You are on page 1of 29

SEKULARISASI ;

De-sakralisasi dan Rasionalisasi ‘Dogma’ Agama


Abstract

Secularization often interpreted as a part of secularism. But


actually there is something fundamentally different between
them, related to religious understanding phenomena. As
said by Dobbelaere (1994) clearly that secularization as a
prosess of declining religious involvement refers,
religious involvement refers to individual behaviour and
measures the degree of normative integration in
religious bodies ; secularization as a process of
laicization ; and secularization as a process of religious
change. In this case, we should look carefully that
secularization would be meaningfull when it’s analyses
confronted with the function of imperial usually done by
religion, as ad-diin, ad-daulah and ad-dunya.
Key Word : Secalarization, Secularism, De-sakralization,
Rationalization.

A. Pengantar.

Setiap masyarakat selalu menghadapi persoalan


bagaimana melanggengkan dan meneruskan peranan sosial
yang telah dibangun kepada generasi berikutnya. Dalam
upaya ini, makna dari pranata sosial harus dijelaskan
sedemikian rupa, sehingga dapat diterima oleh individu
(subjectively plausible). Sentuhan-sentuhan kognitif dalam
suatu bentuk legitimasi kemudian dibutuhkan guna
membantu menjelaskan makna realitas sosial dan normatif
yang telah dibangun serta memberi pedoman bagaimana
seseorang harus berlaku dalam bentuk dogma-dogma.
Kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada
keberagamaan (religiusitas) masyarakat. Perilaku sosial
umat beragama --sebagai fenomena empirik yang dapat
diamati-- mencerminkan sistem pemahaman keagamaan
yang dibangun dari sistem kebenaran perenial ajaran

1
agama (wahyu) sebagai kebenaran tertinggi. Dalam
perkembangannya sistem kebenaran yang perenial tersebut
melahirkan sistem hukum positif (fiqh) berupa aturan kerja
dan tindakan. Melalui proses institusionalisasi, ajaran
agama yang perenial kemudian berubah menjadi hukum
positif yang bersifat eksternal.
Proses tersebut kemudian melahirkan kesadaran
kolektif untuk melaksanakan dogma agama yang telah
terinstitusikan, hal ini sekaligus merupakan pengendali
pemikiran serta perilaku umat pemeluk suatu agama.
Sebagian besar pemeluk suatu agama akhirnya hanya
terlibat langsung terhadap kesadaran kolektifnya yang tidak
bersumber asli pada ajaran. Akibatnya terjadi tumpang
tindih antara ajaran agama yang perenial dengan ajaran
agama sebagai hukum positif yang dipandang identik
dengan ajaran agama yang abadi dan absolut. Dari sinilah
agama kemudian ‘membelah’ kehidupan sosial menjadi
golongan-golongan sosial, dan agama berubah menjadi
ideologi ; sebagai kekuatan penggerak kehidupan, sekaligus
sebagai ancaman bagi kemanusiaan (violence).
Dari keberadaan agama tersebut, secara historis
Menurut Berger, agama merupakan bentuk legitimasi yang
paling efektif.1 Agama adalah semesta simbolik yang
memberi makna pada kehidupan manusia dan memberi
penjelasan yang komprehensif tentang realitas, seperti
kematian, penderitaan, alam raya, tragedi dan
ketidakadilan. Agama --meminjam istilah Berger--
merupakan kanopi sakral (sacred canopy) yang melindungi
manusia dari chaos. Proses sakralisasi terjadi ketika agama
melegitimasi institusi sosial dengan menempatkannya
1 Lihat dalam Peter L. Berger (1991), Langit Suci, LP3ES Jakarta, hlm 47-48, Lihat pula dalam
Sastrapateja (sebuah pengantar), Peter L. Berger (1994), Kabar Angin dari Langit, LP3ES
Jakarta, hlm xvi.

2
dalam suatu kerangka sakral dan kosmik. Bentuk paling
kuno dari legitimasi terdapat dalam konsepsi hubungan
antara masyarakat dan kosmos sebagai hubungan antara
mikrokosmos dan makrokosmos. Di dalam kerangka kosmik
ini peranan sosial, seksualitas, keluarga dan perkawinan
merupakan memesis (tiruan dari dunia sakral). Skema
mikrokosmos-makrokosmos sebagai pola legitimasi telah
mengalami perkembangan dari pola dunia mistis kepada
teologi dan filsafat.
Sebagai sistem makna yang telah terpola seperti di
atas, agama akan terus menerus ‘diambil alih’, baik oleh
kekuasaan yang dominan maupun oleh masyarakat dalam
rangka menjustifikasi kepentingannya sendiri, termasuk
oleh mereka yang berada dalam domain relasi politik. Akan
tetapi legitimasi dan sakralisasi ini kemudian menemukan
‘sandungan’ dalam pergeseran pemikiran masyarakat
modern ketika pola pikir manusia mulai menemukan
paradigma baru (melalui proses pendidikan) dalam
memandang relitas, sehingga kemudian muncullah istilah
sekularisasi, yang sering diartikannya sebagai berubahnya
pemahaman atas definisi tentang kenyataan dari kerangka
sakral-dogmatis kepada kerangka profan-rasional..
Dalam kajian berikut ini, dengan menggunakan
metode deskriptif-interpretatif, akan disajikan pelbagai
pemikiran seputar sekularisasi yang dalam konsepsi
ilmuan/masyarakat modern banyak ditempatkan dalam
wacana konflik ideologis. Di satu sisi sekularisasi
ditempatkan pada wacana pemikiran progresif yang ingin
‘melucuti’ agama dari pengaruh-pengaruh politis untuk
kemudian menempatkan agama pada posisi perenialnya,
disisi lain dalam wacana konservatif sekularisasi

3
ditempatkan dalam posisi diametral dan mengidentikkannya
dengan sekularisme atau atheisme yang merupakan
‘musuh’ bagi keberadaan sebuah agama. Untuk tidak
terjebak pada konflik ideologis ini, maka dalam pembahasan
berikut akan lebih melihat sekularisasi sebagai fenomena
sosial yang ada dalam masyarakat yang secara riil
mempengaruhi perilaku keagamaan serta pandangan
seseorang/kelompok masyarakat tentang agama.

