You are on page 1of 23

Referat

Cardiorespiratory Arrest
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/ SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran UnsyiahBPK RSUD dr. Zainoel Abidin Banda AceH

Disusunoleh :

Faddlan Arduha 0907101010082


Pembimbing:

dr. M. Diah, Sp. PD (KKV)

BAGIAN/ SMF KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA BPK RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH OKTOBER, 2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang membahas tentang Cardiorespiaratory Arrest. Shalawat beriring salam penulis panjatkan kepangkuan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menerangi alam semesta dengan ilmu pengetahuan. Penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada dr. M. Diah, Sp. PD(KKV) selaku pembimbing. Penulis menyadari bahwa pada penulisan referat ini masih terdapat kekurangan baik dalam penyajian, penulisan dan materi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi evaluasi dan pengembangan dalam bidang penulisan dan ilmu pengetahuan.

Banda Aceh, 13 Januari 2014 Penulis

Faddlan Arduha

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................ ii DAFTAR ISI ........................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 6 2.1. Definisi Cardiorespiratory Arrest ..................................................... 6 2.2. Predisposisi ...................................................................................... 7 2.3. Patofisiologi ..................................................................................... 8 2.4. Tanda-Tanda Cardiorespiratory Arrest ............................................ 9 2.5. Proses Terjadinya Cardiorespiratory Arrest ..................................... 9 2.6.Penatalaksanaan ................................................................................ 10 2.7. Prognosis .......................................................................................... 20 BAB III PENUTUP ................................................................................ 22 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 23

BAB I

PENDAHULUAN

Setiap menit terdapat sekitar 4-6 orang meninggal didunia

karena

serangan jantung yang datang terjadi mendadak dan terlambat untuk ditangani. Di Amerika penyakit jantung merupakan pembunuh nomor satu. Setiap tahun hampir 330.000 warga Amerika meninggal karena penyakit jantung. Setengahnya meninggal secara mendadak, karena mengalami henti jantung atau cardiac arrest. Cardiac arrest merupakan henti jantung yang disebabkan oleh kurang mencukupinya kebutuhan oksigen untuk miokard. Respiratory arrest merupakan gangguan pernapasan yang menyebabkan penderita tidak dapat bernapas. Hal ini termasuk kedalam emergensi medis dan biasanya berhubungan dengan cardiac arrest (henti jantung). Henti napas (respiratory arrest) mempunyai 2 tipe. Tipe pertama terjadi ketika jalan napas mengalami obstruksi dan memperberat kelemahan otot pernapasan. Tipe kedua, terjadi karena kekurangan oksigen di dalam tubuh. Cardiorespiratory arrest dapat terjadi pada orang dewasa dan anak-anak. Hal ini dapat jugaterjadi secara tiba-tiba pada seseorang yang terlihat sehat dan menyebabkan kematian yangmendadak atau sudden cardiac death (SCD). Menurut data, jumlah kematian karena henti jantung mendadak lebih tinggi daripada gabungan jumlah kematian karena kanker danHIV/AIDS. Karena itu menjadi cardiorespiratory arrest adalah pembunuh nomor satu di Amerika Serikat Henti jantung dapat disebabkan oleh banyak hal diantara nya karena kelainan pada jantung itu sendiri seperti penyakit jantung koroner, ventrikel fibrilasi, kelainan vascular, trauma dada dan penyebab lainnya. Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas, umumnya walaupun kegagalan pernapasan telah terjadi, denyut jantung dan pembuluh darah masih dapat berlangsung terus sampai 30 menit. Dari terjadi di semua kejadian serangan setiap jantung, 80% serangan jantung

rumah, sehingga jantung paru

orang

seharusnya dapat melakukan

resusitasi

(RJP)

atau cardiopulmonary resuscitation untuk

dapat memberikan pertolongan hidup dasar.

