You are on page 1of 14

"Perburuhan" dalam Konteks Islam A.

Pendahuluan

Islam tidak memiliki konsep "produsen-konsumen" sebagaimana norma modern. Akan tetapi, kontekstualisasi Islam mencoba memahami konsep relasi tersebut untuk kemudian ditransisikan ke dalam semangat atau spirit Islam yang sesungguhnya. Untuk itu kita perlu mengenal beberapa prinsip-prinsip yang memandu dalam hubungan pekerjaan ini, antara lain prinsip; kesetaraan (musawah) dan keadilan ('adalah). Prinsip kesetaraan menempatkan majikan (pemberi kerja) dan pekerja pada kedudukan yang sama atau setara, yaitu sama-sama sebagai pihak yang saling membutuhan dan menyerahkan apa yang dimiliki baik dalam bentuk tenaga maupun upah. Pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas kesetaraan, sebagaimana QS. 49: 13. Prinsip keadilan ('adalah)[1] adalah prinsip yang ideal (QS. 16: 90; 7: 29; 16: 90; 42: 15). Keadilan menempatkan para pihak untuk memenuhi perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua kewajibannya (QS. 3: 17; 2: 177; 23: 8; 5: 1).

Akan tetapi, praktik dan fakta dunia kerja sekarang ini menunjukkan hubungan yang tidak seimbang atau eksploitatif antara majikan dan pekerja. Majikan, karena memiliki daya tawar yang lebih besar, sering memanfaatkan dan mengeksploitasi pekerja.[2]

B. Pekerja: Prespektif Konvensional dan Islam Ekonomi konvensional menempatkan pekerja sebagai salah satu faktor produksi, dari empat faktor produksi lainnya. Faktor produksi terdiri dari; sumber daya alam, tenaga kerja, modal, dan teknologi. Bahkan ekonomi konvensional beranggapan bahwa tingkat produksi suatu barang tergantung kepada jumlah modal, jumlah tenaga kerja, jumlah kekayaan alam, dan tingkat teknologi yang digunakan.[3] Lebih dari itu, tingkat produksi selalu dihubungkan antara barang modal (capital) dan tenaga kerja.[4]

Pola hubungan majikan pekerja dalam ekonomi konvensional ditempatkan pada dua ranah yang berbeda, majikan adalah pihak yang menguasai faktor-faktor produksi, sementara pekerja adalah (bagian dari) faktor produksi (yang dimiliki) yang berfungsi melakukan proses produksi. Hubungan kedua entitas ini tidak seimbang. Akibatnya, majikan, karena tujuan meningkatkan hasil produksi, selalu memaksimalkan kinerja tenaga kerja dan mengurangi biaya produksi dari tenaga kerja (upah).

Seorang ulama, seperti Yusuf Qaradhawi mengamini mekanisme ini dengan menempatkan tenaga kerja sebagai faktor produksi selain tanah (ata alam/bumi). Tanah adalah seluruh kekayaan alam yang disediakan Allah di muka bumi ini.[5] Sementara kerja bagi Qaradhawi adalah segala kemampuan dan kesungguhan yang dikerahkan manusia, baik jasmani maupun akal pikiran, untuk mengolah kekayaan alam.[6]

Padahal Allah telah menegaskan bahwa manusia bertugas memakmurkan bumi ini dengan sebaik-baiknya. Firman-Nya menyatakan: Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya. (QS. Hd : 61)

Secara umum para ahli ekonomi sependapat bahwa tenaga kerja itulah produsen satu-satunya dan tenaga kerjalah pangkal produktivitas dari semua faktor-faktor produksi yang lain. Alam maupun tanah takkan bisa menghasilkan apa-apa tanpa tenaga kerja.[7] Dan dalam konteks ini istilah "tenaga kerja" seharusnya mengacu pada semua pihak tanpa dikotomi majikanburuh/pekerja.