B. Pengertian Sekularisasi.

Sekularisasi sering kali diidentikkan dengan wacana


‘kematian’ agama dalam dialektika kehidupan masyarakat.
Istilah ini pertama kali dipakai setelah terjadi peperangan
agama (revolusi Prancis), untuk menyebut pengalihan
wilayah atau harta milik dari pengawasan para pejabat
gereja. Dalam hukum romawi, istilah yang sama dipakai
untuk menyebut kembalinya ke ‘dunia’ orang yang
sebelumnya adalah anggota ordo (keagamaan).2
Sekularisasi sering dipakai sebagai suatu konsep
ideologis yang sarat dengan konotasi evaluatif, terkadang
positif dan terkadang negatif. Dalam lingkungan yang anti
agama dan progresif, istilah itu telah menjadi simbol
pembebasan manusia modern dari kendali religius,
sementara dalam lingkungan yang berkaitan dengan gereja-
gereja tradisional istilah itu dikecam sebagai de-
kristianisasi, de-religiusiti dan semacamnya. Kedua
perspektif yang bermakana ideologis ini, yang di dalamnya
fenomena-fenomena tampak dengan indeks-indeks nilai
yang berlawanan bisa diamati secara seksama dalam karya
para sosiolog agama yang diilhami oleh titik pandang Marxis
dan Kristen.

2 Berger (1991), Langit Suci, op.cit, hlm : 126

4
Kericuhan ideologis tersebut, menimbulkan suatu
gagasan untuk meninggalkan istilah sekularisasi, karena
dianggap rancu atau bahkan tanpa makna sama sekali. Ini
dapat dilihat dalam kritik-kritik yang dilontarkan oleh Peter
E. Glasner (1992) dalam buku Sosiologi Sekularisasi, sebuah
kritik konsep. Akan tetapi menurut Berger, sekularisasi
mengandung arti penting dalam perkembangan dan
pergeseran paradigma dalam perilaku masyarakat Barat
modern.3
Dalam kamus sosiologi Fairchild, sekularisasi adalah
suatu proses dimana struktur sosial yang tadinya tertutup
dan suci telah ditransformasikan menjadi sebuah kontrol
dan interaksi yang bukan suci dan terjangkau. 4Dari sini,
Harvey Cox mengemukakan tiga aspek sekularisasi 5
:
1. Pembebasan alam dari ilusi (dissenchantment of nature)
Pembebasan alam dari pengaruh ilahi, mencakup
kepercayaan animistis, dewa-dewa dan sifat magis dari
alam. Dengan demikian manusia tidak lagi menganggap
alam sebagai kesatuan dengan ilahi.
2. Desakralisasi politik (Desacralization of politic)
Penghapusan legitimasi kekuasaan dan wewenang politik
dari agama.
3. Pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecration of
values)
Nilai-nilai, termasuk nilai agama terbuka untuk perubahan
yang di dalamnya manusia bebas menciptakan

3 Berger menjelaskan bahwa istilah sekularisasi mengacu pada proses-proses yang sangat
penting, yang secara empiris terdapat dalam sejarah modern Barat. Apakah proses-proses ini
diterima atau tidak, ini tentu saja tidak relevan di dalam semesta wacana sejarahwan dan
sosiolog. Adalah mungkin sebenarnya tanpa berusaha terlalu keras untuk menjelaskan
fenomena empiris tanpa mengambil sikap evaluatif. Adalah mungkin untuk mengurut asal usul
sejarahnya, termasuk hubungan historisnya dengan Kristianitas, tanpa menegaskan bahwa ini
merupakan suatu pemenuhan atau suatu suatu kemunduran Kristianitas. Ibid, hlm 127
4 Lihat Pardoyo, Sekularisasi dalam polemik, hlm 99-
5 Ibid, hlm ; 94.

5
perubahan itu, dan membenamkan dirinya dalam proses
evolusi.
Deskripsi tentang sekularisasi ini juga dilontarkan oleh
Dobbelaere (1984) yang menjelaskannya dalam tiga domain
: ‘First. Secularization as a prosess of declining religious
involvement refers ; religious involvement refers to
individual behaviour and measures the degree of normative
integration in religious bodies. Second. Secularization as a
process of laicization ; religion become one institution
alongside other institutions and loses its overarching claim.
Third. Secularization as a process of religious change.6
Sekularisasi –sebagaimana dinyatakan Nurcholis
Madjid-- tidak dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme,
sebab sekularisme adalah istilah untuk sebuah ideologi,
sebuah pandangan dunia baru yang tertutup, yang
berfungsi mirip agama. 7
Dalam bahasan berikut
sekularisasi dimaksudkan sebagai suatu proses yang
dipakai untuk mengalihkan sektor-sektor masyarakat dan
budaya dari dominasi lembaga-lembaga serta simbol-simbol
religius.
Berbicara mengenai masyarakat dan lembaga dalam
sejarah modern Barat, sekularisasi muncul dalam
keterasingan gereja-gereja Kristen dari wilayah-wilayah
yang sebelumnya berada dalam kendali atau pengaruh
mereka. Misalnya; dalam pemisahan antara gereja dengan
negara atau dalam penyitaan tanah-tanah gereja, atau
dalam pembebasan pendidikan dari kekuasaan gereja.
Namun bila berbicara mengenai budaya dan simbol,
dimaksudkan bahwa sekularisasi itu lebih daripada suatu

6 Dobbelaere Karel (1984), Secularization Theories and Sociological Paradigm ; convergence


and divergence, Social Compass XXXI, hlm : 200. Tentang perubahan pandangan seseorang
yang diakibatkan oleh sekularisasi ini juga dapat dilihat dalam Dekker (1999), hlm; 82-86.
7 Pardoyo (1994), Sekularisasi dalam Polemik, hlm : 81

6
proses sosio-kultural. Sekularisasi mempengaruhi totalitas
kehidupan kultural, dan bisa diamati dalam kemerosotan
kandungan religius dalam seni, filsafat, kesusasteraan dan
dalam kebangkitan ilmu pengetahuan sebagai suatu
perspektif yang sepenuhnya sekular dan otonom atas dunia.

