You are on page 1of 106

KEMENTERIAN KOORDINATOR

BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT


REPUBLIK INDONESIA

1/5/2009 KEDEPUTIAN BIDANG KOORDINASI 1


PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN
KESEJAHTERAAN ANAK
Jakarta, 2008
PENGANTAR

Komitmen Indonesia untuk melaksanakan Beijing Platform for Action 1995 yang terurai
dalam 12 Bidang Kritis Program Aksi, serta upaya pembangunan yang terencana guna
mencapai Millenium Development Goals 2000, telah membawa posisi perempuan ke arah
yang lebih baik dalam kehidupan bangsa Indonesia. Namun, perkembangannya masih relatif
lambat sehingga masih perlu upaya lebih keras agar kesejahteraan dalam kesetaraan dan
keadilan gender dapat segera terwujud.
Berbagai upaya telah kita lakukan dalam rangka meningkatkan kesetaraan dan
keadilan jender. Namun, kita masih dihadapkan pada rendahnya kualitas hidup perempuan
yang dicirikan dengan masih tingginya angka kematian ibu, rendahnya tingkat pendidikan
perempuan dan belum optimalnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi. Sehingga
upaya pemberdayaan perempuan harus dilaksanakan secara sinergis, terkoordinasi dengan
baik dan berkelanjutan. Penyusunan Profil Perempuan dan Anak Indonesia dengan data
terpilah, secara periodik dan bersifat time series, sangat penting dilakukan guna mengevaluasi
dan menyusun kebijakan, program dan kegiatan yang akan datang di dalam rangka
pemberdayaan perempuan, baik pada tataran nasional, provinsi, maupun tingkat
kabupaten/kota sampai ke perdesaan.
Di samping perempuan yang masih perlu ditempatkan pada posisi yang lebih baik,
anak juga perlu mendapatkan perhatian. Permasalahan anak yang dapat dikategorikan ke
dalam tiga hal yakni perlakuan salah terhadap anak, penelantaran anak, dan eksploitasi anak
juga masih memerlukan berbagai upaya penanggulangan oleh berbagai pihak terkait.
Disadari bahwa Buku Profil Perempuan dan Anak Tahun 2007 ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu, diharapkan masukan yang konstruktif sehingga dapat dijadikan bahan
guna penyempurnaan buku ini. Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada lembaga
pemerintah terkait, LSM dalam dan luar negeri, organisasi masyarakat dan perguruan tinggi
serta individu yang secara langsung atau tidak langsung telah membantu tersusunnya buku
ini.

Jakarta, Desember 2008


Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Pemberdayaan Perempuan dan
Kesejahteraan Anak,

Dra. Maswita Djaja, MSc


DAFTAR ISI

Hal
PENGANTAR………………………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….. ii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………………….. iii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………...... iv
TIM PENYUSUN…………………………………………………………………………….. vii
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………. 1

PEREMPUAN INDONESIA………………………………………………………………. 3
1. Perempuan dan Bonus Demografi …………………………………………………. 3
2. Jumlah Penduduk Indonesia ………………………………………………………... 5
3. Kualitas Bangsa Indonesia …..……………………………………………………… 8
4. Mobilitas Penduduk Indonesia ……………………………………………………… 13

KUALITAS HIDUP PEREMPUAN DAN ANAK............................................................ 18


1. Kemiskinan ......................................................................................................... 18
2. Kesehatan .......................................................................................................... 19
3. Pendidikan dan Pelatihan ................................................................................... 35
4. Kekerasan Terhadap Perempuan ...................................................................... 43
5. Perempuan dan Konflik Bersenjata .................................................................... 52
6. Ekonomi ............................................................................................................. 56
7. Perempuan sebagai Pemegang Kekuasan dan Pengambilan Keputusan ......... 62
8. Mekanisme Institusional Pemajuan Perempuan ................................................ 67
9. Hak Azasi Perempuan ........................................................................................ 73
10. Perempuan dan Media Massa ........................................................................... 76
11. Perempuan dan Lingkungan .............................................................................. 78
12. Anak-Anak Perempuan ...................................................................................... 81
13. Kemitraan ........................................................................................................... 89

PENUTUP ................................................................................................................... 93
PENGERTIAN.............................................................................................................. 95
REFERENSI................................................................................................................ 98

ii
DAFTAR TABEL

No. Judul Tabel Hal

1. Perkembangan Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia,


Tahun 1945 – 2007 ......................................................................................... 5
2. Jumlah dan Prosentase Penduduk Usia kerja, Angkatan Kerja Indonesia dan
Pengangguran Terbuka 1980 – 2000 ....................................................... 6
3. Jumlah dan Prosentase Penduduk Usia kerja, Angkatan Kerja Indonesia dan
Pengangguran Terbuka 2004 – 2007........................................................ 7
4. Jumlah dan Prosentase Angkatan kerja Indonesia Berdasarkan Tingkat
Pendidikan, 1990 – 2007.................................................................................. 7
5. Perkembangan HDI dan GDI Indonesia, Tahun 1975 – 2005 ......................... 8
6. Perkembangan Ranking HDI dan GDI Negara Negara ASEAN,
Tahun 1999 – 2005 ......................................................................................... 9
7. Perkembangan PDB Indonesia, 1950 – 2007.................................................. 11
8. Jumlah Migrasi Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri,
Tahun 2001 – 2007........................................................................................... 14
9. Penerimaan Devisa Tenaga Kerja Indonesia dari Luar Negeri,
Tahun 2001 – 2007........................................................................................... 16
10. Jumlah Penduduk Miskin Indonesia, Tahun 1976 s/d 2007............................. 19
11. Perkembangan Status Gizi Balita Tahun 1990 s/d 2006 ................................. 20
12. Angka Kematian Bayi (AKB) Indonesia, Tahun 1971 – 2007........................... 25
13. Jumlah Kasus HIV/AIDs Di Indonesia, Tahun 1971 – 2007............................. 32
14. Jumlah Penderita AIDs terkait Injecting Drug Use (IDU’s),
Tahun 2001 – 2007 (Desember)…………………………………………………... 33
15. Jumlah Kasus Narkoba Indonesia, Tahun 2001 – 2007................................... 33
16. Jumlah Tahanan/Nara Pidana Narkoba, Tahun 2002 – 2006.......................... 34
17. Jumlah Korban Penyalahgunaan Narkoba Di Rumah Sakit Ketergantungan
Obat (RSKO) Jakarta, Tahun 2001 – 2007...................................................... 35
18. Perkembangan Angka Partisipasi Sekolah Anak Usia 7 – 18,
Tahun 1971 – 2007........................................................................................... 36
19. Perkembangan Jumlah Peserta Didik di Indonesia, Tahun 2004 – 2006......... 37
20. Jumlah Siswa Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan,
Tahun 1971 – 2007........................................................................................... 38
21. Persentase Siswa Putus sekolah, Usia 7-18 Tahun Menurut kelompok Umur
dan Jenis Kelamin, Tahun 2001 – 2007........................................................... 39
22. Perkembangan Prestasi Siswa Tahun Kedelapan (SLTP) Di Beberapa
Negara ASEAN, 1995 – 2003 .......................................................................... 40
23. Perkembangan Prestasi Siswa Usia 15 Tahun Ke-atas (SLTA) Di Beberapa
Negara ASEAN, 2000, 2003, dan 2005............................................................ 40
24. Perkembangan Prestasi Internasioal Ilmu Fisika Siswa SLTA Indonesia,
Tahun 2000 – 2006........................................................................................... 41
25. Perkembangan Prestasi Internasioal Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Siswa
SMP Indonesia, Tahun 2000 – 2007................................................................ 41

iii
26. Perkembangan Prestasi Internasioal Siswa SD Indonesia,
Tahun 2000 – 2008........................................................................................... 41
27. Prosentase Penduduk Berusia 10 Tahun Ke-atas yang Buta Huruf,
Tahun 1961 – 2007.......................................................................................... 42
28. Persentase Penduduk 10 Tahun Ke-atas menurut Ijazah/STTB Terakhir
yang dimiliki,Tahun 1975 – 2007...................................................................... 43
29. Jumlah Kasus KDRT di LBH APIK Jakarta, Tahun 1998 – 2007..................... 46
30. Jumlah Kasus Perdagangan Orang Di Indonesia, Tahun 1999 – 2007........... 49
31. Jumlah Kasus dan Korban Perdagangan Orang Di Indonesia, 2002 – 2007... 49
32. Perkembangan Proses Hukum Pelaku Perdagangan Orang (Trafficking)
Di Indonesia, Tahun 2004 – 2005..................................................................... 50
33. Jumlah Putusan Kasus Perdagangan Orang Di Indonesia,
Tahun 2003 – 2006........................................................................................... 50
34. Jumlah Korban Perdagangan Orang Yang Di Pulangkan,
Tahun 2005 – 2007........................................................................................... 51
35. Jumlah Pendampingan Korban Perdagangan Orang, Tahun 2005 – 2007...... 52
36. Jumlah Pengungsi Menurut Provinsi Di Indonesia, Tahun 2001 – 2005.......... 54
37. Jumlah Pengungsi Akibat bencana Alam Menurut Provinsi Di Indonesia,
Tahun 2002 – 2007........................................................................................... 55
38. Jumlah Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan,
Tahun 1986 – 2002.......................................................................................... 57
39. Jumlah Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan,
Tahun 2003 – 2007........................................................................................... 58
40. Jumlah Pengangguran Terbuka di Indonesia Menurut jenis Kelamin,
Tahun 1980 – 2000........................................................................................... 58
41. Jumlah Pengangguran Terbuka di Indonesia Menurut Jenis Kelamin,
Tahun 2004 – 2007........................................................................................... 59
42. Tingkat Pendidikan Pengangguran Terbuka Di Indonesia
Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2000 - 2003 .................................................... 60
43. Tingkat Pendidikan Pengangguran Terbuka Di Indonesia
Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2004 – 2007.................................................... 60
44. Jumlah Kebutuhan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri,
Tahun 2004 – 2006.......................................................................................... 61
45. Perkembangan Promosi TKI ke Luar Negeri.................................................... 62
46. Jumlah dan Prosentase Anggota DPR, DPRD, dan MPR
Periode 1992-1999, 1999-2004, 2004-2009..................................................... 63
47. Jumlah dan Prosentase Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia
Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997 – 2007.................................................... 64
48. Jumlah dan Prosentase Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia
Menurut Pendidikan dan Jenis Kelamin, Tahun 2005 – 2007......................... 64
49. Jumlah dan Prosentase Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil (PNS) di
Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997 – 2007................................... 65
50. Jumlah dan Prosentase Profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia
Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997 – 2007.................................................... 66

iv
51. Jumlah dan Prosentase Pejabat (Hakim) di Institusi Peradilan
Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997 – 2007.................................................... 67
52. Institusi Pemberdayaan Perempuan Menurut Eselonisasi Provinsi
di Indonesia, Tahun 2007................................................................................. 68
53. Jumlah Pusat Studi Wanita Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2005......... 70
54. Peraturan Perundang-undangan Terkait HAM, Tahun 2007............................ 73
55. Jumlah Kasus Pornografi di Indonesia, Tahun 1999 – 2006............................ 77
56. Konsumsi Per Bulan dan Prosentase Rumah Tangga yang Menggunakan
Minyak Tanah, Gas/LPG dan Kayu Bakar, Tahun 2003 dan Tahun 2004....... 79
57. Prosentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum,
Tahun 2003, 2004, 2005, dan 2007.................................................................. 80
58. Prosentase Rumah Tangga Dengan Fasilitas Tempat Buang Air Besar,
Tahun 2003, 2004, 2005, dan 2007.................................................................. 80
59. Jumlah Anak Jalanan di Indonesia dan Beberapa Kota Besar,
Tahun 1996 – 2006........................................................................................... 82
60. Jumlah Anak Cacat dan Jenis Kecacatan Indonesia, Tahun 2000 – 2006...... 84
61. Jumlah Pekerja Anak Menurut Perdesaan dan Perkotaan,
Tahun 2000 – 2006........................................................................................... 86
62. Jumlah dan Jenis Permasalahan Sosial Anak, Tahun 2000 – 2007................ 87
63. Jumlah dan Jenis Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak,
Periode 2002 s/d 2005..................................................................................... 88
64. Jumlah dan Jenis Permasalahan Sosial Anak Tahun, 2000 s/d 2007 ............. 88
65. Jumlah dan Jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Rakyat Korban
Bencana, Tahun 2000 s/d 2007........................................................................ 89
66. Jumlah dan Jenis Permasalahan Sosial Anak, Tahun 2000 s/d 2007.............. 89
67. Jumlah Sambungan Telpon dan Personal Computer di Indonesia dan
Beberapa Negara Tetangga, Tahun 2002........................................................ 90
68. Pertumbuhan Information and Communication Technology Opportunity
Index (ICT-OI) Negara-negara ASEAN, Tahun 2006…………………………… 91

v
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Gambar Hal

1. Window of Opportunity .................................................................................... 3


2. Angka Harapan Hidup Penduduk Indonesia, Tahun 1971 – 2006................... 10
3. Angka Kelahiran Total (TFR), Tahun 1971 – 2007.......................................... 11
4. Jumlah TKI yang Bekerja di Sektor Formal dan Informal di Luar Negeri, 15
Tahun 2007......................................................................................................
5. Prosentase Prevalensi Resiko Perempuan Menderita KEK,
Tahun 1999 – 2005......................................................................................... 22
6. Angka Kematian Balita, 2000 – 2005.............................................................. 23
7. Persentase Wanita Pernah Kawin denag Usia Kawin Pertama < 16 Tahun
(di Perdesaan).................................................................................................. 28
8. Persentase Wanita Pernah Kawin denag Usia Kawin Pertama < 16 Tahun
(di Perkotaan)................................................................................................... 28
9. Persentase Wanita Pernah Kawin denag Usia Kawin Pertama < 16 Tahun
(di Perdesaan dan Perkotaan)......................................................................... 28
10. Prosentase Kunjungan/Informasi KB Wanita Remaja...................................... 29
11. Situasi Epidemi : Kasus AIDs Kumulatif s/d maret 2008.................................. 31
12. Prosentase Penduduk Buta Huruf Uisa > 10 Tahun 2001 – 2007................... 42
13. Pelaporan Kasus KDRT Sebelum UU – KDRT................................................ 45
14. Pelaporan Kasus KDRT Sesudah UU – KDRT................................................ 45
15. Prosentase Rumah Tangga Dengan fasilitas Buang Air Besar,
Tahun 2003, 2004, 2005, dan 2007................................................................. 80
16. Jumlah Panti, Tahun 2002 – 2007................................................................... 85
17. Jumlah Anak Asuh, Tahun 2002 – 2007.......................................................... 85

vi
TIM PENYUSUN

Pengarah : Dra. Maswita Djaja, MSc

Penanggung Jawab: Dra. Detty Rosita, MPd

Koordinator dan Editor:


1. Dra. Eka Yulianti, MSc.
2. Ir. Parjoko, MAppSc.
3. Dra. Byarlina Gyarmirti, MSc.

Analisa dan Pengumpul Data:


1. Ir. Wahyuni Tri Indarty.
2. Johan Arifin Milono.
3. DR. Ir. Moon Cahyani.
4. Ir. Tri Rahayu, MM.
5. Drs. Wagiran, MM.
6. Drs. Made Agustina.
7. Drs. Rudoro Susanto E, Msi.

Administrasi dan Pengolahan Data:


1. Rr. Puji Astuti, S Sos.
2. Budi Rahayu, SE.
3. Rini Rahmawati.
4. Endang Susilowati.

Kontributor Data:
1. Dewi Sartika (BKN).
2. Grace Ginting (KPAN).
3. GRM. Suryo Darsono (Dep. Sosial RI).
4. Irma Hadjamuddin (Dep. Luar Negeri RI).
5. Ismaya H. Wardanie (Kejaksaan Agung RI).
6. Puji Hartanto (Deputi Operasional POLRI).
7. Purim (BKKBN).
8. R. Pribudhian (Ditjen. PNFI Dep. DIKNAS).
9. Sapari (BNN).
10. Siwi Lestari (Meneg. Pemberdayaan Perempuan).
11. Sri Wahyu F. Firman (PPN).
12. Supiyati Dimas (Dep. Luar Negeri RI).
13. Togi Siahaan (BPS).
14. Wiwik Arumwati (BPS).

Design Cover:
Ir. Alvita Niken Arumdati, MArch.

vii
PENDAHULUAN________________________

ejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, penduduk Indonesia berkembang


S dengan cepat. Ketika itu, jumlah penduduk Indonesia mencapai kisaran 73,3 juta,
tetapi 62 tahun kemudian yakni pada tahun 2007 meningkat hampir tiga kali lipat
menjadi 225,18 juta. Dari jumlah tersebut 50,08 persen berjenis kelamin perempuan, dan 82,16
juta (36,49 %) anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Dalam rangka pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan, pada tahun 1904
Indonesia meratifikasi Convention on the Elimination of Discrimination Against Women
(CEDAW) melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, dan pada tahun 1985 ikut
menandatangani Beijing Declaration and Platform for Action (BPfA). Kemudian pada tahun
1999, Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi
Manusia (HAM), dan pada tahun 2000 berkomitmen terhadap Millenium Development Goals
(MDGs).
Selain itu, dari tahun 1999 - 2002 Indonesia telah mengamandemen UUD 1945 empat
kali, diantaranya dengan memasukkan masalah HAM pada Pasal 28. Selanjutnya pada tahun
2005, Indonesia meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2005, dan International Covenant on Civil and Poltical
Rights melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2005.
Terkait dengan pemenuhan hak-hak anak, pada tahun 1979 Indonesia mengesahkan
Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Kemudian pada tahun 1990,
melalui Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 meratifikasi Convention on the Right of the
Child (CRC). Pada tahun 1997 mengeluarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat.
Untuk melindungi perempuan dan anak Indonesia, ditetapkan Undang-undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang diikuti dengan Undang-undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
dan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
Dalam Pasal 45 dan Pasal 52 (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
dinyatakan bahwa hak perempuan dan hak anak adalah hak asasi manusia, sementara Pasal
3 Undang-undang No. 11 Tahun 2005 dan Pasal 3 Undang-undang No. 12 Tahun 2005
menyatakan bahwa negara menjamin hak-hak yang sederajat antara laki-laki dan perempuan
untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak sipil dan politik.
Selanjutnya, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 (4) dan Pasal 8 Undang-
undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dinyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Sementara dalam Pasal 71 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dijelaskan
bahwa: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan
memajukan HAM yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain,

1
dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Pada
Pasal 72 dinyatakan bahwa, “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah tersebut meliputi
langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan keamanan negara, dan bidang lain”.
Selama 62 tahun Indonesia merdeka, berbagai upaya pemberdayaan perempuan dan
anak dilakukan dan telah berhasil meningkatkan kualitas perempuan dan anak Indonesia.
Walaupun upaya pemberdayaan tersebut masih relatif belum cukup menjadikan perempuan
dan anak yang cerdas dan sejahtera jika dibandingkan dengan laki-laki ataupun perempuan
dan anak-anak di belahan dunia lain. Masalah kecerdasan dan kesejahteraan perempuan
menjadi sangat penting karena berbagai persyaratan untuk mewujudkan bonus demografi
“window of opportunity” bagi Bangsa Indonesia yang mulai terjadi dan diperkirakan akan
mencapai pucaknya pada beberapa dekade ke depan. Bonus demografi ini akan sangat
dipengaruhi oleh peran penting perempuan, yakni terkait dengan kelangsungan penurunan
angka kelahiran, terjaganya kesehatan keluarga, dan keamanan lingkungan. Perempuan juga
sangat berperan dalam membentuk kecerdasan dan meningkatkan kesejahteraan anak-anak
sebagai generasi penerus Bangsa Indonesia.
Indikasi keberhasilan pemenuhan, penegakan, pemajuan dan perlindungan hak-hak
perempuan dan anak sebagaimana dikehendaki oleh undang-undang telah mulai
menampakkan hasilnya. Untuk itu, dengan berbagai keterbatasan data yang ada, maka
gambaran/profil perempuan dan anak secara nasional ini disusun dan diupayakan dapat
disajikan secara terpilah baik laki-laki maupun perempuan dalam bentuk time-series. Profil
perempuan dan anak ini, memberi gambaran bahwa pembangunan nasional secara bertahap
telah menghasilkan berbagai kemajuan dalam rangka menempatkan perempuan dan anak
sebagai obyek sekaligus subyek pembangunan.
Dalam tataran implementasi, indikator yang terdapat dalam profil perempuan dan anak
ini sebenarnya lebih diperlukan pada tingkat akar rumput untuk dijadikan sebagai bahan
perumusan kebijakan, perencanaan program dan merancang kegiatan pemberdayaan
perempuan dan anak sebagai bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri.
Pemanfaatan data terpilah, mutakhir dan lengkap di tingkat perdesaan akan
menghasilkan program dan kegiatan yang lebih mengakar di tingkat lapangan, tepat sasaran
dan mendatangkan manfaat yang optimal bagi semua pihak, utamanya perempuan dan anak.
Sehingga pada akhirnya, keseluruhan program dan kegiatan di perdesaan tersebut secara
sinergis akan mampu memberikan kontribusi dan mengantarkan perempuan Indonesia menjadi
sosok yang cantik dan menawan, sederhana, cerdas, serta mampu mengantarkan anak-anak
Indonesia menjadi kalifah dijamannya.

2
PEREMPUAN INDONESIA__________________

1. Perempuan dan Bonus Demografi


Indonesia selama 13 - 23 tahun mendatang mempunyai peluang mendapatkan bonus
demografi “window of opportunity” sebagai akibat menurunnya rasio ketergantungan
(dependency ratio) yakni perbandingan antara jumlah penduduk usia non-produktif di bawah 15
tahun dan di atas 65 tahun, terhadap penduduk usia produktif 15-64 tahun. Menurut Yayasan
Indonesia Forum (2007), sampai dengan tahun 2018 Indonesia telah menikmati “Bonus
Demografi Pertama” sebagai akibat penurunan angka kelahiran yang berarti akan mengurangi
proporsi konsumsi dalam pendapatan, sehingga meningkatkan jumlah tabungan keluarga dan
masyarakat. Setelah tahun 2018, Indonesia akan mendapatkan “Bonus Demografi Kedua”
yang disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup manusia Indonesia, yang berarti
memperpanjang usia produktif dan memungkinkan arus pendapatan tidak terhenti sehingga
potensi tabungan masyarakat tetap terus berlanjut.
Program Nasional Keluarga Berencana dengan Norma Keluarga Kecil, Bahagia dan
Sejahtera (NKKBS), sejauh ini telah berhasil menurunkan tingkat kelahiran yang ditandai
dengan : (i) menurunnya proporsi penduduk non-produktif di bawah usia 15 tahun, (ii)
mempercepat peningkatan proporsi penduduk usia kerja, dan (iii) melambatnya peningkatan
proporsi penduduk lanjut usia.
Pada tahun 1971, rasio ketergantungan penduduk Indonesia mencapai 86 per seratus,
artinya bahwa dalam setiap 100 penduduk usia kerja mempunyai tanggungan 86 orang
penduduk non-produktif dan hampir 93 persen terdiri dari anak-anak di bawah usia 15 tahun,
sedang yang 7 persen adalah penduduk lansia, dengan jumlah yang relatif masih sedikit
karena usia harapan hidup masih di bawah 65 tahun. Pada tahun 2000, rasio ketergantungan
penduduk Indonesia menurun menjadi 54 per seratus, dan diperkirakan akan terus menurun
mencapai angka terendah pada tahun 2020, 2025 dan 2030, di mana rasio ketergantungan
pada periode itu berkisar 44 per seratus. Pada periode 2020-2030 inilah the window of
opportuntiy untuk Indonesia terjadi, karena sesudahnya angka ketergantungan akan meningkat
kembali yaitu sebagai akibat bertambahnya penduduk lansia. Namun jika penduduk lansia
tersebut berada dalam keadaan sehat, berpendidikan dan produktif justru akan menambah
potensi tabungan masyarakat.

3
Gambar 1.

90
Total
80
70
60 Pd
dk
usi
Persen

50 am
ud
40 a (0
-14
30
th)

20
10 Pddk usia lanjut (+65 th)
0
50

60

70

80

90

00

10

20

30

40

50
19

19

19

19

19

20

20

20

20

20

20
Tahun

Namun, bonus demografi tersebut tidak datang dengan sendirinya karena diperlukan
berbagai persyaratan, seperti tingkat fertilitas harus terus menurun menjadi 1,86 per wanita
dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 18,9 per seribu kelahiran hidup pada tahun 2030.
Pemenuhan persyaratan tersebut memerlukan peran penting perempuan.
Peranan perempuan dalam ber-KB selama ini telah menjadikan mereka “pahlawan
kependudukan” karena partisipasinya tersebut (57,43% dibanding pria yang hanya 1,5 %) telah
mampu menggeser struktur penduduk pada proporsi penduduk usia produktif yang lebih besar.
Selain itu, dengan melakukan KB telah memberikan waktu dan kebebasan bagi perempuan
untuk lebih banyak mengaktualisasikan dirinya, dimana sebelumnya banyak tersita untuk
urusan melahirkan dan merawat anak. Ketersediaan waktu dipergunakan untuk meningkatkan
pendidikan, atau masuk ke pasar kerja yang banyak tersedia karena perkembangan industri
manufaktur. Perempuan Indonesia kini telah berubah pandangannya, banyak yang menunda
perkawinan, masuk ke pasar kerja, dan jika berkeluarga cukup mempunyai anak dua atau tiga.
Dengan pola hidup yang lebih maju, perempuan menjadi lebih mementingkan kualitas
dari pada jumlah anak dan tidak segan-segan menginvestasikan pendapatan untuk
memelihara kesehatan dan memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya bagi anak-anaknya,
sehingga menjadi sumberdaya pembangunan yang berkualitas dan sejahtera.
Investasi pemerintah di bidang pendidikan telah menghasilkan generasi yang lebih baik.
Generasi kelahiran tahun 1980 -1985 dikenal dengan era KB, dan telah menamatkan
pendidikan dasar sebesar 90 persen, 60 persen tamat SLTP, dan sekitar 30-40 persen tamat
SLTA. Untuk generasi kelahiran tahun 1985-2010, adalah generasi yang dilahirkan oleh ibu
yang berpendidikan, dalam keluarga yang kecil, memperoleh akses pelayanan kesehatan dan
pendidikan, tumbuh di era pertumbuhan ekonomi tinggi (1980-1997, Oil Boom), serta

4
menikmati nilai-nilai kehidupan modern yang ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi
informasi dan komunikasi. Generasi ini nantinya akan menjadi angkatan kerja pada masa
window of opportunity tahun 2020-2030 yang memiliki kualitas dan daya saing.
Agar hal tersebut benar terjadi, diperlukan kebijakan human capital deepening untuk
menyiapkan generasi berkualitas untuk menjadi modal sosial yang kuat bagi pembangunan
nasional. Namun, kebijakan ini juga harus menyentuh angkatan kerja yang sudah terlanjur
berpendidikan rendah dan berada di pasar kerja sekarang ini. Untuk itu, tenggang waktu 13-23
tahun mendatang harus dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

2. Jumlah Perempuan Indonesia


Untuk negara berkembang yang sedang berupaya menanggulangi kemiskinan,
peningkatan pendidikan guna meningkatkan kualitas penduduk akan sangat diuntungkan
apabila angka pertumbuhan penduduk dapat diturunkan. Namun, apabila pertumbuhan
penduduk tidak dapat diturunkan, maka kuantitas dan kualitas sumberdaya alam akan
mengalami penurunan seiring dengan tingginya angka pertumbuhan penduduk.
Pada periode tahun 60-an sampai dengan 80-an laju pertumbuhan penduduk Indonesia
meningkat tajam tetapi pada periode tahun 2000-2007 telah berhasil diturunkan menjadi 1,34
persen meskipun secara absolut tetap tinggi. Pengendalian laju pertumbuhan penduduk
tersebut tidak lepas dari partisipasi perempuan dalam keluarga berencana.

Tabel 1. Perkembangan Jumlah dan Laju Pertumbuhan


Penduduk Indonesia, Tahun1945-2007
Jumlah Penduduk (ribuan orang) Laju Pertumbuhan
Tahun
Penduduk (%)
Laki-laki Perempuan Jumlah
1945 Dta Dta 73.300
1,0
1950 Dta Dta 77.200
2,1
1961 Dta Dta 97.100
2,1
1971 58.338,6 60.029,2 119.208,2
2,3
1980 72.951,7 73.825,1 147.490,2
2,0
1990 89.375,7 89.872,1 179.378,9
1,7
1995 96.929,9 97.824,8 194.754,8
1,5
2000 101.814,4 101.641,6 203.456,0
2004 108.876,0 108.196,2 217.072,3
2005 109.801,7 109.403,0 219.204,7 1,34
2006 111.560,8 111.174,6 222.735,4
2007 112.409,9 112.770,1 225.180,0
Dta: Data tidak ada
Sumber: Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, 2005.
SDKI 2007 ( laporan pendahuluan )

5
Mencermati tabel di atas, ada kecenderungan apabila laju pertumbuhan penduduk tidak
dikendalikan maka partisipasi angkatan kerja Indonesia akan terus meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah angkatan kerja. Angka pengangguran, walaupun mengalami
peningkatan yang relatif lambat, akan tetapi tingkat pengangguran terbuka akan cenderung
naik. Artinya, bahwa jumlah kesempatan kerja yang tersedia belum mampu menampung
bertambahnya angkatan kerja. Tabel di bawah ini menggambarkan situasi ketenagakerjaan di
Indonesia pada periode 1980 s/d 2007.

Tabel 2. Jumlah dan Prosentase Penduduk Usia Kerja,


Angkatan Kerja Indonesia dan Pengangguran Terbuka,
1980-2000.
1980 1990 2000
Kategori
Jumlah (ribu) % Jumlah (ribu) % Jumlah (ribu) %
Angkatan Kerja 50.434,7 58,1 71.676,8 63,1 95.650,9 67,8

• Bekerja 49.627,2 57,2 69.524,8 61,2 89.837,7 63,7

• Cari Kerja 807,5 0,9 2.152,0 1,9 5.813,2 4,1


Bukan Angkatan Kerja 36.298,8 41,9 41.880,7 36,9 45.519,9 32,2

• Sekolah 5.487,0 6,4 8.685,1 7,6 10.763,5 7,6

• Rumah tangga 21.604,0 24,9 24.786,6 21,8 25.275,2 17,9

• Lainnya 9.207,8 10,6 8.407,0 7,4 9.481,2 6,7


Penduduk Usia Kerja 86.733,5 100 113.557,5 100 141.170,8 100

• TPAK 58,1 63,1 67,8

• TPTerbuka 1,6 3,0 6,1

Sumber: BPS, SP 1980, 1990, Sakerrnas 2000.

6
Tabel 3. Jumlah dan Prosentase Penduduk Usia Kerja,
Angkatan Kerja Indonesia dan Pengangguran Terbuka,
2004-2007.
2004 2005 2006 2007
KATEGORI
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
% % % %
(ribu) (ribu) (ribu) (ribu)
Angkatan
103.973,3 67,5 105.257,6 66,4 106.281,8 66,7 108.131.0 66,6
Kerja

• Bekerja 93.722,0 60,8 93.958,4 59,3 95.177,1 59,8 97.583,1 60,1

• Cari Kerja 10.251,3 6,7 11.899,3 7,5 11.104,7 7,0 10.547,9 6,5
Bukan
Angkatan 49.950,2 32,5 52.633,7 33,2 52.975,9 33,3 54.220,9 33,4
Kerja

• Sekolah 11.577,2 7,6 13.581,9 8,6 13.978,3 8,8 14.320,4 8,8

• Rumah 30.877,2 20,0 30.619,5 19,3 30.806,0 19,3 31.133,0 19,2


tangga

• Lainnya 7.495,7 4,9 9.432.3 6,0 8.191,6 5,1 8.767,4 5,4


Penduduk
153.923,6 100 158.491,4 100 159.257,7 100 162.352,0 100
Usia Kerja

• TPAK 67,5 66,79 66,74 66,60

• PTerbuka 9,9 11,2 10,5 9,7

Sumber: BPS, Sakernas 2004, 2005, 2006, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 2007

Dilihat dari sisi pendidikan angkatan kerja Indonesia, nampak menunjukkan


kecenderungan membaik dari tahun ke tahun, walaupun relatif masih rendah, akan tetapi sejak
tahun 1990 – 2007 terus mengalami peningkatan, baik jenjang pendidikan SD, SLTP, SLTA
maupun pendidikan tinggi. Secara rinci diuraikan pada tabel berikut :

Tabel 4. Jumlah dan Prosentase Angkatan Kerja Indonesia


Berdasarkan Tingkat Pendidikan,1990-2007.
PENDI- 1990 1998 2005 2006 2007
DIKAN Jml Jml Jml Jml Jml
% % % % %
(000) (000) (000) (000) (000)
Tidak
tamat 31.914,4 44,5 24.846,8 26,8 16.979,8 16,0 17.569,5 16,5 16.874,3 15,6
SD
Tamat
22.243,1 31,0 33.772,6 36,4 38.749,4 36,6 38.900,4 36,6 39.725,8 36,7
SD
Tamat
6.760,8 9,4 13.182,4 14,2 21.239,4 20,0 21.903,6 20,6 22.434,8 20,7
SLTP
Tamat
9.006,2 12,6 17.023,8 18,4 21.760,0 20,5 21.932,7 20,7 22.347,0 20,7
SLTA
Diploma
886,2 1,3 1.827,7 2,0 2.444,6 2,4 2.444,6 2,3 2.763,4 2,6
Sarjana
886,1 1,2 2.081,6 2,2 3.531,0 3,2 3,531,0 3,3 3.885.6 3,6
Jumlah 71.675,8 100 92.734,9 100 105.802,3 100 106.281,7 100 108.131,6 100
Sumber: BPS, SP 1990, Sakernas 1998, 2005, 2006. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 2007

7
3. Kualitas Bangsa Indonesia
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dimaksudkan untuk meningkatkan
ketahanan penduduk, produktivitas, dan kemandirian agar menjadi sumberdaya manusia yang
berdaya saing tinggi. Apabila hal ini terwujud, penduduk akan berubah dari kondisi yang kurang
menguntungkan dan menjadi beban pembangunan ke arah penduduk yang memiliki kualitas
dan kekuatan pembangunan yang mampu bersaing di era globalisasi.

