Professional Documents
Culture Documents
B. METODE
Kajian ini memfokuskan pembahasan terhadap isi Kapata Siwalima dari
negeri Soahuku Kabupaten Maluku Tengah dengan menggunakan metode
analisis isi (content analysis) dengan pendekatan struktural hermeneutik
terhadap hasil wawancara dengan para informan. Analisis isi adalah teknik
penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel), dan
sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan
komunikasi atau isi komunikasi (Bungin, 2001:219). Sedangkan pendekatan
struktural hermeneutik dititikberatkan pada penafsiran terhadap isi teks sastra
atau transkrip sastra lisan. Pendekatan hermeneutik didahului dengan
pembacaan heuristik, yaitu membaca sastra sesuai dengan kaidah bahasanya,
kemudian ditafsirkan maknanya sesuai dengan pemahaman peneliti. Indikator
yang digunakan untuk mendeskripsikan pemaknaan isinya antara lain; makna
dari foklor lisan kapata, ungsi foklor lisan sebagai media transformasi budaya,
serta upaya pewarisan nilai budaya dan kendalanya.
KAPATA SIWALIMA
Bagian pertama ini menjelaskan bahwa orang Maluku berasal dari satu
pancaran yaitu dari Nunusaku. Menurut Sahusilawane (2005), Nunusaku adalah
negeri utopia dalam sejarah dan mitos orang Maluku tentang asal usulnya.
Negeri itu terletak di pusat pulau Seram, dan digambarkan sebagai tempat yang
indah, penuh dengan pepohonan bunga dan buah. Hanya orang yang beruntung
dan berniat baik saja yang bisa sampai ke sana. Nunusaku adalah tempat asal
Alif’uru atau sebutan bagi manusia pertama. Awalnya orang Maluku terpancar
dari Nunusaku ketika terjadi perang besar di jazirah Huamual. Hal ini
menyebabkan penduduk Nunusaku turun ke daerah pantai dan bereksodus ke
pulau-pulau sekitar pulau Seram. Nenek moyang orang Soahuku turun dari
Nunusaku pada abad ke-13, sedangkan orang Amahai, negeri tetangga Soahuku
turun satu abad sesudahnya, yaitu pada abad ke-14.
Riai moma taralele, taralele
(artinya : sampai di suatu tempat mereka membuat
perjanjian)
Taralele moria la samo, moria la samo
(artinya mereka membuat perjanjian untuk saling peduli
atau saling menjaga satu sama lain sebagai saudara
kandung)
Bait ini berisikan seruan atau ajakan kepada anak-cucu Siwalima untuk
kembali ke Nunusaku, ke Nusa Ina, yang merupakan tanah asal mereka. Dalam
bagian tradisi lisan ini terkandung nilai positif berupa penghargaan atau rasa
cinta terhadap tanah air, tempat asal, dan akar budaya. Ungkapan “cepat ke
Nusa Ina” dapat ditafsirkan sebagai pesan kepada anak-cucu untuk selalu
berinisiatif untuk kembali dan membangun negeri asal mereka serta tidak
melupakan tanah asal.
Upu lepa pela upu ina lepa o
(artinya : datuk-datuk/ moyang-moyang bilang…)
Kwele batai telu kuru siwarima o
(artinya : Tiga Batang Air ; Sungai Tala di Kairatu, Sungai
Eti di Piru, dan Sungai Sapalewa di Taniwel, adalah milik
anak-cucu Siwalima.
Bagian ini berisikan pernyataan mengenai Tiga Batang Air; Tala, Eti, dan
Sapalewa, yang menurut sejarah berfungsi sebagai jalur yang dilalui nenek
moyang orang Maluku ketika turun dari Nunusaku. Selain itu, secara tersirat,
bagian kapata ini menekankan akan pentingnya fungsi lingkungan sebagai
penunjang kehidupan manusia. Pada zaman dahulu, nenek moyang orang
Maluku yang biasanya disebut sebagai bangsa Alif’uru (alif artinya pertama, dan
uru artinya manusia) telah memfungsikan sungai sebagai urat nadi transportasi
mereka, selain fungsi-fungsi yang telah dikenal secara umum. Secara
keseluruhan, bagian ini menandai hubungan manusia yang sangat dekat dengan
lingkungannya. Selain itu, pengakuan terhadap janji dan perkataan yang
dituturkan secara lisan oleh para leluhur hingga saat ini menjadi nilai yang dapat
diamalkan dalam kehidupan bersama.
Sei hale hatu hatu lisa pei o
Sei lesi sou sou lesi pei o
(artinya : sebuah sumpah atau janji bahwa “sapa bale
batu, batu tindis dia ; sapa langgar sumpah, sumpah
bunuh dia” Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
sebagai; Siapa yang membalikkan batu, batu akan
menindihnya; siapa yang melanggar sumpah, maka
sumpah itu akan membunuhnya)
Bagian akhir dari kapata ini adalah tuturan sumpah adat yang hingga kini
biasanya selalu diucapkan dalam setiap prosesi adat. Makna dari sumpah
tersebut adalah sebagai “mnemonic devices” atau alat untuk mengingatkan
masyarakat akan pentingnya menjaga nilai dan norma yang telah lama
disepakati oleh leluhur sebagai sebuah kekuatan untuk membangun masyarakat.
Selain sebagai alat pengingat, sumpah tersebut berfungsi juga sebagai alat
pengikat. Dalam tataran adat masyarakat Maluku, semua sumpah, janji, bahkan
peraturan adat yang dikeluarkan oleh pemerintah ataupun badan saniri wajib
ditaati dan mengikat seluruh komunitas kolektif. Secara langsung masyarakat
telah mengamalkannya sebagai sebuah kekuatan religius magis. Artinya,
sumpah tersebut diyakini memiliki kekuatan sakral yang akan mendatangkan
malapetaka apabila dilaksanakan bersalahan dengan adat atau dijalankan
dengan tidak semestinya. Hal ini sebenarnya merupakan keuntungan bagi folklor
sebagai kekayaan budaya untuk mempertahankan daya hidup atau vitalitas
folklor bagi generasi selanjutnya. Betapa tidak, nilai religius magis itulah yang
menyebabkan masyarakat selalu mengingat dan menjalankan tugas dan fungsi
sastra lisan sebagaimana mestinya, sehingga sastra lisan atau folklor secara
umum akan terus hidup dan bertahan di tengah ancaman modernisasi akibat
dinamisasi perkembangan masyarakat dewasa ini.
c. sebagai hiburan
Kapata Siwalima yang biasanya ditembangkan sambil diiringi Tari
Mako-Mako ternyata menjanjikan hiburan tersendiri. Dinamisasi gerak
yang berpadu dengan harmoni nada pentatonis di dalamnya sungguh
sangat menarik untuk dikembangkan sebagai wisata budaya, tergantung
proses pengemasan dan promosi yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan (ed.). 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Perkasa..
Ratna, I Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi
dan Fakta Yogyakarta: Pustaka Pelajar.