C. Agama dan Sekularisasi.

Menempatkan agama dalam dialektika ilmiah tidak


akan dapat lepas dari dua dimensi, yaitu dimensi
historisitas dan dimensi normatifitas. Pada dimensi normatif
agama melahirkan pemahaman tentang realitas transenden
yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang
(space) dan waktu (time), inilah yang sering dinyatakan
sebagai realitas ke-Tuhan-an. Namun pada dimensi historis,
agama tidak bisa dipisahkan dari kesejarahan dan
kehidupan umat manusia yang berada dalam ruang dan
waktu. Agama terangkai oleh konteks kehidupan
pemeluknya, dan karenanya, akses pemahaman manusia
terhadap realitas transedental agama (normativitas agama)
tidak akan sama persis seperti apa yang dikehendai oleh-
Nya. Ia hanyalah batas dari spiritualitas agama. Inilah
realitas kemanusiaan, realitas yang selalu berada di bawah
realitas ketuhanan.
Dalam diskursus keagamaan, manusia selalu hanya
berada pada dimensi historisitas agama dan tidak pernah
sampai pada dimensi normativitas agama. Dimensi
normativitas agama sebagaimana dijelaskan Rudolf Otto
bersifat sui generis, personal dan tidak dapat
dikomunikasikan. Sedangkan dimensi historis, agama
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari entitas
peradaban umat manusia yang berada dalam setting
perjalanan sejarah. Agama merupakan wilayah ‘rasionalitas’

7
kebudayaan yang selalu merencanakan masa depan
peradaban manusia yang lebih baik melalui kerangka
dialektika sisi teologis ke dalam kehidupan sosio-kultural.8
Setiap agama hampir pasti memberikan keyakinan
kepada umatnya tentang ajaran-ajaran mengenai
kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia
dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan
akhirat. Sebagai sebuah sistem keyakinan ini, agama dapat
menjadi bagian dan inti dari sistem nilai yang ada dalam
suatu masyarakat dan menjadi pendorong, penggerak serta
pengontrol bagi tindakan para anggota masyarakat agar
tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan
ajaran agamanya. Dalam keadaan dimana pengaruh ajaran
agama itu sangat kuat terhadap sistem nilai yang ada
tersebut, maka sistem-sistem kebudayaan masyarakat
mengejawantah sebagai simbol-simbol suci yang didasarkan
pada ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya.
Sistem keyakinan dalam agama yang berorientasi
kepada kebenaran (truth) senantiasa berdialog dengan
sistem makna (meaning) yang dibangunnya. Malinowski
telah menunjukkan bahwa tidak ada praktek ritual, magik,
agama, juga tidak ada kepercayaan mengenai yang
supranatural serta unsur-unsur lain yang terintegrasi dalam
konsep tersebut yang tidak memiliki signifikansi fungsional
dalam sistem tindakan. Durkheim dengan mengkaji sikap-
sikap spesifik terhadap hakikat supernatural dan objek-
objek ritual dan tindakan mengadakan pembedaan
mendasar antara yang sacred dan profane, hubungan sikap-
sikap yang sesuai dalam konteks ritual keagamaan dengan
sikap-sikap terhadap objek utilitarian-significance dan
8 Amin Abdullah, 1999 (sebuah pengantar), dalam Gregory Baum (1999) terj Masyhuri,
Agama dalam Bayang-Bayang Relativisme, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm:xx-xxi. Pandangan
Rudolf Otto ini juga dapat dilihat dalam karya Berger, Kabar Angin Dari Langit, hlm :3

8
kegunaannya dalam lapangan tehnik rasional. Asumsi
Durkheim ini menimbulkan masalah seputar objek yang
sakral dan hakikat yang sakral yang merupakan simbol,
karena simbol-simbol ini membutuhkan identifikasi untuk
diinterpretasikan dalam tindakan. Durkheim kemudian
berpandangan bahwa agama tidak berarti apa-apa apabila
dilihat terpisah dari fungsi sosialnya. Weber lebih lanjut juga
menjelaskan hubungan normatif agama ini terkait dengan
sistem institusional dan hubungan fungsionalnya dengan
tindakan. Dari pandangan pandangan ini ternyata menurut
Parson dalam sebuah kesimpulannya menyatakan bahwa
agama senantiasa eksis berkat perannya dalam
memberikan ‘makna’ dalam ruang hidup masyarakat
manusia.9
Munculnya sekularisasi dalam wacana keagamaan
kemudian tidaklah hanya merupakan pemisahan sederhana
antara lapangan spiritual dan duniawi, meskipun
pemisahan-pemisahan itu eksis secara de fakto dalam
seluruh masyarakat dan juga dinegasikan dan
disembunyikan lewat suatu kosa kata religius.
Sekularisasi tidak sepantasnya untuk dinyatakan
sebagai suatu fenomena yang anti religius. Sebagaimana
dinyatakan oleh Arkoun bahwa : Bagaimana kita dapat
bicara secara pas tentang sekularisasi ketika kita tidak
memiliki teori suci yang dapat diandalkan, dan bagaimana
kita bisa berhadapan dengan hal-hal yang suci, spiritual,
transenden, dan dengan ontologi, ketika di lain pihak kita
diharuskan untuk menyadari bahwa seluruh kosa kata ini –

9 Lihat Talcott Parsons, Agama dan Masalah Makna, dalam Roland Robertson (1988), Agama
dalam analisan dan interpretasi sosiologis. Lihat pula pandangan-pandangan seputar makna
agama dalam masyarakat ini dalam buku Anthony Giddiens (1986), terj. S. Kramadibrata,
Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI Press, bagian 2 dan 3.

9
yang dipakai untuk merujuk kepada nilai-nilai immaterial
dan mapan—menjadi subjek pengaruh historisitas ?. Orang
dapat mengatakan bahwa nilai-nilai ini telah dieliminasi
atau disalahinterpretasikan lewat kemenangan kekuasaan
material, tetapi pada sisi lain, siapa yang mampu peduli
terhadap kesadaran palsu, dogmatisme dan fanatisme
religius yang dibangun selama berabad-abad oleh kontrol
religius negara ?. 10

Yang menarik dari proses sekularisasi adalah


pergeseran paradigma masyarakat dari sebuah pandangan
yang berorientasi kepada keyakinan tentang sebuah
kebenaran yang sering membawa truth claim kepada suatu
bentuk pencarian makna dari suatu agama. Penganut
sekular mampu mengintegrasikan religi tradisional secara
kritis, menjadikan pemikiran religius untuk
mengkonsolidasikan sekularisasi sebagai suatu tahap desisif
melalui emansipasi pemikiran manusia dari segala bentuk
kesadaran palsu yang merupakan produk historisitas dari
wacana keagamaan. Namun demikian, harus pula diakui
bahwa sekularisasi dengan rasionalisasi dan desakralisasi
dogma agama juga melahirkan sekularisme, sebuah
ideologi yang menolak eksistensi Tuhan, dengan pandangan
ekstrem, tidak ubahnya seperti ke-ekstrem-an penganut
dogma-dogma tradisional.
Fenomena sekularisasi ini mungkin tidak begitu
menarik untuk dikaji ketika dikaitkan dengan keberagamaan
masyarakat timur-Islam. Dalam masyarakat Islam
sekularisasi tidak dapat berkembang dalam virtualisasinya
yang positif, karena disebabkan kevakuman kultural,
dimana tidak ada kesempatan politik dan kultural bagi

10 M. Arkoun, Konsep otoritas dalam Pemikiran Islam ; laa hukma illa Lillah, Majalah Gerbang,
ELSAD, Surabaya, 1999, hlm 23.

