You are on page 1of 14

A.

Pancasila sebagai Paradigma Reformasi


Reformasi dengan melakukan perubahan dalam berbagai bidang yang sering diteriakkan dengan jargon reformasi total tidak mungkun melakukan perubahan terhadap sumbernya itu sendiri. Mungkinkah reformasi total dewasa ini akan mengubah kehidupan bangsa Indonesia menjadi tidak berketuhanan, tidak berkemanusiaan, tidak berpersatuan, tidak berkerakyatan serta tidak berkeadilan, dan kiranya hal itu tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu justru sebaliknya reformasi itu harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform yang jelas dan bagi bangsa Indonesia Nilai-nilai Pancasila itulah yang merupakan paradigma Reformasi Total tersebut. 1. Gerakan Reformasi Awal keberhasilan gerakan Reformasi tersebut ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie menggantikan kedudukan Presiden. Kemudian diikuti dengan pembentukkan Kabinet Reformasi Pembangunan. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama pengubahan 5 paket UU, Politik tahun 1985, kemudian diikuti dengan reformasi ekonomu yang menyangkut perlindungan hukum sehingga perlu diwujudkan UU Anti Monopoli, UU Persaingan Sehat, UU Kepailitan, UU Usaha Kecil, UU Bank Sentral, UU Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Buruh dan lain sebagainya (Nopirirn, 1998 : 1). Dengan demikian reformasi harus diikuti juga dengan reformasi hukum bersama aparat penegaknya serta reformasi pada berbagai instansi pemerintahan. Yang lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui Pemilu secepatnya dan diawali dengan pengubahan : a. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No. 16/1969 jis. UU No. 5/1975 dan UU No. 2/1985). b. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo. UU No. 3/1985). c. UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 16/1969 jis UU No.4/1975, UU No. 2/1980, dan UU No. 1/1985). d. Reformasi terhadap UU Politik tersebut di atas harus benar-benar dapat mewujudkan iklim politik yang demokratis sesuai dengan kehendak Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (Mardjono, 1998 : 57). a. Gerakan Reformasi dan Ideologi Pancasila Makna Reformasi secara etimologis berasal dari kata reformation dengan akar kata reform yang secara semantic bermakna make or become better by removing or putting right what is bad or wrong (Oxford Advanced Leaners Divtionary of Current English, 1980. dalam Wibisono, 1998 : 1). Secara harfiah reformasi memiliki makna: suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat (Riswanda, 1998). 1) Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut : Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan. Masa pemerintahan Orde banyak terjadi suatu penyimpangan misalnya asas kekeluargaan menjadi nepotisme, kolusi dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat Pembukaan UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945.

2) Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu, dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia, dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Jadi reformasi pada prinsip-prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan kepada dasar nilai-nilai sebagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Tanpa landasan ideologis yang jelas maka gerakan reformasi akan mengarah kepada anarkisme, disentegrasi bangsa dan akhirnya jatuh pada suatu kehancuran bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana yang telah terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia. 3) Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu kerangka struktural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformas. Reformasi pada prinsipnya gerakan untuk mengadakan suatu perubahan untuk mengembalikan pada suatu tatanan struktural yang ada karena adanya suatu penyimpangan. Maka reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem negara demokrasi, bahwa kedaulatan adalah di tanga rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2). Reformasi harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah sistem negara hukum dalam arti yang sebenarnya sebagaimana terkandung dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari penguasa, serta legalitas dalam arti hukum. Oleh karena itu reformasi itu sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Selain itu reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah transparansi dalam setiap kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara karena hal ini sebagai manifestasi bahwa rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan negara dan untuk rakyatlah segala aske kegiatan negara. 4) Refomasi dilakukan kearah suatu perubahan ke arah kondisi serta keadaan yang lebih baik. Perubahan yang dilakukan dengan reformasi harus mengarah pada suatu kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan. Dengan lain perkataan reformasi harus dilakukan ke arah peningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia sebagai manusia. 5) Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik sebagai manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa. b. Pancasila sebagai Dasar Cita-cita Reformasi Gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam kerangka perspektif Pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideologi (Hamengkubuwono X, 1998 : 8) sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas maka suatu reformasi akan mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme, brutalisme, serta pada akhirnya menuju pada kehancuran bangsa dan negara Indonesia. Maka reformasi dalam perspektif Pancasila pada hakikatnya harus berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapun secara rinci sebagai berikut: 1) Reformasi yang Berketuhanan yang Maha Esa, yang berarti bahwa suatu gerakan ke arah perubahan harus mengarah pada suatu kondisi yang lebih baik bagi kehidupan manusia sebagai Makhluk Tuhan. Karena hakikatnya manusia adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa adalah sebagai makhluk yang sempurna yang berakal budi sehingga senantiasa bersifat dinamis, sehingga selalu melakukan suatu perubahan ke arah suatu kehidupan kemanusiaan yang lebih baik. Maka reformasi harus berlandasan keagamaan. Oleh karena itu

