You are on page 1of 14

Diserang isu SARA, Pengusung Jokowi-Ahok Senang

Besar Kecil Normal TEMPO.CO, Yogyakarta-Meski aksi jegal kandidat pada pasangan pemenang putaran pertama pemilihan Pilkada DKI Jakarta versi hitung cepat Jokowi-Ahok terus bergulir sampai saat ini, namun pendukung Jokowi-Ahok justru malah legowo dan senang. "Nggak masalah, dibiarin saja seperti itu, sejarahnya di Indonesia semakin orang itu teraniaya, simpati masyarakat akan semakin besar," kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo kepada Tempo di Yogyakarta Senin 16 Juli 2012. Ganjar menambahkan, partainya selaku pengusung Jokowi-Ahok, telah memprediksi kampanye hitam akan terus melanda jagoannya hingga putaran kedua mendatang. "Biasanya orang yang kalah itu memang akan melakukan tindakan irasional, tidak Pancasiliais, dan jauh dari semangat kebhinekaan. Tapi kami percaya isu primordial seperti ini tak akan mempan," kata dia. Seperti diketahui, dengan hasil kemenangannya secara telak diputaran pertama dalam Pilkada yang digelar 11 Juli lalu, setidaknya tercatat empat broadcast message (BM) melalui layanan perpesanan BlackBery diterima Tempo dalam sepekan terakhir berisi sindiran ke kandidat. Semuanya mengandung unsur SARA. "Jokowi dikatakan Kristen, Ahok dikatakan Cina. Lha memang sudah Cina kok terus mau apa?" kata dia. Ganjar menambahkan pihaknya dan jagoannya tak terlalu pusing dengan perkembangan gempuran berbau SARA tersebut. Menurutnya masyarakat bisa mengecek track record Jokowi dan Ahok. "Kami akan fokus pada real count saja. Kami yakin meski di-primordial-kan, daya gulir dukungan itu makin melekat," kata dia. Ditanya strategi khusus membendung isu itu, Ganjar menjawab singkat, "Pertama senyum, kedua senyum, dan ketiga bekerja."

Menilik peran SARA dalam pilkada


Reporter : Monitor Depok | Rabu, 15 Agustus 2012 | 15:15 WIB Pilkada putaran kedua DKI Jakarta tidak lama lagi akan segera digelar. Beberapa waktu lalu, KPUD telah menetapkan pelaksanaannya pada tanggal 20 September 2012 nanti. Dari enam pasangan yang bersaing di putaran pertama, hanya dua pasangan yang berhak mengantungi 'tiket' untuk mengikuti babak selanjutnya: Jokowi-Ahok vs Foke-Nachrowi. Tentunya, hawa persaingan sengit kedua pasangan kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Ibu Kota Negara Republik Indonesia ini, sudah dapat dirasakan kehangatannya kini. Belakangan, setelah putaran pertama bergulir-saat media televisi merilis pemetaan data perhitungan suara pilkada yang tengah berlangsung, berdasarkan klasifikasi kelompok-kelompok tertentu-dan setelah publik mengetahui hasil rekapitulasi perhitungan suara akhir yang diumumkan KPUD kemudian (20/7/), sontak saja isu 'SARA' tiba-tiba merebak di tengah-tengah masyarakat. Padahal isu tersebut nyaris hampir tidak ada ditemukan pada putaran pertama. Entah siapa yang pertamakali menghembuskannya, yang jelas, kata 'SARA' seperti tersistematis dimanipulasi agar menjadi arus negatif, yang kemudian menjelma sebagai hantu untuk mengintimidasi masyarakat Jakarta. Oleh banyak pihak, hal ini disebut-sebut telah mencederai perjalanan demokrasi yang telah tumbuh bersemi. Lebih lagi Pilkada DKI Jakarta, seharusnya menjadi contoh dan barometer bagi penyelenggaraan pilkada-pilkada lainnya di seluruh Indonesia. Karena itu, sudah sepantasnyalah seluruh warga Jakarta harus bekerja keras dalam mengawal pilkada ini menjadi pilkada yang sehat, berkualitas dan teladan bagi daerah-daerah lainnya. Setelah beberapa tragedi berdarah terkait SARA, pernah terjadi dan menorehkan sejarah kelam di negeri ini, termasuk di Jakarta sendiri, tentunya sangat meninggalkan tromatik yang mendalam. Bagi siapapun yang benar-benar mencintai NKRI dengan semangat Pancasila, tentunya hal tersebut tidak akan pernah dikehendaki terjadi kembali. Oleh karena itu, sudah menjadi hal tak dapat ditawar-tawar lagi, bahwa penyelenggaraan pilkada yang menggunakan isu SARA harus henyah dan segera dihentikan! Unsur kebinekaan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan atau disingkat SARA, bila cermati secara jernih, maka sejatinya kata itu merupakan cerminan (unsur) dari kebinekaan yang terintegrasi sebagai

