You are on page 1of 5

Pendahuluan Salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara benar (Good Governance) yang

merefleksikan nilai-nilai demokrasi dan mengedepankan asas kepastian hukum. Cita-cita tersebut terdapat dalam penjelasan UUD 1945 yang secara jelas memaparkan pentingnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Penjelasan UUD 1945 juga menyatakan bahwa bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan kepada hukum dan bukan berdasarkan kepada kekuasaan belaka. Terciptanya hukum yang baik dan terpadu tentu tidak akan dapat tercapai dengan begitu saja. Harus dibutuhkan suatu sistem hukum yang memang dapat menjawab dan menjadi alat untuk mencapai cita cita bangsa tersebut. Didalam peradilan pidana sendiri, sudah dikenal dan mulai terlaksananya sebuah sistem yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Sebuah sistem dalam peradian pidana yang menjadi acuan demi terlaksananya suatu peradilan yang memang adil dan seperti yang diharapkan oleh masyarakat luas. Didalam sistem peradilan pidana, akan sulit berkembang dan menjalankan tugasnya dengan baik tanpa adanya dukungan dan sinkronisasi dengan lembaga atau pihak yang lainnya. Untuk sinkronisasi dalam sistem peradilan pidana sendiri, harus disinkronkan dengan 3 (tiga) sinkronisasi, yaitu sinkronisasi substansi, struktural, dan kultural. Didalam sistem peradilan pidana, ketiga pilar ini harus tetap seiring dan sinkron untuk dapat menjalankan sebuah sistem peradilan pidana yang benar benar terpadu. Sinkronisasi dalam substansi adalah sebuah sinkronisasi dalam bidang materil atau Undang undang, sedangkan sinkronisasi dalam bidang Struktural adalah sinkronisasi terhadap struktur penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga koreksi (lembaga pemasyarakatan). Dan yang terakhir adalah sinkronisasi dalam bidang kultural atau budaya. Hal ini merupakan hal yang amat penting, meskipun seakan akan tidak menjadi masalah, namun tanpa adanya sinkronisasi dibidang kultural maka sistem peradilan pidana tetap tidak akan berjalan dengan baik dan seperti yang diharapkan oleh masyarakat luas. Sinkronisasi dalam bidang kultural ini dibutuhkan dikarenakan melihat keadaan dari kultural masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Maka diperlukan suatu penyesuaian atau sinkronisasi yang baik dengan berbagai suku dan hukum adat yang berlaku di tengah tengah masyarakat. Dalam hal ini, penulis akan menyoroti mengenai pelaksanaan ketiga sinkronisasi yang telah di jelaskan diatas. Apakah ketiga sinkronisasi sinkronisasi yang telah dijelaskan tersebut yang benar benar terjadi ditengah tengah masyarakat memang berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dan dalam hal ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai sinkronisasi dalam bidang struktural sendiri. Karena didalam bidang struktural sendiri terdapat beberapa sub sub sistem yang benar benar juga harus tersinkronsasi dengan baik. Selain itu tulisan ini juga berdasarkan dari kenyataan dan opini tersendiri dari penulis. II. Rumusan Masalah Untuk perumusan masalah dalam makalah ini akan mengacu kepada beberapa pokok yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu : 1. Apakah ketiga Sinkronisasi dalam Sistem Peradilan Pidana tersebut, sudah benar benar berjalan dengan baik dan seperti yang diharapkan oleh masyarakat ?. 2. Bagaimana mengenai Sinkronisasi di bidang Struktural sendiri yang memiliki sub sub sistem yang memang harus tetap sinkron didalam antar lembaga, dan seperti apa pelaksanaan yang terjadi ?