2)

3)

4)

5)

reformasi yang dijiwai nilai-nilai religius tidak membenarkan pengrusakan, penganiayaan, merugikan orang lain serta bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Reformasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berarti bahwa reformasi harus dilakukan dengan dasar-dasar nilai-nilai martabat manusia yang beradab. Oleh karena itu reformasi harus dilandasi oleh moral kemanusiaan yang luhur, yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan bahkan reformasi menargetkan ke arah penataan kembali suatu kehidupan negara yang menhargai harkat dan martabat manusia, yang secara kongkrit menghargai hak-hak asasi manusia. Reformasi menentang segala praktek eksploitasi, penindasan oleh manusia terhadap manusia lain, oleh golongan satu terhadap golongan lain bahkan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Untuk bangsa yang majemuk seperti bangsa Indonesia maka semangat reformasi yang berdasar pada kemanusiaan menentang praktek-praktej yang mengarah pada diskriminasi dan dominasi sosial, bik alasan perbedaan suku, ras, asal-usul maupun agama. Reformasi yang dijiwai nilai-nilai kemanusiaan tidak membenarkan perilaku yang biadab membakar, menganiaya, menjarah, memperkosa, dan bentuk-bentuk kebrutalan lainnya yang mengarah pada praktek anarkisme. Sekaligus reformasi yang berkemanusiaan harus membrantas sampai tuntas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang telah sedemikian mengakar pada kehidupan kenegaraan pemerintahan Orba (lihat Hamengkubuwono X, 1998 : 8). Semangat reformasi harus berdasarkan pada nilai persatuan, sehingga reformasi harus menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia. Reformasi harus menghindarkan diri dari praktek-praktek yang mengarah pada disintegrasi bangsa, upaya sparatisme baik atas dasar kedaerahan, suku maupun agama. Reformasi memiliki makna menata kembali kehidupan bangsa dalam bernegara, sehingga reformasi justru harus mengarah pada lebih kuatnya persatuan dan kesatuan bangsa. Demikian juga reformasi harus senantiasa dijiwai asas kebersamaan sebagai suatu bangsa Indonesia. Semangat dan jiwa reformasi harus berakar pada asas kerakyatan sebab justru permasalah dasar gerakan reformasi adalah pada prinsip kerakyatan. Penatan kembali secara menyeluruh dalam segala aspek pelaksanaan pemerintahan negara harus meletakkan kerakyatan sebagai paradigmanya. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan sekaligus sebagai tujuan kekuasaan negara, dalam pengertian inilah maka reformasi harus mengembalikan pada tatanan pemerintahan negara yang benar-benar bersifat demokratis, artinya rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Maka semangat reformasi menentang segala bentuk penyimpangan demokratis seperti kediktatoran baik bersifat langsung maupun tidak langsung,, feodalisme maupun totaliterianisme. Asas kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan menghendaki terwujudnya masyarakat demokratis. Kecenderungan munculnya diktator mayoritas melalui aksi massa, harus diarahkan pada asas kebersamaan hidup rakyat agar tidak mengarah pada anarkisme. Oleh karena itu penataan kembali mekanisme demokrasi seperti pemilihan anggota DPR, MPR, pelaksanaan Pemilu beserta perangkat perundang-undangannya pada hakikatnya untuk mengembalikan tatanan negara pada asas demokrasi yang bersumber pada kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila. Visi dasar reformasi harus jelas, yaitu demi terwujudnya Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan penataan kembali dalam berbagai bidang kehidupan negara harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu terwujudnya tujuan bersama sebagai negara hukum yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu hendaklah disadari bahwa gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan

