You are on page 1of 31

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.

1 Aspal Aspal didefinisikan sebagai material perekat (cementitious), berwarna hitam atau coklat tua dengan unsur utama bitumen. Aspal dapat diperoleh di alam ataupun juga merupakan hasil residu dari pengilangan minyak bumi. Aspal merupakan material yang umum digunakan untuk bahan pengikat agregat, oleh karena itu seringkali bitumen disebut pula sebagai aspal. Pada suhu ruang, aspal adalah material yang berbentuk padat sampai agak padat, dan bersifat termoplastis. Jadi, aspal akan mencair jika dipanaskan sampai dengan temperatur tertentu, dan kembali membeku jika temperatur turun. Bersama dengan agregat, aspal merupakan material pembentuk campuran perkerasan jalan (Sukirman, 2003). Aspal dikenal sebagai bahan atau material yang bersifat viskos atau padat, berwarna hitam atau coklat, yang mempunyai daya lekat (adhesif), mengandung bagian-bagian utama yaitu hidokarbon yang dihasilkan dari minyak bumi atau kejadian alami (aspal alam) dan terlarut dalam karbon disulfida. Aspal sendiri dihasilkan dari minyak mentah yang dipilih melalui proses destilasi minyak bumi. Proses penyulingan ini dilakukan dengan pemanasan hingga temperatur 350oC dibawah tekanan atmosfir untuk memisahkan fraksi-fraksi ringan, seperti gasoline (bensin), kerosene (minyak tanah), dan gas oil (Wignall, 2003). Aspal adalah material yang termoplastik, berati akan menjadi keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika temperatur

bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan temperatur. Kepekaan terhadap temperatur dari setiap jenis aspal berbeda-beda, yang dipengaruhi oleh

komposisi kimiawi aspalnya, walaupun mungkin mempunyai nilai penetrasi atau viskositas yang sama pada temperatur tertentu. Pemeriksaan sifat kepekaan aspal

Universitas Sumatera Utara

terhadap perubahan temperatur perlu dilakukan sehingga diperoleh informasi rentang temperatur yang baik untuk pelaksanaan pekerjaan. Aspal yang mengandung lilin (wax) lebih peka terhadap temperatur dibandingkan dengan aspal yang tidak mengandung lilin. Hal ini terlihat pada aspal yang mempunyai viskositas yang sama pada temperatur tinggi, tetapi sangat berbeda viskositas pada temperatur rendah. Kepekaan terhadap temperatur akan menjadi dasar perbedaan umur aspal untuk menjadi retak/mengeras. Parameter pengukur kepekaan aspal terhadap temperatur adalah indeks penetrasi (penetration index = PI) (Sukirman, 2003). Struktur Aspal ditunjukkan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur Aspal

Universitas Sumatera Utara

2.1.1

Sumber Aspal Aspal yang dihasilkan dari industri kilang minyak mentah (crude oil) dikenal

sebagai refinery bitumen, residual bitumen, straight bitumen atau steam refined bitumen. Isitilah aspal kilang minyak atau refinery bitumen merupakan nama yang tepat dan paling umum digunakan. Jenis-jenis aspal dan proses pemisahannya dari bahan dasar (minyak bumi) ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Produksi Aspal dari Hasil Penyulingan minyak Bumi

Universitas Sumatera Utara

Aspal yang dihasilkan dari minyak mentah yang diperoleh melalui proses destilasi minyak bumi. Proses penyulingan ini dilakukan dengan pemanasan hingga suhu 350 oC di bawah tekanan atmosfir untuk memisahkan fraksi-fraksi minyak seperti gasoline (bensin), kerosene (minyak tanah) dan oil (Wignall, 2003).

2.1.2

Kandungan Aspal Kandungan aspal terdiri dari senyawa asphaltenes dan maltene. Asphaltenes

merupakan campuran kompleks dari hidrokarbon, yang terdiri dari cincin aromatik kental dan senyawa heteroaromatik yang mengandung belerang, serta amina, amida, senyawa oksigen (keton, fenol atau asam karboksilat), nikel dan vanadium (http://145bitumi.html).

Di dalam maltene terdapat tiga komponen penyusun yaitu saturates, aromatis, dan resin, dengan struktur ditunjukkan pada Gambar 2.3 dan 2.4. Dimana masingmasing komponen memiliki struktur dan komposisi kimia yang berbeda, dan sangat menentukan dalam sifat rheologi bitumen. Aspal merupakan senyawa yang kompleks, bahan utamanya disusun oleh hidrokarbon dan atom-atom N, S, dan O dalam jumlah yang kecil, juga beberapa logam seperti Vanadium, Ni, fe, Ca dalam bentuk garam organik dan oksidanya. Dimana unsur-unsur yang terkandung dalam bitumen adalah Karbon (82-88%), Hidrogen (8-11%), Sulfur (0-6%), Oksigen (0-1,5%), dan Nitrogen (0-1%).

Gambar 2.3. Struktur Asphaltenes

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4. Struktur Saturate

Dengan demikian maka aspal atau bitumen adalah suatu campuran cairan kental senyawa organik, berwarna hitam, lengket, larut dalam karbon disulfida, dan struktur utamanya oleh polisiklik aromatis hidrokarbon yang sangat kompak (Nuryanto, A. 2008).

2.1.3

Jenis Jenis Aspal Secara umum, jenis aspal dapat diklasifikasikan berdasarkan asal dan proses

pembentukannya adalah sebagai berikut : a) Aspal Alamiah Aspal alamiah ini berasal dari berbagai sumber, seperti pulau Trinidad dan Bermuda. Aspal dari Trinidad mengandung kira-kira 40% organik dan zat-zat anorganik yang tidak dapat larut, sedangkan yang berasal dari Bermuda mengandung kira-kira 6% zat-zat yang tidak dapat larut. Dengan pengembangan aspal minyak bumi, aspal alamiah relatif menjadi tidak penting. b) Aspal Batuan Aspal batuan adalah endapan alamiah batu kapur atau batu pasir yang diperpadat dengan bahan-bahan berbitumen. Aspal ini terjadi di berbagai bagian di Amerika Serikat. Aspal ini umumnya membuat permukaan jalan yang sangat tahan lama dan stabil, tetapi kebutuhan transportasi yang tinggi membuat aspal terbatas pada daerah-daerah tertentu saja.