III. Pembahasan 1. Sinkronisasi dalam Sistem Peradilan Pidana Didalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu terdapat beberapa bidang atau sub sub yang harus tersinkronisasi dengan baik. Tidak akan ada artinya apabila salah satu saja yang bidang yang memang benar benar berjalan dengan baik. Terdapat 3 (tiga) bidang atau sub sistem yang tetap harus berjalan beriringan dan sinkron dalam mewujudkan suatu sistem peradilan yang di idamidamkan oleh masyarakat sebagai objek hukum. Ketiga sub sistem yang benar benar harus sinkron itu adalah antara lain : a. Sinkronisasi Dalam Bidang Subtansi Sinkronisasi dalam bidang Substansi adalah sinkronisasi yang harus berjalan dalam bidang Undang undang. Pemerintah yang memang benar benar pro rakyat atau mementingkan kepentingan dari rakyat tidak akan membuat sebuah peraturan atau perundang undangan apabila masyarakat sendiri tidak membutuhkan atau tidak memiliki dampak yang cukup berarti ditengah tengah masyarakat. Di negara Indonesia sendiri terdapat suatu asas yang mengatur mengenai berlakunya suatu Undang undang yang mengatur setiap individu dari setiap warga negara Indonesia. Yang berarti apabila suatu Undang Undang diciptakan atau dibuat oleh pemerintah, otomatis seluruh warga Negara Indonesia harus mentaati dan melaksanakan Undang undang tersebut karena sifatnya yang memang mengikat setiap warga negara Indonesia. Pembuatan Undang undang yang memang harus sinkron dengan kebutuhan dari masyarakat memang saat ini belum benar benar terlaksana dengan baik. Meskipun ada beberapa peraturan atau perundang undangan yang memang diciptakan oleh pemerintah dikarenakan adanya suatu tindak pidana yang terjadi dan belum ada undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana tersebut. Contohnya adalah Undang undang terorisme yang dibuat dan diatur dengan Undang Undang sendiri karena dirasa bahwa aturan yang telah ada di dalam KUHP belum mengatur secara jelas dan juga belum memberikan efek dan dampak yang berarti terhadap pelaku. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah ketika pemerintah dalam membuat Undang undang yang ada di Indonesia benar benar memihak dan melihat mengenai keadaan dari masyarakat itu sendiri? Hal ini terlihat jelas dalam pembuatan salah satu undang-undang, yaitu undang-undang dalam perburuhan. Dalam undang undang ini jelas sekali terlihat bahwa undang-undang yang dibuat memihak terhadap para pengusaha atau pemilik pabrik itu sendiri. Hal inilah yang harus di lihat dan diperbaiki. Karena apabila hal ini tetap terjadi, maka bisa dipastikan tidak akan terjalin suatu kerjasama dan sinkronisasi yang baik antara sub-sub sistem dalam sistem peradilan pidana. Bukan sebagai obat atau penawar yang bisa memberikan keadilan kepada masyarakat, malah membuat masyarakat yang menjalankan undang-undang semakin tidak mendapatkan rasa keadilan. Hal ini dapat berdampak terhadap semakin menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap para pemerintah pembuat undang tersebut. Selain harus sinkron dengan sub sistem yang berada didalam sinkronisisasi bidang substansi, sub sistem ini juga harus tetap sinkron dengan sub sistem yang lainnya, yaitu sub sistem sturktural. b. Sinkronisasi Dalam Bidang Struktural