Berbagai indikator untuk mengukur peningkatan kualitas sumberdaya manusia,


diantaranya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks
(HDI), Gender-related Development Index (GDI), dan Gender Empowerment Measure (GEM).
Pada periode 1975-2005, kualitas bangsa Indonesia telah mengalami perbaikan, hal ini terlihat
dari HDI, GDI, dan GEM yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun meskipun masih
relatif tertinggal apabila dibandingkan dengan negara lain.

Tabel 5. Perkembangan HDI dan GDI Indonesia, Tahun 1975-2005.


No. Tahun HDI GDI GEM
1. 1975 0,467 - -
2. 1980 0,529 - -
3. 1985 0,582 - -
4. 1990 0,623 - -
5. 1995 0,662 - -
6. 1996 - - 58,8 *)
7. 1998 0,670 0,664 -
8. 1999 0,677 0,671 49,5 *)
9. 2000 0,684 0,678 -
10. 2001 0,682 0,677 -
11. 2002 0,692 0,685 54,6 *)
12. 2003 0,697 0,691 -
13. 2004 0,711 0,704 -
14. 2005 0,728 0,721 - **)

Sumber: UN Human Dev. Report 2002, 2003, 2004, 2005, 2006,2007/2008


*) Data BPS, Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2005.
**) GEM diukur hanya ranking 1 – 93 dari 177 negara yang diukur.

Dari tabel di atas terlihat, bahwa HDI dan GDI Indonesia terus mengalami peningkatan,
namun apabila dibandingkan dengan negara-negara lain pencapaian tersebut masih tergolong
rendah karena bangsa Indonesia relatif masih belum menunjukkan tingkat kecerdasan,
kesehatan dan kesejahteraan yang cukup. Menurut UN Human Development Report 2007,
Indonesia masih berada pada urutan 107, lebih rendah dari Singapura (25), Brunei Darussalam
(30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), Vietnam (105), tetapi lebih baik dari
Kamboja (131), Myanmar (132), Laos (131).

8
Tabel 6. Perkembangan Ranking HDI dan GDI Negara-negara
ASEAN, Tahun 1999-2005.

RANKING HDI DAN GDI


No NEGARA
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
HDI GDI HDI GDI HDI GDI HDI GDI HDI GDI HDI GDI HDI GDI

1. Singapura 26 26 25 24 28 28 25 28 25 - 25 - 25 -

2. Brunei 32 30 32 31 31 31 33 - 33 - 34 - 30 31

3. Malaysia 56 55 59 54 58 53 59 52 61 50 61 51 63 58

4. Thailand 66 58 70 60 74 61 76 61 73 57 74 58 78 71

5. Filipina 70 62 77 63 85 66 83 66 84 63 84 66 90 77

6. Indonesia 102 92 110 91 112 91 111 90 110 87 108 81 107 94

7. Vietnam 101 89 109 89 109 89 112 87 108 83 109 80 105 91

8. Kamboja 121 109 130 109 130 105 130 105 130 99 129 97 131 114

9. Myanmar 118 107 127 106 131 - 132 - 129 - 131 - 132 -

10 Laos 131 119 143 118 135 109 135 107 133 102 133 100 130 115

Sumber: UN Human Dev. Report 2000-2007/2008

HDI adalah suatu indeks komposit yang dihitung dari: (1) Angka Harapan Hidup (AHH)
yang mencerminkan kesehatan (2) tingkat melek huruf dewasa (literate) dan angka partisipasi
kasar yang mencerminkan penguasaan pengetahuan (3) dan Produk Domestik Bruto (PDB)
yang mengindikasikan kelayakan hidup. Sedang GDI dihitung berdasarkan kesetaraan
distribusi komponen HDI dari penduduk laki-laki dan perempuan. Selisih yang semakin kecil
antara GDI dan HDI mengindikasikan semakin kecilnya kesenjangan gender. Menurut UN
Human Development Report 2006, dari 157 negara yang disurvey ranking GDI Indonesia
masih berada pada urutan 81, lebih rendah dari Vietnam (80), Filipina (66), Thailand (58),
Malaysia (51), namun Indonesia lebih baik dibandingkan Kamboja (97). Menurut UN Human
Development Report 2007/2008, ranking GDI Indonesia menurun berada pada urutan 94, lebih
rendah dari Vietnam (91), Filipina (77), Thailand (71), Malaysia (58), Brunei (31), namun
Indonesia lebih baik dibandingkan Kamboja (114) dan Laos (115)
Untuk mengindikasikan peran perempuan dalam bidang ekonomi, politik, dan
pengambilan keputusan, digunakan Gender Empowerment Measures (GEM), yang jika nilainya
semakin besar berarti semakin besar partisipasi perempuan (HDR, 2005). Menurut Data BPS,
Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2005, nilai GEM Indonesia pada tahun 1996
adalah 0,588 menurun menjadi 0,495 pada tahun 1999, kemudian meningkat sedikit menjadi
0,546 tahun 2002. Menurut HDR 2007/2008 Indonesia tidak dilakukan penilaian GEM (hanya
negara yang HDI nya ranking 1 sd 93 yang diukur GEMnya)
Dari sisi Angka Harapan Hidup (AHH) terus mengalami peningkatan, artinya pada tahun
1971 AHH penduduk Indonesia hanya mencapai 45, 7 tahun dan pada tahun 2005 meningkat

9
menjadi 69 tahun, perempuan (71,1 tahun) lebih tinggi dari pada laki-laki (67,1 tahun). Pada
tahun 2006 menurut perhitungan BPS 2000-2025 Angka Harapan Hidup telah meningkat lagi
menjadi 69,4 tahun, dengan AHH perempuan (71,5 tahun) lebih tinggi dari pada laki-laki (67,5
tahun).
Gambar 2.

ANGKA HARAPAN HIDUP PENDUDUK INDONESIA 1971-2006

80
70
60
50 Indonesia
40 Laki-Laki

71.5
71.1

69.4
67.5
67.3

67.1
66.4

69
63.4
62.5
59.8
58.1
Perempuan
53.7

30
52.2
50.6
47.2
45.7
44.2

20
10
0
1971 1980 1990 2000 2005 2006*)
Sumber : Statistik Indonesia Merdeka 2005, HDR 2007/2008, Proyeksi
Penduduk 2000-2005

Fertilitas perempuan Indonesia berhasil diturunkan dari waktu ke waktu. Menurut SDKI
2007, TFR Indonesia 2,6 kelahiran per perempuan pada tahun 2007 (perdesaan: 2,8 dan
perkotaan: 2,3). TFR ini tidak berubah dibandingkan dengan tahun 2002. Menurut SDKI 2002-
2003, TFR Indonesia 2,6 lebih rendah dari Laos (4,7), Kambodja (4,0), Filipina (3,7), Malaysia
(2,9), dan Myanmar (2,8), tetapi masih lebih tinggi dari pada Brunei (2,5), Vietnam (1,9),
Thailand (1,7) dan Singapura (1,4). TFR Indonesia tersebut masih lebih besar dari angka
replacement fertility, yang oleh PBB ditetapkan 2,1 yaitu dalam rangka mencapai kondisi
penduduk tumbuh seimbang. Menurut beberapa sumber TFR periode 1967 – 2007 adalah
sebagai berikut :

10
Gambar 3.

Angka Kelahiran Total (TFR) 1971 -2007

3,222
3,326 2,802

4,055 2,780
2,340
10,320
4,680 2,600
2,600

5,200
5,605

SP 1971 Supas 1976 SP 1980 Supas 1985 SP 1990 SDKI 1991


Supas 1995 SDKI 1997 SP 2000 SDKI '02-'03 SDKI 2007

Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada
tahun 1950 PDB Indonesia hanya Rp 84 milyar, pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp 2.296
trilyun atau Rp 10,64 juta per kapita atau US$ 1.185,6 per kapita. Pada tahun 2005 meningkat
menjadi Rp 2.785 trilyun, tahun 2006 mencapai Rp 3.338 trilyun dan pada tahun 2007
meningkat lagi menjadi Rp. 3.957 trilyun, dengan pertumbuhan 6,3 persen.

Tabel 7. Perkembangan PDB Indonesia, 1950-2007.

PDB Harga Berlaku PDB Harga Konstan Pertum-


No. Tahun
(Rp milyar) (Rp milyar) buhan (%)
1. 1950 84 - -
2. 1990 210.866,2 - -
3. 1995 454.514,1 - -
4. 2000 1.389.769,5 1.389.770,30 -
5. 2001 1.684.280,5 1.442.984,60 3,83
6. 2002 1.897.799,9 1.504.380,60 4,25
7. 2003 2.045.853,2 1.579.559,30 5,00
8. 2004 2.295.862,2 1.656.516,80 4,87
9. 2005 2.784.960,4 1.750.656,10 5,68
10. 2006 3.338.195,7 1.846.665,90 5,48
11. 2007 3.957.400,0 1.964.000,00 6,30
Sumber : BPS, Statistik Indonesia 2007, Berita Resmi Statistik (15 Febr 2008)

11
Kualitas penduduk Indonesia juga diindikasikan dari indeks kualitas hidup, daya saing,
dan tingkat korupsi.
1. Indeks Kualitas Hidup (Quality-of-Life Index, QOLI) Indonesia menurut The Economist
Intelligence Unit yang disusun berdasarkan penilaian atas komponen biaya hidup, waktu
luang dan kebudayaan, ekonomi, lingkungan, kebebasan, kesehatan, infrastruktur, resiko
dan keamanan, serta masalah iklim, pada tahun 2005 berada pada urutan 106 dengan
skor 55, di bawah Singapura (ranking 58, skor 63), dan Thailand (ranking 61, skor 62),
tetapi masih di atas Malaysia (ranking 108, skor 54), Filipina (ranking 110, skor 54),
Brunei (ranking 119, skor 52), Vietnam (ranking 145, skor 49), Kamboja (ranking 147,
skor 48), Myanmar (ranking 167, skor 44) dan Laos (ranking 168, skor 44).
Pada tahun 2006, QOLI Indonesia menurun ke urutan 138 dengan skor 52, di bawah
Singapura (ranking 61, skor 65), Malaysia (ranking 70, skor 62), Thailand (ranking 71,
skor 62), Filipina (ranking 124, skor 54), Brunei (ranking 126, skor 53), dan Kamboja
(ranking 132, skor 52), namun masih di atas Myanmar (ranking 167, skor 47), Vietnam
(ranking 177, skor 45) dan Laos (ranking 185, skor 43).
2. Daya saing bisnis Indonesia selama tiga tahun terakhir (2004-2006) masih berada di
tataran yang rendah. Menurut The International Institute for Management Development
(IMD) World Competitiveness Yearbook (2005, 2006). Tahun 2005 Indonesia berada
pada ranking 59, di bawah Singapura (3), Thailand (27), Malaysia (28), dan Filipina (49).
Tahun 2006, Indonesia mengalami penurunan dan menduduki ranking 60 (setingkat di
atas Venezuela), dan di bawah Malaysia (23), Thailand (32), serta Filipina (29). Pada
periode tahun 2006-2007, daya saing di beberapa negara Asean mengalami fluktuasi,
Indonesia menempati ranking 54, berada dibawah Singapura (8), Malaysia (19), Thailand
( 28), namun lebih baik dibanding Philipina (75), Vietnam ( 64), dan Kamboja ( 106).
Demikian halnya pada periode tahun 2007 – 2008, ranking Indonesia (ranking 54, skor
4,24 ) berada di bawah Singapura (ranking 7, skor 5,45, Kamboja (ranking 11, skore
3,48), Malaysia ( ranking 21, skor 5,10, Thailand (ranking 28, skor 4,70) namun lebih baik
dibandingkan Vietnam (ranking 68, skor 4,04) dan Philipina (ranking 71, skor 3,99)
3. Tingkat korupsi di Indonesia dinilai Transparency International Corruption Perceptions
Index (CPI) selama dua tahun terakhir (2005-2006) mengalami penurunan. Tahun 2005
mencapai skor CPI 2,2 dan berada di ranking 140. Tahun 2006, menempatkan Indonesia
pada ranking 130 dengan skor CPI 2,4. Menurut Transparency International, Skor CPI
bernilai nol yang berarti sangat korup dan nilai 10 berarti sangat bersih.
Pada tahun 2005, persepsi tingkat korupsi di Indonesia lebih parah daripada Kamboja
(ranking 131, skor 2,3), Filipina (ranking 124, skor 2,5), Vietnam (ranking 114, skor 2,6),
Thailand (ranking 60, skor 3,8), Malaysia (ranking 39, skor 5,1), Singapura (ranking 5,
skor 9,4), namun lebih baik dari Myanmar (ranking 156, skor 1,8).
Selanjutnya pada tahun 2006, tingkat korupsi Indonesia mengalami penurunan dan
berada pada ranking 130 sama dengan Papua New Guinea, namun lebih rendah apabila
dibandingkan dengan Filipina (ranking 121, skor 2,5), Vietnam dan Timor Leste (ranking
111, skor 2,6), Thailand (ranking 63, skor 3,6), Malaysia (ranking 44, skor 5,0) dan
Singapura (ranking 5, skor 9,4). Meskipun demikian, Indonesia lebih baik dari Kamboja
(ranking 151, skor 2,1), dan Myanmar (ranking 160, skor 1,9).

12
4. Indeks Kerapuhan Negara (Failed States Index/FSI) yang dikembangkan oleh The Fund
for Peace (organisasi riset independen) yang menggunakan 12 indikator sosial, ekonomi,
politik, dan militer. Organisasi ini membuat ranking sejumlah negara berdasarkan tingkat
kerapuhannya dalam menghadapi kekerasan konflik internal dan memburuknya
hubungan sosial. Semakin besar nilai indeksnya, maka semakin rapuh negara yang
bersangkutan dan semakin kecil urutan rankingnya.
Sepanjang tahun 2005, skor FSI Indonesia sebesar 87 dan berada di ranking 47,
kemudian pada tahun 2006 skor Indonesia menjadi 89,2 dan berada di ranking 32. Tahun
2007, skor Indonesia menjadi 84,4 dan berada di ranking 55, dan ranking ini lebih baik
daripada Myanmar (ranking 14 skor 97) dan Kamboja (ranking 48 skor 85,7). Namun,
tetapi lebih rapuh dibandingkan dengan Filipina (ranking 56 skor 83,2), Vietnam (ranking
79 skor 77,8), Thailand (ranking 86 skor 76), Brunei (ranking 109 skor 71,2), dan Malaysia
(ranking 120 skor 65,9).

4. Mobilitas Perempuan Indonesia


Persoalan jumlah penduduk di Indonesia sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari
masalah distribusi penduduk yang tidak merata antar pulau, penduduk masih terkonsentrasi di
Pulau Jawa yang sudah terjadi sejak zaman Belanda Kondisi ini dipicu oleh adanya
kesenjangan pembangunan antar Jawa dan Luar Jawa, sehingga Pulau Jawa masih relatif
menjadi pilihan bagi sebagian orang untuk mengadu nasib. Namun, akhir-kahir ini ada
kecenderungan meningkatnya migrasi internasional ke berbagai negara.

Hasil Supas pada tahun 1995, tingkat urbanisasi atau peningkatan penduduk urban di
Indonesia adalah 35,91 persen, artinya bahwa 35,91 persen penduduk Indonesia tinggal di
daerah perkotaan. Angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan urbanisasi pada
tahun 1980 yang baru mencapai 22,4 persen. Kemudian terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun, pada tahun 1998 mencapai 40,5 persen dan dalam kurun waktu 7 tahun
angka tersebut meningkat menjadi 48,3 persen (2005). Meningkatnya urbanisasi sejalan
dengan terjadinya konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan,
sebagaimana yang terjadi di kawasan pantai utara Jawa yang mencapai sekitar 20 persen.
Selain itu, dengan menyempitnya lapangan pekerjaan di bidang pertanian ikut mendorong
terjadinya migrasi penduduk perdesaan ke perkotaan.
Faktor migrasi desa-kota memegang peranan sangat penting dalam mempertinggi
angka urbanisasi, bahkan ada kecenderungan aktivitas perekonomian akan terpusat pada
suatu area yang memiliki konsentrasi penduduk cukup tinggi. Hubungan positif antara
konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi akan menyebabkan semakin
membesarnya area konsentrasi penduduk sehingga menimbulkan daerah perkotaan. Dengan
demikian, urbanisasi sebenarnya merupakan suatu proses perubahan yang wajar, sebagai
upaya masyarakat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Namun, proses urbanisasi tetap
harus dikendalikan atau diarahkan, karena apabila tidak dikendalikan dan diarahkan maka
dapat menimbulkan berbagai masalah sosial yang menyertainya.

13
Dari sisi migrasi internasional, oleh karena peluang dan kesempatan kerja di Indonesia
relatif sempit, sehingga banyak warga negara Indonesia yang memiliki skill terbatas
berbondong-bondong menjadi tenaga kerja di luar negeri, dan dari tahun ke tahun jumlahnya
semakin meningkat. Tabel di bawah ini menunjukkan kecenderungan migrasi tenaga kerja
Indonesia yang bekerja di luar negeri.

Tabel 8. Jumlah Migrasi Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri,


Tahun 2001-2007
Tahun/Negara Tujuan Laki- laki Perempuan Jumlah
2001 66.564 272.428 338.992
• Asia Pasifik 56.024 161.531 217.555
• Timur Tengah & Afrika 10.291 110.889 12.180
• Amerika 225 3 228
• Eropa 24 5 29
2002 116.779 363.614 480.393
• Asia Pasifik 97.940 140.384 238.324
• Timur Tengah & Afrika 18.771 223.190 241.961
• Amerika 33 7 40
• Eropa 35 33 68
2003 79.987 213.782 293.709
• Asia Pasifik 65.255 44.497 109.752
• Timur Tengah & Afrika 14.513 169.257 183.770
• Amerika 144 27 171
• Eropa 15 1 16
2004 84.078 296.612 380.690
• Asia Pasifik 68.519 92.451 160.970
• Timur Tengah & Afrika 15.539 204.160 219.699
• Amerika 17 - 17
• Eropa 3 1 4
2005 149.265 325.134 474.399
• Asia Pasifik 137.292 159.999 297.291
• Timur Tengah & Afrika 11.973 165.135 177.108
• Amerika - - -
• Eropa Dta Dta Dta
2006 138.292 541.708 680.000
• Asia Pasifik 114.355 212.456 326.811
• Timur Tengah & Afrika 13.937 329.525 353.189

14
Tahun/Negara Tujuan Laki- laki Perempuan Jumlah
• Amerika Dta Dta Dta
• Eropa Dta Dta Dta
2007 152.887 543.887 696.746
• Asia Pasifik 123.365 227.335 350.703
• Timur Tengah & Afrika 27.129 316.358 343.487
• Amerika 1.191 72 1.263
• Eropa dan Australia 1.199 94 1.293
Dta : Data tidak ada
Sumber : Depnakertrans, Desember 2007

Gambar 4.

Jumlah TKI yang Bekerja Di sektor Formal dan Informal di Luar Negeri, Tahun 2007

350,000

300,000 333,171

250,000
183,131

200,000

167,384
165,023
17,771
150,000
121,007

1,293

100,000
62,314
94

10,316
1,119

50,000 1,191 35,400


2,361

9,358
0 1,253
958 1,253

Asia Pasifik Timur Tengah & Afrika Amerika Eropa dan Australia

Sumber : BNP2TKI, Desember 2007

Data tahun 2007 menunjukkan, bahwa tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar
negeri lebih banyak di sektor informal dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki, baik di luar
Asia maupun Timur Tengah. Sedangkan untuk tenaga kerja formal pada tahun 2007, jumlah
tenaga kerja laki-laki lebih besar dibandingkan tenaga kerja perempuan, baik untuk kawasan
Asia, Timur Tengah, Amerika maupun Eropa dan Australia. Tenaga kerja informal ini memiliki
tingkat kerentanan yang tinggi terhadap praktek diskriminasi dan kekerasan.

15
Tabel 9. Penerimaan Devisa Tenaga Kerja Indonesia dari Luar Negeri,
Tahun 2001-2007.

Tahun/Negara Tujuan TKI (Orang) Devisa US$


2001 338.992 537.654.777

• Asia Pasifik 217.555 355.088.125

• Timur Tengah & Afrika 29 180.839.612

• Amerika 121.180 1.532.160

• Eropa 228 194.880

2002 480.393 2.198.019.604

• Asia Pasifik 238.324 1.812.660.673

• Timur Tengah & Afrika 68 443.520

• Amerika 241.961 384.693.651

• Eropa 40 221.760

2003 293.694 75.639.513

• Asia Pasifik 109.722 23.088.764

• Timur Tengah & Afrika 183.770 34.713.101

• Amerika 171 5.945.882

• Eropa 31 11.891.765

2004 *) 244.624 170.869.287

• Asia Pasifik 67.817 60.263.238

• Timur Tengah & Afrika 176.788 110.362.494

• Amerika 16 119.724

• Eropa 3 123.831

2005 **) 474.399 2.709.534.159

• Asia Pasifik 297.291 979.056.157

• Timur Tengah & Afrika 177.108 1.729.757.906

• Amerika - 598.547

• Eropa - 121.549

2006

• Asia Pasifik 326.811 1.884.827.180

• Timur Tengah & Afrika 353.189 1.529.748.517

• Amerika - 1.724.423

• Eropa - -

16
Tahun/Negara Tujuan TKI (Orang) Devisa US$
2007 696.746 6.006.623.553

• Asia Pasifik 350.703 3.823.585.214

• Timur Tengah & Afrika 343.487 2.104.220.971

• Amerika 1.263 59.881.206

• Eropa dan Australia 1.293 13.936.162


Sumber: Depnakertrans, 2005, 2006,2007 ; BNP2TKI, Desember 2007
*) Januari - September 2004.
**) Januari – Nopember 2005.

Tabel di atas menggambarkan, bahwa sebagian besar TKI adalah kaum perempuan
(77,65 %), dan hampir 70 % bekerja di sektor informal yang rentan dengan ketidakpastian
mengenai upah, pendapatan, dan jaminan sosial. Umumnya tidak dilengkapi dengan dokumen
dan overstay sehingga TKI tersebut diidentifikasi sebagai pendatang asing tanpa ijin (PATI)
dan dianggap sebagai penyandang masalah sosial. Pada tahun 2004 ketika Pemerintah
Malaysia mengambil kebijakan untuk memulangkan PATI ke negara asal masing-masing,
diperkirakan sebanyak 960 ribu orang berasal dari Indonesia. Sampai akhir tahun 2005, Ditjen.
Imigrasi Indonesia melaporkan, bahwa 526.841 orang TKI Bermasalah telah dipulangkan dari
Malaysia melalui sebelas entry point di Indonesia. Kemudian pada tahun 2006, TKI
Bermasalah yang dideportasi dari Malaysia mencapai 30.604 orang, setelah dipenjara dan
mendapat hukuman cambuk. Tahun 2007, tercatat 35.233 TKI Bermasalah dideportasi dari
Malaysia, dan 40.000 WNI overstayer juga akan dideportasi.
Selain masalah dokumen dan overstay, banyak TKI yang mendapatkan perlakuan tidak
manusiawi dari majikannya. Sekretariat Nasional Kopbumi (2006) melaporkan bahwa selama
tahun 2004 -2005, terdapat 911 kasus buruh migran Indonesia yang hilang kontak, gaji tindak
dibayar, penyiksaan, penipuan dan gagal berangkat, bahkan meninggal dunia. Kasus tersebut
melibatkan 183 PJTKI, belum termasuk dengan deportasi dari Malaysia, Arab Saudi dan
Kuwait.

17
KUALITAS HIDUP PEREMPUAN DAN ANAK______

1. Kemiskinan
Kemiskinan sebagai suatu gejala ekonomi akan berbeda dengan kemiskinan sebagai
gejala sosial. Gejala kemiskinan akan mudah dikenali yang ditandai dengan kekurangan gizi,
buta huruf, rentan terhadap penyakit, lingkungan yang kumuh, kematian bayi yang tinggi dan
rendahnya angka harapan hidup. Namun, bukan suatu hal yang mudah untuk merumuskan
dan mengukur angka kemiskianan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan didasarkan pada indikator
pengeluaran, dan untuk menentukan garis kemiskinan sebagai batas tingkat pengeluaran
minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non-pangan per
kapita per bulan, yaitu untuk membiayai konsumsi 2.100 kalori pangan per kapita per hari
ditambah dengan pemenuhan kebutuhan minimal non-pangan: sandang, papan, kesehatan,
pendidikan, jasa, bahan bakar angkutan dan lain sebagainya.
BPS pada tahun 2006 mencatat, bahwa jumlah penduduk Indonesia yang berada di
bawah garis kemiskinan naik dari 35,1 juta (15,97%) pada Februari 2005 menjadi 39,05 juta
(17,75%) pada Maret 2006, dan kemudian menunjukkan kecenderungan menurun pada Maret
2007 menjadi 37,17 juta (16,58 %), dan Maret 2008 jumlah penduduk miskin menurun lagi
menjadi 34,96 juta (15,42 % ) dari total penduduk Indonesia.

Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai


Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), menuntut
ditiadakannya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh hak-haknya
di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, pekerjaan, perkawinan, kewarganegaraan,
hukum, dan politik, serta hak-haknya untuk terbebas dari kekerasan, perdagangan
perempuan dan eksploitasi pelacuran. Kurang dipenuhinya hak-hak tersebut, menyebabkan
terjadinya kemiskinan tidak saja kemiskinan dari segi pendapatan (ekonomi), tetapi juga
kemiskinan insani (human poverty) dan kemiskinan martabat (voicelessness,
powerlessness, dan vulnerability).
Landasan Aksi Beijing dalam rangka mengurangi kemiskinan bagi perempuan adalah:
(a) Menelaah, menetapkan dan memberlakukan kebijakan-kebijakan ekonomi makro dan
strategi pembangunan yang diarahkan untuk menangani kebutuhan dan upaya-upaya
perempuan yang hidup dalam kemiskinan (b) Memperbaiki perundang-undangan dan
praktek-praktek administrasi untuk menjamin persamaan hak dan akses perempuan untuk
memperoleh sumberdaya-sumberdaya ekonomi (c) Menyediakan kesempatan bagi
Perempuan untuk menabung serta memanfaatkan mekanisme dan lembaga-lembaga kredit
lainnya (d) Mengembangkan metodologi-metodologi berdasar gender dan melakukan
penelitian untuk menangani peningkatan kemiskinan di kalangan perempuan.
Millenium Development Goals (MDGs) yang berkaitan dengan penanggulangan
kemiskinan dan kelaparan, mempunyai indikator capaian: (1) proporsi penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan nasional (2) proporsi penduduk dengan tingkat
pendapatan kurang dari satu dollar per hari (3) kontribusi quantil pertama penduduk
berpendapatan terendah terhadap konsumsi nasional (4) prevalensi balita kurang gizi (5)
proporsi penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minimum 2.100 kkal per kapita
per hari.

18
Tabel 10. Jumlah Penduduk Miskin Indonesia,
Tahun 1976 s/d 2008
Perempuan
Tahun Laki-laki (juta) Jumlah (juta) %
(juta)
1976 Dta Dta 54,2 40,08
1980 Dta Dta 42,3 28,56
1984 Dta Dta 35,0 21,64
1990 Dta Dta 27,2 15,08
1996 Dta Dta 22,5 11,34
1998 Dta Dta 49,5 24,23
1999 Dta Dta 37,5 17,17
2000 18,77 18,49 37,26 18,95
2001 18,56 18,55 37,11 18,40
2002 17,76 17,92 35,68 17,60
2003 18,81 18,53 37,34 17,42
2004 18,07 18,08 36,15 16,66
2005 18,47 18,33 36,80 16,69
2006 19,82 19,48 39,30 17,75
2007 18,60 18,67 37,17 16,58
2008 Dta Dta 34,96 15,42
Dta: Data tidak ada
Sumber: Baknas 2002; BPS 2003, 2004, 2005, 2006, 2007. Maret 2008

2. Kesehatan

Unsur penting di dalam pembangunan manusia adalah kesehatan, dan salah satu
indikator kesehatan adalah angka kematian bayi (IMR). Kematian bayi (anak) secara langsung
disebabkan oleh kesakitan bayi (anak) dalam pengertian luas, yang pada gilirannya
dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab tidak langsung dan salah satunya adalah
kekurangan gizi.

Indikasi mengenai balita kurang gizi, berdasarkan SDKI 2002-2003, prevalensi gizi
kurang (underweight) pada anak balita (0-59 bulan) adalah sebesar 25,8 persen. Berbeda
dengan angka hasil Survei Garam Yodium 2005, yang mencatat bahwa prevalensi gizi kurang
meningkat menjadi 28,0 persen terdiri balita gizi buruk 8,8 persen dan balita dengan gizi
kurang 19,2 persen. Selain kurang gizi, juga banyak balita yang menderita anemia, tahun 1995
prevalensi balita yang menderita anemia sebesar 40,5 persen, tahun 1997 turun menjadi 40
persen dan kembali meningkat menjadi 48,1 persen pada tahun 2001 (Depkes 2004). Pada
tahun 2005, terdapat 8,1 juta (48,0 %) balita yang menderita anemia (Depkes, 2007).

19
Perkembangan status gizi Balita periode 1989 sampai dengan 2006 dapat dilihat pada tabel
berikut :

Tabel 11. Perkembangan Status Gizi Balita Tahun 1990 s/d 2006

Keadaan Gizi Buruk/Kurang (%) Laki-laki +


No. Tahun Perempuan (%)
Laki-laki Perempuan
1. 1989 - - 43,80
2. 1990 - - 41,80
3. 1992 - - 33,57
4. 1995 - - 53,20
5. 1998 - - 40,00
6. 1999 - - 34,50
7. 2000 - - 24,66
8 2001 - - 32,40
9 2002 28,20 27,50 24,10
10 2003 30,80 26,12 26,17
11 2005 29,99 26,01 28,04
12 2006 - - 28,05
Sumber : BPS 2005, SDKI 2007, MDGs 2007, Depkes 2007.
Catatan : Gizi Buruk 8,8 % dan Gizi Kurang 19,25 % Tahun2005

Menurut Komnas Perlindungan Anak Indonesia (2006), anak-anak yang menderita


malnutrisi pada tahun 2005 berjumlah 744.698 anak dengan rincian sebanyak 55,9 persen
menderita kurang gizi diantaranya 42,7 persen menderita gizi buruk, dan 1,3 persen menderita
busung lapar. Anak-anak juga banyak terserang berbagai penyakit, dimana terdapat 13.441
anak terserang berbagai penyakit seperti diare (5.645 anak, meninggal 112 anak), demam
berdarah (penderita 5.127 anak, meninggal 129 anak), polio (324 anak), lumpuh layu (451
anak), campak (1.652 anak, meninggal 23 anak), flu burung (43 anak, meninggal 10 anak).
Hasil Survey Garam Yodium tahun 2005, persentase wanita usia subur (15–49 tahun) di
Indonesia yang mengalami atau menderita Kurang Energi Kronis (KEK) sebesar 16,24 persen.
Kondisi ini semakin membaik jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

20
Gambar 5.

Prosentase Prevalensi Resiko Perempuan Menderita KEK


1999 -2005

45 41.29
35.8 35.7 35.1
40 34.3 32.5
35 30.2
27 27.7
30 23.7
23.1 23.7
21.4
25 19.2
16 15-19
20 14.7 14.5
13.8 20-24
15 25-29
10
5
0
1999 2000 2001 2002 2003 2005
Sumber : Depkes 2007

Selain itu, pembangunan kesehatan juga harus dipandang sebagai suatu investasi
untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Dan kondisi pembangunan kesehatan
secara umum dapat dilihat dari status kesehatan dan gizi masyarakat, yaitu angka kematian
balita, angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan, prevalensi gizi kurang dan angka
harapan hidup (umur).

Angka kematian balita (AKBA) Indonesia berhasil diturunkan dari 111 kematian per
1.000 kelahiran hidup pada tahun 1986, menjadi 81 tahun 1994, dan menjadi 79 selama
periode 1988-1992, dan terus menurun menjadi 46 per seribu kelahiran hidup pada periode
1998-2002 (SDKI 2002-2003). Dan menurut UNICEF (2007), kematian anak di bawah lima
tahun di seluruh dunia semakin menurun, di bawah 10 juta jiwa. Angka terakhir kematian Balita
(2006) tercatat 44 per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2007). Grafik berikut, menggambarkan
perkembangan AKBA periode Thun 2000 sampai dengan tahun 2005.

22
Gambar 6.

Angka Kematian Balita 2000 - 2005


60
2000
50
2002
40
2003
30
2004
20
2005
10
2001
0
Laki-Laki Perempuan Lk + Prp
Sumber : BPS 2008

Dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN, pada tahun 2003, AKBA


Indonesia relatif cukup menggembirakan. Myanmar dan Kamboja berturut-turut merupakan
negara dengan AKBA tertinggi di antara negara-negara di ASEAN, berdasarkan laporan
UNICEF dalam The State of World's Children 2005. AKBA di kedua negara tersebut berada di
atas 100, yakni 140 untuk Kamboja dan 107 untuk Myanmar, sedangkan Laos menduduki
urutan ketiga dengan AKBA sebesar 91 kematian untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.
Indonesia, Philipina, Thailand dan Vietnam berturut-turut menduduki peringkat ke 4, 5, 6 dan 7
dengan AKBA sebesar 41, 36, 26 dan 23 kematian untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.

