You are on page 1of 17

Kalaidoskop Kinerja Konservasi Tahun 2013 Balai Besar KSDA Nusa Tenggara Timur

Sepanjang tahun 2013, Balai Besar KSDA NTT telah melakukan berbagai upaya konservasi
alam. Upaya-upaya yang dinilai penting untuk diketahui oleh publik, antara lain terkait dengan kawasan, penyelesaian konflik satwa liar-manusia, kebakaran di kawasan savana, inisiatif baru di TWA Ruteng membangun kerjasama Tiga Pilar, menemukan komodo di sepanjang Pantai Utara Flores dengan camera trap bersama Komodo Survival Program dan Yayasan Burung Indonesia, penetapan Ekosistem Esensial di HL Pota, riset sponge untuk anti cancer bersama Jurusan Ilmu Kelautan - Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP Semarang, peningkatan kapasitas staf untuk keberlanjutan RBM, penyelesaian penggunaan lahan di CA Watu Ata melalui evaluasi fungsi, penyelesaian eks warga Timtim yang menggrarap di SM Kateri dan inisiatif dukungan JICS untuk rehabilitasi SM Kateri, serta dukungan bagi Marine Diving Clubs dalam pemantauan kesehatan karang di TWA 17 Pulau. Terdapat 11 kegiatan dan/ atau peristiwa yang terjadi di sepanjang tahun 2013 dan dinilai perlu untuk diketahui oleh publik. Kesebelas kegiatan atau peristiwa tersebut adalah sebagai berikut : 1. Konflik Buaya Dari 29 kawasan konservasi yang dikelola oleh BBKSDA NTT, terdapat beberapa kawasan perairan yang merupakan habitat buaya, di antaranya adalah TWAL Teluk Kupang, TWA Menipo dan Taman Buru Bena (Kab Amarasi Selatan), serta CA Maubesi di Kabupaten Malaka. Laporan masyarakat ada adanya gangguan buaya, mulai darii yang hanya sekedar penampakan pada daerah wisata Pantai Lasiana, Pantai Manikin, Pantai Tablolong (ketiganya di Kabupaten Kupang), Teluk Kupang, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Ngada serta di Teluk Kalabahi (Kabupaten Alor), hingga peristiwa diterkamnya warga masyarakat yang mengakibatkan luka sebagian atau bahkan hingga meninggal dunia. Pada Tahun 2013, peristiwa konflik buaya antara lain terjadi pada :

1. Tanggal 6 Januari 2013, masyarakat menangkap buaya muara yang selama ini meresahkan masyarakat pada lokasi wisata Pantai Manikin Kabupaten Kupang, ditangkap oleh masyarakat dan selanjutnya diserahkan kepada BBKSDA NTT. Selanjutnya buaya sepanjang sekitar 3,5 meter tersebut dilepasliarkan di selat pada TWA Manipo, Kabupaten Kupang. 2. Tanggal 30 Mei 2013; seorang warga masyarakat Kelurahan Merdeka Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang bernama Sam Sem Ledo berusia 53 tahun tewas dimakan buaya. Ayah 11 anak ini tidak kembali ke rumahnya setelah izin pergi memancing. Keluarga melapor polisi dan melakukan pencarian ke sungai. Polisi mengatakan mereka awalnya menemukan keranjang kepiting milik Sam dan alat-alat pancing serta sandalnya. Dalam penyusuran selanjutnya, polisi dan keluarga terkejut saat melihat kepala Sam mengapung di air. Organ tubuhnya, termasuk usus, ditemukan berceceran di dekat lokasi kepala tersebut. Pada kasus ini BBKSDA NTT belum dapat berbuat banyak untuk menemukan, menangkap dan merelokasi buaya ini. 3. Tanggal 14 September 2013, setelah meresahkan masyarakat di sekitar Pasar Oeba Kota Kupang selama beberapa hari, seekor buaya akhirnya berhasil dijerat oleh masyarakat nelayan setempat. Buaya sepanjang 362 cm selanjutnya diserahkan kepada BBKSDA NTT. Pelepasliaran dilakukan pada Muara Sungai Noelmina di Taman Buru Bena, Kabupaten Timor Tengah Selatan 4. Tanggal 29 September 2013, sekor buaya muara sepanjang 392 cm masuk pada areal pesawahan di sekitar kawasan CA Maubesi di Kabupaten Malaka. Dalam proses pelepasliaran pada awal Oktober 2013 terjadi kecelakaan yang mengakibatkan putusnya jari tengah tangan kiri petugas lapangan An. Joni Karya, Polhut pada Resort Konservasi Wilayah CA Hutan Bakau Maubesi akibat tergigit satwa. 5. Tanggal 17 Oktober 2013, seekor buaya muara sepanjang 425 cm masuk pada tambak masyarakat di sekitar TWA Bipolo di Kabupaten Kupang. Petugas BBKSDA NTT menangkap dan merelokasi buaya tersebut pada Muara Sungai Noelmina di Taman Buru Bena, Kabupaten Timor Tengah Selatan 6. Tanggal 16 November 2013; Amarsing (39), warga Kelurahan Solor, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, diduga tewas dimangsa buaya di Pantai Namosain, Kupang. Tim dari Badan SAR Nasional (Basarnas) Kupang yang mencari jenazah Amarsing tidak berhasil
2

