You are on page 1of 4

1

Tugas Esai 1 Nama : Deden Habibi Ali Alfathimy NPM : 170210100122 MK : Analisis Kebijakan Luar Negeri, HI FISIP Unpad Smt.V/2013 (mengulang)

Realisme dan Analisis Kebijakan Luar Negeri


Analisis kebijakan luar negeri atau foreign policy analysis (FPA), sebagai salah satu bidang kaji di dalam studi Hubungan Internasional, tetap dipengaruhi oleh grand theories Hubungan Internasional. Salah satu di antaranya adalah Realisme. Realisme sendiri merupakan salah satu grand theory yang paling awal berkembang dalam studi HI dan karenanya telah mengalami berbagai perkembangan teori yang telah menghasilkan sejumlah perbaikan, amandemen, kualifikasi, dan penambahan dari argumen dasar yang ada (Smith, 2008). Argumen dasar Realisme menurut Gilpin (1996:7-8, dalam Smith,2008) terdiri dari tiga asumsi inti tentang bagaimana dunia ini berjalan: Groupism Egoism Power-centrism

Groupism atau dalam padanan lainnya bisa disebut statism berarti bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menghadapi sesamanya sebagai anggota suatu kelompok atau negara. Egoism atau survival merupakan kecenderungan manusia untuk mengedepankan kepentingan diri sendiri (self-interests/national-interests) daripada orang lain maupun kelompok, dalam hal ini negara lain maupun komunitas internasional secara keseluruhan. Power-centrism atau self-help merupakan kecenderungan utama lainnya yang dimiliki manusia untuk memberikan pengaruhnya maupun berkuasa serta mendapatkan sumber daya sehingga hasrat egoism dalam sebuah group/state tetap terakomodasi. Konsep Realisme terhadap negara sangat menentukan bagaimana suatu kebijakan luar negeri dianalisis. Meskipun begitu, argumen-argumen dasar tersebut telah berkembang dalam berbagai mazhab baru Realisme, mulai dari Realisme Klasik, Neo-realisme (Defensif atau Ofensif), hingga Neoklasik-realisme sehingga pendekatan analisis kebijakan luar negerinya pun berbeda. Realisme Klasik (Classical Realism) Realisme klasik dikemukakan oleh ilmuwan sosial dan politik seperti Thucydides, Niccolo Machiavelli, dan Thomas Hobbes (Lukita, 2009). Thucydides melihat bahwa perang merupakan langkah rasional dan masuk akal untuk mencapai keamanan dan kelangsungan hidup negara karena negara tidak memiliki pilihan lain selain politik kekuasaan yang harus

mereka jalankan dalam kondisi yang anarkis. Sedangkan asumsi dasar Machiavelli adalah bahwa nilai politik tertinggi adalah kebebasan nasional, yaitu kemerdekaan. Dalam mewujudkannya, penguasa dituntut untuk memiliki kekuatan mempertahankan kepentingan negara bagaikan singa, sekaligus harus mampu berperilaku cerdik seperti rubah. Dalam bukunya yang berjudul Leviathan (1651), Thomas Hobbes menguraikan tentang tiga asumsi dasar realisme, yaitu (1) manusia adalah sama, (2) manusia berinteraksi dalam lingkungan yang anarkis, dan (3) manusia diarahkan oleh kompetisi, rasa ketidakpercayaan diri (diffidence), dan kemuliaan (glory) (Lukita, 2009). Oleh karena itu kemudian muncul konsep bellum omnium contra omnes, atau war of all against all, semua manusia pada dasarnya berkompetisi demi kepentingannya sendiri. Secara singkat realisme klasik a la Hobbes menekankan pada kekuatan politik dan hukum internasional. Akan tetapi, upaya untuk menyelesaikan masalah politik, terutama politik internasional, melalui aturan hukum atau kebijakan politik bersifat tidak permanen. Pemikiran Hobbes tersebut didasari oleh realitas dilema keamanan (security dilemma) yang terjadi saat pencapaian keamanan perseorangan dan domestik melalui penciptaan negara selalu disertai dengan ketidakstabilan keamanan nasional dan interrnasional yang berakar dari sistem anarki negara. Dalam analisis kebijakan luar negeri, pendekatan yang disajikan oleh teori Realisme Klasik sebenarnya sangatlah sederhana: negara sebagai aktor rasional. Menurut saya, dengan asumsi tersebut saja, realisme klasik tidak banyak menelaah suatu kebijakan luar negeri di level domestik maupun sistem internasional. Mungkin proses pembuatan keputusan atau decision-making process (DMP) dalam kajian FPA ini yang paling dekat adalah rationalactor model (Smith, 2008). Neorealisme (Structural Realism): Defensif maupun Ofensif Dalam sudut pandangnya, Neo-realis yang juga dikenal sebagai strukturalis masih fokus dalam mengkaji isu keamanan dan militer (the high politics issue area) yang berkaitan dengan isu power dan survival. Mengapa strukturalis? Ini merupakan jawaban para pendukung realisme atas kritik Robert Keohane and Joseph Nye pada 1970an yang mengemukakan konsep complex-interdependence sebagai sesuatu yang sulit terbantahkan (Korab-Karpowicz, 2013). Mereka menjelaskan bahwa seharusnya semua negara berkaitan dengan relative gains, sebab mereka tidak menyangkal bahwa bagaimanapun kerja sama antarnegara juga dibutuhkan untuk mencapai interest masing-masing dan tentunya NeoRealis akan memaksimalkan kekuatan relatif mereka agar menjadi pihak yang diuntungkan dalam kerjasama tersebut. Neo-Realis juga meletakkan titik fokus permasalahan pada struktur politik internasional. Sistem politik yang dianut suatu negara tentu dipengaruhi pula oleh struktur yang ada, sehingga negara harus menyesuaikan diri dengan struktur internasional yang berubah-ubah karena setiap negara merupakan bagian dalam sistem politik tersebut. Dengan mengenal struktur di luar negara, teori Neorealisme ini ternyata terbagi kepada dua kecenderungan: defensif (bertahan) dan ofensif (menyerang). Singkatnya, neorealisme defensif tidaklah seagresif neorealisme ofensif. Neorealisme ofensif, yang dicetuskan John Mearsheimer, memandang bahwa keamanan (security) di dalam sistem