Universitas Sumatera Utara

c) Aspal Minyak Bumi Aspal minyak bumi perrtama kali digunakan di Amerika Serikat untuk perlakuan jalan pada tahun 1894. Bahan-bahan pengeras jalan aspal sekarang berasal dari minyak mentah domestik bermula dari ladang-ladang di Kentucky, Ohio, Michigan, Illinois, Mid-Continent, Gulf-Coastal, Rocky Mountain, California, dan Alaska. Sumber-sumber asing termasuk Meksiko, Venezuela, Colombia, dan Timur Tengah. Sebesar 32 juta ton telah digunakan pada tahun 1980 (Oglesby, 1996). Aspal pabrik, merupakan aspal yang terbentuk oleh proses yang terjadi dalam pabrik, sebagai hasil samping dari proses penyulingan minyak bumi. Aspal pabrik ini, mempunyai kualitas standard. Aspal pabrik terbagi kedalam tiga jenis, yaitu : 1) Aspal emulsi, yaitu campuran aspal (55%-65%), air (35%-45%) dan bahan emulsi 1% sampai 2%. Di pasaran ada dua macam aspal emulsi, yaitu jenis aspal emulsi anionik (15%) dan jenis aspal emulsi kationik (di pasaran lebih banyak, yaitu sebesar 85%). 2) Aspal cair, disebut juga aspal cut-back, yang dibagi-bagi menurut proses fraksinya. Misalnya Slow Curing (SC), Medium Curing (MC) dan Rapid Curing (RC). 3) Aspal beton, disebut juga Asphalt Concrete (AC) yang dibagi-bagi menurut angka penetrasinya. Misal : AC 40/60, AC 80/100, dan seterusnya. Umumnya aspal beton yang digunakan dalam proyek-proyek konstruksi jalan terbagi atas beberapa jenis yaitu jenis aspal beton campuran panas atau dikenal dengan Hot Mix Asphalt Concrete (HMAC) merupakan aspal yang paling umum digunakan dalam jalan raya, sedangkan jenis lainya seperti aspal beton campuran hangat, aspal beton campuran dingin, dan aspal mastis (Asiyanto, 2008). Aspal iran merupakan salah satu jenis aspal yang diimpor dari Iran-Teheran. Aspal jenis ini direkomendasikan untuk negara-negara yang mempunyai iklim tropis termasuk Indonesia, karena di desain untuk bisa elastis menyesuaikan suhu yang naik dan turun, contohnya aspal tipe grade 60/70. Untuk data jenis pengujian dan persyaratan aspal tersebut tercantum seperti pada tabel 2.1.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Data Jenis Pengujian dan Persyaratan Aspal Grade 60/70 Sifat Densitas pada T 25 oC Penetrasi pada T 25 C Titik leleh Daktilitas pada T 25 oC Kerugian pemanasan Penurunan pada penetrasi setelah pemanasan Titik nyala Kelarutan dalam CS2 Spot Test
o

Ukuran K/m3 0,1 mm


o

Spesifikasi 1010 - 1060 60/70 49/56 Min. 100 Max. 0,2 Max. 20 Min. 250 Min. 99,5 Negatif

Standart Pengujian ASTM-D71/3289 ASTM-D5 ASTM-D36 ASTM-D113 ASTM-D6 ASTM-D6&D5 ASTM-D92 ASTM-D4 AASHO T102

Cm %wt %
o

%wt

2.2

Aspal Emulsi Aspal emulsi merupakan hasil dispersi bahan aspal dalam air secara merata

dengan menggunakan emulsifier yang berfungsi mengikat molekul aspal dengan molekul air. Dalam suatu campuran emulsi, kandungan aspal umumnya berkisar 5575% dan kandungan bahan pengemulsi (emulsifier) 3 %.

Gambar 2.5 Contoh aplikasi aspal emulsi (sumber: Ertech.com, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.2.1

Jenis-Jenis Aspal Emulsi Aspal emulsi dapat dikelompokan menurut jenis muatan listriknya dan menurut

kecepatan pengerasannya. Berdasarkan muatan listrik yang dikandungnya, aspal emulsi dapat dibedakan menjadi (Martens, 1985).

1. Aspal emulsi kationik Aspal cair yang dihasilkan dari aspal keras dengan cara mendefersikan kedalam air dengan bantuan bahan pengemulsi. Aspal emulsi kationik mengikat cepat adalah aspal emulsi yang bermuatan positif yang aspalnya memisah cepat dengan air setelah kontak dengan batuan. Aspal emulsi kationik mengikat sedang adalah aspal emulsi yang bermuatan positif yang aspalnya memisah dengan air sedang setelah kontak dengan batuan. Aspal emulsi kationik mengikat lambat adalah aspal emulsi yang bermuatan positif yang aspalnya memisah dengan air lambat setelah kontak dengan batuan (SNI 03-4798-1998). Aspal emulsi yang termasuk jenis aspal emulsi kationik tersebut yang cocok digunakan untuk membuat campuran dingin adalah CSS-1,CSS-1h, CMS-2, dan CMS2h. Tingkatan aspal emulsi pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Tingkatan aspal emulsi berdasarkan ASTM dan AASHTO Aspal Emulsi Anionik Aspal Emulsi Kationik RS-1 CRS-1 RS-2 CRS-2 MS-1 -CMSMS-2 2 MS-2h CMS-2h H FMS-1 H FMS-2 H FMS-2h H FMS-2s SS-1 CSS-1 SS-2 CSS-1 h Sumber: (Departemen Pekerjaan Umum, 1991)

Universitas Sumatera Utara

2. Aspal emulsi Anionik Aspal emulsi yang mengandung elmugator anionik sehingga partikel partikel aspal bermuatan elektro negativ. Aspal emulsi anionik mempunya tiga jenis, aspal emulsi mengikat cepat, mengikat sedang dan mengikat lambat ( SNI 03-6832-2002). 3. Aspal emulsi monionik Aspal emulsi monionik merupakan aspal emulsi yang tidak bermuatan lsitrik karena tidak mengalami ionisasi. Berdasarkan kecepatan pengerasannya, aspal emulsi dibedakan menjadi 3 yaitu : (Hendarsin, 2000 dalam Mutohar, 2002; Atkins, 1997):

a.