menemukannya. Terhadap peristiwa ini BBKSDA NTT belum dapat berbuat banyak mengingat penanganan buaya di perairan memerlukan prasarana dan sarana berupa kapal serta perlengkapan yang lebih lengkap. 2. Fenomena Hotspot di Provinsi NTT Berdasarkan data dari mailinglist Sistem Informasi Kebakaran Hutan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Situs InfoFire dan NASA Firms, para periode JanuariNovember 2013, di Provinsi NTT terdapat 2.287 hotspot. Hotspot atau titik panas adalah parameter yang diturunkan dari data satelit dan diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Dari 2.287 hotspot di seluruh NTT, hanya 16 hotspot yang berada di kawasan konservasi yang dikelola oleh BBKSDA NTT, yaitu di CA Wae Wuul (1 titik), CA Wolo Tado (4 titik), CA Riung (2 titik), SM Kateri (3 titik), TWA Ruteng (1 titik), TWA Pulau Besar (1 titik), dan di TWA Tuti Adagae (4 titik). Kebakaran di kawasan konservasi, umumnya terjadi di savana. Adalah bagian dari proses baik alami maupun yang disengaja, tetapi sangat penting bila dikaitkan dengan ketersediaan pakan khususnya bagi rusa, seperti di TWA Menipo. Sedangkan rusa menjadi sumber pakan utama biawak komodo, di CA Wae Wuul. Kebakaran yang terjadi di TWA Menipo pada 17 September 2012 seluas 30 Ha, telah kembali pulih dalam waktu kurang dari satu bulan dan menjadi sumber pakan rusa. Namun demikian, kebakaran di savana juga tidak dapat dibiarkan begitu saja sehingga meluas dan dapat berakibat membakar berbagai jenis pohon yang penting untuk sarang berbagai jenis burung. Pada tahun 2013, telah terjadi dua kali kebakaran hutan di CA Mutis. Kebakaran pertama terjadi pada pada tanggal 03 Oktober 2013 di dalam kawasan CA Mutis, lokasi Uknonin - Desa Bonleu Kec. Tobu Kab. TTS. Pada pukul 13.00 WITA, Tim pemadam dari BBKSDA NTT melakukan kordinasi dengan Kepala Desa dan tokoh masyarakat Desa Bonleu. Dengan mempertimbangkan masukan-masukan, kondisi medan serta ketersediaan tenaga masyarakat untuk membantu memadamkan, maka pemadaman baru bisa dilakukan keesokan harinya pada hari Jumat tanggal 04 Oktober 2013. Pukul 06:00 WITA, tim pemadam bersama masyarakat bergerak ke lokasi yang terbakar pada. Lokasi kebakaran terletak pada titik koordinat (S 090 3426.0 E 12401439.0).

Kebakaran masih termasuk dalam tipe kebakaran permukaan, karena kebakaran sebagian besar hanya membakar semak dan tumbuhan bawah. Dengan dibantu hujan gerimis yang turun pada malam sebelumnya kebakaran akhirnya dapat dipadamkan oleh tim pada sore hari. Luas area yang terbakar 5 Hektar. Penyebab kebakaran diduga akibat aktifitas masyarakat yang berburu kus-kus. Masyarakat membakar hutan untuk memudahkan menggiring kus-kus sehingga kebakaran ini mengakibatkan terbakarnya seresah (bawah) dan pohon ampupu. Kebakaran kedua terjadi di bulan November 2013. Kejadian berlangsung selama tiga hari, yaitu mulai terjadi pada hari Selasa tanggal 12 Nopember dan berhasil dipadamkan pada hari Kamis tanggal 14 Nopember 2013. Informasi terjadinya kebakaran diterima oleh petugas RKW CA Mutis dari masyarakat Desa Tutem pada tanggal 12 Nopember 2013 di malam hari. Keesokan harinya petugas melakukan koordinasi dengan Kepala Desa, Tokoh masyarakat dan Tokoh Agama Desa Tutem dan Desa Pusabu (Desa pemekaran dari Desa Tutem) untuk melakukan aksi pemadaman. Kebakaran terjadi di dua lokasi yang berbeda. Pemadaman pertama dilakukan di lokasi Telli Desa Tutem (S 090 38 40,24 E 12401623,77) dengan ketinggian 1.099 mdpl. Sedangkan pemadaman kedua dlakukan pada hari berikutnya di lokasi Oepah Desa Tutem (S 090 38 31,25 E 12401537,55) dengan ketinggian 1.295 m dpl. Jarak antara kedua lokasi 3 Km, tapi dengan kondisi medan yang berbukit-bukit membuat jangkauan ke lokasi semakin sulit. Kebakaran di kedua lokasi berhasil dipadamkan pada hari Kamis tanggal 14 November 2013 pukul 15:00 WITA. Aksi pemadaman sangat tertolong dengan turunnya hujan lebat di lokasi-lokasi kebakaran sehingga api dapat cepat padam. Luas yang terbakar di lokasi Telli seluas 8 Ha dan di lokasi Oepah seluas 12 Ha. Kebakaran termasuk kategori kebakaran permukaan karena tidak sampai membakar pohon-pohon yang ada di lokasi, dan hanya membakar tumbuhan bawah serta semak belukar. Penyebab kebakaran hutan di CA Mutis diduga akibat aktivitas masyarakat sekitar yang membakar lahan pertanian mereka untuk persiapan lahan tanam, yang kemudian merambat ke dalam kawasan. Untuk usaha ke depannya perlu dilakukan sosialisasi pencegahan kebakaran hutan di Desa tersebut, sehingga tidak lagi terjadi kebakaran di kawasan CA Mutis akibat persiapan lahan masyarakat sekitar kawasan dan juga perlu dilakukan patroli intensif pada area-area rawan kebakaran.
4

