You are on page 1of 8

Yayasan Spiritia

No. 41, April 2006

Sahabat Senandika
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha

Laporan Kegiatan
Pertemuan Odha Wilayah Sumatra 2006
Oleh: Siradj Okta
Sekali lagi telah dilakukan Pertemuan Odha Wilayah Sumatera untuk kedua kalinya. Pertemuan pertama dilaksanakan pada bulan April 2005 di Sumatera Utara. Melihat masih adanya kebutuhan untuk dilakukan pertemuan serupa, maka pada bulan April tahun ini telah dilakukan pertemuan wilayah Sumatera yang kedua. Sebagaimana pertemuan yang pertama, pertemuan yang kedua ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri para peserta yang sebagian besar adalah teman-teman Odha yang baru mengetahui statusnya. Pertemuan yang dilakukan di Sumatera Barat ini diikuti oleh 19 peserta dari 9 provinsi di Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung). Pertemuan ini diselenggarakan bekerjasama dengan beberapa kelompok dukungan sebaya di Sumatera yaitu Lancang Kuning Support Group (Riau), Batam Plus (Kepulauan Riau), Medan Positif (Sumatera Utara), dan tuan rumah Lantera Minangkabau (Sumatera Barat). Keterlibatan kelompok-kelompok tersebut dimulai ketika persiapan untuk menentukan materi acara yang sesuai, komposisi peserta, mengundang calon peserta, sampai pada pelaksanaan sebagai fasilitator untuk sesi-sesi yang telah ditetapkan. Khusus mengenai peranan dalam mengundang peserta, para calon peserta yang diundang pada umumnya berasal dari daerah yang belum ada kelompok dukungan sebaya ataupun teman Odha yang dikenal, oleh karena itu proses pengundangan tersebut juga merupakan proses advokasi dan pengembangan jaringan bagi panitia dan kelompok dukungan sebaya di setiap daerah di Sumatera, karena dengan sendirinya harus membuka komunikasi dengan

berbagai pihak terkait di tingkat kabupaten/kota. Dalam pertemuan tiga setengah hari tersebut, telah diselenggarakan sesi-sesi seperti HIV/AIDS Dasar, Infeksi Oportunistik, Pengobatan ARV (oleh dr. Yamin), Kelompok Dukungan, Keterlibatan Odha, Terapi Tertawa dan Motivasi (dr. Bumbunan), dan yang paling penting adalah sesi Berbagi Pengalaman (Sharing). Menurut evaluasi, sesi Berbagi Pengalaman sangatlah bermanfaat dalam menguatkan diri supaya tidak lagi merasa sendiri sebagai orang yang hidupnya terpengaruh oleh HIV. Model berbagi pengalaman inilah yang umumnya menjadi kekuatan dan kegiatan pendukungan sebaya yang utama. Dengan berbagi pengalaman, seorang Odha dapat belajar dari teman sebayanya bagaimana menghadapi beberapa persoalan yang dihadapi. Selain proses pemberdayaan, yang juga terjadi pada pertemuan tersebut adalah terciptanya jaringan pertemanan yang di kemudian hari dapat berkembang menjadi jaringan kerjasama dalam pertukaran informasi, pendukungan, dan advokasi. Tantangan besarnya adalah bahwa sekarang sudah semakin banyak orang mengetahui status dirinya

Daftar Isi
Laporan Kegiatan
Pertemuan Odha Wilayah Sumatra 2006

1
1

Pengetahuan adalah kekuatan


Suplemen Vitamin A tidak mengurangi penularan HIV dari ibu-ke-bayi Apakah Bedah Sesar Pilihan BenarBenar Dibutuhkan untuk PMTCT dalam Era ART? Profilaksis kotrimoksazol sangat efektif terhadap malaria

2
2

5 5

Tips
Tips untuk Odha

7
7

Tanya-Jawab Positive Fund


Laporan Keuangan Positive Fund

8 8
8

Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.

sebagai Odha, oleh karena itu sebuah pertemuan di tingkat wilayah pun dirasa kurang mengakomodir kebutuhan orang yang sekian banyak jumlahnya. Salah satu rekomendasi adalah sudah waktunya untuk dipikirkan untuk penyelenggaraan pertemuan Odha di tingkat provinsi sehingga akan lebih banyak Odha yang bisa mendapat manfaat.