Aspal emulsi RS (Rapid Setting), direncanakan mempunyai tingkat reaksi yang cepat dengan agregat penyertanya dan berubahnya emulsi ke aspal. Jenis RS akan menghasilkan lapisan film yang relatif tebal.

b.

Aspal emulsi MS (Medium Setting), direncanakan memiliki tingkat pencampuran medium dengan sasaran agregat kasar. Karena jenis ini tidak akan memecah jika berhubungan dengan agregat, maka campuran yang menggunakan jenis ini akan tetap dapat dihamparkan dalam beberapa menit.

c.

Aspal emulsi SS (Slow Setting), jenis ini direncanakan untuk hasil pencampuran yang memiliki stabilitas tinggi. Jenis ini digunakan dengan agregat bergradasi padat dan mengandung kadar agregat halus yang tinggi.

2.2.2

Emulsi Emulsi adalah campuran dua cairan immiscible, dimana salah satu cairan

terdispersi sebagai droplet pada cairan yang lain oleh adanya zat ke tiga sebagai penyetabil. Pada dasarnya emulsi terdiri dari tiga fase yaitu internal, eksternal dan interface. Fase internal atau fase dispersi berada dalam bentuk droplet halus sementara

Universitas Sumatera Utara

fase eksternal atau fase kontinyu membentuk matriks dimana droplet tersuspensi. Agar sistem menjadi stabil dalam jangka waktu yang lama perlu ditambahkan zat ketiga yang aktif pada interface yang disebut emulsifier. Definisi - definisi lain tentang emulsi telah dijelaskan oleh Clayton atau Becher (Shinoda, 1986). Secara umum, jenis emulsi dapat digolongkan dalam dua kelompok air dan minyak. Semua air atau fase fase yang larut dalam air diklasifikasikan sebagai air sedangkan yang lain diklasifikasikan sebagai minyak. Jika air terdispersi dalam minyak maka disebut jenis emulsi air-dalam-minyak (W/O), dengan demikian air sebagai fase terdispersi dan minyak sebagai fase kontinyu. Sebaliknya jika minyak terdispersi ke air maka emulsi tersebut merupakan jenis emulsi minyak-dalam-air (O/W). Dibandingkan dengan emulsi minyak-dalam-air, jenis emulsi air-dalam minyak kurang sensitif terhadap pH, tetapi sensitif terhadap panas, peka pada perlakuan elektrik, mempunyai konduktifitas (Holmberg, 2003). 2.3 Emulsifier / Surfaktan Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil (Jatmika, 1998).

Universitas Sumatera Utara

Permintaan surfaktan di dunia internasional cukup besar. Pada tahun 2004, permintaan surfaktan sebesar 11,82 juta ton per-tahun dan pertumbuhan permintaan surfaktan rata-rata 3 persen per-tahun (Widodo, 2004). Penggunaan surfaktan sangat bervariasi, seperti bahan deterjen, kosmetik, farmasi, makanan, tekstil, plastik dan lainlain. Beberapa produk pangan seperti margarin, es krim, dan lain-lain menggunakan surfaktan sebagai satu bahannya. Syarat agar surfaktan dapat digunakan untuk produk pangan yaitu bahwa surfaktan tersebut mempunyai nilai Hydrophyle Lypophyle Balance (HLB) antara 2-16, tidak beracun, serta tidak menimbulkan iritasi. Penggunaan surfaktan terbagi atas tiga golongan, yaitu sebagai bahan pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsifying agent) dan bahan pelarut (solubilizing agent). Penggunaan surfaktan ini bertujuan untuk meningkatkan kestabilan emulsi dengan cara menurunkan tegangan antarmuka, antara fasa minyak dan fasa air. Surfaktan dipergunakan baik berbentuk emulsi minyak dalam air maupun berbentuk emulsi air dalam minyak (Genaro, 1990).

2.3.1

Jenis Jenis Surfaktan.

a. Surfaktan anionik Jenis surfaktan yang paling besar (jumlahnya) Tidak compatibel dengan jenis surfaktan kationik Sensitif terhadap air sadah atau hard water. Derajat sensitifitasnya : carboxylate > phosphate > sulfate (sulfonate) Rantai pendek polyoxyethylene antara gugus anionik dan hidrokarbon meningkatkan toleransi terhadap garam Rantai pendek polyoxypropylene antara gugus anionik dan hidrokarbon meningkatkan kelarutan dalam solven organik. Jenis sulfate mudah terhidrolisa oleh asam-asam dalam proses auto catalytic. Jenis yang lain stabil, asalkan tidak digunakan pada kondisi ekstrim.

Universitas Sumatera Utara

Contoh surfaktan anionik : Carboxylat soap RCOO Sulphonate RSO 3 Sulfate RO SO 3 Phosphate ROPO(OH) 2 O flotation collector (mineral ores); dispersant (inorganic pigment); anticaking agent (fertilizers); conditioner (hair) dll.

Contoh surfaktan kationik Diamine Hydrochloride Polyamine Hydrochloride Dodecyl dimethylamine Hydrochloride Imidazoline Hydrochloride Alkyl imidazoline ethylenediamine Imidazoline

b. Surfaktan kationik Jenis surfaktan yang banyak jumlahnya setelah anionik dan nonionik. Pada umumnya tidak kompatibel dengan jenis anionik. Mempunyai sifat indeks yang lebih tinggi dibanding surfaktan jenis lain Mempunyai sifat adsorpsi permukaan yang baik; penggunaan utama berhubungan dengan in situ surface modification : anticorrosion agent (steel);

c. Surfaktan non-ionik Merupakan surfaktant kedua terbesar Kompatibel dengan semua jenis surfaktan Sensitif terhadap hard water Berbeda dengan surfaktan ionik, sifat fisik-kimia surfaktan nonionik tidak terpengaruh oleh penambahan elektrolit Sifat fisik-kimia senyawa ethoxylated sangat tergantung pada temperatur