identitas bangsa-dan memiliki makna 'persatuan dan kesatuan' yang membingkai keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karenanya, hakikat penggunaan unsur SARA seharusnya-dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, dipergunakan untuk kepentingan positif, di antaranya yaitu; kepentingan menumbuhkembangkan rasa cinta dan kebanggaan akan tanah air; membangun rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia. Dan bukan SARA yang justru menjadikan perpecahan. Dari sinilah, kita dapat menerjemahkan apa yang dikatakan Jimly Asshiddiqie dengan jernihsebab sejatinya SARA adalah kekayaan budaya yang memiliki semangat dengan tujuan membingkai kesatuan dan persatuan, serta menumbuhkembangkan rasa bangga kita sebagai satu bangsa. Bukan SARA yang justru bertujuan dan berdampak sebaliknya (negatif) terhadap keberlangsungan NKRI. Sebagai sebuah bangsa-Indonesia, memiliki keberagaman budaya, di mana di antaranya adalah: beragam Suku, beragam Agama, beragam Ras dan beragam Golongan, yang pada tiap-tiapnya memiliki ide dan gagasan hingga melahirkan kearifan yang begitu besar dan kaya raya, yaitu: kebudayaan Indonesiaserta memiliki kekayaan alam yang luar biasa terkandung di dalamnya. Hal tersebut, tentunya merupakan potensi besar yang dapat mempengaruhi bagaimana bentuk pradaban masyarakat dunia kelak. Karena itu sudah seharusnyalah kita menggunakan potensi 'SARA' yang bangsa Indonesia miliki sebagai alat komunikasi internasional yang dapat mewujudkannya-menjadikan NKRI sebagai trendsetters pradaban dunia. Dari Pilkada DKI Jakarta inilah kita harus mulai membangunnya-dengan terlebih dahulu memberikan contoh baik penyelenggaraan pilkadanya kepada daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Menjadikan fakta keberagaman SARA yang kita miliki menjadi satu kesatuan yang indah pada lukisan raksasa di 'kanvas' Nusantara. Sehingga mampu membangun nilai positif, serta menumbuhkembangkan rasa cinta dan tujuan mencapai hakikatnya berdemokrasi. Hemat saya, penggunaan unsur SARA yang dimiliki bangsa Indonesia, tidak digunakan untuk kepentingan mempertahankan ataupun merebut kursi kekuasaan, baik itu pemilu kepala daerah maupun kepala negara atau lain sebagainya, hingga dapat menyebabkan perpecahan. Melainkan sebagai mesin propaganda bangsa Indonesia di mata dunia internasional, agar mampu membangun semangat perdamaian, kerukunan, dan toleransi antar sesama umat manusia. Kalaupun unsur SARA digunakan dalam pilkada DKI Jakarta atau pilkada di daerah seluruh Indonesia, tak lebih hanyalah sebatas 'informasi' yang berupa identitas diri seseorang dan bersifat positif, serta dapat menumbuhkan rasa persaudaraan (kebangsaan). Jika negatif, maka siapapun yang mengusung isu SARA, harus dihentikan! Jika tidak, apa yang negara upayakan untuk Palestina dan Rohingya, seperti saat inidalam mewujudkan dan

membangun perdamaian dan kerukunan di dunia, sebagaimana tertuang dalam narasi pembukaan UUD 1945, hanya berupa lawakan yang akan menertawakan dan mempermalukan diri kita (Indonesia) sendiri di mata dunia.