Pengetahuan adalah kekuatan


Suplemen Vitamin A tidak mengurangi penularan HIV dari ibu-ke-bayi
Bahkan dapat merugikan bayi terpajan pada HIV melalui ASI
Oleh Theo Smart, 10 Maret 2006
Suplemen vitamin A, diberikan sebagai dosis tunggal yang tinggi pada ibu atau bayi atau duaduanya segera setelah persalinan, tidak mengurangi penularan HIV dari ibu-ke-bayi (MTCT). Ini menurut hasil akhir dari penelitian Zimbabwe Vitamin A for Mothers and Babies (Zvitambo), diterbitkan di Journal of Infectious Diseases terbitan 15 Maret 2006. Sebetulnya, data memberi kesan bahwa suplemen vitamin A dapat meningkatkan penularan HIV dan/atau kematian bayi pada beberapa kelompok penelitian serta menduakalikan risiko kematian pada subkelompok bayi terpajan pada HIV melalui ASI. Vitamin A Vitamin A adalah bahan gizi esensial, dan kekurangannya dihubungkan dengan kebutaan waktu malam, kekebalan yang lemah, infeksi dan ketahanan hidup yang lebih rendah pada anak di atas usia enam bulan. Tambahan vitamin A secara berkala pada anak berusia di atas enam bulan diusulkan dan diterapkan oleh lebih dari 70 negara dan dianggap sangat bermanfaat dan hemat biaya. Lagi pula, beberapa penelitian di Afrika menemukan bahwa, pada anak HIV-positif berusia di atas enam bulan, tambahan vitamin A

mengurangi penyakit (diare dan batuk), dan mengurangi angka kematian hampir separo. Tambahan vitamin A juga bermanfaat pada orang dewasa, terutama bila mereka kekurangan bahan gizi karena diet yang tidak sesuai atau ketidakamanan makanan. Penelitian di rangkaian terbatas sumber daya dengan kekurangan bahan gizi yang umum menunjukkan bahwa tambahan vitamin A (200.000 - 400.000 IU di satu atau dua dosis) pada perempuan hamil dan ibu yang menyusui umumnya memperbaiki kesehatan ibu dan bayi. Penemuan tentang manfaat tambahan vitamin A secara langsung (50.000 IU) pada balita muda tidak konsisten, dengan dua penelitian besar menunjukkan ada manfaat dan satu penelitian lain menunjukkan tidak ada dampak. Vitamin A dan HIV Namun, penelitian tersebut tidak dilakukan pada populasi dengan beban tinggi HIV, dan selain manfaat sudah ditunjukkan pada anak HIV-positif dari rangkaian terbatas sumber daya, dampak tambahan vitamin A pada orang dengan atau berisiko HIV mungkin tidak selalu begitu jelas. Misalnya, di awal 1990-an, sebuah penelitian melaporkan bahwa orang dengan HIV di AS di mana kekurangan bahan gizi tidak umum, yang memakai terlau banyak atau terlalu sedikit vitamin A, lebih cepat melanjut pada AIDS dibandingkan mereka yang hanya memakai vitamin A berdasarkan kebutuhan diet yang dianjurkan (recommended daily allowance/RDA). Bahkan memakai hanya dua kali RDA mengakibatkan dampak yang merugikan pada pasien ini - walaupun hasil ini tidak dapat berlaku langsung pada rangkaian di mana orang kekurangan bahan gizi. Tambahannya, penelitian pembiakan sel menunjukkan interaksi yang rumit antara HIV dan vitamin A yang berubah dalam dua cara yang sangat berbeda tergantung pada waktu infeksi and pajanan pada vitamin A. Beberapa penelitian melaporkan bahwa mengobati sel terinfeksi HIV dengan vitamin A menghambat secara langsung transkripsi dan replikasi virus, sementara sebaliknya penelitian lain menemukan bahwa infeksi HIV menyebar jauh lebih cepat dalam biakan sel yang diobati sebelumnya dengan vitamin A. Beberapa efek yang melawan ini dapat dirangsang oleh beberapa efek yang manjur oleh vitamin A pada perbedaan sel (cell differentiation), reaksi enzim dan penunjukan reseptor sel, di satu sisi menghambat HIV sementara di sisi lain, merangsang sel untuk infeksi.

