibu dari bahaya jika kehamilan diteruskan, korban perkosaan yang hamil dan menghadapi trauma psikologi yang berat dan alasan lain yang dibenarkan secara medis. Dan tindakan terminasi kehamilan tetap harus mematuhi aturan tertentu dan tidak boleh dilakukan sembarangan. Aborsi yang tidak mematuhi garis panduan yang telah ditetapkan dianggap telah melanggar HAM dan dikategorikan sebagai abortus provokatus kriminalis. Ia merupakan suatu tindak pidana bagi semua individu yang terlibat dalam melakukan proses aborsi ini. Dokter yang melakukan tindakan abortus provokatus kriminalis juga dianggap telah melanggar sumpah, kode etik, medikolegal dan disiplin dan ini suatu malpraktek yang sangat berat jika terbukti dia telah melakukan hal tersebut.1

A. Aspek Hukum dan Medikolegal Tentang Abortus Kriminalis Perbuatan abortus sememangnya ada perbedaan di antara yang pro life dan pro choice terhadap aborsi. Jika seseorang melihat dari sudut pandang agama maka orang tersebut

tergolong pada paham pro life (tidak setuju dengan tindak aborsi), sedangkan ketika seseorang lebih cenderung dari sudut pandang selain agama, misalnya kesehatan maka orang tersebut dapat dikategorikan menganut paham pro choice (setuju pada aborsi dengan alasan tertentu).

Aborsi di Indonesia adalah dilarang karena dianggap melanggar HAM. Walau bagaimanapun terdapat pengecualian dalam hal-hal tertentu, di mana aborsi dibenarkan tetapi tetap harus mematuhi garis pedoman yang telah ditetapkan. Abortus kriminalis dilakukan bukan didasari oleh alasan medis yang membolehkan aborsi seperti pada ibu hamil dengan komplikasi yang mengancam nyawa seperti pada mola hidatidosa dan kelahiran ektopik terganggu. Abortus kriminalis dilakukan oleh pasangan yang telah menikah karena alasan seperti belum sedia punya anak, masalah ekonomi, selingkuh atau bayi cacat. Manakala bagi pasangan yang belum menikah melakukannya karena alasan takut ketahuan oleh keluarga, ancaman oleh pasangan, korban perkosaan dan incest. Dalam undang-undang KUHP menyebutkan bahwa semua orang yang ikut serta; baik dari pihak ibu, pasangannya, dokter, bidan, perawat dan siapa saja yang terlibat sama dalam abortus kriminalis akan dipidana sebagaimana yang disebut dalam KUHP pasal 346, 347, 348, 349 dan 55. Selain itu, dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juga menyebutkan larangan melakukan aborsi dan hanya

membenarkannya jika terdapat hal-hal yang dibenarkan dan sesuai indikasi dan standar pelayanan yang ditetapkan oleh pemerintah.1 KUHP pasal 346: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. KUHP pasal 347: (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. KUHP pasal 348: (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. KUHP pasal 349: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan. KUHP pasal 55: Orang yang menyuruh atau membantu tindak pidana dipidana sama dengan pelaku tindak pidana. UU RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 75: 1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi 2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa Ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan; atau b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psokologis bagi korban perkosaan
3

3. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah UU RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 76: Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a) sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; b) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan d) Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e) Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri UU RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 77: Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan perundang-undangan. UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan pasal 15 (Penjelasan): (1) Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu.

(2) a : Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebbab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan janinnya terancam bahaya maut. b : Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. c : Hak utama untuk memberikan persetujuan ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, dapat diminta dari suami atau keluarganya. d : Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah.