Menurut

American Heart

Association bahwa

rantai kehidupan

mempunyai hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena bagi penderita yang terkena serangan jantung, dengan diberikan RJP segera maka akan mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali. Namun pada beberapa keadaan tindakan resusitasi tidak efektif antara lain pada keadaan henti jantung yang telah berlangsung lebih dari 5 menit karena telah terjadi kerusakan otak yang permanen. Oleh karena itu penanganan awal yang cepat dan tepat akan memberikan pertolongan yang berarti bagi pasien.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cardiopulmonary arrest disebut juga cardiac arrest, cardiorespiratory arrest, circulatory arrest merupakan suatu keadaan darurat medis dengan tidak ada atau adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi (1). Cardiorespiratory arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak. Cardiorespiratory arrest menjadi penyebab utama kematian di beberapa Negara. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat di resusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi (2). Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari korban atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup dasar. Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan seperti : Tenggelam atau lemas Stroke Obstruksi jalan nafas Epiglotitis Overdosis obat-obatan Tesengat listrik Infark Miokard Tersambar petir

Pada awal henti nafas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan resusitasi, ini sangat bermanfaat pada korban (3). Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti sirkulasi ini akan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen. Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis, radialis) disertai kebiruan atau pucat sekali, pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan untuk (4): Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti jantung melalui resusitasi jantung paru (RJP). 2.2 Predisposisi (5) Faktor risiko terjadinya cardiac arrest adalah orang dengan faktor risiko untuk penyakit jantung, seperti hipertensi, hiperkholesterolemia dan riwayat merokok. Sedangkan, laki-laki memiliki kemungkinan untuk terkena cardiac arrest lebih besar daripada wanita yaitu 1 : 8 orang, sedangkan pada wanita adalah satuberbanding 24 orang. Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi: Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain; jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab tertentu cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama setelah seseorang mengalami serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerotic. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab (umumnya karena tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung) membuat seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest.

Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung karena beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia) justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest. Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan kadar potasium dan magnesium dalam darah (misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan aritmia yang mengancam jiwa dan cardiac arrest.

Kelistrikan yang tidak normal beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti Wolff-Parkinson-White-Syndrome dan sindroma gelombang QT yang memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa muda.

Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arterikoronari dan aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai kelainan tadi.

Penyalahgunaan obat adalah faktor utama terjadinya cardiac arrest pada penderita yang sebenarnya tidak mempunyai kelainanpada organ jantung.

2.3 Patofisiologi Pemeliharaan metabolisme jaringan normal pada prinsipnya terutama bergantung pada pengiriman oksigen yang adekuat sesuai dengan fungsi sirkulasi. Kegagalan pengiriman cepat menghasilkan beberapa perubahan yaitu : Hipoksia Setelah periode singkat henti jantung, PaO2 turun secara dramatis akan tetapi oksigen terus diperlukan untuk dikonsumsi. Selain itu, akumulasi progresif karbon dioksida menggeser kurva disosiasi hemoglobin-oksigen ke kanan. Hal ini pada awalnya meningkatkan transfer oksigen ke jaringan tapi tanpa terjadi proses pengiriman sehingga terjadi hipoksia jaringan yang lebih lanjut. Di otak, PaO2 turun dari 13 kPa menjadi 2,5 kPa dalam waktu 15 detik dan kesadaran hilang, setelah satu menit, PaO2 akan telah jatuh ke angka nol (6).

Asidosis Otak dan jantung memiliki tingkat yang relatif tinggi konsumsi oksigen (4mls/min dan 23mls/min masing-masing) dan pengiriman O2 kepada mereka akan jatuh di bawah tingkat kritis selama serangan jantung/henti jantung. Dalam kasus fibrilasi ventrikel, metabolisme miokard berlanjut pada tingkat normal namun metabolism oksigen menghasilkan zat lemas dan pasokan energi fosfat yang tinggi. Asidosis kemudian muncul sebagai hasil dari metabolisme anaerob meningkat dan akumulasi karbon dioksida di jaringan (6). Tingkat asidosis berkembang di otak, bahkan dengan dukungan bantuan dasar, akan mengancam kelangsungan hidup jaringan dalam waktu 5 - 6 menit. Selain itu, di jantung, bahkan setelah pemulihan irama perfusi, meminimalkan kontraktilitas asidosis, masih mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya aritmia (6). Setelah jantung mendapat respon yang berat, katekolamin dilepaskan dalam jumlah besar, bersama-sama dengan kortikosteroid adrenal, hormon anti-diuretik dan tanggapan hormon lainnya. Efek merugikan yang mungkin timbul dari perubahan ini termasuk hiperglikemia, hipokalemia, tingkat laktat meningkat dan kecenderungan aritmia lebih lanjut (6).

2.4 Tanda-tanda cardiorespiratory arrest Tanda- tanda cardiac arrest yaitu (5): Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan

suaratepukan di pundak ataupun cubitan. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normalketika jalan pernafasan dibuka. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).