23
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 12 mewajibkan
negara untuk meniadakan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan di bidang
pemeliharaan dan pelayanan kesehatan, dan keluarga berencana. Negara juga wajib
menjamin pelayanan yang layak kepada perempuan berkaitan dengan kehamilan,
persalinan dan pasca persalinan, dengan memberikan makanan bergizi yang cukup selama
kehamilan dan masa menyusui.
Landasan Aksi Beijing berkaitan dengan perempuan dan kesehatan adalah: (a)
Meningkatkan akses perempuan sepanjang umurnya pada pelayanan kesehatan yang
memadai, terjangkau dan berkualitas, informasi dan pelayanan terkait (b) Memperkuat
program-program pencegahan terhadap penyakit yang memajukan kesehatan perempuan
(c) Mengambil prakarsa-prakarsa yang peka gender guna menanggulangi penularan
penyakit-penyakit kelamin, HIV/AIDS dan permasalahan kesehatan seksual dan reproduksi
(d) Memajukan penelitian dan menyebarluaskan informasi mengenai kesehatan perempuan
(e) Memperbesar sumber-sumber dan memantau tindak lanjutan bagi kesehatan
perempuan.
Masalah kesehatan ini menjadi tujuan keempat, kelima dan keenam MDGs. Tujuan
keempat MDGs adalah “menurunkan angka kematian anak” yang diindikasikan dari (a)
Angka kematian balita (b) angka kematian bayi (c) persentase anak di bawah satu tahun
yang diimunisasi campak. Tujuan kelima MDGs adalah “meningkatkan kesehatan ibu” yang
diindikasikan dari (a) angka kematian ibu (b) proporsi pertolongan persalinan yang
ditangani oleh tenaga persalinan terlatih (c) angka pemakaian kontrasepsi. Sedang tujuan
keenam MDGs adalah “memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular
lainnya” yang diindikasikan dari (a) prevalensi HIV di kalangan ibu hamil yang berusia
antara 15-24 tahun (b) penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi (c)
penggunaan kondom pada pemakai kontrasepsi (d) persentase anak muda usia 15-24
tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS (e) prevalensi
malaria dan angka kematiannya (f) persentase penduduk yang menggunakan cara
pencegahan yang efektif untuk memerangi malaria (g) persentase penduduk yang
mendapat penanganan malaria secara efektif (h) prevalensi TBC dan angka kematian
penderita TBC dengan sebab apapun selama pengobatan OAT (i) angka penemuan
penderita TBC BTA positif baru (j) angka kesembuhan penderita TBC.

Sementara itu, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam merupakan negara-negara


dengan AKBA terendah masing-masing sebesar 3, 6 dan 7 kematian untuk setiap 1.000
kelahiran hidup.
Angka Kematian Bayi (AKB) Indonesia juga telah mengalami penurunan, yakni dari 145
kematian bayi per seribu kelahiran hidup pada tahun 1971,menjadi 57 pada tahun 1994,
kemudian 46 pada tahun 1997, dan terus menurun menjadi 35 per seribu kelahiran hidup pada
tahun 2002 (SDKI 2002-2003). Dan pada tahun 2006, angka kematian bayi turun mencadi 34
per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2007)
Berdasarkan laporan UNICEF (2005), AKB tertinggi di Asean pada tahun 2003 terjadi di
Kamboja dan diikuti oleh Laos dan Myanmar yang mencapai angka 97, 82 dan 76 per seribu
kelahiran hidup. AKB terendah terjadi di Singapura (3 per seribu kelahiran hidup), diikuti oleh
Brunei Darussalam dan Malaysia dengan angka 5 dan 7 kematian per seribu kelahiran hidup.
Sedangkan Vietnam, Thailand, Filipina dan Indonesia berada ditengah-tengah dengan AKB
berturut-turut 19, 23, 27 dan 31 kematian untuk setiap seribu kelahiran hidup (Profil Kesehatan
Indonesia 2004). Pada awal tahun 2008 UNICEF mengeluarkan laporan berjudul Countdown to
2015 Maternal, New Born and Child Survival : Tracking Progress in Maternal, New Born and
Child Survival. Unicef melaporkan ada 68 negara yang memiliki permasalahan berat dalam
pencapaian MDGs 4 dan 5. Tiga puluh empat dari 68 negara tersebut harus benar-benar
mendapat perhatian karena memiliki anak-anak dalam kondisi kekurangan gizi yang sangat
tinggi. Enam diantara 10 negara yang hadir dalam pertemuan Sherpa di Jakarta yaitu Brazil,

24
Indonesia, Liberia, Mozambik, Senegal dan Tanzania termasuk dalam 68 negara tersebut.
Brazil akan mampu mencapai sasaran MDGs 4, Indonesia diperkirakan akan dapat mencapai
tujuan MDGs 4 beberapa tahun terlambat (2018) sedangkan empat negara lainnya
menghadapai permasalahan yang serius. Keenam negara terlihat tidak dapat mencapai tujuan
MDGs tepat pada waktunya. Indonesia diperkirakan mencapai MDGs 5 (MMR = 102) pada
tahun 2025. Menurut laporan UNICEF 2008 AKB tertinggi diantara 10 negara yang hadir
tersebut Indonesia AKB nya 34 per 1000 kelahiran hidup lebih rendah dibandingkan ke 4
negara lainnya yaitu Liberia (143) dikuti Mozambique (108); Tanzania (78); Senegal (69),
namun lebih tinggi dibandingkan Brasilia, Chile, United Kingdom, Netherlands dan Norway
berturut-turut 27; 8; 5;5 dan 4 per 1000 kelahiran hidup (Inisiatif pertemuan Jakarta, 2008).

Tabel 12. Angka Kematian Bayi (AKB) Indonesia,


Tahun 1971-2007.
Angka Kematian Bayi (AKB)
Tahun
Laki-laki dan
Laki-laki Perempuan
perempuan
1971 158 134 145
1980 118 100 109
1990 79 64 71
1994 - - 57
1997 - - 46
2000 46 35 41
2001 44 34 39
2002 42 32 37
2003 40 30 36
2004 39 29 34
2005 37 28 32
2006 - - 34
Sumber : Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka 2005. SDKI 2002–2003, Susenas 2004, BPS, 2006, 2008,
SDKI 2007 (laporan pendahuluan )

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, walaupun telah berhasil diturunkan dari 450
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 390 (SDKI 1994), 334
(SDKI 1997), dan turun menjadi 307 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-
2003), namun masih merupakan angka tertinggi di Asean. Di negara-negara yang mayoritas
penduduknya muslim, angka kematian ibu di Indonesia tertinggi kedua setelah Afganistan
(1.700 per 100.000 kelahiran hidup), dan setingkat di bawah Indonesia adalah Pakistan
(Kompas 15 Desember 2003). Dari laporan Menteri Kesehatan RI kepada Presiden (Febr,
2008), dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan, yakni pada tahun 2004 berada pada
angka 270 per 100.000 kelahiran hidup, 262 tahun 2005, 255 tahun 2006, dan 248 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2007.
Kesehatan ibu dan ibu hamil juga masih perlu mendapat perhatian, karena pada tahun
2001 sekitar 40,1 persen ibu hamil dan 26,4 persen perempuan usia subur menderita anemia

25
(Depkes, 2004). Pada tahun 1997, proporsi Kurang Energi Kronis Ibu Hamil sebesar 41
persen, sementara untuk prevalensi Kurang Energi Kronis Wanita Usia Subur sebesar 24
persen. Sedangkan persentase perempuan yang mempunyai keluhan tentang kesehatan pada
tahun 2001 mencapai 25,92 persen dan meningkat menjadi 26,80 persen pada tahun 2002,
kemudian menurun menjadi 25,12 persen pada tahun 2003, dan meningkat lagi pada tahun
2004 menjadi 26,51 persen. Menurut Susenas 2005, keluhan perempuan atas kesehatannya
kembali menurun menjadi 22,52 persen pada tahun 2005, dengan lebih banyak perempuan
pedesaan yang sakit (23,34 %) dari pada perkotaan (21,57%). Menurut Susenas 2007,
keluhan perempuan terhadap kesehatan meningkat menjadi 31,09 persen, namun tetap lebih
banyak perempuan perdesaan yang sakit (32,46%) dibandingkan perkotaan (29,34%). Ibu-ibu
yang sakit-sakitan, menderita kekurangan gizi dan anemia sangat mempengaruhi kesehatan
fisik dan intelegensia bayi yang dikandungnya, kesehatan dan keselamatan ibu yang
bersangkutan.
Perilaku sadar akan kesehatan, diindikasikan dari pemeriksaan kesehatan ketika hamil,
kondisinya masih perlu ditingkatkan. Pada tahun 1991 hanya 79,8 persen ibu hamil yang
memeriksakan kandungannya, tetapi pada tahun 1994 meningkat menjadi 82,3 persen,
kemudian meningkat lagi menjadi 89,4 persen pada tahun 1997, dan menjadi 92 persen pada
tahun 2002-2003, selanjutnya terjadi penurunan pada tahun 2005 menjadi 87,01 persen.
Menurut Susenas 2005, penolong kelahiran balita oleh tenaga medis sebesar 70,47 persen
pada tahun 2005, akan tetapi masih terdapat 26,28 persen ibu-ibu yang memeriksakan
kehamilan dan menolong persalinannya oleh dukun bersalin. Pada tahun 2007, penolong
kelahiran pertama balita oleh dukun justru meningkat menjadi 30,27 persen, sementara yang
dotolong tenaga kesehatan menurun menjadi 66,80 persen. Penolong kelahiran terakhir (balita)
pada tahun 2007 oleh tenaga kesehatan 72,53 persen dan dukun 25,31 persen. Penolong
kelahiran terakhir oleh dukun di perkotaan (10, 51%) lebih rendah dibanding perdesaan 36,27
persen ( Susenas 2007)
Sementara imunisasi tetanus toxoid (TT), bagi ibu-ibu yang melahirkan bayi hidup yang
mendapatkan suntikan TT dua kali atau lebih, mengalami penurunan dari 53,4 persen (1997)
menjadi 50,7 persen, tetapi pada tahun 2004 mengalami kenaikan lagi menjadi 63,9 persen
(Depkes, Profil Kesehatan Indonesia 2004). Sedangkan perbandingan desa-kota, ibu-ibu yang
mendapatkan imunisasi TT di perkotaan lebih tinggi (62 %) dibandingkan perdesaan (49 %).
Pada tahun 2007 ibu-ibu selama hamil yang menerima imunisasi TT paling sedikit satu kali
meningkat menjadi 73 persen, dan zat besi 77,3 persen. Untuk kelahiran anak terakhir, ibu
umur 20-34 tahun, ibu dengan urutan anak terendah adalah yang tinggal di perkotaan dan ibu
dengan pendidikan lebih baik cenderung lebih mendapatkan suntikan TT selama kehamilan
bayinya (SDKI, 2007).
Menurut SDKI 1991, anak Indonesia berumur 12-23 bulan yang mendapat imunisasi
lengkap (BCG, campak, dan masing-masing tiga dosis DPT dan Polio) mencapai 48 persen,
kemudian meningkat menjadi 50 persen (SDKI 1994) dan 55 persen (SDKI 1997). Khusus
untuk imunisasi polio ulangan yang keempat hanya mencapai 46,2 persen, sementara
imunisasi campak baru mencapai 71,6 persen (SDKI 2002-2003). Menurut Susenas 2007,
tingkat imunisasi campak mengalami peningkatan, usia 12 bulan sebanyak 71,6 persen dan
usia 12 – 23 bulan mencapai 82,2 persen.
Dari publikasi UNICEF (WHO Health Report, 2007), pada tahun 2003 Brunei
merupakan negara dengan cakupan imunisasi (BCG, DPT, Polio, Hepatitis B dan Campak)
paling tinggi, yakni mencapai 99 persen dan Laos menduduki peringkat paling rendah.

26
Indonesia, cakupan imunisasi BCG berada di urutan keempat terendah (82 %), dan berada di
urutan ketiga terendah untuk imunisasi DPT, Polio, dan Campak. Cakupan imunisasi untuk
DPT dan Polio mencapai 70 persen dan imunisasi Campak mencapai 72 persen. Susenas
2005 mencatat, bahwa jumlah Balita yang pernah mendapatkan imunisasi meningkat mencapai
88,5 persen, yaitu BCG 87,3 persen, DPT 84,6 persen, Polio 89,1 persen, Campak/morbili 72,5
persen, dan Hepatitis B mencapai 74,8 persen. Data Susenas 2007, menunjukkan bahwa
persentase balita yang mendapatkan imunisasi meningkat dibanding pada tahun sebelumnya
yaitu di atas 75 persen untuk semua jenis imunisasi : BCG (89,4%), DPT (86,44%), Polio
(89,67%), campak (75,90%), Hepatitis (80,57%). Balita yang mendapatkan imunisasi DPT,
Polio, Hepatitis dengan minimal 3 (triga) kali masing-masing sebesar 65,8 persen; 70,39
persen`dan 57,71 persen. Dari lima jenis imunisasi tersebut, persentase paling besar berada di
daerah perkotaan.
Kesehatan reproduksi, diartikan sebagai suatu keadaan utuh secara fisik, mental, dan
sosial dari penyakit dan kecacatan dalam semua hal yang behubungan dengan sistem, fungsi
dan proses produksi. Dalam kaitan ini, remaja memiliki resiko yang cukup tinggi terhadap
kesehatan karena anemia. Departemen kesehatan mencatat, bahwa kaum remaja penderita
anemia mencapai 45,8 persen untuk remaja laki-laki usia 10-14 tahun dan 57,1 persen remaja
perempuan atau sejumlah 5-6 juta orang menderita anemia (Profil Kesehatan Indonesia 2000).
Dari sisi fertilitas remaja (ASFR 15-19 tahun) di Indonesia terlihat masih tinggi, walaupun telah
mengalami penurunan dari 155 per seribu perempuan (1991) menjadi 62 (SDKI 1997), dan
Menurut SDKI (2007), ASFR 15-19 tahun menurun lagi menjadi 51 per seribu perempuan
(2007) namun besaran tersebut mempunyai kontribusi sebesar 10,16 persen terhadap fertilitas
total, dan di negara-negara Asean hanya berkisar 5 persen.
Usia kawin pertama, merupakan variabel yang berpengaruh terhadap tingkat fertilitas
wanita usia subur (15-49 tahun). Berdasarkan Susenas (2002-2005, 2007), modus usia saat
perkawinan pertama adalah 19-24 tahun (2002: 41,50 %; 2003: 42,65 %; 2004: 42,94 %; 2005:
41,98 %; 2007 : 41,49%) yang berarti semakin meningkat kesadaran perempuan untuk tidak
kawin pada usia muda yang memiliki resiko tinggi saat hamil dan melahirkan, karena belum
matangnya rahim wanita muda bagi proses berkembangnya janin, atau karena belum siapnya
mental menghadapi masa kehamilan/melahirkan. Namun, persentase wanita pernah kawin
dengan usia perkawinan pertamanya kurang dari 16 tahun masih cukup tinggi, baik di
perdesaan maupun di perkotaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut.

27
Gambar 7.
Persentase Wanita Pernah Kawin dengan Usia Kawin Pertama < 16 Tahun
(di perdesaan)

20
14.58 15
13.96 13.34 13.49
16
2002
12 2003
2004
8
2005
4 2007

0
Prosentase

Gambar 8
Persentase Wanita Pernah Kawin dengan Usia Kawin Pertama < 16 Tahun
(di perkotaan)

20
16
12
8
4
0
2002 2003 2004 2005 2007
Prosentase 9.98 9.14 8.86 9.4 8.13

Gambar 9
Persentase Wanita Pernah Kawin dengan Usia Kawin Pertama < 16 Tahun
(di perdesaan dan perkotaan)

20

16 11.98
12.42 11.47 12.62 11.23
12
Prosentase
8

0
2002 2003 2004 2005 2007

Aborsi di Indonesia cukup tinggi, setiap tahun terdapat 2,3 juta orang melakukan aborsi
(penghentian kehamilan) yang disebabkan kehamilan usia muda dan seks di luar nikah.
Menurut Dr. Boyke Dian Nugraha, banyaknya kasus aborsi antara lain karena pergaulan bebas
yang mengarah kepada kebebasan seks, sehingga terjadi kehamilan di luar nikah. Tindakan
aborsi sangat dilarang oleh agama dan bertentangan dengan hukum di negara yang mayoritas

28
warganya memeluk agama Islam. Aborsi sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa dan
kesehatan mental, seperti kematian, kanker rahim dan cacat pada janin. Masalah aborsi dalam
Rancangan Undang-undang Kesehatan yang diusulkan DPR, dimasukkan satu pasal baru
yang menyebutkan kewajiban pemerintah untuk melindungi perempuan dari penghentian
kehamilan yang tidak aman dan tidak memenuhi standar kesehatan. Di samping itu,
pemerintah juga mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan perempuan dari ancaman
kematian akibat aborsi yang tidak aman.
Kesehatan Reproduksi Remaja berdasarkan survei tahun 2002 di empat propinsi,
menunjukkan bahwa 54,4 persen remaja perempuan (12-14 tahun) telah mengalami
menarche pertama pada usia 12,4 tahun, sementara untuk remaja laki-laki mengalami mimpi
basah pertama pada usia 12,1 tahun. Remaja yang pernah mendengar arti reproduksi masih
berkisar 12,8 persen, dan 54 persen di antaranya mengetahui dengan benar arti reproduksi.
Remaja usia 20-24 tahun diindikasikan sekitar 4 persen telah melakukan hubungan seks pra-
nikah. Kemudian wanita remaja (15-19 tahun), cenderung lebih jarang dikunjungi oleh petugas
KB, kurang mendapatkan informasi tentang KB, dan jarang membahas tentang KB. Menurut
SDKI 2002-2003, data yang menggambarkan kondisi diatas adalah sebagaimana terlihat pada
gambar berikut.
Gambar 10.
Prosentase Kunjungan/Informasi KB Wanita Remaja

10
9 Ptgs KB
10
8 Bidan
7 Dokter
6 Toga
5 Tokam
4
kel.prp
3
4 Farmasis
2
2.9 0.1 0.7 Guru
1 1.3 1.1 0.9
0
%

Hasil kajian Pusat Penelitian Gender dan Perlindungan Anak, Universitas Negeri Medan
(2006) di empat wilayah Sumatera Utara terhadap remaja umur 10-17 tahun di 12 SD/MI
dengan jumlah sampel masing-masing 10 siswa laki-laki dan 10 siswa perempuan per sekolah.
Menunjukkan hasil, bahwa pengetahuan mereka tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)
perihal nutrisi dan organ reproduksi tergolong baik (89–93,1 %), kurang memahami dampak
KRR dan seks pra nikah (71,2 % dan 71,9 %), dan sangat kurang memahami masalah HIV
(52,7-54,2 %), kehamilan (56,8-61,2 %), perilaku remaja (57,1-57,0 %) dan informasi KRR
(59,75 %). Perbedaan pengetahuan tentang KRR antara siswa laki-laki dan perempuan tidak
signifikan, tetapi berbeda pemahamannya mengenai HIV/AIDs (laki-laki 53,4 % dan perempuan
51,5 %). Menurut laporan MDGs 2007, persentase populasi remaja usia 12 – 24 tahun yang
memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDs meningkat dibandingkan periode
sebelumnya, (laki-laki 79,4% dan perempuan 65,8%).

29
Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pengetahuan KRR siswa mengalami
peningkatan sejalan dengan meningkatnya pendidikan. Pada tingkat SD pengetahuan KRR
siswa mengenai nutrisi sudah baik (89,8 %), sementara topik lainnya masih sangat kurang. Di
tingkat SMP pengetahuan KRR siswa mengalami peningkatan terutama tentang nutrisi dan
organ reproduksi, sedangkan di jenjang SMA selain peningkatan pengetahuan tentang nutrisi
dan organ reproduksi, juga pengetahuan mengenai dampak KRR, Seks Pranikah, dan
Informasi KRR.
HIV/AIDs di Indonesia berkembang sangat cepat sehingga saat ini berada pada fase
awal epidemi AIDs, dengan epidemi HIV yang cukup serius. HIV/AIDs menyebar dengan cepat
dikalangan pengguna narkoba suntik, pekerja seks dan pelanggan, melalui kontak
heteroseksual seperti halnya yang terjadi di Papua (Direktur Eksekutif UNAIDs, 2005). Sejak
pertama ditemukan kasus HIV/AIDs di Indonesia pada tahun 1987, tercatat bahwa pada bulan
Juni 2005 mencapai 7.090 kasus dan pada bulan September 2005 mengalami peningkatan
menjadi 8.250 kasus, kemudian bulan Desember 2005 meningkat lagi menjadi 9.565 kasus,
terdiri dari 5.321 kasus AIDs dan 4.244 kasus HIV, dan 1.028 orang diantaranya meninggal
dunia. Menurut Komnas PA (2006), terdapat 199 anak yang terserang HIV/AIDs dan sekitar
144 bayi tertular HIV/AIDs dari ibunya. Selanjutnya menurut Komisi Penanggulangan Aids
Nasional (KPA) tahun 2007, jumlah kasus AIDs sampai dengan 31 Desember 2006 bertambah
lagi menjadi 8.194 kasus. Dan ratio kasus AIDs laki-laki dan perempuan adalah 5,12:1. Rate
kumulatif kasus AIDs Nasional sampai dengan 31 Desember 2006 adalah 3,61 per 100.000
penduduk (revisi berdasarkan data BPS 2005, jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa).
Sampai dengan Maret 2008, kasus AIDs kumulatif dapat dilihat pada gambar berikut.

30
Gambar 11.

SITUASI EPIDEMI: Kasus AIDS kumulatif sd Maret 2008


12000 11868
20 th AIDS, 10 th
UU Narco & Psiko 11141
= 49,6 % kasus AIDS`a/
10000 Kasus Baru AIDS penasun
Kumulatif AIDS

8000
8193

1997 – UU Narkotika
6000 dan Psikotropika
5320
disahkan

4000

2682 2873 2947


2638

2000 1487
1171 1195
826
607 727
5 7 12 17 32 45 69 89 112 154 198 258 352 345 316
5 5 15 24 23 44 94 255 219
0
1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Mar
08
Kr
E ko i si s
nom
i

HIV/AIDs menyebar sedikitnya di 105 kabupaten/kota di Indonesia (2008) dengan


penularan tertinggi di DKI Jakarta (3.039 kasus), Jawa Barat (1.666 kasus), Papua (1.388
kasus), Jawa Timur (1.089 kasus), dan Bali (725 kasus). Penularan terjadi melalui jarum suntik
(48,9 %) dan 44,2 persen melalui hubungan seksual. Mayoritas (82 %) pengidap berusia 20-29
tahun dan berjenis kelamin laki-laki.
Pada akhir tahun 2006, AIDs telah menyebar ke 169 kabupaten/ kota di 32 propinsi.
Rate kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua (14,25 kali angka nasional),
DKI Jakarta (7,8 kali angka nasional), Kepulauan Riau (4,69 kali angka nasional), Kalimantan
Barat (3,76 kali angka nasional), Bali (3,17 kali angka nasional), Irian Jaya Barat (2,84 kali
angka nasional), Bangka Belitung (1,3 kali angka nasional) dan Sulawesi Utara (1,29 kali
angka nasional).

Cara penularan kasus AIDs kumulatif yang dilaporkan Depkes (2007) terbanyak melalui
IDU (49,9 %), heteroseksual (41,9 %) dan homoseksual (3,9 %). Proporsi kasus tertinggi terjadi
pada kelompok umur 20-29 tahun (54,1 %), disusul kelompok umur 30-39 tahun (28 %) dan
kelompok umur 40-49 tahun (8,3 %). Persentase kasus AIDs terbanyak adalah laki-laki: 8.864
kasus (79,6 %) dan perempuan 2.215 kasus (19,9 %) sementara sebesar 0,5 % tidak diketahui
jenis kelaminnya.

31
Tabel 13.Jumlah Kasus HIV/AIDs di Indonesia,
Tahun 1987-2007.
HIV AIDS Jumlah HIV AIDS Jumlah
Tahun (Kasus) (Kasus) Tahun (Kasus) (Kasus)
Kasus Kasus
1987 4 5 9 1998 126 60 186
1988 4 2 6 1999 178 94 272
1989 4 5 9 2000 403 255 658
1990 4 5 9 2001 732 219 951
1991 6 15 21 2002 648 345 993
1992 18 13 31 2003 168 316 484
1993 96 24 120 2004 649 1.195 1.844
1994 74 20 94 2005 875 2.638 3.513
1995 69 23 92 2006 986 2.873 3.859
1996 105 42 147 2007 927 2.947 3.874
1997 83 44 127 Jumlah 6.157 11.141 17.298
Sumber : Ditjen PPMKL Depkes, KPA, 2008.

Sampai dengan 31 Desember 2006, proporsi kasus AIDs yang dilaporkan meninggal
dunia mencapai 22,83 persen, dan mengalami penurunan pada Desember 2007. Dari
penderita AIDs sebanyak 11.141 orang yang meninggal dunia mencapai 21 persen atau 2.369
orang. Ini barangkali terkait dengan rendahnya jumlah pengidap (4.500 penderita) yang
mengambil paket obat anti-retroviral (ARV) per bulan, padahal obat tersebut efektif
menghambat penyebaran virus. Selanjutnya diketahui bahwa dari 11.141 kasus AIDs sejumlah
2.215 orang (19,9 %) adalah perempuan. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena
berpengaruh terhadap ibu-ibu yang mengidap AIDs dapat menularkan kepada bayinya.
Menurut SDKI 2007, proporsi perempuan yang memiliki pengetahuan tentang AIDs mencapai
61 persen dan laki-laki 71 persen. Angka ini hampir sama dengan hasil SDKI 2002-2004, yakni
59 persen pada wanita dan 73 persen pada pria, walaupun sudah ada peningkatan sejak 1994
(38 %) dan 1997 (51 %). Pengetahuan tentang cara mengurangi resiko terkena virus AIDS,
perempuan berkisar 29,9 – 42,2 persen dan laki-laki lebih tinggi yaitu berkisar 41,3 – 52,4
persen. Responden yang menyatakan HIV dapat dihindari dengan menggunakan kondom
(perempuan 35,5%, laki-laki 48,9%), membatasi berhubungan seks hanya dengan satu partner
yang tidak terinfeksi (perempuan 42,2%; laki-laki 52,4%), menggunakan kondom dan
membatasi berhubungan seks hanya dengan satu partner yang tidak terinfeksi (perempuan
29,9 %; laki-laki 41,3 %, dan tidak berhubungan seks (perempuan 36,6 %; laki-laki 42,9 %),

Sejak tahun 2001 sampai dengan 2007, jumlah kasus AIDs yang terkait dengan
penggunaan narkoba suntik (Injecting Drug Use, IDU) semakin meningkat. Namun, pada tahun
2007 jumlah penderita AIDs terkait dengan IDU's mengalami penurunan jika dibandingkan
tahun sebelumnya, yakni mencapai 49,9 persen. Sementara itu, korban penyalahgunaan
narkoba di Wilayah Jakarta yang ditangani/ditampung oleh Rumah Sakit Ketergantungan Obat
(RSKO) mulai tahun 2001-2007 mengalami penurunan. Korban penyalahgunaan narkoba

32
umumnya berpendidikan SMA, tahun 2001 jumlah korban perempuan lebih banyak (65,4%)
dari pada laki-laki (34,6 %), namun persentasenya semakin menurun, dan pada tahun 2005
perempuan hanya 7,6 persen sementara laki-laki meningkat menjadi 92,4 persen. Tabel berikut
menggambarkan jumlah penderita AIDs terkait dengan IDU’s periode tahun 2001 sampai
dengan 2007.

Tabel 14. Jumlah Penderita AIDs terkait Injecting Drug Use


(IDU’s) Tahun 2001–2007 (Desember).
No. Kategori 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
1. Jumlah AIDs 951 993 484 1.844 3.513 2.129 2.947
AIDs dengan 822 1.420 1.074 1.471
2. 62 97 122
IDU’s
Prosentase 6,5 9,7 25,2 44,5 40,4 50,4 49,9
Sumber : Depkes, Desember 2007.

Selain HIV/AIDs banyak kasus penyalahgunaan narkoba (narkotika, psikotropika, dan


bahan adiktif) yang sangat terkait dengan HIV/AIDs. Jumlah kasus penyalahgunaan narkoba
dan korbannya semakin lama semakin meningkat. Menurut laporan Badan Reserse Kriminal
(Bareskrim) Mabes Polri, kasus penyalahgunaan narkoba tahun 2005 yang merupakan
kelipatan kasus tahun sebelumnya sebanyak 16.252 kasus. Tahun 2007, kasus narkoba
mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yakni mencapai 22.630 kasus dan diperkirakan
akan terus meningkat. Sedangkan kasus narkoba pada tahun 2007 melibatkan 36.269
tersangka pelaku yang melibatkan 93 persen laki-laki dan 7 persen perempuan yang sebagian
besar adalah warga negara Indonesia, berpendidikan SMA dengan usia 20 tahun ke atas.
Secara rinci jumlah kasus narkoba di Indonesia periode 2001 sampai dengan 2007 dapat
dilihat pada tabel berikut :

Tabel 15. Jumlah Kasus Narkoba di Indonesia, Tahun 2001-2007.


No. Uraian 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
A. Kasus
• Narkotika 1.907 2.040 3.929 3.874 8.171 6.319 11.380
• Psikotropika 1.648 1.632 2.590 3.887 6.733 3.585 9.289
• Bahan Adiktif 62 79 621 648 1.348 1.496 1.961
Jumlah 3.617 3.751 7.140 8.409 16.252 11.400 22.630
Jenis Kelamin
B.
Tersangka
• Laki-laki 4.561 4.900 8.923 10.263 21.046 20.942 33.134
• Perempuan 363 410 794 1.060 1.734 1.561 3.035
Jumlah 4.924 5.310 9.717 11.323 22.780 22.503 36.169
C. Warga Negara
• WNI 4.874 5.228 9.638 11.242 22.695 22.457 36.101
• WNA 50 82 79 81 85 46 68
D. Usia Tersangka
• < 16 tahun 25 23 87 71 127 149 110
• 16 – 19 tahun 501 494 500 763 1.668 1.799 2.627

33
No. Uraian 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
• 20 – 24 tahun 1.428 1.755 2.457 2.879 5.503 6.132 8.275
• 25 – 29 tahun 1.366 1.386 2.417 2.888 6.442 5.743 9.278
• > 29 tahun 1.604 1.652 4.256 4.722 9.040 8.680 15.889
Jumlah 4.924 5.310 9.717 11.323 22.780 22.503 36.169
E. Pendidikan Tersangka
• SD 246 165 949 1.300 2.542 2.260 4.138
• SMP 1.832 1.711 2.688 3.057 5.148 4.736 7.486
• SMA 2.617 3.141 4.960 6.149 14.341 14.971 23.727
• PT 229 293 1.120 817 749 536 818
Jumlah 4.924 5.310 9.717 11.323 22.780 22.503 36.169
Sumber: DIT IV/Narkoba, Bareskrim, Mabes POLRI, 2008.

Jumlah narapidana terkait dengan kasus narkoba juga semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2002, jumlah tahanan/narapidana narkoba sebanyak 10,6 persen meningkat
menjadi 16,7 persen tahun 2003 dan terus meningkat berturut-turut menjadi 19,2 persen 23,5
persen serta 24,1 persen pada tahun 2004, 2005 dan 2006. Menurut catatan Departemen
Hukum dan Ham, pada tahun 2007 sampai dengan Maret 2008 terdapat sejumlah narapidana
kasus narkoba sebanyak 25.331 orang yang terdiri dari laki-laki 23.557 orang, perempuan
1.774 orang. Sementara tahanan karena kasus narkoba pada tahun 2007 sd Maret 2008
sebanyak 11.058 orang, terdiri dari laki-laki 10.258 orang, perempuan 800 orang.

Tabel 16. Jumlah Tahanan/Narapidana Narkoba,


Tahun 2002–2006
No. Kategori 2002 2003 2004 2005 2006
1. Tahanan/Narapidana 67.960 71.587 88.887 89.708 106.166
2. Tahanan/Narapidana
7.211 11.973 17.060 21.082 25.576
Narkoba
Jumlah (%) 10,6 16,7 19,2 23,5 24,1
Sumber: Depkumham, Mei 2006. Agustus 2008.

34
Tabel 17. Jumlah dan Jenis Korban Penyalahgunaan Narkoba di
Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta,
Tahun 2001–2007

No. Uraian 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007


A. Jenis Perawatan
• Rawat Jalan 5.683 4.160 4.935 4.515 3.579 840 4.194
• Rawat Inap 712 534 506 379 360 88 453
Jumlah 6.395 4.694 5.441 4.894 3.039 928 4.674
B. Jenis Kelamin
• Laki-laki 2.214 4.376 4.499 4.395 3.639 859 3.836
• Perempuan 4.181 318 942 499 300 69 358
Jumlah 6.395 4.694 5.441 4.894 3.939 928 4.194
C. Usia Korban
• < 15 tahun 44 75 66 2 35 2 75
• 15–19 tahun 979 498 392 324 158 9 219
• 20–24 tahun 3.279 2.024 2.414 1.988 1.257 133 732
• 25–29 tahun 1.581 1.441 1.617 1.506 1.551 476 1.876
• 30–34 tahun 361 462 509 756 680 192 843
• > 34 tahun 151 194 443 318 258 116 449
Jumlah 6.395 4.694 5.441 4.894 3.939 928 4.194
D. Pendidikan Korban
• Tidak Sekolah 0 45 43 0 12 5 12
• < SD 17 5 7 15 15 15 -
• SD 190 140 127 235 126 85 63
• SMP 1.052 505 311 860 606 489 284
• SMA 2.773 3.332 2.200 2.253 1.882 203 2.855
• Akademi/PT 2.090 262 471 982 864 129 395
• Sarjana 273 303 910 549 434 2 585
Jumlah 6.395 4.694 5.441 4.894 3.939 928 4.194
Sumber: DIT IV/Narkoba, Bareskrim Mabes POLRI, 2008.