penataan kembali, pada hakikatnya bukan hanya bertujuan demi perubahan itu sendiri, namun perubahan dan penataan demi kehidupan bersama yang berkeadilan. Perlindungan terhadap hak asai, peradilan yang benar-benar terbebas dari kekuasaan, serta legalitas dalam arti hukum harus benar-benar dapat terwujudkan. Sehingga rakyat benar-benar menikmati hak serta kewajibannya berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Oleh karena itu reformasi hukum baik yang menyangkut materi hukum terutama aparat pelaksana dan penegak hukum adalah merupakan target reformasi yang mendesak untuk terciptanya suatu keadilan dalam kehidupan rakyat. Dalam perspektif Pancasila gerakan reformasi sebagai suatu upaya untuk menata ulang dengan melakukan perubahan sebagai realisasi kedinamisan dan keterbukaan Pancasila dalam kebijaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka dan dinamis Pancasila harus mampu mengantisipasi perkembangan zaman terutama perkembangan dinamika aspirasi rakyat. Nilai-nilai Pancasila adalah ada pada filsafat hidup bangsa Indonesia, dan sebagai bangsa maka akan senantiasa memiliki perkembangan aspirasi sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu Pancasila sebagai sumber nilai memiliki sifat yang reformasi artinya memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengna dinamika aspirasi rakyat, dalam mengantisipasi perkembangan zaman, yaitu dengan jalan menata kembali kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat, akan tetapi nilai-nilai esensialnya bersifat tetap yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. 2. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum Dalam era reformasi akhir-akhir ini seruan dan tuntutan rakyat terhadap pembaharuan hukum sudah merupakan suatu keharusan karena proses reformasi yang melakukan penataan kembali tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundangundangan. Agenda yang lebih kongkret yang diperjuangkan oleh para reformasi yang paling mendesak adalah reformasi bidang hukum. Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat runtuhnya kekuasaan Orde Baru, salah satu subsistem yang mengalami kerusakan parah selama Orde Baru adalah bidang hukum. Produk hukum baik materi maupun penegakannya dirasakan semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan serta keadilan. Subsistem hukum nampaknya tidak mampu menjadi pelindung bagi kepentingan masyarakat dan yang berlaku hanya bersifat imperatif bagi penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena kerusakan atas subsistem hukum yang sangat menentukan dalam berbagai bidang misalnya politik, ekonomi, dan bidang lainnya maka bangsa Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata kembali subsistem yang mengalami kerusan tersebut. Namun demikianlah hendaklah dipahami bahwa dalam melakukan reformasi tidak mungkin dilakukan secara spekulatif saja melainkan harus memiliki dasar, landasan serta sumber nilai yang jelas, dan dalam masalah ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan dasar cita-cita reformasi. Pancasila sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara disebut Staatsfundamentalnorm. Dalam negara Indonesia Staatsfundamentalnorm tersebut intinya tidak lain adalah Pancasila. Maka Pancasila merupakan cita-cita hukum, kerangka berpikir, sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila

berfungsi sebagai paradigma hukum terutama dalam kaitannya dengan berbagai macam upaya perubahan hukum. Materi-materi dalam suatu produk hukum atau perubahan hukum dapat senantiasa berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan Iptek serta perkembangan aspirasi masyarakat namun sumber nilai (yaitu nilai-nilai Pancasila) harus senantiasa tetap. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hukum itu tidak berada pada situasi vacum. Oleh karena itu agar hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat maka hukum harus senantiasa diperbaruhi agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat yang dilayaninya dan dalam pembaruhan hukum yang terus-menerus tersebut Pancasila harus tetap sebagai kerangka berpikir, sumber norma dan sumber nilai-nilainya. Sebagai paradigma dalam pembaruhan tatanan hukum Pancasila itu dapat dipandang sebagai Cita-cita hukum yang berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia. Sebagai cita-cita hukum Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulative. Dengan fungsi regulatifnya Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang member arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi regulatifnya Pancasila menentukan Apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang adil ataukah tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termasuk UUD 1945. Dalam pengertian inilah menurut istilah ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala peraturan perundangundangan di Indonesia (Mahfud, 1999 : 59). Sumber hukum meliputi dua macam pengertian, (1) sumber formal hukum, yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum, yang mengikat terhadap komunitasnya, misalnya Undang-Undang Permen, Perda, dan (2) sumber material hukum, yaitu suatu sumber hukum yang menentukan materi atau isi suatu norma hukum (Darmodiharjo, 1996 : 206). Pancasila yang didalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum kodrat, nilai hukum moral pada hakikatnya merupakan suatu sumber material hukum positif di Indonesia. Dengan demikian Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan perundang-undangan Indonesia yang tersusun secara hierarkhis. Dasar Yuridis Reformasi Hukum Dalam upaya reformasi hukum dewasa ini telah banyak dilontarkan berbagai macam pendapat tentang aspek apa saja yang dapat dilakukan dalam perubahan hukum di Indonesia, bahkan telah banyak usulan untuk perlunya amandemen atau kalau perlu perubahan secara menyeluruh terhadap pasal-pasal UUD 1945. Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa UUD 1945 beberapa pasalnya dalam praktek penyelenggaraan negara bersifat berwayuh arti (multi interpretable), dan memberikan porsi kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden (executive heavy). Akibatnya memberikan kontribusi atas terjadinya krisis politik serta mandulnya fungsi hukum dalam negara republik Indonesia. Diakuinya berdasarkan banyaknya spirasi yang berkembang cenderung ke arah adanya amandemen terhadap pasal-pasal UUD bukannya perubahan secara menyeluruh (Mahfud, 1999 : 56). Namun hendaklah dipahami secara objektif bahwa bilamana terjadi suatu amandemen atau bahkan perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945, karena Pembukaan UUD 1945 yang berkedudukan sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental, merupakan sumber hukum positif, memuat Pancasila sebagai dasar Filsafat Negara serta terlekat pada kelangsungan hidup Negara Prokalamsi 17 Agustus adalah suatu revolusi dan sama halnya dengan

