You are on page 1of 4

NEGARA HUKUM Disusun Sebagai Bahan Ajar Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Oleh : Chandra Darusman S, S.

H Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh 2010

A. Pengantar Realitas kepolitikan Orde Baru yang ditandai dengan besarnya peranan pemerintah dalam menentukan jalannya negara dan keterlibatannya dalam berbagai sektor masyarakat, telah menimbulkan minimal dua tanggapan. Pertama, tanggapan yang mempertanyakan relevansi realitas tersebut dengan prinsip demokrasi sebagai salah satu prinsip hidup bernegara yang fundamental. Tanggapan ini seakan menggugat kenyataan bahwa peranan negara yang begitu besar dan yang pada batas tertentu telah menghambat aspirasi dan partisipasi dari bawah adalah realitas yang agaknya kurang menguntungkan bagi pelaksanaan demokrasi dan perlu diambil langkah-langkah konstruktif. Kedua, tanggapan yang mencoba menjelaskan atau memberi pijakan teoritis atas realitas kepolitikan yang menunjukkan dominasi peran negara itu. Diakui atau tidak, dalam konteks keindonesiaan, peran negara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara memegang peranan penting. Pada era Orde Baru misalnya, cengkraman negara begitu kuat dalam masyarakat. Negara ikut campur dalam segala hal masalah ekonomi, politik dan sosial rakyat. Disatu sisi, memang negara mempunyai tanggung jawab (state responsibility) untuk mengendalikan dan memberdayakan rakyatnya agar tidak terjadi kesengsaraan dan penderitaan. Namun, di sisi lain, peran negara ini kadang disalahgunakan sebagai bentuk represifitas negara terhadap rakyatnya. Negara menerapkan aturan yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh rakyat, yang peraturan itu hanya menguntungkan sebagian kecil dari apa yang disebut sebagai rakyat. Beberapa ahli mendefinisikan berbeda tentang negara. Roger H. Soltau menuliskan: Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat (The state is an agency or authority managing or controling these (common) affairs on behalf of and in the name of the community).

Harold J. Laski mengatakan: Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu (The state is a society which is integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society). Max Weber berujar: Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (The state is a human society that (succesfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory). Robert M. MacIver menyatakan: Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa (The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the external conditions of order). Miriam Budiarjo menyimpulkan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warganya ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (control) monopolistis dari kekuasaan yang sah. Abraham Amos lebih menegaskan arti sebuah negara menjadi dua, negara dalam arti objektif dan negara dalam arti subjektif. Negara dalam arti objektif berarti segala sesuatu yang menyangkut ruang lingkup kedaulatan suatu kelompok komunitas masyarakat, dimana didalamnya terdapat strukutur kehidupan sosial atas kehendak organ masyarakat pada suatu wilayah tertentu; dengan tujuan menjalankan segala bentuk aktivitas hidupnya. Sedangkan negara dalam arti subjektif diartikan dengan adanya sekelompok komunitas manusia yang menghendaki suatu bentuk teritorial kedaulatan, yang kemudian dibentuk semacam konsensus atau kontrak sosial. Kontrak sosial itu tak lain ialah mufakat bersama dengan tujuan untuk membentuk wilayah kedaulatan sesuai kehendak komunitas dan memiliki seorang pimpinan komunitas sosial. Negara bukan sekadar sekumpulan keluarga belaka atau suatu persatuan organisasi profesi, atau penengah di antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan antara perkumpulan suka rela yang diizinkan keberadaannya oleh negara. Dalam suatu komunitas politik yang diorganisir secara tepat, keberadaan negara adalah untuk masyarakat dan bukan masyarakat yang ada untuk negara. Pasalnya, keberadaan negara bermula dari perkembangan manusia (rakyat) yang kompleks dengan segala permasalahannya sehingga dibutuhkan adanya sebuah organisasi yang dilengkapi kekuasaan, disepakati bersama oleh rakyat tersebut, dan berfungsi menyelesaikan perselisihan untuk mengatur dan menciptakan ketentraman serta kedamaian dalam hubungan kemasyarakatan.

B. Arti dan Prinsip Negara Hukum Pada zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman rechtsstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo-Saxon, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law. Selain itu, negara hukum juga dapat dibagi ke dalam negara hukum formil (demokrasi abad XIX) dan negara hukum materil (demokrasi abad XX). Peran pemerintahan dalam negara hukum formil dibatasi. Artinya, pemerintah (negara) hanya menjadi pelaksana segala keinginan rakyat yang dirumuskan para wakilnya di parlemen. Karena sitanya yang pasif ini, maka negara diperkenalkan sebagai nachtwachterstaat (negara penjaga malam). Negara hukum materil (demokrasi abad XX) mengamanatkan peran bahwa peran negara tidak hanya sebatas penjaga malam, tetapi negara juga harus ikut bertanggung jawab dan ikut campur dalam menciptakan kesejahteraan rakyat. A.V. Dicey menguraikan tentang negara hukum (The Rule of Law) lewat pengalaman de Tocqueville, seorang Perancis yang mengamati konstitusi Inggris, yang kemudian dipaparkan melalui tiga makna, yakni: pertama, Supremasi dan superioritas hukum reguler (Supremacy of Law) yang mutlak yang bertentangan dengan pengaruh kekuasaan sewenang-wenang, dan mencabut hak prerogatif atau bahkan kekuasaan bertindak yang besar di pihak pemerintah karena munculnya kesewenang-wenangan tersebut. Kedua, The Rule of Law juga berarti kesetaraan di depan hukum, atau ketundukan setara semua kelompok masyarakat kepada hukum umum negara yang dijalankan oleh mahkamah umum (Equality Before The Law). Ketiga, seseorang dapat dihukum karena melanggar hukum, namun ia tidak dapat dihukum karena alasan lain (Due Procces of Law) atau dengan kata lain, dalam negara hukum pasti berlaku asas legalitas.Para Sarjana Eropa Kontinentalyang diwakili oleh Julius Stahl menuliskan prinsip negara hukum (Rechtsstaat) dengan mengimplementasikan: 1. Perlindungan hak asasi manusia; 2. Pembagian kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; 4. Peradilan Tata Usaha Negara.

International Comission of Jurists pada konferensinya di Bangkok (1965) juga menekankan prinsip-prinsip negara hukum yang seharusnya dianut oleh sebuah negara hukum, yaitu: 1. Perlindungan konstitusional, artinya, selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hakhak yang dijamin; 2. Badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3. Pemilihan umum yang bebas; 4. Kebebasan menyatakan pendapat; 5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; dan 6. Pendidikan kewarganegaraan. Jimly Ashshiddiqie menuliskan kembali prinsip-prinsip negara hukum dengan menggabungkan pendapat dari sarjana-sarjana Anglo-Saxon dengan sarjana-sarjana Eropa Kontinental. Menurutnya dalam negara hukum pada arti yang sebenarnya, harus memuat dua belas prinsip, yakni: 1. Supremasi Hukum (Suprermacy of Law). 2. Persamaan dalam hukum (Equality before the Law). 3. Asas Legalitas (Due Process of Law). 4. Pembatasan kekuasaan. 5. Organ-organ eksekutif independen. 6. Peradilan bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). 7. Peradilan Tata Usaha Negara. 8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court). 9. Perlindungan hak asasi manusia. 10. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat). 11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat). 12. Transparansi dan kontrol social.

You might also like