internasional adalah sesuatu yang langka (scarce) sehingga perlu usaha yang terus-menerus untuk meningkatkan power agar menjadi hegemon (Lobell, 2010). Usaha yang terus-menerus inilah yang tidak didukung oleh neorealisme defensif karena adanya risiko yang digambarkan dalam konsep security dilemma (Lobell, 2010) atau semakin agresif suatu negara, semakin tinggi ancaman baginya. Bagi analisis kebijakan luar negeri, sumbangan terbesar neorealisme terdapat pada perhatiannya terhadap struktur sistem internasional sebagai salah satu unsur atau faktor pembuatan kebijakan luar negeri. Dalam dimensi-dimensi penguraian aksi kebijakan luar negeri Steve Smith (2008), kesadaran ini berwujud sebagai structural dimension. Neoklasik-realisme Ini bukanlah suatu teori yang unik atau berdiri sendiri dan bersifat universal, tetapi lebih bersifat kontekstual (Wohiforth dalam Smith, 2008). Para pendukung neoklasikrealisme ini menganggap bahwa mazhab-mazhab dan teori-teori realisme yang telah ada sebelumnya, realisme klasik dan neorealisme, berlaku di situasi masing-masing, baik dari segi ruang maupun waktu. Meskipun terlihat tidak ajeg, neoklasik-realisme justru sangat relevan dalam kajian kebijakan luar negeri (Omar, 2013). Realisme neoklasik berfokus pada pengembangan yang sangat rinci dalam pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara. Realis neoklasik, sementara mengakui pentingnya kekuatan relatif suatu negara dalam membentuk niatnya (intention), berpendapat bahwa untuk mendapatkan gambaran secara keseluruhan yang lebih spesifik dan jelas tentang kebijakan luar negeri suatu negara, seseorang harus memasukkan variabel di level domestik untuk menyelesaikan rantai penyebabnya (causal chain). Dengan kata lain, membuka 'kotak hitam' atau black-box suatu negara dalam konsep sistem politiknya David Easton (Smith, 2008). State-of-the-art Realisme dalam Analisis Kebijakan Luar Negeri Setelah megenali tiga kelompok besar teori Realisme, yakni Realisme Klasik, Neorealisme, dan Neoklasik-realisme, saya berpendapat bahwa Neoklasik-realisme merupakan pendekatan garang yang paling relevan dalam studi analisis kebijakan luar negeri. Sifat garang ini tidak terlepas dari pondasi pemikiran Realisme sendiri yang memang sangat menekankan national-interest sebagai inti pembuatan kebijakan. Neorealisme-klasik merupakan jembatan antara realitas abstrak pada sistem internasional dengan realitas kompleks pada tataran domestik suatu negara. Ini merupakan kekhasan studi analisis kebijakan luar negeri itu sendiri.[]

Referensi: Annesya, Devania (2010) "Neorealisme VS Neoliberalisme" Blog, 29 Juni 2010, <http://frenndw.wordpress.com/tag/neorealisme/>.

Korab-Karpowicz, W. Julian, "Political Realism in International Relations", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2013 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <http://plato.stanford.edu/archives/sum2013/entries/realism-intl-relations/>. Laksmi, Nurlaili (2012) "Neo-Realisme dan Neo-Liberalisme, Perdebatan Besar dalam Hubungan Internasional" Blog, 28 March 2012, <http://nurlaili-laksmi-wfisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-44171-Semester%20IINeoRealisme%20dan%20NeoLiberalisme,%20Perdebatan%20Besar%20dalam%20Hu bungan%20Internasional.html>. Lobell, Steven E. dalam Robert A. Denemark (2010) "Structural Realism/Offensive and Defensive Realism", The International Studies Ensyclopedia, Oxford: Blackwell. Lukita, Rani (2009) "REALISME DAN NEOREALISME : PERSPEKTIF KLASIK DALAM HI" Blog, 30 Maret 2009, <http://ranilukita.wordpress.com/2009/03/30/realisme-dan-neorealisme-perspektifklasik-dalam-hi/>. Omar, Ali Abdi (2013) "Is There Anything New in Neoclassical Realism?" Blog, 13 Februari 2013, <http://www.e-ir.info/2013/02/13/is-there-anything-new-inneoclassical-realism/>. Wohiforth, William C., dalam Steve Smith, et al (2008) "Realist and foreign policy", Foreign Policy: Theories, Actors, Cases , New York: Oxford University Press.

You might also like