C. Hubungan Kemitraan Islam menempatkan majikan dan pekerja dalam kedudukan yang setara, keduanya saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Hubungan keduanya adalah kemitraan dalam bekerja, majikan adalah orang yang memiliki dana dan membutuhkan kerja manusia, sementara pekerja adalah pemilik tenaga yang memerlukan dana. Keduanya saling membutuhkan, karenanya harus diatur agar masing-masing dari keduanya menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan bagiannya secara benar.[8]

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS. Al-Zuhruf (43) : 32)

Karena itu, konsep Islam tentang hubungan kerja, antara pemberi kerja dengan penerima pekerjaan adalah hubungan kemitraan dalam penyewaan jasa (ijrah). Konsep penyewaan meniscayakan keseimbangan antara kedua belah pihak, sebagai mustajir (penyewa) dan mujir (pemberi sewa). Penyewa adalah pihak yang menyerahkan upah dan mendapatkan manfaat, sedangkanmujir adalah pihak yang memberikan manfaat dan mendapatkan upah.[9] Antara mustajir dan mujir terikat perjanjian selama waktu tertentu sesuai kesepakatan. Selama waktu itu pula, kedua belah pihak menjalankan kewajiban dan menerima hak masingmasing. Dalam akad ijrah ini, mustajir tidak dapat menguasai mujir, karena status mujir adalah mandiri, dan hanya diambil manfaatnya saja. Berbeda dengan jual beli, ketika akad selesai maka pembeli dapat menguasai sepenuhnya barang yang dibelinya.

Selain melalui konsep ijrah, hubungan kerja majikan pekerja dapat dibangun atas konsep Islam lainnya. Di antaranya:

1. Musyarakah Konsep kemitraan lain dalam Islam melalui musyarakah, yang menempatkan kedua belah pihak dalam kedudukan yang sama, yaitu sama-sama menanggungprofit and loss sharing (PLS). Keberadaan model kerja seperti ini diakui al-Quran, dalam surat 38 : ayat 24 yang artinya: Dia (Daud) berkata sungguh dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan) kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu. (QS. Shad (38) : 24)

Nash ini menjadi pedoman keabsahan dari musyarakah. Meski nash ini tidak menjelaskan model musyrakah, namun para ulama telah membuat model-modelmusyrakah, yaitu: Syirkah Inan adalah kontrak dua orang atau lebih, di mana kedua pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja, serta berbagi keuntungan dan kerugian bersama. Dalam syirkah ini dana ataupun system kerja dan bagi hasil tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan. Syirkah Mufawadhah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih, di mana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Makna

dari mufawadhah ialah jika seorang dari dua peserikat menyerahkan kepada pihak lain untuk membelanjakan hartanya, baik dengan kehadirannya atau ketidakhadirannya. Syirkah abdan adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Syirkah Wujuh adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise yang baik serta ahli dalam berbisnis. Jenis kerjasam ini adalah kerjasama tanpa pekerjaan dan harta.

2. Mudharabah Mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.[10] Prinsip dari konsep mudharabah ini adalah keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya dan kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.

3. Al-Julah Islam juga memperkenalkan konsep kompensasi, persenan, atau bonus. Hal ini berkaitan dengan akad hadiyah. Konsep ini dikenal dalam tradisi fikih dengan istilah julah. Julah sendiri artinya adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk dikerjakan. Konsep julah merupakan suatu formula pekerjaan menghasilkan sesuatu manfaat yang berkonsekuensi pada hadiah atau kompensasi. Seperti ketika seseorang mengatakan Siapa yang dapat menemukan jam tangan saya yang hilang akan mendapatkan seratus ribu rupiah.

Dengan konsepsi seperti ini, julah bukanlah sebuah perjanjian melainkan suatu konsekuensi. Karena itu julah hanya membutuhkan ijab, yaitu siapa yang dapat menemukan, tidak membutuhkan qabul. [11] Qabul di sini tidak diperlukan, karena pekerjaan ini bukanlah monopoli dari seseorang, tetapi menjadi milik siapa saja yang bersedia melakukannya. Dan merekalah yang mendapatkan jam tangan yang akan mendapat hadiah atau konpensasi.

