You are on page 1of 2

Perpecahan Parpol: Prahara Politik Menjelang Pemilu 2014

Penulis : Toni Ervianto *)


Pemilu 2014 masih 1,5 tahun lagi, namun gonjang-ganjing politik dan kondisi situasi politik yang semakin memanas telah terjadi di beberapa daerah. Adalah Partai Nasdem yang terkena prahara politik tersebut di awal tahun 2013 ditandai dengan mundurnya Hary Tanoesoedibyo, Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem yang juga CEO MNC Group pada 21 Januari 2013. Dalam jumpa pers yang digelar di Museum Adam Malik, Jakarta, Hary Tanoesoedibyo mengatakan, dirinya memutuskan keluar dari Partai Nasdem karena perbedaan cara pandang dalam berpolitik dengan Suryo Paloh. Meskipun demikian, Hary Tanoe berharap agar Partai Nasdem tetap berkembang dan semakin maju, terutama untuk pilpres 2014 mendatang.

Menurutnya, kader-lader Partai Nasdem lainnya tidak harus mengikuti jejaknya, apalagi membuat kisruh. Hary Tanoesoedibyo juga mengatakan, akan menarik semuanya selepas kemunduran dirinya dari Partai Nasdem. Langkah Hary Tanoesoedibyo akhirnya diikuti oleh Ketua DPW Partai Nasdem Jawa Barat, Rustam Effendi yang juga mengundurkan diri karena Partai Nasdem dinilai tidak konsisten dengan sikapnya yang selama ini menyuarakan restorasi perubahan dan mengedepankan orang-orang muda untuk bergerak di dalamnya, namun menjelang Pemilu 2014 menempatkan orang-orang lama dalam jabatan strategis. Untungkan rival Nasdem Mundurnya Hary Tanoesoedibyo dari Partai Nasdem dipicu oleh beberapa hal antara lain, belum berjalannya mekanisme penyelesaian konflik secara baik, ketidakdewasaan berpolitik dalam menyikai perbedaan serta refleksi dari rivalitas kelompok tua dengan kelompok muda di Partai Nasdem, sehingga perpecahan dalam tubuh Partai Nasdem dinilai menguntungkan rival-rival parpol ini. Bagaimanapun juga, pertikaian dalam Partai Nasdem dapat mengancam elektabilitas partai dan berpotensi menyebabkan citra partai ini jatuh di mata publik. Menurutnya, Partai Nasdem bisa menghindari peruncingan perseteruan internal jika memiliki konstitusi organisasi yang memberikan mekanisme penyelesaian konflik secara fair. Pengunduran Hary Tanoesoedibjo dari jabatan Ketua Dewan Pakar dan Wakil Ketua Majelis Partai Nasdem menunjukkan belum matang sebagai politikus dalam mengelola perbedaan pendapat. Partai Nasdem tanpa Hary Tanoesoedibyo jelas akan mengalami beberapa macam kesulitan antara lain, kekurangan tayangan iklan di media jejaring MNC Group termasuk kekurangan dana operasional partai menghadapi Pemilu 2014. Oleh karena itu, konflik dalam tubuh Nasdem sudah pasti aka n disyukuri oleh rival politiknya terutama parpol-parpol yang memiliki massa konstituen yang tidak berbeda dengan Nasdem seperti Partai Gerindra, Partai Golkar dan Partai Demokrat, sehingga suara partai nasionalis yang terancam dicuri Partai Nasdem tidak akan terjadi pada Pemilu 2014 dengan mundurnya Hary Tanoesoedibyo, sehingga Nasdem diprediksi akan berada di luar 5 besar di Pemilu 2014. Tidak mengherankan jika Hary Tanoesoedibyo misalnya disebut-sebut sudah mendapatkan lamaran dari Partai Demokrat untuk bergabung. Sementara itu, Bonny Hargens, pengamat politik dari UI yang sedang menimba ilmu di Jerman mengatakan, perpecahan di tubuh Partai Nasional Demokrat ternyata dimotori kelompok tua yang mantan dari Partai Golkar dan pensiunan tentara yang ditandai dengan pemecatan terhadap Rio Patrice Capella dan Ahmad Rofiq sebagai ketua umum dan sekjen DPP Partai Nasdem. Menurutnya, Hary Tanoesoedibyo dikenal sangat dekat dengan

kelompok muda di Nasdem, sehingga kecewa ketika anak muda Nasdem tidak diberikan jabatan strategis. Solusinya, ujar Bonny, dalam Kongres I Nasdem yang direncanakan 25-26 Januari 2013, maka Surya Paloh harus merekrut kembali Hary Tanoesoedibyo sebagai solusinya dengan Surya Paloh sebagai Ketum dan Harry Tanoesoedibyo sebagai wakil ketum.

You might also like