Tidak tahu lagi seberapa resahnya laki-laki ini akan nasib bangsa kala itu. Penjajahan telah mengerdilkan bukan cuma tubuh-tubuh rakyatnya, tapi juga menggantikan akal-akal raksasa warisan kearifan kuno nenek moyang kita, menjadi tak lebih ringkih dari budak. Sungguh, ketika dalam suatu masa selalu saja (sengaja di)lahir(kan) orang-orang seperti Raden Mas Soewardi Soeryaningrat (2 Mei 1889-28 April 1959), yang kemudian ketika berusia 40 tahun menemukan jati dirinya dalam Ki Hajar Dewantara setelah lama keluar dari istana Paku Alaman Jogja dan menanggalkan status darah birunya. Persis seperti ketika Mohandas K Gandhi, yang menemukan Mahatma-nya dari sarangkaian perjalanan panjang dari seorang pengacara kaya di Afrika Selatan untuk sekali waktu kembali ke negeri India. Sederet perjalanan mencari akar permasalahan bangsanya, sebelum akhirnya menjadi Mahatma Gandhi, Gandhi yang berjiwa besar. Jika Gandhi ini kemudian mengidentifikasi solusi kemerdekaan bangsanya dengan Ahimsa, garis perjuangan nir-kekerasan. Lain halnya Ki Hajar melihat kecenderungan elitisme pendidikan, yang dimonopoli kaum berada dalam hal ini kaum bengsawan dan orang bule ini sebagai penghalang raksasa jalan ke cita-cita Indonesia merdeka. Pada masa penjajahan Belanda sistem pendidikannya disebut “Three Tracts System” yaitu pendidikan yang dibagi menjadi tiga segmen, yang pertama untuk rakyat jelata dan kaum pribumi miskin, kedua untuk bangsawan dan kaum borjuis dan terakhir untuk orang Belanda, Eropa dan Timur Asing lainnya (termasuk Cina). Ketimpangan yang terjadi karena pembagian ini berdasarkan strata sosial dan status ekonomi (ada gejala kemiripan dengan sekarang?) yang mamberikan pengajaran kepada kaum pribumi/rakyat jelata pendidikan yang ala kadarnya, disamping itu bagi pendidikan bagi kelas kere ini hanya sampai pada jenjang sekolah menengah, bandingkan dengan dua rekannya yang sampai pada tingkat sekolah tinggi. Ki hajar pun dengan mati-matian berjuang pada jalur pencerdasan rakyat; memberikan mereka pendidikan yang layak, menanamkan padanya kesadaran nasib sebagai pemantik untuk bergerak, sebagai realisasinya ia lalu membuat tujuh jenjang persekolahan, mulai Taman Indria (taman kanak-kanak), sampai tingkatan Pra Sarjana dan Sarjana Wiyata (Akandemi dan Perguruan Tinggi) semua dalam satu naungan perguruan yang didirikannya. Muncul dan membesar mulai 3 Juli 1922, Taman Siswa, sebuah produk pendidikan yang berangkat dari kegelisahan pada zamannya.