Bidang struktural sebagai sub sistem peradilan pidana ini memiliki sub-sub sistem berikutnya. Hal ini yang mengharuskan sistem ini harus benar- benar tersinkronsasi dengan sub sistem dalam sistem peradilan pidana dan sub sistem dalam bidang struktural itu sendiri juga. Sub sistem dalam bidang struktural ini adalah sub sistem yang menjadi pelaku atau penindak untuk menciptakan suatu keadilan. Dalam bidang struktural ini terdapat beberapa sub lagi yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan). Sub sistem dalam bidang struktural inilah yang menjadi alat dan pelaksana terhadap setiap pelanggaran atas peraturan dan tindakan yang menyalahi undang undang yang berlaku. Oleh karena itu, antara Sinkronisasi dalam bidang Substansi dengan Sinkronisasi harus benar benar terjalin dengan baik. Sehingga apabila sebuah peraturan yang telah diciptakan oleh pemerintah harusnya bersinergi dengan apa yang harus dilakukan oleh para penegak hukum yang berada dalam sub sistem bidang struktural. Namun sering sekali yang terjadi didalam pelaksanaan dan penindakan terhadap pelaku kejahatan atau yang menyalahi aturan perundang undangan dalam bidang struktural ini tidak mengacu terhadap undang-undang yang berlaku. Malah kadang apa yang dilaksanakan dengan apa yang diatur dalam undang-undang tidak sebagaimana mestinya. Bahkan juga kadang terjadi hal yang sebaliknya, yaitu tidak sinkronnya undang undang yang berlaku dengan aparat penegak hukum yang ingin menciptakan suatu keadilan di dalam masyarakat. Salah satu contoh mengenai ketidak sinkronan antara peraturan atau undang undang yang berlaku dengan apa yang dilaksanakan oleh para penegak hukum adalah tidak terlaksananya KUHAP secara benar di dalam aparat penegak hukum atau dalam bidang struktural. Hal ini terlihat dari beberapa kejadian dimana pihak Kepolisian dalam melakukan pemeriksaan atau penangkapan terhadap tersangka atau pelaku kejahatan, selalu menggunakan unsur kekerasan dan bahkan tidak memenuhi standard atau tidak mengikuti proses sebagaimana mestinya yang diatur dalam KUHAP. Misalnya saja adanya penarikan uang pada saat melakukan penangkapan terhadap pelaku-pelaku kejahatan kecil-kecilan, yang hal ini digunakan agar pelaku tidak perlu ditangkap dan membebaskan pelaku pada saat itu pula. Bukannya keadilan yang tercapai, malah hal ini dapat menimbulkan semakin giatnya pelaku yang memberikan uang tersebut untuk melakukan suatu kejahatan, dikarenakan pelaku kejahatan tersebut merasa bahwa hanya dengan membayar beberapa rupiah maka pelaku kejahatan ini akan terbebas dari segala kejahatan yang telah dilakukannya. c. Sinkronisasi Dalam Bidang Kultural Salah satu sub sistem yang tidak bisa terpisahkan dan sangat penting adalah sub sistem dalam bidang kultural. Didalam sub sistem inilah dapat dilihat apakah setiap keadilan tersebut dapat tercapai atau tidak. Sinkronisasi dalam bidang struktural adalah sebuah sinkronisasi yang memang harus ber azas kan masyarakat. Karena sinkronisasi dalm bidang struktural ini adalah sinkronisasi mengenai kultur atau budaya yang ada didalam masyarakat. Dimana kita ketahui bersama, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku, ras dan warna kulit. Selain itu didalam masyarakat sendiri sebagian besar memiliki aturan atau hukum adat masing masing, yang memang hal ini juga diakui oleh Undang-undang mengenai berlakunya ditengah tengah masyarakat. Hal inilah yang mengakibatkan meskipun undang-undang yang diciptakan sedemikian rupa dan begitu baiknya dan juga meskipun sedemikian rupa kuatnya dan adilnya penegak hukum menurut pemerintah, namun apabila tidak sinkron dengan budaya dan adat yang

ada dalam masyarakat maka semuanya itu hanya akan sia-sia. Karena tidak akan ada undangundang yang menyalahi mengenai adat yang ada dalam masyarakat. Dalam prakteknya, hal ini juga belum tercapai sebagaimana yang seharusnya. Dapat kita lihat dalam pembuatan salah satu undang-undang yang telah disahkan oleh pemerintah, yaitu Undangundang tentang Pornografi dan Pornoaksi. Jelas sekali dalam Undang undang ini mengatur mengenai tata cara berpakaian dan bahkan dalam berinteraksi. Padahal kita tahu sendiri bahwa di negara Indonesia kita yang tercinta ini terdapat berbagai macam suku yang memiliki pakaian adat yang memang agak terbuka dan bahkan sangat vulgar yaitu di daerah Papua. Apakah dengan adanya Undang undang ini maka masyarakat Indonesia tidak akan pernah dan bahkan dilarang untuk menggunakan pakaian adat dari masing masing daerahnya. Maka ada baiknya dilakukan survey dan telaah lebih lanjut mengenai pembuatan sebuah Undang-undang agar teripta sebuah sinkronisasi yang baik dalam sub sistem peradilan pidana. 2. Melihat Lebih jauh mengenai Sinkronisasi dalam Sub Sistem Bidang Struktral. Sering sekali kita melihat berbagai polemik yang terjadi antara para penegak hukum. Padahal hal ini adalah hal yang sangat sensitif dan sangat penting dalam sistem peradian pidana. Karena apabila dalam dalam bidang struktural atau penegak hukum sendiri tidak terdapat sinkronisasi, maka bisa dipastikan keadilan tidak akan pernah terjadi. Hal ini sering terjadi antara peran kejaksaan sendiri dengan peran Hakim yang seakan akan saling berbenturan. Bahwa untuk membentuk Sistem Peradilan Pidana Terpadu, maka ide/jiwa spirit Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Mandiri harus terwujud secara integral dalam keseluruhan kebijakan legistalir/perundang-undangan yang mengatur seluruh proses/sistem kekuasaan penegakan hukum. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 (yang asli) berbunyi Kekuasaan Kehakiman dijalankan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Menurut pendapat Andi Hamzah yang dimaksud badan kehakiman lain menurut undang-undang tersebut salah satunya termasuk jaksa Agung pada Mahkamah Agung. Demikian juga menurut pendapat Barda Nawawi Arief yang dimaksud dengan badan peradilan lain itu adalah polisi dan jaksa. Bahwa setelah amandemen ke- III (Nopember 2001), pasal 24 ayat (1) UUD45 berbunyi Kekuasaan kemakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selanjutnhya dalam ayat (2) dinyatakan bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini justru memberi kesan kuat bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka hanyalah kekuasaaan untuk menyelenggarakan peradilan atau kekuasaan mengadili. Hal ini menurut penulis, politik hukum pemerintah dalam hal kekuasaan kehakiman dengan amandemen pasal 24 UUD 1945 adalah kurang tepat, karena justru telah mengalami kemunduran, dimana sebelum dilakukan amandemen kemandirian kekuasaan kehakiman adalah juga termasuk kemandirian Jaksa dan polisi (badan kehakiman lain) yang memang merupakan satu kesatuan (sub-sistem) dari badan peradilan sebagai pemegang kekuasaan Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dan dengan amandemen justru menempatkan polisi dan jaksa terlepas dari kekuasaan kehakiman dan masuk dalam kekuasaan eksekutif, sehingga akan sangat sulit polisi dan jaksa dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara merdeka dan mandiri. Bahwa lembaga kejaksaan dengan undang-undang nomor 16 tahun 2004 telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Kejaksaan memiliki

peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana masuk ke pengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Kejaksaan (Penuntut Umum). Peran yang amat besar inilah seharusnya dibarengi dengan idenpedensi dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, karena tanpa indepedensi dari kajaksaan maka akan sangat sulit mengarapkan indepedensi kekuasaan peradilan pidana. Dalam praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum. Lembaga Kejaksaan dalam perkembangannya telah beberapa kali memiliki payung hukum. Pada masa orde lama dengan undang-undang nomor 15 tahun 1961, pada masa orde baru dengan undangundang nimor 5 tahun 1991 dan yang sekarang berlaku (masa reformasi) dengan undang-undang nomor 16 tahun 2004. Dari ketiga undang-undang tersebut sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga kejaksaan. Kedudukan kejaksaan justru lebih mantap ketika masa orde lama bila dibanding dengan masa reformsi. Dalam Undnaundang nomor 15 tahun 1961 pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa kejaksaan adalah alata negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1991 dan uu nomor 16 tahun 2994 justru kejaksaan menjadi lembaga pemerintahan artinya kejaksaan adalah lembaga eksekutif, padahal kalau dilihat kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan jelas kejaksaan melakukan kekuasaan dibidang yudikatif. Disinilah terjadi ambivalensi kedudukan kejaksaan dalam penegakan hukum di indonesia. Memang dalam undang-undang 16 tahun 2004 pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa kekuasaan kejaksaan dilakukan secara merdeka, namun bila dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan sebagai lembaga eksekutif maka suatu kemustahilan bila kejaksaan dapat menjaankan kekuasaan dan kewenangan dialakukan secara merdeka. Berdasarkan undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, maka jelas bahwa kedudukan kejaksaan adalah sebagai lembaga eksekutif yang melakukan tugas dan wewenang dibidang yudikatif, sehingga sangat mustahil kejaksaan dalam menjalankan tugasnya benar-benar merdeka atau independen. IV. Penutup Untuk lebih terciptanya suatu cita cita luhur bangsa, yaitu tercapainya keadilan diberbagai bidang, maka diperlukan suatu sinkronisasi yang benar-benar terjalin dan berjalan dengan sebagaimana semestinya. Penindakan terhadap pelaku kejahatan yang memang membutuhkan suatu keadilan juga harus dapat dilakukan. Bangsa Indonesia yang memang bangsa yang besar ini sering sekali hanya terlihat baik didalam teori, namun buruk sewaktu melakukan praktek dilapangan. Hal inilah yang mengakibatkan semakin banyaknya kejahatan dan tidak tercapainya keadilan. Sistem Peradilan Pidana Terpadu memang memiliki teori dan berbagai macam hal praktis yang dapat dilakukan untuk menciptakan suatu keadilan. Namun tanpa adanya dukungan dari masyarakat dan sinkronisasi antara sub sistem peradilan pidana, bahkan antar lembaga penegak hukum, maka niscaya peradilan yang memang benar-benar adil sebagaimana yang diidam idamkan oleh masyarakat Indonesia tidak akan pernah tercapai. Demikianlah tulisan ini dibuat dari hasil pemikiran penulis. Yang sekiranya dapat bermanfaat dan memberikan masukan terhadap berlakunya Sistem Peradilan Pidana Terpadu, dan demi terciptanya keadilan ditengah tengah masyarakat.

You might also like