Professional Documents
Culture Documents
(Pentingnya Imajinasi, Emosi, Intuisi, dan Estetika Bahasa yang Khas dalam Penulisan Sejarah) *
Azyumardi Azra **
Artikel ini semula merupakan makalah yang dipresentasikan oleh penulisnya dalam seminar Apresiasi Hidup dan Pemikiran Kuntowijoyo yang diselenggarakan oleh MYIA CRCS bekerjasama dengan BKMS Universitas Gadjah Mada di gedung University Center - UGM pada tanggal 26 Mei 2005. Artikel ini dimuat atas ijin langsung (Ed. AWBS) kepada penulisnya.
*
Azyumardi Azra (Ph.D. Columbia University, 1992) adalah Guru Besar sejarah dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1998-sekarang); honorary professor University of Melbourne (2004-2009); dan memperoleh gelar Dr. Hc., dalam humane letters dari Carrol College, Montana, AS (2005).
**
Abstract: Kuntowijoyo represent avant garde historian, which not only introducing and spreading new history and social history, but also as first historian that explicitly emphasize the important of imagination, emotion, intuition, and typical language esthetics in research and historiography. He is also cross beyond conventional boundary in historical science basically accept and apply the concept history of the feature, future history, entangling forecast or prediction about unsure future. Hence, he reminds that ancient history must be written very carefully because it inclined to extrapolation, estimation, and historical trends, in ancient and recent time. Keywords: Kuntowijoyo, History, structural history, new history and social history.
Pengantar
Saya tidak pernah membayangkan bahwa Kuntowijoyo menjadi rekan senior se-almamater di Department of History, Columbia University, New York. Bahkan, saya juga tak pernah membayangkan bahwa pada akhirnya saya belajar sejarah. Ketika mendapatkan kesempatan melanjutkan pelajaran ke Amerika Serikat pada 1986, saya sebenarnya ingin mengambil spesialisasi dalam pemikiran modern Islam. Tetapi, takdir menentukan lain, saya akhirnya mengambil spesialisasi sejarah untuk program M.A. dan Ph.D., dengan pokok studi sejarah sosialintelektual Islam di Asia Tenggara. Saya tentu saja tidak pernah menyesali takdir ini, sebaliknya secara retrospeksi, saya bersyukur belajar sejarah karena meminjam ungkapan sejarawan terkenal muslim, Ibnu Khaldun, sejarah adalah ibu semua ilmu. Saya sudah mengenal Kuntowijoyo dari jauh ketika masih menjadi mahasiswa di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1976-1983). Pertama, melalui artikel-artikel yang dia kirim ke majalah Panji
Masyarakat, tempat saya bekerja sejak masih mahasiswa sampai menjelang berangkat ke AS untuk
melanjutkan studi lanjut. Kedua, melalui bacaan-bacaan atas karya-karya Kuntowijoyo yang termasuk menjadi salah satu bacaan dan bahan pokok diskusi di antara teman-teman. Bagi saya khususnya, yang memang juga meminati sastra dan menulis puisi, karya-karya Kuntowijoyo punya tempat tersendiri. Sebagai sastrawan, Kuntowijoyo memiliki imajinasi kreatif, yang secara otomatis dan instan dia salurkan ke dalam tulisan-tulisannya tentang sejarah. Kuntowijoyo tentu saja sangat menekankan pentingnya imajinasi dalam penelitian dan penulisan sejarah. Menurut dia, dalam menjalankan pekerjaannya, sejarawan harus dapat membayangkan apa yang (terjadi) sebelumnya; apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi sesudah itu. Ia memberi contoh, Misalnya ia akan menulis priyayi awal abad ke-20. Ia harus punya gambaran, mungkin priyayi itu anak-cucu kaum bangsawan atau raja yang turun statusnya karena sebab-sebab alamiah atau politis. Demikian juga sejarawan harus dapat membayangkan betapa bangga istrinya bila pria priyayi itu dapat menggaet penari tayub.1
Sejarah Struktural
