You are on page 1of 5

PERKEMBANGAN LAYANAN OBSTETRI

Rukmono Siswishanto
Unit Diklat RSUP Dr Sardjito
Divisi Fetomaternal
SMF/Bagian Obstetri & Ginekologi
RSUP Dr Sardjito/Fakultas Kedokteran UGM

Pengantar
Permasalahan pelayanan obstetri yang kita hadapi sekarang ini adalah tetap
tingginya angka kesakitan dan kematian maternal maupun perinatal. Secara teoritis
masih banyak kesakitan dan kematian tersebut yang sifatnya dapat dihindari. Telah
banyak pemikiran, konsep, dan pendekatan diujicoba atau diterapkan, tetapi hasilnya
masih belum memuaskan. Sesungguhnya apa yang menjadi misi petugas kesehatan
sebagai individu maupun sebagai tim dalam bidang pelayanan obstetrik. Bergantung
pada pelanggan yang dilayaninya, petugas kesehatan dapat melayani masyarakat atau
melayani individu. Misinya tetap satu: berfokus memenuhi kebutuhan (need)
masyarakat atau individu dalam bidang obstetri, dan bukan memenuhi permintaan
(demand), dan bukan pula memberikan apa yang ingin kita berikan.
Perubahan penting dalam pelayanan obstetri saat ini adalah pelayanan yang
memenuhi need, dan bagaimana pelayanan yang diberikan adalah pelayanan yang
memang sudah terbukti bermanfaat. Kita tidak boleh memboroskan sumber daya
pelayanan milik pelanggan maupun milik unit pelayanan yang memang sudah terbatas
untuk hal-hal yang tidak atau kurang manfaat.
Dari sisi sumber daya manusia yang melakukan pelayanan obstetri, kita dapat
mengamati bagaimana lambannya penerapan bukti pelayanan terbaik (evidence of
best practice) dalam pelayanan obstetri sehari-hari. Kita ambil contoh, manajemen
aktif kala III yang sudah terbukti lebih baik dibanding pengelolaan kala III
konvensional, masih ada sebagian pemberi pertolongan pesalinan belum
menerapkannya. Pencegahan infeksi sesuai kaidah kewaspadaan universal juga belum
dapat dilaksanakan secara oleh para petugas. Penyebab dari lambannya implementasi
best practices dalam pelayanan obstetri dapat disebabkan karena: informasi yang
belum diketahui, hambatan implementasi yang berkaitan dengan lingkungan kerja,
dan sikap atau kesadaran para petugas.
Tulisan ini menjelaskan secara ringkas hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai
praktek pelayanan terbaik obstetri saat ini (meskipun sesungguhnya beberapa
diantaranya sudah tergolong tidak baru lagi). Tujuannya adalah agar informasi
tersebut dapat diserap oleh lebih banyak petugas atau siapa saja yang berkaitan
dengan upaya pelayanan obstetri agar implementasinya dapat dilakukan.

PELAYANAN OBSTETRI MASYARAKAT


Pelayanan obstetri yang berorientasi pada kesehatan masyarakat didasarkan
pada strategi pelibatan (involvement) dan pemberdayaan (empowerment) segenap
komponen masyarakat. Tujuannya adalah mencapai tingkat kemampuan masyarakat
untuk mampu mengenali permasalahan dan mengakses fasilitas pelayanan obstetri
dengan tepat. Segala kebijakan dan upaya yang dilakukan perlu disinergikan agar

Rukmono Siswishanto©2008 1
persalinan dan komplikasi obstetri dapat diberikan oleh tenaga kesehatan yang
terlatih.
Berbagai pendekatan lama untuk menurunkan kematian maternal, seperti
pelatihan dukun bayi, pendekatan risiko, dan lain-lain digantikan prioritasnya dengan
dua pendekatan utama: (1) peningkatan kesiapan ibu (dan keluarganya) untuk
melahirkan (birth preparednes plan) dan (2) pertolongan persalinan (serta
komplikasinya) oleh tenaga kesehatan terlatih. Kalau kita lebih ke arah hulu lagi,
maka promosi keluarga berencana adalah bagian stratejik yang tidak boleh diabaikan.
Petugas kesehatan harus memiliki pemahanan yang benar dan memadai tentang
keluarga berencana. Manfaat-manfaat non kesehatan perlu juga dipromosikan secara
berimbang dengan manfaat-manfaat kesehatannya.