menghilangkan eksistensi bangsa dan negara Indonesia, atau dengan perkataan lain sama halnya dengan pembuburan negara Indonesia. Pancasila sebagai Paradigma Reforamsi Pelaksanaan Hukum Reformasi pada hakikatnya untuk mengembalikan negara pada kekuasaan rakyat (Sila IV). Negara adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat adalah asal-mula kekuasaan negara. Maka dalam pelaksanaan hukum harus mengembalikan negara pada supremasi hukum yang didasarkan atas kekuasaan yang berada pada rakyat bukannya pada kekuasaan rakyat dilakukan oleh suatu majelis Permusyawaratan Rakyat yang dilakukan melalui suatu pemilihan umum. Oleh karena itu pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus mendasarkan pada terwujudnya atas jaminan bahwa dalam suatu negara kekuasaan adalah di tangan rakyat. Pelaksanaan hukum pada masa reformasi ini harus benar-benar dapat mewujudkan negara demokratis dengan suatu supremasi hukum. Artinya pelaksanaan hukum harus mampu mewujudkan jaminan atas terwujudnya keadilan (Sila V), dalam suatu negara yaitu keseimbangan antara hak dan wajib bagi setiap warga negara tidak memandang pangkat, jabatan, golongan, etinisitas, maupun agama. Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dimuka hukum dan pemerintahan (UUD 1945 Pasal 27). Jaminan atas terwujudnya keadilan bagi setiap warga negara dalam hidup bersama dalam suatu negara yang meliputi seluruh unsur keadilan baik keadilan distributif , keadilan komutatif, serta keadilan legal. Konsekuensinya dalam pelaksanaan hukum aparat penegak hukum terutama pihak kejaksaan adalah sebagai ujung tombaknya sehingga harus benar-benar bersih dari praktek KKN. 3. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik Nilai demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam Pancasila sebagai fondasi bangunan negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita dalam kenyataannya tidak dilaksanakan berdasarkan suasana kerokhaniaan berdasarkan nilai-nilai tersebut. Dalam realisasinya baik pada masa orde lama maupun orde baru, negara mengarah pada praktek otoritarianisme yang mengarah pada porsi kekuasaan yang terbesar kepada Presiden. Nilai demokrasi politik tersebut secara normatif terjabarkan dalam Pasal-pasal UUD 1945 yaitu Pasal 1 ayat (2) menyatakan : Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasal 2 ayat (2) menyatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 5 ayat (1) menyatakan : Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 6 ayat (2) menyatakan : Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak. Rangkaian keempat pasal tersebut terkesan sangat unik, karena berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tertinggi negara untuk menjalankan kedaulatan rakyat, serta berdasarkan Pasal 6 ayat (2) berkuasa memilih

Presiden. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) susunan dan kedudukannya justru diatur dengan undang-undang yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut terdapat suatu pertanyaan mendasar berkaitan dengna mekanisme-demokrasi yaitu bagaimana NOR sebagai lemabgai tertinggi negara yang memiliki kekuasaan tertinggi, namun ditentukan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR yang kekuasaannya di bawah MPR. Hal ini bilamana dipahami secara harfiah akan menimbulkan interpretasi negatif. Oleh karena itu harus dipahami berdasarkan semangat dari UUD 1945 yang merupakan esensi pasal-pasal itu : a. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. b. Kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. c. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan karenanya harus tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. d. Produk hukum apapun yang dihasilkan oleh Presiden, baik sendiri maupun bersama-sama lembaga lain, kekuatannya berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat atau produk-produknya. Prinsip-prinsip demokrasi tersebut bilamana kita kembalikan pada nilai esensial yang terkandung dalam Pancasila maka kedaulatan tertinggi negara adalah di tangan rakyat. Rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu paradigma ini harus merupakan dasar pijak dalam reformasi politik. 4. Reformasi atas Sistem Politik Sistem mekanisme demokrasi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Politik yang berlaku selama Orde Baru yaitu : a. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No. 16/1969 jis UU No. 5/1975 dan UU No. 2/1985). b. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo. UU No. 3/1985). c. UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 15/1969 jis UU No. 4/1975, UU No. 2/1980, dan UU No. 1/1985). Oleh karena itu untuk melakukan reformasi atas sistem politik harus juga melalui reformasi pada Undang-Undang yang mengatur sistem politik tersebut, dengan tetap mendasarkan pada paradigma nilai-nilai kerakyatan sebagaimana terkandung dalam Pancasila. Susunan Keanggotaan MPR Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD pada masa orde baru bermuat dalam UU No. 2/1985 sebagai berikut : a. Susunan keanggotaan MPR terdiri atas keseluruhan anggota DPRm ditambah dengan anggota utusan daerah dan utusan golongan sebagai kelompok yang lain dalam jumlah yang sama. b. Utusan golongan diangkat oeh Presiden, sedangkan utusan daerah ditetapkan oleh DPRD Tingkat 1 yang di dalamnya harus termasuk Gubernur/Kepala Daerah Tingkat 1. c. Susunan keanggotaan DPR dan DPRD Tingkat 1 dan Tingkat II tidak seluruhnya dipilih oleh rakyat melalui pemilu, melainkan sebagian dipilih dan diangkat oleh Presiden. d. Kata ditambah seperti termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 secara matematis menunjukkan perbandingan jumlah anggota MPR Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang

notabene diangkat dan sekedar sebagai tambahan akan lebih besar dibandingkan jumlah anggota MPR yang dipilih langsung oleh rakyat, bahkan ditambah lagi anggota DPR dari fraksi ABRI yang juga tidak dipilih melalui pemilu. Susunan keanggotaan MPR sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Politik No. 2/1985 tersebut jelas tidak demokratis dan tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat sebagai tertuang dalam semangat UUD 1945. Berdasarkan kenyataan susunan keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD tersebut di atas maka rakyat bertekad melakukan reformasi dengan mengubah sistem politik tersebut melalui Sidang Istimewa MPR tahun 1998, yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Politik Tahun 1999. Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 yang mengatur tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Perubahan yang telah dilakukan antara lain Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa jumlah anggota MPR sebanyak 700 orang. Anggota DPR hasil Pemilu sebanyak 500 orang. Utusan Daerah sebanyak 135 orang, yaitu 5 orang dari setiap Daerah Tingkat I. Utusan Golongan sebanyak 65 orang. Kemudian perubahan yang mendasar berikutnya adalah pada Pasal 2 ayat (3) yaitu Utusan daerah dipilih oleh DPR, dan sebagaimana diketahui bahwa DPR adalah merupakam hasil Pemilu jadi bersifat demokratis. Kalau pada UU No. 2/1985 dipilih dan diangkat oleh Presiden. Demikian pula perubahan atas penentuan Utusan Golongan diusulkan oleh golongan masingmasing kepada DPR untuk ditetapkan. Adapun jenis dan jumlah wakil dari masing-masing golongan ditetapkan oleh DPR Pasal 2 ayat (5). Susunan Keanggotaan DPR Perubahan atas isi keanggotaan DPR tertuang dalam Undang-Undang No. 4 Pasal 11 sebagai berikut : Pasal 4, ayat (2) menyatakan keanggotaan DPR terdiri atas : a. anggota partai politik hasil Pemilu b. anggota ABRI yang diangkat. Pasal 11 ayat (3) menjelaskan : a. anggota partai politik hasil Pemilu sebanyak 462 orang. b. anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang. Berkaitandengan keanggotaan ABRI di DPR ini sampai saat ini masih ada sementara masyarakat yang menolak, namun berdasarkan hasil Sidan Istimewa MPR tahun 1998, untuk keanggotaan ABRI ini akan dikurangi secara bertahap. Berdasarkan pertimbangan dan hasil musyawarah saat ini masih perlu partisipasi ABRI dalam sistem demokrasi demi persatuan dan kesatuan bangsa. Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat I Reformasi atas Undang-Undang Politik yang mengatur Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat I, tertuang dalam Undang-Undang Politik No. 4 Tahun 1999, sebagai berikut : Pasal 18 ayat (1) bahwa pengisian anggota DPRD I dilakukan melalui Pemilu dan pengangkatan. Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa DPRD I terdiri atas : a. anggota partai politik hasil Pemilihan Umum. b. anggota ABRI yang diangkat.

Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa jumlah anggota DPRD I ditetapkan sekurang-kurangnya 45 orang dan sebanyak-banyaknya 100 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat. Demikianlah kiranya upaya untuk mengembalikan tatanan demokrasi pada dasar nilai kedaulatan di tangan rajkyat dituangkan dalam Undang-Undang Politik Tahun 1999. Susunan Keanggotaan DPRD II Reformasi atas susunan keanggotaan DPRD II tertuang dalam Undang-Undang Politik No. 4 Tahun 1999, sebagai berikut : Pasal 25 ayat (1) menyatakan: pengisian anggota DPRD II dilakukan berdasarkan hasil Pemilihan Umum dan pengangkatan. Pasal 25 ayat (2) menyatakan DPRD II terdiri atas a. anggota partai politik hasil Pemilihan Umum b. anggota ABRI yang diangkat. Pasal 25 ayat (3) menyatakan bahwa jumlah anggota DPRD II ditetapkan sekurangkurangnya 20 orang sebanyak-banyaknya 45 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat. Demikianlah perubahan atas dasar Undang-Undang tentang Susunan Keanggotaan MPR, DPR dan DPRD agar benar-benar mencerminkan nilai Kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila yang merupakan paradigma demokrasi. Reformasi Partai Politik Adapun ketentuan yang mengatur tentang Partai Politik diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1999, tentang Partai Politik yang lebih demokratis dan memberikan kebebasan serta keleluasaan untuk menyalurkan aspirasinya. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tersebut ditentukan : Syarat-syarat pembentukkan Partai Politik termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 sebagai berikut. Ayat (1) Sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dapat membentuk Partai Politik. Ayat (2) Partai Politik sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat : a. mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam anggaran dasar Pantai. b. asas atau ciri, aspirasi, dan program Partai Politik tidak bertentangan dengan Pancasila. c. keanggotaan Partai Politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara Republik Indonesia yang telah mempunyai hak pilih. d. Partai Politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih, bendera negara asing gambar perorangan dan nama serta lambang partai lain yang telah ada. Berdasarkan ketentuan UU tersebut warga negara diberi kebebasan untuk membentuk Partai Politik untuk menyalurkan aspirasi politiknya, selain itu setiap Partai diberikan kebebasan pula untuk menentukan asas sebagai ciri serta program masing-masing. Atas ketentuan UU tersebut maka bermunculanlah Partai Politik di era reformasi ini yang mencapai 114 Partai Politik. Namun dalam kenyataannya yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan umum hanya 48 Partai Politik. Partai-partai politik itulah yang ikut dalam pemilu tahun 1999, yang berdasarkan hasil Sidang Istimewa MPR dipercepat yaitu tanggal 7 Juni 1999. Selain itu tidak kalah pentinya pelaksanaan Pemilu juga dilakukan perubahan dan diatur

dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan umum. Pemilihan Umum sebagaimana termuat dalam Undang-Undang tersebut adalah bersifat, jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang benar-benar demokrasi maka penyelenggara pemilu tersebut berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 1999, Bab III Pasal 8, dijelaskan bahwa penyelenggara Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsur Partai-partai Politik peserta pemilihan umum dan unsur Pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden. Berdasarkan ketentuan pada UU tersebut secara sistemik pelaksanaan Pemilu tahun 1999 bersifat demokratis, bahkan ditambah lagi dengan adanya kebebasan untuk membentuk pemantai Pemilu baik daari dalam maupun luar negeri. 5. Reformasi atas Kehidupan Politik Reformasi kehidupan politik agar benar-benar demokratis dilakukan dengan jalan revitalisasi ideologi Pancasila, yaitu dengan mengembalikan Pancasila pada kedudukan serta fungsi yang sebenarnya sebagaimana dikehendaki oleh para pendiri negara yang tertuang dalam UUD 1945. Nilai-nilai Pancasila harus benar-benar dijadikan sebagai sumber nilai serta sumber norma dalam segala penentuan kebijaksanaan negara serta reformasi peraturan perundang-undangan negara. Reformasi kehidupan politik juga dilakukan dengan meletakkan cita-cita kehidupan kenegaraan dan kebangsaan dalam suatu kesatuan waktu yaitu nilai masa lalu, masa kini, dan kehidupan masa yang akan datang. Atas dasar inilah maka pertimbangan realistic sebagai unsur yang sangat penting yaitu dinamika kehidupan masyarakat, aspirasi serta tuntutan masyarakat yang senantiasa berkembang untuk menjamin tumbuh berkembangnya demikrasi di negara Indonesia, karena faktor penting demokrasi dalam suatu negara adalah partisipasi dari seluruh warganya. Dengan sendirinya kesemuanya itu harus diletakkan dalam kerangka nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri sebagai filsafat hidupnya yaitu nilai-nilai Pancasila. 6. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasikla yang mengutamakan kesejahteraan keseluruhan bangsa adalah sebagai berikut : (1) Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu dilakukan dengan program social safety net yang popular dengan program Jaringan Pengaman Sosial (JPS). Sementara untuk mengembalikan kepercayaan rakayt terhadap pemerintahan, maka pemerintah harus secara konsisten menghapuskan KKN, serta mengadili bagi oknuim pemerintah masa orde baru yang melakukan pelanggaran. Hal ini akan memberikan kepercayaan kepastian usaha. (2) Program rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan menciptakan kondisi kepastian usaha, yang dengan diwujudkan perlindungan hukum serta Undang-Undang persaingan yang sehat. Untuk itu pembenahan dan penyehatan dalam sektor perbankan menjadi prioritas utama, karena perbankan merupakan jantung perekonomian. (3) transformasi struktur, yaitu guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu diciptakan sistem untuk mendorong percepatan perubahan struktural (structural transformation). Transformasi struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari ketergantungan kepada kemandirian, dari orientasi dalam negeri ke orientasi ekspor (Nopirin, 1999 : 4). Dengan sendirinya intervensi birokrat pemerintahan yang ikut dalam proses ekonomi melalui monopoli demi kepentingan pribadi harus segera diakhiri. Dengan sistem ekonomi yang mendasarkan nilai pada upaya terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan

kesejahteraan akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi.