(3) : Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal ini dijabarkan antara lain mengenal keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga kesehaan mempunyai keahlian dan kewenagan bentuk persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk.2 Secara medis, aborsi dibagikan kepada 2 yaitu abortus spontan dan provokatus. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi sendiri tanpa adanya tindakan luar untuk menamatkan kehamilan misalnya akibat penyakit atau anomali kromosom manakala abortus provokatus adalah tindakan non-alami untuk terminasi kehamilan. Abortus provokatus dibagi lagi kepada 2 yaitu abortus provokatus terapeutis dan kriminalis. Bedanya adalah abortus terapeutis dilakukan hanya bila terdapat indikasi medis yang mengharuskannya yang jika tidak dilakukan dapat mengancam nyawa si ibu atau anaknya manakala abortus tanpa indikasi medis digolongkan sebagai abortus kriminalis.1 Oleh karena itu sebelum melaksanakan suatu abortus therapeutic, perlu diperhatikan: 1. Mengkonsultasikan dengan sedikitnya dua orang ahli yaitu ahli obgin dan ahli penyakit dalam atau ahli penyakit jantung yang berpengalaman. 2. Indikasi medis benar-benar tepat karenanya status penderita harus dilengkapidengan data yang cukup. 3. Ada persetujuan tertulis dari suami atau keluarga dekatnya.
5

4. Dilakukan di RS umum

Tabel 1. Kelainan kromosom yang menyebabkan abortus spontan3 Aborsi dilakukan dengan bermacam cara. Aborsi dapat terjadi secara mekanik dan kimiawi. Aborsi mekanik dilakukan dengan kekerasan luaran pada rahim atau kekerasan pada jalan lahir. Selain itu terdapat juga aborsi kimiawi yang menggunakan zat kimia seperti jamu, obat perangsang kontraksi dan zat kimia lain yang dapat membunuh janin. Kedua teknik ini tidak dilakukan dengan cara medis. Aborsi yang dilakukan oleh dokter mengikut teknik medis dan lebih aman berbanding cara sebelumnya dan ia dilakukan sesuai dengan usia kandungan tersebut. Usia kehamilan yang masih di bawah 2 bulan dilakukan dengan cara induksi haid. Usia kehamilan antara 2-5 bulan pula dilakukan suction-kuretase, dilatasikuretase, dilatasi-evakuasi. Usia kehamilan di atas 5 bulan dilakukan induksi partus dengan bantuan obat atau hormone prostaglandin. Dalam keadaan ini janin dapat hidup atau mati, manakala usia janin di bawah 5 bulan tidak viabel untuk hidup.3

Tabel 2. Metode-metode aborsi3

Gambar 1. Aborsi dengan menggunakan kuretase3 Dalam kasus ini, dokter kebidanan tersebut telah melakukan suction-kuretase pada ketiga wanita dengan usia kehamilan 5 bulan. Komplikasi aborsi dengan suction-kuretase meningkat setelah usia kehamilan memasuki trimester pertama. Sebetulnya suction-kuretase perlu dilakukan pada usia kehamilan sebelum 14-15 minggu. Jika usia kehamilan telah mencapai lebih dari 16 minggu, teknik dilatasi-evakuasi lebih dianjurkan. Wanita tersebut juga sebaiknya diberikan antibiotic profilaksis doksisiklin 100 mg per oral dan 200 mg per oral setelah operasi untuk mencegah kemungkinan terjadi infeksi. Ketika melakukan aborsi, persiapan resusitasi jantung-paru harus tersedia karena dapat saja terjadi komplikasi jalan nafas ketika melakukan tindakan. Dokter tersebut telah melakukan prosedur ini tanpa peralatan yang adekuat dan ini sangat membahayakan nyawa pasiennya.3