Sahabat Senandika No. 41

Tetapi apakah dan bagaimana penemuan in vitro ini ada kaitan dengan keadaan klinis tidak diketahui. Kemudian, juga pada awal 1990-an, sedikit penelitian pengamatan di antara perempuan HIVpositif mencatat bahwa kekurangan vitamin A saat hamil berhubungan dengan tingkat penularan HIV dan/atau angka kematian bayi yang lebih tinggi, serta kepekatan HIV terkait sel yang lebih tinggi pada ASI. Diperkirakan bahwa hubungan ini mungkin berdasarkan akibat - bahwa tingkat vitamin A yang lebih rendah mendorong replikasi dan meningkatkan penularan. Karena vitamin A juga penting untuk kesehatan jaringan mukosa, misalnya kelenjar mamari, para peneliti mengesankan bahwa tambahan vitamin A dapat mengurangi penularan HIV dan angka kematian terkati pada bayi dilahirkan oleh ibu HIV-positif - terutama pada rangkaian terbatas sumber daya dan ibu yang menyusui. Namun, tiga penelitian lanjutan tentang tambahan vitamin A pada perempuan hamil dan menyusui tidak menemukan manfaat macam ini dan satu penelitian di Tanzania justru melaporkan risiko penularan HIV yang lebih tinggi. Zvitambo Zvitambo kemungkinan adalah penelitian MTCT dengan vitamin A yang terakhir dan terbesar, dengan melibatkan sejumlah 14.110 pasangan ibubayi di 14 klinik dan rumah sakit persalinan di daerah perkotaan Harare. Berbeda dengan tiga penelitian sebelumnya, yang menilai tambahan setiap hari, Zvitambo mengukur dampak pada MTCT terkait menyusui dan angka kematian tanpa HIV dengan memakai rejimen yang lebih sederhana (yang mengandung dosis vitamin A tunggal yang besar (400.000 IU) diberikan pada perempuan HIVpositif dan/atau bayinya (50.000 IU) segera setelah lahir). Antiretroviral untuk mencegah MTCT belum tersedia di Zimbabwe pada waktu itu. Peserta dibagi secara acak pada satu dari empat kelompok 96 jam setelah melahirkan: * Aa - ibu dan bayi diberikan vitamin A * Ap - ibu menerima vitamin A, bayi plasebo * Pa - ibu diberikan plasebo, bayi vitamin A * Pp - ibu dan bayi diberikan plasebo Bayi dilahirkan oleh ibu HIV-positif dibagi lagi berdasarkan waktu terinfeksi. Bayi dengan hasil tes HIV positif waktu lahir dikategorikan sebagai bayi IU karena mereka pasti terinfeksi dalam kandungan. Bayi yang negatif waktu lahir tetapi

positif enam minggu kemudian dikategorikan sebagai bayi IP, karena kemungkinan mereka terinfeksi waktu akhir persalinan atau awal usia. Sisanya dikategorikan sebagai bayi negatif-6minggu. Pada awal penelitian, 4495 bayi dilahirkan pada perempuan dengan hasil tes HIV positif. Umumnya, sifat awal serupa pada semua kelompok (walaupun ada ketidakseimbangan yang kecil tetapi bermakna secara statistik pada pendidikan ibu dan berat badan bayi waktu lahir. Kurang lebih 60 persen ibu pada semua kelompok mempunyai tingkat retinol dalam darah di bawah 1,05mmol/L pada waktu melahirkan. Hasil Penularan: Diestimasi 8,6 persen (95% CI 7,210%) terinfeksi pada awal, 26,6 persen (25.1% 27.9%) pada enam minggu dan 37,5 persen (35.7%40.1%) pada 24 bulan. Secara proporsi, 22,9 persen, 48 persen dan 29,1 persen semua penularan HIV terjadi dalam kandungan, pada ahkir persalinan/awal hidup, dan setelahnya. Proporsi kumulatif adalah 29.1 persen (26.2% 32.5%) dan 43.2 persen (38.2%48.8%) pada enam minggu dan 24 bulan. Mengenai dampak pada penularan, atau penularan dan kematian bersama (tahan hidup tanpa HIV) oleh masing-masing kelompok, para penulis mencatat bahwa tidak ada dampak yang bermakna pada MTCT setelah melahirkan oleh pemberian vitamin A pada ibu atau bayi...antara awal dan 24 bulan. Namun angka penularan dan angka penularan-atau-kematian sebetulnya lebih tinggi pada kelompok Ap dan Pa, dibandingkan dengan angka pada kelompok Aa dan Pp - dan mencapai perbedaan yang bermakna secara statistik pada 12 bulan. Namun perbedaan tidak bermakna secara statistik bila lihat pada tahan hidup tanpa HIV pada bayi berusia enam minggu saja. Jadi perbedaan sudah jelas setelah enam minggu, dan para penulis memikirkan bahwa dosis vitamin A tidak mempunyai dampak pada penularan pada waktu itu. Tetapi walau memang benar bahwa tambahan vitamin A setelah lahir tidak mempunyai dampak pada penularan pada akhir kehamilan atau waktu persalinan, vitamin A mungkin berdampak pada penularan setelah lahir yang terjadi setelah vitamin A diberikan, selama minggu-minggu pertama kehidupan. Tes HIV PCR mendeteksikan banyak infeksi dalam 2-3 minggu setelah penularan, jadi tes ini pada enam mnggu akan mendeteksikan banyak,