Universitas Sumatera Utara

Contoh surfaktan nonionik Alkohol ethoxylates Mono alkanolamide ethoxylates Fatty amine ethoxylates Fatty acid ethoxylates Ethylene oxyde / propylene oxide copolymers Alkyl phenol ethoxylates

d. Surfaktan ampoterik (Zwiter ion) Surfaktan zwiter ion mengandung dua muatan yang berbeda dan dapat membentuk surfaktan amfoter. Perubahan muatan terhadap pH pada surfaktan amfoterik mempengaruhi pembentukan busa, pembasahan, sifat deterjen dan lainnya. Contoh dari zwiter ion adalah : Lauryldimethyl betaine Cocoamidopropyl betaine Oleyl bis (hydroxyethyl) betaine Carboxy glycinate Alkylampodiacetate Aminoalkanoate

Universitas Sumatera Utara

2.3.2

Hydrophilic - Liphophilic Balance ( HLB) Aturan dalam teknologi emulsi adalah jika emulsifier yang terlarut dalam air

cenderung memberikan emulsi o/w dan emulsifier yang terlarut dalam minyak memberikan emulsi w/o. Konsep ini dikenal sebagai rumus Bancroft. Rumus Bancroft ini semuanya bersifat kualitatif, sehingga untuk membuat hubungan kuantitatif antara hidrofilisitas surfaktan dan fungsi dari larutan, Griffin pada tahun 1949 memperkenalkan konsep keseimbangan HLB dari surfaktan. HLB adalah harga yang harus dimiliki oleh emulgator (atau campuran emulgator) sehingga pertemuan antara fase lipofil dengan air dapat menghasilkan emulsi dengan tingkat dispersitas atau stabilitas yang optimal. Dengan metode ini, tiap zat mempunyai harga HLB atau angka yang menunjukkan polaritas dari zat tersebut. Yang ditunjukkan pada table 2.3 (Supriyo, 2007). Tabel 2.3 Aktivitas dan Harga HLB Surfaktan Aktivitas Emulsifyer (w/o) Wetting Agent (Zat Pembasah) Emulsifyer Detergents (Zat Pembersih) Harga HLB 46 79 8 18 10 18

Griffin telah mengemukakan suatu skala ukuran HLB atau surfaktan. Dari skala daerah efisiensi HLB optimum untuk tiap golongan surfaktan, makin tinggi harga HLB surfaktan maka zat itu akan bersifat polar. Harga HLB beberapa Surfaktan yang ditunjukkan pada table 2.4.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4 Harga HLB Beberapa Surfaktan Nama Kimia Sorbitan monolaurat Sorbitan mono palmitat Sorbitan monostearat Sorbitan tristearat Sorbitan monooleat Sorbitan trioleat Polioksietilen Sorbitan monolaurat Polioksietilen Sorbitan monopalmita Polioksietilen Sorbitan monostearat Polioksietilen Sorbitan tristearat Polioksietilen Sorbitan monooleat Polioksietilen Sorbitan monotrioleat Natrium lauril sulfat Natrium oleat Asam oleat Nama Dagang Span 20 Span 40 Span 60 Span 65 Span 80 Span 85 Tween 20 Tween 40 Tween 60 Tween 65 Tween 80 Tween 85 HLB 8.6 6.7 4.7 2.1 4.3 1.8 16.7 15.6 14.9 10.5 15.0 11.0 40.0 18.0 1.0

(http://id.shvoong.com/ketidakstabilan-emulsi-dan-efisiensi-surfaktan).

Untuk operasi pada suhu ruangan angka HLB yang diprediksi berdasarkan Griffin (atau Davies) dalam pemilihan emulsifier cukup memberikan hasil yang baik. Masalahnya adalah jika terjadi kenaikan suhu selama emulsifikasi atau ketika emulsi yang telah terbentuk disimpan pada suhu rendah. Surfaktan non-ionik dari tipe polyoethylene sangat peka terhadap suhu, dimana pada umumnya memberi emulsi o/w pada kondisi ambient dan emulsi w/o pada suhu yang meningkat. Oleh karena faktorfaktor seperti konsentrasi elektrolit, polaritas minyak dan ratio air minyak sangat berpengaruh pada tipe emulsi yang akan terbentu, maka nampaknya angka HLB saja tidak dapat digunakan sebagai alat yang universal untuk memilih emulsifier yang tepat atau untuk menentukan tipe emulsi yang akan terbentuk.

Universitas Sumatera Utara

2.3.3

Metode HLB untuk Memilih Surfaktan Telah ditemukan secara empiris bahwa kombinasi surfaktan hydrofilik dan

hidrofobic sering lebih baik daripada surfaktan tunggal. Keuntungan dari campuran emulsifier/surfaktan juga berhubungan dengan laju penyerapan molekul surfaktan selama proses emulsifikasi. Dengan adanya emulsifier yang terlarut dalam minyak maupun dalam air, maka antar muka minyakair yang baru terbentuk akan dipenuhi oleh surfaktan dari dua sisi secara simultan. Beberapa panduan secara umum untuk memilih surfaktan sebagai emulsifier adalah sbb : 1) Surfaktan harus mempunyai kecenderungan yang kuat untuk berpindah ke interface 2) Surfaktan yang larut dalam minyak cenderung membentuk emulsi w/o atau sebaliknya 3) Emulsi yang stabil sering dibentuk dengan menggunakan campuran surfaktan hidrofilik dan surfaktan hidrofobik 4) Semakin polar fase minyak, semakin hidrofilik emulsifiernya dan sebaliknya. Pada proses emulsifikasi dengan menggunakan kombinasi beberapa emulsifier maka harga HLB dihitung dengan menggunakan persamaan.