1
0
pemekaran konfrontasi antara visi dunia yang sekuler dan
religius ; dua persepsi, pemikiran dan tindakan,
pembentukan dan pengetahuan. Pemikiran Barat telah
mengeksplorasi lapangan kajian baru melalui konfrontasi ini
sejak abad ke 16. Untuk wilayah Muslim, sekularisasi
merupakan suatu tema ideologis bagi pengkritikan atas
ateisme dan materialisme Barat.11 Untuk itulah fenomena
sekularisasi akan lebih menarik ketika dikaitkan dengan
keberagamaan masyarakat modern, dimana ada konfrontasi
antara gereja tradisional dengan gerakan protestanisme
serta masyarakat kapitalis modern.

D. Proses Sekularisasi

Sebagai fenomena sosial, sekularisasi akan


senantiasa muncul dalam keanekaragaman perilaku
masyarakat dengan latar belakang yang beragam pula.
Untuk itulah proses sekularisasi juga akan memiliki berbagai
wajah, sesuai dengan kultur dan sistem sosial yang
berkembang dalam suatu masyarakat. Penelitian tentang
proses sekularisasi ini-pun akan menampakkan banyak
bentuk, sesuai dengan fenomena yang muncul dalam
perilaku masyarakat.
Dekker (1995) mengungkapkan bahwa : The process
of sekularization, the changing relationship between religion
and society, has thus been studied on tree level ; the
individual level, the societal level, and the
institutional level. In addition to level of analysis, many
authors speak about dimensions, types, or form of
secularization.12
11 Ibid, hlm : 24. Namun demikian, Arkoun juga melihat adanya legitimasi-legitimasi religius
yang menutupi kepentingan –kepentingan politis dalam tradisi pemikiran Islam. Lihat dalam
M. Arkoun (1998), Kajian Kontemporer Al-Qur’an, hlm :221
12 Gerard Dekker (1995), Is Religious Change a Form of Secularization ? The Case of the
Reformed Churches in The Netherlands, Social Compass, LVII, hlm. 80.

1
1
Untuk tidak menjadikan sekularisasi sebagai sebuah
‘mitos’, maka berikut ini akan dideskripsikan beberapa
pandangan sosiolog seputar proses sekularisasi.
|1. Peter L. Berger
Dalam karya-karyanya, Berger senantiasa melihat
proses sekularisasi dalam kaitannya dengan gerakan
protestanisme. Ia melihat bahwa gerakan-gerakan
protestanisme adalah cikal bakal berkembangnya
sekularisasi di Barat yang kemudian melahirkan budaya
modern yang sering dinggap sekuler, sehingga Berger
memiliki anggapan bahwa dunia modern ditegakkan atas
protestanisme.13
Menurut Berger, jika dibandingkan dengan Katolik,
protestanisme tampak sebagai sempalan radikal, suatu
penyederhanaan aturan-aturan religius menjadi bagian-
bagian ‘pokok’ saja dengan membuang sejumlah besar
kandungan religius. Protestanisme bisa dikatakan
merupakan suatu pengkerutan besar dalam lingkup dari
‘yang keramat’ dalam realitas. Perlengkapan sakramental
direduksi sampai batas minimal dan bahkan dipisahkan dari
kualitas-kualitas sucinya.
Penganut Katolik hidup dalam dunia, dimana ‘yang
keramat’ dihadirkan melalui penghantar (sakramen-
sakramen gereja atau kemunculan kekuatan ‘supranatural’
dalam mukjizat-mukjizat), suatu kesinambungan kedirian
antara yang terlihat dengan yang tidak terlihat.
Protestanisme kemudian memutuskan kesinambungan,
memutus tali pusar antara langit dan bumi, dan dengan
demikian mengembalikan manusia pada dirinya sendiri
dalam cara yang belum pernah ada dalam sejarah.
Protestanisme sekedar menggersangkan dunia dari
13 Peter L. Berger (1991), Langit Suci, Op.Cit, hlm : 131.

1
2
ketuhanannya, dan melemparkan manusia ke dalam
kejatuhan total dalam alam ini 14

Menurut Berger, dalam hal ini, protestanisme


menyempitkan hubungan manusia dengan yang keramat
menjadi suatu saluran yang sangat sempit yang disebutnya
kalam Tuhan (jangan disamakan dengan suatu konsepsi
fundamental Injil, tetapi dengan suatu tindakan unik
keberkatan Tuhan yang menebus –yaitu sola gratia dalam
pengakuan-pengakuan Lutheran). Selama penalaran dari
konsepsi ini dipertahankan, sekularisasi bisa dihambat
dengan efektif, meskipun semua bahan pembentuknya
sudah terdapat dalam akar pemikiran protestan. Namun
ketika saluran penghantar ini terputus, tanpa adanya
sesuatupun yang menjadi pengahantar antara Tuhan yang
transenden-radikal dengan dunia manusiawi yang imanen-
radikal maka arus sekularisasi (dalam arti a-religius) tidak
dapat dibendung. Sehingga tenggelamnya dunia manusia
kedalam ketidaknalaran menjadi suatu realitas empiris
dengan sebuah anggapan tentang ‘kematian Tuhan’. Berger
membuat sebuah ungkapan; ketika dalam realitas modern
ini suatu langit yang hampa malaikat menjadi terbuka bagi
campur tangan ahli perbintangan, maka protestanisme
bertindak sebagai pembuka jalan yang sangat menentukan
bagi sekularisasi.
Gerakan protestanisme ini pada awalnya haruslah
dilihat sebagai kekecewaan atas perilaku dan kebijakan-
kebijakan gereja yang telah memanfaatkan tradisi
keagamaan untuk kepentingan-kepentingan gereja dan juga
kepentingan penguasa pada saat itu, sehingga melahirkan
pemikiran kritis masyarakat untuk mencari makna suci yang
benar-benar lahir dari agama yang asli. Walaupun banyak
14 Ibid, hlm : 134.

