You are on page 1of 15

LEARNING OBJECTIVE 1.

Memahami dan Menjelaskan MKEK dan MKDKI Etik Profesi Kedokteran Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabidan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter. World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 membuat sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsipprinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis. Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikapa lt ru isme (pengabdian profesi). Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke araht oo ls dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan. IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).

Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar hanya akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya.Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UUNo 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran. MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah disiplin profesi, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK. Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya. Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim. Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh : 1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan.

2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat- surat lain yang berkaitan dengan kasusnya. Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum pidana ataupun perdata.Bars Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifath ea rsa y dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal). Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya disahkan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit). Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Padabe yon d reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan. Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct, unprofessional conduct, professional misconductd an infamous conduct in professional respect. Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik. Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK. Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan. MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk :

1. Menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. 2. Menetapkan sanksi disiplin. MKDKI merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang dalam menjalankan tugasnya bersifat independen. Tujuan penegakan disiplin adalah : 1. Memberikan perlindungan kepada pasien. 2. Menjaga mutu dokter / dokter gigi. 3. Menjaga kehormatan profesi kedokteran / kedokteran gigi. Anggota MKDKI terdiri dari dokter, dokter gigi, dan sarjana hukum Susunan anggota MKDKI periode 2006 - 2011 : 1. Merdias Almatsier, dr, SpS(K) (Ketua MKDKI) 2. Dr. Sabir Alwy, SH, MH (Wakil Ketua MKDKI) 3. Dr. Hargianti Dini Iswandari, drg, MM (Sekretaris MKDKI) 4. Suyaka Suganda, dr, SpOG 5. Prof. Budi Sampurna, dr, SpF, SH 6. Mgs. Johan T Saleh, dr, MSc 7. Edi Sumarwanto,drg, MM 8. Muryono Subyakto, drg, SH 9. Ahmad Husni, drg, MARS 10. Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH, MH 11. Dr. Otto Hasibuan, SH, MM Sesuai UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin dalam keputusan MKDKI dapat berupa: 1. Pemberian peringatan tertulis. 2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP); dan/atau. 3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. MKDKI Mempuyai kewenangan: 1. MKDKI berwenang untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin oleh dokter/dokter gigi 2. MKDKI berwenang menetapkan sanksi disiplin kepada dokter/dokter gigi yang dinyatakan melanggar disiplin kedokteran/kedokteran gigi 3. MKDKI tidak menangani sengketa antara dokter dan pasien/keluarganya 4. MKDKI tidak menangani permasalahan ganti rugi yang diajukan pasien/keluarganya.

2. Memahami dan Menjelaskan Malpraktek dan Investigasinya Dari definisi malpraktek adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran

dilingkungan yang sama. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenagakesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis). Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni : a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni : 1. Cara langsung Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni : 1. Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak berdasarkan (1) Adanya indikasi medis (2) Bertindak secara hati-hati dan teliti (3) Bekerja sesuai standar profesi (4) Sudah ada informed consent. 2. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan. 3. Direct Causation (penyebab langsung) 4. Damage (kerugian) Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria: a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence. gugatan pasien . Upaya pencegahan malpraktek : 1) Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hatihati, yakni: a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis). b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent. c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis. d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter. e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya. f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya. 2) Upaya menghadapi tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan. Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat melakukan : a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan. b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa. c. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar

ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.

3. Memahami dan Menjelaskan Rekam Medis REKAM MEDIS Pasal 46 1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedoktcran wajib membuat rekam medis. 2. Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan. 3. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Pasal 47 1. Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien. 2. Rekarm medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. 3. Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Definisi Definisi Rekam Medis dalam berbagai kepustakaan dituliskan dalam berbagai pengertian, seperti dibawab ini: a. Menurut Edna K Huffman: Rekam Medis adalah berkas yang menyatakan siapa, apa, mengapa, dimana, kapan dan bagaimana pelayanan yang diperoleh seorang pasien selama dirawat atau menjalani pengobatan. b. Menurut Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989: Rekam Medis adalah berkas yang beriisi catatan dan dokumen mengenai identitas pasien, basil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang diterima pasien pada sarana kesehatan, baik rawat jalan maupun rawat inap. c. Menurut Gemala Hatta Rekam Medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan seseorang dan riwayat penyakitnya, termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat lampau yang ditulis oleh para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. d. Waters dan Murphy :