D. Konsep Upah Islam

Upah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwadlu (ganti), upah atau imbalan.[12] Konsep upah muncul dalam kontrak ijrah, yaitu pemilikan jasa dari seseorang ajr (orang yang dikontrak tenaganya) oleh mustajir (orang yang mengontrak tenaga). Ijrah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu yang disertai dengan kompensasi. Kompensasi atas imbalan tersebut berupa al-ujrah(upah).[13] Konsep upah ini ditemukan dalam surat al-Thalq ayat 6: kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya. (QS. al-Thalq (65) : 6)

Upah dapat berbentuk uang, barang yang berharga, atau manfaat (benefit).[14] Dalam praktik, ibu yang menyusui terkadang diberi upah dengan makanan, pakaian, atau yang lainnya. [15] Menurut Profesor Benhamsebagaimana dikutip Afzalurrahman, upah dapat didifinisikan sebagai sejumlah uang yang dibayarkan berdasarkan perjanjian atau kontrak oleh seorang pengusaha kepada seorang pekerja karena jasa yang ia berikan. Dengan kata lain, upah adalah harga tenaga kerja yang dibayarkan atas jasa-jasanya dalam produksi.[16]

Dalam Islam, upah merupakan salah satu unsur ijrah, selain tiga unsur lainnya;qid (orang yang berakad), maqud alaih (barang yang menjadi objek akad), dan manfaat. Ketentuan pengupahan harus memenuhi syarat-syarat:[17] Adanya kerelaan kedua belah pihak yang berakad. Manfaat yang menjadi akad harus diketahui secara sempurna (lengkap) sehingga tidak muncul masalah di kemudian hari. Objek akad itu sesuatu yang halal atau tidak diharamkan. Upah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta. Bernilai (mutaqawwim) di sini dapat diukur dari dua aspek; syar'i dan 'urfi.[18] Dalam hal besar kecilnya upah, Islam mengakui kemungkinan terjadinya dikarenakan beberapa sebab; perbedaan jenis pekerjaan, perbedaan kemampuan, keahlian, dan pendidikan, pertimbangan bukan keuangan dalam memilih pekerjaan, mobilitas tenaga yang berbeda. Pengakuan perbedaan ini didasarkan pada firman Allah Swt. dalam surat al-Zukhruf ayat 32: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka

kumpulkan. (QS. al-Zukhruf/43: 32)

Sistem Pengupahan!Upah disebut juga ujrah dalam Islam. Upah adalah bentuk kompensasi atas jasa yang telah diberikan tenaga kerja. Untuk mengetahui definisi upah versi Islam secara menyeluruh, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu Surat At-Taubah: 105, yang artinya: Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. dan Surat An-Nahl: 97, yang artinya, Barangsiapa yang mengerjakan amal soaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah menjelaskan, QS. At Taubah:105 di atas sebagai berikut: Bekerjalah kamu demi karena Allah semata dengan aneka amal yang sholeh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu. Ganjaran yang dimaksud adalah upah atau kompensasi.!Demikian juga dengan QS. An-Nahl: 97, maksud dari kata balasan dalam ayat tersebut adalah upah atau kompensasi. Jadi dalam Islam, jika seseorang mengerjakan pekerjaan dengan niat karena Allah (amal sholeh), maka ia akan mendapatkan balasan, baik di dunia (berupa upah) maupun di akhirat (berupa pahala), yang berlipat ganda. Dari dua ayat terebut dapat kita simpulkan, upah dalam konsep Islam memiliki dua aspek, yaitu dunia dan akhirat.!Proses penentuan upah yang islami berasal dari dua faktor: objektif dan subjektif. Objektif adalah upah ditentukan melalui pertimbangan tingkat upah di pasar tenaga kerja. Sedangkan subjektif, upah ditentukan melalui pertimbangan-pertimbangan sosial. Maksud pertimbangan-pertimbangan sosial adalah nilai-nilai kemanusiaan tenaga kerja. Selama ini ekonomi konvensional berpendapat, upah ditentukan melalui pertimbangan tingkat upah di pasar tenaga kerja. Namun ada sisi kemanusiaan yang harus diperhatikan pula. Misal, tata cara pembayaran upah. Dari Abdullah bin Umar ra, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya. (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani)

Dari hadis tersebut dapat disimpulkan, Islam sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Berbeda dengan konvensional yang hanya memandang manusia sebagai barang modal. Manusia tidak boleh diperlakukan seperti halnya barang modal, misalnya mesin.