3. Pendidikan dan Pelatihan

Angka Partisipasi Sekolah (APS) dalam kurun waktu 1971-2007, untuk anak-anak usia
7-18 tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan terutama pada kelompok penduduk
usia sekolah dasar (7-12 tahun). Secara umum APS perempuan dan laki-laki pada kelompok
umur 7-12 tahun dan 13 – 15 tahun cenderung meningkat, sedangkan pada kelompok umur
16-18 tahun APS perempuan maupun laki-laki meningkat sampai dengan tahun 2005 menurun
pada tahun 2006, kemudian meningkat lagi pada tahun 2007. Berdasarkan data Balitbang,
Diknas ( 2008) pada tahun 2007, APS perempuan pada kelompok umur 7-12 tahun dan 16-18
tahun lebih kecil dibandingkan APS laki-laki pada kelompok umur yang sama, sedangkan pada
kelompok umur 13-15 tahun APS perempuan sedikit lebih baik daripada laki-laki. Secara rinci
trend APS baik laki-laki maupun perempuan dapat dilihat pada tabel berikut :

35
Tabel 18. Perkembangan Angka Partisipasi Sekolah Anak Usia 7-18
tahun, Tahun 1971-2007.
Tahun/ Kelompok Umur (Tahun)
Jenis Kelamin 7-12 13-15 16-18
1971 59,9 44,3 21,4
• Laki-laki 61,7 49,4 27,9

• Perempuan 57,9 37,1 15,4


1980 83,5 60,4 32,2
• Laki-laki 83,5 64,9 38,5

• Perempuan 83,2 55,6 24,1


1990 91,4 64,7 40,5
• Laki-laki 91,4 66,9 43,7

• Perempuan 91,6 62,5 37,3


2000 95,5 78,7 49,1
• Laki-laki 95,0 78,8 49,3

• Perempuan 96,1 78,6 48,9


2001 95,6 79,3 49,3
• Laki-laki 95,2 78,9 50,4

• Perempuan 96,0 79,3 48,2


2002 96,1 79,2 49,7
• Laki-laki 95,7 78,9 50,7

• Perempuan 96,4 79,5 48,7


2003 96,4 81,0 50,9
• Laki-laki 96,0 80,4 51,2

• Perempuan 96,8 81,5 50,6


2004 96,7 83,4 53,4
• Laki-laki 96,6 83,0 53,9

• Perempuan 96,9 83,9 52,9


2005 97,1 84,0 53,9
• Laki-laki 97,0 83,7 54,2

• Perempuan 97,3 84,4 57,6


2006 97,4 84,1 53,9
• Laki-laki 97,1 83,7 54,1

• Perempuan 97,7 84,4 53,7


2007 114,3 88,7 56,2
• Laki-laki ,116,4 88,6 57,6

• Perempuan 112,0 88,8 54,7


Sumber: BPS, SP 1961, 1971, 1980, 1990, Susenas 2000-2005; Inkesra Anak 2005.
Balitbang, Depdiknas 2008.

Angka partisipasi sekolah untuk anak usia dini (0 – 6 Tahun), secara kuantitatif terus
bertambah sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2006. Namun, angka yang paling mencolok
adalah jenis satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) melalui jalur non formal, yakni

36
mencapai 5.651.066 siswa. Namun, apabila dilihat dari jumlah penduduk usia 0 – 6 tahun yang
mencapai 28.068.100 anak, maka jumlah peserta didik PAUD di Indonesia belum mencapai 50
persen (10.514.183 siswa). Secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 19. Perkembangan Jumlah Peserta Didik di Indonesia,Tahun 2004 – 2006

No. Jalur Satuan PAUD 2004 2005 2006


PAUD Jalur Formal :
1. 2.215.932 3.087.145 2.178.875
TK/RA/BA
PAUD Jalur Non Formal :
94.076 1.106.456 1.117.629
a. Kelompok Bermain
15.308 20.206 20.206
2. b. Taman Penitipan Anak
2.847.603 2.391.797 1.546.407
c. Satuan PAUD sejenisnya *)
- - 5.651.066
d. Taman Pendidikan Al-quran
Jumlah 5.172.919 6.605.604 10.514.183
Ket : *) Termasuk POS PAUD (BKB/Posyandu terintegrasi PAUD)
Sumber : Departemen Pendidikan Nasional, 2006

Anak-anak Putus Sekolah atau yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan
lebih tinggi masih cukup besar. Menurut BPS (2006), jumlah anak putus sekolah tahun 2005
sebanyak 1.712.413 anak, yang sebagian besar (54,3 %) disebabkan oleh ketidakmampuan
ekonomi, bahkan dilaporkan ada 16 kasus anak yang bunuh diri karena menunggak biaya
sekolah.

Landasan Aksi Beijing berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan perempuan adalah:
(a) Menjamin adanya kesamaan kesempatan mendapatkan pendidikan (b) Menghapuskan
tuna aksara di kalangan perempuan (c) Meningkatkan akses perempuan atas pelatihan-
pelatihan kejuruan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pendidikan berkelanjutan (d)
Mengembangkan pendidikan dan pelatihan yang non diskriminatif (e) Menyediakan
sumberdaya-sumberdaya yang mencukupi untuk memantau penerapan perbaikan-
perbaikan di bidang pendidikan (f) Memajukan pendidikan seumur hidup dan pelatihan-
pelatihan bagi para remaja puteri dan perempuan.
Tujuan kedua dari MDGs yaitu “mencapai pendidikan dasar untuk semua” yang
diindikasikan dari: (1) Angka partisipasi murni di sekolah dasar (2) Angka partisipasi murni
di sekolah lanjutan pertama (3) Proporsi murid yang berhasil mencapai kelas lima (4)
Proporsi murid kelas satu yang berhasil menamatkan sekolah dasar (5) Proporsi murid di
kelas satu yang berhasil menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar (6) Angka melek
huruf usia 15-24 tahun.
Landasan Aksi Beijing Bidang Pendidikan dan Pelatihan Perempuan juga sejalan
dengan tujuan ketiga MDGs yaitu: “mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan”, dengan indikator: (1) rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat
pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi yang diukur melalui angka partisipasi murni anak
perempuan terhadap anak laki-laki (2) rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia
15-24 tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan dibanding laki-laki (indeks
paritas melek huruf perempuan).

37
Tabel 20. Jumlah Siswa Putus Sekolah Menurut Jenjang
Pendidikan, 1971-2007.
Jenjang Pendidikan
Tahun SD SLTP SLTA
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1971/1972 1.360.576 10,5 166.157 11,8 828.843 12,7
1980/1981 1.143.678 5,0 203.348 5,9 123.253 7,8
1990/1991 1.056.196 4,0 417.683 7,3 329.214 8,1
1999/2000 778.457 3,0 313.282 4,1 159.902 3,4
2000/2001 671.656 2,62 334.017 4,39 79.892 2,76
2001/2002 683.056 2,66 264.591 3,54 64.714 2,20
2002/2003 767.835 2,97 264.591 3,54 64.477 2,13
2003/2004 767.068 2,96 154.553 2,08 62.089 1,48
2004/2005 1.446.763 Dta 178.961 Dta 86.749 Dta
2006/2007 635.683 2,45 403.358 5,00 208.527 3,64
Dta: Data tidak tersedia.
Sumber : Balitbang Depdiknas, 1970-2004, Komnas PA, 2005, Diknas 2008

Untuk meningkatkan APS, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah seperti
pemberlakuan pola penuntasan wajib belajar 9 tahun dengan didukung program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) untuk sekolah tingkat SD dan SMP di seluruh Indonesia dengan
maksud untuk meringankan beban biaya sekolah.
APS menurut kelompok umur dan jenis kelamin pada tahun 2001-2007, persentasenya
fluktuatif hampir di semua kelompok umur. Secara umum angka putus sekolah pada setiap
kelompok umur menurut jenis kelamin, laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. APS
pada tahun 2004 – 2005 mengalami penurunan untuk semua kelompok umur, dan laki-laki
umumnya lebih besar dibandingkan perempuan. Perbedaan mencolok pada kelompok umur 16
– 18 tahun, yang mana pada tahun 2005 persentase putus sekolah anak laki-laki sekitar 9,41
persen, sementara perempuan hanya 5,6 persen. Dilihat dari angka persentase putus sekolah
menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2001-2007, menunjukkan adanya
kecenderungan semakin tinggi kelompok umur semakin tinggi pula angka putus sekolahnya.

38
Tabel 21. Persentase Siswa Putus Sekolah, Usia 7-18 Tahun
Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun
2001-2007.
Jenjang Pendidikan
Tahun
SD SLTP SLTA
2001 1,16 6,13 10,46
• Laki-laki 1,37 7,28 12,68
• Perempuan 0,94 4,92 7,85
2002 1,43 5,71 8,83
• Laki-laki 1,59 6,54 10,51
• Perempuan 1,27 4,84 6,89
2003 1,16 5,08 8,72
• Laki-laki 1,35 5,84 10,65
• Perempuan 0,96 4,25 6,49
2004 1,02 4,36 7,93
• Laki-laki 1,09 5,06 9,32
• Perempuan 0,94 3,60 6,28
2005 0,81 4,33 7,62
• Laki-laki 0,91 5,24 9,41
• Perempuan 0,71 3,36 5,60
2007 2,45 5,00 3,64
• Laki-laki 2,77 5,21 4,09
• Perempuan 2,10 4,77 3,14
Sumber: BPS, Indikator Kesejahteraan Anak 2005. Diknas 2008

Laporan Pencapaian MDGs bidang pendidikan dari Bappenas mencatat bahwa tingkat
partisipasi pendidikan dilihat dari rasio anak perempuan terhadap laki-laki, baik jenjang SD,
SLTP, SLTA maupun Perguruan Tinggi menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Jenjang
pendidikan SLTA dan perguruan tinggi mencapai 100 persen dan 102,5 persen. Demikian pula
untuk angka melek huruf, bagi penduduk yang berusia 15-24 tahun meningkat menjadi 99,9
persen. Angka Partisipasi Murni (APM) di tingkat SMP, proporsi murid yang berksekolah hingga
kelas 5, dan proporsi murid yang tamat SD menurut status Pencapaian MDGs Indonesia Tahun
2007 juga mengalami kenaikan.

Kualitas pendidikan yang dilihat dari tingkat literasi matematika, membaca dan sains,
sejak tahun 1995, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) memberi
skor antara 0 - 1000 untuk pelajar tahun kedelapan (survey TIMSS dibeberapa negara), posisi
Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut.

39
Tabel 22. Perkembangan Prestasi Siswa Tahun Kedelapan (SLTP) di
Beberapa Negara Asean, 1995-2003.
1995 1999 2003
Negara Mate- Mate- Mate-
Sains Sains Sains
matika matika matika
Singapura 609 580 604 568 605 578
Malaysia - - 519 492 508 510
Indonesia - - 403 435 411 420
Filipina - - 345 345 378 377
Catatan: Skala nila 0-1.000, semakin besar semakin baik.
Sumber: NCES, US Dept. of Education, 2005.

Mulai tahun 2000, The Programme for International Student Assessment (PISA) dari
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mengadakan asesmen
setiap triwarsa kepada anak-anak sekolah usia 15 tahun ke atas di beberapa negara, untuk
mengetahui prestasi murid di bidang matematika, membaca dan sains.

Tabel 23. Perkembangan Prestasi Siswa Usia 15 Tahun Keatas (SLTA) di


Beberapa Negara Asean, 2000, 2003 dan 2006
2000 2003 2006
Negara/
Jenis Kelamin Mem- Mate- Mem- Mate- Mem- Mate-
Sains Sains Sains
baca matika Baca matika Baca matika
Indonesia 371 367 393 382 360 395 401 401 399

• Laki-laki 360 369 396 369 362 396 - - -

• Perempuan 380 364 391 394 358 394 - - -


Thailand 431 432 436 420 417 429 431 426 429

• Laki-laki 406 429 429 396 415 425 - - -

• Perempuan 448 435 442 439 419 433 - - -


Catatan: Skala nilai 0-1.000, semakin besar semakin baik.
Sumber: PISA 2000, 2003, 2006.

Olimpiade Fisika Internasional (Internasional Physics Olympiad/IPhO) merupakan ajang


kompetisi dalam bidang fisika bagi pelajar SLTA yang berusia di bawah 20 tahun. Kompetisi ini
pertama kali diselenggarakan di Polandia pada tahun 1967 dan Indonesia pertama kali
mengikuti pada tahun 1993 di Williamburg Amerika Serikat, dengan sederatan prestasi
sebagaimana terlihat pada tabel di bawah.

40
Tabel 24. Perkembangan Prestasi Internasional Ilmu Fisika Siswa SLTA
Indonesia, Tahun 2000-2006.
Tempat Penyeleng- Perolehan Medali
Tahun
garaan
Emas Perak Perunggu Trophy
2000 Indonesia - 1 2 1
2001 Taipei 1 1 - 3
2002 Singapore 1 - 5 -
2002 Indonesia 3 1 1 -
2003 Thailand 6 - - 2
2005 Indonesia 4 1 3 3
2006 Kazakhstan 2 1 3 -
Sumber: Depdiknas, Profil Prestasi Siswa, 2006.

Tabel 25. Perkembangan Prestasi Internasional Ilmu Pengetahuan


Alam (IPA) Siswa SMP Indonesia Tahun 2000-2007.
Tempat Penyeleng- Perolehan Medali
Tahun
garaan
Emas Perak Perunggu Trophy
2004 Indonesia 8 4 - -
2005 Indonesia 6 4 2 -
2006 Brazil 2 3 2 -
2007 Taiwan 1 2 3 -
Sumber: Depdiknas, Profil Prestasi Siswa, 2007.

Tabel 26. Perkembangan Prestasi Internasional Siswa SD Indonesia


Tahun 2000-2008.
Tempat Perolehan Medali
Tahun penyeleng- Pelajaran
garaan Emas Perak Perunggu Trophy
Matematika 1 2 6 -
2004 Indonesia
IPA 2 2 5 -
Matematika 1 4 4 1
2005 Indonesia
IPA 2 3 - 1
2006 Indonesia Matematika dan IPA 1 6 19 -
2007 Indonesia Matematika dan IPA - - - -
2008 Hongkong Matematika dan IPA 5 2 1 -
Sumber: Depdiknas, Profil Prestasi Siswa, 2008.

Kualitas pendidik dan guru sekolah sangat berpengaruh pada prestasi siswa Indonesia.
Menurut Direktur Pembinaan Diklat Depdiknas, dari total guru PNS yang ada di Indonesia,
sebanyak 45,2 persen (558.675 orang) guru SD dan 23,3 persen (108.811 orang) guru SMP
berada pada kategori tidak layak mengajar. Sedangkan untuk guru PNS SMA, yang layak
mengajar sebanyak 87.374 orang (71,1 %), dan sisanya 35.424 orang tidak layak mengajar.

41
Menurut Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), sebanyak 63.961 guru atau 43,3
persen dari Guru SMK tidak layak mengajar (Pikiran Rakyat, 20 Januari 2006).
Walaupun dengan kondisi pendidik dan guru sekolah sebagaimana diuraikan di atas,
ternyata program pendidikan yang dilaksanakan selama kurun waktu 1945-2006, telah dapat
menurunkan proporsi penduduk buta huruf dari 57,1 persen tahun 1961 menjadi 8,07 persen
(12,88 juta) pada tahun 2006. Namun proporsi perempuan yang buta huruf pada tahun 2006
masih lebih besar (10,73) dibandingkan laki-laki yang hanya 5,40 persen (BPS, Susenas
2006).

Tabel 27. Prosentase Penduduk Berusia 10 Tahun Keatas


yang Buta Huruf, Tahun 1961-2000.
Jenis Kelamin 1961 1971 1980 1990 2000
• Laki-laki 44,3 27,9 20,2 10,4 6,3
• Perempuan 69,3 49,7 37,2 21,3 14,2
Penduduk 57,1 39,1 28,9 16,0 10,2
Sumber: SP 1961, 1971, 1980, 1990; Susenas 2000.

Gambar 12.

Prosentase Penduduk Buta Huruf Usia > 10 Tahun 2001-2007

16 14.5

14 12.69 13.2
12.28 12.5

12 10.73
10.7
9.3 9.1 9.6 9.36
10
8.1 8.1
8 6.8 7.2 Laki-laki
5.85 5.84 5.96 5.7 5.4 5.04 Perempuan
6
Penduduk
4

0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Sumber: Susenas 2001-2007

Menurut National Human Development Report 2004, rata-rata lama sekolah penduduk
Indonesia tahun 1999 hanya 6,7 tahun dan meningkat menjadi 7,1 tahun pada 2002. Data ini
menunjukkan, bahwa walaupun pendidikan meningkat, namun secara umum untuk tingkat
SLTP Klas 1. Pada tahun 2002, rata-rata lama sekolah laki-laki adalah 7,6 tahun (SLTP Klas
2), lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hanya mencapai 6,5 tahun (setingkat SLTP Klas
1). Pada tahun 2004 dan 2005, rata-rata lama sekolah meningkat menjadi 7,2 tahun dan 7,3
tahun. Pada masa tersebut, rata-rata lama sekolah laki-laki adalah 7,8 tahun, lebih tinggi dari
pada perempuan yang hanya 6,8 tahun (BPS, Inkesra 2005).

42
Berdasarkan ijazah tertinggi yang dimiliki, persentase penduduk Indonesia yang tamat
SLTA maupun yang lulus pendidikan diploma dan sarjana relatif masih kecil, baik jika dihitung
berdasarkan jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas maupun atas dasar jumlah penduduk usia
15 tahun ke atas (metode ini dipakai BPS sejak tahun 2005).

Sampai dengan tingkat SD/MI, terlihat bahwa persentase perempuan yang memiliki
ijazah/STTB lebih tinggi, tetapi mulai dari SLTP/MTs, SLTA/MA/SMK sampai perguruan tinggi,
persentase laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan.

Tabel 28. Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas menurut Ijazah/STTB


Tertinggi yang Dimiliki, Tahun 1971-2007.
Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki
Jenis Kelamin/
Tahun Tidak/ Belum SD/ SLTA/ DIPLO-MA/
SLTP/ MTs DIP. IV, S1-3
Tamat SD MI MA/SMK AKA-DEMI
Laki-laki
1971 66,9 24,0 5,7 2,8 Dta 0,3
1980 53,2 29,6 9,0 7,1 Dta 0,4
1990 35,6 35,6 13,5 5,9 1,0 0,2
2000 30,3 32,3 16,1 17,5 1,6 2,2
2001 30,36 33,11 15,77 16,97 1,29 2,27
2002 27,60 33,27 16,89 17,76 1,83 2,67
2003 26,73 33,41 17,57 18,38 1,59 2,33
2004 25,79 31,92 18,57 19,62 1,59 2,51
2005 *) 7,80 25,53 22,01 34,70 3,16 6,81
2007 24,59 31,13 18,27 14,25 6,12 5,65
Perempuan
1971 80,0 15,4 3,2 1,3 Dta 0,1
1980 58,9 28,7 7,4 4,6 Dta 0,1
1990 39,8 37,0 12,0 6,2 0,8 0,6
2000 38,9 31,8 13,9 12,8 1,4 1,3
2001 38,31 32,50 13,93 12,44 1,40 1,40
2002 34,90 33,33 14,49 13,49 1,71 1,59
2003 34,00 33,42 15,74 13,96 1,49 1,38
2004 32,99 32,61 16,68 14,65 1,55 1.51
2005 *) 12,92 28,22 19,07 27,07 5,53 7,19
2007 31,25 31,25 16,73 11,90 3,97 5,23
Dta: Data tidak ada. *) Tahun 2005 untuk penduduk 15 tahun keatas.
Sumber : Baknas 2002, BPS, Susenas 2001-2004, Inkesra 2005, Susenas 2007.

4. Kekerasan terhadap Perempuan

Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada Konferensi Sedunia Ke-4


tentang Perempuan di Beijing (1995) menyatakan bahwa kekerasan terhadap
perempuanadalah “setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang
mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan
psikologis. Termasuk di dalamnya adalah ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di tempat umum
maupun di dalam kehidupan pribadi seseorang”.

43
Catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
pada tahun 2001, telah terjadi 3.169 kasus kekerasan terhadap perempuan dan meningkat
menjadi 5.163 kasus pada tahun 2002, kemudian meningkat lagi menjadi 7.787 kasus pada
tahun 2003. Pada tahun 2004, kasusnya meningkat hampir 100 persen menjadi 14.020 kasus,
dan pada tahun 2005 tercatat sebanyak 20.391 kasus. Kekerasan terhadap perempuan
didominasi oleh kekerasan dalam rumah tangga (82 % atau 16.615 kasus), selanjutnya
kekerasan dalam komunitas (15 % atau 3.129 kasus), dan sisanya kekerasan oleh negara (0,3
% atau 61 kasus) dan lain-lain (2,7 % atau 558 kasus). Pada tahun 2006, jumlah kasus
kekerasan terhadap perempuan meningkat lagi menjadi 22.512 kasus, dan ditangani oleh 258
lembaga di 32 provinsi. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menduduki peringkat tertinggi,
yakni sebanyak 16.709 kasus (74 %), kekerasan di ranah komunitas 5.240 kasus (23 %), dan
sisanya kekerasan di ranah Negara 43 kasus (1 %). Dari kasus KDRT yang terjadi, umumnya
adalah penelantaran ekonomi dan ditangani oleh Pengadilan Agama, sedangkan pelaku KDRT
terbanyak (557 kasus) adalah pejabat publik dan aparat Negara. Terdapat 499 kasus
kekerasan terhadap perempuan yang pelakunya adalah anak (di bawah 18 tahun).

Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 6 mewajibkan


negara untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi
pelacuran. Perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran merupakan salah satu
bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Landasan Aksi Beijing berkaitan dengan penghapusan kekerasan terhadap perempuan
adalah: (a) Melakukan langkah-langkah terpadu untuk mencegah dan menghapuskan
tindak kekerasan terhadap perempuan (b) Mempelajari tentang sebab-sebab dan akibat-
akibat kekerasan terhadap perempuan dan mempelajari efektivitas langkah-langkah
pencegahan (c) Menghapuskan perdagangan perempuan dan membantu para korban
kekerasan yang berkaitan dengan pelacuran dan perdagangan perempuan.
Masalah kekerasan terhadap perempuan ini tidak terdapat dalam MDGs.

Dengan adanya UU P-KDRT, isu kekerasan di dalam rumah tangga menjadi isu publik,
hal ini dapat dilihat dengan peningkatan jumlah kasus KDRT yang dilaporkan. Catatan tahunan
Komnas Perempuan sejak tahun 2001 sd 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan sebanyak
5 kali lipat. Sebelum UU P-KDRT, yaitu dalam rentang 2001 – 2004, jumlah yang dilaporkan
sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya P-KDRT 2005 – 2007, terhimpun sebanyak
53.704 kasus KDRT yang dilaporkan. Korban terbanyak dalam kasus KDRT adalah isteri (85%)
dari total korban. Anak perempuan adalah korban terbanyak ketiga, setelah pacar. Pada kasus
kekerasan dengan korban anak, ada juga kasus dimana pelakunya adalah perempuan dalam
statusnya sebagai ibu. Menurut pengamatan Komnas perlindungan anak, sebagian besar ibu
yang menjadi pelaku KDRT adalah sudah terlebih dahulu menjadi korban kekerasan oleh
suaminya, atau berada dalam tekanan ekonomi yang luar biasa akibat pemiskinan yang
dialami oleh kebanyakan anggota masyarakat tempat ia tinggal.
Jumlah kasus KDRT yang dilaporkan sebelum UU PKDRT (2001-2004) dan Pasca UU
P-KDRT (2004 – 2007 ) sebagaimana grafik berikut :

44
Gambar 13.

Pelaporan Kasus KDRT Sebelum UU KDRT

5,000
4,000
4,310 2001
3,000
2002
2,703 2,000
2003
1,000
1,293 1,396 2004
0
Kasus

Sumber : Komnas Perempuan, 2008

Gambar 14.

Pelaporan Kasus KDRT Sesudah UU PKDRT

25,000
20,000
15,000
20,380 2005
16,615 16,709 10,000
2006
5,000
2007
0
Kasus

Sumber : Komnas Perempuan, 2008

Sejak pengesahan Undang-undang P-KDRT pada tahun 2004, jumlah kasus yang
ditangani melonjak sampai 4 (empat) kali lipat. Dari 7.787 kasus yang ditangani pada tahun
2003 menjadi 25.522 kasus pada tahun 2007 yang ditangani oleh 215 lembaga. Hal ini
mencerminkan membaiknya tingkat kesadaran korban dan publik untuk mencari bantuan untuk
mencari jalan keluar dari kekerasan yang dialami perempuan.

Perihal kekerasan terhadap perempuan, LBH APIK Jakarta melaporkan adanya


kecenderungan peningkatan kasus kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga,
dan sebagian besar merupakan kekerasan psikis, diikuti kekerasan fisik dan kekerasan
ekonomi.

45
Tabel 29. Jumlah Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga di LBH
APIK Jakarta, 1998-2007.

Jenis Kasus 1998 1999 2000 2001 2002 2005 2006 2007
• Kekerasan Fisik 33 52 69 82 86 151 116 91
• Kekerasan Psikis 119 122 174 76 250 144 198 115
• Kekerasan Ekonomi 58 58 85 16 135 29 24 8
• Kekerasan Seksual 3 15 1 0 7 8 2 2
• Perkosaan 1 10 0 0 0 10 15 8
• Pelecehan Seksual 2 5 1 0 0 4 3 4
• Ingkar Janji 0 0 3 14 5 15 23 25
• Dating Violence 0 0 0 0 7 9 2 1
• Penganiayaan Anak 0 0 0 0 1 - - 5
Sumber: LBH APIK Jakarta, 2007, 2008

Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang diperingati setiap tanggal 25 November, perlu
dimaknai dengan mengkaji masalah kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga (domestic
violence). Masalah kekerasan ini perlu diinformasikan kepada masyarakat agar diketahui betul arti
dan dampaknya yang membahayakan keluarga, serta tindaklanjut penanganannya. Kekerasan
terhadap perempuan sangat mungkin dilakukan oleh kalangan terdekat dalam suatu keluarga seperti
suami pada istri, ayah terhadap anak atau saudara laki-laki terhadap saudara perempuannya.
Kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi pula di ruang publik seperti tindakan yang tidak
menyenangkan secara fisik atau psikologis, yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan di
tempat umum seperti di tempat kerja, sekolah, kuliah atau di kendaraan umum. Tindakan itu bisa
berupa: merendahkan kemampuan, menyentuh anggota badan terlarang secara sengaja, tanda-tanda
atau kata-kata yang berkonotasi ke arah seksualitas.
Kekerasan terhadap perempuan terjadi karena pertama, adanya subordinasi perempuan yang
menimbulkan ketidak-adilan dalam pembagian tugas dalam rumah tangga, seperti isteri harus
memasak, mengurusi rumah dan anak, sedangkan suami sebagai pencari nafkah. Pengkondisian itu
menjadi semakin subur dalam lembaga formal, baik di sektor pendidikan atau dalam keluarga yaitu
ketika pendidik atau orang tua juga mengajarkan kepada anak didiknya atau anak-anaknya suatu
pernyataan: ayah pergi ke kantor dan ibu pergi ke pasar. Di tingkat negara ketidakadilan gender
terjadi pada penolakan atas kepemimpinan negara yang akan dipimpin oleh perempuan, walaupun
partainya sebagai pemenang pemilu. Kedua, adanya budaya malu dan tabu bagi keluarga untuk
mengekspos keburukan yang terjadi dalam keluarganya karena kekerasan dalam rumah tangga
dianggap sebagai wilayah pribadi dan dianggap bukan suatu kejahatan yang dapat dihukum.

Meningkatnya data kasus KDRT yang dilaporkan kepada LBH APIK atau lembaga
lainnya, menunjukkan adanya peningkatan kesadaran perempuan, bahwa KDRT merupakan
”kejahatan” dan bukan lagi merupakan masalah privat atau aib yang harus disembunyikan.
Korban semakin berani untuk mengupayakan penyelesaian kasusnya dengan mengakses
keadilan melalui jalur hukum. Tahun 2005, sekitar 5,8 persen korban kasus KDRT melapor ke
pihak berwajib dan meningkat tahun 2006 menjadi 10,2 persen. Secara bertahap, pasal-pasal
dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT mulai diberlakukan.
Beberapa kasus dalam proses pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan agama,
Mahkamah Militer, Penyelesaian Kasus Ketenagakerjaan, dan Kasasi.
Kekerasan tidak hanya kepada perempuan tetapi juga terjadi pada anak-anak. Menurut
Komnas Perlindungan Anak (2006), pada tahun 2003 terjadi 481 kasus kekerasan terhadap

46
anak, meningkat menjadi 547 kasus pada tahun 2004, dan pada tahun 2005 (Maret-Desember)
jumlah kekerasan terhadap anak mencapai 736 kasus. Sebagian besar kasus (44,4 %)
merupakan kekerasan seksual, kemudian 31,7 persen kekerasan fisik, dan 23,9 persen adalah
kekerasan psikis.
Pusdatin Departemen Sosial (2007) mencatat, bahwa berbagai kasus yang terkait
dengan anak-anak Indonesia sebagian mengalami peningkatan dibanding tahun 2006,
meliputi: anak balita terlantar tahun 2006 sebanyak 618.296 orang meningkat menjadi
1.467.000 orang (2007), anak terlantar 2.815.303 orang (2006) meningkat menjadi 3.940.300
(2007), anak cacat 295.763 orang (2006) meningkat menjadi 363.788 orang(2007); tetapi
beberapa kasus mengalami penurunan, diantaranya adalah anak korban tindak kekerasan
182.406 orang (2006) menjadi 78.435 orang (2007), anak nakal 232.894 orang (2006) menjadi
203.151 orang (2007), anak jalanan 144.889 orang (2006) menjadi 104.497 orang (2007).
Departemen Sosial telah melaksanakan kebijakan perlindungan anak antara lain melalui
Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), Social Development Center (SDC), Rumah
Sejahtera (Child Welfare Center), dan Telepon Sahabat Anak, TESA (Child Helpline Center).
Berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak, dapat dimaknai layaknya
fenomena gunung es, di mana kasus yang muncul dipermukaan kecil dibandingkan kejadian
yang sebenarnya Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan khususnya sosialisasi kepada
keluarga dan masyarakat dapat diperluas agar kekerasan dalam rumah tangga termasuk
kepada penata laksana rumah tangga (PRT) adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Perdagangan Orang (Trafficking in Persons) berakar dari perbudakan atau
penghambaan yang pernah ada dalam sejarah Bangsa Indonesia, di mana feodalisme dan
penjajahan telah menyuburkan praktek-praktek komersialisasi seks atas perempuan untuk
memenuhi nafsu lelaki. Dalam era kemerdekaan, terlebih di era reformasi yang sangat
menghargai Hak Asasi Manusia, masalah perbudakan atau penghambaan tidak ditolerir
keberadaannya. Secara hukum Bangsa Indonesia menyatakan bahwa perbudakan atau
penghambaan merupakan kejahatan terhadap kemerdekaan orang yang diancam dengan
pidana penjara lima sampai dengan lima belas tahun (Pasal 324-337 KUHP).

Dalam rangka meningkatkan upaya memerangi perdagangan orang sebagai bentuk dari
perbudakan modern, Pemerintah tahun 2002 mengeluarkan Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A), suatu rencana
aksi yang terpadu lintas program dan lintas pelaku pusat maupun daerah, tidak saja untuk upaya
pencegahan, penegakan hukum dan perlindungan kepada korban, tetapi juga terintegrasi dengan
penanggulangan akar masalahnya yaitu masalah kemiskinan: miskin sumber daya, kurang pendidikan,
kurang keterampilan, kurang informasi, kurang segalanya. Oleh karenanya, implementasi RAN P3A
juga dibarengi dengan langkah-langkah nyata di bidang penanggulangan kemiskinan, kesehatan dan
peningkatan kualitas pendidikan baik formal, non-formal maupun informal (pendidikan dalam keluarga),
serta kegiatan pemberdayaan lainnya yang relevan.
Termasuk dalam hal ini adalah upaya untuk mengatasi masalah KTP Aspal melalui implementasi
administrasi kependudukan yang terintegrasi, yang diperkuat dengan telah disahkannya Undang-
undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Upaya Ditjen Imigrasi untuk
mengaplikasikan sistem biometrik dalam pembuatan paspor merupakan langkah penapis selanjutnya
agar tidak terjadi lagi adanya dokumen perjalanan yang tidak sesuai dengan identitas pemegangnya.
Dengan telah ditetapkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban serta Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, semakin menguatkan komitmen dan upaya Bangsa Indonesia untuk memberikan
perlindungan kepada warga khususnya perempuan dan anak dari bahaya perdagangan orang.