1
3
sisi negatif yang akhirnya muncul dari gerakan ini.
Protestanisme merupakan suatu tradisi agama yang
menemukan keberaniannya mengembalikan sarana-sarana
penelitian empiris ke tempatnya semula, yang disebut oleh
Paul Tillich sebagai ‘prinsip protestan’ ; protestanisme
memiliki suatu prinsip yang mengatasi seluruh
realisasinya…..prinsip protestan adalah menghakimi setiap
realitas religius maupun kultural, termasuk agama dan
kebudayaan yang menamakan dirinya protestan’. 15

Dalam melihat sekularisasi yang berkembang dalam


masyarakat modern ini, Berger mengindentifikasikan
sekularisasi dalam dua bagian, sekularisasi subjektif
(sekularisasi kesadaran) dan sekularisasi objektif
(sekularisasi sosio-kultural). Menurut Berger, sekularisasi
kesadaran dalam pandangan masyarakat modern dapat
dilihat dalam ‘krisis penalaran’ dalam pemahaman tentang
agama. Sekularisasi telah mengakibatkan suatu keruntuhan
penalaran pada definisi religius tradisional tentang realitas.
Manifestasi dari sekularisasi pada tingkat kesadaran ini
memiliki padanannya pada tingkat sosio kultural
(sekularisasi objektif), secara objektif manusia sehari-hari
cenderung menjadi tidak pasti, terutama dalam keagamaan.
16
Secara subjektif manusia sehari-hari cenderung menjadi
tidak pasti terutama dalam hal keagamaan. Sedangkan
secara objektif, manusia sehari-hari berhadapan dengan
berbagai pelaku religius dan pelaku lainnya yang bersaing
untuk mendapatkan perhatian atau untuk memaksanya
patuh, sehingga dari sini kemudian muncullah apa yang
sering disebut dengan pluralisme.
Masyarakat industrial modern telah menemukan suatu

15 Berger (1994), Kabar Angin dari Langit, Op. Cit, hlm : 109.
16 Berger (1991), Langit Suci, Op. Cit, hlm : 151

1
4
‘wilayah yang dibebaskan’ dalam pandangan
keagamaannya. Sekularisasi telah bergerak keluar dari
sektor ini ke bidang-bidang lain dalam masyarakat. Salah
satu konsekuensi menarik adalah kecenderungan bagi
agama untuk terpolarisasi dalam sektor-sektor tata
kelembagaan yang paling umum dan paling pribadi,
terutama antara lembaga negara dan lembaga keluarga.
Menurut Berger, secara umum dapat dikatakan bahwa
terdapat ambivalensi kultural antara sekularisasi di bidang
perekonomian di satu pihak dengan sekularisasi negara dan
keluarga di pihak lain. Dalam wilayah negara, dalam
beberapa negara terdapat kesinambungan legitimasi-
legitimasi religius tradisional atas tatanan politis pada
waktu negara tersebut sudah separoh jalan menuju
masyarakat industrial modern (misalnya di Inggris).
Sebaliknya kekuatan politik penyekular telah bekerja dalam
negara-negara terbelakang dalam konteks pengembangan
kapitalistik-industrial (misalnya di Prancis abad-18 dan
berbagai negara terbelakang sekarang). Karena itu ada
hubungan antara modernisasi sosio-ekonomik dan
sekularisasi politis.17 Pandangan ini juga ditegaskan oleh
Dobbeleare (1994), yang menegaskan bahwa : Berger
Stressed that the modern economic process in the original
‘carrier’ of secularization, but it has moved ‘outwards’ from
this sector into other sectors of the institutional order ;
polity and education.18
Kecenderungan global sekarang ini adalah
kemunculan sebuah negara yang terbebas dari pengaruh
lembaga-lembaga religius maupun penafsiran-penafsiran
religius atas tindakan politis. Akan tetapi, ketika agama di
17 Ibid, hlm : 154
18 Karel Dobbeleare (1984), Secularization Theories and Sociological Paradigm ;
Convergences and Divergences, Social Compass, XXXI, hlm. 201

1
5
dalam lembaga politis modern secara tipikal merupakan
suatu persoalan retorika ideologis, maka tidak demikian
halnya pada kutub yang berlawanan. Dalam lingkungan
keluarga dan hubungan sosial yang erat kaitan dengannya,
agama memiliki potensi yang besar untuk tetap eksis, tetap
mewarnai aktifitas individu dalam kehidupan sosialnya. Hal
ini dapat dilihat pada munculnya kembali legitimasi-
legitimasi religius dalam keluarga, bahkan dalam lapisan
masyarakat yang paling sekuler (kelas menengah) di
Amerika. Dalam konteks perkembangan keberagamaan
yang demikian ini, maka agama kemudian ditempatkan
pada wacana pribadi dan ditandai dengan watak-watak
yang sangat khas dalam lingkungan masyarakat modern.
Dengan menganalisa fenomena yang tampak dalam
penelitian yang telah dilakukan Berger ini, Dobbeleare
(1984) menyatakan : On the Contrary, in the ‘private
sphere’, in which the family is prominent, religion continues
to be pertinent for motivation and self interpretation. But
the velues pertaining to this sphere are irrelevant to the
‘public sphere’. This segregation of spheres is quite
‘functional’ for the highly rationalized economic and political
institutions. However, the location of religion in the ‘private
sphere’ divested it of its reliance on the state and made it a
tenouous construction. Religion can no longer be imposed
and consequently must be marketed.19
Salah satu watak dasar yang mencolok adalah
individualisasi. Religiusitas semacam itu bagaimanapun
riilnya bagi individu yang menganutnya tidak lagi dapat
memenuhi tugas klasik agama, yaitu tugas membangun
suatu dunia bersama. Efek menyeluruh dari polarisasi ini,
agama akan menampilkan diri sebagai retorika umum dan
19 Ibid, hlm. 202.

1
6
kebajikan pribadi. Dengan kata lain, menurut Berger, sejauh
agama itu umum, maka agama tidak memiliki ‘realitas’, dan
sejauh agama itu ‘riil’ maka ia kehilangan keumumannya.20

2. B. R. Wilson

Sekularisasi dalam pandangan Wilson berawal dari


pemberontakan atas legitimasi institusi gereja terhadap
institusi-institusi lain yang berkembang dalam masyarakat.
Ia menyatakan bahwa : religion offers ‘redemption’ and this
personal, total ‘indivisible ultimate’, unsusceptible to
rational procedures or ‘cost efficiency criteria’, can only be
offered in a ‘community’, to its ‘fellows’. Consequently,
when the community ceases to be the basic principle of
social organization and society develops in a more and
more ‘societal’ manner, then religion looses momentum.
This is also seen in the decline of ritual functions of
religion.21
Wilson menganggap bahwa konsepsi-konsepsi
mengenai gereja, sebagaimana dipahami dalam konteks
sosial, adalah konsep yang memiliki makna dan pengertian
sepenuhnya dalam masyarakat feodal Eropa. Gereja
menyatakan berhak atas teritorial tertentu, memonopoli
kekuatan spiritual, yang identik dengan negara yang
menyatakan hak monopoli atas kekuatan politik dan militer.
Dalam sejarah Eropa sebuah gereja memimpin beberapa
negara yang baru lahir dan hal ini tidak lain mencerminkan
transendensi dan kesemestaan. Hal ini menunjukkan
monopoli kekuatan spiritual untuk kepentingan-
kepentingan politik. 22

20 Berger, 1991, Op. Cit, hlm : 159


21 Lihat Wilson (1982), The Religion in Sociological Perspective, Oxford University Press, hlm.
160-174.
22 Lihat penjelasan ini dalam Wilson, Agama dalam Masyarakat Sekuler, dalam Ronald
Robertson, Op. Cit, hlm : 183.