Sadeeq (1992) menyebutkan beberapa ketentuan yang akan menjamin diperlakukannya tenaga kerja secara manusiawi. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah: (1) Hubungan antara pemberi kerja (mustajir) dan pelaksana kerja (ajir) adalah man to man brotherly relationship, yaitu hubungan persaudaraan. (2) Beban kerja dan lingkungan yang melingkupinya harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti yang telah diutarakan, manusia tidak sama dengan barang modal. Manusia membutuhkan waktu untuk istirahat, sosialisasi, dan yang terpenting adalah waktu untuk ibadah. (3) Tingkat upah minimum harus mencukupi bagi pemenuhan kebutuhan dasar dari para tenaga kerja.

Keadilan dalam kerja adalah adanya kejelasan atau aqad (perjanjian) antara mustajir dan ajir. Seorang mustajir harus adil dan tegas dalam proses penentuan upah. Hak (upah) seorang ajir akan diberikan jika ia telah mengerjakan kewajibannya (pekerjaannya) terlebih dahulu. Dalam implementasi nilai-nilai keadilan, pemerintah bertugas melakukan intervensi dalam penentuan upah. Pengaruh penentuan "upah minimum" oleh apa yang disebut mekanisme pasar atau aturan pemerintah, adalah pengaruh eksternal yang bisa menjadi pertimbangan, meski bersifat sementara.

Agar terjadi keseimbangan dan keadilan ada alternatif yang ditawarkan. Yakni: (1) Memberikan subsidi silang dengan mekanisme zakat dan infaq, atau alokasi khusus untuk keluarga pekerja yang strata bawah. (2) Membangun mekanisme saling tolong menolong atau takaful dalam bentuk asuransi bersama. (3) Memberikan ruang belajar meningkatkan diri agar karirnya membaik dan mendapatkan upah yang lebih baik.

Dalam langkahnya kita dapat mendayagunakan baitul maal (dan tamwil). Contoh dari subsidi dapat dari, misalnya, masa pemerintahan Umar, subsidi itu diberikan dalam bentuk: (1) Ransum atau jatah tetap setiap orang; dan (2) Subsidi tahunan tunai yang bersifat tetap bagi mereka yang ikut berjihad.

Upah atau Gaji Minimum di Indonesia Karena fluktuasi harga kebutuhan pokok (inflasi dan deflasi), batas upah minimum pun

hendaknya disesuaikan dengan laju inflasi riil. Sistem upah minimum terkait tingkat inflasi saat ini telah dilakukan di negara kita. Untuk konteks Indonesia saat ini, dalam menentukan upah minimum provinsi, terdapat beberapa unsur yang dipertimbangkan. Unsur-unsur tersebut mencakup pangan, sandang, dan papan dll (ada 43 butir seperti tertera dalam surat edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 889 HK. 01.32.2002 tertanggal 10 September 2002). Kebutuhan yang dihitung dalam surat edaran ini adalah kebutuhan seorang pekerja (lajang).

Jika kebutuhannya sewa rumah, pekerja tidak akan pernah memiliki rumah sampai kapan pun. Hal ini tentu melanggar aturan hadis yang diriwayatkan oleh Mustawrid bin Syadad: Aku mendengar Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,"Barangsiapayang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya); seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal.Abu Bakar mengatakan, Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. bersabda, Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri." (HR. Abu Daud).

Memang arti "mencarikan" bisa bermacam-macam. Bisa menyewakan rumah untuk pekerja agar bisa tinggal di dalamnya. Bisa juga membelikan rumah untuk ditempati pekerja. Atau bisa juga menyediakan rumah gratis (semacam rumah dinas) bagi pekerja. Dalam praktiknya di Indonesia, bagi karyawan rendahan disediakan tempat tinggal gratis. Bentuknya bisa rumah sederhana bagi pegawai perkebunan, bisa asrama bagi anggota TNI dan polisi. Untuk karyawan yang sudah tinggi, disediakan rumah dinas bagi pejabat di departemen dengan pangkat eselon 2 ke atas, dan sebagainya.

Menurut saya, arti "mencarikan" adalah memberikan rumah kepada pekerja agar dapat ditempati dan memberikan jaminan agar pekerja pada akhirnya memiliki tempat tinggal permanen. Jika tidak, selamanya pekerja akan menyewa rumah dan tidak akan pernah memiliki rumah. Untuk kondisi saat ini, cara yang paling murah melalui cicilan rumah. Tentunya hal ini tidak dapat diberikan pada semua karyawan, tetapi paling tidak bagi pegawai yang sudah bekerja sekurang-kurangnya lima tahun, dengan alasan bahwa mereka telah setia kepada perusahaan.