April 2006

tetapi tidak semua kasus awal setelah lahir. Harus dianggap bahwa bila vitamin A mempunyai dampak negatif pada penularan, hasil ini akan menjadi jelas segera setelah diberikan daripada lebih lama. Para penulis mengaku mereka ragu dengan penemuan karena peningkatan yang konsisten pada penularan atau kematian tidak dilihat pada kelompok Aa. Mereka mencatat bahwa hal ini mungkin diakibatkan kebetulan daripada interpretasi yang kurang mungkin bahwa pemberian vitamin A hanya pada ibu atau hanya pada bayi meningkatkan penularan, sementara pemberian vitamin A pada ibu dan bayi tidak mempunyai dampak. Namun adalah aneh bahwa para peneliti memilih menganggap bahwa masalah adalah dengan dua kelompok yang menunjukkan peningkatan pada risiko penularan, daripada pada satu kelompok yang tidak menunjukkan peningkatan - terutama demgan mengingatkan hasil dari penelitian sebelumnya dari Tanzania. Lagi pula, dalam tajuk rencana yang mengiringi, satu lagi peneliti gizi terkenal, Dr Wafaie W. Fawzi dari Harvard University, memberi kesan bahwa para peneliti menyingkirkan tafsiran yang tidak mungkin terlalu cepat: Hanya sedikit diketahui mengenai hubungan yang rumit antara tambahan vitamin A dan campuran efek buruk dan baik yang mungkin pada parameter imunologis dan virologis pada tingkat sistemik dan mukosa, dan adalah sulit untuk mengabaikan peningkatan pada risiko yang diamati oleh Humphrey dkk. waktu vitamin A diberikan hanya pada para ibu atau para bayi. Angka kematian: Namun, para penulis menyimpulkan bahwa tambahan vitamin A memang mempunyai dampak pada tahan hidup tergantung pada waktu penularan HIV terjadi. Sejumlah 381 bayi dikategorikan sebaga IU, 504 sebagai IP dan 2876 sebagai negatif6-minggu. Dari masing-masing kelompok ini, 339 (89%), 478 (94.8%), and 2644 (91.9%) dipantau selama 12 bulan. Tambahan vitamin A baik pada ibu maupun pada bayi atau keduanya tidak mempunyai dampak pada bayi IU. Namun pada bayi IP, vitamin A mengurangi angka kematian secara bermakna pada 24 bulan, yaitu 28 persen. Kemungkinan terjadi kematian adalah serupa untuk kelompok Aa dan Pa, tetapi tambahan pada ibu saja (Ap) tidak mempunyai dampak. Sebaliknya, untuk bayi yang negatif pada usia enam minggu, tiga-tiganya rejimen tambahan vitamin A berhubungan dengan peningkatan dua