Kompendium (ikhtisar) yang berisi informasi tentang keadaan pasien selama perawatan atau selama pemeliharaan kesehatan. e. IDI :Sebagai rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan medik/kesehatan kepada seorang pasien. Rekam Medis Kesehatan menurut Lampiran SK PB IDI No 315/PB/A.4/88 adalah rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan medis / kesehatan kepada seorang pasien. Isinya adalah: a. Kumpulan bukti bukti dalam bentuk berkas catatan dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya, hasil pemeriksaan laboratorium, gejala gejala yang timbul. Singkatnya mengenai segala sesuatu yang telah dilakukan di RS selama pasien dirawat, termasuk Informed Consent yang sudah dibubuhi tanda tangan yang dilekatkan pada berkas Rekam Medis tersebut. b. Kegunaan dari Rekam Medis merupakan 'flash back' tentang apa apa saja yang dilakukan selama pasien dirawat di RS tersebut. Kegunaan Rekam Medis menurut Pasal 70 Permenkes No 749 tahun 1989 adalah: 1. Berkas Rekam Medis milik sarana pelayanan kesehatan. 2. Isi Rekam Medis milik RS, pasien hanya mendapat fotocopi resume. Pasal 11 : Rekam Medis wajib dijaga kerahasiaannya. Pasal 12 : Pemaparan isi Rekam Medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat dengan izin dari pasien. Isi Rekam Medis: Data Pribadi Nama, nomor KTP, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, alamat sekarang, keluarga terdekat, pekerjaan, nama dokter dan keterangan yang diperlukan untuk identifikasi lainnya Data Finansial Nama / alamat majikan / perusahaan, perusahaan asuransi yang menanggung, tipe asuransi, nomor polis, dsb. Data Sosial Kewarganegaraan / kebangsaan, hubungan keluarga, agama, penghidupan, kegiatan masyarakat dan data data lain mengenai kedudukan sosial pasien.

Data Medis Merupakan rekam klinis dari pasien, rekaman pengobatan yang berkesinambungan yang diberikan kepada pasien selama ia dirawat di RS. Data data ini memuat hasil hasil pemeriksaan fisik, riwayat penyakit, pengobatan yang diberikan, laporan kemajuan pengobatan, instruksi dokter, laporan lab klinik, laporan laporan konsultasi, anestesi,

operasi, formulir Informed Consent, catatan perawat dan laporan / catatan lain yang terjadi dan dibuat selama pasien dirawat. Kegunaan Rekam Medis menurut Permenkes No 749 tahun 1989 adalah sebagai: a. Atas dasar apa pasien dirawat dan adakah monitor dan evaluasi pengobatan selama dalam perawatan. b. Data data rekam medis dapat dipakai sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum. c. Data data tersebut kemudian dapat dipakai untuk keperluan penelitian dan pendidikan. d. Data data tersebut dapat dipakai sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan. e. Serta sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan. Semua catatan tulisan dalam Rekam Medis harus dapat dibaca dan lengkap, harus otentik dan diberi tanggal dan waktu, langsung oleh orang yang bertanggung jawab untuk memberi instruksi, memberi atau mengevaluasi pelayanan yang diberikan ( identifikasi dengan nama dan disiplin ilmu, tanda tangan, inisial tertulis atau pemasukan pakai komputer ). Dalam hal dokter memberi instruksi via telepon untuk suatu tindakan medis, harus diterima oleh perawat senior, perawat tersebut harus membaca ulang perintah tersebut dan mencatatnya di rekam medik pasien. Dalam waktu paling lama 24 jam dokter yang memberi perintah harus menandatangani catatan perintah tersebut. Semua catatan data harus mendokumentasikan: 1. Bukti dari pemeriksaan fisik, termasuk riwayat kesehatan dan dilakukan tidak lebih lama dari 7 hari sebelum masuk rawat atau dalam jangka waktu 48 jam sesudah masuk rumah sakit. 2. Diagnosa masuk rawat. 3. Hasil dari evaluasi konsultasi pasien dan temuan yang cocok dengan staf klinik dan staf lainnya dalam merawat pasien. 4. Dokumentasi komplikasi, infeksi yang timbul di rumah sakit dan reaksi tidak cocok dengan obat dan anestesi. 5. Dijalankan dengan tepat formulir Informed Consent untuk prosedur dan tindakan yang ditentukan oleh staf medis, atau Hukum Federal atau Hukum Negara, apabila cocok, untuk memperoleh persetujuan. Semua instruksi dokter, catatan perawat, laporan dari tindakan, data medikasi, rodiologi dan hasil laboratorium, serta tanda tanda vital dan informasi lain yang diperlukan untuk memonitor keadaan pasien, harus di dokumentasikan dalam Rekam Medis, termasuk catatan pemulangan pasien dengan hasil masuk rawat, catatan kasus dan catatan pemberian perawatan follow up. Tidak lupa cantumkan diagnosis akhir/Ringkasan Pulang dengan melengkapi Rekam Medis dalam waktu 30 hari sesudah pemulangan pasien. Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada Rekam Medis, dapat dilakukan pembetulan. Pembetulan hanya dapat dilakukan dengan cara pencoretan tanpa penghapusan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter., dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang bersangkutan. ( Pasal 5 Ayat 5 dan 6 Permenkes No 269 / Menkes / PER / III / 2008. Sayangnya UU Praktik Kedokteran tidak menyebutkan sampai kapan Rekam Medis ini harus disimpan dalam arsip seorang dokter atau dokter gigi, apalagi penyimpanan arsip seringkali memerlukan penangan khusus yang tidak sesederhana seperti yang kita

