You are on page 1of 6

SEKELUMIT TENTANG DI/TII

1. DI/TII TERNYATA ANTEK JENDERAL SPOOR?

Menjadi tanda tanya besar mengapa tentara resmi negara (TNI), yang merupakan gabungan para pejuang revolusi, bisa keteteran menghadapi gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)? Hampir seluruh Jawa Barat jatuh di bawah kontrol mereka. Ternyata DI/TII di bawah pimpinan Sekarmadji Kartosoewirjo, yang mencita-citakan berdirinya negara Islam Indonesia, dibiayai dan dipasok senjata oleh Jenderal Spoor. Hal itu terungkap dari sebuah nota rahasia Bureau Algemene Zaken van de Directie Beleidszaken Indonesi (Biro Urusan Umum Direktorat Urusan Kebijakan Indonesia), Kementerian Luar Negeri Belanda. Nota tersebut ditemukan oleh promovendus F.J. Willems ketika sedang melakukan riset untuk penyusunan biografi Kapten Raymond Westerling, seperti dikutip detikcom dari NRC Handelsblad (23/11/2013) baru-baru ini. Pada masa perang kemerdekaan RI, Jenderal Simon Hendrik Spoor adalah Panglima Tentara Belanda, meliputi Koninklijke Landmacht/KL (Angkatan Darat), Koninklijk NederlandschIndisch Leger/KNIL (Tentara Nasional Hindia Belanda) dan Koninklijke Marine/KM (Angkatan Laut), dengan total kekuatan 140.000 prajurit dan mesin-mesin perang modern. "Zeer geheim. Sangat Rahasia," demikian tertulis dengan torehan pena di atas nota itu. Diuraikan juga dengan jelas bahwa nota tersebut tidak untuk pihak ketiga, tidak untuk disebarluaskan. Ketika Jan Rookmaaker diangkat sebagai Kepala Direktorat ini pada 1952, hubungan Belanda dengan bekas koloninya itu sedang berada pada titik terendah. 1

Kampanye sangat anti-Belanda digencarkan oleh pers Indonesia. Dalam komentarkomentar, Belanda dipersalahkan atas memburuknya situasi keamanan. Situasi di Indonesia saat itu sedang berkobar perang saudara antara pasukan Republik, TNI, melawan gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pasukan TNI terdesak pada posisi defensif. Sebagian besar wilayah Jawa Barat jatuh ke dalam kontrol DI/TII. Pers Indonesia pada 1952 itu sudah memberitakan bahwa Belanda secara diam-diam menyokong gerakan ini untuk memulihkan kekuasaannya yang telah hilang. Atas tuduhan-tuduhan media Indonesia itu, Rookmaker memutuskan untuk memerintahkan penyelidikan sejauh mana Belanda bertanggung jawab atas gangguan keamanan di Indonesia. Tuduhan-tuduhan itu akhirnya ditepis, karena hanya beberapa 'petualang' Belanda saja yang bergabung dengan DI/TII. Meskipun demikian, Rookmaker kurang nyaman dengan hasil penyellidikan itu. Dari nota itu juga terungkap bahwa Jenderal Spoor dengan sangat rahasia sudah menggarap DI/TII sejak 1948. Di samping DI/TII, Spoor juga merangkul gerombolan "Bambu Runcing", sebuah sayap milisi komunis, yang kurang begitu mendapat porsi perhatian dalam bukubuku sejarah di Indonesia.

2. JENDERAL SPOOR GARAP DI/TII UNTUK PUKUL REPUBLIK

Jenderal Spoor diangkat sebagai Panglima Pasukan Belanda (1946) segera setelah pasukan Jepang ditaklukkan Pasukan Sekutu. Sebelumnya selama pendudukan Jepang di Indonesia, Spoor dan pasukannya ikut menghindar ke Australia.