Kebakaran terjadi pula di kawasan CA Wae Wuul, yaitu di daerah Gunung Warloka (1,5 Ha) dan Gunung Menjerite (50 Ha), pada tanggal 20 Agustus 2013. Kebakaran di Gunung Menjerite sulit dipadamkan karena lokasinya sangat jauh dan tidak ada akses. Petugas belum mengetahui penyebab terjadinya kebakaran di kedua tempat ini. 3. Tiga Pilar untuk Kelola TWA Ruteng Ketidaksepahaman terhadap batas TWA Ruteng menurut masyarakat Adat di Colol dengan batas versi Balai KSDA NTT II pada awal tahun 2000-an menimbulkan berbagai konflik dan upaya penegakan hukum pada tahun 2004 berujung jatuhnya korban di pihak petani dimana 7 orang meninggal dan puluhan cacat permanen. Sejak saat itu hingga akhir 2011, tidak pernah terjadi komunikasi antara Balai KSDA di Ruteng dengan masyarakat di Colol. Tiga Pilar adalah inisiatif untuk melakukan rekonsiliasi, melalui duduk bersama atau lonto leok, dan dicapai kesepahaman pada 12-12-2012 di Rumah Gendang Induk di Colol. Musyawarah Besar di Kisol, Manggarai Timur pada 29 - 30 Mei 2013 dan di Manggarai pada 18 - 19 Juni 2013 telah mengkristalkan kesepahaman para pihak (gereja, masyarakat adat, pemerintah kabupaten, kecamatan, desa) untuk menyelamatkan dan melindungi TWA Ruteng demi kepentingan bersama, dengan simpul ikatan air untuk kehidupan. Semua masalah harus diselesaikan bersama Tiga Pihak tersebut. Pada prinsipnya Tiga Pilar adalah suatu lembaga dialog, dimana berbagai konflik dan persoalan diselesaikan bersama-sama secara damai. Demikian pula potensi kawasan harus bisa dimanfaatkan dengan pola musyawarah tiga pihak. Dengan terbangunnya mekanisme komunikasi dan dialog untuk memecahkan masalah dan mengembangkan potensi ini diharapkan menjadi suatu kesadaran bersama. Pada akhir Desember 2013 dilaksanakan cek batas secara bersama (adat, gereja, pemerintah desa) untuk mengetahui batas yang sebenarnya dan batas yang disepakati. Era baru pengelolaan kolaboratif Tiga Pihak dimulai di TWA Ruteng dan akan terus dikawal di 2014 dan seterusnya.

4. Komodo ada Dimana-mana a. Pulau Ontoloe - TWA Tujuh Belas Pulau Pemantauan populasi satwa liar merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam upaya konservasi, terutama untuk satwa yang terancam punah. Kegiatan pemantauan yang efektif haruslah dapat menentukan dan menggunakan metode-metode yang menghasilkan data yang akurat dengan biaya yang rendah dan efisien secara logistik. Pada tanggal 26 September hingga 6 Oktober 2012, Tim BBKSDA NTT dibantu oleh Komodo Survival Program (KSP) berusaha untuk melakukan survey awal sebaran populasi Komodo di Pulau Ontoloe. Metode yang digunakan adalah dengan bantuan camera trap untuk mengamati kehadiran satwa biawak komodo. Berdasarkan data dari foto-foto yang dihasilkan oleh camera trap, diperkirakan individu biawak komodo di Pulau Ontoloe adalah sekitar 6 - 8 ekor, sedangkan berdasarkan hasil perhitungan site occupancy menunjukkan nilai indeks populasinya adalah 0,80 0.14. Biawak komodo di Pulau Ontoloe tergolong sehat, hal ini ditunjukkan melalui foto-foto yang didapatkan bahwa pada umumnya bagian pangkal ekor masing biawak Komodo tersebut terlihat gemuk (cembung) tidak cekung. Kegiatan survai populasi biawak komodo dan mangsanya di Pulau Ontoloe TWAL Tujuh Belas Pulau kembali dilakukan pada tanggal 26 Oktober - 5 Nopember 2013. Berdasarkan perhitungan menggunakan metode Mark-Recapture, populasi biawak komodo di dalam area kajian Pulau Ontoloe diperkirakan sebanyak 16 ekor atau memiliki nilai kepadatan 7,5 individu per kilometer persegi. Ukuran tubuh biawak komodo bervariasi dari Komodo yang terkecil sepanjang 109,1 cm (SVL=44,6) dengan berat 1 kg, hingga yang terbesar berukuran 219,5 cm (SVL=100,7) dengan berat mencapai 18,4 kg. Selain itu telah ditemukan dua sarang biawak komodo di pulau Ontoloe, sehingga perlu diadakannya monitoring yang lebih intensif pada waktu musim reproduksi, untuk memastikan apakah sarang tersebut aktif atau digunakan komodo betina untuk meletakkan telurnya. b. Tanjung Watu Pajung Dengan menerapkan pola Tiga Pilar, pada tanggal 7 November 2013 dilakukan lonto leok (duduk bersama) dengan metode diskusi terbatas yang dipimpin langsung oleh Kepala Bidang KSDA Wilayah II (Ora Yohanes) dengan narasumber dari KSP (Achmad Ariefiandy Husen, M.Phil.) di Tanjung Watu Pajung, Kecamatan Sambi Rampas, Kabupaten Manggarai Timur. Lonto leok dihadiri oleh para tokoh masyarakat dari lima Desa, kepala
6