PELAYANAN OBSTETRI INDIVIDU


Antenatal care
Pelayanan antenatal merupakan kegiatan yang strategis dalam pelayanan obstetri
oleh karena banyak sekali aspek yang dapat dilakukan dalam rangka memelihara dan
memperbaiki kesehatan ibu beserta janinnya. Pelayanan obstetri bagi ibu hamil
sebaiknya mencakup hal-hal berikut: pengecekan kesehatan ibu, evaluasi
perkembangan dan kesehatan janin, skrining penyakit, analisis risiko terjadinya
komplikasi, dan pemberian nasihat dan pendidikan. Sifat pelayanannya berpusat pada
ibu dan kebutuhan-kebutuhannya (need). Dengan demikian sebaiknya ibu diberi
bantuan dan informasi yang cukup sehingga mampu memutuskan untuk memilih
pelayanan bagi dirinya. Kunci sukses dalam pemberian layanan antenatal adalah
pemberdayaan, komunikasi, dan kesinambungan pelayanan (continuity of care).
Semua petugas kesehatan yang terlibat dalam pemberian layanan antenatal baik secara
langsung maupun tidak langsung perlu menjalin komunikasi yang efektif.

Dalam bidang antenatal care, beberapa hal yang perlu diketahui adalah:
(1) Perubahan konsep tentang waktu dimulainya pemeriksaan ibu hamil. Pemeriksaan
kehamilan sudah harus dimulai sejak sebelum kehamilan terjadi. Keuntungan dari
hal tersebut adalah: meningkatkan kesiapan psikologis ibu untuk hamil, dan
adanya kesempatan untuk mengidentifikasi kondisi dan perilaku berisiko sehingga
dapat dilakukan modifikasi.
(2) Perubahan frekuensi pemeriksaan kehamilan. Dalam keadaan normal, kehamilan
cukup dilakukan 4 kali: sekali pada trimester I, sekali pada trimester ke II, dan dua
kali pada trimester ke III
(3) Konsep pendekatan klasifikasi risiko tinggi menjadi kesiapan melahirkan
(4) USG pada umur kehamilan muda (sebelum 20 minggu) dapat menurunkan risiko
induksi yang tidak perlu karena kekeliruan menentukan usia kehamilan
(5) Skrining yang tidak dianjurkan (secara rutin): pelvimetri, dipstick urine (untuk
protein dan glukosa), pemeriksaan CMV, Parvovirus, Toxoplasma, vaginosis
bakterial.
(6) Skrining yang dianjurkan: golongan darah, hemoglobin, hepatitis (B dan C), HIV

Rukmono Siswishanto©2008 2
Pertolongan persalinan
Setelah masa kehamilan, seorang ibu akan mengalami persalinan. Kalau saat
hamil seorang ibu potensial untuk memperoleh layanan yang sifatnya lebih preventif,
maka pada pada masa ini layanan preventif dan kuratif menjadi penting dalam rangka
mengendalikan morbiditas dan mortalitas. Sebagian besar kematian maternal terjadi di
sekitar persalinan