47
Namun kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang
mengakselerasi terjadinya globalisasi, juga dimanfaatkan oleh hamba kejahatan untuk
mentransformasi perbudakan dan penghambaan itu ke dalam bentuk baru yakni perdagangan
orang yang beroperasi secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang
(trafficker) - yang dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara - dengan
sangat halus menjerat mangsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasi dengan
berbagai cara sehingga korban menjadi tidak berdaya untuk membebaskan diri.
Korban perdagangan orang sebagian besar adalah perempuan dan anak. Modus
operandi perdagangan orang ini sangat rapi, seringkali tanpa disadari melibatkan orang tua,
saudara, tetangga dan teman dekat yang secara halus dibujuk calo agar mengijinkan anaknya
dibantu untuk dicarikan “pekerjaan”, namun ternyata justru masuk dalam jebakan perdagangan
orang. Keterlibatan aparat yang “membantu” mengeluarkan KTP Aspal, atau yang memfasilitasi
memudahkan pengangkutan perempuan dan anak ke tempat lain, kemudian di tempat tujuan
dieksploitasi menjadi pelacur atau bekerja di tempat maksiat.
Pengangkutan korban perdagangan orang banyak dilakukan melalui daerah-daerah
perbatasan dengan negara tetangga melalui jalur-jalur yang selalu berubah disesuaikan
dengan tingkat “keamanan” atau pengawasan aparat dari daerah asalnya. Beberapa kali
korban ditempatkan di daerah transit sebelum akhirnya dikirim ke daerah tujuan baik di dalam
maupun ke luar negeri.
Menurut Badan Reserse Kriminil (Bareskrim) Mabes POLRI, dari hasil Operasi Bunga I
(4 Agustus – 4 November 2006) dan Operasi Satgas Trafficking In Persons di 10 Unit Kerja
Lapangan (UKL), sejak tahun 2002-2006 teridentifikasi 496 kasus perdagangan orang yang
dilaporkan dan ditangani di 11 Kepolisian Daerah (Provinsi). Sejumlah 267 kasus di antaranya
telah dapat diselesaikan. Rata-rata dalam setiap kasus perdagangan orang, dapat melibatkan
sampai 5 orang korban, baik anak maupun dewasa. Kasus dengan korban anak, penyidik
menerapkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, selain pasal-pasal pada
KUHP. Putusan hukum yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang
berkisar dari 4–6 bulan sampai 3–12 tahun penjara.
Tahun 2005, dari 71 kasus perdagangan orang yang terjadi merupakan laporan dari
Kepolisian Daerah (Polda): Nangroe Aceh Darussalam (2), Sumatera Utara (10); Sumatera
Selatan (3); Lampung (2); Mabes Polri (5); Metro Jaya (9); Jawa Barat (1); Jawa Timur (6);
Kalimantan Barat (12), Kalimantan Timur (3); Sulawesi Utara (6); Sulawesi Tengah (1); Bali (5);
Nusa Tenggara Barat (3); Nusa Tenggara Timur (1); dan Papua (1).
Tahun 2006, 84 kasus perdagangan orang yang dilaporkan berasal dari Polda:
Sumatera Utara (5), Riau (2), Kepulauan Bangka Belitung (3), Lampung (1), Mabes Polri (3),
Satgas Bareskrim Polri (11), Metro Jaya (10), Jawa Barat (7), Jawa Timur (7), Kalimantan Barat
(10), Kalimantan Timur (1), Sulawesi Utara (2), Bali (2), dan Nusa Tenggara Timur (1).
Sedangkan pada tahun 2007 terdapat 177 kasus, dan telah dilimpahkan ke kejaksaan
sebanyak 88 kasus atau 49,72 persen.

48
Tabel 30. Jumlah Kasus Perdagangan Orang di Indonesia
Tahun 1999-2007.
Dilimpahkan ke
No. Tahun Jumlah Kasus Persen
Kejaksaan (P21)
1. 1999 173 134 77,46
2. 2000 24 16 66,67
3. 2001 179 129 72,07
4. 2002 155 96 61,93
5. 2003 138 88 63,76
6. 2004 76 30 39,47
7. 2005 71 27 38,03
8. 2006 84 58 69,05
9. 2007 177 88 49,72
Sumber: Bareskrim Mabes POLRI, 2008.

Tabel 31. Jumlah Kasus dan Korban Perdagangan Orang di


Indonesia Tahun 2002–2007

Jumlah Korban Jumlah


No. Tahun Keterangan
Kasus Dewasa Anak Pelaku
1. 2002 155 - - - UU No. 23/2002, KUHP
2. 2003 138 81 20 62 P21=88, Sidik = 50
3. 2004 68 95 - 83 P21=30, Sidik =46
4. 2005 71 125 18 83 P21=27, Sidik = 45
5. 2006 84 496 129 155 P21=58, Sidik = 26
P21=58, Sidik = 84
6. 2007 177 334*) 150**)
240**) Lidik = 5
Keterangan : *) Laki-laki dewasa sebanyak 331 orang dan perempuan 3 orang
**) Korban anak sebanyak 150 laki-laki, korban perempuan tidak ada data
***) Jumlah pelaku perempuan 101 orang laki-laki dan 139 orang perempuan
Sumber: Bareskrim Mabes POLRI, 2007.

Berdasarkan laporan media tahun 2005, jumlah trafficker yang diproses secara hukum
sebanyak 126 orang, 23 pelaku diajukan ke pengadilan, dan 16 terdakwa telah mendapat
vonis.

49
Tabel 32. Perkembangan Proses Hukum Pelaku Perdagangan
Orang (trafficker) di Indonesia Tahun 2004-2005.
Jumlah Proses
Pengadilan Vonis
No. Tahun Pelaku Hukum
(orang) (orang)
(Orang) (orang)
1. 2004 151 53 53 98
2. 2005 126 23 16 110
Sumber: Diolah dari berbagai media cetak dan elektronik, 2005-2006.

Tabel 33. Jumlah Putusan Kasus Perdagangan Orang di Indonesia


Tahun 2003-2006.
No. Tahun Ter-dakwa Vonis Hukuman

1. 2003-2004 84 27 Hukuman yang dijatuhkan berkisar dari 5-6 bulan


hukuman penjara sampai tertinggi 4 tahun.
2. 2004-2005 53 44 Hukuman yang dijatuhkan ada yang bebas,
9 *) divonis hukuman penjara dari 6 bulan sampai
tertinggi 13 tahun. Rata-rata hukuman: 3 tahun 3
bulan.
3. 2005-2006 23 16 Hukuman yang dijatuhkan tidak ada vonis bebas,
divonis hukuman penjara dari 3 bulan sampai
tertinggi 9 tahun.
Rata-rata hukuman: 2 tahun 5 bulan.
*) Tidak jelas vonis yang dijatuhkan
Diolah dari berbagai sumber (2006).

Pihak Kepolisian dan Kejaksaan – sesuai dengan kasusnya - semakin banyak yang
mendasarkan tuntutannya kepada dasar hukum yang relevan dengan tindak kejahatan para
trafficker, sehingga tuntutan hukum yang dikenakan diupayakan setinggi-tingginya. Di samping
mengggunakan KUHP untuk penuntutan, digunakan pula Undang-undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, dan Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Dengan disahkannya Undang-Undang
No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka pelaku
perdagangan orang (trafficker) akan dituntut menggunakan ancaman hukuman yang seberat-
beratnya.
Perdagangan orang juga menggunakan kedok pengiriman buruh migran ke luar negeri.
Menurut Human Rights Watch (2004), pelanggaran terhadap hak-hak buruh migran sebagai
pekerja rumah tangga (PRT) di Malaysia sudah berlangsung lama, dimulai sejak perekrutan,
pelatihan, transit, di tempat kerja, bahkan ketika kembali ke Indonesia. Buruh migran terjebak
dalam praktek perdagangan orang dan kerja paksa, ditipu untuk bekerja tidak sesuai dengan
yang ditawarkan, dikurung dan tidak menerima gaji, sementara dokumen ditahan agen atau
majikan.

50
Masalah serupa juga menimpa pekerja migran Indonesia di Arab Saudi. Laporan
Human Rights Watch (2004) ‘Bad Dreams: Exploitation and Abuse of Migrant Workers in Saudi
Arabia’ menguraikan tentang eksploitasi dan pelanggaran terhadap hak-hak buruh migran di
Arab Saudi. Laporan tersebut mendokumentasikan praktek-praktek yang mirip perbudakan,
khususnya terhadap perempuan buruh migran PRT yang dikategorikan sebagai ‘kondisi
pelanggaran yang sangat serius’. Saat ini terdapat 8,8 juta orang asing bekerja di Arab Saudi
atau hampir 50 persen dari jumlah penduduk Arab Saudi. Sekitar 500.000 buruh migran di
antaranya berasal dari Indonesia yang sebagian besar perempuan. Menurut Konsulat Jenderal
RI Jeddah, mulai 1 Juni 2007, Kerajaan Arab Saudi akan melaksanakan deportasi para
overstayer termasuk yang berasal dari Indonesia diperkirakan jumlahnya mencapai 40.000
orang.
Pemerintah melalui Perwakilan RI di luar negeri bekerjasama dengan lembaga
internasional memberikan bantuan kepada pekerja migran Indonesia yang bermasalah.
Pekerja migran ditampung di Perwakilan RI, diberikan bantuan hukum dan bantuan
pemulangan ke Indonesia. Jumlah Pekerja Migran Bermasalah yang dipulangkan, selama
tahun 2007 sebanyak 36.315 orang, dan dipulangkan melalui 4 (empat) debarkasi, yakni
Tanjung Pinang, Batam, Karimun, dan Entikong. Selama tahun 2005 sampai dengan Januari
2008, telah dipulangkan 3.042 orang korban perdagangan orang, sebagian besar adalah
perempuan, termasuk bayi dan anak-anak, dan dipulangkan dari 8 negara. dan korban berasal
dari 27 provinsi di Indonesia (dengan dukungan dari International Organization Migration).

Tabel 34. Jumlah Korban Perdagangan Orang Yang Dipulangkan,


Tahun 2005-2007.
Korban Korban
No. Daerah Asal No. Keterangan
(orang) (orang)
1. Nanggroe Aceh Darussalam 22 I. Jenis Kelamin:
2. Sumatera Utara 207 • Laki-laki 340
3. Sumatera Barat 6 • Perempuan 2.702
4. Jambi 11 Jumlah 3.042
5. Riau 5
6. Kepulauan Riau 9 II. Negara Asal:
• Indonesia (domestik) 587
7. Sumatera Selatan 65 • Malaysia 2.305
8. Lampung 150 • Arab Saudi 49
9. Banten 64 • Singapura 28
10. DKI Jakarta 42 • Syria 11
11. Jawa Barat 629 • Jepang 27
12. DI Yogyakarta 4 • Kuwait 10
13. Jawa Tengah 370 • Taiwan 6
14. Jawa Timur 281 • Irak 4
15. Kalimantan Barat 707 • Lainnya 15
16. Sulawesi Utara 5 Jumlah 3.042
17. Sulawesi Tengah 13 III. Kelompok Usia:
18. Sulawesi Selatan 46 • Bayi 5

51
Korban Korban
No. Daerah Asal No. Keterangan
(orang) (orang)
19. Sulawesi Tenggara 6 • Anak-anak 785
20. Sulawesi Barat • Dewasa 2.252
21. Nusa Tenggara Barat 212 Jumlah 3.042
22. Nusa Tenggara Timur 118
23. Maluku 4
24. Lainnya 19
Jml 3.042
Sumber: IOM, 2008 (Januari).

Kepada korban perdagangan orang diberikan penampungan, bantuan medis, bantuan


hukum dan pemulangan ke daerah asalnya, serta diberikan berbagai bentuk upaya
pemberdayaan agar korban tidak terjebak kembali dalam perdagangan orang.

Tabel 35. Jenis Pendampingan Korban Perdagangan Orang,


Tahun 2005 – 2007.

2005 2006 2007


No. Jenis Pendampingan
(orang) (orang) (orang)
1. Perawatan Medis 492 1.186 2.782
2. Perawatan Psikososial 531 1.315 3.042
3. Bantuan Pemulangan 531 1.315 3.042
4. Bantuan usaha ekonomi produktif 212 310 702
5. Bantuan pendidikan dan ketrampilan 104 182 408
6. Konseling lanjutan 287 754 1.259
Sumber: IOM, 2007, 2008 (Januari).

Di luar yang sudah dipulangkan dengan bantuan IOM, tidak menutup kemungkinan ada
korban perdagangan orang yang dipulangkan dari luar negeri ke daerah entry point yang
terdekat. Hal-hal seperti ini banyak terjadi di kota-kota di daerah perbatasan dan di Bandara
Internasional Soekarno-Hatta Tangerang. Pemerintah RI akan terus meningkatkan
perlindungan kepada warga negara Indonesia di luar negeri, antara lain dengan melengkapi
layanan shelter serta bantuan layanan kesehatan dan psikososial di Perwakilan RI di luar
negeri.

5. Perempuan dan Konflik Bersenjata


Beberapa tahun terakhir ini, Indonesia banyak ditimpa bencana baik bencana alam
maupun bencana akibat konflik sosial yang menimbulkan dampak negatif bagi pengembangan
masyarakat Indonesia sebagai sumber daya pembangunan. Bencana tersebut mempunyai
dampak yang begitu luas dan bersifat jangka panjang, sehingga mempengaruhi sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Bencana alam (sebagian Sumatera, Jawa, Nusa
Tenggara, dll) dan konflik sosial yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia seperti di Aceh,

52
Sampit, Poso, Ambon, dan Papua telah menyebabkan penduduk harus tinggal di pengungsian
yang tidak saja kehilangan nyawa dan harta benda tetapi juga menimbulkan trauma
berkepanjangan dan tidak ada kepastian masa depan.
Pada Oktober 2001, tercatat jumlah pengungsi di Indonesia sebanyak 1.330.271 jiwa
tersebar di 26 provinsi. Kemudian pada bulan Juni 2002, jumlah pengungsi menjadi 1.121.828
jiwa, dan tahun 2005 tersisa 266.876 jiwa dan tersebar di 12 provinsi. Menurut Dit. Kesehatan
Jiwa (2005), sekitar 70 persen pengungsi adalah wanita dan anak-anak.
Perempuan seringkali menjadi korban ganda, dimulai sejak menjadi pengungsi dan
terpaksa meninggalkan tempat tinggal karena harus mengikuti suami, ayah atau saudara laki-
laki yang mengungsi. Banyak perempuan ketika tiba di kamp pengungsian sudah berada
dalam keadaan trauma akibat berpisah dari anggota keluarga atau hilang ketika terjadi konflik.

Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, menetapkan Daerah


konflik merupakan daerah khusus, yang menurut Pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwa
negara-negara peserta wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi oleh
perempuan di daerah pedesaan dan peranan yang dilakukan perempuan pedesaan demi
kelangsungan hidup keluarga mereka. Pedesaan disini dapat diartikan termasuk juga
pedesaan di daerah konflik dan atau pasca konflik. Selanjutnya pada Pasal 14 ayat (2)
dinyatakan bahwa negara wajib membuat peraturan yang menjamin hak-hak perempuan
pedesaan, antara lain: (i) hak untuk berpartisipasi dalam perluasan dan implementasi
perencanaan pembangunan di segala tingkat, (ii) hak untuk berpartisipasi dalam semua
kegiatan masyarakat.
Landasan Aksi Beijing berkaitan dengan perempuan dan konflik bersenjata adalah: (a)
Meningkatkan partisipasi perempuan dalam penyelesaian konflik di tingkat-tingkat
pengambilan keputusan dan melindungi perempuan-perempuan yang hidup dalam situasi
konflik bersenjata dan konflik-konflik lainnya atau di bawah pendudukan asing (b)
Mengurangi pembelanjaan untuk keperluan militer yang berlebih-lebihan dan melakukan
pengawasan terhadap persenjataan (c) Mempromosikan bentuk-bentuk penyelesaian
konflik tanpa kekerasan dan mengurangi kejadian-kejadian penyalahgunaan hak-hak asasi
manusia sewaktu terjadi konflik bersenjata (d) Mendorong sumbangan perempuan untuk
membina budaya perdamaian (e) Menyediakan perlindungan, bantuan dan pelatihan
kepada perempuan pengungsi (f) Memberikan bantuan kepada perempuan di negara-
negara jajahan dan daerah perwalian.
Masalah konflik ini tidak terdapat dalam MDGs.

Akibat bencana alam dan konflik sosial, banyak perempuan yang terpaksa menjadi
orang tua tunggal. Jika selama ini selalu bergantung kepada suami, berubah harus mencari
nafkah untuk menghidupi diri dan keluarganya sehingga secara fisik dan mental belum siap
untuk menjadi orang tua tunggal. Di samping tidak punya keterampilan di bidang ekonomi
produksi, kondisi ini diperparah pula dengan kondisi psikososial dan trauma yang dideritanya.
Karena derita ganda ini menyebabkan perempuan di daerah bencana perlu mendapat
pembinaan yang lebih serius agar mereka dapat kembali pulih kesehatan fisik dan
psikososialnya, serta mampu berusaha di bidang ekonomi untuk kehidupan keluarganya.

53
Tabel 36. Jumlah Pengungsi Menurut Provinsi
di Indonesia, Tahun 2001- 2005.
No. Provinsi 2001 2002 2005
1. Nangroe Aceh Darusslam 28.673 14.351 -
2. Sumatera Utara 48.536 48.489 28.335
3. Sumatera Barat 609 - -
4. Riau 5.797 3.135 -
5. Jambi 2.131 1.183 -
6. Bengkulu 363 - -
7. Sumatera Selatan 455 1.789 -
8. Lampung 1.619 1.735 -
9. Banten 3.724 - 2.945
10. DKI Jakarta 1.160 - -
11. Jawa Barat 9.204 - -
12. Jawa Tengah 13.062 - 10.540
13. DI Yogyakarta 411 - 2.265
14. Jawa Timur 164.525 - 10.561
15. Bali 2.334 1.974 -
16. Nusa Tenggara Barat 16.394 14.366 -
17. Nusa Tenggara Timur 277.095 132.721 19.910
18. Kalimantan Barat 27.369 - -
19. Kalimantan Timur 622 - -
20. Sulawesi Selatan 30.123 36.304 15.585
21. Sulawesi Tengah 71.238 78.879 15.755
22. Sulawesi Tenggara 197.921 186.367 40.455
23. Sulawesi Utara 44.780 46.383 -
24. Maluku 168.547 340.091 90.625
25. Maluku Utara 161.729 197.185 13.910
26. Papua 16.860 16.870 15.990
Jumlah 1.330.271 1.121.828 266.876
Sumber: Baknas 2002, Dit. Kes. Jiwa Depkes 2005, Dit. Bansos KBS Depsos, 2005.

Bagi perempuan yang tidak kehilangan suami, berpotensi untuk bertindak selaku
penyuara dan pembawa perdamaian dalam keluarganya maupun dalam komunitasnya. Melalui
kegiatan ekonomi kelompok dan trauma konseling baik secara individual, berkelompok maupun
antar komunitas akan menjadi jembatan persahabatan antar berbagai kelompok yang tadinya
tidak sepaham. Dan sejak tahun 2006 sudah tidak ada lagi pengungsi akibat kerusuhan sosial.
Data Bakornas PB, jumlah pengungsi akibat bencana alam (Angin Topan, Banjir, Tanah
Longsor, Gelombang Laut, Gempa Bumi, Tsunami, Kebakaran, Kekeringan, Kegagalan
Teknologi, Letusan Gunung Berapi ) sejak tahun 2002 sd 2006 sangat berfluktuasi dari
963.914 jiwa (2002) menjadi.462.299 jiwa (2003) meningkat lagi menjadi 862.754 jiwa (2004)
menurun menjadi 293.314 jiwa (2005 ) dan pada tahun 2006 jumlah pengungsi melonjak
sangat tinggi mencapai 2.486.588 jiwa. Namun pada tahun 2007 jumlahnya sedikit menurun

54
menjadi 1.941.597 jiwa, yang melanda di seluruh provinsi di Indonesia kecuali 4 provinsi
(Kepulauan Riau.Bangka Belitung, Papua, Papua Barat) dan data 2007 tidak terinci menurut
provinsi.

Tabel 37. Jumlah Pengungsi Akibat Bencana Alam Menurut Provinsi di


Indonesia, Tahun 2002- 2007.
No. Provinsi 2002 2003 2004 2005 2006 2007
1. NAD 8.750 21.294 542.582 104.500 70.385 √
2. Sumatera Utara 47.720 7.618 10.125 22.602 41.309 √
3. Sumatera Barat 16.950 1.470 796 41.236 15 √
4. Riau 1.440 92.174 235 - - √
5 Kepulauan Riau - - - - - -
6. Jambi 6.230 78.480 - - - √
7. Bengkulu - - - - - √
8. Sumatera Selatan - 5.198 8.909 832 - √
9. Lampung - 700 - 300 - √
10 Bangka Belitung - - - - - -
11 Banten - - 8.235 - 100 √
12. DKI Jakarta 164.608 26.924 33.986 17.843 2.659 √
13. Jawa Barat 15.663 30.163 6.358 28.281 9.807 √
14. Jawa Tengah 43.518 33.804 48.002 23.348 797.464 √
15. DI Yogyakarta - 421 - 100 1.362.675 √
16. Jawa Timur - 1.529 12.396 100 25.903 √
17. Bali - 50 640 - - √
18. Nusa Tenggara Barat 317 3.954 4.902 9.940 14.774 √
19. Nusa Tenggara Timur - 149 14.669 14.658 1.337 √
20. Kalimantan Barat 448.905 126.288 6.387 279 1.000 √
21. Kalimantan Timur - 156 100 - 130.971 √
22 Kalimantan Tengah 89.353 1.728 - - 600 √
23 Kalimantan Selatan - 25 112.825 26.501 √
24. Sulawesi Selatan 56.213 101 220 2.749 148 √
25. Sulawesi Tengah 11.001 2.371 - - 2.000 √
26. Sulawesi Tenggara 6.735 - - - 250 √
27. Sulawesi Utara 10.612 100 32.003 - - √
28 Gorontalo 15.722 - 1.281 - - √
29 Sulawesi Barat 606 1.168 1.800 - - √
30. Maluku - - 11.585 - 5.758 √
31. Maluku Utara - - 1.218 - 847 √
32. Papua 17.176 26.420 3500 45 4.364 -
33 Papua Barat 2.395 14 - - - -
Jumlah 963.914 462.299 862.754 293.314 2.486.588 1.941.597
Bencana : Angin Topan, Banjir, Tanah Longsor, Gelombang Laut, Gempa Bumi, Tsunami, Kebakaran,
Kekeringan, Kegagalan Teknologi, Letusan Gunung Berapi,
Sumber : Bakornas PB 2007 dan 2008

55
6. Ekonomi
Partisipasi perempuan di bidang ekonomi, terlihat dari kontribusi perempuan
Indonesia yang hanya 38 persen terhadap penghasilan rumah tangga (NHDR, 2004). Sejauh
ini peran perempuan dalam bidang ekonomi masih banyak mengalami hambatan. Kaum
perempuan umumnya bergerak pada usaha ekonomi dengan skala kecil, sehingga akan
kesulitan untuk mendapatkan formalitas usaha, termasuk keterbatasan aksesibiltas dalam
mendapatkan kredit. Di lain pihak posisi perempuan mempunyai peranan penting dalam
kegiatan perekonomian, baik sebagai pelaku tunggal maupun sebagai bagian dari unit kegiatan
ekonomi. Namun, secara statistik keterlibatan perempuan dalam kegiatan usaha kecil masih
lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki, baik sebagai pelaku usaha maupun sebagai pekerja.
Menurut BPS, pada tahun 2000 dari sekitar 2 juta unit usaha mikro dan 194.564 unit usaha
kecil di sektor pengolahan, jumlah pelaku usaha laki-laki 1,3 juta orang (59,21 %), sedang
perempuan hanya 896.047 orang (40,79 %). Demikian halnya dengan jumlah pekerja pada
sektor industri kecil dan kerajinan rumah tangga yang mencapai 5,3 juta orang, sementara
jumlah pekerja perempuan sebesar 44,45 persen.
Data Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menunjukkan, bahwa jumlah
usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) tahun 2007 bertambah dari 40,55 juta menjadi 47
juta, dan semua jenis usaha tersebut mempunyai potensi menyerap tenaga kerja sebanyak 67
persen dari jumlah pekerja. Namun, hanya 0,15 persen UMKM yang mendapat akses kredit
perbankan, sedang lainnya mendapatkan pinjaman dari koperasi (0,28 %) dan dari modal
sendiri, pinjaman teman dan atau keluarga (0,16 %). Anggota Hipmi saat ini (2007) berjumlah
30.000 pengusaha, dan hanya 17 persen yang mendapatkan kredit perbankan. Persyaratan
perbankan mengenai agunan dan rekam jejak keuangan selama minimal dua tahun menjadi
hambatan bagi UMKM untuk mengakses kredit perbankan (Warta Kesra, 15 Juni 2007).
Sedangkan IWAPI (2007) mencatat, bahwa jumlah anggota IWAPI adalah 40.000 orang
yang tersebar di 256 DPC. Data ini mengindikasikan bahwa terdapat peningkatan sebesar 150
persen dibandingkan dengan kondisi tahun 2006. Peningkatan ini antara lain disebabkan oleh
upaya IWAPI untuk lebih memperhatikan dan memberdayakan usaha skala mikro yang
dikerjakan oleh kaum perempuan. Dan saat ini, anggota IWAPI terdapat di semua propinsi di
Indonesia, kepengurusan formal diwadahi oleh DPP di 30 propinsi. Tiga propinsi lainnya yang
akan membentuk DPP adalah Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku Utara.
Kemudian menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dari 42 juta UMKM di Indonesia
terdapat 60 persen yang dikelola oleh kaum perempuan.
Secara sosio-kultural, hambatan usaha bagi perempuan yang bergerak pada skala
usaha kecil sebagian besar beranjak dari pandangan masyarakat yang masih melihat bahwa
kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perempuan adalah sebatas kegiatan tambahan, sebagai
pengisi waktu luang, dan belum dilakukan secara profesional. Pandangan semacam itu
kemudian berimbas pada aspek struktural, dalam hal ini kebijakan atau implementasi kebijakan
yang tidak terlalu berpihak pada perempuan, karena pembuat dan pelaksana kebijakan masih
bias gender. Padahal sebenarnya tidak ada peraturan yang melarang perempuan untuk
memiliki aset. Namun, pada kenyataannya kepemilikan aset secara formal, baik aset rumah
tangga maupun aset usaha formal umumnya dimiliki oleh kaum laki-laki.
Misalnya, seorang perempuan pengusaha akan mengalami kesulitan ketika akan
mendaftarkan merek dagang atas nama pribadi, karena petugas mensyaratkan adanya Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama pribadi. Namun, ketika akan mengurus NPWP atas
nama pribadi, petugas mensyaratkan NPWP atas nama suami. Demikian, kira-kira praktik di

56
lapangan yang menunjukkan adanya hambatan struktural, yang secara spesifik dialami oleh
kaum perempuan. Oleh karena itu, diperlukan adanya kesetaraan kesempatan usaha antara
laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan usaha, yang pada gilirannya nanti akan
memberikan kontribusi dalam menggairahkan ekonomi di daerah. Dengan demikian,
pemerintah perlu membuka informasi seluas-luasnya pada para pelaku usaha, dan memberi
kesempatan yang seluas-luasnya agar perempuan pengusaha dapat maju.
Ekonomi perempuan erat kaitannya dengan status ketenaga-kerjaan perempuan yang
masih banyak mengalami diskriminasi. Sementara, penetapan perempuan sebagai mitra
sejajar laki-laki mengisyaratkan, bahwa perempuan mempunyai kesempatan yang sama
dengan laki-laki termasuk kesempatan dalam bekerja. Angkatan kerja perempuan mempunyai
fenomena tersendiri, terkait dengan historis tradisional perempuan Indonesia. Untuk itu
pemajuan perempuan perlu dilakukan secara gradual dan terus menerus, karena diyakini
bahwa keterlibatan perempuan dalam bidang ekonomi mempunyai arti yang besar bagi
berhasilnya pembangunan sebuah bangsa.

Tabel 38. Jumlah Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin dan


Tingkat Pendidikan, Tahun 1986 - 2002.
Jenis Kelamin/ TAHUN
Pendidikan 1986 1990 1996 1998 2002
Laki-laki
• SD 31.599.553 33.392.613 33.669.019 33.719.077 34.940.228
• SLTP 4.246.484 5.591.113 7.965.276 9.037.862 11.966.406
• SLTA 4.456.698 6.079.872 10.375.801 11.550.956 13.425.271
• PT 715.926 1.052.886 2.187.271 2.453.716 2.979.065
• Total 41.018.661 46.116.484 54.197.367 56.761.611 63.310.970
Perempuan
• SD 22.017.157 24.201.241 24.373.524 24.900.306 24.116.809
• SLTP 1.460.242 2.005.278 3.467.287 4.144.576 5.522.539
• SLTA 1.740.907 2.584.642 4.972.021 5.472.889 5.907.221
• PT 237.279 443.978 1.176.573 1.455.550 1.921.711
• Total 26.455.585 29.235.139 33.989.405 35.973.321 37.468.300
Laki-laki + Perempuan
• SD 54.616.710 57.593.584 58.042.543 58.619.283 59.057.037
• SLTP 5.706.726 7.596.391 11.432.563 13.182.438 17.488.965
• SLTA 6.197.605 8.664.514 15.347.822 17.023.845 19.332.492
• PT 953.205 1.496.864 3.363.844 3.909.266 4.900.776
• Total 67.474.246 75.351.623 88.186.772 92.734.932 100.779.270
Sumber : Sakernas 1986–2002.

57
Tabel 39. Jumlah Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin dan
Tingkat Pendidikan, Tahun 2003 - 2007.
Jenis Kelamin/ TAHUN
Pendidikan 2003 2004 2005 2006 2007
Laki-laki
• SD 33.063.795 33.315.720 33.197.417 33.774.483 33.954.137
• SLTP 14.349.714 14.625.212 14.494.839 15.176.492 14.914.910
• SLTA 14.297.957 14.654.390 15.106.860 15.202.375 15.265.838
• PT 2.888.354 3.331.842 3.422.768 3.519.208 3.809.810
• Total 64.599.820 65.927.164 66.221.884 67.672.558 67.944.695
Perempuan
• SD 23.510.966 22.932.014 23.747.469 22.695.435 22.745.998
• SLTP 6.682.204 6.638.585 6.744.609 6.727.064 7.519.919
• SLTA 6.204.933 6.329.695 6.653.140 6.730.368 7.081.191
• PT 1.752.169 2.145.929 2.435.270 2.456.370 2.839.255
• Total 38.150.272 38.046.223 39.580.488 38.609.370 40.186.363
Laki-laki + Perempuan
• SD 56.574.761 56.247.734 56.944.886 56.489.918 56.700.135
• SLTP 21.031.918 21.263.797 21.239.4448 21.903.556 21.903.556
• SLTA 20.502.890 20.984.085 21.760.000 21.932.743 22.347.029
• PT 4.640.523 5.477.771 5.858.038 5.975.578 6.649.065
• Total 102.750.092 103.973.387 105.802.372 106.281.795 108.131.058
Sumber: Sakernas 2003–2006. BPS Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, 2005, 2006, 2007
Catatan : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Pperempuan tahun 2007 adalah 49,5, sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka Perempuan 11,8%.
Kontribusi perempuan dari pekerejaan uoahan 33,0%. Kesenjangan upah 74,8%.

Pengangguran terbuka bagi perempuan terus bertambah dari tahun ke tahun, kondisi ini
perlu disikapi agar perempuan juga mempunyai kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki.
Tabel berikut ini menggambarkan kondisi jumlah penganggur terbuka di Indonesia.

Tabel 40. Jumlah Pengangguran Terbuka Di Indonesia Menurut Jenis


Kelamin, Tahun 1980-2000.

1980 1990 2000


Kategori Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(ribu) (ribu) (ribu)
Pengangguran Terbuka 807,5 100 2.152,0 100 5.813,2 100
• Laki-laki 450,4 55,8 1.205,0 56,0 3.340,6 57,5

• Perempuan 357,1 44,2 947,0 44,0 2.472,6 42,5


Tingkat Pengangguran
1,6 3,0 6,1
Terbuka
Sumber: BPS, SP 1980, 1990, Sakernas 2000.

58
Tabel 41. Jumlah Pengangguran Terbuka Di Indonesia Menurut Jenis
Kelamin, Tahun 2004-2007.

2004 2005 2006 2007


Kategori Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
% % % %
(ribu) (ribu) (ribu) (ribu)
Pengangguran Terbuka 10.547,
10.251,3 100 11.899,3 100 11.104,7 100 100
9
• Laki-laki 5.345,6 52,1 6.292,4 52,9 5.808,2 52,3 5.793,4 54,5

• Perempuan 4.905,7 47,9 5.606,8 47,1 5.296,5 47,7 4.754,5 45,1


Tingkat Pengangguran
9,9 10,3 10,5 9,8
Terbuka
Sumber: BPS, Sakernas 2004-2006, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 2007.

Berdasarkan perkembangan tingkat pengangguran terbuka periode 2001-2007, terlihat


bahwa jumlah penganggur tebuka perempuan relatif masih tinggi meskipun secara prosentase
lebih rendah dibandingkan laki-laki namun apabila dilihat dari jumlah penduduk secara
keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Sehingga
jumlah pengangguran terbuka perempuan dapat dikatakan masih relatif tinggi.

Menurut BPS, jumlah penduduk yang bekerja pada tahun 2005, 2006 dan 2007 terus
meningkat dari 93,9 juta (2005) menjadi 95,1 juta (2006) dan 118.7 juta pekerja (2007) . Pada
tahun 2005 terdapat sekitar 36,0 persen pekerja perempuan meningkat menjadi 36,3 persen
pada tahun 2006 tetapi menurun lagi menjadi 30,1 persen pada tahun 2007. Namun, dari
jumlah pekerja perempuan tersebut, sekitar 70,25 persen bekerja di sektor informal dan rentan
terhadap ketidakpastian upah, pendapatan, dan jaminan sosial. Misalnya para tenaga kerja
Indonesia (TKI) perempuan yang bekerja di luar negeri, umumnya bekerja di sektor informal
dan banyak menghadapi masalah khususnya yang berkaitan dengan rekrutmen, penempatan
dan perlindungan selama yang bersangkutan bekerja di luar negeri.

Kesempatan kerja bagi perempuan terbuka melalui penciptaan lapangan kerja baru dan
atau dengan meningkatkan kompetensi perempuan sehingga mampu masuk ke pasar kerja
dengan persyaratan kerja yang tadinya tidak bisa dimasukinya. Kesempatan kerja bagi
perempuan saat ini merupakan kebutuhan yang mendesak, bukan hanya bagi kepala keluarga,
tetapi juga bagi istri dan anak dewasa. Hal ini diperlukan karena bekerja bukan saja untuk
mendapatkan penghasilan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan harga diri.