desa dari lima desa (Kel. Pota, Kel. Baras, Ds. Nampar Sepang, Ds. Nanga Mbaur, Ds. Nanga Mbaling), Camat Sambi Rampas beserta staf, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Manggarai Timur beserta staf, Kepala Bidang PHKA Dinas Kehutanan Kab. Manggarai Timur beserta staf RPH Sambi Rampas, dan Kepala Bidang KSDA Wilayah II beserta jajarannya. Lonto Leok tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi yang ditanda-tangani oleh semua pihak, diantaranya adalah : Lokasi sebaran utama komodo adalah Nanga Baras dan Watu Pajung (Ds. Nanga Mbaur dan Ds. Nampar Sempang), Perisai (Kelurahan Pota), Golo Lijun/ Nanga Lok sehingga untuk kepastian tempat diperlukan survai lokasi sebaran komodo oleh BBKSDA NTT, KSP dan masyarakat setempat. Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Timur mengupayakan pembangunan Pos Pengamanan Hutan di Watu Pajung. Komodo yang selama ini dipelihara di Tompong akan dilepaskan kembali ke habitatnya di Watu Pajung, oleh Kepala Desa Nampar Sepang bersama masyarakat disaksikan oleh petugas lapangan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai Timur. Balai Besar KSDA NTT bersama KSP berencana akan melakukan survai awal sebaran populasi komodo di Pota dan sekitarnya pada Tahun 2014. Selain survai lanjutan di tahun 2014, BBKSDA NTT bersama KSP berencana akan melakukan tes DNA komodo yang ada di CA Wae Wuul dan Pulau Ontoloe, TWA Tujuh Belas Pulau. Tes DNA tersebut dimaksudkan untuk memastikan apakah ada perbedaan spesies/jenis antara komodo yang berada di Pulau Flores (CA Wae Wuul dan P. Ontoloe) dengan Komodo yang berada di Pulau Komodo dan Rinca (TN. Komodo). Hal tersebut diperlukan untuk memberikan jawaban atas keingintahuan, mulai dari kelompok scientist, masyarakat dan khususnya Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur. Tes DNA komodo menggunakan sampel darah yang diambil pada saat kegiatan survai komodo di tahun 2013, di mana sampel darah tersebut telah diberikan perlakuan dan disimpan di Kantor Balai Besar KSDA NTT. Berkaitan dengan hal tersebut maka Balai Besar KSDA NTT akan meminta bantuan Puslibang Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk melakukan tes DNA di Laboratorium LIPI. Kegiatan tes DNA ini akan direalisasikan di tahun 2014 atas kerjasama antara BBKSDA NTT dengan KSP.

c. Golo Mori dan Tanjung Kerati Mese Komodo di Golo Mori dan Tanjung Kerati Mese, disurvai oleh KSP, Yayasan Burung Indonesia, dan BBKSDA NTT. Survai di Golo Mori dilakukan pada tanggal 30 Juni 3 Juli 2013, sedangkan survei di Tanjung Kerita Mese dilakukan pada tanggal 24 27 September 2013. Berdasarkan pengamatan terhadap morfologi (ukuran tubuh dan pola warna) serta berdasarkan waktu tertangkap camera dan pertimbangan jarak dan waktu pergerakan biawak komodo, diperkirakan sekurangnya ada lima (5) ekor biawak komodo di hutan pesisir Desa Golo Mori dan tujuh (7) ekor biawak komodo di Tanjung Kerita Mese, yang terekam oleh kamera. Angka tersebut merupakan perkiraan minimal berdasarkan rekaman camera trap, sedangkan untuk perkiraan jumlah Biawak Komodo di lokasi-lokasi tersebut perlu penelitian lebih lanjut. Dari hasil pengamatan terhadap rekaman gambar menunjukan bahwa pada kedua lokasi kajian terdapat biawak komodo dari semua ukuran kelas umur, yaitu: anak, remaja maupun dewasa. Biawak komodo terbesar ditemukan di lembah Lajar, Desa Golo Mori (Lampiran 3 dan 4). Untuk memastikan ukuran dan kelas umur biawak komodo diperlukan penelitian yang lebih mendalam, termasuk pengukuran secara langsung morfologi satwa tersebut. Hal lain yang menjadi catatan penting dari hasil survei adalah bahwa kondisi tubuh biawak komodo yang dapat terekam oleh camera trap, baik di pesisir Golo Mori maupun di Tanjung Kerita Mese hampir seluruhnya dalam kondisi yang ideal. Kondisi tersebut dinilai dari bentuk dan lingkar pangkal ekor dari masing-masing individu. Biawak komodo yang sehat umumnya pangkal ekor mereka relatif bundar dan padat berisi. Pangkal ekor merupakan tempat penyimpanan cadangan lemak, sehingga bagian tubuh ini merupakan indikator kesehatan biawak komodo. 5. Hutan Lindung Pota sebagai Ekosistem Esensial Upaya pengelolaan ekosistem esensial menjadi salah satu perhatian dalam isu pembangunan yang berkeadilan. Intruksi Presiden RI No 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang berkeadilan mengamanatkan untuk meningkatkan pengelolaan dan pendayagunaan ekosistem esensial sebagai sistem penyangga kehidupan melalui program konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan.
8