isu SARA Siapa Diuntungkan: Analisa Pengaruh Isu SARA Terhadap Jokowi-Ahok
REP | 04 August 2012 | 12:09 Dibaca: 582 Komentar: 9 1 menarik Agaknya apa yang pernah disampaikan oleh peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengenai akan terjadinya pertarungan ideologi pada Pilkada DKI Jakarta putaran kedua makin mendekati kenyataan. Siti Zuhro mengungkapkan bahwa pada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta akan diwarnai isu perang ideologi antara pasangan Foke-Nara dan Jokowi-Ahok. Jadi, putaran pertama politik citra, putaran kedua politik ideologi, ujar Siti Zuhro kepada Media Online Tempo.com, Sabtu 14 Juli 2012. Ia juga menambahkan bahwa dari situ akan ada pengkutuban pemilih berdasarkan ideologi, entah itu agama, kebudayaan atau kesukuan. Berita perihal raja dangdut, Rhoma Irama, yang ditenggarai melemparkan isu SARA pada ceramahnya, makin mengkuatkan adanya perang ideologi antara dua pasangan. Dan dalam hal ini, pasangan Jokowi-Ahok yang menjadi sasaran isu SARA tersebut. Jika benar demikian adanya, lalu sejauh mana isu SARA terhadap perolehan suara Jokowi-Ahok pada putaran kedua nanti. Apakah untung atau rugi pasangan ini diterpa isu SARA?. Sejarawan Betawi, JJ Rizal menilai, isu SARA dalam Pilkada bisa menjadi bola panas. Bahkan bisa menjadi petaka. Bisa saja isu SARA yang dilontarkan oleh salah satu kubu berbalik arah. Dalam hal ini menguntungkan pasangan Jokowi-Ahok dan merugikan pasangan Foke-Nara yang ditenggarai sebagai pihak yang melontarkan bola panas tersebut. (Merdeka.com, 18 Juli 2012). Namun, pendapat JJ Rizal ini dibantah oleh pengamat politik, Said Salahudian. Said mengatakan bahwa isu itu menyerang pasangan Jokowi-Ahok. Maka dapat dipastikan, pihak yang diuntungkan dari isu itu adalah Foke-Nara. Said menambahkan bahwa provokasi SARA diyakini akan merebut suara warga DKI Jakarta dari kalangan menengah ke bawah. Adapun kalangan menengah ke atas lebih rasional dalam memilih. Pemilih muslim yang terprovokasi akan cenderung mengalihkan dukungan kepada Foke-Nara, ujar Said kepada Sindonews.com, Senin 30 Juli 2012. Senada dengan Said, AS Hikam, mantan menristek era Presiden Abdurrahman Wahid, dalam blog-nya The Hikam Forum, juga mengungkapkan posisi ketidakuntungan pasangan JokowiAhok dalam menghadapi terpaan isu SARA. Untuk menangkalnya, AS Hikam menganjurkan Jokowi-Ahok agar mendekati kelompok-kelompok mayoritas, atau setidaknya berusaha keras untuk tidak menyinggung masalah SARA, mengingat sosok Ahok yang double minority.

Dengan demikian pasangan tersebut meyakinkan kelompok-kelompok mayoritas bahwa kehadiran mereka berdua tidak akan mengganggu status quo. Pendapat berbeda yang menarik diungkapkan oleh pengamat politik dari UGM, Ari Dwipayana. Dikutip dari Detik.com (24/7/2012), Ari memprediksi bahwa isu SARA justru akan menghasilkan suara golput yang semakin tinggi. Karena di satu sisi mereka kritis terhadap Foke, namun di sisi lain mereka terprovokasi oleh isu SARA. Dengan demikian isu SARA tak akan berdampak untung-rugi terhadap kedua belah pihak. Terlepas dari untung-rugi dalam hal tersebut, yang pasti isu SARA merupakan sebuah pencederaan terhadap demokrasi. Walau setiap calon pemilih berhak mengetahui latar belakang calon, baik dari sisi agama ataupun suku, tetapi sangat tak etis jika latar belakang calon tersebut di-blow up sedemikian rupa ke hadapan publik sehingga menjadi bola panas yang bernama SARA. Semoga penduduk Jakarta cerdas dan dewasa dalam menghadapi isu SARA dan tidak terprovokasi. Sebab pilihan anda menentukan nasib Jakarta ke depannya. Salah memilih, menyesal kemudian.

Dampak Isu SARA, Elektabilitas Jokowi dan Ahok Anjlok


Tuesday, 31 July 2012 23:56

JAKARTA- Masyarakat sebagai pemilih dinilai berhak mengetahui latar belakang calonnya yang maju di Pilkada DKI Jakarta. Hal tersebut diungkapkan politisi Partai Gerindra, Permadi dalam diskusi bertajuk Mempertanyakan Komitmen Keturunan Tionghoa di Jakarta, Selasa (31/7).