Karya-karya Kuntowijoyo dalam bidang sejarah punya ciri dan karakter tersendiri, yang cocok dengan kecenderungan intelektual saya pada awal 1980-an. Karya-karya sejarah Kuntowijoyo dalam bacaan saya pada awal 1980-an itu cenderung merupakan sejarah struktural, yang melukiskan dinamika sejarah beserta manusia dan masyarakat yang berada di sekitarnya dalam kerangka struktur-struktur tertentu. Struktur-struktur tersebut bukannya tidak membuat sebagian manusia dan masyarakat berada dalam himpitan yang mengenaskan, dan bahkan menggilas. Kerangka ini cocok dengan wacana yang dominan dalam intelektualisme saya pada awal 1980-an. Pada masa ini, berkat diskusi-diskusi di LP3ES di bawah bimbingan M. Dawam Rahardjo, strukturalisme ekonomi, sosial budaya, dan politik merupakan salah satu wacana pokok yang saya gandrungi. Teori-teori tentang center (pusat) dan periphery (pinggiran), dependency
theory, structural violence, dan semacamnya, merupakan menu sehari-hari. Dan, tulisan-tulisan
Kuntowijoyo, apakah secara implisit maupun eksplisit, bukannya tidak banyak mengandung teori dan aspek tertentu dari semua wacana strukturalisme tersebut. Kecenderungan Kuntowijoyo kepada wacana dan sejarah struktural tersebut dapat dilihat misalnya dari terminologi yang sering digunakan seperti peasantization, ruralization,
kawulo, wong cilik, periferal, alienasi, dan semacamnya. Hal ini juga bisa dilihat dari
rujukannya-rujukannya, sejak dari Samir Amin, Ralf Dahrendorf, Emmanuel Wallerstein, sampai kepada Antonio Gramsci. Tidak jarang Kuntowijoyo menggunakan pendekatan struktural Marxian sebagai kerangka analisis untuk menjelaskan berbagai dinamika dan perkembangan sejarah, khususnya sejarah sosial politik umat Islam Indonesia.2 Dengan pendekatan struktural itu, Kuntowijoyo ketika menjelaskan sejarah sosial politik umat Islam Indonesia, bahkan sejarah umat Islam Indonesia dalam berbagai aspeknya, berargumen
bahwa perkembangan sejarah umat Islam hampir selalu melibatkan pergumulan antarkelas masyarakat. Perkembangan ini pada gilirannya senantiasa disertai dengan alienasi politik agama, baik pada masa kesultanan Mataram maupun pada masa Orde Baru; jika pada masyarakat Mataram adalah masyarakat upeti, sedangkan pada masa Orde Baru adalah masyarakat kapitalis yang mengakibatkan teralienasinya rakyat jelata. Lebih jauh, menurut Kuntowijoyo, sejarah sosial politik umat Islam pada masa Orde Baru sangat dipengaruhi atau bahkan dideterminasi terbentuknya stratifikasi sosial menumbuhsuburkan kelas pemilik modal; dan kolaborasi dengan kapitalisme internasional pada gilirannya menjadikan Indonesia hanya sebagai mata-rantai dari serangkaian pembagian kerja dan eksploitasi ekonomi internasional. Ia berargumen karena perkembangan semacam itu tidak pernah menghadapi ujian dan tantangan yang benar-benar serius, maka proses rasionalisasi politik dan ekonomi tidak mustahil akan mengakibatkan keruntuhan bangsa di masa depan.3 Dalam semua perkembangan itu, menurut Kuntowijoyo, sejarah umat Islam sejak jaman Belanda sampai masa kontemporer adalah sejarah alienasi dan oposisi. Pada masa Belanda, transformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah kolonial mengakibatkan teralienasinya Islam dan umat muslimin dari negara, atau bahkan lebih parah lagi, subordinasi agama kepada negara. Hasilnya, umat Islam tak bisa lain kecuali menjadi kawula atau wong cilik belaka. Karena perkembangan yang tidak menyenangkan ini, tidak heran yang berkembang di tengah umat Islam bukan hanya teralienasi dan oposisi, tetapi juga bahkan perlawanan. Gagasan-gagasan tentang perang suci (jihad fi sabilillah) yang bukan tidak sering diwarnai ideologi messianistik semakin kuat di kalangan umat Islam, khususnya para petani. Dari