Untuk mencapai target indikator tersebut, langkah-langkah pencapaian pelaksanaan Inpres 3/2010 yang telah dilaksanakan sebagai berikut: (a) Identifikasi, inventarisasi dan validasi data ekosistem, (b) Sosialisasi dan koordinasi pengelolaan ekosistem esensial, (c) Penyusunan kesepakatan pengelolaan ekosistem esensial, (d) pembentukan forum kerjasama/kolaborasi pengelolaan, (e) penyusunan rencana strategis/ aksi akan dilaksanakan oleh forum kolaborasi pada tahun 2013, dan (f) Monitoring dan evaluasi implementasi oleh Ditjen PHKA cq. Direktorat KKBHL pada Tahun 2013 dan 2014. Kawasan ekosistem esensial (EE) di Kabupaten Manggarai Timur yang dipilih adalah Hutan Lindung Pota di Kecamatan Sambirampas. Mengapa hutan lindung ini penting dan dipilih menjadi kawasan EE? Tidak lain karena ditemukannya biawak komodo dan bahkan ditemukan banyak jejaknya sampai ke Pantai Watu Panjung. Luas Hutan Lindung Pota ini adalah 10.641 ha (RTK.101). Bupati Manggarai Timur telah menetapkan Forum Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem Esensial HL Pota, yaitu keputusan Nomor : HK/83.A/2013 tanggal 4 September 2013. Salah satu tugasnya adalah menyusun Rencana Aksi Pengelolaan HL Pota sebagai Ekosistem Esensial. BBKSDA NTT akan mendukung dimulainya survai awak komodo pada tahun 2014, bekerjasama dengan Komodo Survival Porgram (KSP). Keberadaan biawak komodo juga dilaporkan oleh masyarakat berada di HL Sawe Sange, di sebelah timur HL Pota. Hutan lindung ini memiliki luas 7.259 Ha, dan sebaiknya perlu dikelola sebagai perluasan kawasan EE pada Hutan Lindung Pota. 6. Sponge sebagai Materi Anti Cancer Pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya mengelola masalah. Kelola kawasan konservasi harus mampu mengungkap rahasia dibalik keindahan kawasan-kawasan konservasi tersebut. Hanya dengan penguasan IPTEK, ilmu dan teknologi atau science, dan membangun jejaring kerja kepakaran, maka rahasia yang terpendam di dalam kawasan konservasi itu dapat diungkap secara bertahap. Riset Sponge sebagai bahan anti kanker dimulai pada tahun 2009-2010 dimana tim peneliti dari Universitas Diponegoro (Ir. Agus Trianto, M.Sc., Ph.D), Universitas Lampung (Prof. Andi Setiawan, Ph.D dan Idam Setiawan, ST.,M.Sc.) dan Universitas Ryusyhu, Jepang (Prof. Kobayashi Dekan Kimia Bahan Hayati Laut, Prof. Junichi Tanaka dan DR. Arai) bekerjasama dengan BBKSDA NTT.

Tujuan kerjasama adalah mengeksplorasi jenis-jenis sponge di TWL Teluk Kupang. Telah berhasil dikumpulkan 80 sampel sponge dengan satu jenis di antaranya belum dapat diidentifikasi, yang kemungkinan adalah species baru. Tahun 2011, menggunakan sampel sponge dengan tagging K09-02 yang diidentifikasi sebagai Candidaspongia sp yang merupakan endemik perairan Teluk Kupang hasil koleksi tahun 2009 yang dibekukan, mendapatkan ekstrak kasar senyawa yang mampu menghambat sel NBT-T2 (sel kanker kandung kemih tikus putih) dengan lC50 sebesar 0,1/mL. Pemurnian ekstrak tersebut menghasilkan senyawa candidaspongiolide beserta dua derivat baru yang sangat kuat menghambat sel kanker dengan IC50 sebesar 37,0; 4,7 dan 19,0 ng/mL (nanogram/mililiter). Keunikan dan potensi candidaspongiolide tersebut membuat group NCl (National Cancer Institusi, US) terus menerus mengembangkan senyawa tersebut. Tahun 2012, dilakukan marine culture, baik in-situ maupun ex-situ. Tujuannya adalah untuk memperbanyak sampel stok dari senyawa Candidaspongiolide. Diperoleh kesimpulan bahwa hasil budidaya di Teluk Kupang (in-situ) lebih banyak daripada yang non budidaya (langsung diambil dari alam). Secara ex-situ, di perairan Pulau Panjang Jepara, budidaya tidak berhasil. Hal ini menunjukkan Candidaspongia sp adalah endemik di TWL Teluk Kupang. Tahun 2013, dilakukan tiga kegiatan, yaitu : (1) koleksi sampel mikroba simbion di TWA 17 Pulau (11-15 Oktober 2013), dan telah diperoleh 19 sampel sponge yang berbeda jenis pada kedalaman 10-20 meter. Koleksi sampel tersebut digunakan untuk bahan inokulasi mikroba simbion yang bertujuan untuk mendapatkan isolat murni mikroba yang bersimbiose pada sponge. Isolat murni tersebut nantinya akan dikembangkan sebagai bibit kultur massal mikrosimbion dan akan digunakan untuk bahan analisis kandungan senyawa antikanker, (2) penyerahan bahan dan peralatan laboratorium dari BBKSDA NTT kepada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP dalam rangka kerjasama eksplorasi sponge di TWL Teluk Kupang sebagai bahan antikanker, yaitu Malt Extract Agar (MEA), Malt Extract Broth (MEB), Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), Bacto Agar (BA), Peptone, Yeast Extract, Aceton Hexane, Methanol, Ethylacetate, Asam sulfat, adlah bahan laboratorium untuk kultur simbion sponge; peralatan berupa petri disk, magneting stiring rod, pasteur pipet, filter paper watham, vanilin, rak kultur, yang mendukung ekstraksi sponge hasil eksplorasi di TWL Teluk Kupang, dan 3) kegiatan lapangan eksplorasi sponge di TWL Teluk
10