kali pada angka kematian. Karena para peneliti menganggap bahwa tambahan vitamin A tidak meningkatkan penularan (walaupun setelah waktu pemantuan lebih lama hasil tes HIV tidak tersedia), mereka menyimpulkan bahwa penemuan kita...dapat menjadi akibat dari rangsangan oleh vitamin A yang meningkatkan viral load pada mereka yang terinfeksi selama disusui, dengan demikian mempercepat lanjutannya pada kematian. Implikasi pada kebijakan masyarakat Tanpa menghiraukan bagaimana penyimpangan dijelaskan, tampaknya jelas sekarang bahwa kepekatan vitamin A yang rendah pada perempuan terinfeksi HIV yang dilaporkan oleh penelitian pengamatan sebelumnya tidak tentu berakibat langsung pada peningkatan dalam penularan atau tingkat replikasi virus yang lebih tinggi pada ASI. Sebetulnya kekurangan vitamin A mungkin hanya menandai atau menjadi hasil dari penyakit lanjutan yang sendiri adalah alasan untuk penularan yang lebih tinggi. Perubahan kebijakan masyarakat berdasarkan pengamatan awal ini mungkin sudah merugikan beberapa anak. Penemuan dari penelitian ini di Zimbabwe menyoroti pentingnya melakukan penelitian secara teliti untuk menilai pentingnya intervensi biaya rendah yang sering dianggap bermanfaat... Untuk sementara, bukti yang ada - termasuk penemuan terakhir dari Zimbabwe - mengangkat keprihatinan mengenai keamanan dari program tambahan vitamin A pada ibu seperti diusulkan oleh WHO, menulis Dr. Fawzi dalam tajuk rencananya.
Referensi: Humphrey JH et al. Effects of a single large dose of vitamin A, given during the postpartum period to HIV-positive women and their infants, on child HIV infection, HIV-free survival, and mortality. J Infect Dis; 193: 860871, 2006. Fawzi WW. The benefits and concerns related to vitamin A supplementation. J Infect Dis; 193(6): 756-759, 2006. URL: http://www.aidsmap.com/en/news/8642B5F9-62574264-ABFE-9AF6FD088A05.asp

Sahabat Senandika No. 41

Apakah Bedah Sesar Pilihan Benar-Benar Dibutuhkan untuk PMTCT dalam Era ART?
Ada debat terus-menerus mengenai kebutuhan akan bedah sesar untuk mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi (PMTCT) bila terapi antiretroviral dipakai dan bayi tidak disusui. Tujuan analisis retrospektif ini, yang dilakukan di B.J Waida Hospital for Children di Parel, Mumbai, India, adalah untuk menentukan apakah persalinan vagina bersamaan dengan ART dan menghindari menyusui adalah aman untuk PMTCT. Dua ratus dua puluh dua perempuan hamil yang HIV-positif diobati dengan AZT dari 14 minggu kehamilan. Seratus tujuh puluh empat perempuan memilih melahirkan melalui bedah sesar sementara 48 perempuan melahirkan secara spontan melalui vagina. Semua bayi diobati dengan AZT selama enam minggu dan tidak disusui. Status HIV semua anak ditentukan dengan tes ELISA pada usia 18 bulan. Hasil Dari 174 bayi yang dilahirkan melalui bedah sesar, dua terinfeksi HIV, sementara 172 (98,9 persen) tidak terinfeksi. Dari 48 bayi yang dilahirkan melalui vagina, 27 (97,9 persen) adalah HIV-negatif dan satu terinfeksi HIV. Penulis penelitian ini menyimpulkan, Jadi, bedah sesar pilihan secara statistik tidak lebih baik dibandingkan persalinan melalui vagina (p=0,87), yang memberi kesan bahwa melahirkan melalui vagina adalah sama efektif untuk mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi bila dilengkapi dengan terapi antiretroviral tanpa menyusui. Persalinan melalui vagina dengan ART untuk ibu dan bayi dan menghindari menyusui adalah serupa dengan bedah sesar pilihan untuk mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi. Jadi intervensi bedah mungkin tidak dibutuhkan untuk perempuan ini. Department of Perinatal and Pediatric HIV Clinic, B. J. Wadia Hospital for Children, Parel, Mumbai, India.
Referensi: I Shah. Is Elective Caesarian Section Really Essential for Prevention of Mother to Child Transmission of HIV in the Era of Antiretroviral Therapy and Abstinence of Breast Feeding? Journal of Tropical Pediatrics March 29, 2006 [Epub ahead of print]. 7 April 2006 URL: http://www.hivandhepatitis.com/recent/2006/ad1/ 040706_a.html