HLB rata-rata = X1 HLB1 + X2 HLB2. Dimana : X1 dan X2 adalah fraksi berat surfaktant 1 dan 2 HLB1 dan HLB2 adalah harga individu HLB surfaktan 1 dan 2 Harga individu masing-masing surfaktan dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.5. Angka HLB untuk beberapa senyawa organik cair Senyawa Angka HLB Acetophenone Acid, Lauric Acid, lonoleic Acid, oleic Acid, ricinoleic Acid, stearic Alcohol, cetyl Alcohol, decyl Alcohol, lauryl Alcohol, tridecyl Benzene Carbon tetrachloride Castor oil Chlorinated Paraffin Cyclohexane 14 16 16 17 16 17 15 14 14 14 15 16 14 8 15 Kerosene Lanolin, anhydrous Mineral oil, aromatic Mineral oil, paraffine Mineral Spirit Petrolatum Pine oil Propene, tetramer Toluene Wax, bee Wax, candelilla Wax, carnauba Wax, microcrystalline Wax, paraffin Xylene Senyawa Angka HLB 14 123 12 10 14 78 16 14 15 9 14 15 12 10 10 14

Contoh cara menghitung HLB rata-rata. Emulsifikasi dari campuran 20% parrafin oil (HLB = 10) dan 80% aromatik mineral oil (HLB = 13) dalam air Angka HLB minyak : 10 x 0.20 + 13 x 0.80 = 12.4 Pada Campuran C12E24 dengan HLB = 17.0 dan C6E2 dengan HLB = 5.3, campuran dengan ratio 60 : 40 dari dua bahan diatas akan memberikan nilai HLB surfaktan : 17.0 x 0.60 + 5.3 x 0.40 = 12.3. Kombinasi surfaktan ini diketahui memberikan stabilias emulsi yang sangat baik. Meskipun metode HLB berguna sebagai petunjuk untuk memilih emulsifier, tetapi banyak keterbatasannya, yaitu selain sangat dipengaruhi oleh suhu, juga dipengaruhi oleh elektrolit, kemurnian minyak dan adanya aditif lain (Supriyo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.4

Tween 80 Polioksietilen (20) sorbitan monooleat yang biasa disebut juga dengan Tween

80 termasuk dalam jenis surfaktan nonionik yang berasal dari sorbitan polioksilat dan asam oleat. Rumus molekulnya adalah C 64 H 124 O 26 . Tween 80 memiliki bobot molekul 1310 gram/mol, densitas sebesar 1.06-1.09 gram/mL. Tween 80 berupa cairan kental berwarna kuning dan larut dalam air. Gugus hidrofiliknya adalah polieter yang disebut juga gugus polioksietilen (polimer dari etilen oksida). Tween 80 biasa digunakan dalam es krim dan obat tetes mata. Tween merupakan surfaktan nonionik yang bersifat biodegradabel dan tidak toksik (Quintero, 2005). Struktur Tween 80 dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Struktur molekul Tween 80 (Schraam, 2005).

2.5

Polivinil Alkohol (PVA) Polivinil alkohol memiliki film yang sangat baik, membentuk pengemulsi dan

perekat. Hal ini juga tahan terhadap minyak, lemak dan pelarut , tidak berbau dan tidak beracun. Memiliki kekuatan tarik yang tinggi dan fleksibilitas, serta oksigen yang

Universitas Sumatera Utara

tinggi dan sifat aromanya penghalang. Namun sifat ini tergantung pada kelembaban , dengan kata lain, dengan kelembaban tinggi lebih banyak menyerap air, yang bertindak sebagai peliat, sehingga mengurangi kekuatan tarik, tetapi meningkatkan elongasi dan kekuatan sobek. PVA memiliki titik leleh 230 C dan 180 190 C (356 374 oF) untuk nilai hidrolisis penuh dan hidrolisis sebagian, masing-masing terurai dengan cepat di atas 200 C (http://en.wikipedia.org/wiki/Polyvinyl_alcohol)

Gambar 2.7. Struktur Polivinil Alkohol

Polivinil alkohol adalah plastik yang larut dalam air yang paling banyak digunakan secara komersial saat ini. Polivinil alkohol memiliki beberapa singkatan yang umum dipakai yaitu, PVOH, PVA, dan PVAL. Polivinil alkohol (PVOH) merupakan zat yang tidak berasa, tidak berbau, dapat terurai oleh alam dan biokompatibel. Selain dapat terlarut dalam air, Polivinil alkohol juga dapat larut dalam etanol. Namun, zat ini tidak dapat larut dalam pelarut organik. PVOH dikembangkan pertama kali oleh Hermann dan Haehnel pada tahun 1924. Proses pembuatan PVOH dilakukan dengan menghidrolisis polivinil asetat (PVAc). Tingkat konsumsi PVOH di dunia telah mencapai beberapa ratus ribu ton per tahun dan diprediksi akan meningkat sekitar 2,5% per tahun antara tahun 2006 dan 2011. Terdapat sejumlah produsen PVOH di seluruh dunia yang mayoritas berbasis di negara-negara Asia. Cina memiliki pangsa pasar terbesar dengan porsi 45% pada tahun 2006 dan nilai ini diperkirakan akan terus berkembang. Selain Cina, Jepang dan Amerika merupakan dua buah negara yang berperan baik sebagai konsumen maupun sebagai produsen (Ogur, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Salah satu pemanfaatan PVOH sebagai bahan sekali pakai adalah aplikasi PVOH pada kantong kotoran hewan yang akan terurai setelah dibuang. Selain itu, PVOH juga dapat diaplikasikan pada bola golf, sehingga pegolf tidak perlu mencari bolanya setelah dipukul karena bola tersebut akan terurai di alam. Di dalam industri pangan, PVOH digunakan sebagai bahan pelapis karena sifatnya kedap terhadap uap air. PVOH mampu menjaga komponen aktif dan bahan lainnya yang terkandung di dalam bahan dari kontak dengan oksigen. Secara komersial, PVOH adalah plastik yang paling penting dalam pembuatan film yang dapat larut dalam air. Hal ini ditandai dengan kemampuannya dalam pembentukan film, pengemulsi, dan sifat adesifnya. PVOH memiliki kekuatan tarik yang tinggi, fleksibilitas yang baik, dan sifat penghalang oksigen yang baik. Berikut ini adalah table 2.6 yang menjelaskan karakter fisik PVOH.