Kupang berupa monitoring kultur sponge Candidaspongia sp yang telah dilakukan tahun 2012 di sekitar Dermaga Polair NTT di dalam TWL Teluk Kupang, dengan didukung monitoring parameter perairan berupa suhu, pH, salinitas, nitrat, fosfat, silikat, densitas, dan kenaekaragaman bakteri dan plankton. 7. Uji Fitokimiawi Tumbuhan Obat Riset S2 dengan tema tumbuhan yang memiliki potensi obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat, telah dilakukan oleh Elisa Iswandono pada tahun 2007. Terdapat minimal 60 jenis tumbuhan yang berkasiat untuk berbagai jenis penyakit. Pada tahun 2013, BBKSDA telah mengirimkan sampel sebanyak 40 jenis tumbuhan dari TWA Ruteng dan 26 jenis tumbuhan dari TWA Camplong ke Laboratorium Farmaka IPB untuk dilakukan uji fitokimia. Fitokimia merupakan studi mengenai tumbuhan yang berkaitan dengan kandungan senyawa kimia aktif farmakologis. Penelitian dasar ini penting untuk mengetahui khasiat dan kegunaan tumbuhan yang meliputi ekstraksi, isolasi dan skrining fitokimia. Tujuannya untuk mengetahui senyawa kelompok obatnya. Hasil uji fitokimia tersebut diharapkan dapat dijadikan dasar untuk pengembangan lebih lanjut, penangkaran di tingkat masyarakat, sebagai bagian dari pengembangan daerah penyangga dalam upaya peningkatan pendapatan masyarakat sekitar TWA Ruteng. Upayaupaya pengembangan daerah penyangga ini akan ditempuh melalui pendekatan Tiga Pilar, sehingga peran gerej, dan pemerintah kabupaten dengan SKPD-nya akan semakin jelas dan dapat dipadukan dengan program-program yang dikerjakan oleh BBKSDA NTT. Secara kimia tumbuhan mengandung berbagai bahan kimia aktif yang berkhasiat obat. Komponen-komponen tersebut berupa senyawa-senyawa golongan alkaloid, steroid dan triterpenoid, flavonoid dan saponin. Hasil kajian dari Laboratorium Biofarmaka IPB terhadap tumbuhan obat di TWA Ruteng adalah sebagai berikut : Alkaloid pada kegiatan Biofarmaka di TWA Ruteng ditemukan dalam: (1) Kulit kayu dan akar boto (Tabernaemontana sphaerocarpa) yang dalam pengobatan tradisional Manggarai digunakan dalam pengobatan malaria dan juga demam, (2) Kulit kayu wuhar (Cryptocarya densiflora) yang dalam pengobatan tradisional Manggarai digunakan dalam pengobatan TBC, disentri dan sakit pinggang. Suatu kebetulan yang menakjubkan

11

bahwa

orang

Manggarai

seakan

mengerti

ada

kesamaan

manfaat

untuk

pengobatannya. Steroid pada kegiatan Biofarmaka di TWA Ruteng ditemukan pada 36 sampel atau 90% dari sampel tumbuhan obat kecuali pada kulit kayu redong (Trema orientalis), rebak (Macaranga tanarius), ajang (Toona sureni), garit (Canarium sp). Banyaknya sampel yang mengandung steroid ini mungkin dalam pengobatan tradisional berdampak pada pereda nyeri atau sakit sehingga memberikan efek perasaan cepat sembuh. Flavonoid merupakan senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Flavonoid pada manusia berfungsi sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat flavonoid adalah melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik. Sebanyak 23 dari 40 sampel atau lebih dari 50% sampel mengandung flavonoid. Beberapa sampel yang mengandung flavomoid adalah kulit kayu puser, waek, kenda lagkok, redong, ndingar, ara, garit, sita; daun cawat, wua, menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, mulu, nangker, renggong, ngelong, sandal urat, cangkar, randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus, garit; akar boto. Kegunaan tanin dalam pengobatan modern adalah sebagai anti septik pada jaringan luka, misalnya luka bakar yaitu dengan cara mengendapkan protein, campuran obat cacing dan anti kanker. Sebanyak 31 dari 40 sampel biofarmaka TWA Ruteng mengandung tanin, yaitu: kulit kayu puser, waek, kenda langkok, redong, ndingar, ara, mulu, garit; daun cawat, wua, menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, nangker, renggong, ngelong, sandal urat, randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus, garit, tepotai, laso ular, tai ntala, legi. Saponin mempunyai aktifitas farmakologi yang cukup luas diantaranya meliputi: immunomodulator, anti tumor, anti inflamasi, antivirus, anti jamur, dapat membunuh kerang-kerangan, hipoglikemik, dan efek hypokholesterol. Saponin juga mempunyai sifat bermacam-macam, misalnya: terasa manis, ada yang pahit, dapat berbentuk buih, dapat menstabilkan emulsi, dapat menyebabkan hemolisis. Dalam pemakaiannya saponin bisa dipakai untuk banyak keperluan, misalnya dipakai untuk membuat minuman beralkohol, dalam industri pakaian, kosmetik, membuat obat-obatan, dan
12