Permadi menyebutkan, warga Jakarta di putaran pertama penyelenggaraan Pilkada DKI tidak melihat siapa sosok Jokowi dan Ahok. "Tapi setelah diungkap soal ras karena Ahok keturunan Tionghoa, ini memberi pengaruh pada pasangan ini di putaran kedua," ujarnya. Permadi mengatakan, isu SARA yang berkembang di Pilkada DKI Jakarta berdampak pada penurunan elektabilitas pasangan Jokowi-Ahok. "Saya dapat info kalau elektabilitas Jokowi turun. Ini karena isu politik yang dikemas dengan SARA," jelasnya.

"Saya setuju bahwa hak masyarakat pemilih untuk mengetahui calonnya. Tetapi, hak ini jangan dipolitisir jadi rasialisme," tambah Permadi. Menurut Permadi, latar belakang calon patut diketahui masyarakat karena selama ini pemilih selalu terjebak dengan penampilan. Masyarakat, kata Permadi, terjebak karena penampilan calon yang pendiam dan tampan, tanpa disadari akan berpengaruh pada kepemimpinan selama lima tahun ke depan. Permadi juga menyesalkan, maraknya tokoh yang bukan bagian dari tim sukses, tetapi menggiring masyarakat untuk memilih salah satu calon. "Mereka bahkan menempatkan diri seakan-akan bagian dari tim sukses pasangan tersebut," tukasnya. Sementara, Christianto Wibisono, Chairman Global Nexus Institute menyatakan kekhawatirannya terhadap bahaya isu SARA yang dikembangkan dalam Pilkada DKI ini. "Jika Jakarta gagal menyelenggarakan Pilkada yang fair, ini akan berdampak kepada daerah-daerah lain di Indonesia. Saya berharap tidak ada adu domba dalam pelaksanaan Pilkada ini," jelasnya. Menurut Christianto, seharusnya target Jakarta ke depan adalah memiliki pemimpin yang harus bisa bersaing dengan Singapura. "Kalau kita masih membicarakan SARA, maka target itu sulit diwujudkan," tandasnya. Putaran pertama Pilkada DKI Jakarta pada 11 Juli 2012 lalu memenangkan Jokowi-Ahok, baik berdasarkan hitung cepat maupun hasil rekapitulasi dan pleno KPUD Kendari. Pasca putusan itu, Pilkada DKI Jakarta harus dilanjutkan pada putaran kedua dengan kandidat

Kampanye sara karena di bolehkan JIMLY


JAKARTA - Sama seperti Rhoma Irama, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie juga mangkir dari panggilan Panwaslu DKI hari ini. Jimly dijadwalkan memberikan penjelasan mengenai pernyataannya yang memperbolehkan penggunaan SARA dalam berkampanye. Absennya Jimly disayangkan oleh Panwaslu DKI. Pasalnya, keterangan Jimly diharapkan dapat mencairkan ketegangan akibat banyaknya isu SARA yang beredar. "Alasan Panwaslu panggil Jimly agar dia menjelaskan pernyataannya. Karena takutnya pernyataannya bisa menjadi bantalan untuk pembenaran SARA," kata Ketua Panwaslu DKI Jakarta, Ramdansyah di kantornya, Jumat (3/8). Menurut Ramdhan, pernyataan Jimly dapat dipakai oleh pihak-pihak yang ingin menggunakan unsur-unsur SARA dalam pilkada DKI 2012. Ia mencontohkan Rhoma Irama yang dalam ceramahnya mengatakan bahwa alasan mengeluarkan perkataan berbau SARA karena diperbolehkan oleh Jimly. Oleh karenanya, klarifikasi Jimly sangat dibutuhkan oleh Panwaslu DKI. "Penjelasan dia penting sebab bisa saja yang dimaksud beda dengan yang dipahami