Tabel 2.6 Karakter fisik Polivinil Alkohol Karakter Densitas Titik Leleh Titik Didih Suhu Penguraian Sumber: (Ogur, 2005) 2.6 Dietanolamida Dietanolamida pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol dietanolamina dengan satu mol asam lemak. Senyawa ini diberi nama Kritchevsky amida sesuai dengan nama penemunya. Bahan baku yang digunakan dalam produksi dietanolamida dapat berupa asam lemak, trigliserida atau metil ester. Dietanolamida biasanya diproduksi secara kimia konvensional pada temperatur 150oC selama 6-12 jam (Herawan, 1999). Dari hasil reaksi akan dihasilkan dietanolamida dan hasil samping berupa sabun amina. Kehadiran sabun amina ini, tentu saja akan menaikkan Nilai 1.19-1.31 g/cm3 180-240 oC 228 o 180 oC

Universitas Sumatera Utara

pH produk. Pada tahap pemurnian diperlukan pemisahan produk utama dengan sabun amina. Dietanolamida merupakan salah satu surfaktan alkanolamida yang paling penting. Dietanolamida berfungsi sebagai bahan penstabil dan pengembang busa. Hal ini disebabkan karena adanya kotoran berminyak seperti sebum menyebabkan stabilitas busa sabun cair atau shampo akan berkurang secara drastis. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan penstabil busa yang berfungsi untuk menstabilkan dan mengubah struktur busa agar diperoleh busa yang lebih banyak, pekat dengan buih yang sedikit. Pada pembuatan sabun, dietanolamida digunakan agar sabun menjadi lembut. Pemakaian dietanolamida pada formula shampo dapat mencegah terjadinya proses penghilangan minyak yang berlebihan pada rambut (efek perlemakan berlebihan) dan produk yang dihasilkan tidak menyebabkan rasa pedih di mata, sehingga cocok untuk digunakan sebagai produk sabun dan shampo bagi bayi (Holmberg, 2001). Sintesis dietanolamida menggunakan bahan baku dietanolamina dan asam laurat. Dietanolamina adalah senyawa yang terdiri dari gugus amina dan dialkohol. Dialkohol menunjukkan adanya dua gugus hidroksil pada molekulnya. Sifat-sifat dietanolamina adalah sebagai berikut:

Rumus molekul Berat Molekul Densitas Titik Lebur Titik Didih Kelarutan

: C 4 H 11 NO 2 : 105,1364 gr/mol : 1,090 gr/cm3 : 28oC (1 atm) : 269 - 270oC (1 atm) : H 2 O, alkohol dan eter

Sintesis alkanolamida dari dietanolamina akan menghasilkan alkanolamida yang memiliki tingkat kepolaran yang lebih baik dibandingkan amida lainnya karena adanya dua gugus hidroksil dalam molekul alkanolamida yang dihasilkan (Holmberg, 2001).

Universitas Sumatera Utara

2.7

Viskositas Viskositas dapat dinyatakan sebagai tahanan aliaran fluida yang merupakan

gesekan antara molekul molekul cairan satu dengan yang lain. Suatu jenis cairan yang mudah mengalir dapat dikatakan memiliki viskositas yang rendah, dan sebaliknya bahan bahan yang sulit mengalir dikatakan memiliki viskositas yang tinggi. Pada hukum aliran viskos, Newton menyatakan hubungan antara gaya gaya mekanika dari suatu aliran viskos sebagai : Geseran dalam ( viskositas ) fluida adalah konstan sehubungan dengan gesekannya. Hubungan tersebut berlaku untuk fluida Newtonian, dimana perbandingan antara tegangan geser (s) dengan kecepatan geser (g) nya konstan. Parameter inilah yang disebut dengan viskositas. Aliran viskos dapat digambarkan dengan dua buah bidang sejajar yang dilapisi fluida tipis diantara kedua bidang tersebut. Suatu bidang permukaan bawah yang tetap dibatasi oleh lapisan fluida setebal h, sejajar dengan suatu bidang permukaan atas yang bergerak seluas A. Jika bidang bagian atas itu ringan, yang berarti tidak memberikan beban pada lapisan fluida dibawahnya, maka tidah ada gaya tekan yang bekerja pada lapisan fluida. Suatu gaya F dikenakan pada bidang bagian atas yang menyebabkan bergeraknya bidang atas dengan kecepatan konstan v, maka fluida dibawahnya akan membentuk suatu lapisan lapisan yang saling bergeseran.Setiap lapisan tersebut akan memberikan tegangan geser (s) sebesar F/A yang seragam, dengan kecepatan lapisan fluida yang paling atas sebesar v dan kecepatan lapisan fluida paling bawah sama dengan nol. Maka kecepatan geser (g) pada lapisan fluida di suatu tempat pada jarak y dari bidang tetap, dengan tidak adanya tekanan fluida. 2.7.1 Konsep Viskositas Fluida, baik zat cair maupun zat gas yang jenisnya berbeda memiliki tingkat kekentalan yang berbeda. Viskositas alias kekentalan sebenarnya merupakan gaya gesekan antara molekul-molekul yang menyusun suatu fluida. Jadi molekul-molekul yang membentuk suatu fluida saling gesek-menggesek ketika fluida tersebut mengalir. Pada zat cair, viskositas disebabkan karena adanya gaya kohesi (gaya tarik menarik

Universitas Sumatera Utara

antara molekul sejenis). Sedangkan dalam zat gas, viskositas disebabkan oleh tumbukan antara molekul. Fluida yang lebih cair biasanya lebih mudah mengalir, contohnya air. Sebaliknya, fluida yang lebih kental lebih sulit mengalir, contohnya minyak goreng, oli, madu dkk. Hal ini bisa dibuktikan dengan menuangkan air dan minyak goreng di atas lantai yang permukaannya miring. Pasti air mengalir lebih cepat daripada minyak goreng atau oli. Tingkat kekentalan suatu fluida juga bergantung pada suhu. Semakin tinggi suhu zat cair, semakin kurang kental zat cair tersebut. Misalnya ketika ibu menggoreng paha ikan di dapur, minyak goreng yang awalnya kental menjadi lebih cair ketika dipanaskan. Sebaliknya, semakin tinggi suhu suatu zat gas, semakin kental zat gas tersebut. Perlu diketahui bahwa viskositas alias kekentalan cuma ada pada fluida riil (rill = nyata). Fluida riil/nyata tuh fluida yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, sirup, oli, asap knalpot, dan lainnya. Fluida riil berbeda dengan fluida ideal. Fluida ideal sebenarnya tidak ada dalam kehidupan sehari-hari. Fluida ideal hanya model yang digunakan untuk membantu kita dalam menganalisis aliran fluida (fluida ideal ini yang kita pakai dalam pokok bahasan Fluida Dinamis). Mirip seperti kita menganggap benda sebagai benda tegar, padahal dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya tidak ada benda yang benar-benar tegar/kaku. Tujuannya sama, biar analisis kita menjadi lebih sederhana. Satuan Sistem Internasional (SI) untuk koofisien viskositas adalah Ns/m2 = Pa.s (pascal detik). Satuan CGS (centimeter gram detik) untuk koofisien viskositas adalah dyne.s/cm2 = poise (P). Viskositas juga sering dinyatakan dalam sentipoise (cP). 1 cP = 1/100 P. Satuan poise digunakan untuk mengenang seorang Ilmuwan Perancis, almahrum Jean Louis Marie Poiseuille (baca : pwa-zoo-yuh). 1 poise = 1 dyne. s/cm2 = 10-1 N.s/m2. Yang ditunjukkan pada table 2.7.