Ketika kembali ke Batavia, Jenderal Spoor mendapati negeri bekas koloni tersebut telah berubah total: revolusi berkobar di mana-mana. Meskipun demikian, Jenderal Spoor sedikit pun tak merasa khawatir. Dalam pandangan Panglima termuda dalam sejarah militer modern Belanda itu, para pejuang kemerdekaan itu tak lebih dari "rampokkers (perampok) dan "roversbenden (gerombolan penyamun), yang menindas warganya sendiri. "Jika mereka dapat dilumpuhkan, rakyat Indonesia dengan sendirinya akan kembali memilih Belanda," demikian Spoor, sebagaimana dipublikasikan NRC Handelsblad (23/11/2013) baru-baru ini. Spoor meyakini bahwa TNI (mula-mula TKR pada 5 Oktober 1945, kemudian menjadi TNI pada 3 Juni 1947), tidak memiliki kapasitas untuk sungguh-sungguh melancarkan perang gerilya. Namun kata-kata Spoor tersebut terbukti sebaliknya. Pada 1948 situasi militer terutama di Jawa Barat semakin memburuk. Pasukan Belanda terdesak dan banyak jatuh korban. Lagipula pasukan organik TNI ternyata bukan satu-satunya yang harus dihadapi oleh pasukan Belanda, melainkan juga gangguan perlawanan dari Darul Islam pimpinan Sekarmadji Kartosoewirjo dan milisi Bambu Runcing yang pro komunis. Jenderal Spoor sudah memerintahkan Panglima Daerah Militer Jawa Barat Mayor Jenderal (Mayjen) Henri Durst Britt untuk melakukan penumpasan, namun operasi militer ini tak memberi jalan keluar. Prajurit-prajurit Durst Britt gagal menumpas perlawanan. Ratusan kepala desa dan ambtenaar (pejabat) pro Belanda diculik dan dibunuh. Spoor naik pitam atas tindakan Mayjen Henri Durst Britt yang dinilainya kurang tegas dan memutuskan untuk turun tangan sendiri dengan merancang adu domba antara DI/TII dan Bambu Runcing di satu pihak melawan pasukan republik (TNI) di pihak lain. Tanpa sepengetahuan staf jenderalnya, Spoor secara diam-diam membentuk mereka menjadi "organisasi pertahanan rahasia". Spoor meyakinkan milisi-milisi di Jawa Barat itu agar menghentikan perlawanan lebih lanjut terhadap otoritas Belanda. Mereka harus menghentikan serangan-serangan dan selanjutnya dikerahkan untuk menggempur pasukan TNI. Sebagai imbalannya, pasukan Belanda akan membiarkan mereka dan tidak akan menyerang mereka. Di samping itu mereka dipasok dengan senjata dan uang. Untuk melatih pasukan "organisasi pertahanan rahasia" ini, ditunjuklah Kapten Raymond Westerling, yang saat itu baru kembali dari operasi pembantaian di Sulawesi Selatan.

3. DI/TII DILATIH 'SI JAGAL' WESTERLING DI/TII, inisial "I"-nya identik dengan simbol cita-cita ideologis: mendirikan negara Islam. Namun siapa nyana, "I"-nya juga ada kaitan dengan operasi intelijen Belanda. Bahkan Westerling adalah pelatih militer mereka.

DI/TII digarap oleh Jenderal Spoor bersama milisi Bambu Runcing sebagai kepanjangan tangan dan menjadi boneka Belanda untuk bersama-sama menyerang TNI. Kapten Raymond Westerling, yang saat itu baru saja melakukan pembantaian di Sulawesi Selatan (1947), ditunjuk sebagai pelatih militernya.

Suatu langkah yang sangat riskan, namun menurut penyusun nota rahasia Bureau Algemene Zaken van de Directie Beleidszaken Indonesi (Biro Urusan Umum Direktorat Urusan Kebijakan Indonesia), Kementerian Luar Negeri Belanda, Jenderal Spoor saat itu tidak punya opsi lain. "Langkah ini, mengingat keadaan perang yang mendominasi saat itu, tidak hanya dimungkinkan, tapi juga dibolehkan demi mencegah pertumpahan darah yang tidak perlu (di pihak Belanda)," demikian sebagaimana dipublikasikan NRC Handelsblad (23/11/2013) baru-baru ini. Westerling sendiri ketika itu telah dinonaktifkan setelah peristiwa Pembantaian Sulawesi Selatan dan pasukannya Korps Speciale Troepen (Korps Pasukan Khusus) dibubarkan pada Oktober 1948. Selanjutnya Westerling menjalani hidup sebagai warga sipil di Pacet, kawasan Puncak. Untuk menghindari kecurigaan, dia mendirikan perusahaan angkutan. Westerling dinilai tepat untuk tugas memberi pelatihan militer pada DI/TII. Namanya yang terkenal sebagai komandan pasukan khusus, dengan reputasi di Sulawesi Selatan, dianggap dapat mengundang rasa gentar dan sekaligus kekaguman di pihak Republik. Untuk itu dia merangkul Amir Fatah, komandan militer TII, yang aktif beroperasi terutama di wilayah perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah. Proses selanjutnya bergulir seperti telah dirancang, Fatah dan pasukannya menghentikan serangan-serangan terhadap Belanda. Dia berbalik mengerahkan pasukannya menyerang TNI pada akhir 1948.