bayangkan. Tetapi dalam Permenkes No269/ Menkes / Per / III / 2008 Pasal 8 dicantumkan Rekam Medis pasien rawat inap RS wajib disimpan sekurang kurangnya untuk 5 tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan. Sesudah jangka waktu 5 tahun dilampaui, Rekam Medis tersebut dapat dimusnahkan kecuali Ringkasan Pulang dan Informed Consent, yang masih harus disimpan untuk jangka waktu 10 tahun, terhitung tanggal dibuatnya ringkasan tersebut. Rekam Medis pada sarana pelayanan kesehatan non RS wajib disimpan sekurang kurangnya untuk jangka waktu 2 tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien tersebut berobat. PERNYATAAN IDI TENTANG REKAM MEDIS 1. Rekam medis / kesehatan adalah rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan medis / kesehatan kepada seorang pasien. 2. Rekam medis / kesehatan meliputi identitas lengkap pasien, catatan tentang penyakit ( diagnosis, terapi dan pengamatan perjalanan penyakit ), catatan dari pihak ketiga, hasil pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, pemeriksaan USG, dan lain lainnya serta resume. 3. Rekam medis / kesehatan harus dibuat segera dan dilengkapi seluruhnya paling lambat 48 jam setelah pasien pulang atau meninggal. 4. Perintah dokter melalui telepon untuk suatu tindakan medis, harus diterima oleh perawat senior. Perawat senior yang bersangkutan harus membaca ulang catatannya tentang perintah tersebut dan dokter yang bersangkutan mendengarkan pembacaan ulang itu dengan seksama serta mengoreksi bila ada kesalahan. Dalam waktu paling lambat 24 jam, dokter yang memberi perintah harus menandatangani catatan perintah itu. 5. Perubahan terhadap rekam medis / kesehatan harus dilakukan dalam lembaran khusus yang harus dijadikan satu dengan dokumen rekam medis kesehatan lainnya. 6. Rekam medis / kesehatan harus ada untuk mempertahankan kualitas pelayanan profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi locum tennens, untuk kepentingan dokter pengganti yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi masa datang, serta diperlukan karena adanya hak untuk melihat dari pasien. 7. Berdasarkan butir 6 diatas, rekam medis / kesehatan wajib ada di RS, Puskesmas atau balai kesehatan dan praktik dokter pribadi atau praktik berkelompok. 8. Berkas rekam medis / kesehatan adalah milik RS, fasilitas kesehatan lainnya atau dokter praktik pribadi / praktik berkelompok. Oleh karena itu, rekam medis / kesehatan hanya boleh disimpan oleh RS, fasilitas kesehatan lainnya dan praktik pribadi / praktik berkelompok. 9. Pasien adalah pemilik kandungan isi rekam medis / kesehatan yang bersangkutan, maka dalam hal pasien tersebut menginginkannya, dokter yang merawatnya harus mengutarakannya, baik secara lisan maupun secara tertulis. 10. Pemaparan isi kandungan rekam medis / kesehatan hanya boleh dilakukan oleh dokter yang bertanggung jawab dalam perawatan pasien yang bersangkutan. Dan hal ini hanya boleh dilakukan untuk:

( 1 ) Pasien yang bersangkutan. ( 2 ) Atau kepada konsulen. ( 3 ) Atau untuk kepentingan pengadilan. Untuk RS permintaan pemaparan ini untuk kepentingan pengadilan harus ditujukan kepada Kepala RS. 11. Lama penyimpanan berkas rekam medis / kesehatan adalah lima tahun dari tanggal terakhir pasien berobat atau dirawat, dan selama lima tahun itu pasien yang bersangkutan tidak berkunjung lagi untuk berobat. Lama penyimpanan berkas rekam medis / kesehatan yang berkaitan dengan hal hal yang bersifat khusus dapat ditetapkan lain. 12. Setelah batas waktu tersebut pada butir 11, berkas rekam medis / kesehatan dapat dimusnahkan. 13. Rekam medis / kesehatan adalah berkas yang perlu dirahasiakan. Oleh karena itu, sifat kerahasiaan ini perlu selalu dijaga oleh setiap petugas yang ikut menangani rekam medis / kesehatan.