2.5 Proses terjadinya cardiorespiratory arrest Cardiorespiratory Arrest dapat disebabkan oleh 4 irama: a. Pulseless Ventrikular Tachycardia (VT). Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena adanya gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya

gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan memendek, akibatnya pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih diutamakan. Pada kasus VT dengan gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah pilihan utama. b. FibrilasiVentrikel / Ventricular Fibrillation (VF). Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak, pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC shock atau defibrilasi. c. Pulseless Electrical Activity (PEA). Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak

menghasilkankontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera dilakukan. d. Asystol. Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung,dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah CPR. Diagnosa Serangan jantung biasanya didiagnosa secara klinis dengan tidak adanya pulsasi terutama pada arteri karotis . Dalam kebanyakan kasus pulsasi karotis adalah standar untuk mendiagnosis serangan jantung, tetapi kurangnya pulsasi (khususnya di pulsasi perifer) mungkin diakibatkan oleh kondisi lain (misalnya shock). 2.6 Penatalaksanaan Ketika mendekati seorang pasien yang tampaknya telah mengalami serangan jantung penyelamat harus memeriksa bahwa tidak ada bahaya untuk dirinya sendiri sebelum melanjutkan untuk merawat pasien. Meskipun hal ini jarang muncul di rumah sakit, pasien mungkin menderita serangan jantung akibat

10

guncangan listrik atau zat beracun. Dalam situasi penyelamat mungkin dalam bahaya yang cukup besar, dan harus memastikan bahwa bahaya apapun diambil rekening dan dieliminasi sebagai risiko. Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) atau Resusitasi Jantung Paru merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali. Resusitasi jantung paru dibagi dalam tiga fase : bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut, bantuan hidup jangka lama (2).

FASE I : Bantuan hidup dasar (Basic Life Support) Bantuan hidup dasar merupakan dasar dalam penyelamatan hidup setelah terjadinya henti jantung. Aspek penting dari bantuan hidup dasar pada usia dewasa meliputi identifikasi secara cepat henti jantung mendadak, tindakan awal resusitasi jantung yang berkualitas (kuat dan cepat), dan defibrilasi secepatnya. Bantuan hidup dasar bertujuan untuk oksigenasi darurat secaraefektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dansirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal. Resusitasi mencegah agar sel-sel tidak rusak akibat kekurangan oksigen. Sirkulasi yang berhenti 3-4 menit akan mengakibatkan kerusakan otak yang permanen. Jika pasien mengalami hipoksemia sebelumnya, batas waktu menjadi lebih pendek.Tanpa bantuan hidup dasar (Resusitasi Jantung Paru) kemungkinan korban untuk bertahan hidup berkurang antara 7-10% /menit, dengan bantuan hidup dasar (Resusitasi Jantung Paru) kemungkinan korban untuk bertahan hidup bertambah antara 3-4% /menit sampai dilakukan defibrilasi (7). Perkembangan terbaru pada Guideline American Heart Asosiation (AHA) untuk RJP dan perawatan kegawatan kardiovaskular tahun 2010 adalah perubahan urutan langkah Bantuan Hidup Dasar dari ABC menjadi CAB baik untuk pasien dewasa maupun anak-anak (anak dan balita kecuali bayi barulahir). Guideline

11

AHA untuk

RJP

dan perawatan

kegawatan kardiovaskulartahun
(7)

2010

merekomendasikan perubahan ini karena Sebagian besar henti

: terjadi pada dewasa dan

jantung

angkakeberhasilan tertinggi adalah henti jantung yang terjadi pada pasien hentijantung dengan irama VF (ventricular fibrillation) atau VT (ventriculartachycardia) tanpa nadi. Pada pasien-pasien ini elemen awal yang palingpenting dari RJP adalah kompresi dada dan defibrilasi secepatnya. Pada urutan kompresi dada ABC seringkali terlambat