Rhoma," ujar Ramdhan. Sementara itu, Jimly sendiri mengaku tidak bisa hadir karena ada jadwal mengajar. Namun, menurut Jimly sebenarnya Panwaslu DKI tidak memerlukan kehadirannya. "Maaf saya lagi ngajar. Tidak apa, biar mereka putuskan saja yang terbaik, toh semuanya sudah jelas, tinggal di putuskan saja oleh Panwaslu dengan tegas dan tidak berlama-lama agar masalah tidak melebar. Kami tidak perlu ikut campur," kata Jimly kepada wartawan melalui pesan pendeknya. Sebelumnya diberitakan, Jimly membuat pernyataan bahwa SARA adalah realita dan sah-sah saja digunakan dalam kampanye. Jimly menambahkan, isu SARA adalah hal yang tak bisa dihindari dalam kampanye. "Isu SARA sebenarnya tidak semestinya dijadikan masalah. SARA adalah fakta. Dalam kampanye juga tidak mungkin terhindarkan," ujar Jilmly. Pernyataan Jimly ini lantas dijadikan pembenaran oleh Raja Dangdut, Rhoma Irama dalam ceramah kontroversialnya di masjid Al Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat beberapa waktu lalu. Dalam ceramahnya, Rhoma menyatakan bahwa penggunaan isu SARA untuk berkampanye adalah sesuatu yang wajar. Selain itu isi ceramah Rhoma juga menjelek-jelekan salah satu pasangan calon. "Saya bisa ngomong begini karena diperbolehkan oleh Profesor Jimly Asshiddiqie," ujar Rhoma. (dil/jpnn) Pengamat: Isu SARA Jadi Patokan dalam Memilih Besar Kecil Normal TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Al Araf, menilai masyarakat Jakarta masih menggunakan isu primordialisme dalam memilih pemimpin. "Kesamaan Suku, Agama, dan Ras masih menjadi patokan utama dalam memilih pemimpin untuk Jakarta," kata Al Araf dalam diskusi di Salemba, Jakarta Pusat, Selasa, 14 Agustus 2012. Pendapatnya itu berdasarkan lolosnya pasangan Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli dan Joko Widodo - Basuki Tjahaja ke putaran dua pilkada Jakarta. "Itu saja sudah cukup menjadi bukti," katanya. Menurut dia, etnis Jawa dan Bali di Jakarta cenderung mempertimbangkan isu primordial. "Di luar etnis Jawa dan Bali, faktor kompetensi baru menjadi bahan pertimbangan utama," katanya. Setelah faktor primordial, kata dia, masyarakat baru mempertimbangkan faktor kompetensi seperti pengalaman, rasionalisasi program, dan sisi kepemimpinan sang calon. "Situasi ini bisa membuat pilgub sulit diprediksi," ujarnya. Al Araf menilai kedua calon yang lulus putaran kedua pilkada Jakarta memiliki pengalaman yang menjadi nilai tambah yang besar bagi elektabilitasnya. Fauzi adalah Calon inkumben dan Jokowi adalah Walikota Solo. Penyokong dua calon ini, kata dia, juga bisa mendorong untuk datang ke tempat pencoblosan. 20 September nanti.

Araf merujuk pada Jokowi disokong politikus nasional Prabowo Subianto, dan Fauzi didukung mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. "Sutiyoso memberi dampak cukup positif, Prabowo juga menyumbang suara secara signifikan," katanya. Sementara itu, Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, Rosidi Rizkiandi, menyatakan gaya kepemimpinan kedua tokoh bisa menjadi nilai lebih. "Karakter Foke dan Jokowi berbeda satu sama lain," ujarnya. Rosidi enggan menyebut calon yang dia sukai. Namun, menurut dia, media massa lebih menyukai gaya kepemimpinan ''lapangan'' ala Jokowi, ketimbang kepemimpinan ''berdasarkan data'' ala Foke. "Ini jadi kekuatan Jokowi untuk melawan Fauzi yang kuat di mesin politik," ujarnya.