Universitas Sumatera Utara

Tabel.2.7 Koefisien Viskositas dari Beberapa Fluida

Fluida Air

Darah (keseluruhan) Plasma Darah Ethyl alkohol Oli mesin (SAE 10) Gliserin

Udara Hidrogen Uap air

Temperatur (oC) 0 20 60 100 37 37 20 30 0 20 60 20 0 100

Koefisien Viskositas 1,8 x 10-3 1,0 x 10-3 0,65 x 10-3 0,3 x 10-3 4,0 x 10-3 1,5 x 10-3 1,2 x 10-3 200 x 10-3 10.000 x 10-3 1500 x 10-3 81 x 10-3 0,018 x 10-3 0,009 x 10-3 0,013 x 10-3

Setiap zat cair mempunyai karakteristik yang khas, berbeda satu zat cair dengan zat cair yang lain. Salah satunya adalah viskositas. Viskositas merupakan tahanan yang dilakukan oleh suatu lapisan fluida terhadap suatu lapisan lainnya. Sifat viskositas ini dimiliki oleh setiap fluida, gas, atau cairan. Viskositas suatu cairan murni adalah indeks hambatan aliran cairan. Aliran cairan dapat dikelompokan menjadi dua yaitu aliran laminar dan aliran turbulen. Aliran laminar menggambarkan laju aliran kecil melalui sebuah pipa dengan garis tengah kecil. Sedangkan aliran turbulen menggambarkan laju aliran yang besar dengan diameter pipa yang besar. Penggolongan ini berdasarkan bilangan Reynoldnya. Viskositas menentukan kemudahan suatu molekul bergerak karena adanya gesekan antar lapisan material. Karenanya viskositas menunjukkan tingkat ketahanan suatu cairan untuk mengalir. Semakin besar viskositas maka aliran akan semakin lambat. Besarnya viskositas dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperatur, gaya tarik antar molekul dan ukuran serta jumlah molekul terlarut. Fluida, baik zat cair maupun zat gas yang jenisnya berbeda memiliki tingkat kekentalan yang berbeda. Pada zat cair, viskositas disebabkan karena adanya gaya kohesi (gaya tarik menarik

Universitas Sumatera Utara

antara molekul sejenis). Sedangkan dalam zat gas, viskositas disebabkan oleh tumbukan antara molekul. Fluida yang lebih cair biasanya lebih mudah mengalir, contohnya air. Sebaliknya, fluida yang lebih kental lebih sulit mengalir, contohnya minyak goreng, oli, madu dll. Tingkat kekentalan fluida dinyatakan dengan koefisien viskositas (h). Kebalikan dari Koefisien viskositas disebut fluiditas, yang merupakan ukuran kemudahan mengalir suatu fluida. Viskositas cairan adalah fungsi dari ukuran dan permukaan molekul, gaya tarik menarik antar molekul dan struktur cairan. Tiap molekul dalam cairan dianggap dalam kedudukan setimbang, maka sebelum sesuatu lapisan melewati lapisan lainnya diperlukan energy tertentu. Sesuai hokum distribusi Maxwell-Boltzmann, jumlah molekul yang memiliki energy yang diperlukan untuk mengalir, dihubungkan oleh factor e-E/RT dan viskositas sebanding dengan e-E/RT. Secara kuantitatif pengaruh suhu terhadap viskositas dinyatakan dengan persamaan empirik, h = A e-E/RT A merupakan tetapan yang sangat tergantung pada massa molekul relative dan volume molar cairan dan E adalah energi ambang per mol yang diperlukan untuk proses awal aliran (http://ginaangraeni10.wordpress.com/about/viskositascairan). Cara menentukan viskositas suatu zat menggunakan alat yang dinamakan viskometer. Ada beberapa tipe viskometer yang biasa digunakan antara lain : 1. Viskosimeter kapiler / Ostwald Viskositas dari cairan yang ditentukan dengan mengukur waktu yang dibutuhkan bagi cairan tersebut untuk lewat antara 2 tanda ketika mengalir karena gravitasi melalui viskometer Ostwald. Waktu alir dari cairan yang diuji dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan bagi suatu zat yang viskositasnya sudah diketahui (biasanya air) untuk lewat 2 tanda tersebut (Moechtar, 1990).

Universitas Sumatera Utara

2. Viskosimeter Hoppler Berdasarkan hukum Stokes pada kecepatan bola maksimum, terjadi keseimbangan sehingga gaya gesek = gaya berat gaya archimides. Prinsip kerjanya adalah menggelindingkan bola ( yang terbuat dari kaca ) melalui tabung gelas yang berisi zat cair yang diselidiki. Kecepatan jatuhnya bola merupakan fungsi dari harga resiprok sampel (Moechtar, 1990). 3. Viskosimeter Cup dan Bob Prinsip kerjanya sample digeser dalam ruangan antara dinding luar dari bob dan dinding dalam dari cup dimana bob masuk persis ditengah-tengah. Kelemahan viscometer ini adalah terjadinya aliran sumbat yang disebabkan geseran yang tinggi di sepanjang keliling bagian tube sehingga menyebabkan penurunan konsentrasi. Penurunan konsentras ini menyebabkab bagian tengah zat yang ditekan keluar memadat. Hal ini disebut aliran sumbat (Moechtar, 1990). 4. Viskosimeter Cone dan Plate Cara pemakaiannya adalah sampel ditempatkan ditengah-tengah papan, kemudian dinaikkan hingga posisi di bawah kerucut. Kerucut digerakkan oleh motor dengan bermacam kecepatan dan sampelnya digeser di dalam ruang semitransparan yang diam dan kemudian kerucut yang berputar (Moechtar, 1990). Viskositas cairan juga dapat ditentukan berdasarkan jatuhnya benda melalui medium zat cair, yaitu berdasarkan hukum Stokes. Dimana benda bulat dengan radius r dan rapat d, yang jatuh karena gaya gravitasi melalui fluida dengan rapat dm/db, akan dipengaruhi oleh gaya gravitasi sebesar : F 1 = 4/3 r3 ( d-dm ) g