ketikapenolong membuka jalan nafas untuk memberikan bantuan nafas dari mulut kemulut atau memasukkan perlengkapan ventilasi. Dengan merubah ke urutanCAB, kompresi dada dapat dimulai lebih cepat dan ventilasi hanya akan sedikitmemperlambat kompresi dada hingga selesai satu siklus (kompresi 30 kali diselesaikan dalam waktu 18 detik). Langkah-langkah bantuan dasar hidup (8) 1. Pastikan keamanan : Sebelum melakukan pertolongan hal yang paling diutamakan adalah keamanan bagi si penolong. 2. Periksa kesadaran : Lihat tingkat kesadaran penderita misalnya dengan cara seperti mengguncangkan bahu dengan lembut lalu menanyakan : apakah anda baik - baik saja? Jika ada respons maka : Jangan ubah posisi korban. Cari hal yang tidak beres. Ulangi pemeriksaan berkala. 3. Panggil bantuan / telpon ambulan 4. Buka jalan nafas & nilai pernafasan Nilai Airway Control dengan Look, Listen and Feel dalam waktu kurangdari 10 detik. Pastikan korban bernafas spontan dan normal. Jika tidak adanafas spontan buka jalan nafas penderita.Sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior faringmerupakan persoalan yang sering timbul pada pasien tidak sadar yang terlentang. Ada cara yang dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas tetapterbuka, yaitu (9): 12

a. Metode Head Tilt Penolong mengekstensikan kepala korban dan dengan satu tangan sementara tangan yang lain menyangga bagian atas leher korban b. Metode Chin lift Kepala diekstensikan dan dagu diangkat ke atas. Metode ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong mendorong dahi ke bawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap ke atas dan epiglotis terbuka. c. Metode Jaw Thrust Kepala diekstensikan dan mandibula didorong maju dengan memegang sudut mandibula korban pada kedua sisi dan mendorongnya ke depan. Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong ke depan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher. Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala juga merupakan metode paling aman untuk memelihara jalan nafas atas tetap terbuka, pada pasien dengan dugaan patah tulang leher. Bila korban yang tidak sadar bernafas spontan dan adekuat (tidak ada sianosis), korban sebaiknya diletakkan dalam posisi sisi mantap untuk mencegah aspirasi. Ekstensikan kepalanya dan pertahankan mukanya lebih rendah. Letakkan tangan pasien sebelah atas di bawah pipi sebelah bawah untuk mempertahankan ekstensi kepala dan mencegah pasien berguling kedepan. Lengan sebelah bawah yang berada di punggungnya, mencegah pasien terguling ke belakang. 5. Beri nafas buatan pertama 2x Breathing support yang diberikan pertama kali adalah ventilasi buatan sebanyak 2x setelah airway baik pada oksigenasi paru darurat. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Bila pernafasan spontan tidak timbul, diperlukan ventilasi buatan. Nafas buatan tanpa alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (mouth-tomouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi ataumulut ke mulut via sungkup muka. Untuk melakukan ventilasi mulut-kemulut penolong hendaknya mempertahankan kepala dan leher korban dalam salah satu sikap yang telah disebutkan di atas dan memencet hidung korban dengan satu tangan atau menutup lubang hidung pasien dengan pipi

13

penolong.Selanjutnya diberikan 2 kali ventilasi dalam dalam (1 kali ventilasi = 11 detik). Kemudian segera raba denyut nadi karotis atau femoralis. Bila ia tetap henti nafas tetapi masih mempunyai denyut nadi diberikan ventilasi dalam (8001200 ml) setiap 5 detik. Bila denyut nadi karotis tak teraba, 2 kali ventilasi dalam harus diberikan sesudah tiap 30 kompresi dada (9). Bila ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung tidak berhasil baik,walaupun jalan nafas telah dicoba dibuka, faring korban harus diperiksa untukmelihat apakah ada sekresi atau benda asing. Pada tindakan jari menyapu hendaknya korban digulingkan pada salah satu sisinya. Sesudah dengan paksa membuka mulut korban dengan satu tangan memegang lidah dan rahangnya, penolong memasukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan yang lain ke dalam satu sisi mulut korban, melalui bagian belakang faring, keluar lagi melalui sisi lain mulut korban dalam satu gerakan menyapu. Bila tindakan ini gagal untuk mengeluarkan benda asing, hendaknya dikerjakan hentakan abdomen(abdominal thrust, gerak heimlich) atau hentakan dada (chest thrust). Hentakan dada dilakukan pada korban yang terlentang, teknik ini sama dengan kompresi dada luar. Urutan yang dianjurkan adalah berikan 6-10 x hentakan abdomen, buka mulut dan lakukan sapuan jari, reposisi pasien, buka jalan nafas dan beri ventilasi buatan. Urutan ini hendaknya diulang sampai benda asing keluar dan ventilasi buatan dapat dilakukan dengan sukses. Bila sesudah dilakukan gerakan triple (ekstensi kepala, buka mulut dandorong mandibula) dan pembersihan mulut dan faring, ternyata masih ada sumbatan jalan nafas, dapat dicoba pemasangan orofaringeal airway atau nasofaringeal airway. Bila dengan ini belum berhasil, perlu dilakukan intubasi trakheal. Bila tidak mungkin atau tidak dapat dilakukan intubasi trakheal sebagai alternatifnya, krikotirotomi atau punksi membran krikotiroid dengan jarum berlumen besar ( misal dengan kanula intra vena 14 G)
(8)