Isu SARA Pilkada DKI; Dari Mana Berawal dan ke Mana Berujung?
OPINI | 06 August 2012 | 11:30 Dibaca: 963 Komentar: 9 Nihil Media hari-hari ini dihiasi berita tentang maraknya isu SARA menjelang putaran kedua pemilukada DKI. Kuantitas isu ini meningkat drastis jika dibandingkan dengan sebelum putaran pertama, indikasinya dapat dilihat pada temuan dan laporan lembaga-lembaga pemantau dan Panwaslu. Bentuk dari kampanye SARA cukup beragam, dari SMS blasting, BBM Broadcast, selebaran, spanduk, hingga ceramah dan pidato. Kasus terakhir yang cukup ramai adalah ketika Panwaslu menindaklanjuti temuan video ceramah H.Rhoma Irama. Terlepas dari pro-kontra terhadap isu SARA itu sendiri ada dua hal yang nampaknya tidak akan menemukan solusi. Pertama; definisi isu SARA itu sendiri, dan kedua; menyibak siapa pelaku sesungguhnya. SARA menjadi sesuatu yang sensitif di negeri ini sejak lama. Demikian sensitifnya hingga ukuran-ukurannya menjadi tidak jelas. SARA dibiarkan menjadi isu mengambang tapi diperlakukan seperti isu bahaya laten pada zaman Orde Baru. Masyarakat seperti diwanti sudahlah jangan omongin itu, bahaya, tanpa memperjelas arti bahayanya. Di negeri AS yang tidak kalah pluralnya dari Indonesia, SARA menjadi isu yang dibicarakan secara terbuka dan ujungnya hanya menjurus ke arah joke-joke ringan. Cara ini mungkin lebih baik daripada menyimpan rapat-rapat isu yang tidak jelas bentuknya ini. Kedua, terkait dengan politik, sangat susah mendeteksi siapa pelaku isu SARA dan apa motifnya. Sebab politik mengenal prinsip untung rugi yang lebih fleksibel. Seorang korban isu politik bisa menjadi pengambil keuntungan politik terbesar dibanding pelakunya. Karenanya mengisukan diri sendiri menjadi hal yang mungkin dilakukan dengan mempertimbangkan dampak positif yang bakal diterimanya sebagai seolah-olah korban.

Kita tidak bisa langsung menyimpulkan selebaran yang mendiskreditkan Jokowi-Ahok dilakukan oleh kubu Foke-Nara, atau spanduk yang menghina Foke-Nara pasti dilakukan kubu JokowiAhok. Para politisi sangat memahami dengan isu apa ia paling diuntungkan sebagai pelaku maupun sebagai seolah-olah korban. Berkaca Pada Exit Poll Sebagai Awal SARA Dalam koridor politik pemilihan, SARA harus dikembalikan ke makna awalnya, yakni ajakan dan tindakan memilih berdasar kepada kesamaan identitas SARA atau hasutan dan tindakan untuk tidak memilih kandidat dari identitas SARA yang lain. Ajakan dan tindakan ini bersifat diskriminatif karena hanya mempertimbangkan faktor identitas SARA. Jika kita melacak darimana isu dan tindakan SARA berawal maka kita harus melihat proses Pemilukada dari awal. Sebelum putaran pertama Pemilukada DKI Jakarta, tidak banyak isu SARA yang ditemukan oleh Panwaslu maupun lembaga-lembaga pemantau. Tetapi kita luput dan kurang cermat pada satu hal, yakni informasi yang diperoleh melalui Exit Poll yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey pada Pemilukada Putaran Pertama. Berbeda dari survey-survey pendugaan, exit poll jauh lebih kuat akurasinya karena responden yang diwawancara adalah para pemilih yang baru keluar dari TPS. Seperti yang sudah diberitakan tidak ada hasil exit poll yang meleset dari hasil perhitungan KPUD. Exit Poll yang dilansir LSI menunjukkan dengan terang indikasi terjadinya tindakan menjurus SARA yang dilakukan oleh kelompok masyarakat. Dari basis dukungan berdasarkan faktor etnis, nampak jelas bahwa ada satu kelompok etnis yang sebaran dukungannya sangat tidak normal, yaitu 100% pemilih dari etnis Tionghoa ternyata hanya memilih satu pasang kandidat dan tidak ada yang memilih 5 pasangan yang lain (lihat tabel). Sedangkan etnis-etnis lain relatif memiliki sebaran normal, misalnya Betawi yang dianggap pasti memilih Foke-Nara ternyata hanya 48% yang benar-benar memilih Foke-Nara. Etnis Jawa yang diduga mutlak memilih Jokowi ternyata hanya sebesar 55,9%. Kecenderungan untuk memilih kandidat dari etnis sendiri pasti akan terjadi dalam batas yang bisa ditoleransi, namun hanya etnis Tionghoa yang 100% memilih kandidat dari etnis sendiri. Kita harus paham bahwa pemilihan demokratis adalah memilih tokoh-tokoh yang tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, bukan memilih antara setan dan malaikat. Jadi angka 100% benarbenar di luar normal. Mengapa bisa terjadi?