1
7
Ketika institusi-institusi dalam masyarakat
berkembang dan terspesialisasi, maka legitimasi gereja
sedikit demi sedikit akan pudar, dan disini otoriti sipil
semakin memperoleh kekuatan dan semakin tidak lagi
memerlukan campur tangan gereja. Dalam perkembangan
ini, teori gerejawi mengenai ajaran-ajaran sakral gereja
tetap ada, akan tetapi ketika perkembangan ini memaksa
pada sebuah pemahaman tentang penyimpangan-
penyimpangan yang terorganisasi dari gereja, maka gereja
akan merosot statusnya menjadi sekedar denominasi saja.
Wilson memberikan beberapa contoh tentang
pandangannya tersebut, menurutnya, pertumbuhan
keanekaragaman agama di Amerika Serikat membuktikan
rapuhnya konsep sosial mengenai gereja dalam masyarakat
tersebut, walaupun organisasi-organisasi keagamaan
tersebut yang mewariskan ajaran-ajaran suci dan praktek-
praktek liturgi lainnya, terus berlaku seolah organisasi
tersebut dalam kenyataanya adalah gereja, sekularisasi
telah melanda isi agama, tanpa terlalu mempengaruhi
bentuknya secara radikal dari institusi keagamaan. Di
Eropa, dimana gereja-gereja mapan benar-benar bertahan,
hilangnya otoriti yang efektif mempengaruhi gereja-gereja
bahkan pada masyarakat dimana keyakinan agama
demikian kuat. Demikian halnya dengan yang terjadi di
Inggris protestanisme menciptakan iklim bagi perwujudan
toleransi agama lebih awal dari pada yang terjadi di negeri-
negeri Katolik, dan ketika sejumlah besar anggota
masyarakat secara efektif menjadi religius, semua gerakan
keagamaan menjadi denominasi-denominasi dan sekte-
sekte.
Makna menyeluruh dari proses sekularisasi dalam

1
8
masyarakat modern menurut pandangan Wilson adalah
bahwa masyarakat tidak memiliki nilai-nilai yang berasal
dari prakonsepsi agama tertentu yang kemudian menjadi
landasan bagi organisasi sosial dan tindakan sosial.
Melainkan bahwa agama ekumenis, sebagaimana terjadi di
Amerika, semata-mata mencerminkan nilai-nilai yang
berakar dalam organisasi sosial itu sendiri. Berkembangnya
keanekaragaman dalam masyarakat telah merusak
dominasi agama dan mengakibatkan fungsi-fungsi agama
tersebut menjadi tersebar. Berkurangnya keanekaragaman
tidak pula mempertahankan agama pada fungsinya semula,
dan tidak mengembalikan fungsi-fungsi yang sebelumnya
dimiliki.
Ekumenisme adalah respon yang barangkali dapat
mencegah perubahan gereja menjadi sekte, karena
perubahan gereja menjadi sekte nampaknya sudah lazim
terjadi pada organisasi keagamaan dalam masyarakat
sekuler. Sekte biasanya dikutuk oleh gerejawan, sebenarnya
juga dikutuk oleh kuam Kristen pada umumnya. Sebenarnya
semua aliran agama menuntut profesionalisme gereja.
Mereka memperbaharui pengakuan terhadap status sosial
gereja, mereka menekankan sifat kuno perananan agama
dan meyakinkan kembali tokoh-tokohnya akan keabsahan,
permanensi dan kegunaan.
Denominasionalisme diletakkan Wilson dalam arus
perkembangan pengalaman sosial individu yang berasal
dari proses sekularisasi. Ia sepakat bahwa setiap kelahiran
denominalisionalisme baru menunjukkan kebangkitan
religius, akan tetapi ia membantah bahwa itu merupakan
bukti dari proses sekularisasi satu-satunya. Seperti
Katholisisme yang berkaitan dengan masyarakat feodal

1
9
beserta nilai-nilainya, demikian juga berbagai
penyimpangan kepercayaan dan praktek religius yang
sesudah itu diterima dan menjadi institusi, merefleksikan
dan menuntut dilakukannya interpretasi-interpretasi baru
terhadap masyarakat beserta moralitasnya, teologi dan
pertanggungjawaban manusia di muka bumi.23
Revivalisme menurut Wilson hanyalah
memperkenalkan sebuah keinginan tanpa harapan untuk
kembali kepada pola sosial masyarakat feodal pertengahan
yang petani, khususnya pada periode awal industrialisasi.
Namun, karena pengelompokan religius baru tidak
didasarkan atas hubungan-hubungan kekeluargaan, maka
nilai-nilai yang mereka dukung menjadi tersebar. Di Inggris
yang modern dan menjadi negara industri dengan tingkat
mobilitas sosial dan geografis yang tinggi, kesetiaan pada
denominalisasionalisme nampak semakin melemah.
Lemahnya denominasi-denominasi di Inggris modern
dibuktikan dengan baik oleh Wilson dengan munculnya
gerakan ekumeni. Ini merupakan suatu contoh yang spesifik
bagi hipotesis yang lebih umum bahwa ‘berbagai organisasi
menyatu ketika mereka melemah dibandingkan dengan
ketika mereka kuat, sebab aliansi berarti kompromi dan
amandemen terhadap komitmen’. Profesi kependetaan
yang memberikan sebuah bukti bagi jatuhnya status religi
bersamaan dengan menurunnya jumlah mereka dan
bertambahnya umur mereka, lihat ekumenikalisme sebagai
‘keyakinan baru’. Melalui kepentingan-kepentingan baru,
mereka lebih menyukai aliansi religius dari pada punahnya
religi. Akhirnya, berkembangnya gerakan liturgi yang
disponsori oleh para pendeta bisa jadi akan memantapkan
kembali konsep monopoli profesional dengan menekankan
23 Glasner (1992), Op. Cit, hlm : 28