dipakai sebagai obat tradisional1. Dalam kegiatan biofarmaka di Ruteng, sebanyak 36 dari 40 sampel atau sebanyak 90% mengandung tanin yang ditemukan dalam kulit kayu puser, lui, waek, redong, ndingar, boto, teno, rebak, wuhar, ara, mulu, ajang, garit, sita; daun cawat, wua, menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, nangker, cangkar, randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus, garit, tepotai, laso ular, tai ntala, legi, dan akar boto. 8. Spirit Kembali ke Lapangan Resort Based Management (RBM) adalah upaya membangun sistem kerja yang lebih berorientasi di lapangan yang didukung dengan sistem informasi yang akurat sehingga data diolah dan dijadikan informasi sebagia bahan perencanaan yang lebih rasional, dan secara bertahap berbagai persoalan dapat diselesaikan dan potensi dapat dikembangkan. RBM di BBKSDA NTT dimulai pada awal Maret 2012 dengan workshop RBM, yang melibatkan seluruh resort. Pada tahun 2013, telah dilaksanakan pelatihan GIS, GPS, dan sistem informasi bagi 40 staf muda dari seluruh resort/ seksi/ bidang wilayah. Dengan demikian, pada tahun 2014 seluruh staf telah mampu melakukan update data dan informasi dair lapangan ke dalam peta, SIM RBM, dan update Situation Room yang telah diserahkan dari Balai Besar kepada Bidang Wilayah di Soe dan di Ruteng. Bahkan setiap kepala seksi sebaiknya dapat melakukan update data dan informasi dalam Situation Room, sehingga perkembangan di lapangan dapat didokumentasi dengan rapi dan mudah untuk dipakai sebagai bahan untuk laporan dan pengambilan keputusan-keputusan yang cepat dan akurat. RBM dengan fokus pendataan kondisi pal-pal batas di lapangan telah terbukti membantu ketika data tersebut diperlukan , misalnya untuk cek pal batas secara partisipatif di wilayah Colol TWA Ruteng, cek kondisi batas di CA Watu Ata dalam evaluasi fungsi kawasan tersebut. Manfaat lainnya adalah untuk bahan negosiasi dengan BPKH dalam rangka membuat skala prioritas rekonstruksi batas kawasan-kawasan konservasi yang menjadi prioritas. Secara umum, spirit kerja di lapangan meningkat, kinerja staf dapat dipantau dengan lebih cermat dan tepat. Dengan demikian, berbagai persoalan lapangan dapat dipotret dengan lebih cermat dan berdasarkan kondisi faktual yang ada.

13

9. Evaluasi Fungsi CA Watu Ata Cagar alam ini terletak di Kabupaten Ngada dengan luas 4.800 Ha, semula berstatus sebagai hutan lindung RTK 142. Sejak penetapannya pada tahun 1992, telah menimbulkan berbagai pertentangan, karena masyarakat merasakan lahannya diklaim dan masuk ke dalam wilayah cagar alam. BBKSDA NTT melakukan evaluasi fungsis ecara reguler untuk mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi selama hampir 20 tahun terakhir. Fakta menunjukkan bahwa seluas 1.977 hektar atau 40% dari kawasan CA Watu Ata sudah tidak layak lagi sebagai cagar alam, karena kondisi tutupan vegetasinya bukan lagi asli, tetapi berupa kopi, dengan berbagai bentuk tanaman peneduhnya, seperti jarak, dan sengon; tanaman subsisten seperti jagung dan juga berkembang sayur-sayuran. Berdasarkan data 2012, jumlah petani yang bekerja penggarap sebanyak 1.824 KK. Hasil kerja Tim Evaluasi Fungsi ini akan disampaikan kepada Tim Revisi tata Ruang Provinsi NTT, yang akan bekerja mulai Januari 2014. Pihak Pemkab menghendaki kawasan tetap sebagai hutan negara, namun masyarakat masih diperkenankan menggarap di dalamnya. Kondisi ini tentu tidak bisa dipenuhi apabila sebagian kawasan yang telah berubah tersebut berfungsi sebagai cagar alam. Kemungkinannya adalah diturunkan kembali sebagai hutan lindung, dan selanjutnya dapat dikelola melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKM). Tanpa penyelesaian yang saling menguntungkan, maka persoalan CA Watu Ata akan terus menggantung dan tidak pernah bisa diselesaikan secara tuntas. Hasil evaluasi fungsi yang dilakukan oleh BBKSDA NTT akan dilaporkan kepada Dirjen PHKA dan disampaikan kepada Ketua Tim Revisi tata Ruang Provinsi NTT, agar dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam menyusun rekomendasi. 10 Restorasi Suaka Margasatwa Kateri Setelah terjadinya jajak pendapat Timor Timur pada tahun 1999, telah terjadi eksodus pengungsi Timor Timur ke provinsi NTT. Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Belu tahun 2008, jumlah pengungsi yang bermukim di Kabupaten Belu sebanyak 12.792 KK (60.049 jiwa). Sebanyak 504 KK (3,6 %) bermukim di sekitar SM Kateri. Bahkan sampai dengan tahun 2012, berdasarkan analisis, lebih dari 60% kawasan SM Kateri mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan adanya penggarapan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat eks pengungsi dari Timor-Timur sejak tahun 1999 sampai dengan saat ini.
14