Profilaksis kotrimoksazol sangat efektif terhadap malaria


Oleh Michael Carter, 1 November 2005
Penggunaan profilaksis jangka pendek dengan kotrimoksazol, umumnya dipakai untuk mencegah dan mengobati berbagai infeksi terkait AIDS, hampir 100 persen efektif untuk melindungi terhadap malaria, dan tidak menyebabkan resistansi terhadap obat antimalaria sulfadoksin-pirimetamin. Ini menurut penelitian yang dilakukan di Mali dan diterbitkan di Journal of Infectious Diseases edisi 15 November 2005. Kotrimoksazol dibuktikan mengurangi kematian dan kesakitan pada orang HIV-positif dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, dan obat ini diusulkan dalam rangkaian terbatas sumber daya oleh UNAIDS untuk semua orang HIV-positif dengan jumlah CD4 di bawah 500, dan semua bayi dilahirkan oleh ibu HIV-positif. Namun kotrimoksazol dan sulfadoksin-pirimetamin bekerja dengan cara yang serupa, dan ada keprihatinan bahwa penggunaan kotrimoksazol secara luas dapat meningkatkan prevalensi parasit malaria yang resistan terhadap sulfadoksin-pirimetamin. Sebuah penelitian yang diterbitkan pada September 2005 menemukan bahwa kotrimoksazol mengurangi kejadian malaria di antara orang Malawi yang HIVpositif. Namun sebuah penelitian lain yang dilakukan di Malawi, dan diterbitkan pada pertengahan tahun 2005, menemukan bahwa kebanyakan infeksi oportunistik yang dapat dicegah oleh kotrimoksazol adalah jarang, dan malaria dengan kepekaan rendah terhadap kotrimoksazol sangat luas. Oleh karena ini, penelitian tersebut menunujkkan keprihatinan bahwa profilaksis kotrimoksazol untuk orang HIV-positif mungkin lebih berisiko daripada bermanfaat. Namun, keprihatinan ini mungkin tidak mempunyai dasar. Berdasarkan hasil penelitian baru ini dan bukti jelas bahwa profilaksis [kotrimoksazol] mencegah kematian pada Odha di berbagai rangkaian di Afrika, jelas keprihatinan tentang penyebaran resistansi terhadap sulfadoksinpirimetamin tidak membenarkan penundaan lagi pada pelaksanaan profilaksis kotrimokasazol, menulis para peneliti.

April 2006

Para penyidik merancang penelitian open-label secara acak yang melibatkan sejumlah 240 anak berusia 5-15 tahun di Mali. Tujuan primer penelitian adalah untuk menguji teori bahwa profilaksis dengan kotrimoksazol mengurangi keefektifan pengobatan sulfadoksin-pirimetamin untuk malaria. Tujuan sekunder adalah untuk melihat apakah pengobatan dengan kotrimoksazol mendorong munculnya parasit malaria dengan resistansi. Anak dalam kelompok kontrol menerima suntikan profilaksis kotrimoksazol (terdiri dari trimetoprim 150mg/m2 dan sulfametoksazol 750mg/m2) pada tiga hari berturut selama 12 minggu. (Sebuah penelitian sebelumnya di Zambia yang menyelidiki keamanan dan kemanjuran profilaksis kotrimoksazol pada anak HIV-positif memberi dosis oral terdiri dari 240mg [5ml sirop] kotrimoksazol sehari untuk anak di bawah usia lima tahun, dan yang lebih tua 480mg [10ml]). Semua anak dipantau untuk gejala klinis malaria dan contoh darahnya dianalisis untuk melihat apakah mereka mempunyai malaria asimptomatis. Anak-anak berusia rata-rata sepuluh tahun dan diacak 2:1 pada kelompok pengobatan atau kontrol. Anak dalam kelompok kontrol menerima suntikan kotrimoksazol pada tiga hari berturut-turut per minggu untuk 12 minggu. Pada awalnya, tes darah menunjukkan bahwa 20 persen anak pada kelompok pengobatan dan 16 persen anak di kelompok kontrol terinfeksi dengan parasit malaria. Pemantauan dilakukan rata-rata 11,8 minggu pada kelompok pengobatan dan 11,7 pada kelompok kontrol. Hanya satu kasus malaria klinis terjadi selama 1890 orang-minggu pemantauan pada kelompok pengobatan. Sebagai pembanding, 72 kasus malaria terjadi selama 681 orang-minggu pemantauan di kelompok kontrol. Kemanjuran profilaksis [kotrimoksazol] terhadap malaria yang tidak rumit adalah 99,5 persen, menulis para peneliti. Malaria asimptomatis ditemukan pada tiga dari 466 contoh darah didapat dari anak di kelompok pengobatan dan 43 dari 231 contoh darah dari anak di kelompok kontrol. Jadi kotrimoksazol mempunyai 97 persen kemanjuran terhadap malaria asimptomatis. Para peneliti juga menemukan bahwa anak pada kelompok pengobatan mempunyai lebih sedikit