59
Tabel 42. Tingkat Pendidikan Penganggur Terbuka Di Indonesia
Menurut Jenis Kelamin, 2000-2003.

2000 2001 2002 2003


Pendidikan
Laki-laki Prpuan Laki-laki Prpuan Laki-laki Prpuan Laki-laki Prpuan
< SD *) 837 601 1.246 1.499 1.484 1.738 1.556 1.788
Tamat SLTP 821 547 922 864 1.166 980 1.249 1.096
Tamat SLTA 1.462 1.084 1.612 1.321 1.838 1.406 1.913 1.484
Akademi/Diploma 85 99 106 146 105 145 101 99
Sarjana 135 142 146 143 135 135 109 136
Jumlah 3.341 2.473 4.032 3.973 4.728 4.404 4.928 4.603
*) Tidak tamat SD dan Tamat SD
Sumber: Sakernas 2000-2006.

Tabel 43. Tingkat Pendidikan Penganggur Terbuka Di Indonesia


Menurut Jenis Kelamin, 2004-2007.

2004 2005 2006 2007


Pendidikan
Laki-laki Prpuan Laki-laki Prpuan Laki-laki Prpuan Laki-laki Prpuan
< SD *) 1.620 1.659 1.856 1.812 1.694 1.831 1.881 1.537
Tamat SLTP 1.416 1.275 1.722 1.429 1.550 1.310 1.501 1.141
Tamat SLTA 2.022 1.641 2.401 1.975 2.241 1.805 2.108 1.636
Akademi/Diploma 105 132 135 174 133 164 121 208
Sarjana 150 198 179 217 190 186 179 230
Jumlah 5.346 4.905 6.293 5.607 5.808 5.296 5.793 4.754
*) Tidak tamat SD dan Tamat SD
Sumber: Sakernas 2000-2006. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 2007.

Tabel di atas memberi gambaran, bahwa semakin banyak penganggur lulusan SLTA ke
bawah yang mencari pekerjaan, dan semakin banyak perempuan yang mencari pekerjaan. Jika
kesempatan kerja di dalam negeri belum menampung, maka kesempatan kerja di luar negeri
menjadi alternatif. Dengan meningkatkan pendidikan para pencari kerja, diharapkan dapat
mengisi lapangan pekerjaan dengan kualifikasi pendidikan lebih tinggi sehingga akan semakin
besar penghasilan yang diperoleh beserta dengan jaminan keselamatan kerja yang lebih baik.

60
Tabel 44. Jumlah Kebutuhan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri, Tahun 2004–2006.

2004 2005 2006


No. Kawasan/Negara
Formal Informal Formal Informal Formal Informal
I. ASIA PASIFIK 193.028 183.260 192.859 104.432 171.463 155.327
Malaysia 165.082 104.311 183.695 18.192 161.936 108.163
Singapura 3.373 14.981 - 25.087 536 8.539
Brunei Darussalam 4.417 7.802 7 4.971 1.957 823
Hongkong 5.238 26.067 6 12.137 152 13.461
Taiwan 1.631 29.985 4.533 44.043 3.756 24.334
Korea Selatan 12.725 114 4.504 2 3.100 -
Jepang - - 114 - - -
Lainnya 562 0 - - 26 7
II. TIMUR TENGAH &
36.714 473.020 4.015 173.004 6.105 347.084
AFRIKA
Saudi Arabia 16.707 446.448 2.724 147.511 4.110 303.317
Uni Emirat Arab 4.267 138 110 5.512 181 15.313
Kuwait 12.629 13.449 - 16.842 49 14.676
Bahrain 322 19 5 16 59 426
Qatar 913 3.640 165 837 1.685 3.359
Oman 315 357 1.011 205 4 3.523
Yordan 1.526 8.969 - 2.081 - 6.468
Yaman 12 0 - - -
Cyprus 23 0 - - -
Lain-lain - - - - 17 2
III. AMERIKA 204 0 - - - -
Amerika Serikat 204 0 - - - -
IV. EROPA 211 0 - - - -
Belanda 96 0 - - - -
Italia 115 0 - - - -
Sub Total 230.157 656.280 196.874 277.436 177.568 502.411
TOTAL 886.437 474.310 679.979
Sumber: Depnakertrans 2007.

61
Tabel 45. Perkembangan Promosi TKI ke Luar Negeri
Tahun 2007
Keterangan
No. Negara tujuan Jenis promosi Profil TKI
1 Asia-Pasifik Market intelejen - Perawat -72.000 orang
- perhotelan - 3.070 orang
- Konstruksi
- Perkebunan
2 Timur Tengah EPA - Perminyakan - 5000 org
- Perhotelan perawat
- Perawat - 2000 org operator
otomotif

3 Amerika Kunj. Kerja - Perhotelan -.800 perawat

4. Eropa Kunj. Kerja - Perawat


- Perhotelan
- Pelaut
Sumber : BNP2TKI Tahun 2007

Dari data pengembangan promosi tahun 2007 diketahui, bahwa kebutuhan tenaga kerja
Indonesia di beberapa negara tujuan penempatan, seperti negara-negara di Asia-Pacific
masih terbuka luas. Kualifikasi tenaga kerja yang banyak dibutuhkan adalah tenaga kerja di
bidang perkebunan dan konstruksi, dan juga tenaga perawat dan perhotelan. Di negara-negara
di Timur Tengah tenaga keja yang dibutuhkan, selain tenaga perhotelan dan perawat juga
dibutuhkan adanya tenaga ahli perminyakan, demikian halnya dengan negara-negara di Eropa
dibutuhkan tenaga untuk awak kapal pesiar .
Melihat peluang tersebut dan dengan memperhatikan sumber daya manusia yang
tersedia dan sumber daya alam kepulauan yang tersedia di dalam negeri, maka dimungkinkan
pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan peluang untuk promosi TKI di beberapa negara
tujuan tersebut.
Kebutuhan TKI ke luar negeri pernah mengalami penurunan pada tahun 2005, tetapi
meningkat kembali pada tahun 2006, terutama di sektor informal. Menteri Sumberdaya
Manusia Malaysia (2007) menyatakan bahwa negaranya sangat membutuhkan TKI minimal
450.000 orang, untuk dipekerjakan di berbagai sektor formal seperti konstruksi, perkebunan,
dan industri, serta di sektor informal sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT). Pemerintah
melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang dibentuk sesuai
dengan mandat Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
PerlindunganTKI di Luar Negeri, berupaya meningkatkan pelayanan dan perlindungan kepada
pekerja migran Indonesia sehingga penempatan TKI yang tidak sesuai prosedur dapat
dihapuskan.

7. Perempuan sebagai Pemegang Kekuasaan dan Pengambilan


Keputusan
Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif sejak Pemilihan Umum Tahun 1997,
1999 dan 2004 jumlahnya relatif masih sangat kecil (8-11 %) dibanding dengan laki-laki (89-91
%), sementara lebih dari 50 persen penduduk Indonesia berjenis kelamin perempuan. Pada
Pemilihan Umum tahun 2004 dan 2009 nanti, dikeluarkan ketentuan mengenai kuota
keterwakilan perempuan sebesar 30 persen, namun dalam kenyataannya keterwakilan

62
perempuan Indonesia masih rendah (2004) dibandingkan negara-negara di Asian Tenggara
seperti Malaysia (13 %) dan Filipina (19 %).

Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 7 mewajibkan


negara untuk menjamin kehidupan politik perempuan dan kehidupan kemasyarakatan
negaranya, khususnya menjamin hak-hak perempuan untuk: (a) hak untuk memilih dan
dipilih (b) hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan
impelemntasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala
fungsi pemerintahan di semua tingkat (c) hak untuk berpartisipasi dalam organisasi-
organisasi dan perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat dan politik negara. Selanjutnya pada Pasal 11, nega negara diwajibkan untuk
menghapus diskriminasi dan menjamin hak-hak perempuan (i) hak untuk bekerja, dan (ii)
hak atas kesempatan kerja yang sama termasuk penerapan kriteria seleksi yang sama
dalam penerimaan pegawai.
Landasan Aksi Beijing berkaitan dengan kedudukan perempuan sebagai pemegang
kekuasaan dan pengambilan keputusan adalah: (a) Mengambil langkah-langkah untuk
menjamin akses dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur-struktur kekuasaan dan
partisipasi penuh perempuan dalam struktur-struktur kekuasaan dan pengambilan
keputusan (b) Meningkatkan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan dan kepemimpinan.
Dalam MDGs, aksi tersebut termasuk dalam tujuan ketiga yaitu “mendorong
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan” dengan indikator: proporsi perempuan
yang duduk di DPR.

Tabel 46. Jumlah dan Prosentase Anggota DPR, DPRD dan MPR,
Periode 1997-1999, 1999-2004, 2004-2009.
Laki-laki Perempuan
Legislatif Jumlah
Orang % Orang %
DPR

• 1997-1999 444 88,8 56 11,2 500

• 1999-2004 456 91,2 44 8,8 500

• 2004-2009 489 88,9 61 11,1 550


DPD

• 2004-2009 101 78,9 27 21,1 128


DPRD

• 2004-2009 1.662 90,0 188 10,0 1.849


MPR

• 1997-1999 882 88,2 118 11,8 1.000

• 1999-2004 631 90,7 64 8,3 695

• 2004-2009 590 87,0 88 12,9 678


Sumber: Setjen MPR RI, 2004; Cetro, 2004.

Di lingkungan birokrasi/eksekutif, partisipasi perempuan sebagai Pegawai Negeri Sipil


(PNS) dapat dikatakan hampir sejajar dengan partisipasi laki-laki di PNS, yakni mencapai 43,6

63
persen meskipun mengalami penurunan dibandingkat tahun 2006 akan tetapi secara kuantitatif
mengalami peningkatan dan diperkirakan semakin tahun akan semakin naik. Sedangkan
jumlah PNS perempuan yang menduduki jabatan relatif masih sedikit, meskipun demikian ada
kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun..

Tabel 47. Jumlah dan Prosentase Pegawai Negeri Sipil (PNS)


Di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997-2007.
Laki-laki Perempuan
Tahun Jumlah
Orang % Orang %
1997 2.650.010 64,7 1.444.336 35,3 4.094.346
1998 2.643.645 64,6 1.446.792 35,4 4.090.437
1999 2.528.752 63,1 1.477.109 36,9 4.005.861
2000 2.461.014 62,4 1.484.764 37,6 3.945.778
2002 2.350.330 61,3 1.481.756 38,7 3.832.086
2004 2.130.299 59,4 1.457.038 40,6 3.587.337
2005 2.191.401 58,6 1.549.984 41,4 3.741.385
2006 2.109.216 58,1 1.549.984 47,9 3.633.261
2007 2.292.555 56,4 1.771.646 43,6 4.067.201
Sumber: BKN 2002, 2005, 2006, 2007,2008

Tabel 48. Jumlah dan Prosentase Pegawai Negeri Sipil Di Indonesia Menurut Tingkat
Pendidikan dan Jenis Kelamin, Tahun 2005-2007.

No. Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin


Jumlah %
Laki-laki % Perempuan %
1. SD
• 2005 108.324 94,8 5.934 5,2 114.258 3,1
• 2006 97.863 94,9 5.256 5,1 103.119 2,8
• 2007 103.182 94,7 5.784 5,3 108.966 2,7
2. SLTP
• 2005 105.112 86,6 16.223 13,4 121..335 3,2
• 2006 98.192 86,8 14.954 13,2 113.146 3,1
• 2007 112.536 87,6 15.949 12,4 128.485 3,2
3. SLTA
• 2005 804.793 58,5 569.516 41,5 1.374.309 36,7
• 2006 768.619 58,1 555.006 41,9 1.323.625 36,4
• 2007 871.269 57,3 649.668 42,7 1.520.937 37,4
4. Diploma I
• 2005 26.365 43,4 34.352 56,6 60.717 1,6
• 2006 25.634 43,1 33.862 56,9 59.496 1,6
• 2007 28.163 36,6 48.736 63,4 76.901 1,9
5. Diploma II
• 2005 257.648 42,1 354.447 57,9 612.095 16,4
• 2006 250.881 41,7 351.006 58,3 601.887 16,6
• 2007 258.259 40,6 378.565 59,4 636.824 15,7

64
6. Diploma III
• 2005 161.454 53,7 139.162 46,3 300.616 8,0
• 2006 153.782 53,0 136.553 47,0 290.335 8,0
• 2007 167.043 49,3 171.729 50,7 338.772 8,3
7. Diploma IV
• 2005 7.078 72,7 2.660 27,3 9.738 0,3
• 2006 7.141 72,6 2.693 27,4 9.834 0,3
• 2007 6.577 70,9 2.653 29,1 9.280 0,2
8. Strata I/S1
• 2005 645.044 61,6 402.455 38,4 1.047.499 28,0
• 2006 632.496 61,3 399.601 38,7 1.032.097 28,4
• 2007 669.590 58,5 473.384 41,5 1.143.974 28,1
9. Strata II/S2
• 2005 68.357 74,4 23.564 25,6 91.921 2,5
• 2006 67.506 74,2 23.467 25,8 90.973 2,5
• 2007 69.205 73,0 25.572 27,0 94.777 2,3
10. Strata III/S3
• 2005 7.226 81,2 1.671 18,8 8.897 0,2
• 2006 7.102 81,2 1.647 18,8 8.749 0,2
• 2007 6.731 80,8 1.604 19,2 8.335 0,2
TOTAL
• 2005 2.191.410 58,6 1.549.984 41,4 3.741.385 100
• 2006 2.109.216 58,1 1.524.045 41,9 3.633.261 100
• 2007 2.292.555 56,4 1.774.646 43,6 4.067.201 100
Sumber: BKN, 2006, 2007,.2008

Tabel 49. Jumlah dan Prosentase Jabatan Struktural PNS Di Indonesia


Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997-2007.
Laki-laki Perempuan
Tahun Jumlah
Orang % Orang %
1997 231.115 86,0 37.679 14,0 268.794
1998 229.992 85,9 37.849 14,1 267.767
1999 194.024 84,8 34.691 15,2 228.715
2000 176.319 84,2 33.016 15,8 209.335
2002 145.541 83,4 28.912 16,6 174.453
2004 235.970 80,1 58.682 19,9 294.652
2005 236.420 80,1 58.682 19,8 295.102
2006 224.322 79,7 57.235 20,3 281.557
• Eselon I 580 89,9 65 10,1 645
• Eselon II 10.108 93,3 727 6,7 10.835
• Eselon III 46.290 86,3 7.351 13,7 53.641
• Eselon IV 156.821 77,3 45.965 22,7 202.786

65
Laki-laki Perempuan
Tahun Jumlah
Orang % Orang %
• Eselon V 10.523 77,1 3.127 22,9 13.650
2007 201.601 79,0 53.737 21,0 255.338
• Eselon I 619 89,9 62 10,1 681
• Eselon II 8.430 93,1 622 6,9 9.052
• Eselon III 38.251 85,7 6.378 14,3 44.629
• Eselon IV 144.307 76,8 43.649 23,2 187.956
• Eselon V 9.994 76,8 3.026 23,2 13.020
Sumber: BKN (Maret, 2008)

Tabel 50. Jumlah dan Prosentase Profesi PNS Di Indonesia Menurut


Jenis Kelamin, Tahun 2002.

Laki-laki Perempuan Laki-laki +


Profesi
Orang % Orang % Perempuan
Jumlah 2.350.330 100 1.481.756 100 3.832.086
• Pendidik 724.229 30,8 761.858 51,4 1.486.087
• Peneliti 2.827 0,1 1.155 0,1 3.982
• Struktural 145.541 6,2 28.912 2,0 174.453
• Petugas Kesehatan 120.004 5,1 172.053 11,6 292.057
• Lainnya 1.357.729 57,8 517.778 34,9 1.875.507
Sumber: BKN 2002.

Menurut Potensi Desa (Podes) 2006 jumlah perempuan yang menjabat sebagai Kepala
Desa/Kelurahan sebanyak 1.839 orang, yang berarti hanya 2,62 persen dari 69.957 jabatan
Kepala Desa/Kelurahan/ Nagari/lainnya yang ada di Indonesia.

Angka tersebut ternyata lebih baik jika dibandingkan kondisi tahun 2000 dan 1996.
Pada tahun 2000, jumlah perempuan yang menjabat sebagai Kepala Desa sebanyak 1.559
orang atau 2,28 persen dari 68.347 desa yang ada di Indonesia, sedang pada tahun 1996,
perempuan yang menjabat Kepala Desa hanya berjumlah 1.306 orang atau 1,97 persen dari
66.045 desa yang ada di Indonesia.

66
Tabel 51. Jumlah dan Prosentase Pejabat (Hakim) Di Instansi Peradilan
Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997-2005.

Laki-laki Perempuan
Tahun Jumlah
Orang % Orang %
1997 102 76,1 32 23,9 134
• Hakim Agung 44 86,3 7 13,7 51
• Hakim Yustisi 58 69,9 25 30,1 83
1998 102 73,9 36 26,1 138
• Hakim Agung 41 85,4 7 19,6 48
• Hakim Yustisi 61 67,8 29 32,2 90
1999 96 73,8 34 26,2 130
• Hakim Agung 40 87,0 6 13,0 46
• Hakim Yustisi 56 66,7 28 33,3 84
2002 84 75,0 28 25,0 112
• Hakim Agung 33 80,5 8 19,5 41
• Hakim Yustisi 51 71,8 20 28,2 71
2005 9.426 75,91 2.991 24,09 12.417
• Mahkamah Agung 41 83,7 8 16,3 49
• Pengadilan Tinggi (PT) 292 80,0 98 20,0 490
• Pengadilan Negeri 2.064 82,23 446 17,77 2.510
• PT Tata Usaha Negara (TUN) 30 90,91 3 9,09 33
• Pengadilan TUN 140 79,70 37 20,90 177
• Pengadilan Tinggi Agama 654 76,04 196 23,06 850
• Pengadilan Agama 6.042 73,34 2.196 26,66 8.238
• Pengadilan Militer Tinggi 3 75,0 1 25,0 4
• Pengadilan Militer 60 90,91 6 9.09 66
Sumber: Mahkamah Agung (Januari 2005).

Posisi perempuan di lembaga eksekutif dan yudikatif tidak jauh berbeda dengan posisi
perempuan di lembaga legislatif (DPR, DPRD). Dari tahun ke tahun, keterwakilan perempuan
dalam lembaga eksekutif, yudikatif dan lesgislatif belum menampakkan kemajuan yang berarti.

8. Mekanisme Institusional Pemajuan Perempuan


Badan-badan pemerintahan yang menangani perempuan mulai dibentuk sejak tahun
1978, ketika Kementerian Peranan Wanita didirikan. Lembaga ini terus dipertahankan hingga
kini, dan dalam kabinet Indonesia Bersatu bernama Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan.

Seiring dengan desentralisasi, pembentukan kelembagaan perempuan di daerah


diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing kepala pemerintahan di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota, sehingga nama lembaga dan eseloneringnyapun tidak sama. Di
beberapa daerah menempatkan unit kerja Pemberdayaan Perempuan sebagai unit pelaksana

67
di Badan Pemberdayaan Masyarakat, atau sebagai unit koordinatif berbentuk Biro di
Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
Meskipun sangat variatif lembaga perempuan di daerah, pemerintah melalui Instruksi
Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional,
mengupayakan agar pemberdayaan perempuan masuk dalam setiap kebijakan dan program
pembangunan baik dalam pembangunan nasional maupun dalam pembangunan daerah.
Untuk itu, dibentuk focal point pemberdayaan perempuan di beberapa lembaga pemerintah
yang strategis. Misalnya Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Pertanian, Kementerian Negara
Koperasi dan UKM, Departemen Dalam Negeri, dan lain sebagainya.

Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 2 menyatakan


bahwa negara sepakat untuk menjalankan kebijakan menghapus diskriminasi terhadap
perempuan dan berusaha: (i) menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak
perempuan dan menjamin perlindungan tersebut melalui pengadilan nasional yang
kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya (ii) menjamin bahwa pejabat-pejabat
pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajibannya
untuk tidak melakukan tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan (iii)
membuat peraturan untuk menghapus perlakukan diskriminasi terhadap perempuan oleh
tiap orang, organisasi atau perusahaan.
Landasan Aksi Beijing berkaitan dengan mekanisme institusional untuk kemajuan
perempuan, adalah: (a) Membentuk atau memperkuat mekanisme-mekanisme nasional dan
badan-badan pemerintahan lainnya (b) Mengintegrasikan perspektif gender ke dalam
perundang-undangan, kebijakan-kebijakan pemerintah, serta semua program dan proyek
(c) Menyusun dan menyebarluaskan data yang telah dipilah-pilah menurut gender dan
informasi untuk perencanaan dan evaluasi.
Dalam MDGs, tujuan berkaitan dengan masalah mekanisme institusional untuk
kemajuan perempuan ini tidak ada.

Tabel 52. Institusi Pemberdayaan Perempuan Menurut


Eselonisasi Provinsi Di Indonesia, Tahun 2007.

No. Rovinsi Eselon Institusi Pemberdayaan Perempuan dan Anak


1. Nangroe Aceh Darussalam II Biro Pemberdayaan Perempuan.
2. Sumatera Utara II Biro Pemberdayaan Perempuan.
3. Sumatera Barat II Biro Pemberdayaan Perempuan.
4. Riau III Bagian Pemberdayaan Perempuan, Badan
Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat.
5. Kepulauan Riau II Biro Pemberdayaan Perempuan.
6. Jambi II Biro Pemberdayaan Perempuan.
7. Bengkulu II Biro Kesra dan Pemberdayaan Perempuan.
8. Sumatera Selatan III Biro Pemberdayaan Perempuan .
9. Lampung II Biro Pemberdayaan Perempuan.
10. Bangka Belitung IV Sub Bagian Pemberdayaan Perempuan, Bagian
Kesehatan dan Pemberdayaan Perempuan, Biro
Kesejahteraan Sosial.
11. Banten III Bagian Kesehatan dan Pemberdayaan Perempuan,

68
No. Rovinsi Eselon Institusi Pemberdayaan Perempuan dan Anak
Biro Kesejahteraan Sosial.
12. DKI Jakarta III Bidang Pemberdayaan Perempuan, Badan
Pemberdayaan Masyarakat.
13. Jawa Barat III Bagian Pemberdayaan Perempuan, Biro
Pengembangan Sosial.
14. Jawa Tengah II Biro Pemberdayaan Perempuan.
15. DI Yogyakarta II Kantor Pemberdayaan Perempuan.
16. Jawa Timur III Bidang Pemberdayaan Perempuan, Badan
Pemberdayaan Masyarakat.
17. Bali II Biro Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan.
18. IV Sub Bagian Pemberdayaan Perempuan, Biro
Nusa Tenggara Barat
Kesejahteraan Sosial.
19. Nusa Tenggara Timur II Biro Pemberdayaan Perempuan.
20. III Badan Pemuda, Olah raga dan Pemberdayaan
Kalimantan Barat
Perempuan
21. Kalimantan Timur IV Biro Sosial dan Pemberdayaan Perempuan.
22. Kalimantan Tengah II Biro Pemberdayaan Perempuan.
23. Kalimantan Selatan III Bidang Pemberdayaan Perempuan, Badan
Pemberdayaan Masyarakat .
24. Sulawesi Utara II Biro Pemberdayaan Perempuan.
25. Gorontalo III Bagian Pemberdayaan Perempuan, Biro Sosial.
26. Sulawesi Tengah III Bagian Pemberdayaan Perempuan, Badan
Pemberdayaan Masyarakat.
27. Sulawesi Barat II Biro Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan
Rakyat.
28. Sulawesi Tenggara IV Sub Bagian Pemberdayaan Perempuan, Bagian
Perempuan dan Kesejahteraan Rakyat, Badan
Pemberdayaan Masyarakat.
29. Sulawesi Selatan II Biro Pemberdayaan Perempuan.
30 Maluku IV Sub Bagian Pemberdayaan Perempuan, Bagian
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga
Berencana, Biro Kesejahteraan.
31. Maluku Utara III Bagian Pemberdayaan Perempuan, Biro
Kesejahteraan Rakyat dan Pemberdayaan
Perempuan.
32. Papua II Badan Pemberdayaan Perempuan.
33. Papua Barat II Biro Pemberdayaan Perempuan.
Sumber : Website Pemprov (Juni 2007).

Pusat Studi Wanita (PSW) didirikan oleh perguruan tinggi di Indonesia baik perguruan
tinggi negeri maupun swasta, yang tahun 2005 jumlahnya mencapai 132 unit di 29 provinsi.
Mereka melakukan berbagai penelitian tentang kesetaraan gender termasuk penyusunan data
terpilah, sebagai masukan kepada Pemerintah setempat. PSW diharapkan dapat menjadi
katalisator terhadap percepatan pemberdayaan perempuan melalui kerjasama dengan
kelembagaan pemerintah pusat dan daerah, swasta dan masyarakat.

69
Tabel 53. Jumlah Pusat Studi Wanita Menurut Provinsi Di
Indonesia, Tahun 2005.

No. Provinsi Jumlah Pusat Studi Wanita (PSW)


1. Nangroe Aceh Darussalam 2 1. Universitas Syiah Kuala.
2. IAIN Ar-Raniry.
2. Sumatera Utara 4 1. Universitas Sumatera Utara.
2. Universitas Malikussaleh.
3. Universitas Negeri Medan.
4. IAIN Sumatera Utara.
3. Sumatera Barat 6 1. Universitas Andalas.
2. Universitas Negeri Padang.
3. IAIN Imam Bonjol Padang.
4. STAIN Prof.Dr.Mahmud Yunus Batu Sangkar.
5. Universitas Bung Hatta.
6. STAIN Syech M. Djamal Djambek.
4. Riau 3 1. Universitas Riau.
2. IAIN Sultan Syarif Qasim.
3. Universitas Islam Riau.
5. Kepulauan Riau - -
6. Jambi 4 1. Universitas Jambi.
2. IAIN Sultan Thaha Saifuddin.
3. Universitas Batanghari.
4. STAIN Kerinci.
7. Bengkulu 3 1. Universitas Bengkulu
2. Universitas Muhammadiyah Bengkulu
3. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkulu
8. Sumatera Selatan 3 1. Universitas Sriwijaya
2. IAIN Raden Patah
3. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
9. Lampung 3 1. Universitas Lampung
2. IAIN Raden Intan
3. STAIN Jurai Jiwo Metro
10. Bangka Belitung -
11. Banten 2 1. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2. STAIN Sultan Maulana Hassanuddin Banten
12. DKI Jakarta 17 1. Universitas Terbuka
2. Universitas Negeri Jakarta
3. Universitas Indonesia
4. IAIN Syarif Hidayatullah
5. Universitas YARSI
6. Universitas Islam Asyafi'ah
7. Universitas Islam Jakarta
8. Universitas Muhammadiyah Prof.Hamka
9. Universitas Kristen Indonesia
10. Universitas Kertanegara
11. Universitas Trisakti
12. Universitas Katolik Atmajaya
13. Universitas Satya Gama
14. Universitas Borobudur
15. Universitas Indonesia Esa Unggul
16. Universitas Islam Attahiriyah
17. Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta

70
No. Provinsi Jumlah Pusat Studi Wanita (PSW)
13. Jawa Barat 10 1. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial
2. Universitas Padjajaran
3. IAIN Sunan Gunung Djati
4. Universitas Pendidikan Indonesia
5. Institut Tehnologi Bandung
6. Universitas Islam 45
7. Universitas Siliwangi
8. Universitas Islam Bandung
9. STPDN Bandung
10. STAIN Cirebon
14. Jawa Tengah 12 1. STAIN Kudus
2. Universitas Sebelas Maret
3. IAIN Wali Songo
4. Universitas Muhammadiyah Surakarta
5. Universitas Kristen Satya Wacana
6. Universitas Katolik Soegiya Pranata
7. Universitas Jenderal Soedirman
8. Universitas 17 Agustus
9. Universitas Panca Sakti Tegal
10. Universitas Negeri Semarang
11. STAIN Surakarta
12. Universitas Muhammadyah Purwokerto.
15. DI Yogyakarta 8 1. Universitas Gajah Mada
2. Universitas Negeri Yogyakarta
3. IAIN Sunan Kalijaga
4. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
5. AKS Tarakanita Yogyakarta
6. Universitas Islam Yogyakarta
7. Universitas Sarjanawiyata Yogyakarta
8. Universitas Ahmad Dahlan
16. Jawa Timur 14 1. Universitas Airlangga
2. Universitas Merdeka Malang
3. Universitas Brawijaya
4. Universitas Jember
5. Universitas Negeri Malang
6. Universitas Muhammadiyah Jember
7. STAIN Malang
8. STAIN Pamekasan
9. STAIN Ponorogo
10. Universitas Muhammadiyah Malang
11. IAIN Sunan Ampel
12. Universitas Mayjen Sungkono
13. STAIN Tulung Agung
14. STAIN Kediri
17. Bali 3 1. Universitas Udayana
2. Universitas Mahasaraswati
3. STIKP Singaraja
18. Nusa Tenggara Barat 5 1. Universitas Mataram
2. STAIN Mataram
3. Universitas Negeri Mataram
4. Universitas Muhammadiyah Mataram
5. STMIK Bumigora Mataram
19. Nusa Tenggara Timur 2 1. Universitas Nusa Cendana
2. Universitas Kristen Artha Wacana

71
No. Provinsi Jumlah Pusat Studi Wanita (PSW)
20. Kalimantan Barat 2 1. Universitas Tanjungpura
2. STAIN Pontianak
21. Kalimantan Timur 2 1. Universitas Mulawarman
2. STAIN Samarinda
22. Kalimantan Tengah 2 1. Universitas Palangkaraya
2. STAIN Palangkaraya
23. Kalimantan Selatan 2 1. Universitas Lambung Mangkurat
2. IAIN Antasari
24. Sulawesi Selatan 10 1. Universitas Negeri Makassar
2. Universitas Hasanuddin
3. IAIN Alauddin Makassar
4. Universitas PEPABRI
5. STKIP - YPUP
6. Universitas Muslim Indonesia
7. Universitas Satria Makassar
8. STAIN Palopo.
9. STAIN Watanpone
10. STAIN Pare-pare.
25. Sulawesi Tengah 3 1. Universitas Tadulako
2. STAIN Datokabana
3. Universitas Alkhairaat
26. Sulawesi Tenggara 1 Universitas Haluoleo
27. Sulawesi Utara 3 1. Universitas Sam Ratulangi
2. Universitas Negeri Manado
3. STAIN MANADO
28. Gorontalo 1 STAIN Sultan Amai
29. Sulawesi Barat - -
30 Maluku 1 Universitas Patimura
31. Maluku Utara 2 1. STAIN Ternate
2. Universitas Muhammadiyah
32. Papua 2 1. Universitas Cendrawasih
2. Universitas Papua
JUMLAH 132
Sumber : Website KNPP, diakses 23 Juni 2007.

Organisasi perempuan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) perempuan atau yang
peduli perempuan semakin banyak berdiri, masing-masing bergerak sesuai dengan visi dan
misinya seperti misalnya di bidang pendidikan perempuan, kesehatan, save motherhood,
pemberdayaan ekonomi perempuan, dan lain-lain. Konggres Wanita Indonesia (Kowani)
adalah organisasi perempuan nasional yang memayungi lebih dari 70 organisasi perempuan di
seluruh Indonesia.
Mekanisme koordinasi antar organisasi perempuan dibangun antar sektor dan antar
lembaga non-pemerintah baik di dalam dan luar negeri serta badan-badan internasional dalam
upaya pemberdayaan dan pemajuan perempuan.

72
9. Hak Asasi Perempuan
Dalam rangka menegakkan hak asasi manusia (termasuk hak asasi perempuan di
Indonesia), Pemerintah RI tahun 1984 meratifikasi Konvensi Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan atau yang disebut CEDAW (Convention on the Elimination of
All Forms of DiscriminationAgainst Women 1979) melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984.

Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 2 menyatakan bahwa
negara mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan, yang pengertiannya tertera dalam Pasal 1: “Diskriminasi
terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar
jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari
status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Landasan aksi Beijing yang berkaitan dengan Hak Asasi Perempuan adalah: (a) Memajukan dan
melindungi hak-hak asasi perempuan, melalui penerapan secara penuh semua perangkat hak-hak
asasi manusia, terutama Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (b)
Menjamin adanya persamaan dan sikap non-diskriminatif di hadapan hukum maupun dalam praktek-
praktek kehidupan (c) Pemberantasan buta hukum.
Mengenai Hak Asasi Perempuan ini tidak ada dalam MDGs.

Tabel 54. Peraturan Perundang-undangan terkait Hak Asasi


Manusia, Tahun 2007.
No. Tahun Peraturan Perundang-undangan
1. 1945 Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemennya (1999-2002).
2. 1979 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara
Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143);
3. 1984 UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Lembaran
Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3277);
4. 1999 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886).
5. 2000 UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182
tentang Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-
bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941).
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4026).
6. 2002 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235).
7. 2004 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan

73
No. Tahun Peraturan Perundang-undangan
Lembaran Negara Nomor 4419)
8. 2005 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Lembaran Negara
Tahun 2005 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4557).
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Lembaran Negara Tahun 2005
Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4558).
9. 2006 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
(Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4635).
10. 2007 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4720).
Sumber: Sekneg, 2007.