Tabel 3. Regimen yang digunakan pada terminasi kehamilan dini3


8

Tabel 4. Protokol terminasi kehamilan setelah usia kehamilan memasuki trimester kedua3 B. Pemeriksaan medis Untuk membuktikan dakwaan ini, kita harus memeriksa semua bahan bukti yaitu pemeriksaan kandungan botol suction-kuretase yang ditemukan milik dokter tersebut dan pemeriksaan medis terhadap ketiga wanita tersebut. Dari isi botol tersebut, jaringan yang masih utuh dikeluarkan untuk menilai jumlah janin yang dilakukan suction-kuretase. Cara yang paling sederhana adalah dengan menghitung jumlah ekstremitas yang ditemukan dalam botol tersebut baik tangan maupun kaki. Jumlah tangan atau kaki yang ditemukan harus sesuai dengan jumlah tangan atau kaki janin yang diaborsi. Kemudian dari sampel tersebut juga dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti analisa DNA beberapa sampel untuk menentukan janin tersebut adalah milik wanitawanita tersebut atau bukan. Selain itu, turut diperiksa juga apakah janin tersebut lahir mati atau lahir hidup. Pemeriksaan tanda-tanda intravitas seperti berat janin, panjang badan, pengembangan dada dan pematangan paru dan bentuk eritrosit juga dilakukan untuk menentukan apakah janin tadi viabel untuk dianggap lahir hidup atau tidak karena ia akan digunakan untuk menentukan apakah ia termasuk dalam pembunuhan anak sendiri atau bukan.4 Hasil suction sekiranya dijalankan pemeriksaan histopatologi perlu mempunyai beberapa karakteristik untuk memastikan apakah benar ianya hasil konsepsi. Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada kalanya kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas (blighted ovum); mungkin pula janin telah mati lama (missed abortion).

Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat, maka ia dapat diliputi oleh lapisan bekuan darah, sehingga dinamakan mola kruenta. Bentuk ini akan menjadi mola karnosa apabila pigmen darah telah diserap dan sisanya akan mengalami organisasi, sehingga semuanya tampak seperti daging. Bentuk yang lain dapat berbentuk mola tuberosa; dalam hal ini amnion tampak berbenjol benjol karena terjadi hematoma antara amnion dan korion. Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses mumifikasi: janin mengering dan karena cairan amnion menjadi kurang oleh sebab diserap, ia menjadi agak gepeng (fetus kompresus). Dalam tingkat lanjut ia menjadi tipis seperti kertas perkamen (fetus papiraseus). Kemungkinan lain pada janin mati yang tidak lekas dikeluarkan ialah terjadinya maserasi; kulit terkelupas, tengkorak menjadi lembek, perut membesar karena terisi cairan, dan seluruh janin berwarna kemerah merahan. 5 Selain dari itu, pemeriksaan juga dilakukan terhadap wanita tersebut. Selain dari pemeriksaan DNA untuk pembandingan dengan DNA janin tersebut, ketiga wanita tersebut diperiksa untuk mencari tanda-tanda kehamilan untuk memastikan bahwa wanita tersebut memang pernah hamil dan juga tanda-tanda telah melahirkan. Tanda-tanda kehamilan seperti striae gravidarum pada perut, letak fundus uteri yang lebih tinggi dari wanita normal, perubahan bentuk payu dara dan kadar hormone kehamilan (beta-HCG) yang relative masih tinggi. Manakala tanda telah melahirkan yang dapat dilihat adalah lochia atau darah nifas yang masih banyak, permukaan cervix yang masih lunak dan dilatasi serta adanya lesi pada rahim atau jalan lahir menandakan terdapat manipulasi pada kehamilan. Pada kehamilan dengan cara kimiawi, aspirasi cairan dari rongga rahim diambil untuk pemeriksaan toksikologi.6 C. Bioetik Tindakan abortus provokatus kriminalis yang dilakukan oleh seorang dokter adalah suatu tindakan malpraktek yang dikategorikan dalam professional misconduct. Dokter bukan seja telah melanggar peraturan undang-undang kedokteran seperti dalam KUHP pasal 347-349, malah meletakkan nyawa pasien dalam bahaya. Mungkin saja dokter tersebut melakukannya sesuai dengan ketrampilannya sebagai ahli kebidanan dan mempunyai sarana dan kelengkapan untuk melakukan aborsi namun tindakan dokter tersebut adalah suatu tindak pidana. Pembuktian terjadinya malpraktek secara ini jelas bila adanya bahan bukti yang ditemukan dan dapat dikaitkan dengan dokter tersebut. Dalam kondisi ini, dokter tidak dapat menghindari lagi karena bahan bukti tersebut sudah cukup kuat untuk menjerat hukum ke
10