penyakit perut-usus dan membutuhkan lebih sedikit obat resep dibandingkan anak pada kelompok kontrol. Mereka juga menemukan bahwa profilaksis kotrimoksazol tampaknya meningkatkan tingkat hemoglobin yang menghasilkan kejadian anemia yang lebih rendah pada kelompok pengobatan. Hanya satu efek kerugian ditemukan pada kelompok kotrimoksazol. Kasus ini adalah hepatitis akut yang terjadi tiga hari setelah dosis pertama kotrimoksazol. Anak yang bersangkutan menunjukkan tanda virus infeksi hepatitis A dan hepatitis B. Pola resistansi terhadap parasit malaria yang serupa diamati di kedua kelompok penelitian.
Referensi: Thera MA et al. Impact of trimethoprim-sulfamethoxazole prophylaxis on falciparum malaria infection and disease. J Infect Dis 192: 1823-1829, 2005. URL: http://www.aidsmap.com/en/news/2EF3586D-4F8A4363-95E2-A3832AB1566B.asp

Sahabat Senandika No. 41

Tips
Tips untuk Odha
Supaya sehat, kita perlu mengkonsumsi buah yang cukup. Namun memilih buah gampanggampang susah. Terkadang kulitnya berwarna cantik menggiurkan, tetapi rasanya tidak sesuai. Agar tidak menyesal dengan kualitas buah yang dibeli, simak tips berikut: 1. Jeruk: Buah yang seolah tak pernah mengenal musim ini berkhasiat untuk keindahan dan kecantikan kulit. Pilih buah jeruk yang benar-benar kuning, bukan kuning terang. Selain itu periksa kulitnya. Ambil jeruk yang berkulit tipis dan mengilap. Khusus jeruk medan, pilih yang buahnya berat, sedikit berlekuk dan dekok bila diraba. 2. Mangga: Anda dapat memilih mangga yang ujung tangkainya berwarna kuning atau kekuningan. Pilih juga yang harumnya manis sampai ke ujung buah. Dipangkalnya harum dan lebar. Kulitnya mulus dan kencang, tidak mengkerut. 3. Durian: Bila durinya sudah melebar dan agak lunak, durian bisa dibilang bagus. Pilih juga yang beraroma harum dengan kulit tidak bolong. Bila dipukul-pukul bunyinya bukbukdan berat sesuai. Jangan pilih yang bulat bagus, tapi pilih yang bentuknya agak aneh, biasanya rasanya nikmat. 4. Semangka: Semangka biasanya ditepuk-tepuk untuk mendengar kopong atau tidak. Semakin kopong berarti kurang banyak airnya dan kurang bagus. 5. Melon: Pilih dengan bekas bulatan tangkainya yang kelihatan mekar. Jangan lupa cari melon yang guratan uratnya banyak dan tebal. 6. Manggis: Sebaiknya pilih yang kulitnya lembut bila dipencet atau diraba. Sedangkan warnanya, pilih yang ungu tua segar. Raba dulu seluruh permukaan. Jika masih ada yang keras itu artinya bagian tersebut masih mentah atau sudah busuk. 7. Alpukat: Bagaimana memilih alpukat yang lezat? Pilih yang kulitnya hijau tua segar, berarti masih muda. Ciri lain, pada pangkal buah tempat melekatnya tangkai buah, tidak menonjol tapi justru tertarik ke arah dalam. Alpukat dengan warna hijau maupun tembaga, biasanya lebih enak jika sudah matang. 8. Belimbing manis: Belimbing yang bagaimana sih yang lezat? Jawabnya, yang matang dipohon.