Oleh karena itu, harus ada instrumen yang mengatur tentang pengupahan dalam bentuk Buku Pedoman Pengupahan Pegawai Perusahaan. Dalam aturan itu dicantumkan bagi karyawan yang telah bekerja selama lima tahun disediakan bantuan rumah dalam bentuk cicilan. Berkaitan dengan itu, juga diusulkan agar butir kebutuhan "sewa rumah" pada poin 12, digantikan dengan "cicilan rumah", khusus bagi karyawan yang telah bekerja > lima tahun. Besarnya selisih antara sewa rumah dengan cicilan rumah juga tidak terlalu besar. Diharapkan dengan konsep ini, para pekerja akan lebih bergiat lagi dan dapat meningkatkan produktivitas.

Kesehatan karyawan juga merupakan hal yang sangat penting, sebagai kesehatan karyawan adalah modal usahanya. Setiap pekerjaan (usaha) membutuhkan persiapan badan dan jiwa yang baik.Berusaha adalah sebuah keharusan bahkan keharusan bagi kehidupan. Oleh karena itu, kesehatan menjadi wajib. Memenuhi kebutuhan primer (dhoruri) bagi manusia yaitu makan dan minumnya (pangan) adalah wajib juga maka karyawan tidak akan bisa bekerja dan bisa memenuhi kebutuhannya kecuali kalau dia mempunyai kekuatan badan untuk menghasilkan semua. Kekuatan badan di sini berarti kesehatan. Oleh karena itu, memperhatikan karyawan dari segi kesehatan wajib hukumnya dalam Islam.

Gaji Minimum ! Nishob Zakat Dalam praktiknya, meski upah minimum telah dihitung teliti dengan melibatkan pangan, sandang, dan papan seperti surat edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 889 HK. 01.32.2002, masih saja gaji minimum itu tidak mencukupi kebutuhan dasar karyawan, khususnya di negara-negara berkembang.!Sadeq (1989) merekomendasikan, jika upah minimum tidak cukup, para karyawan harus diberi zakat. Kami setuju dengan pendapat ini dan memang demikianlah adanya. Jika gaji karyawan tidak mencukupi kebutuhannya, karyawan dikategorikan sebagai orang miskin dan berhak atas dana zakat. Namun harus ada mekanisme yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan karyawan. Secara garis besar, harus ada ukuran berapa gaji minimum yang diberikan kepada karyawan. Menurut hemat kami, konsep upah minimum harus diperbaiki dengan cara mengenalkan konsep nishob zakat sebagai upah minimum. Artinya, jika nishob zakat disesualkan dengan nilai 20 dinar atau 200 dirham dalam setahun.!Pertanyaannya, dari mana uang untuk membayar upah minimum yang disesuaikan dengan nishob zakat? Bukankah pengusaha akan menolak kalau aturan ini diberlakukan?!Sebenarnya, upah minimum dengan acuan nishob zakat ini bisa saja diterapkan, asalkan biaya produksi dapat ditekan. Menurut penelitian, rata-rata 40% dari rata-rata harga pokok penjualan produk adalah, bunga bank dan