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.8 Perbedaan antara viskositas cairan dengan viskositas gas. Jenis Perbedaan Gaya gesek Viskositas Cairan Viskositas Gas

Lebih besar untuk mengalir Lebih kecil dibanding viskositas cairan

Koefisien viskositas Lebih besar Temperatur

Lebih kecil

Temperatur naik, viskositas Temperatur naik,viskositas naik turun

Tekanan

Tekanan naik,viskositas naik

Tidak tergantung tekanan

5. Viskosimeter Brookfield Viskometer Brookfield Termosel, yang diuraikan dalam prosedur ini, digunakan untuk mengukur viskositas aspal minyak pada berbagai temperatur. Torsi pada spindel yang berputar pada temperatur tertentu digunakan untuk mengukur ketahanan relatif terhadap perputaran dalam tabung benda uji. Nilai viskositas aspal dalam milipascal sekon (MPa.s) diperoleh dengan mengalikan hasil pembacaan torsi dengan suatu factor. Sistem pengukuran Viskositas temperatur tinggi dari Brookfield Termosel menggunakan Brookfield Sinkroelektrik Termosel Standar, yang terdiri atas model- model LV, RV, HA atau HB yang penggunaannya tergantung pada rentang viskositas (SNI-03-6441-2000).

Universitas Sumatera Utara

2.8

Energi Aktivasi
Energi aktivasi adalah energi minimum yang harus dipenuhi agar reaksi dapat

berjalan. Istilah energi aktifasi (Ea) pertama kali diperkenalkan oleh Svante Arrhenius dan dinyatakan dalam satuan kilojule per mol. Jika terdapat suatu reaksi sebagai berikut:

Reaktan

Produk

Maka jika reaksi diatas berlangsung secara eksoterm maka diagram energi aktifasinya adalah sebagai berikut:

Dan jika reaksinya endoterm maka diagramnya adalah sebagai berikut:

Persamaan Arrhenius mendefisinkan secara kuantitatif hubungan antara energi aktivasi dengan konstanta laju reaksi,

Universitas Sumatera Utara

Dimana A adalah faktor frekuensi dari reaksi, R adalah konstanta universal gas, T adalah temperatur dalam Kelvin dan k adalah konstanta laju reaksi. Dari persamaan diatas dapat diketahui bahwa Ea dipengaruhi oleh temperatur. Adanya katalis dalam suatu reaksi akan memperkecil besarnya energi aktifasi yang dimiliki oleh reaksi, dan dapat digambarkan dengan grafik berikut ini:

Grafik biru adalah reaksi tanpa katalis dan grafik merah adalah reaksi dengan katalis dapat dilihat Ea1 (tanpa katalis) lebih besar daripada E2 (dengan katalis). Jadi adanya katalis akan memperkecil Ea reaksi sehingga reaksi dapat berlangsung dengan lebih cepat (http://belajarkimia.com/2009/10/energi-aktifasi-dan-persamaan-arrhenius).

2.9

Karakterisasi dengan FT-IR Intrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi infra merah pada

berbagai

panjang

gelombang

disebut

spektrofometer

infra

merah.

Alat

spektrofotometer infra merah pada dasarnya terdiri dari komponen-komponen pokok yang sama dengan alat spektrofotometer ultra lembayung dan sinar tampak, yaitu terdiri dari sumber sinar, monokromator berikut alat-alat optik seperti cermin dan lensa, sel tempat cuplikan, detektor amplifier dan alat dengan skala pembacaan atau

Universitas Sumatera Utara

alat perekam spektra (recorder) akan tetapi disebabkan kebanyakan bahan dalam menstransmisikan radiasi infra merah berlainan dengan sifatnya dalam

menstransmisikan radiasi ultra lembayung, sinar tampak, sifat dan kemampuan komponen alat tersebut diatas berbeda untuk kedua jenis alat spektrofotometer itu. Keuntungan pemakaian sistem berkas rangkap pada alat spektrofotometer adalah : 1. Memperkecil pengaruh penyerapan sinar infra merah oleh CO 2 dan uap air dari udara 2. Mengurangi pengaruh hamburan (scattering) sinar infra merah oleh partikel-partikel debu yang ukurannya mendekati nilai rata-rata panjang gelombang infra merah. 3. Kalau blanko yang digunakan adalah pelarut dari cuplikan dengan sistem berkas rangkap itu pita-pita serapan pelarut tidak akan timbul pada spektra yang direkam. 4. Sistem berkas rangkap mengurangi pengaruh ketidak stabilan pancaran sumbe sinar dan detektor. 5. Perekaman otomatis dapat dilakukan (scanning) (Noerdin, 1985).

Sistem analisis spektroskopi infra merah (IR) telah memberikan keunggulan dalam mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisis infra merah (IR) akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan regangan pada daerah serapan infra merah. Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektra yang telah dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya. Umumnya pita serapan polimer pada spektra infra merah (IR) adalah adanya ikatan C-H regangan pada daerah 2880 cm-1 yang sampai 2900 cm-1 dan regangan dari gugus fungsi lain yang mendukung suatu analisis material (Hummel, 1985)

Universitas Sumatera Utara

2.10

Scanning Electron Microscopy (SEM) Scanning Elektron Mikroskopy (SEM) merupakan alat yang dapat membentuk

bayangan permukaan. Struktur permukaan suatu benda uji dapat dipelajari dengan mikroskop elektron pancaran karena jauh lebih udah mempelajari struktur permukaan itu secara langsung. Pada SEM suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan menyilangi permukaan sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang akan terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi. SEM memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan dengan resolusi sekitar 100 (Stevens, 2001).

Universitas Sumatera Utara

You might also like