Mereka terpaksa menggarap lahan tersebut untuk penanaman tanaman pangan terutama jagung. Pemerintah sudah membantu penyediaan rumah bagi eks pengungsi termasuk pengungsi sebanyak 504 KK. Mereka terkonsentrasi pada 7 (tujuh) titik lokasi pemukiman yang berbatasan langsung dengan SM Kateri, yaitu di Wematek 40 KK, Waebua 90 KK, Kakaeknuan 130 KK, Benain 112 KK, Wehali 48 KK, Wemalae 45 KK dan Kamanas 39 KK. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2003 tanggal 5 Mei 2003 tentang Pendataan Bekas Penduduk Provinsi Timor Timur, disebutkan bahwa penduduk bekas provinsi Timor Timur yang tetap setia pada NKRI diproses status kependuduannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar Keppres tersebut, seluruh pengungsi telah mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), dengan demikian maka status mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dampak dari kerusakan kawasan tersebut, yang dirasakan saat ini adalah banjir di lokasi Desa Kamanasa dan Desa Lakekun Barat, tanah longsor yang mengakibatkan putusnya ruas jalan Atambua-Betun (lokasi Wemer), menurunnya debit air dari beberapa sumber mata air yang berasal dari dalam kawasan (antara lain mata air Lamela, Tubaki, Weserasa, Wemaama, Wekalae). Pada tahun 2013 dilakukan sensus terhadap warga eks pengungsi Timor-Timur yang kehidupannya tergantung pada penggarapan di SM Kateri. Telah diperoleh data sebanyak 1.311 KK (6.283 jiwa, tersebar pada 16 lokasi pemukiman) sebagai penggarap aktif di SM Kateri. Rapat koordinasi yang difasilitasi oleh Pusdalbanghut Regional II pad tanggal 25-26 November 2013, menghasilkan kesimpulan perlu segera dilakukan rapat kooridnasi yang melibatkan Menko Kesra dan Menpera. Sedangkan Kemenhut perlu fokus pada pencarian solusi lahan untuk eks warga Timtim tersebut, di kawasan hutan produksi, yang dimungkinkan melalui skema hutan tanaman rakyat. Japan International Corporation System (JICS) telah mengirimkan Tim Kajian untuk melakukan cek lapangan, kemungkinan dilakukannya rehabilitasi SM Kateri, pada areal seluas 1.500 Ha. Salah satu syarat utama dari bantuan ini adalah selesainya persoalan eks warga Timtim yang saat ini menggarap di dalam SM Kateri. Japan International Corporation System (JICS) telah mengirimkan Tim Kajian untuk melakukan cek lapangan, kemungkinan dilakukannya rehabilitasi SM Kateri, pada areal

15

seluas 1.500 Ha. Salah satu syarat utama dari bantuan ini adalah selesainya persoalan eks warga Timtim yang saat ini menggarap di dalam SM Kateri. 11. Potret Kesehatan TWA Tujuh Belas Pulau Marine Diving Clubs (MDC) dari Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro - Semarang telah bekerjasama dengan BBKSDA NTT untuk melakukan monitoring pada 12 titik penyelaman pada tanggal 11-15 April 2013. Keragaman hayati laut dinilai masih baik. Banyak ditemukan ikan butana (Surgeonfish) dan kambingkambing (Angelfish). Ditemukan pula ikan Napoleon (Cheilinus undulatus), yang panjangnya mencapai satu meter dan Kerondong (belut laut) raksasa yang panjangnya sekitar dua meter dengan diameter kepala sepuluh sentimeter. Hasil kajian tersebut menunjukkan kondisi tutupan karang yang mengkhawatirkan, yaitu di bawah 50%. Masih ditemukan penggunaan bom, potasium, dan pukat. Walaupun demikian telah ditemukan lokasi yang mulai pulih kembali, seperti di North Bakau Island, yang didominasi oleh soft coral. Tutupan hard coral life yang rendah membawa akibat sedikitnya kelimpahan ikan karang bernilai ekonomis. Kondisi hard coral life berperan aktif terhadap density dan biomass ikan, seperti dibuktikan di South Tiga Island, dengan biomass tertinggi sebesar 719 biomass/ha (kg) dengan density kedua terbanyak, yaitu 3.406 density/ha (individu). Penutupan lamun meningkat untuk spesies Enhaus acorides namun terjadi penurunan pada spesies Cymodocea rotundata. Sementara itu kondisi mangrove dengan kerapatan cukup tinggi. MDC menyarankan dilakukannya peningkatan upaya pengamanan kawasan dari pemboman dan penggunaan potas serta pukat. Penutup Semoga dengan dipublikasikannya Kalaidoskop 2013 BBKSDA NTT ini, pimpinan di tingkat Jakarta, baik pada level Direktur, Dirjen, dan Menteri Kehutanan dapat mengetahui secara cepat, tetapi jelas dan fokus tentang peristiwa-peristiwa dan upaya-upaya konservasi yang telah dikerjakan dan menjadi prioritas di wilayah kerja BBKSDA NTT. Bagi masyarakat luas, khususnya yang berada di Provinsi NTT, diharapkan dapat membantu mendapatkan

16

informasi yang tepat dari sumber pertama, karena masyarakat berhak mendapatkan informasi tentang berbagai persoalan maupun potensi sumberdaya alam di wilayahnya. Dengan demikian, diharapkan dukungan masyarakat untuk meningkatkan upaya konservasi tersebut dalam arti luas, menjadi suatu kesadaran kolektif sebagai syarat untuk membangun suatu gerakan kolektif. From collective awareness to collective action. Dengan membangun jaringan kerja kepakaran dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita ungkap rahasia alam bumi Nusa Tenggara Timur, baik yang gunung maupun di bawah lautnya. Dengan bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah daerah di berbagai tingkatannya, kawasan konservasi dapat lebih dijaga dan dikelola secara bersama, lebih bertanggungjawab, dalam semangat perdamaian yang didukung oleh nilai-nilai budaya dan kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat di NTT. Disusun oleh Tim BBKSDA NTT Kantor : Jl.SK Lerik, Kelapa Lima, Kode Pos 85228, Kupang Tlp/Fax: 0380-832211/0380-825318 Email : bbksda_ntt@yahoo.co.id; bbksdantt@gmail.com

17

You might also like