Basis etnis (Sumber : LSI 11 Juli 2012) Tindakan satu kelompok etnis dalam pemilu terbuka yang 100% memilih kandidat dari etnis sendiri sangat susah untuk tidak disebut sebagai tindakan diskriminasi. Sulit pula membayangkan tindakan ini terjadi secara wajar tanpa ada penggalangan menjurus SARA di dalamnya. Temuan dari exit poll lembaga lain menunjukkan bahwa dari hasil wawancara kepada pemilih etnis Tionghoa ternyata sebagian besar tidak memahami program Jokowi-Ahok, semakin menguatkan indikasi bahwa mereka memilih hanya berdasar pertimbangan SARA. Dari aspek latar belakang agama, diperoleh juga informasi exit poll bahwa mayoritas mutlak pemilih dari kalangan Protestan dan Katolik memilih pasangan Jokowi-Ahok (77,1% Protestan, dan 76,9% Katolik). Sedangkan pemilih dari kalangan Islam tersebar normal (35,3% ke FokeNara dan 39,1% ke Jokowi), (lihat tabel).

Basis agama (Sumber : LSI 11 Juli 2011) Fakta temuan tindakan diskriminasi SARA berdasar exit poll di atas adalah indikasi paling kuat yang menjelaskan darimana isu SARA pada Pemilukada DKI Jakarta berawal. Sayangnya kita kurang cermat melihat hal ini karena kita terbiasa berfikir hanya mayoritas yang memiliki kesempatan melakukan diskriminasi. Di sisi lain, sangat mungkin bahwa H. Rhoma Irama, atau tokoh-tokoh muslim yang lain hanya merespon fakta yang tersaji bahwa kalangan minoritas (Tionghoa, Kristen dan Katolik) telah lebih dahulu melakukan tindakan SARA melalui pilihan diskriminatifnya dalam putaran pertama. Sebagaimana dijelaskan di awal, SARA dalam sebuah pemilihan bukan hanya perkara ajakan dan hasutan semata, tetapi juga dalam tindakan (memilih). Tentu saja tindakan saling membalas menggunakan isu SARA tidak dapat dibenarkan. Tulisan ini hanya ingin menegaskan agar kita tidak mudah menyalahkan salah satu pihak hanya berdasar temuan-temuan yang tidak jelas kebenaran dan kedudukannya. Selain itu persoalan ini berpotensi hanya menjadi konsumsi politik pencitraan yang jauh dari esensi bagaimana memilih pemimpin yang berkualitas. Pencitraan selaku seolah-olah korban SARA sedang bekerja di opini publik Jakarta saat ini. Berkaca Pada Jimly dan Pada Program Berharap isu SARA ini akan menemukan solusi nampaknya akan menjadi harapan kosong. Keuntungan dan kerugian politik sebagai dampak penggunaan isu SARA adalah satu-satunya resultan dan ujung dari persoalan ini. Isu ini hanya akan berputar-putar, saling menyalahkan dan menjadi pelengkap politik pencitraan yang makin memuakkan.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly Asshiddiqie, yang pendapatnya dikutip dalam ceramah H. Rhoma Irama, memberikan pernyataan yang sangat realistis bahwa di lapangan isu SARA nyaris tak dapat dihindarkan dan harus disikapi biasa-biasa saja sebagai informasi terbuka asalkan tidak bersifat menghujat. Adalah hak pemilih untuk mengetahui latar belakang kandidat, termasuk identitasnya. Di negeri plural seperti Indonesia, membesar-besarkan perbedaan identitas SARA tidak diperbolehkan, tetapi menutup-nutupi perbedaan SARA juga tidak akan ada manfaatnya. Biarkan masyarakat belajar mendewasakan dirinya sendiri berbekal semua informasi terbuka yang diterimanya. Dengan modal informasi terbuka tersebut, menurut Prof. Jimly, dapat menjadi sarana masyarakat mencari pemimpin secara rasional. Selain itu, sudah saatnya persaingan kandidat dalam Pemilukada DKI putaran kedua lebih berat kepada persaingan program yang ditawarkan, tidak seperti pada putaran pertama yang lebih kental unsur persaing

Lembaga Survei Indonesia: Isu SARA Tak Pengaruhi Pilkada DKI


Sejumlah lembaga yang melakukan hitung cepat pasca pemungutan suara dalam pemilihan gubernur Jakarta mengunggulkan pasangan Joko Widodo-Basuki Purnama (Jokowi-Ahok) sebagai pemenang.