2
0
kefanatikan, legitimasi dan penampilan peranan religi. 24

3. Thomas luckman
Luckman mencatat bahwa dalam realitas kehidupan
masyarakat, simbol-simbol yang menyajikan realitas
kosmos yang sakral dapat disajikan dalam bentuk yang
religius, karena mereka dengan suatu cara dapat
membentuk fungsi pandangan dunia religius yang luas
secara keseluruhan. Pandangan dunia ini dalam totalitasnya
semula didefinisikan sebagai suatu bentuk religi yang
universal sehingga konfigurasi penyajian-penyajian religius
yang membentuk suatu alam semesta yang sakral
didefinisikan sebagai suatu bentuk sosial historis dari religi
yang khas. 25

Lebih lanjut Luckman menjelaskan, karena kosmos


yang sakral merupakan bagian pandangan dunia, ia
membentuk bagian realitas sosial yang objektif akan tetapi
tidak mesti menjadi manifest institusional. Dalam
pandangan Luckman hal ini mungkin hanya terjadi pada
masyarakat yang relatif sederhana –yaitu masyarakat
dengan tingkat diferensiasi yang rendah dan diferensiasi
pandangan dunia yang relatif homogen. Dalam masyarakat
tersebut tidak ada basis institusional bagi penyajian-
penyajian yang khas religius yang tampak. Mantapnya
institusi-institusi religius yang khas diakibatkan oleh
artikulasi kosmos yang sakral dalam pandangan dunia. Ini
memberikan kondisi yang niscaya, akan tetapi tidaklah
cukup dikenal melalui diferensiasi peran sosial struktural
melalui pembagian kerja.

24 Dari pandangan ini, Luckman menegaskan bahwa : secularization resulted from the
‘dissolution of the traditional, coherent sacred cosmos, and the indtitutional segmentation of
the social struckture’, Lihat dalam Luckman (1967), The Invisible Religion ; the problem of
religion in modern society, Newyork Micmillan, hlm. 101-102. Lihat pula pandangan ini dalam
Dobbeleare (1984), op. Cit, hlm. 202.
25 Glasner, (1992), op. Cit., hlm : 78

2
1
Dalam masyarakat yang semakin heterogen, orang-
orang awam kurang berpartisipasi secara langsung dalam
kosmos yang sakral, dan lebih menyandarkan diri pada
‘mediasi para ahli’ dalam hubungan dengannya. Luckman
menjelaskan ‘’apabila sejak semula tingkah laku yang
secara religius relevan sepenuhnya bersandar kepada
internalisasi norma-norma dan kendali-kendali sosial yang
umum, maka kesesuaian dalam hal-hal tersebut di dalam
masyarakat-masyarakat yang kompleks makin diawasi oleh
ahli religi. Sementara penyajian religius yang sejak semula
sudah hendak mengabsahkan tingkah laku itu dalam semua
bentuk situasinya, maka bertambahnya spesialisasi religi
mengakibatkan beralihnya kendali sosial atas tingkah laku
religius kepada institusi-institusi yang khas. 26

Luckman menegaskan bahwa dalam masyarakat yang


relatif sederhana, para individu banyak
menginternalisasikan kultur yang relatif homogen, tetapi
dalam masyarakat-masyarakat yang lebih kompleks
kesulitan tidak dapat diabaikan, karena justru di dalam
masyarakat tersebut institusi spesialisasi terbentuk. Dalam
masyarakat tersebut tidak akan terdapat tingkat
pertentangan yang tinggi antara model ‘resmi’ religi dan
sistem signifikansi yang ‘luhur dan subjektif’. Karenanya ia
beranggapan bahwa ; sekularisasi pada awalnya tidaklah
merupakan suatu proses yang menggusur nilai-nilai sakral
tradisional. Ia merupakan suatu proses penempatan
‘ideologi-ideologi’ institusional yang otonom, di dalam
domain mereka sendiri, yaitu dunia norma-norma yang
transenden dan meliputi.
Dalam penelitiannya pada masyarakat kelas pekerja
(Eropa) dimana orientasi kepada gereja lebih rendah, ia juga
26 Ibid, hlm : 79.

2
2
menemukan perbedaan pandangan keagamaan yang
signifikan.27 Diantara berbagai kelompok pekerjaan
diketemukan berbagai perbedaan penting. Umumnya
indeks keberagamaan yang lebih tinggi adalah para petani,
pegawai kantor dan kaum profesional lainnya. Perbedaan-
perbedaan ini sejalan dengan distribusi agama yang
beorientasi gereja diantara kelas-kelas sosial. Petani dan
kalangan menengah serta unsur-unsurnya yang pada
dasarnya adalah borjuis tradisional yang survive dan borjuis
kecil ditandai oleh tingkat keterlibatan agama berorientasi
gereja bagaimanapun lebih tinggi dari pada kelas pekerja.
Faktor-faktor utama yang menyebabkan perbedaan ini
adalah lingkungan komuniti dan distribusi kelas-kelas sosial
dan kelompok-kelompok pekerjaan dalam gereja.
Di Amerika Serikat, agama gereja menyebar luas di
kalangan menengah. Kelas yang merupakan basis
perkembangan masyarakat industri modern. Distribusi
agama gereja di Amerika tidaklah menggambarkan
kecenderungan terbalik ke arah ‘sekularisasi’, yakni
lenyapnya agama gereja tradisional. Hal ini lebih
merupakan perubahan radikal di dalam tubuh agama gereja
di Amerika Serikat. Perubahan ini terdiri dari pengambilan
versi sekuler etos Protestan oleh gereja-gereja, yang tentu
saja dihasilkan dari kumpulan faktor dalam sejarah sosial
dan keagamaan di Amerika.28
Kalau pada mulanya agama memainkan peranan
penting dalam mewujudkan American dream, maka pada
masa sekarang gagasan-gagasan sekuler American Dream-
lah yang merembes ke dalam agama gereja. Fungsi-fungsi
sosial kebudayaan yang dijalankan gereja dalam
27 Lihat dalam tulisan T. Luckman tentang Kemunduran Agama yang Berorientasi Gereja,
dalam Robertson (1988), Op. Cit, hlm : 172
28 Ibid, hlm : 179