4. Memahami dan Menjelaskan Informed Consent Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351. Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah: Diagnosa yang telah ditegakkan. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang lain. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut. Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran : a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut. b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan

kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan ( Ayat 2 ). Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah: 1. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa. 2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya. Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008. Tujuan Informed Consent: 1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya. 2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ) Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ). Yang berhak memberikan persetujuan pasien dewasa( telah berumur 21 tahun atau sudah menikah ) yangberadadalam keadaan sadar dan sehat mental pasien dewasa yang berada di bawah pengampuan (curate ) persetujuan diberikan oleh wali / curator pasien dibawah umur 21 tahun dan tidak mempunyaiorang tua / wali dan atau ortu/ wali berhalangan,persetujuan diberikan oleh keluarga terdekat atau induk semang. Persetujuan yang tidak di perlukan pada pasien tidak sadar/ pingsan,tidak ada keluargaterdekat secara medik berada dalam keadaangawat darurat yang memerlukan tindakan medic segera untuk kepentingannya tindakan medik yg harus dilaksanakan sesuaidengan progam pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak.12/30/2008 Bila pasien sadar, baru diberi tahu dandimintakan persetujuannya dengan penjelasanyang logis.

Tanggung jawab Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaanketentuan tentang persetujuan tindakan medik

Pemberian Persetujuan Tindakan Medik yang dilaksanakan dirumah sakit/klinik ,maka rumah sakit/klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab .12/30/2008

Sanksi Sanksi administrative berupa pencabutan surat ijin prakteknya . (PERMENKES RI No.585 pasal 13). Sanksi perdata pasal 1365 mengenai onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum ), bisa berupa ganti rugi atas cacat atau luka karena adanya perbuatan yang salah, misalkan karena lalai. Information elements Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Pengertian berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa baik informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu : o Standar Praktik Profesi Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang tidak bermakna (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien. o Standar Subyektif Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien. o Standar pada reasonable person Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam. Informasi harus diberikan kepada pasien , informasi harus lengkap ,kecuali dokter menilai informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi dokter bisa memberi tahukan kepada keluarga terdekat pasien 12/30/2008 Informasi lisan harus ada saksi, pihak dokter perawat

Dalam Hal tindakan bedah ( operasi ) ,informasi harus diberikan oleh dokter yg melakukan . Bila dokter tidak ada informasi diberikan oleh dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi. Perluasan operasi yg tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien, dan setelah operasi dilakukan dokter harus memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya.

Bentuk informed consent 1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied consent) Keadaan normal Keadaan darurat 2. Dinyatakan (expressed consent) Lisan Tulisan Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa pernyataan yang tegas, isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien. Umumnya tindakan dokter adalah tindakan yang biasa dan sudah diketahui umum. Misalnya pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, melakukan suntikan pada pasien, melakukan penjahitan luka, dsb. Implied consent bentuk lain, adalah bila pasien dalam keadaan gawat darurat sedang dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganyapun tidak ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medic terbaik menurut dokter (Permenkes No.585 tahun 1989, pasal 11). Jenis persetujuan ini disebut sebagai Presumed consent, artinya bila pasien dalam keadaan sadar dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter. Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan lisan atau tulisan, bila yang dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam keadaan demikian sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengertian. Misalnya, pemeriksaan dalam rectal atau vagina, pencabutal kuku, dll. Disini belum diperlukan pernyataan tertulis. Persetujuan secara lisan sudah mencukupi. Bila tindakan yang dilakukan mengandung resiko seperti tindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan yang invasive, sebaiknya didapatkan IC yang tertulis.

5. Memahami dan Menjelaskan Undang-Undang Terkait Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 Pasal 27 (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan

Dalam undang-undang kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, banyak memberikan peluang bagi peningkatan pembangunan kesehatan karena dalam pasal 170 dan 171 telah dijelaskan bahwa: Pasal 170 1) Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. 2) Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. 3) Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan sumber lain. Pasal 171 1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji. 2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. 3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Menyikapi pasal 170 dan 171 pada undang-undang kesehatan no. 36 tahun 2009, maka pemerintah pusat wajib untuk mengalokasikan 5% APBN untuk pembiayaan kesehatan begitu pula pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota wajib untuk menyediakan 10% APBD untuk pembiayaan kesehatan. Dengan demikian maka pemerintah pusat dan daerah minimal harus mengalokasikan anggaran 30% untuk pendidikan dan kesehatan, jika hal ini dapat terpenuhi maka harus diimbangi dengan peningkatan status pendidikan dan kesehatan yang optimal. UU No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 44 1) Rumah Sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada publik yang berkaitan dengan rahasia kedokteran. 2) Pasien dan/atau keluarga yang menuntut Rumah Sakit dan menginformasikannya melalui media massa, dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum. 3) Penginformasian kepada media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan kewenangan kepada Rumah Sakit untuk mengungkapkan rahasia kedokteran pasien sebagai hak jawab Rumah Sakit.

You might also like