Dalam bidang pertolongan persalinan, beberapa hal yang perlu diketahui adalah:
(1) Perubahan konsep mengatasi komplikasi menjadi mengantisipasi terjadinya
komplikasi. Konsep ini dimaksudkan untuk membuat para petugas lebih waspada,
tidak menunggu kejadian komplikasi, akan tetapi melakukan pengawasan yang
cukup dan tindakan yang tepat sehingga komplikasi bisa diperkecil kemungkinan
kejadiannya. Apabila setelah tindakan antisipatif sudah dilakukan dan tetap terjadi
komplikasi, maka tindakan emergensi dapat dilakukan tepat waktu.
Perkembangan-perkembangan dalam cara melakukan pertolongan persalinan
didasari oleh konsep ini.
(2) Pencegahan perdarahan postpartum karena atonia uteri: manipulasi minimal,
manajemen aktif kala III, pengamatan kontraksi uterus pasca melahirkan,
penggunaan preparat misoprostol untuk menggantikan oksitosin pada manajemen
aktif kala III.
(3) Pencegahan laserasi/episiotomi: episiotomi tidak dilakukan secara rutin,
menggunakan perasat khusus untuk melahirkan bayi
(4) Pencegahan retensio plasenta: manajemen aktif kala III
(5) Pencegahan partus lama/macet: penggunaan partograf, pendampingan keluarga
(6) Pencegahan asfiksia bayi baru lahir: membersihkan muka & jalan napas sesaat
setelah ekspulsi kepala, isap lendir, keringkan & hangatkan bayi
(7) Pencegahan morbiditas dan mortalitas karena infeksi: menerapkan praktek
pencegahan infeksi secara sistematik dan konsisten
(8) Kebiasaan-kebiasaan (rutin) yang berbahaya: penggunaan enema, pencukuran
rambut pubis, pembersihan uterus setelah persalinan, eksplorasi manual pada
uterus setelah persalinan, pemeriksaan rektal, pemeriksaan ronsen untuk
pelvimetri, posisi telentang/litotomi saat melahirkan
(9) Intervensi yang sebaiknya dihindari: pemberian oksitosin sebelum persalinan,
mengejan terus menerus pada kala II, pemijatan dan peregangan perineum pada
pertolongan persainan kala II, mendorong fundus selama persalinan, pembatasan
makanan dan minuman selama persalinan, pemberian cairan infus secara rutin
pada persalinan, pemeriksaan vagina berulang kali, memimpin mengejan pada
kala II sedangkan ibu belum ingin mengejan, pemberian misoprostol sebelum bayi
lahir.
(10) Intervensi yang bisa dilakukan bila ada indikasi: kateterisasi kandung kencing,
persalinan dengan tindakan, pemberian oksitosin, pengendalian rasa sakit dengan
menggunakan obat-obat sistemik, pengendalian rasa nyeri dengan analgesi
epidural, memonitor janin terus menerus secara elektronik

Rukmono Siswishanto©2008 3
Perawatan nifas
Masa nifas adalah masa pemulihan yang berlangsung 42 hari sejak ibu bersalin
dengan ditandai dua proses penting: involusi dan laktasi. Pada masa nifas, petugas
dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: menjaga kesehatan ibu dan bayinya; deteksi
masalah, pengobaan awal, dan rujukan; penyuluhan kesehatan; dan pelayanan KB.
Keadaan-keadaan yang perlu diketahui dalam rangka mencegah dan mengatasi
morbiditas maupun mortalitas adalah: asfiksia bayi baru lahir, kolaps post partum
(karena refleks vasovagal, henti jantung, emboli air ketuban, inversi uterus,
iatrogenik), perdarahan postpartum, demam nifas, gangguan perasaan/mood, dan
masalah-masalah menyusui.

Dalam bidang perawatan nifas, beberapa hal yang perlu diketahui adalah:
(1) Rawat gabung bagi ibu dan bayi yang tidak ada indikasi kontra untuk
melakukannya sebaiknya dilakukan bagi semua ibu dan menjadi kebijakan di
setiap tempat pemberian pelayanan persalinan.
(2) Kontak dini antara ibu dan bayinya segera dilakukan agar pemberian ASI dapat
dilakukan secepatnya (termasuk inisiasi menyusui dini), mendukung kebijakan
rawat gabung, dan menurunkan risiko infeksi nosokomial.
(3) Hal-hal yang direkomendasikan dalam rangka pemberian ASI: tidak memberikan
makanan pralaktasi atau tambahan lainnya, memberikan ASI dalam waktu satu
jam pertama setelah kelahiran, posisi yang benar untuk memungkinkan kelekatan
yang baik, memberi ASI sesuai permintaan bayi (ngèèk-jel), dukungan psiko-
sosial untuk ibu yang menyusui.
(4) Indikator yang menunjukkan bahwa proses pada masa nifas berjalan baik
(diperiksa setelah 6 minggu post partum): pulihnya alat reproduksi, sembuhnya
luka perineum, laktasi berjalan baik, pemakaian alat kontrasepsi, tumbuh kembang
bayi yang sesuai dengan umurnya.