Ciri-cirinya kuning mengkilat, warna kuning segar (kecuali belimbing demak kapur yang memang putih), daging buah pada rusuk-rusuknya tampak penuh. Setelah dipetik, disimpan lebih dulu selama 2 hari agar rasanya lebih manis. 9. Jambu biji: Sebaiknya pilih jambu biji yang buahnya besar, dagingnya tebal serta lunak, rasanya manis dan bijinya sedikit atau tidak sama sekali berbiji. Ciri-ciri unggulan tersebut hanya terdapat pada jambu impor, misalnya jambu bangkok. 10. Nanas: Semua nanas rasanya manis karena mangandung beberapa jenis gula buah. Tapi jenis daging nanas yang buahnya putih tidak semanis yang kuning. Oleh karena itu, pilih nanas yang kulit dan dagingnya berwarna kuning seperti nanas Bogor, nanas Palembang dan nanas Blitar/Kediri. Jika menginginkan nanas yang lebih asam untuk rujak atau campuran masakan, pilih yang kulit buahnya berwarna hijau, daging buahnya putih seperti nanas Subang, nanas Banten atau nanas Semarang.
Sumber: Majalah Kartini No 2161, 16-30 Maret 2006

April 2006

Tanya-Jawab
T: Apakah Penisiliosis itu? Dan Bagaimana Penisiliosis diobati? J: Penisiliosis adalah infeksi jamur Penicillium marneffei, yang biasanya ditemukan didaerah tropis. Hingga saat ini, sebagian besar kasus penisiliosis ditemukan di Thailand uatara, dan jarang didiagnosis sebelum sesorang masuk ke dalam tahap AIDS. Seperempat pasien AIDS di Chiang Mai, Thailand di diagnosis penisiliosis. Seperti penyakit lain yang jarang ditemui dan dulu sangat tidak dikenal, infeksi ini mempunyai kesempatan untuk berkembang karena lemahnya sistem kekebalan orang yang terinfeksi HIV. Jika tidak diobati, penisiliosis dapat menjadi mematikan. Sumber infeksi jamur ini masih belum diketahui. Satu-satunya petunjuk adalah infeksi dari tikus bambu. Tikus bambu ditemukan di Cina selatan sampai ke Indonesia. Di Thailand Utara, habitatnya adalah di belukar bambu di daerah pegunungan, dimana mereka hidup dalam tanah dan berkembang biak pada musim hujan, dari Mei sampai Oktober. Penisiliosis adalah penyakit pernapasan yang disebarkan dari paru-paru. P. marneffei dapat ditemukan di tempat yang sedang dibangun, ketika membongkar bangunan tua, dan pada kotoran burung serta kelelawar. Tanda penisiliosis sebagian besar tidak khusus; gejalanya seperti demam, kehilangan berat badan, anemia (kekurangan sel darah merah), batuk, dan pembengkakan pada hati, limpa dan kelenjar getah beninggejala yang sangat umum terkait dengan AIDS. Hingga 70% kasus juga mengalami luka seperti jerawat pada kulit. Gejala muncul secara mendadak dan hebat. Penisiliosis dapat diobati dengan obat antijamur yang manjur seperti flukonazol, itrakonazol, dan amfoterisin B. Setelah kita pulih kembali dari penisiliosis, kita harus terus menerus memakai obat antijamur untuk mencegah infeksi kambuhan.

Positive Fund
Laporan Keuangan Positive Fund Yayasan Spiritia Periode April 2006 Saldo awal 1 April 2006 12,092,375

Penerimaan di bulan April 2006 300,000+ ___________ Total penerimaan Pengeluaran selama bulan April : Item Pengobatan Transportasi Komunikasi Peralatan / Pemeliharaan Modal Usaha Total pengeluaran Saldo akhir Positive Fund per 30 April 2006 10,541,975 Jumlah 1,850,400 0 0 0 0 ___________+ 1,850,40012,392,375

Sahabat Senandika
Diterbitkan sekali sebulan oleh

Yayasan Spiritia
dengan dukungan
THE FORD ATION FOUNDA FOUND

Kantor Redaksi: Jl Radio IV/10 Kebayoran Baru Jakarta 12130 Telp: (021) 7279 7007 Fax: (021) 726-9521 E-mail: yayasan_spiritia@yahoo.com Editor: Caroline Thomas
Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon). Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.

Sahabat Senandika No. 41

You might also like