6. Kompresi jantung + nafas buatan (30 : 2) Telah dikembangkan teknik baru manual RJP sebagai usaha untuk memperbaiki perfusi selama resusitasi pada pasien dengan henti jantung, untuk memperbaiki kurva harapan hidup. Dibandingkan dengan teknik RJP sebelumnya, teknik-teknik dan peralatan lebih membutuhkan banyak orang, pelatihan dan alat-

14

alat, atau teknik spesifik lainnya. Beberapa teknik dari RJP dan peralatannya memperbaiki hemodinamik dan angka keselamatan jangka pendek jika digunakan oleh penolong yang terlatih. Penggunaan beberapa peralatan telah menjadi fokus utama dari penelitian klinis baru. Penggunaan dari Impedance Threshold Device (ITD) meningkatkan terjadinya ROSC (kembalinya sirkulasi secara spontan) dan survival jangka pendek jika digunakan pada pasien henti jantung di luar rumah sakit, namun tidak ada kemajuan berarti pada pasien yang berhasil selamat dan keluar dari rumah sakit atau secara neurologi klinisnya membaik. (9,5) Teknik RJP dimulai dengan mengkompresi dada sebelum memberikan bantuan nafas (C-A-B daripada A-B-C). Kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan tindakan mengatur posisikepala, mendapatkan lapisan penutup untuk bantuan nafas dari mulutke mulut atau memasang masker akan memakan waktu. Dengan memulai kompresi dada 30 kali dibandingkan ventilasi 2 kali akan mempersingkat perlambatan kompresi pertama. Kompresi dada yang adekuat memerlukan kompresi dengan kedalaman dan kecepatan yang sesuai, dengan pengembangan dadayang komplit setelah setiap kompresi dan penekanan dalammeminimalkan penghentian kompresi dan menghindari ventilasi yang berlebihan. Penolong harus memastikan bahwa kompresi dadadilakukan dengan benar. Kedalaman kompresi yangdirekomendasikan pada korban dewasa meningkat dari kedalaman 1,5-2 inci menjadi setidaknya 2 inci. (5,8) Langkah dalam melakukan kompresi dada luar yakni korbanhendaknya terlentang pada permukaan yang keras bila kompresi dada luar dilakukan. Penolong berlutut di samping korban dan meletakkan pangkal sebelah tangannya di atas tengah pertengahan bawah sternum korban sepanjang sumbu panjangnya dengan jarak 2 jari sefalad dari persambungan sifisternum. Tangan penolong yang lain diletakkan diatas tangan pertama. Dengan jari-jari terkunci, lengan lurus dan kedua bahu tepat di atas sternum korban, penolong memberikan tekanan vertikal ke bawah yang cukup untuk menekan sternum 4-5 cm. Setelah kompresi harus ada relaksasi. Penderita dewasa baik terdiri dari satu atau dua penolong, dilakukan 30 kompresi dada luar (laju 80-100 kali/menit = 9-12 detik) harus diikuti dengan pemberian 2 kaliventilasi dalam (2-3 detik). Bila penderita anak-anak dan bayi,

15

bila terdiri dari satu penolong diberikan 30 kompresi dada luar dan 2 ventilasi dalam. Sedangkan bila terdapat dua penolong , dilakukan kompresi dada luar dan 2 ventilasi dalam. 7. Evaluasi setiap 2 menit Setiap 2 menit setelah dilakukan kompresi jantung + nafas buatan lakukan penilaian terhadap penderita. Periksa apakah ada tanda-tanda sirkulasi seperti bergerak, bernafas atau batuk. 8. Jangan hentikan Kompresi jantung dan nafas buatan 30:2 sampai ada indikasi stop BLS. Keadaan penderita yang tidak sadar, tidak ada pernafasan spontan, reflek muntah dan dilatasi pupil yang menetap selama 15-30 menit atau lebih merupakan petunjuk kematian otak kecuali pasien hipotermik atau dibawah efek barbiturat atau dalam anestesi umum. Akan tetapi, tidak adanya tanggapan jantung terhadap tindakan resusitasi dibanding dengan tanda-tanda klinis kematian otak, adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya resusitasi. Tidak ada aktifitas listrik jantung (asistole) selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJP dan terapi obat yang optimal, ini menandakan mati jantung (10). Indikasi dilakukan penghentian tindakan BHD adalah : Kembalinya sirkulasi dan ventilasi spontan Pasien dialihrawatkan kadaa yang lebih berwenang Baru diketahui telah ada tanda-tanda kematian yang irreversibel Penolong lelah atau keselamatannya terancam Jika 30 setelah ACLS yang adekuat tidak didapatkan tandatandakembalinya sirkulasi spontan (asistole yang menetap),