Selain itu, melalui Fatah juga bisa dilakukan kontak dengan Kartosoewirjo, yang akhirnya juga berbalik haluan. Pasokan senjata kepada DI/TII pun ditingkatkan. "Dengan demikian di seluruh wilayah yang dikuasai DI/TII berkembang keadaan di mana seragam dan Bendera Belanda dihormati," bunyi kutipan dari nota. Koalisi dengan DI/TII dan disokong Bambu Runcing ini dicatat sebagai sukses besar. Kepada pihak luar, mereka tetap menunjukkan sikap anti-Belanda, tetapi diam-diam semua aksi kedua kelompok ini dikoordinir secara langsung oleh Westerling. Hasilnya, pada awal 1949 TNI mulai mengalami berbagai kekalahan strategis di Jawa Barat. Pada saat bersamaan tekanan pada pasukan Belanda mulai berkurang. Kartosoewirjo pun terus memperluas pengaruhnya di Jawa-Barat. Namun aliansi kelompok ini mulai tak terkendali ketika Jenderal Spoor secara mendadak meninggal dunia pada 25 Mei 1949 di Batavia.

4. DI/TII DAN KUDETA APRA DIBAWA KE LIANG KUBURAN

Sepeninggal Jenderal Spoor, organisasi pertahanan rahasia yang merupakan aliansi DI/TII, didukung Bambu Runcing dan berbagai milisi mulai kehilangan arah. Westerling dengan dukungan sekelompok perwira kepercayaan mendiang Spoor melanjutkan mengorganisir berbagai gerombolan 'organisasi pertahanan rahasia' itu ke dalam milisinya sendiri yang diberi nama Het Leger van de Rechtvaardige Vorst atau beken dengan sebutan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Ketika akte Perjanjian Penyerahan Kedaulatan ditandatangani di Amsterdam pada 27 December 1949, Westerling bertekad untuk mencegah kekuasaan jatuh ke tangan Soekarno dengan cara melancarkan aksi kudeta.

Koalisi hebat yang dibentuk oleh Westerling, termasuk beberapa perwira Belanda, diyakini merupakan jaminan untuk suatu keberhasilan. Namun ternyata rencana mengkudeta Soekarno itu padam bak sebatang lilin di tengah malam. Menurut laporan Militaire Politie (Polisi Militer) terungkap bahwa beberapa perwira Belanda pada detik-detik terakhir mengundurkan diri ketika Westerling mengirim ultimatum kepada Republik. Ultimatum itu memuat tuntutan pengakuan resmi untuk APRA. Dengan mundurnya para perwira Belanda itu maka unsur kekuatan kejutannya menjadi hilang dan aliansi bentukan Westerling itu menilai bahwa peluang mereka menjadi semakin mengecil. Di samping itu, akibat kurangnya komunikasi mengenai waktu kudeta, unsur DI/TII dan Bambu Runcing pun tidak bisa beraksi tepat pada waktunya. Kudeta APRA gagal total, demikian sebagaimana dipublikasikan NRC Handelsblad (23/11/2013) baru-baru ini. Untuk membatasi damage di pihak Belanda akibat kegagalan itu, Perdana Menteri Willem Drees memerintahkan untuk menarik Westerling ke luar dari Indonesia. Melalui jalan berliku, Westerling akhirnya tiba di Belanda pada 1952, di mana dia menjalani pemeriksaan pidana. Namun Westerling tutup mulut dan merasa terikat dengan sumpah perwira. Dalam memoarnya, Westerling hanya samar-samar menyinggung mengenai peran Jenderal Spoor. Demikian halnya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, dia membawa seluruh rahasia ke alam kubur. Setelah perang saudara memakan puluhan ribu nyawa, Kartosoewirjo berhasil ditangkap TNI dan akhirnya dieksekusi pada 1962. Ketika diinterogasi, dia membantah pernah menerima bantuan dari Belanda. De geheime oorlog van Spoor blijft geheim. Perang rahasia Spoor tetap rahasia. Tapi nota rahasia Bureau Algemene Zaken van de Directie Beleidszaken Indonesi (Biro Urusan Umum Direktorat Urusan Kebijakan Indonesia), Kementerian Luar Negeri Belanda itu memberi celah unik untuk dapat melihat dunia samar-samar operasi intelijen, yang diciptakan Spoor. Di atas semua itu, cerita mengenai 'organisasi pertahanan rahasia' bikinan Spoor mengilustrasikan ketidakjelasan struktur tanggung jawab, yang dilakukan oleh petinggi militer Belanda dalam perangnya melawan musuh Indonesia. Struktur yang tidak jelas seperti itu di satu sisi memungkinkan untuk memberi ruang kepada militer seperti Westerling dan di sisi lain memberi kemungkinan kepada petinggi militer untuk lepas tangan jika pasukan dikait-kaitkan.

You might also like