Warga Jakarta memasukkan surat suaranya di salah satu TPS Pilkada DKI 2012 (VOA/Andylala Waluyo) Lembaga Survei Indonesia merupakan salah satu lembaga yang melakukan penghitungan cepat pemilihan gubernur Jakarta putaran kedua. Direktur Eksekutif Komunikasi Lembaga Survei Indonesia Burhanudin Muhtadi kepada wartawan di kantornya mengatakan pasangan Joko Widodo dan Basuki mendapat suara sebesar 53,81 persen sedangkan pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Romli mendapat suara sebanyak 46,19 persen. Jokowi dan Ahok menang di lima wilayah di Jakarta. Menurut Burhanudin, penghitungan cepat (Quick Count) dilaksanakan dengan memilih 400 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar secara proporsional di setiap kota yang ada di Provinsi DKI Jakarta. Sample TPS dipilih dengan menggunakan metode Kombinasi Stratified-Cluster Random Sampling. Diperkirakan toleransi kesalahan (margin of error) pada quick count ini sekitar dua persen. Artinya perolehan suara kandidat dari hasil Quick Count ini bisa bergeser ke atas atau ke bawah hingga sebesar dua persen. Dari hasil Quick Count ini kata Burhanudin tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Provinsi DKI Jakarta adalah sekitar 67,35 persen, lebih tinggi dibanding putaran pertama yang hanya sekitar 63 persen. "Berdasarkan data 100 persen yang sudah masuk, kita bisa melihat perolehan suara itu akhirnya itu adalah 53,81 persen banding 46,19 persen. Jadi dengan margin of error dua persen Jokowi-Ahok aman," kata Burhanudin Muhtadi. Dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta putaran kedua ini, pasangan Foke dan Nara didukung oleh banyak partai, diantaranya Partai Demokrat, Golkar, PPP dan PKS. Sedangkan Jokowi dan Ahok hanya didukung dua partai yaitu Partai PDI Perjuangan dan Gerindra. Menurut Burhanudin, penggunaan isu SARA (Suku, agama, ras dan antar golongan) yang terjadi dalam kampanye pemilihan gubernur Jakarta tidak terlalu berpengaruh signifikan karena sebagian masyarakat Jakarta lebih mengevaluasi kinerja Fauzi Bowo sebagai Gubernur yang dinilai gagal dalam mengatasi permasalah Jakarta seperti kemacetan dan banjir. Selain itu pemilih di Jakarta sekitar 21 persen pendidikannya Strata 1 (S1) ke atas dan akses terhadap media sangat besar. "Pemilih dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, mereka lebih kritis, karena itu penjelasannya bukan soal aliran, bukan penjelasan model sosiologis tetapi penjelasannya adalah ekonomi, politik kalau mereka tidak puas dengan incumbent ya caranya memberikan punishment caranya dengan memberikan dukungan kepada penantang," ujar Burhanudin Muhtadi.

Usai melihat penghitungan cepat, Fauzi Bowo dalam keterangan persnya mengucapkan selamat kepada pasangan Jokowi dan Ahok yang menang dalam penghitungan cepat yang dilakukan sejumlah lembaga. Sementara Joko Widodo yang merupakan Walikota Solo yang menang dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta mengungkapkan pihaknya akan bekerja keras dalam mengubah Jakarta yang lebih baik. "Saya akan bekerja keras dengan mas Basuki, tetap selalu turun kebawah, akan selalu berada di ganggang sempit, di kampung-kampung sehingga bisa menguasai masalah yang ada, masalah real sehingga bisa memutuskan kebijakan mana yang prioritas, mana yang no.2, no.3 sesuai dengan visi yang kami sampaikan," demikian kata Joko Widodo. Masyarakat Jakarta yang ditemui VOA berharap agar Gubernur yang terpilih nantinya dapat memberikan perubahan kepada Jakarta. "Yang saya harapkan sebagai warga Jakarta supaya ada perubahan seperti angkutan-angkutan, kemacetan yang utama," kata Ahmad, seorang warga Jakarta. Lain lagi komentar Andre yang juga warga Jakarta, menurutnya Gubernur harus menepati janji, "Kata Gubernur kan sekolah gratis, itu harus sesuai (dengan realisasinya)". Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta akan mengumumkan secara resmi hasil pemungutan suara pemilihan Gubernur DKI Jakarta putaran kedua dalam waktu dekat.

You might also like