bukanintoksikasi obat atau hipotermia. Seseorang dinyatakan mati jantung bila : Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pastiatau irreversibel. Telah terbukti terjadi kematian batang otak

16

Dalam keadaan darurat tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis mati batang otak. Dalam resusitasi darurat, seseorang dapat dinyatakan mati jika : Terdapat tanda-tanda mati jantung Sesudah dimulai resusitasi pasien tetap tidak sadar, tidak timbulventilasi spontan dan refleks muntah (gag reflex), serta pupil tetap dilatasiselama 15-30 menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik atau dibawahpengaruh barbiturat atau anestesi umum

Circulation support merupakan langkah untuk pengenalan tidak adanya denyut nadi dan pengadaan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung, penghentian perdarahan dan posisi untuk shock. Circulation support digambarkan melalui: Volume darah dan cardiac output Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah. Suatu keadaan hipotensi pada penderita trauma harus dianggap disebabkan oleh

hipovolemisampai terbukti sebaliknya. Ada tiga penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik yaknitingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Tingkat kesadaran Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang dapatmengakibatkan penurunan kesadaran. Warna kulit Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita traumayang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang dalamkeadaan hipovolemia. Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan dan kulitekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia. Nadi Pemeriksaan nadi besar seperti a.femoralis atau a.karotis (kiri-kanan),untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat danteratur biasanya merupakan tanda normo-volemia (bila penderita tidak minumobat betablocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia,walaupun

17

dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normalbukan jaminan bahwa normovolemia. Nadi yang tidak teratur biasanyamerupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteribesar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera. Perdarahan Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Spalk udara(pneumatic splinting device) juga dapat digunakan untuk

mengontrolperdarahan. Sumber perdarahan internal (tidak terlihat) adalah perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitonealakibat tembusdada/perut. fraktur pelvis atau sebagai akibat daari luka

Penilaian lain dapat dilihat juga pada tanda-tanda henti jantung, yakni kesadaran hilang (dalam waktu 15 detik setelah henti jantung), tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakialis pada bayi), henti nafas atau mengap-mengap (gasping), terlihat seperti mati(death like appearance), warna kulit pucat sampai kelabu, pupil dilatasi (45 detik setelah henti jantung). Diagnosis henti jantung dapat ditegakkan bila pasien tidak sadar dan tidak teraba denyut arteri besar. Pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar diperlukan pada keadaan sangat gawat ini.

FASE II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support) Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support) yaitu bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik untuk memperbaikiventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi gangguan irama utama selama henti jantung. Bantuan hidup kardiovaskular lanjut meliputi intervensi untuk mencegah henti jantung, menangani henti jantung, dan meningkatkan luaran pasien yang mencapai kembalinya sirkulasi yang spontan setelah henti jantung. Setelah dilakukan CAB RJP dan belum timbul denyut jantung spontan, maka resusitasi diteruskan seperti langkah berikut (9,8):

18

1. Disability Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat, yang dinilai adalah tingkat kesadaran serta ukurandan reaksi pupil. Satu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalahmetode AVPU. A : Alert (sadar) V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara) P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain) U : Unresponsive (tidak ada respon) Cara lain yang digunakan sebagai pengganti AVPU yaitu GCS (Glasgow Coma Scale) yang merupakan sistem scoring yang sederhana yang dapat meramal kesudahan atau outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan atau penurunan perfusi ke otak atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi ventilasi dan perfusi. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran

penderita.Walaupun demikian, bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia atau hipovolemia sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma capitis dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran dan bukan alkoholisme sampai terbukti sebaliknya. 2. Exposure (kontrol lingkungan) Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya dengan cara menggunting guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka, penting agar penderita tidak kedinginan (mencegah hipotermi), harusdipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairanintravena yang sudah dihangatkan.