Taman Siswa, Simbol Perlawanan Pada Pembodohan Sistemik
Barangkali yang paling populer di telinga kita sampai sekarang
adalah corak sistem among-nya, yaitu Tut Wuri Handayani, Ing Ngarso Sung Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso, atau mungkin Sistem Tri Kon-nya yang menitik-beratkan pada pembinaan yang bersifat terus menerus (kontinu), Berpusat pada kepribadian asli milik bangsa sendiri (konsentris), yang berfungsi sebagai filter untuk berinteraksi dengan kebudayaan asing (konvergen). Namun lebih dari itu, dalam praktiknya Taman siswa tak sekedar memberikan ilmu pengetahuan bagi rakyat pribumi sebagai perangkat mengelola hidup, lebih dari itu semangat perlawanan kepada penjajahan secara intens dan terkurikulum dialirkan ke setiap peserta didik. Seorang alumni Taman Siswa, Ibu Desak Gede Rakha Nada yang sempat mengenyam pendidikan di Taman Dewasa ( salah satu sekolah di bawah naungan Taman Siswa, setingkat SMP) tahun 1939 menuturkan, para siswa di Taman Siswa kala itu dididik menjadi manusia mandiri, sampai hal-hal kecil pun seperti membuat tempe, tahu dan salep. Di sisi lain mereka juga diajarkan berpikir kritis, supaya bisa berdebat dengan argumentasi aktual. Selain itu untuk tetap mengobarkan api perjuangan bangsa, setiap hari Rabu Wage semuanya dikumpulkan untuk mendengar ceramah dari sesepuh Taman Siswa, termasuk Presiden Soekarno tentang keadaan bangsa. Inilah tugas pendidikan (yang sejati), salah satunya memberikan penyadaran ketika suatu bangsa/kaum sedang dalam posisi dihinakan, diperas dan dibodohi oleh sebuah sistem, bukan malah seperti sekarang yang seringkali malah menjelma menjadi director pemerasan itu sendiri, atau memenjarakan peserta didik/mahasiswa dengan kerangkeng akademik serta iming-iming duit. Parahnya lagi ketika para mahasiswa yang katanya kaum Raushan Fikr di dalamnya tenang-tenang saja melihat ketakberesan sekeliling, patutlah kiranya me-muhasabah diri sendiri barangkali kita telah menjadi contoh par excellence produk gagal tujuan pendidikan yang sebenarnya, sekaligus produk mekanik dari pola pendidikan yang disorientasi dan kering idealisme.
Ada baiknya bercermin dari pemikiran gerakan taman siswa Ki
Hajar Dewantara yang Non Cooperation, sikap menolak kompromi dengan kemauan penjajah yang menindas, Self-Help, lambang kemandirian sistem yang bersandar pada kemampuan sendiri (bedakan dengan propaganda kemandirian kampus-nya BHP) , selaiknya coba kita telaah bagaimana nilai-nilai kesadaran perjuangan itu ditanamkan. Watak bangsa Indonesia sebelum penjajahan yang jelasnya bukanlah watak bangsa yang kerdil dan dungu, siapa menyangsikan kemegahan peradaban majapahit, sriwijaya, dan Islam yang dibangun oleh kejeniusan manusia paripurna. Inilah satu sisi yang dilihat dengan penuh keresahan oleh Taman Siswa, seperti ada sesuatu yang hilang dari jati diri Indonesia. Tergantikan dengan watak inferior sebagai bangsa terjajah, yang merasuk dan mencengkeram kuat-kuat ke jantung pertiwi. Perguruan inilah selanjutnya yang berjalan tertatih berupaya menghidupkan semangat yang hilang itu.
Satu hal yang menarik dari Taman Siswa, yaitu proses
pembelajaran yang dilakukan bukan cuma transfer pengetahuan seperti ketika seseorang memasukkan minyak tanah ke jerigen. Pendidikan yang dialirkan bisa dikatakan berpangkal dari kesadaran bahwa hanya dengan jalan pencerdasanlah suatu bangsa bisa terbebas dari proyek raksasa pembodohan yang sistemik, Saatnya untuk kita selami, boleh jadi ada kesamaan realita dulu dan kini, perbedaannya sebatas siapa menjajah siapa, boleh jadi sekarang agressor (pendidikan) itu (se)bangsa kita sendiri.