pungutan liar. Seperti yang dilaporkan Agnes Swetta Pandia (Kompas, 22 Oktober 2004), "Dunia usaha tetap akan berdalih ekonomi sulit yang disebabkan oleh tingginya ongkos ekonomi karena banyak pungutan baik legal maupun liar." Jika pungutan liar dapat ditekan sehingga bunga bank mengambil 30% dari harga pokok penjualan, yang 10% lagi (penghematan akibat dihapuskannya pungutan liar) dapat diberikan kepada karyawan.!Proporsi biaya tenaga kerja adalah rata-rata 8% dari biaya produksi. Jika tidak ada pungutan liar, total biaya karyawan sebesar 18% dari biaya produksi (10% penghematan + 8% biaya tenaga kerja saat ini). Biaya tenaga kerja di luar negeri berkisar 12-15% dari biaya produksi. Jika penghematan ini terjadi karena dihapuskannya pungutan liar, tidak ada kesulitan untuk menerapkan nishob zakat sebagai upah atau gaji minimum. Angka 18% adalah lebih dua kali lipat dari angka 8%. Artinya, jika pungutan liar dihapuskan, dua kali lipat pun dari upah atau gaji sekarang, perusahaan mampu membayarnya.!Jika dilihat secara kasat mata, tenaga kerja di negara-negara berkembang, sangat memerlukan kepastian akan perlindungan hak-haknya. Indonesia misalnya, mengadopsi dua model kebijakan mengenai tenaga kerja. Yakni model Amerika Latin dan Asia Timur. Dan penerapan kedua model ini dilakukan Indonesia pada dua periode berbeda. Yakni pada masa Orde Baru dan setelah itu Orde Reformasi. Pada saat sebelum terjadi krisis ekonomi atau dikenal juga dengan masa Orde Baru, Indonesia lebih condong ke model Asia Timur, dengan mengabaikan undangundang perlindungan tenaga kerja, pengkerdilan peran serikat pekerja oleh pemerintah, dll. Sedangkan saat ini pemerintah menggunakan model Amerika Latin, dengan melindungi buruh di sektor modern secara ekstensif , luas, atau agresif.!Namun sebenarnya kebijakan upah minimum dan perlindungan tenaga kerja yang agresif bisa saja merugikan kepentingan sebagian besar pekerja. Bahaya yang dapat ditimbulkan dari kebijakan yang agresif adalah bahwa kesenjangan antara pekerja disektor modern dan tradisional akan makin melebar, dan pertumbuhan kesempatan kerja dalam pekerjaan lebih baik (better jobs) akan melambat. Begitu juga surplus tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern juga akan ikut melambat. Hal yang sangat dibutuhkan adalah kebijakan upah minimum dan kebijakan perlindungan buruh yang paling efektif bagi semua pekerja, baik yang berada di sektor modern dan tradisional.!Dalam perjalanannya penerapan konsep-konsep konvensional ini menemukan kebuntuan, karena konsep-konsep konvensional ini juga memiliki kekurangan. Oleh karena itu Islam bisa dijadikan alternatif sebagai solusi memecah kebuntuan tersebut. Misal, masih banyak hak-hak tenaga kerja yang belum terpenuhi. Standar kesejahteraan tenaga kerja yang masih rendah. Islam sangat menentang hal-hal tersebut. Dalam Islam, hakhak manusia telah dijamin oleh Allah Subhanahu wa taala. Allah telah memberikan semua

apa yang kita butuhkan untuk hidup di dunia ini, udara untuk bernafas, air untuk minum, dll. Jika Allah berbuat demikian, mengapa masih ada manusia yang mengekang hak-hak manusia yang lain, mengapa masih ada majikan yang tidak memenuhi hak-hak pekerjanya.!Dari sini dapat kita lihat perbedaan yang mendasar antara pandangan Islam dan konvensional. Perbedaan tersebut ada dua. Yakni (1) Islam melihat upah sangat besar kaitannya dengan konsep moral atau kemanusiaan sedangkan konvensional tidak. (2) Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi. Tetapi juga menembus batas kehidupan, yaitu dimensi akhirat yang disebut juga dengan pahala sedangkan konvensional tidak.! Selain upah, Islam juga memberi perhatian terhadap hak-hak buruh. Hak-hak buruh yang diakui dalam Islam di antaranya; hak kemerdekaan, yang meliputi kemerdekaan profesi, kemerdekaan melakukan kontrak, dan kemerdekaan berbicara; hak pembatasan jam kerja; hak mendapatkan perlindungan; hak berserikat; hak beristirahat (cuti); dan hak mendapatkan jaminan sosial.[19] Hak-hak buruh/pekerja ini tidak berarti mengurangi kewajibannya untuk menjalankan pekerjaan secara maksimal dan memenuhi kontrak perjanjian. Islam menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia.

Islam adalah solusi dari berbagai macam problema yang ada didunia ini, tak terkecuali problema dalam bidang ekonomi. Oleh sebab itu marilah kita sama-sama sadari bahwa sudah saatnya kita untuk kembali ke jalan agama, mencari solusi melalui agama, mempelajari agama secara kaffah atau menyeluruh. Dengan demikian kita lebih siap untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan permasalahan yang rumit ini.