B. Aktualisasi Pancasila
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia mengandung konsekuensi setiap aspek dalam penyelenggaraan negara dan semua sikap dan tingkah laku bangsa Indonesia dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara harus berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Sebagaimana telah dibahas di muka bahwa nilai-nilai Pancasila yang bersumber pada hakikat Pancasila adalah bersifat universal, tetap dan tak berubah. Nilai-nilai tersebut perlu dijabarkan dalam setiap aspek dalam penyelengaraan negara dan dalam wujud norma-norma baik norma hukum, kenegaraan, maupun norma-nomr moral yang harus dilaksanakan dan diamalkan oleh setiap warga negara Indonesia. Jadi dalam masalah ini kita sampai pada masalah aktualisasi nilai-nilai Pancasila baik dalam kaitannya dengan aspek pelaksanaan kenegaraan maupun sikap moral semua warga negara Indonesia. Oleh karena itu permasalahan pokok dalam aktualisasi Pancasila adalah bagaimana wujud realisasi itu, yaitu bagaimana nilai-nilai Pancasila yang universal itu dijabarkan dalam bentuk norma-norma yang jelas dalam kaitannya dengan tingkah laku semua warga negara dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta dalam kaitannya dengan segala aspek penyelenggaraan negara. Jenis-Jenis Aktualisasi Pancasila Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi objektif dan aktualisasi subjektif. 1. Aktualisasi Pancasila yang Objektif Aktualisasi Pancasila yang objektif adalah pelaksanaan Pancasila dalam bentuk realisasi dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, yudikatif maupun semua bidang kenegaraan lainnya. Aktualisasi objektif ini terutama berkaitan dengan realisasi dalam bentuk perundang-undangan negara Indonesia sebagai berikut : a. Tafsir Undang-Undang Dasar 1945, harus dilihat dari sudut dasar filsafat negara Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. b. Pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Undang-Undang harus mengingat dasardasar pokok pikiran yang terkandung dalam dasar filsafat negara Indonesia. c. Tanpa mengurangi sifat-sifat Undang-Undang yang tidak dapat diganggu gugat, interpretasi pelaksanaannya harus mengingat unsur-unsur yang terkandung dalam dasar filsafat negara. d. Interpretasi pelaksanaan Undang-Undang harus lengkap dan menyeluruh meliputi seluruh perundang-undangan di bawah Undang-Undang dan keputusan-keputusan administratif dari semua tingkat penguasa negara, mulai dari pemerintah pusat sampat dengan alat-alat perlengkapannya, begitu juga meliputi usaha kenegaraan dan kemasyarakatan dari rakyat. e. Dengan demikian seluruh hidup kenegaraan dan tertib hukum Indonesia didasarkan atas dan diliputi oleh dasar filsafat negara, asas politik dan tujuan negara yang berdasarkan pada asas kerokhanian Pancasila. Bahkan yang terlebih penting lagi adalah dalam realisasi pelaksanaan kongkritnya yaitu dalam setiap penentuan kebijaksanaan di bidang kenegaraan antara lain : 1) Garis-garis Besar Haluan Negara 2) Hukum dan perundang-undangan dan peradilan 3) Pemerintahan

4) 5) 6) 7) 8)

Politik dalam negeri dan luar negeri Keselamatan, keamanan, dan pertahanan. Kesejahteraan Kebudayaan Pendidikan, dan lain sebagainya (Notonagoro, 1971 : 43,44).

2. Aktualisasi Pancasila yang Subjektif Aktualisasi Pancasila yang subjektif adalah pelaksanaan pancasila dalam setiap pribadi, perseorangan, setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Aktualisasi Pancasila yang subjektif ini justru lebih penting dari aktualisasi yang objektif, karena aktualisasi yang subjektif ini merupakan persyaratan keberhasilan aktualisasi yang objektif (Notonagoro, 1971 : 44).