Tahun 1999, Pemerintah menetapkan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang


HAM, dan sepanjang tahun 1999-2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengamandemen
Undang-undang Dasar 1945 dengan memasukkan masalah HAM dalam Pasal 28. Tahun 2005
Pemerintah meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2005, dan International Covenant on Civil and Poltical
Rights melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2005.
Hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia (Pasal 45 Undang-undang No. 39
Tahun 1999 tentang HAM), dan negara menjamin hak-hak yang sederajat dari laki-laki dan
perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak sipil dan politik
(Pasal 3 Undang-undang No. 11 Tahun 2005 dan Pasal 3 Undang-undang No. 12 Tahun
2005).
Hak Wanita dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dinyatakan
sebagai berikut :
Pasal 45. Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia.
Pasal 46. Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan
sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin
keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.
Pasal 47. Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan
asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya
tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh
kembali status kewarga-negaraannya.
Pasal 48. Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis,
jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
Pasal 49 (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan
profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.
(2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan
pekerjaan atau profesinya terhadap hak-hal yang dapat mengancam

74
keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi perempuan
wanita.
(3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi perempuan-
nya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Padal 50. Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan
perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.
Pasal 51 (1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan
tanggungjawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang
berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-
anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.
(2) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung
jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan
dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak.
(3) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama
dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta
bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Berkaitan dengan Pasal 49 ayat (2) dan (3) tersebut, menurut Penjelasan Undang-
undang dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘perlindungan khusus terhadap fungsi
perempuan’ adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan
pemberian kesempatan untuk menyusui anak.
Selanjutnya dalam UUD 1945 Pasal 28I ayat (4) dinyatakan bahwa: “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak azasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah”, sementara dalam Pasal 30 ayat (1) dinyatakan bahwa “Tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”, dan ayat
(2) menyebutkan: “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan
pendukung”.
Dari pasal-pasal tersebut terlihat bahwa tanggung jawab “perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak azasi manusia” tidak saja menjadi tanggung jawab
Pemerintah tetapi juga menjadi tanggung jawab rakyat sebagai unsur negara. Dalam pasal 30,
peran rakyat lebih jelas dinyatakan yaitu sebagai kekuatan pendukung dalam bidang
pertahanan dan keamanan negara.
Selanjutnya peran Pemerintah, dengan tegas diatur dalam Undang-undang No. 39
Tahun 1999 tentang HAM Pasal 71 yang menyatakan bahwa: “Pemerintah wajib dan
bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang diatur
dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional
tentang HAM yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Dalam Pasal 72 dinyatakan:
“Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah tersebut meliputi langkah implementasi yang
efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara,
dan bidang lain”.

75
Sedangkan peran masyarakat, sebagaimana tertera dalam Undang-undang No. 11
Tahun 2005 (bagian Pembukaan Kovenan), dinyatakan bahwa: individu bertanggung jawab
untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM dalam kaitannya dengan individu lain
dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan Deklarasi Umum HAM, cita-cita
umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan
kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat
menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politiknya.
Dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2005 (bagian Pembukaan Kovenan) juga
dinyatakan bahwa: setiap manusia mempunyai kewajiban pada manusia lainnya dan terhadap
masyarakat di mana ia menjadi bagian, serta bertanggung jawab untuk memajukan dan
mematuhi hak-hak yang diakui dalam Kovenan.
Peran masyarakat sebagai individu atau sebagai kelompok baik dalam bentuk
organisasi masyarakat yang tidak berbadan hukum maupun yang berbadan hukum, termasuk
dunia usaha, menjadi sangat penting dalam “pemajuan dan penaatan HAM dalam kaitannya
dengan individu lain dan masyarakatnya”.

10. Perempuan dan Media Massa


Di bidang media massa, telah banyak media cetak yang memberikan gambaran tentang
pemajuan perempuan Indonesia dan berbagai perjuangan perempuan. Majalah perempuan
Femina, Kartini, Ayah Bunda, tabloid Nova, Aura, Jelita, Wanita Indonesia dan berbagai
terbitan Yayasan Jurnal Perempuan, Institut Perempuan, dan lembaga perempuan lainnya,
merupakan beberapa bentuk media dan lembaga yang secara konsisten menyampaikan
informasi kepada publik tentang kehidupan dan perjuangan perempuan.
Namun, masih banyak media massa, baik cetak maupun elektronik yang
mengeksploitasi perempuan melalui penerbitan ataupun tayangan yang berbau pornografi.
Bangsa Indonesia sudah lama merasakan dampak negatif dari pornografi yang mempengaruhi
perilaku dan akhlak generasi muda, serta pengaruh buruknya terhadap sendi-sendi tatanan
moral keluarga, masyarakat dan bangsa. Sebagai bangsa yang beragama, sudah lama berniat
untuk segera menuntaskan peperangan terhadap pornografi sehingga anak-anak dapat
tumbuh dalam suasana yang kondusif bagi perkembangan kepribadian sebagai upaya
menjadikan generasi penerus bangsa yang kuat dan tangguh.
Akan tetapi menjadi sangat kontradiktif ketika Kantor Berita Associated Press (AP)
memberitakan bahwa Indonesia merupakan negara urutan kedua setelah Rusia yang menjadi
surga bagi pornografi (Republika, 17 Juli 2003).

Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 10 ayat (h)
menyatakan bahwa negara menjamin hak perempuan untuk dapat memperoleh
penerangan edukatif khusus untuk membantu menjamin kesehatan dan kesejahteraan
keluarga, termasuk penerangan dan nasehat mengenai keluarga berencana. Pasal 14 ayat
(2) huruf (h) menyatakan bahwa negara menjamin hak perempuan untuk menikmati kondisi
hidup yang memadai, termasuk dalam bidang komunikasi.
Landasan aksi Beijing yang berkaitan dengan perempuan dan media massa adalah: (a)
Meningkatkan partisipasi dan kesempatan perempuan untuk berekspresi dan mengambil
keputusan di dalam dan melalui media massa serta teknologi-teknologi komunikasi yang
baru (b) Memajukan gambaran-gambaran yang seimbang dan tidak klise tentang
perempuan dalam media.
Perihal perempuan dan media massa ini tidak ada dalam MDGs

76
Fakta di lapangan nampaknya membenarkan hal itu, ditandai dengan sangat mudahnya
setiap orang untuk mendapatkan Video Compact Disc (VCD) porno, media cetak (majalah,
tabloid), maupun media interaktif (internet) yang menjurus pada hal-hal yang berbau porno.
Tayangan dan obrolan seks di radio dan televisi juga semakin "berani" memberitakan berbagai
aktifitas seksual yang dibungkus dengan nada yang berkesan permisif.
Koordinator Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM)
mengungkapkan bahwa kasus-kasus pornografi sangat erat hubungannya dengan
perdagangan orang. Sejumlah pelaku pornografi di berbagai tempat merupakan korban
perdagangan orang. Mereka melakukan perbuatan itu karena dipaksa oleh orang yang
mempekerjakan karena terlilit utang atau diancam. Menurut pantauan LRC-KJHAM, Jawa
Tengah termasuk salah satu kantung perdagangan orang yang telah beberapa kali menjerat
korbannya dan dijual untuk berbagai tujuan, termasuk tujuan seksual, kerja paksa, maupun
perbudakan (SMCybernews, 5 Januari 2005).

Tabel 55. Jumlah Kasus Pornografi Di Indonesia,


Tahun 1999-2006.
No. Tahun Kasus Barang Bukti Disita
1. 1999 3 • VCD Porno.
2. 2001 1 • DVD Porno
3. 2002 1 • MP3 Porno
• Buku Porno.
4. 2003 2 • Novel Porno.
5. 2004 2 • Majalah Porno.
• Cover VCD Porno.
6. 2005 Desember-
• Casing Nokia Porno.
Januari 2006.
299 • Album Porno.
• Tabloid Porno.
• Gambar Porno.
Sumber: Bareskrim Mabes Polri, 2007.

Sejauh ini, Polisi tetap gencar merazia perdagangan video compact disc, digital video
disc, dan tabloid porno di berbagai daerah antara lain di kawasan Glodok, Jakarta Barat
(Januari 2006). Selain pasar elektonik, Glodok memang terkenal sebagai pusat VCD dan DVD
bajakan. Dalam operasi itu, polisi menangkap pedagang yang menjual tabloid porno serta
menyita VCD dan DVD porno bajakan, dan tabloid porno (Liputan 6. SCTV). Namun karena
landasan hukum yang ada hanya memberikan ancaman hukuman yang ringan, tindakan polisi
seringkali tidak efektif. Untuk itu diperlukan adanya undang-undang yang memberikan
ancaman hukuman diperberat bagi pelaku pornografi. Undang-undang ini sangat perlu, karena
menurut Komnas Perlindungan Anak (2006), sudah banyak siswa-siswi SMA yang terlibat
kasus pornografi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pornografi telah sampai pada suatu taraf
yang mengancam moralitas dan membahayakan generasi muda. Menurut catatan Komnas
Perlindungan Anak, pada tahun 2007 tercatat kasus kriminal sebanyak 745.817 orang,
diantaranya terdapat 14 kasus pornografi (Pernyataan Ketua Umum KPA, Seto Mulyadi 20 Juli
2008)

77
Selain tindakan hukum, berbagai upaya sosialisasi, advokasi dan tindakan pencegahan
lainnya telah dilakukan. Namun, belum mampu membendung dan mengatasi masalah
pornografi secara keseluruhan, pornografi telah berkembang menjadi industri yang kuat dan
menguntungkan, yang tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu
untuk “merusak” bangsa Indonesia sebagaimana terorisme. Bangsa Indonesia harus bersatu-
padu menggalang kekuatan agar mempunyai daya tangkal kuat, sehingga mampu
membendung dan melindungi anak dan generasi muda Indonesia dari bahaya pornografi.
Tahun 2005, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Negara Pemuda dan
Olah Raga, Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika serta Kepala Kepolisian
Negara RI menandatangani Keputusan Bersama tentang Keluarga Bersih Pornografi, yang
ditindak-lanjuti dengan penyusunan Rencana Aksi Nasional Mewujudkan Keluarga Bersih
Pornografi, yang diharapkan dapat secara efektif melindungi generasi muda dari bahaya
pornografi.
Peran perempuan dalam media massa mengalami peningkatan khususnya setelah era
reformasi ketika kebebasan pers dijamin oleh undang-undang. Namun, jumlah dan
kedudukannya belum memuaskan sebagaimana disampaikan oleh Maria Hartiningsih (2007),
jumlah wartawan perempuan dalam tahun 1986-1997 hanya berkisar antara 10-12 persen dari
seluruh jumlah wartawan Indonesia yang tercatat dalam data Ikatan Perusahaan Penerbitan
Pers Nasional (IPPPN), dan dari jumlah itu tak lebih seperlimanya menduduki jabatan-jabatan
struktural yang ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan redaksional.
Keterlibatan perempuan pada Redaksi Poskota salah satu harian dengan oplah
terbesar yang populer dikalangan masyarakat menengah ke bawah di Jakarta, masih sangat
terbatas yang diindikasikan dari jumlah wartawan perempuan yang hanya 6 orang
dibandingkan jumlah wartawan laki-laki yang mencapai 50 orang (Ekawenats, 2006).

11. Perempuan dan Lingkungan


Hubungan perempuan dengan lingkungan tidak dapat dipungkiri kedekatannya karena
lingkungan menjadi pendukung bagi keluarga dalam membina kehidupan yang sehat dan
sejahtera, serta dalam mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Perempuan memiliki
peran penting sebagai konsumen yang mampu mengatur diri dan keluarganya dalam
membantu mengatasi masalah lingkungan yang mencakup: air, energi, kesehatan, pertanian
dan keanekaragaman hayati. Perempuan bisa menghemat air, energi dan menambah tanaman
obat-obatan. Sebagai ibu yang relatif lebih dekat dengan anak-anak, perempuan bisa mendidik
anaknya itu untuk sadar lingkungan.

78
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 14 ayat (2)
huruf (h) menyatakan bahwa negara menjamin hak perempuan untuk menikmati kondisi
hidup yang memadai, terutama yang berhubungan dengan perumahan, sanitasi,
penyediaan listrik dan air, pengangkutan dan komunikasi.
Landasan aksi Beijing yang berkaitan dengan perempuan dan lingkungan adalah: (a)
Melibatkan perempuan secara aktif di dalam pengambilan keputusan mengenai lingkungan
di semua tingkat (b) Meningkatkan kepedulian dan perspektif gender ke dalam kebijakan-
kebijakan dan program-program untuk pembangunan berkelanjutan (c) Memperkokoh atau
membentuk mekanisme-mekanisme pada tingkat nasional, regional dan internasional untuk
menilai dampak pembangunan dan kebijakan-kebijakan lingkungan terhadap perempuan.
Landasan aksi mengenai perempuan dan lingkungan ini sejalan dengan tujuan ketujuh
MDGs yaitu: “memastikan kelestarian lingkungan hidup” dengan indikator: (a) proporsi luas
lahan yang tertutup hutan, (b) rasio luas kawasan lindung terhadap luas daratan, (c) energi
yang dipakai (setara barel minyak) per PDB (juta rupiah), (d) emisi CO2 per kapita, (e)
jumlah konsumsi zat perusak ozon (metrik ton), (f) proporsi penduduk berdasarkan bahan
bakar untuk memasak, (g) proporsi penduduk yang menggunakan kayu bakar dan arang
untuk memasak, (h) proporsi penduduk dengan akses terhadap sumber air minum yang
terlindungi dan berkelanjutan, (i) proporsi penduduk dengan akses terhadap fasilitas
sanitasi yang layak, (k) proporsi rumah tangga dengan status rumah milik atau sewa.

Namun, perempuan juga masih mengalami kekerasan berkaitan dengan lingkungan


hidupnya. Ini terjadi karena penyalahgunaan sistem kapitalisme untuk mengalahkan
kepentingan perempuan terhadap rumah tinggalnya, sawah dan ladangnya, serta berbagai
kepentingan di tempat-tempat pengungsian baik sebagai korban bencana alam maupun
bencana sosial/konflik. Dalam pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan lingkungan
hidup, perempuan sering menjadi korban kekerasan baik fisik maupun psikis ketika harus
berhadapan dengan korporasi atau pengembang yang memerlukan lahan untuk pembangunan
perumahan, pertokoan, perkebunan besar, pertambangan dan lain-lain.

Sementara untuk kehidupan rumah tangganya, perempuan secara bijaksana mengatur


kebutuhan energi untuk memasak dan lainnya, walaupun masih banyak yang harus memenuhi
kebutuhan air bersih dari sumur dan mata air yang tak terlindung.

Tabel 56. Konsumsi per Bulan dan Prosentase Rumah Tangga yang
Menggunakan Minyak Tanah, Gas/ LPG dan Kayu Bakar Tahun
2003 dan 2004.
Minyak Tanah Gas/LPG Kayu Bakar
No. Tahun Konsumsi per % RT yg Konsumsi per % RT yg % RT yg
bulan (liter) menggu-nakan bulan (Kg) menggu-nakan menggu-nakan
1. 2003 18,50 88,85 14,24 10,07 51,88
2. 2004 17,33 88,95 13,98 10,95 47,71
Sumber: BPS, Susenas 2003, 2004

79
Tabel 57. Prosentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum Tahun
2003, 2004, 2005, dan 2007.
Sumur Mata Air
No. Tahun Leding Pompa Tak Tak
Terlin- Terlin-
terlin- terlin-
dung dung
dung dung
1. 2003 32,04 21,88 30,67 5,96 2,26 0,75
2. 2004 17,96 14,37 35,95 11,16 8,07 4,04
3. 2005 17,97 13,73 35,63 9,75 8,52 3,96
4. 2007 16,18 17,62 30,07 10,32 7,86 4,77
Sumber: BPS, Susenas 2003, 2004, 2005, 2007.

Tabel 58. Prosentase Rumah Tangga dengan Fasilitas Tempat Buang Air
Besar, Tahun 2003, 2004, 2005, dan 2007.
No. Tahun Sendiri Bersama Umum Tidak Ada
1. 2003 58,80 11,55 5,27 24,38
2. 2004 61,62 11,05 5,25 22,08
3. 2005 60,29 13,59 6,17 19,96
4. 2007 59,86 12,95 4,33 22,85
Sumber: BPS, Susenas 2003, 2004, Inkesra 2005, 2007.

Gambar 15.

Prosentase Rmh Tangga Dg Fasilitas Buang Air Besar


2003, 2004, 2005, 2007 (BPS, 2007)

70
59.86
60
61.62
50
2003
60.29
40 2004
58.8
24.38 2005
30 19.96
11.55 2007
20 13.59
5.27 22.08
5.25 4.33 22.85
10
11.05 12.95
6.17
0

80
12. Anak-anak Perempuan

Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, dan negara wajib
menghormati dan menjamin hak-hak anak (pendidikan, kesehatan, menyatakan pendapat,
kemerdekaan berpikir, hati nurani dan agama, kemerdekaan berserikat, perlindungan hukum,
dan lain-lain) tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal-usul bangsa, suku bangsa atau
sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain dari anak atau dari orang tua anak
atau walinya yang sah menurut hukum.

Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 3


mewajibkan negara membuat peraturan perundang-undangan di semua bidang, khususnya
di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan
kemajuan perempuan (termasuk anak) sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin
mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok atas
dasar persamaan dengan laki-laki. Pasal 6 selanjutnya menyatakan bahwa negara wajib
membuat peraturan perundang-undangan untuk memberantas segala bentuk perdagangan
perempuan (anak) dan eksploitasi pelacuran. Pada Pasal 16 ayat (1) huruf (a), negara
menjamin hak perempuan (anak) untuk memasuki jenjang perkawinan; (b) hak untuk
memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang perkawinan hanya dengan
persetujuan yang bebas dan sepenuhnya. Pasal 16 ayat (2) menyatakan bahwa
pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum, dan
negara wajib menetapkan usia minimum untuk kawin dan mewajibkan pendaftaran di
Kantor Catatan Sipil.
Landasan aksi Beijing yang berkaitan dengan anak-anak perempuan adalah: (a)
Menghapuskan semua bentuk diskriminasi terhadap anak-anak perempuan (b)
Menghapuskan sikap dan praktek budaya yang negatif terhadap anak-anak perempuan (c)
Memajukan dan melindungi hak-hak anak perempuan dan meningkatkan kesadaran akan
kebutuhan-kebutuhan dan potensi anak-anak perempuan (d) Menghapuskan diskriminasi
terhadap anak-anak perempuan dalam bidang pendidikan, peningkatan ketrampilan dan
pelatihan-pelatihan (e) Menghapuskan diskriminasi terhadap anak-anak perempuan dalam
bidang kesehatan dan gizi (f) Menghapuskan eksploitasi ekonomi terhadap buruh anak dan
melindungi anak-anak perempuan di tempat kerja (g) Menghapuskan tindak kekerasan
terhadap anak-anak perempuan (h) Memajukan kesadaran anak-anak perempuan dan
partisipasi mereka dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik (i) Memperkuat peranan
keluarga dalam meningkatkan kedudukan anak-anak perempuan.
Masalah anak-anak perempuan ini secara eksplisit tidak disebutkan dalam MDGs.

Tahun 1979 Indonesia menetapkan Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang


Kesejahteraan Anak, dan pada tahun 1990 meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak melalui
Keputusan Presiden RI No. 39 Tahun 1990. Tahun 1997 Indonesia menetapkan Undang-
undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan kemudian meratifikasi Konvensi ILO
Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak melalui Undang-undang No. 1 Tahun 2000. Selanjutnya,
Indonesia menetap-kan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Negara mengakui fungsi penting media massa dan menjamin anak bisa memperoleh
akses atas informasi dari sumber nasional dan internasional untuk meningkatkan kehidupan
sosial, spiritual, dan moralnya dan untuk kesehatan rohani dan jasmaninya. Untuk itu, negara

81
akan mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang layak
guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, eksploitasi termasuk
eksploitasi seksual dan narkoba. Negara juga menjamin anak yang cacat untuk menikmati
kehidupan yang penuh dan layak, dalam keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan
percaya diri dan mempermudah peran serta aktif anak dalam masyarakat.
Namun, budaya patriarki dan stereotype bias gender yang masih kuat dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan menimbulkan beragam diskriminasi terhadap perempuan dan anak-
anak perempuan, di berbagai bidang dan wilayah. Diratifikasinya CEDAW tahun 1984 dan
Konvensi Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta Hak-hak Sipil dan Politik tahun 2005,
belum menyurutkan praktek-praktek penyenjangan kesetaraan hak perempuan dan anak-anak
perempuan. Instrumen internasional yang telah diratifikasi Indonesia sering berbenturan
dengan regulasi domestik baik nasional maupun peraturan daerah yang kurang mendukung
kesetaraan hak laki-laki dan perempuan.
Anak-anak jalanan merupakan produk dari keluarga yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Anak-anak ini dipaksa turun ke jalanan untuk membantu keluarganya, dan
menelantarkan hak mereka dalam mendapatkan pendidikan.

Tabel 59. Jumlah Anak Jalanan Di Indonesia dan beberapa


Kota Besar, Tahun 1996-2006.

No. Wilayah/Kota Jumlah Anak Jalanan


1. Indonesia 60.000 anak (1999)  1,3 juta (2001)  144.889 anak (2006).
2. Jakarta 13.000 anak (1998)  1.135 anak (2001)  1 juta (2005).
3. Kota Bandung 2-3 ribu anak (1998)  6-8 ribu (1998)  10-12 ribu (2002).
4. Kabupaten Bandung 417 anak (1998)  4.000 anak (2001) di 120 kantong wilayah, 12 % anak
perempuan.
5. Semarang 200 anak (2000), dan terus meningkat.
6. Surabaya 2.000 anak (2000)  3.005 anak (2001) di 134 kantong wilayah.
7. Sulawesi Selatan 4.026 anak di 57 lokasi (1999)  6.000 anak (2000).
Sumber: Depsos (2007), BPS, Komnas Anak (2006), serta dari sumber lainnya.

Departemen Sosial (2007) melaporkan bahwa jumlah anak jalanan menurun menjadi
144.889 anak tahun 2006, akan tetapi jumlah anak terlantar tahun 2006 meningkat menjadi
2.815.393 anak, tidak termasuk anak balita terlantar sebanyak 618.296 anak. Pada tahun 2006
jumlah anak nakal tercatat 232.894 orang, sedang anak korban tindak kekerasan sebanyak
182.406 orang.
Krisis moneter telah menyebabkan berkurangnya pendapatan keluarga secara
mendadak yang memaksa anak-anak ke jalanan dan meninggalkan sekolah untuk mencari
tambahan pendapatan. Karena kehidupannya itu, menyebabkan anak-anak tidak mempunyai
cukup pendidikan dan hanya sedikit mempunyai kesempatan untuk keluar dari kemiskinan.
Anak tersebut sangat rentan untuk bertindak kriminal dan menimbulkan masalah yang lebih
besar dalam kehidupan masyarakat. Namun, krisis moneter bukanlah satu-satunya penyebab
karena walau perekonomian bangsa Indonesia telah berangsur pulih, kondisi tersebut tidak
mengurangi jumlah anak jalanan. Selain minimnya peluang kerja, ada alasan lain yang
membuat anak-anak tetap di jalanan yaitu uang pemberian masyarakat.
Sadar ataupun tidak, masyarakat telah terjebak oleh rasa “kasihan” serta “ketakutan
akan tindak kejahatan di jalanan”. Perasaan tersebut telah dimanfaatkan oleh anak jalanan

82
bahkan merembet pada orang tuanya untuk menjadikan komoditas “kasihan” bagi sumber
pendapatannya. Sudah menjadi hal yang biasa, ibu-ibu ngamen dengan membawa anak, dan
lebih tragis lagi adalah anak-anak dikelola di jalanan di bawah ancaman.
Pendapatan seorang anak jalanan cukup besar, karena dalam sehari dapat
memperoleh uang Rp 20-40 ribu. Selain untuk orang tuanya, uang tersebut juga untuk
koordinator, dan dirinya sendiri. Sebagian hasilnya digunakan untuk menyambung hidup dan
biaya sekolah, namun sebagian besar digunakan untuk judi, mabuk, ”ngelem”, merokok
bahkan untuk membeli narkoba.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa pemberian uang ”kasihan” dari masyarakat telah
menimbulkan dampak negatif bagi nasib anak jalanan. Secara tidak langsung uang ”kasihan”
tersebut merupakan investasi masyarakat untuk kemalasan, kebodohan, kriminalitas, dan
masa depan suram bagi anak-anak yang diberi. Masyarakat perlu menyadari dan merubah
sikap untuk tidak memberikan uang ”secara langsung” kepada anak jalanan, tetapi
memberikannya dalam bentuk “kesempatan”.

Terdapat beberapa alternatif “kesempatan” yang diperlukan oleh anak jalanan, yaitu:
• Pendampingan untuk memulihkan kepercayaan diri dari perasaan tersingkirkan dan tidak disayangi. Uang
”kasihan” masyarakat dapat dialihkan menjadi “waktu” pendampingan yang mengekspresikan “penerimaan
masyarakat” untuk mengatasi “luka masa lalu” anak jalanan.
• Bantuan Pendidikan berupa pendampingan bimbingan belajar, beasiswa, dan bimbingan ujian persamaan.
• Bantuan Kesehatan dalam bentuk penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan, subsidi obat-obatan serta
subsidi perawatan kesehatan melengkapi program Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin) dari
Pemerintah.
• Penyediaan Lapangan Pekerjaan dengan menerima anak jalanan yang cukup umur untuk bekerja di
perusahaannya.
• Bantuan Pangan yang diadakan melalui bazaar sembako murah, tetapi tidak gratis.

Kepedulian terhadap anak jalanan adalah baik adanya, namun jika dilakukan dengan
kurang tepat terkadang justru malah menjerumuskan karena tidak memberikan tetapi
memberikan umpan dan kondisi ini akan berpengaruh terhadap masa depannya. Dengan
adanya upaya konversi terhadap “uang” yang diberikan, diharapkan dapat meningkatkan minat
dari anak jalanan untuk keluar dari jalanan dan kembali hidup normal dan menjadi manusia
yang bebas serta tidak tergantung dari belas kasihan.
Departemen Sosial melalui hibah dari Badan Pangan Dunia (UN-WFP) sejak tahun
2006 menginisiasi pembangunan pusat pelayanan sosial (Social Development Center, SDC)
bagi anak bermasalah seperti anak jalanan, anak terlantar, putus sekolah, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak yang membutuhkan perlindungan khusus (korban
perdagangan orang, tindak kekerasan) dan lain-lain. Jenis pelayanan yang diberikan meliputi:
layanan pendidikan, kesehatan, kesenian dan kebudayaan, bimbingan sosial, olah raga,
keterampilan kerja dan konseling psikososial.
Anak-anak cacat hingga saat ini belum terdata dengan akurat karena sensus penduduk
belum secara khusus mencatatnya. Menurut survei Departemen Sosial tahun 1987, jumlah
penyandang cacat di Indonesia adalah 3,11 persen dari populasi penduduk, yang meliputi:
cacat netra (0,90 %), cacat tubuh (0,85 %), cacat kronis (65 %), cacat mental (0,45 %) dan RW
(0,31%), dan jumlahnya cenderung meningkat pada seluruh jenis kecacatan, kecuali pada
cacat tuli.

83
Menurut WHO (2005), jumlah penderita cacat sebanyak 5 persen dari 220 juta lebih
penduduk Indonesia atau sekitar 10,5 juta jiwa. Mayoritas penderita cacat di Indonesia
disebabkan faktor kemiskinan, kurang gizi, atau infeksi selama proses kehamilan dan
kelahiran. Pada tahun 2006 Departemen Sosial telah menangani 295.763 anak cacat di
Indonesia.

Tabel 60. Jumlah Anak Cacat dan Jenis Kecacatan


Indonesia, Tahun 2000-2005.
No. Kecacatan 2000 2003 2005
1. Tubuh 114,5 anak *) 156,9 anak *) Dta

2. Mental + 59 anak *) 118,1 anak *) Dta


3. Buta Dta 78,8 ribu anak Dta
4. Bisu Dta 73,1 ribu anak Dta
5. Tuli/bisu Dta 42,7 ribu anak Dta
6. Tuli Dta < 30 ribu anak Dta
7. Jiwa Dta < 30 ribu anak Dta
8. Keseluruhan Dta 6,4 juta anak 6,7 juta anak
*) per seribu penduduk usia 0-21 tahun.
Dta: data tidak ada.
Sumber: BPS, Indikator Kesejahteraan Anak 2005.

Budaya malu sering disandang oleh suatu keluarga yang memiliki anggota keluarga
yang cacat dan sering disembunyikan karena hal tersebut merupakan aib bagi keluarga. Selain
itu, para penyandang cacat menghadapi banyak diskriminasi di berbagai tempat, tidak saja di
tempat kerja tetapi juga di ruang publik. Meskipun beberapa pabrik telah melakukan upaya
khusus untuk mempekerjakan penyandang cacat, tetapi prosentasenya relatif masih kecil.
Beberapa provinsi telah mendirikan "pusat-pusat rehabilitasi" bagi penyandang cacat yang
diambil dari jalan-jalan dibawa ke pusat rehabilitasi untuk latihan kerja. Banyak penyandang
cacat yang terpaksa hidup dari mengemis dan setringkali dieksploitir oleh orang-orang tidak
bertanggung jawab untuk dikaryakan.
Undang-undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan
Pemerintah No. 43 Tahun 1998, mengamanatkan adanya penyediaan akses bagi penyandang
cacat di bidang pendidikan, pekerjaan dan bantuan bagi penyandang cacat; mewajibkan
perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100 orang untuk menyisihkan satu persen bagi
penyandang cacat; mengamanatkan penyediaan fasilitas bagi kaum penyandang cacat.
Sejauh ini, penyedia utama pendidikan bagi kaum cacat adalah LSM (67 %). Dari 1.084
sekolah luar biasa bagi kaum cacat, sebanyak 680 diantaranya dikelola swasta dan 404
dikelola pemerintah. Sebanyak 165 dari 404 sekolah luar biasa yang dikelola pemerintah,
"diintegrasikan" dengan pendidikan reguler. Dari 98 sekolah bagi kaum cacat di Jakarta, hanya
2 (dua) diantaranya dikelola pemerintah sementara sisanya yang 96 dikelola swasta. Terdapat
3 (tiga) sekolah nasional bagi kaum tuna-netra, tuna-rungu dan tuna-grahita yang dikelola
pemerintah. Sekolah tersebut menerima siswa dari seluruh negeri.
Dari keseluruhan anak-anak cacat di Indonesia, baru 55.000 anak yang tertampung di
sekolah luar biasa dan hanya 6.000 yang dapat menikmati sekolah inklusi. Sekolah inklusi
adalah sekolah yang menempatkan anak biasa dengan anak berkebutuhan khusus di satu

84
tempat. Sekolah yang dirintis sejak tahun 2000 ini bertujuan meningkatkan akses pendidikan
bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan menjadikan sekolah umum ramah pembelajaran
dan diharapkan anak-anak cacat tersebut dapat menikmati pendidikan.
Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam memberikan pendidikan pada anak-
anak penyandang cacat. Masyarakat tidak boleh mengabaikan potensi anak cacat, dan
menghilangkan pandangan bahwa kecacatan adalah penghalang untuk berbuat sesuatu yang
produktif. Masyarakat harus memberikan kesempatan kepada para penyandang cacat untuk
membuktikan kemampuannya. Jumlah panti asuhan dan anak asuh dalam panti di Indonesia
tahun 2002 – 2007 dapat dilihat pada grafik sebagai berikut (BPS, Indikator Kesejahteraan
Anak 2005 dan Depsos 2008) sebagai berikut :

Gambar 16

Jumlah Panti 2002-2007

50
2002
40 2,865 4,336 4,407
2003
30 3,377 4,111
2,229 2004
20 2005
10 2006

0 2007
Panti

Gambar 17

Jumlah Anak Asuh 2002-2007

60 2002
98,000 134,295
50 125,000 150,000 2003
40 131,285
127,000 2004
30
2005
20
10 2006
0 2007
Anak Asuh (org)

Upaya seorang pengusaha kecil asal Jawa Timur telah berhasil membina anak-anak
cacat dan putus sekolah hingga bisa mandiri, mendapat penghargaan The Global Micro-
entrepreneur Awards pada Acara Peluncuran Tahun Internasional Kredit Mikro 2005 di Markas
PBB, New York bulan November 2004. Pengusaha tersebut berusaha dibidang kerajinan
tangan tradisional berupa anyaman tas yang produknya sudah dipasarkan ke luar negeri.
Dengan modal awal hanya Rp 500.000,-, perlahan-lahan membangun usaha sekaligus

85
membina anak-anak cacat dan putus sekolah. Ia bekerjasama dengan koperasi untuk
permodalan usahanya, berkembang dari kecil hingga besar. Kini sudah banyak anak-anak
binaannya yang bisa mandiri, dan telah berhasil memasarkan produknya selain ke berbagai
daerah di dalam juga ekspor ke luar negeri. Upaya seperti ini perlu diperluas agar semakin
banyak penyandang cacat yang memperoleh pekerjaan dan mandiri.
Pekerja anak muncul karena tingginya angka kematian ibu (AKI) yang menyebabkan
banyak anak-anak dilahirkan tidak pernah mengenal kasih sayang, karena ibu yang melahirkan
telah meninggal saat persalinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir 50 persen bayi
yang dilahirkan akan segera meninggal menyusul kematian ibunya. AKI juga menyebabkan
kelangsungan pendidikan anak menjadi persoalan, karena terancam tidak mampu melanjutkan
sekolah atau terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah/putus sekolah, bahkan sebelum
menyelesaikan tingkat pendidikan menengah.
Implikasi lain yang tidak bisa dihindari adalah, sebagian anak-anak Indonesia terpaksa
harus bekerja sehingga dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Sebagian di antara anak-
anak tersebut terpaksa menjadi pembantu rumah tangga (PRT), dan ada pula yang bekerja di
pabrik dengan beban kerja yang tidak layak dialami seorang anak. Sebagian lagi terpaksa
dinikahkan pada usia dini, sehingga menjadi pemicu terjadinya malapetaka ketika reproduksi.
Sementara Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan
bahwa anak-anak (dibawah 18 tahun) hanya boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin
orang tua dan bekerja maksimal 3 jam sehari.

Tabel 61. Jumlah Pekerja Anak Indonesia Menurut


Perdesaan dan Perkotaan, Tahun 2000-2006.
No. Tahun Perkotaan Perdesaan Jumlah
1. 1995 Dta Dta 1,644 juta
2. 1996 Dta Dta 1,768 juta
3. 1997 Dta Dta 1,802 juta
4. 1998 Dta Dta 2,183 juta
5. 2000 Dta Dta 2,3 juta *)
6. 2002 Dta Dta 842.228 **)
7. 2003 Dta Dta 566.526 **)
8. 2004 Dta Dta 673.500 **)
9. 2005 Dta Dta 516.100 **)
10. 2006 Dta Dta 721.615
*) Tidak termasuk anak di bawah 10 tahun yang bekerja di sektor informal.
**) Pekerja anak di bawah 15 tahun.
Dta: data tidak ada.
Sumber: Depnakertrans, 2000; IBPS, Indikator Kesejahteraan Anak 2005; Komnas Anak (2007).