E. Penutup Di Negara-negara maju, konsep pekerja sebagai produksi tidak popular lagi karena kemajuannya telah menggeser tenaga kerja dari sector buruh ke sector jasa. Konsep ini masih diterapkan di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Karena itulah, tepat kiranya konsep perburuhan (dan upah) dalam Islam diperkenalkan untuk menggeser konsep konvensional yang tidak adil.

Daftar Pustaka

Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, (Yayasan Swarna Bhumi, 1997), cet. ke-2 Hasan, Ahmad, Nazhariyat al-Ujr fi al-Fiqh al-Islmiy, (Suria, Dr Iqr, 2002), cet. ke-1 Jaziry-al, Abdurrahman, al-Fiqh ala Madzhib al-Arbaah, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), Juz III Mannan, M.A., Islamic Economic, Theory and Practice, (Lahpre: SH.Muhamad Ashraf, 1987) Manurung, Prathama Rahardja Mandala, Pengantar Ilmu Ekonomi, Mikroekonomi dan Makroekonomi (Jakarta: FEUI, 2004) Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE, 2004) Nahbani-al, Taqyuddin, al-Nidlm al-Iqtishd f al-Islm, terj. Moh. Maghfur Wachid,Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), cet. ke-7 Prasetyo, Eko, Upah dan Pekerja, (Yogyakarta: Resist Book, 2006) Qaradhawi-al, Yusuf, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, terj Didin Hafidudin (Jakarta: Rabbani Press, 2001) Qorashi, Baqir Sharief, Keringat Buruh, Hak dan Peran Pekerja dalam Islam, terj. (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2007), cet. ke-1 Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, j.3, (Beirut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th) Sukirno, Sadono, Pengantar Teori Mikroekonomi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. ke-20, Syinqithi-al, Muhammad Mushthafa, Dirsah Syariyyah li Ahammi al-Uqd al-Mliyah alMustahdatsah, (Madinah: Maktabah al-Ulm wa al-Hikam, 2001) !Catatan kaki

[1] Muhammad Mushthafa al-Syinqithi, Dirasah Syariyyah li Ahammi al-Uqd al-Mliyah alMustahdatsah, (Madinah: Maktabah al-Ulm wa al-Hikam, 2001), hal. 57 - 59

[2] Eko Prasetyo, Upah dan Pekerja, (Yogyakarta: Resist Book, 2006), hal. 17

[3] Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), cet. ke20, hal. 192

[4] Prathama Rahardja Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi, Mikroekonomi dan Makroekonomi (Jakarta: FEUI, 2004), hal. 87

[5] M.A. Mannan, Islamic Economic, Theory and Practice, (Lahpre: SH.Muhamad Ashraf, 1987), hal. 101

[6] Yusuf Qaradhawi, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, terj Didin Hafidudin (Jakarta: Rabbani Press, 2001), hal. 146

[7] Muhammad, Mikro Dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE, 2004), hal. 225

[8] Ahmad Hasan, Nazhariyat al-Ujr fi al-Fiqh al-Islmiy, (Suria, Dr Iqr, 2002), cet. ke-1, hal. 34 - 35

[9] Ahmad Hasan, Nazhariyat al-Ujr, hal. 22

[10] Muhammad, Ekonomi Mikro, hal. 242

[11] Baqir Sharief Qorashi, Keringat Buruh, Hak dan Peran Pekerja dalam Islam,terj. (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2007), cet. ke-1, hal. 159

[12] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, j.3, (Beirut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), hal. 138

[13] Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh ala Madzhib al-Arbaah, j.3, (Kairo: Dr al-Hads, 2004), hal. 76

[14] Ahmad Hasan, Nazhariyat al-Ujr, hal. 25 27

[15] Taqyuddin al-Nahbani, al-Nidlm al-Iqtishd f al-Islm, terj. Moh. Maghfur Wachid, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), cet. ke-7, hal 83

[16] Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, (Yayasan Swarna Bhumi, 1997), cet. ke-2, hal. 295

[17] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 3, hal. 140

[18] Ahmad Hasan, Nazhariyat al-Ujr, hal. 40 - 45 [19] Baqir Sharief Qorashi, Keringat Buruh, hal. 235 dst

You might also like