sinilah Kuntowijoyo melacak akar-akar radikalisme di kalangan umat Islam Indonesia. Radikalisme yang muncul dari alienasi tersebut terus berlangsung sepanjang abad ke-19 dan ke20. Sarekat Islam (SI), menurut Kuntowijoyo, merupakan fenomena baru radikalisme di kalangan umat Islam, yang antara lain mengambil bentuk seperti kerusuhan anti-Cina. Bahkan, SI di bawah kepemimpinan Cokroaminoto dipandang para pengikut SI dari kalangan petani sebagai gerakan Ratu Adil yang akan membebaskan mereka dari ketertindasan. Karena itu, dalam pandangan Kuntowijoyo, radikalisme dalam kesadaran umat Islam memiliki asal-usulnya dalam pengalaman sejarah mereka sendiri. Ekstrimisme Muslim dewasa ini, menurut dia adalah radikalisme agrarian dan radikalisme perkotaan di masa silam. Akar-akarnya tertanam dalam sejarah sosial umat, yaitu pada periode wong cilik, bukannya pada pasar radikalisme internasional. Meski demikian, Kuntowijoyo segera menyatakan bahwa religiositas tidak selalu mempunyai korelasi positif dengan radikalisme. Menurut dia, kawasan dengan penduduk Muslim yang sangat taat seperti Madura misalnya, tidak cukup memperlihatkan radikalisme agrarian.
Cakupan sejarah sosial sangat luas, karena itu sering juga disebut sebagai total history atau bahkan global history yang mulai dari sejarah cuaca, sejarah petani, sejarah ekonomi, sejarah keluarga, sejarah olahraga, sejarah kehidupan seks, sejarah minuman kopi, sejarah gaya pakaian, dan seterusnya banyak lagi. Membaca karya-karya sejarah Kuntowijoyo, jelas dia terutama memusatkan diri pada sejarah petani, dan kaum marjinal umumnya, yang terpinggirkan dalam proses-proses sejarah.
Penutup
Tidak ragu lagi bahwa Kuntowijoyo merupakan sejarawan garda depan, tidak hanya dalam memperkenalkan secara lebih luas new history dan social history. Bukan hanya itu, Kuntowijoyo adalah sejarawan pertama yang secara eksplisit menekankan pentingnya imajinasi, emosi, intuisi, dan estetika gaya bahasa yang khas dalam penelitian dan penulisan sejarah. Kuntowijoyo juga melangkah keluar batas-batas konvensional dalam ilmu sejarah dengan pada dasarnya menerima dan menerapkan konsep history of the future, sejarah masa depan. Ini dapat disimak dalam berbagai tulisannya. Sejarah model ini tidak bisa lain melibatkan apa yang disebutkan oleh Kuntowijoyo sebagai ramalan, yang menurut saya lebih tepat disebut prediksi, yaitu perkiraan tentang sesuatu yang belum pasti terjadi. Ini tentu saja berbeda dengan sejarah konvensional yang berdasarkan pada fakta yang sudah terjadi dan menjadi sejarah. Tugas peneliti sejarah dan sejarawan adalah merekontruksi masa lampau tersebut. Kuntowijoyo mengakui bahwa prediksi bukanlah tugas sejarah. Karena itu, ia mengingatkan agar penulisan sejarah masa lampau dilakukan secara hatihati sekali karena ia lebih berdasarkan ekstrapolasi, perkiraan, dan historical trends, di masa silam dan sekarang.
Endnote
1 2
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), hal. 68.
Ibid., Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), hal. 87. 3 Ibid., Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi, A.E. Priyono (Ed.) (Bandung: Mizan, 1991), hal. 146. 4 Ibid., Pengantar Ilmu Sejarah, hal. 107.
Daftar Pustaka
Kuntowijoyo. 1980. Social Change in an Agrarian Society : Madura 1850-1940. Disertasi Ph.D. Colombia University: New York. ___________. 1985. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Salahuddin Press. ___________. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
___________. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. A.E. Priyono (Ed.). Bandung: Mizan. ___________. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana dan Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah mada.