Komnas Anak (2006, 2007) melaporkan bahwa tahun 2005 ada sedikitnya 4,55 juta
pekerja anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT), dipaksa sebagai pelacur,
bekerja di jalanan, di sektor industri dan pertambangan, pertanian dan perkebunan serta
nelayan. Tahun 2006, ada 1.211.915 anak yang tidak terpenuhi hak-haknya karena harus
bekerja, tinggal di jalanan, menjadi korban perdagangan orang dan eksploitasi seksual.

86
Pekerja anak lebih banyak berada di perdesaan (3,35 %) dibandingkan di perkotaan
(0,91 %) dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian, mencapai 74 persen tahun 2002,
menurun menjadi 63 persen tahun 2003, tetapi meningkat lagi menjadi 67 persen tahun 2005,
lainnya bekerja pada sektor industri dan jasa. Selama lima tahun terakhir, pekerja anak laki-laki
lebih besar (69 %) daripada anak perempuan (43,9-53,8 %), tetapi di sektor industri dan jasa,
lebih banyak pekerja anak perempuan dari pada laki-laki (BPS, Sakernas 2002-2003, Indikator
Kesejahteraan Anak, 2005).
Anak-anak lebih banyak bekerja di sektor non-formal dibandingkan sektor formal. Sektor
non-formal dimaksud antara lain adalah berusaha sendiri sebagai penjual koran, penyemir
sepatu, tukang parkir, atau jenis pekerjaan lain. Mereka yang bekerja bebas di sektor pertanian
dan non pertanian sebagian besar (69 %) adalah pekerja tidak dibayar karena harus
membantu usaha orang tua atau keluarga.

Tabel 62. Jumlah dan Jenis Permasalahan Sosial Anak,


Tahun 2000 s/d 2007
PERMASALAHAN 2000 2002 2004 2006 2007

Balita Terlantar 1.140.166 1.178.824 1.138.126 618.296 1.467.000

Anak Terlantar 3.244.144 3.488.309 3.308.642 2.815.393 3.940.300

Anak Nakal 161.505 193.155 189.075 228.851 203.151

Anak Jalanan 59.517 94.674 98.113 144.889 104.497

Anak Cacat 358.738 367.520 365.868 295.763 363.788

Anak Korban 10.424 43.708 48.526 182.406 78.435


Tindak Kekerasan
Sumber : Pusdatin Kesos, Depsos RI, 2008

Akte kelahiran sebagai hak warga negara untuk memperoleh identitas, belum dimiliki
oleh semua anak-anak Indonesia. Menurut Komnas Perlindungan Anak Indonesia (2006),
hanya 40 persen anak-anak usia 5 tahun yang memiliki akte kelahiran. Hal ini disebabkan
antara lain karena sulitnya birokrasi dan diskriminasi, tingginya biaya pengurusan akte, lokasi,
prosedur dan persyaratan yang rumit yang menyebabkan rendahnya keinginan masyarakat
untuk mencatatkan kelahiran. Untuk mengatasi masalah ini, banyak Pemerintah
kabupaten/kota yang membebaskan warganya, khususnya penduduk miskin, dari biaya
pengurusan akte kelahiran.

87
Tabel 63. Jumlah dan Jenis Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak,
Periode 2002 s/d 2005
No. Jenis 2002 2003 2004 2005
1. Setubuh 36 45 78 17
2. Perkosa 235 329 426 85
3. Sodomi 1 3 13 22
4. Cabul 224 246 412 79
5. Pelecehan 74 119 64 10
6. Aniaya 346 604 607 227
7. Bunuh 21 29 53 23
8 Bawa lari anak dan Prp 87 115 138 54
9 Zina 47 70 98 44
10 Miras 4 - 2 -
Jumlah 1.085 1.460 1.891 561

Tabel 64. Jumlah dan Jenis Permasalahan Sosial Anak,


Tahun 2000 s/d 2007
PERMASALAHAN 2000 2002 2004 2006 2007

Balita Terlantar 1.140.166 1.178.824 1.138.126 618.296 1.467.000

Anak Terlantar 3.244.144 3.488.309 3.308.642 2.815.393 3.940.300

Anak Nakal 161.505 193.155 189.075 228.851 203.151

Anak Jalanan 59.517 94.674 98.113 144.889 104.497

Anak Cacat 358.738 367.520 365.868 295.763 363.788

Anak Korban 10.424 43.708 48.526 182.406 78.435


Tindak Kekerasan

Total
Sumber : Pusdatin Kesos, Depsos RI, 2008

88
Tabel 65. Jumlah dan Jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Korban
Bencana, Tahun 2000 s/d 2007
JENIS PMKS 2000 2002 2004 2006 2007

Korban Bencana 1.400.084 1.010.766 1.139.363 3.792363 2.888.141


Alam

Korban Bencana 1.142.034 850.432 654.952 15.352 172.664


Sosial

Total 2.542.118 1.861.198 1.794.315 3.809.138 3.060.805


Sumber : Pusdatin Kesos, Depsos RI, 2008

Tabel 66. Jumlah dan Jenis Permasalahan Sosial Anak,


Tahun 2000 s/d 2007
JENIS PMKS 2000 2002 2004 2006 2007

WRSE 1.360.263 1.449.203 1.253.921 1.342.619 1.184.400

13. KEMITRAAN
Kemajuan sistem informasi, komunikasi dan transportasi yang sangat pesat akhir-akhir
ini telah mempercepat terjadinya proses globalisasi di segala bidang. Indonesia sebagai
negara kepulauan (archipelago), harus mampu memanfaatkan kemajuan sistem informasi,
komunikasi dan transportasi tersebut sehingga Negara Kesatuan RI dapat benar-benar
mewujud dalam satu kesatuan wilayah dan sosial yang solid.
Sistem informasi dan komunikasi harus dipergunakan dengan bijaksana sehingga
kemitraan antara pemangku kepentingan baik pusat dan daerah, antar daerah, antar negara
dan dengan badan-badan internasional dapat terbina dan menguntungkan bagi pembangunan
nasional termasuk dalam angka kerjasama mengatasi berbagai kejahatan internasional lintas
batas yang banyak mengancam kehidupan perempuan dan anak Indonesia.

89
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, pada bagian
pendahuluan menegaskan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan internasional,
kerjasama timbal balik di antara semua negara, persamaan dan manfaat bersama dalam
hubungan antara negara, akan meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan, yang
dampaknya akan menunjang tercapainya persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan
perempuan. Selanjutnya pada Pasal 24 dinyatakan bahwa negara-negara peserta
mengusahakan untuk mengambil segala langkah yang perlu pada tingkat nasional yang
ditujukan pada tercapainya perwujudan sepenuhnya dari hak-hak perempuan.
Masalah kemitraan tidak terumuskan dalam 12 bidang kritis Landasan Aksi Beijing,
tetapi merupakan tujuan ke delapan MDGs yaitu ”membangun kemitraan global dalam
pembangunan”, dengan indikator: (a) komitmen untuk membangun tata pengelolaan
pemerintahan yang baik dan penanggulangan kemiskinan, tingkat nasional dan
internasional, (b) bantuan pembangunan (Official Development Assistance, ODA), (c)
bantuan pembangunan sebagai persentase bantuan negara-negara maju (target 0,7 % dari
keseluruhan dan 0,15 % untuk negara berkembang), (c) proporsi bantuan pembangunan
untuk pelayanan sosial dasar (pendidikan dasar, pelayanan kesehatan masyarakat, gizi, air
bersih dan sanitasi), (d) proporsi bantuan pembangunan yang tidak mengikat, (e) proporsi
bantuan pembangunan untuk lingkungan di negara-negara berkembang kepulauan kecil, (f)
proporsi bantuan pembangunan untuk sektor transportasi di negara-negara tanpa perairan
laut, (g) proporsi ekspor yang diterima bebas bea dan quota, (h) rata-rata tarif dan quota
pada hasil pertanian dan tekstil dan bahan pakaian (i) subsidi pertanian domestik dan
ekspor di negara-negara OECD, (j) proporsi bantuan pembangunan disediakan untuk
mengembangkan kapasitas perdagangan, (k) proporsi pembatalan resmi hutang bagi
negara (HIPC), (l) proporsi debt service sebagai persentase ekspor dari barang-barang dan
jasa-jasa, (m) proporsi bantuan pembangunan sebagai pengurangan hutang (n) negara-
negara yang telah mencapai HIPC dan penyelesaiannya, (o) angka pengangguran usia 15-
24 tahun, (p) proporsi penduduk dengan akses obat-obatan penting yang
berkesinambungan, (q) sambungan telepon per 1.000 penduduk, (r) komputer personal per
1.000 penduduk.

Kemajuan penggunaan sistem informasi dan komunikasi dalam rangka membina


kemitraan, diindikasikan antara lain dari penggunaan telepon dan komputer. Dalam hubungan
ini, pengguna telepon dan internet di Indonesia masih terbilang rendah. Berdasarkan data
Telkom tahun 2004, teledensitas (telepon tetap) ASEAN adalah 66 sambungan per 1.000
penduduk, sedangkan di Indonesia hanya 45 sambungan. Tahun 2005 (Juni), teledensitas
Indonesia meningkat menjadi 46,89 per 1.000 penduduk, tetapi bervariasi antar divisi regional.
Sampai dengan Juni 2005, sentral Telkom yang berkapasitas 10.471.744 (exchange capacity),
telah terpasang 10.269.259 saluran kabel telepon (installed lines), dan telah tersambung
sebanyak 9.168.811 sambungan telepon (line in service), berupa 92 % sambungan kabel, dan
8 persen sambungan nirkabel.

90
Tabel 67. Jumlah Sambungan Telepon dan Personal Komputer di
Indonesia dan beberapa Negara Tetangga Tahun 2002.
Sambungan “Tuan
Pelanggan Pengguna
Telepon Rumah” Jumlah PC
Negara/ Seluler per Internet per
No. Tetap per Internet per per 100
Kawasan 100 pen- 10.000
100 pen- 10.000 penduduk
duduk penduduk
duduk penduduk
1. Indonesia 3,6 5,52 2,18 1,1 191,23
2. China (RRC) 16,69 16,09 0,68 1,9 460,0
3. Malaysia 19,79 34,88 31,10 12,61 2.731,09
4. Filipina 4,17 17,77 3,94 2,17 255,69
5. Singapura 46,36 79,14 479,18 50,83 5.396,64
6. Thailand 9,87 26,02 11,75 2,78 775,61
7. Vietnam 6,85 2,34 0,06 0,98 184,62
8. Asia 12,13 12,19 29,88 3,95 557,56
Sumber: World Telecommunication Development Report 2003, ITU 2003

Tahun 2002, jumlah pelanggan telepon tetap konvensional Telkom tercatat 7,4 juta,
meningkat menjadi 7.825.152 sambungan tahun 2003 (Maret), ditambah pelanggan telkom-
flexi sebanyak 2.432 sambungan. Akan tetapi layanan telepon ini baru menjangkau 43.000 dari
sekitar 72.000 desa di Indonesia (BI, 2003). Data Ditjen Pos dan Telekomunikasi yang dikutip
Bastian (2004) menyatakan bahwa jumlah telepon tetap tahun 2004 baru sekitar 8,7 juta dan
telepon seluler sekitar 23 juta sambungan. Namun telepon seluler tersebut hanya
terkonsentrasi di kota-kota besar bahkan satu orang dapat mempunyai beberapa nomor
sambungan. Pada tahun 2002, pengguna telepon seluler baru 11.300.674 sambungan,
meningkat 81,6 persen dari pada tahun 2001 (Warta Ekonomi, 2003).
Sementara itu, jumlah pelanggan internet tahun 2002 tercatat sebanyak 667 ribu,
meningkat menjadi 800 ribu pelanggan tahun 2003, dengan jumlah pemakai internet tercatat
4,5 juta tahun 2002 dan meningkat menjadi 7,55 juta tahun 2003 (Warta Ekonomi, 2003).
Data Susenas 2005 menunjukkan bahwa hanya 13,11 persen rumah tangga di
Indonesia yang telah memiliki telepon, 19,96 persen memiliki telepon seluler dan 3,68 persen
yang memiliki komputer. Akses internet di luar rumah tangga seperti warung internet (warnet),
kantor, sekolah dan lainnya hanya sebesar 3,66 persen. Menurut laporan MDGs 2007, jumlah
sambungan telpon pada tahun 2006 mengalami penurunan menjadi 11,2 persen sambungan,
namun untuk telpon seluler meningkat menjadi 24,6 persen. Sedangkan akses internet
meningkat menjadi 4,2 persen, dan yang mempunyai komputer 4,4 persen.
Tahun 2007, International Communication Union (ITU) mengukur ICT-Opportunity
Index terhadap 183 negara berdasarkan pada 10 indikator, yaitu network index (sambungan
telepon kabel per 100 penduduk, sambungan telepon selulair per 100 penduduk, dan
international internet bandwidth); skills index (tingkat melek huruf dewasa, angka partisipasi
sekolah); uptake index (jumlah komputer per 100 penduduk, pengguna internet per 100
penduduk, dan proporsi rumah tangga yang mempunyai TV); intensity index (total broadband
internet per 100 penduduk, dan lalu lintas telepon international, menit per kapita). ICT-OI
menggambarkan peluang pertumbuhan ICT berdasarkan perkembangan network index, skills
index, uptake index dan intensity index selama tahun 2001-2005.

91
Singapura, Brunei dan Malaysia adalah negara Asean yang termasuk tinggi peluang
pertumbuhannya, sementara Thailand, Filipina, dan Vietnam termasuk negara yang peluang
pertumbuhannya sedang. Selanjutnya Indonesia, Laos, Kamboja, dan Myanmar termasuk
negara yang peluang pertumbuhan ICT-nya rendah.
Bastian (2004), sejak lama menyarankan pemerintah untuk mencari penyebab
lambannya pembangunan telekomunikasi di Indonesia karena menurut International
Telecommunication Union, penetrasi pembangunan telekomunikasi di Indonesia baru sekitar 4
persen (tahun 2004), jauh lebih rendah dari Malaysia (19,79 %), Singapura (46,36 %),
Thailand (9,87 %), Vietnam (6,85 %), dan Filipina 4,17 persen. Keadaan ini nampaknya tidak
berubah pada tahun 2007 sebagaimana tergambarkan dalam ICT-OI Tahun 2007.
Perkembangan teknologi yang sangat cepat menimbulkan terjadinya konvergensi
antara telekomunikasi dan teknologi informasi yang dikenal dengan ICT (information and
communication technology) atau telematika. Di Amerika Serikat, Malaysia, dan Singapura,
pengaturan mengenai telematika berada pada satu badan regulasi yang independen. Jika
Indonesia ingin berbuat hal yang sama, maka Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran perlu
disempurnakan. Keberadaan dua badan regulasi independen yaitu Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), perlu diperkuat.
Kedudukan BRTI saat ini dinilai sangat lemah karena hanya dibuat berdasarkan Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 2003 (Bastian, 2004).

Tabel 68. Pertumbuhan Information and Communication Technology Opportunity


Index (ICT-OI) Negara-negara Asean, Tahun 2006.

Rata-rata pertumbuhan
No. Negara tahunan ICT-OI
2001-2005

1. Singapura 47,79 346,68


2. Brunei Darussalam 36,09 156,09
3. Malaysia 39,57 150,19
4. Thailand 31,97 99,20
5. Filipina 26,87 78,81
6. Vietnam 76,19 76,66
7. Indonesia 44,87 67,68
8. Laos 66,71 39,29
9. Kamboja 41,96 28,75
10. Myanmar 111,54 19,11
Sumber: International Telecommunication Union (ITU), 2007.

92
PENUTUP___________________________________

Sebagai kalifah, manusia harus memiliki kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual
agar mampu mengelola alam secara berkelanjutan bagi kesejahteraan umat manusia. Banyak
negara membuktikan bahwa kualitas SDM sangat menentukan bagi kemajuan suatu bangsa,
dan perempuan mempunyai peran penting dalam mewujudkannya.
Pembangunan manusia Indonesia adalah upaya untuk mengembangkan kemampuan
bangsa agar sehat, berilmu pengetahuan, kreatif, mampu mengakses sumber daya, berdaya
saing, dan mampu berperan aktif dalam menentukan kebijakan pembangunan. Dalam
hubungan ini, negara bertangungjawab memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak azasi manusia, agar memiliki kearifan, pengetahuan dan keahlian dalam
mengelola lingkungan, serta memiliki wawasan kebangsaan dan etika kebhinekaan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Unsur-unsur negara harus membuka diri dan bekerja sama, saling memberdayakan,
serta menjalin komunikasi dan koordinasi dalam semangat kesetaraan dan kemitraan tanpa
meniadakan sikap kritis dan upaya pengawasan atas pelaksanaan pembangunan manusia.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri adalah program pembangunan
yang memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi masyarakat baik laki-laki maupun
perempuan di tingkat komunitas yang paling bawah, untuk berpartisipasi dalam kegiatan
pembangunan. Perempuan harus mengembangkan dirinya agar mampu bersaing tidak hanya
di dalam negeri tetapi juga dalam tingkat global, karena persaingan di era globalisasi tidak lagi
berlangsung antar negara atau korporasi, tetapi berlangsung secara individu.
Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan meridhoi perjuangan dan
memberkahi Bangsa Indonesia.

Jakarta, Desember 2008

93
A nakmu bukan milikmu
Mereka putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, namun bukan hakmu
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
Yang tiada dapat kaukunjungi, sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dengan kekuasaanNya,
Hingga anak panah itu melesat jauh, serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.

KAHLIL GIBRAN

94
PENGERTIAN_________________________________
1. Angka Kelahiran Total (Total Fertility Rate/TFR) adalah rata-rata banyaknya anak
yang akan dimiliki oleh seorang wanita pada masa reproduksinya jika ia mengikuti
pola fertilitas pada saat TFR dihitung.
2. Angka Kematian Ibu/MMR adalah banyaknya kematian ibu pada waktu hamil atau
selama 42 hari sejak terminasi kehamilan per 100.000 kelahiran hidup, tanpa
memandang lama dan tempat kelahiran yang disebabkan karena kehamilannya atau
pengelolaannya.
3. Angka Kematian Bayi Baru Lahir adalah banyaknya kematian bayi baru lahir, usia
kurang dari satu bulan (0-28) hari pada suatu periode per 1.000 kelahiran hidup pada
pertengahan periode yang sama.
4. Angka Kematian Bayi Lepas Baru Lahir adalah Banyaknya kematian bayi lepas baru
lahir(usia 1-11 bulan) pada suatu periode per 1.000 kelahiran hidup pada pertengahan
periode yang sama.
5. Angka Kematian Bayi/IMR adalah banyaknya kematian bayi usia kurang dari satu
tahun (9-11 bulan) pada suatu periode per 1.000 kelahiran hidup pada pertengahan
periode yang sama.
6. Angka Partisipasi Kasar /APK adalah presentase jumlah peserta didik SD, jumlah
peserta didik SLTP, jumlah peserta didik SLTA, jumlah peserta didik PTS/PTN dibagi
dengan jumlah penduduk kelompok usia masing-masing jenjang pendidikan (SD usia
7-12 tahun, SLTP usia 13-15 tahun, SLTA usia 16-18 tahun, PTS/PTN usia 19-24
tahun.
7. Angka Partisipasi Murni/APM adalah presentase jumlah peserta didik SD usia 7-12
tahun, jumlah peserta didik SLTP usia 13-15 tahun, jumlah peserta didik SLTA usia
16-18 tahun dan jumlah peserta didik PTN/PTS usia 19-24 tahun dibagi jumlah
penduduk kelompok usia dari masing-masing jenjang pendidikan.
8. Angka Partisipasi Total adalah proporsi penduduk bersekolah menurut golongan umur
sekolah yaitu umur 7-12,13-15,16-18, dan 19-24 tahun.
9. Angka Partsipasi Angkatan Kerja adalah proporso angkatan kerja terhadap penduduk
usai kerja.
10. Angka Pengangguran adalah proporsi jumlah pengganguran terhadap angkatan kerja
11. Bukan Angkatan Kerja adalah penduduk usia 15 tahun kebawah dan penduduk
berusia 64 tahun keatas.
12. Buta Huruf adalah penduduk yang berusia 15 tahun keatas yang belum bebas dari
tiga buta, yaitu buta aksara, latin dan angka, buta bahasa Indonesia dan buta
pengalaman dasar.
13. Data adalah fakta yang sudah ditulis dalam bentuk catatan, gambar atau direkam
kedalam berbagai bentuk media;
14. Data Regestrasi adalah data yang bersumber dari hasil pendaftaran penduduk
(peristiwa kependudukan) dan pencatatan sipil (peristiwa penting);
15. Data non Registrasi adalah ciri/nilai yang terukur yang diperoleh melalui sensus atau
survey;
16. Fertilitas diartikan sebagai kemampuan seorang wanita atau sekelompok wanita untuk
melahirkan dalam jangka waktu satu generasi atau selama masa subur;

95
17. Kematian atau mortalitas adalah satu dari tiga komponen demografi yang
berpengaruh terhadap struktur dan jumlah penduduk;
18. Kualitas Penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan non fisik serta
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan dasar untuk
mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang
berbudaya, berkepribadian yang layak (UU No. 10 tahun 1992);
19. Kuantitas Penduduk adalah jumlah penduduk akibat dari perbedaan antara jumlah
penduduk yang lahir, mati dan pindah tempat tinggal (UU No. 10 tahun 1992);
20. Migrasi kembali (return migration) adalah banyakya penduduk yang pada waktu
diadakan sensus bertempat tinggal di daerah yang sama dengan tempat lahir dan
pernah bertempat tinggal di daerah yang berbeda.
21. Mobilitas Penduduk adalah gerak keruangan penduduk dengan melewati batas
administrasi daerah tingkat dua (UU No. 10 tahun 1992);
22. Mobilitas penduduk permanen (migrasi) adalah perpindahan penduduk dengan tujuan
untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi
internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional).
23. Mobilitas penduduk non permanen (circulation/sirkuler) adalah perpindahan penduduk
dengan tujuan untuk tidak menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas
administratif. Mobilitas penduduk non permanen dibagi menjadi dua yaitu ulang-alik
atau nglaju (commuting) dan menginap/mondok.
24. Penduduk Melek Huruf adalah penduduk yang berusia 15 tahun keatas yang telah
bebas dari tiga buta, yaitu buta aksara, buta latin, dan buta angka, buta bahasa
Indonesia dan buta pengalaman dasar.
25. Penduduk Usia Kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun sampai dengan 64
tahun;
26. Pengeluaran untuk makanan adalah proporsi pengeluaran yang dipergunakan untuk
mengkonsumsi makanan dibandingkan dengan total pengeluaran (makanan dan
bukan makanan);
27. Perkembangan Kependudukan adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan
perubahan keadaan penduduk yang meliputi kuantitas, kulitas dan mobilitas yang
mempunyai pengaruh terhadap pembangunan dan lingkungan hidup (Undang-undang
nomor 10 tahun 1992);
28. Persebaran Penduduk adalah kondisi sebaran penduduk secara keruangan (UU No.
10 tahun 1992);
29. Profil adalah grafik atau ikhtisar yang memberikan fakta tentang hal-hal tertentu
(Sunaryo Urip – BPS)
30. Ratio jenis kelamin adalah suatu angka yang menunjukkan perbandingan jenis
kelamin antara banyaknya penduduk laki-laki dan penduduk perempuan di suatu
daerah pada waktu tertentu;
31. Urbanisasi adalah suatu proses bertambahnya konsentrasi penduduk di perkotaan
dan atau proses perubahan suatu daerah perdesaan menjadi perkotaan, baik secara
fisik maupun ukuran-ukuran spasial dan/atau bertambahnya fasilitas perkotaan, serta
lembaga-lembaga sosial, maupun perilaku masyarakatnya.

96
Referensi___________________________________

Adiningsih, Neni Utami. “Anak Jalanan Anak Kita Juga”. Pikiran Rakyat, 21 November 2002. provinsi
dan golongan umur (Diolah dari sakernas 2006F,BPS)
Pusdatinaker, Pekerja Anak Usia 10-14 tahun menurut Provinsi dan Golongan Umur (Diolah dari
Sakernas 2006 F, BPS)
Badan Kependudukan Nasional, 2002. Gambaran Penduduk Indonesia di Awal Millenium III.
Badan Reserse Kriminal Polri, 2008. Situasi Tindak Narkoba2007 (Januari-Desember)
Badan Pusat Statistik, Profil Wanita Indonesia 2000.
----------, Statistik Kesejahteraan Rakyat 2003, 2004, 2005.
----------, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, 2004.
----------, 2004. Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025.
----------, 2005. Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka.
----------, 2005. Indikator Kesejahteraan Rakyat.
----------, 2005. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2004-2005.
----------, 2005 Indek Pembangunan Manusia 2005-2006
----------, Februari 2006. Keadaan Angkatan Kerja Indonesia.
----------, Juli 2006. Beberapa Indikator Penting Sosial Ekonomi Indonesia.
----------, 2006. Profil Kesehatan Ibu dan Anak 2006.
----------, 2006. Statitistik Indonesia 2005/2006.
----------, 2006. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2006.
----------, 2007. Statistik Indonesia 2007
----------,2008. Prelimeniry SDKI 2007
----------, Jakarta Indonesia, Statistik Kesejahteraan Rakyat, Survei Sosial Ekonomi Nasional
Badan Pusat Statistik, BKKBN, Dep. Kesehatan, ORC Macro, 2003. Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia 2002-2003.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional, 2004. Proyeksi
Pendidikan Formal dan Non Formal Tahun 2003/2004-2010/2011.
Badan Narkotika Nasional, 2007. Hasil Penelitian Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika
Tahun 2005.
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, 2006. Data Bencana Indonesia 2002-2005.
----------, 2007. Rekapitulasi Data Bencana di Indonesia Tahun 2006.
Biro Perencanaan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2007. Data Kebutuhan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri Tahun 2006.
Bastian, 2004. Lambannya Infrastruktur Telekomunikasi. Kompas, 14 Oktober 2004.
Departemen Kesehatan, 2006. Profil Kesehatan Indonesia 2004.
Direktorat Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan, 2005. Kebijakan Penanggulangan Masalah
Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada Masyarakat yang Terkena Bencana dan Konflik.
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen
Kesehatan, 2006. Laporan Triwulan Pengidap Inveksi HIV dan Kasus AIDS sampai dengan 31
Desember 2005.
Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Rencana Strategis Tahun 2005-2009.

97
----------, 2006. Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
----------, 2006. Olimpiade Internasional: Profil Siswa Berprestasi.
----------, Desember 2006. Media Komunikasi Internal: Kabar.
Direktorat Pendidikan Masyarakat, Departemen Pendidikan Nasional, 2007. Kebijakan Direktorat
Pendidikan Masyarakat dalam Program Peningkatan Pendidikan bagi Perempuan Buta Aksara
dan Putus Sekolah.
Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, Departemen Sosial, 2007. Peran Departemen Sosial
RI dalam Penanggulangan Bencana Bidang Bantuan Sosial.
Direktorat IV/Narkoba, Bareskrim Mabes Polri, November 2006. Data Korban Penyalahgunaan Narkoba
2006.
Drektorat Jenderal PPM & PL,, Departemen Kesehatan RI, Statistik Kasus HIV/AIDS dillapas s.d. 2007
Direktorat I/Keamanan dan Transnasional, Bareskrim Mabes Polri, 11 April 2007. Bahan Masukan untuk
Profil Perempuan Indonesia 2006.
Ekawenats, 2006. Perempuan dan Konstruksi Media. http://ekawenats.blogspot.com/
2006/03/perempuan-dan-konstruksi-media.html
Fasli Djalal, 2007. Gizi dan Kecerdasan. Makalah Seminar PERSAGI, 25 Januari 2007.
Gunawan, Indra, 2006. “Kelayakan Guru Mengajar” dalam Pikiran Rakyat 6 Februari 2006.
IOM (International Organization for Migration) Jakarta, 2006. Aktivitas Counter Trafficking Unit (CTU)
IOM Indonesia. Ringkasan Eksekutif.
IOM 2008 Victims of Trafficking (VoT) Asissted by IOM Indonesia, March 2005-Januari 2008
----------,2007 Data Kuantitatif Korban Trafficking yang Didampingi IOM Indonesia Tahun 2005 dan 2006.
Jurnalperempuan.com, 9 Januari 2006, “Tahun 2005, KDRT Dominasi Kasus Kekerasan Terhadap
Perempuan”
Kementerian Koordinator Bidang Kesra, 2005. Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in
Persons) di Indonesia Tahun 2004-2005.
----------, 2006. Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Persons) di Indonesia Tahun 2005-
2006 (Interim Report).
Komisi Penanggulangan AIDs, 2007. Laporan Triwulan Pengidap Inveksi HIV dan Kasus AIDs sampai
dengan 31 Desember 2006.
Komnas Anak, 2006. Refleksi Akhir Tahun 2005. Hentikan Kekerasan terhadap Anak Sekarang dan
Selamanya. www.komnaspa.or.id.
----------, 2007. Indonesia Children that is Followed Closely by ”Lost Generation”. www.komnaspa.or.id.
Komnas Perempuan, 2006. Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2005: KDRT dan Pembatasan atas
nama Kesusilaan. www.komnasperempuan.or.id.
----------, 2007. Di Rumah, Pengungsian dan Peradilan: KTP dari Wilayah ke Wilayah, Catatan KTP
Tahun 2006. www.komnasperempuan.or.id.
Kompas Cyber Media, 7 Februari 2001. “Mendesak, Sensus Penyandang Cacat”.
----------, 6 Agustus 2001. ”Masalah Kesehatan Mental Pengungsi Masih Terabaikan”
----------, 7 Desember 2005. “Wujudkan Quota Satu Persen Tenaga Kerja untuk Penyandang Cacat”
----------, 9 Juni 2007. ”Potret Suram TKI, Salah Siapa?”.
Laporan Pencapaian Millenium Development Goal Indonesia 2007
Liputan6 SCTV, 31 Januari 2006. “VCD dan Tabloid Porno Disita”.
Majalah Komite, 5 Februari 2007. Menanggulangi Si Miskin dengan Si Mikro.

98
Maria Hartiningsih (2007). Pemberitaan Yang Sensitif Gender: Sumbangan Besar
Mewujudkan Demokrasi. http://kippas.wordpress.com/2007/06/06/pemberita- an-yang-sensitif-
gender-sumbangan-besar-mewujudkan-demokrasi/
Media Indonesia Online, 2 Mei 2005. ”Pemerintah Serius Tangani Pendidikan bagi Semua Orang”.
Pikiran Rakyat, 7 Juli 2003. “Perempuan Pelaku UKM Masih Hadapi Hambatan”.
Pikiran Rakyat, 21 Desember 2003. “Manusia, Muara Lelaki dan Perempuan”.
Pikiran Rakyat, 12 Maret 2005. “Meningkat, Kekerasan Terhadap Perempuan”.
Pikiran Rakyat, Hikmah, 27 November 2005. “Stop Kekerasan di Rumah Tangga”.
Pikiran Rakyat, 20 Januari 2006. “45,2 % Guru SD tidak Layak Mengajar”
Piot, Peter, 2005. “Indonesia di Fase Awal Epidemi AIDS namun dengan Epidemi HIV yang Serius”
dalam www.menkokesra.go.id
Pusat Data dan Informasi, Departemen Sosial, 2006. Data Permasalahan Anak 2006.
Pusat Penelitian Gender dan Perlindungan Anak, Universitas Negeri Medan bekerjasama dengan
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006. Kajian Perlindungan Kesehatan
Reproduksi Remaja. Medan.
----------, 2006. Pemetaan Masalah Remaja Puteri di Provinsi Sumatera Utara (Medan, Binjai, Deli
Serdang, Langkat).
Pusat Pengkajian Gender dan Kependudukan Universitas Brawijaya Malang bekerjasama dengan
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006. Kajian Perlindungan Kesehatan
Reproduksi Remaja di Provinsi Jawa Timur.
Pusat Studi Wanita, UGM, 2006. Profil Remaja DIY. Studi Kasus dan Kebijakan Kesehatan Reproduksi
Remaja.
Republika, 28 Desember 2006. ”Glodok Masih Jadi ’Ladang’ VCD Bajakan”.
Sekretariat Nasional Kopbumi. Berita Email Januari 2006 “Daftar Jumlah Kasus Buruh Migran Indonesia
Tahun 2004-2005”.
Sinar Harapan, 27 Desember 2006. ”2,5 juta hasil rekaman Bajakan Dimusnahkan”.
Suara Merdeka, 27 November 2001. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga”
Suara Merdeka, 22 Desember 2001. “Budaya Politik Perempuan”
Suara Merdeka, 4 Maret 2002. “Mengapa Diskriminasi Sosial Perempuan Tetap Berlangsung?”
Suara Pembaharuan Daily, 2 Mei 2005. “Pendidikan Anak Cacat yang Terlupakan”.
Sub Direktorat AIDs dan PMS, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan, 2007. Kebijakan Pengendalian HIV/AIDs Departemen
Kesehatan.
Supenti, Titin. “Perkembangan Pekerja Anak Tahun 2002-2003” dalam Warta Ketenagakerjaan Edisi 7
(Juli) 2004.
UN Volunteer. Kampanye “Stop beri uang, beri kami Kesempatan”. Website: www.stopberiuang.or.id
diakses 1 Februari 2006.
Warta Kesra, 15 Juni 2007. ”Jumlah UMKM Meningkat, Pengangguran Bertambah”.
Yayasan Indonesia Forum (2007). Visi Indonesia 2030. Jakarta.

99

You might also like