atas dokter atas tindak pidana yang disebut res ipsa liquitor. Selain dibawa ke sidang pengadilan untuk tindak pidana, dokter ini juga harus mengikuti sidang Majlis Kehormat Kode Etik Kedokteran (MKEK) dan Majlis Kehormat Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Dokter dianggap bukan saja melanggar hukum, malah telah membelakangkan kaidah dasar bioetika yaitu beneficence, non-malaficence, autonomy dan justice.7 Para dokter dan tenaga medis lainnya, hendaklah selalu menjaga sumpah profesi dan kode etiknya dalam melakukan pekerjaan. Jika hal ini secara konsekwen dilakukan pengurangan kejadian abortus buatan ilegal akan secara signifikan dapat dikurangi. Dalam deklarasi Oslo (1970) tentang pengguguran kandungan atas indikasi medik, disebutkan bahwa moral dasar yang dijiwai seorang dokter adalah butir Lafal Sumpah Dokter yang berbunyi : Saya akan menghormati hidup insani sejak saat pembuahan : oleh karena itu Abortus buatan dengan indikasi medik, hanya dapat dilakukan dengan syarat-syarat berikut: 1. 2. Pengguguran hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik. Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan, sedapat mungkin disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional mereka. 3. Prosedur itu hendaklah dilakukan seorang dokter yang kompeten di instalasi yang diakui oleh suatu otoritas yang sah. 4. Jika dokter itu merasa bahwa hati nuraninya tidak memberanikan ia melakukan pengguguran tersebut, maka ia hendak mengundurkan diri dan menyerahkan pelaksanaan tindakan medik itu kepada sejawatnya yang lain yang kompeten. 5. Selain memahami dan menghayati sumpah profesi dan kode etik, para tenaga kesehatan perlu pula meningkatkan pemahaman agama yang dianutnya. Melalui pemahaman agama yang benar, diharapkan para tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya selalu mendasarkan tindakannya kepada tuntunan agama.

D. Visum et repertum Visum et repertum untuk kasus abortus tidak berbeda jauh dari visum et repertum yang lain. Seperti visum yang lain, ia harus mempunyai pro justitia, pendahuluan, pemberitahuan, kesimpulan dan penutup.1
11

RS UKRIDA Jl. Arjuna Utara no. 6 Jakarta Barat 56111 Telp/fax 021-212121 ___________________________________________________________________________

PRO JUSTITIA

Jakarta, 06 Disember 2013

VISUM ET REPERTUM No. 17/TU.RSUKRIDA/VII/2013

Yang bertandatangan di bawah ini, Reveinska Talahatu, dokter ahli kedokteran forensik di RS UKRIDA, menerangkan bahwa atas permintaan tertulis dari Kepolisian Sektor Tanjung Duren No. Pol.: B/987/VER/VII/12 tertanggal 04 Disember 2013, maka pada tanggal lima Disember tahun dua ribu tiga belas, pukul tiga belas lewat dua puluh menit Waktu Indonesia bagian Barat, bertempat di RS UKRIDA telah melakukan pemeriksaan korban dengan nomor registrasi 0732797 yang menurut surat tersebut adalah:----

Nama

: Tjinta ----------------------------------------------------------------------------

Jenis kelamin : Perempuan ---------------------------------------------------------------------Umur : 15 tahun -------------------------------------------------------------------------

Warga negara : Indonesia ----------------------------------------------------------------------Pekerjaan Alamat --: Siswa ---------------------------------------------------------------------------: Jl. Kembang Kol 12, no. 32 --------------------------------------------------

Nama

: Citra ----------------------------------------------------------------------------

Jenis kelamin : Perempuan ---------------------------------------------------------------------Umur : 21 tahun -------------------------------------------------------------------------

Warga negara : Indonesia ----------------------------------------------------------------------Pekerjaan Alamat : Swasta --------------------------------------------------------------------------: Jl. Wortel Putih, no. 4 -----------------------------------------------------

12

Nama

: Cynthia --------------------------------------------------------------------------