Gejala Disorientasi Pendidikan
Ketika seseorang dari strata pendidikan terendah sampai yang
paling tinggi coba ditanyakan untuk apa mengenyam pendidikan dalam satu institusi? maka tentunya kita sudah mahfum kalau jawabannya akan sangat ala kadarnya, kering dan rata-rata beorientasi pada materi semata. Itu bukan sepenuhnya kesalahan pribadi mereka. Pabrik sabun pastinya juga akan memproduksi sabun, begitu juga halnya dengan pendidikan kapitalistik- komersial menghasilkan output siswa/mahasiswa yang sesuai cetakan asalnya. Kecuali satu-dua yang masih tetap yakin pada kemurnian akal sehatnya untuk berontak pada keadaan. Sadarkah kita pendidikan hari ini bukan lagi diukur dari serangkaian proses yang dilaluinya, antara proses transferring dan sharing serta dialog-dialog yang membuatnya lebih membumi. Tapi menjadi semacam pintu gerbang yang mesti dilewati bagaimanapun caranya, untuk melegitimasi bahwa orang yang telah memasukinya, mendekam sejenak di dalam, untuk kemudian keluar dengan surat lulus, sudah cukup berkompeten untuk “dijual” di pasar global. Jadinya akan lebih mirip barang dagangan. Maka jangan heran---seperti halnya barang dagangan------ semuanya bisa diukur dari sejauh mana anda bisa merogoh kocek dalam-dalam. Ketika pendidikan telah masuk dalam wilayah- wilayah komersial tunggulah kehancuran bangunannya.
Menilik ke Unhas misalnya, kampus dimana kemajuan suatu
institusi pendidikan diukur dari seberapa banyak tegel yang dibongkar kemudian dipasang lagi setiap harinya, semakin mantap saja mempertegas diri sebagai lahan penjualan identitas pendidikan yang sebenar-benarnya, terang-terangan, bahkan dilembagakan. Mega proyek BHP adalah sebuah bukti ketidak becusan pemerintah mengurusi pendidikan kita, sampai berlepas tangan dari tanggung jawab seperti yang diamanahkan dalam UUD, sungguh satu pelanggaran yang terang-terangan namun selalu saja ditampik dengan alasan perbaikan kualitas dengan jalan kemandirian institusi pendidikan, semua resources diorientasikan untuk citra. Bersolek secantik-cantiknya dari segi infrastuktur, namun apa yang bisa kita harapkan (meskipun sedikit) dari segi peningkatan kualitas pengajaran? Jangan bertanya apalagi berteriak, karena anda segera akan dianggap mencoreng citra Universitas Celakanya hal lagi malah dijadikan kebanggaan besar oleh Birokrat kampus merah ini
Mencari spirit yang hilang
Seperti dikutip dari seorang Benjamin Bloom, bahwa (sejatinya)
pendidikan menggarap tiga wilayah vital dari pemikiran dan kepribadian manusia: 1.Pembentukan watak dan sikap (Affective Domain) 2. mengembangkan pengetahuan (cognitive domain) 3. melatih keterampilan/keahlian ( psychomotoric /conative domain). Apakah pendidikan kita hari ini cukup ampuh mewujudkannya? Pembentukan watak dan sikap, yang bagaimana? Jelasnya bukan watak dan sikap pragmatis, apatis serta membebek hormat di bawah bendera kapitalisasi pendidikan yang tegar berkibar. Pengembangan pengetahuan bukan cuma sekedar teori-teori di kelas yang kaku saja pastinya, pengembngan wilayah sasaran dan sumbangsihnya kepada rakyat pun dinanti agar tidak merupa diri menjadi menara gading, begitu pun pada sisi keahlian. Menimbang-nimbang jejak taman siswa dalam pergulatannya dalam tiga fungsi pendidikan di atas, sepertinya banyak hal yang perlu disadari dari realita pendidikan kita hari ini, bangunan pendidikan yang baik tak hanya menghasilkan ilmuwan yang piawai dalam kepakaran, lebih dari itu, tugasnyalah menghasilkan cendekiawan-cendekiawan yang kiritis, analitik, sekaligus solutif, dan itu tak lahir dari rahim pendidikan yang kapitalistik dan komersial. Kepasrahan kepada sistem yang diterapkan sebab dianggap sudah merupakan pilihan yang terbaik, serta telah (bisa ya bisa tidak) dipikirkan matang-matang oleh pemegang kebijakan pendidikan kita, bukanlah pilihan cerdas. Pendidikan bukan pabrikan, yang menghasilkan produk-produk kaku dan mekanik. Seharusnya proses pendidikan juga menitiskan nilai-nilai moral, kemanusiaan, kebajikan alam semesta, kerendahan hati, kepekaan, cinta dan perlawanan!