19

FASE III (Prolonged Life Support) Tunjangan hidup terus-menerus merupakan pengelolaan pasca resusitasi yang terdiri dari: 1. Gauging Gauging merupakan cara untuk menentukan dan memberi terapi penyebab kematian dan menilai sampai sejauh mana pasien dapat diselamatkan. 2. Human Mentation Sistem saraf pusat diharapkan pulih dengan tindakan resusitasi otak yang baru. 3. Intensive care Intensive care merupakan resusitasi jangka panjang. Jenis pengelolaan yang diperlukan pasien yang telah mendapat resusitasi bergantung kepada hasil resusitasi. Pasien yang tidak mempunyai defisit neurologis dan tekanan darah terpelihara normal tanpa aritmia hanya memerlukan pantauan intensif dan observasi terus-menerus terhadap sirkulasi, pernafasan, fungsi otak, ginjal dan hati. Pasien yang mempunyai kegagalan satu atau lebih dari satu sistem, memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia, dialisis dan resusitasi otak. Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemia dan iskemik selama henti jantung adalah otak. Bila pasien tetap tidak sadar hendaknya dilakukan upaya untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak. Tindakan tindakan ini meliputi penggunaan agen vasoaktif untuk memelihara tekanan darah sistemik yang normal, penggunaan steroid untuk mengurangi sebab otak dan penggunaan diuretik untuk menurunkan tekanan intra kranial. Oksigen tambahan hendaknya diberikan dan hiperventilasi derajat sedang juga membantu (Pa CO2 = 25-30 mmHg).

2.7 Prognosis Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam jangka waktu 8 sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung. Kondisi tersebut dapat dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi segera (sebelum melebihi batas maksimal waktu untuk terjadinya

20

kerusakan otak), untuk secepat mungkin mengembalikan fungsi jantung normal. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit dari korban mengalami henti jantung, akan memberikan kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan defibrillator yang mudah diakses di tempat-tempat umum seperti pelabuhan udara, dalam arti meningkatkan kemampuan untuk bisa memberikan pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan kesempatan hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64% (7).

21

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 1. Cardiorespiratory arrest adalah suatu keadaan dimana sirkulasi darah berhenti akibat kegagalan jantung untuk kontraksi secara efektif. 2. Cardiorespiratory arrest dapat disebabkan oleh 4 irama: a. Takikardi Ventrikular tanpa nadi/Pulseless Ventrikular

Tachycardia (VT). b. Fibrilasi Ventrikel/Ventricular Fibrillation (VF). c. Pulseless Electrical Activity (PEA). d. Asystol. 3. Resusitasi jantung paru otak merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan atau pernafasan pada henti jantung (cardiac arrest) dan atau henti nafas (respiratory arrest) dengan bantuan pernapasan dan kompresi dada. 4. Guideline American Heart Asosiation (AHA) untuk RJP dan perawatan kegawatan kardiovaskular tahun 2010 adalah perubahan urutan langkah Bantuan Hidup Dasar dari ABC menjadi CAB dengan kompresi dada 30 kali diikuti 2 kali napas buatan untuk dewasa.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Morisson. Cardiac arrest survival act. United States: Narva Enterprises, The Senate and House of Representative of United States of America; 2000. 2. J A. Resusitasi Kardio Pulmoner. In W S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FK UI; 2007. p. 173-177. 3. Robert A. Berg ea. Part 5: Adult Basic Life Support: American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010. 4. Karo-karo S RASSKA. Bantuan Hidup Jantung Lanjut Jakarta:

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2011. 5. M H. Hand Book Of Emergency Cardiovaskular Care For Healthcare Provider Chicago: American Heart Association; 2010. 6. Jerry P. Nolan RWNCA. Post-cardiac arrest syndrome:

Epidemiology,pathophysiology, treatment, and prognostication A Scientific Statement from the International Liaison. Elsevier Resuscitation. 2008; 76(350-379). 7. Travers AH. Part 4: CPR Overview: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency

Cardiovascular Care. Circulation. 2010. 8. M M. Anestesiologi Jakarta: Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2004. 9. Basket P. Buku panduan resusitasi jantung, paru, otak Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 1998. 10. Karo-karo S RASSKA. Bantuan Hidup Jantung Lanjut Jakarta:

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI); 2011.

23

You might also like