Jenis kelamin : Perempuan ---------------------------------------------------------------------Umur : 18 tahun -------------------------------------------------------------------------

Warga negara : Indonesia ----------------------------------------------------------------------Pekerjaan Alamat : Siswa ---------------------------------------------------------------------------: Jl. Tomat 42, no. 4 -----------------------------------------------------

Hasil Pemeriksaan 1. Korban datang dalam keadaan sadar penuh, dengan keadaan umum tampak sakit ringan. ---------------------------------------------------------------------------------------------2. Ketiga korban mengaku telah dilakukan pengguguran kandungan di tempat praktek tersangka. Kesemua korban mengaku telah melakukan aborsi karena takut ketahuan keluarga dan tiada indikasi medis yang jelas. ------------------------------------------------3. Kejadian aborsi terjadi pada tanggal dua puluh enam November jam dua puluh satu WIB, tanggal dua puluh delapan November jam tiga belas dua puluh WIB dan tanggal tiga puluh November jam dua puluh satu WIB di tempat praktek tersangka di Jl. Tanjung Kupang, no. 45. ------------------------------------------------------------------------4. Pada ketiga korban ditemukan: ----------------------------------------------------------------a. Tanda vital: nafas spontan, frekuensi nafas dua puluh kali permenit. Tekanan darah seratus sepuluh per delapan puluh millimeter air raksa, frekuensi nadi tujuh puluh lima kali permenit. -------------------------------------------------------------------b. Tanda kehamilan seperti adanya darah nifas dalam jumlah sedang, bentuk payu dara mempunyai ciri seperti pada wanita hamil dan pada perut terdapat garis kehamilan berwarna putih yang masih baru. Letak rahim sedikit tinggi kira-kira 8 sentimeter dari pusar. -----------------------------------------------------------------------c. Pada pemeriksaan hormone kehamilan ditemukan hasil positif hamil yang menandakan korban pernah hamil dalam waktu terdekat. -----------------------------d. Pada pemeriksaan alat kelamin dan jalan lahir ditemukan lesi berukuran empat sentimeter kali dua sentimeter pada mulut rahim arah jam sepuluh. -----------------e. Pada pemeriksaan botol suction-kuretase yang diberikan terdapat sisa janin yang padanya terdapat lima kaki dan enam tangan yang bentuknya belum sempurna. ---

13

f. Hasil pemeriksaan DNA dari jaringan dalam botol tersebut sesuai dengan DNA dari ketiga wanita tersebut. ------------------------------------------------------------------

Kesimpulan: ----------------------------------------------------------------------------------------------Pada ketiga korban wanita berusia lima belas, dua puluh satu dan delapan belas tahun ini telah menjalani tindakan pengguguran kandungan tanpa indikasi medis. ----------------------

Demikianlah saya uraikan dengan sebenar-benarnya berdasarkan keilmuan saya yang sebaik-baiknya mengingatkan sumpah sesuai dengan KUHAP. --------------------------------

Dokter yang memeriksa,

dr. Reveinska Talahatu, SpF NIP: 13045789

14

Daftar Pustaka 1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Munim TWA, Sidhi, Hertian S et al. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Bagian kedokteran forensik FKUI; 1997. p 5-12, 25-67, 165-70, 197-204. 2. Abortus dan Undang undangnya. [Online]. 2008. [Cited 8 January 2013]. Available from: http://requestartikel.com/abortus-dan-undang-undangnya-201012304.html 3. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom KD. Williams obstetrics. 22nd ed. The United States: McGraw-Hill; 2009. p 1123-37. 4. James JP, Jones R, Karch SB, Manlove J. Simpsons forensic medicine. 13th ed. London: Hodder & Stoughton Ltd; 2011. p 38-89. 5. Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses penyelidikan. Jakarta: Sagung seto; 2008. p. 174. 6. Stark MM. Clinical forensic medicine. 2nd ed. New Jersey: Humana Press Inc; 2005. p 61-120. 7. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2007. p 30-2, 90-2.

15

You might also like