Keadaan-keadaan khusus dalam pelayanan obstetri


Keadaan-keadaan khusus ini perlu dijelaskan oleh karena cukup sering dihadapi
oleh petugas dalam upaya pelayanan obstetri yang dilakukannya. Terdapat variasi
dalam frekuensi kejadian keadaan-keadaan khusus ini sesuai dengan tempat bekerja
dan jumlah pasien yang ditanganinya. Pada umumnya kejadian komplikasi obstetri
cukup jarang terjadi (sekitar 15% dari seluruh kelahiran). Karena jarangnya, para
petugas berpotensi untuk lupa atau kurang terampil lagi dalam melakukan prosedur-
prosedur yang diperlukan untuk menangani komplikasi obstetri secara benar dan tepat
waktu. Dengan demikian petugas memerlukan catatan pengingat atau dalam kurun
waktu tertentu mengikuti acara-acara yang dapat memberikan penyegaran bagi
pengetahuan dan keterampilannya.
(1) Audit maternal perinatal: sebaiknya dibuat sedemikian rupa sehingga
pelaksanaannya tidak menimbulkan ketakutan atau kekhawatiran bagi petugas.
Tujuannya harus pada upaya penciptaan suasana pembelajaran yang
menyenangkan, dan bukan merasa khawatir dipersalahkan. Budaya tidak
menyalahkan, budaya melaporkan, dan budaya belajar dapat ditumbuhkan kalau
audit maternal perinatal difokuskan pada masalah yang timbul dan cara
mencegahnya dimasa datang.

Rukmono Siswishanto©2008 4
(2) Merujuk pasien: mintalah bantuan, stabilkan dulu pasien, komunikasi keluarga,
hubungi petugas di tempat rujukan (telpon, radio panggil, dsb), dampingi petugas,
bawa peralatan dan bahan medis yang diperlukan.
(2) Distokia bahu: perasat Mc Robert mudah dilakukan dan dapat mengatasi sekitar
70% kasus, sehingga perlu dilakukan sebagai langkah awal untuk mengatasinya.
(3) Preeklamsia dan hipertensi: kewajiban petugas di pelayanan primer adalah
menemukan kasusnya sedini mungkin, memberikan penanganan awal, dan
merujuknya.
• Pemberian antihipertensi akan menurunkan risiko stroke, tetapi berpotensi
menimbulkan fetal distress, sehingga di pelayanan primer sebaiknya
dilakukan sebelum rujukan sebagai penanganan awal. Preparat yang bisa
diberikan adalah nifedipin 10 mg per oral. Pemberiannya dimulai bila
MAP ≥ 125 mmHg. Pemberian antihipertensi tidak menurunkan risiko
terjadinya kejang.
• Pemberian magnesium sulfat injeksi. Pemberiannya bertujuan untuk
mencegah atau mengatasi kejang. Diberikan pada pasien preeklamsia berat
sebelum dirujuk, atau bila dalam persalinan. Pemberian yang
direkomendasikan adalah intravena, tetapi untuk pelayanan primer
sebelum merujuk bisa secara intramuskuler sebanyak 4 gram (20 ml
larutan 20%, atau 10 ml larutan 40%). Antidotum magnesium sulfat adalah
kalsium glukonas 10% (diberikan 10 ml intravena pelan-pelan).
• Infus yang direkomendasikan: RL atau Asering dengan tetesan lambat
(maksimal 20 tetes/menit), kecuali ada perdarahan.
• Waspadai kejadian edema paru-paru yang ditandai dengan respirasi
meningkat, sesak napas/batuk-batuk, terdengar ronkhi di bagian bawah
paru-paru saat pasien menarik napas. Bila ditemui, segera posisikan
setengah duduk, oksigenasi, berikan furosemide injeksi intravena (2
ampul), pasang infus tetesan lambat, dan segera rujuk ke rumah sakit yang
memiliki fasilitas ICU/ventilator. Pada keadaan ini pemberian magnesium
sulfat ditunda dulu.
• Jangan merujuk dulu bila didapatkan: krisis hipertensi, kejang, syok. Atasi
dahulu keadaan daruratnya dengan penanganan awal, dan siapkan rujukan
segera. Jangan menunda merujuk pasien hingga keadaannya memburuk,
kaena perjalanan penyakit preeklamsia sering tidak dapat diramalkan.
(4) Komplikasi obstetrik lain yang perlu dipahami cara penanganannya: partus macet,
dan sepsis puerperalis

****

Rukmono Siswishanto©2008 5

You might also like