2
3
masyarakat Amerika lebih menampakkan peran-peran
‘sekuler’ sebagaimana kelompok-kelompok sosial, kelas,
maupun perilaku individualnya, sehingga peran gereja
modern Amerika-pun dapat dianggap ‘sekular’ ketimbang
‘religius’ apabila dibandingkan dengan fungsi yang
diperankan oleh gereja tradisional. Agama gereja
tradisional-pun akhirnya terdesak ke tepi kehidupan
modern.
Dari uraian di atas, Luckman kemudian juga
mencermati pluralisme yang tampak dalam keberagamaan
masyrakat modern. Ia mengungkapkan : In such societies,
pluralisme develop. On the one hand, the development of
manifold relations of institutionalized religion with other
specialized institution results in the emergence of new
religious groups which claim ‘doctrinal’ superiority, and a
higher degree of ‘purity’ from ‘secular’ involvements. In the
other hand, a growing incongruence between the ‘official’
model and individual religiousity will also develop over the
generation resulting from the ‘textual’ stability of
institutionally specialized religion and the rapid change of
social condition which determine the individual system of
‘ultimate’ significance. In pluralistic situation, the
competition between two, and even more, models of
religion, undermines the ‘official’ status of all of them.29
Berawal dari ketiga pandangan tentang preses
sekularisasi di atas, untuk lebih memperjelas bagaimana
bentuk, arah serta unsur-unsur yang terdapat dalam proses
sekularisasi dapat dibuat skema pemahaman sebagai
berikut :

29 Luckman (1967), Op. Cit., hlm. 87.

2
4
DOGMATIC RELIGIOUS

Functionally
Text Culture Rational (Individu)

Sub system of religion


Will have to adapt
to
Thought History the new Functional Segregated
System’s struckture Diferentiation Institutional Ideologis
(Social System)

Disenchantement Disenchantement
Disenchantement

Critical Thought
Rationalization, Education, Economi,
Desakralization Weltanschaung Politic

Pluralisme, Pluralisme, Pluralisme,


Sekularisme, Sekularisme, Sekularisme,
Denominasi Denominasi Denominasi

POST DOGMATIC RELIGIOUS

E. Penutup.

Tidaklah cukup mudah untuk memberi batasan-


batasan konseptual tentang sekularisasi dan pelbagai
problem yang dimunculkannya, karena sekularisasi
menampakkan fenomena yang beragam, baik dalam tradisi

2
5
pemikiran ilmiah maupun dalam signifikansinya dalam
religiusitas masyarakat. Namun dari uraian panjang diatas
dapat memberikan sebuah gambaran bahwa sekularisasi
akan sangat terasa ketika dikonfrontasikan dengan fungsi
imperial yang diperankan oleh agama, yaitu sebagai din
(agama), daulah (negara) dan dunya (dunia), yang
merupakan satu kesatuan guna mewujudkan misinya
sebagai rahmatan lil ‘alamiin (memberi keselamatan bagi
seluruh alam).
Untuk mewujudkan misi tersebut, agama dengan nilai-
nilai suci yang dilahirkannya tidak hanya ‘berputar’ dalam
semesta sakral, namun dia juga harus dapat eksis dalam
semesta profan. Dari sini maka dimensi normatifitas dan
historisitas agama sangat menentukan eksistensi sebuah
agama dalam kehidupan masyarakat. Munculnya
sekularisasi setidaknya dapat dianggap sebagai ‘kegagalan’
agama dalam mengemban misi luhurnya. Agama yang
seharusnya dapat memberikan pencerahan dalam semua
dimensi kehidupan, ternyata telah menjadi ajang legitimasi
oleh berbagai kepentingan dan akhirnya produk
kepentingan yang memanfaatkan agama tersebut juga
mengalami sakralisasi.
Peter L. Berger, Wilson dan Thomas Luckman
cenderung melihat sekularisasi berawal dari pencarian
kembali ‘makna’ agama dengan doktrin-doktrinnya yang
masih ‘suci’ yang belum dikotori oleh kepentingan-
kepentingan gereja, sehingga dari sini agama akan benar-
benar memberi warna positif dalam kehidupan masyarakat.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, sekularisasi

2
6
terkadang memunculkan aspek negatif yang berkonotasi
de-religiusity sehingga melahirkan sekularisme ataupun
atheisme. Dalam wacana modernitas (dalam pandangan
ketiga tokoh di atas), proses sekularisasi lebih mengarah ke
pluralisme dari pada sekularisme, dimana institusi
keagamaan dengan dogma-dogma yang tidak menyentuh
realitas sosial-kemasyarakatan akan digantikan dengan
seperangkat ide, simbol dan ritus (terjadi
denominasionalisme) yang lebih terbuka untuk dikritik
sesuai dengan perkembangan pemikiran dan realitas
kehidupan manusia. ( )

2
7
DAFTAR PUSTAKA

Arkoun Mohammed, (1998) terj. Hidayatullah, Kajian Kontemporer Al-Qur’an,


Pustaka, Bandung.

________________, (1999), Konsep Otoritas dalam Pemikiran Islam ; laa hukma


illaa Lillah, Majalah Gerbang, ELSAD, Surabaya

Baum Gregory Prof. (1999) terj Masyhuri, Agama dalam Bayang-Bayang


Relativisme, Tiara Wacana, Yogyakarta

Berger Peter L. (1991), terj. Hartono, Langit Suci ; agama sebagai realitas
sosial, LP3ES, Jakarta.

___________ (1994), terj. J.B. Sudarminta, Kabar Angin Dari Langit, makna
teologi dalam masrarakat modern, LP3ES, Jakarta.

David Venter Dr. (1996), Death of God or Revolt Agains Secularization ?,


Religius affiliation in global perspective, Missionalisa, ed. 24

Dekker Gerard (1995), Is Religious Change a Form of Secularization ? ; The case


of the reformed churches the Netheland, Social Compass LVII.

Dobbelaere Karel (1984), Secularization Theories and Sociological Paradigm ;


convergence and divergence, Social Compass XXXI.

Glasner Peter E., (1992), terj. M. Mochtar, Sosiologi Sekularisasi ; suatu kritik
konsep, Tiara Wacana, Yogyakarta

Giddens Anthony (1986), terj. S. Kramadibrata, Kapitalisme dan Teori Sosial


Modern, UI Press, Jakarta

Greeley Andew M (1988), terj., A.D. Soamoloe, Agama ; suatu teori sekular,
Erlangga, Jakarta.

Luckman T. (1967), The Invisible Religion ; the problem of religion in modern


society, Newyork Micmillan,

Moreno Francisco Jose Dr. (1985), terj. M. Amin Abdullah, Agama dan Akal
Fikiran ; naluri rasa takut dan keadaan jiwa manusiawi, Rajawali, Jakarta

Robertson Roland, ed. (1988), terj. A.F. Saefuddin, Agama dalam Analisa dan
Interpretasi Sosiologis, Rajawali, Jakarta.

Wilson B.R. (1982), The Religion in Sociological Perspective, Oxford University


Press

2
8
2
9

You might also like