C. Analisis Masalah dalam Aktualisasi Pancasila


Analisis dilakukan agar dapat memberikan suatu penilaian yang kritis dan objektif serta pada akhirnya untuk dapat memberikan suatu solusi yang positif. Masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain kurang dihayatinya nilainilai Pancasila, perbedaan pendapat di antara anggota masyarakat, penyelewengan atau mungkin kesengajaan sebagai upaya untuk menimbulkan kerawanan dalam kehidupan masyarakat. Masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat itu amat kompleks dan terbatas, oleh karena itu analisis dilakukan untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas tentang aktualisasi Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan yang pada akhirnya mampu memberikan arah bagi aktualisasi Pancasila secara konsisten. Analisis dilakukan secara bertahap dengan mendasarkan pada suatu paradigma atau sumber nilai yang terkandung pada Pancasila. 1. Sumber Nilai dalam Analisis Dalam proses analisis masalah ketatanegaraan dan kemasyarakatan sebagai sumber nilai adalah niali-nilai Pancasila. Maka dalam pengertian ini Pancasila adalah sebagai Das Sollen yaitu sebgai nilai yang seharusnya direalisasikan, adapun masalah, peristiwa atau kasus dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai suatu Das Sein, yaitu suatu yang ada dalam kenyataan hidup masyarakat. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila adalah merupakan sumber nilai, sebagai patokan dalam pemecahan analisis masalah. 2. Asas Analisis Dalam melakukan analisis haruslah dengan menggunakan asas-asas serta kriteria yang jelas. Perlu diketahui bahwa proses analisis ini berkaitan dengan masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat , kebangsaan dan kenegaraan dengan segala aspeknya. Oleh karena itu analisis dilakukan tidak hanya berdasarkan pada asas ilmiah rasional saja namun juga berkaitan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber pada Pancasila sebagaimana dijelaskan di muka. a. Asas Rasional Ilmiah Masalah haruslah diambil (dikumpulkan) dari peristiwa-peristiwa yang timbul dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Masalah atau kasus dapat dihimpun dari surat kabar, majalah atau media massa lainnya, kemudian diklasifikasikan, dirinci sesuai dengan karakteristiknya masing-masing serta ciri-cirinya masing-masing. Misalnya masalah-masalah sosial, ternyata

dikembangkan menjadi masalah politik, kemudian diteliti hubungan sebab akibatnya, saling hubungan di antara faktor-faktor penyebab yang ada atau saling mempengaruhi misalnya masalah Sara mengakibatkan masalah politik, masalah politik menyebabkan masalah ekonomi dan lain sebagainya, akhirnya disimpulkan berdasar hukum-hukum logika. b. Asas Normatif Selain asas ilmiah dan dasar nilai-nilai Pancasila juga norma-norma yang harus ditaati dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yaitu norma-norma peraturan perundangundangan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Maka setiap permasalahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara harus dianalisis dan dipecahkan berdasarkan norma-norma peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah dilakukan analisis tahap berikutnya yang sangat penting adalah berupaya untuk mencari alternatif pemecahan. Alternatif pemecahan ini tidak hanya dilakukan secara matematis dan kuantitatif saja, melainkan tetap harus berdasarkan pada pemikiran bijaksana, yaitu pemecahan berdasarkan akal, rasa, dan kehendak manusia. 3. Analisis Masalah-masalah Ketatanegaraan Masalah-masalah ketatanegaraan dalam masalah ini adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan, kehidupan, dan ketentuan yang berkaitandengan segala aspek penyelenggaraan negara. Masalah-masalah tersebut antara lain: (a) Masalah Undang-Undang yang berkaitan dengan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Politik Tahun 1999. (b) Masalah amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. (c) Masalah nepotisme dalam keanggotaan MPR dan DPR (d) Masalah reformasi politik. (e) Masalah reformasi hukum, dan masalah-masalah kenegaraan lainnya Masalah-masalah tersebut hanya merupakan sebagian kecil yang ada dalam ketatanegaraan kita, dan perlu diupayakan pemecahannya. 4. Analisis Masalah-masalah dalam Pelaksanaan Pembangunan Dalam pelaksanaan pembangunan nasional sudah dapat dipastikan akan timbul berbagai macam masalah yang memerlukan pemecahan yang adil dan bijaksana. Masalah itu timbul terutama dalam kaitannya dengna pelaksanaan pembangunan yang menyangkut kepentingan negara dan kepentingan warga negara, antara aparat pelaksana pembangunan dengan rakyat, masalahmasalah tersebut antara lain sebagai berikut : (a) Masalah penggusuran tanah untuk kepentingan pembangunan bersama, misalnya pelebaran jalan, pengembangan potensi ekonomi dan lain sebagainya. (b) Masalah pelaksanaan HAM. (c) Masalah kenaikan harga BBM dan tarif Listrik. (d) Masalah pendidikan dan lain sebagainya. 5. Analisis Masalah-masalah Kemasyarakatan Masalah-masalah kemasyarakatan yang timbul dalam kehidupan bersama sangatlah luas dan komplek. Kompleksitas masalah tersebut berkembang sesuai dengan tingkat-tingkat peradaban manusia semakin modern suatu masyarakat maka permasalahan yang timbul juga akan semakin

banyak dan bukan tidak terbatas dan meliputi berbagai bidang kehidupan antara lain : sosial, budaya, keagamaan, ekonomi, dan lain sebagainya, masalah-masalah tersebut antara lain sebagai berikut : (a) Masalah lapangan kerja dan pengangguran. (b) Masalah sikap mental yang kurang disiplin. (c) Masalah narkotika dan kenakalan remaja. (d) Masalah kejahatan termasuk kejahatan intelektual. (e) Masalah krisis kepatuhan hukum. dan masalah-masalah lainnya yang berkembang dalam masyarakat yang memerlukan suatu pemecahan secara bijaksana.

You might also like