You are on page 1of 27

TENTANG PMII

PMII, atau yang disingkat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia


(Indonesian Moslem Students Movement), dalam bahasa jawanya adalah Anak Cucu
organisasi NU yang lahir dari rahim Departemen perguruan Tinggi IPNU.
Lahirnya PMII bukannya berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat
mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak. namun pihak NU belum memberikan
green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri buat mewadahi anak-
anak NU yang belajar di perguruan tinggi. melihat fenomena yang ini, kemauan keras
anak-anak muda itu tak pernah kendur, bahkan semakin berkobar-kobar saja dari kampus
ke kampus. hal ini bisa dimengerti karena, kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an
memang sangat memungkinkan untuk lahirnya organisasi baru. Banyak organisasi
Mahasiswa bermunculan dibawah naungan payung induknya. misalkan saja HMI yang
dekat dengan Masyumi, SEMI dengan PSII, KMI dengan PERTI, IMM dengan
Muhammadiyah dan Himmah yang bernaung dibawah Al-Washliyah. Wajar saja jika
kemudiaan anak-anak NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji
bintang sembilan, dan benar keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk IMANU
(Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) pada akhir 1955 yang diprakarsai oleh beberapa
tokoh pimpinan pusat IPNU.
Namun IMANU tak berumur panjang, dikarenakan PBNU menolak
keberadaannya. ini bisa kita pahami kenapa Nu bertindak keras. sebab waktu itu, IPNU
baru saja lahir pada 24 Februari 1954. Apa jadinya jika organisasi yang baru lahir saja
belum terurus sudah menangani yang lain? hal ini logis seakli. Jadi keberatan NU bukan
terletak pada prinsip berdirinya IMANU ( PMII ), tetapi lebih pada pertimbangan waktu,
pembagian tugas dan efektifitas organisasi.
Oleh karenanya, sampai pada konggres IPNU yang ke-2 (awal 1957 di
pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon). NU belum memandang perlu adanya
wadah tersendiri bagi anak-anak mahasiswa NU. Namun kecenderungan ini nsudah mulai
diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah Departemen Baru dalam kestrukturan
organisasi IPNU, yang kemudian dep[artemen ini dikenal dengan Departemen Perguruan
Tinggi IPNU.
Dan baru setelah konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati
untuk mendirikan wadah tersendiri bagi mahsiswa NU, yang disambut dengan
berkumpulnya tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, dalam sebuah
musyawarah selama tiga hari(14-16 April 1960) di Taman Pendidikan Putri
Khadijah(Sekarang UNSURI) Surabaya. Dengan semangat membara, mereka membahas
nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan.
Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU KH. Idam Kholid memberikan lampu
hijau. Bahkan memberi semangat pada mahasiswa NU agar mampu menjadi kader partai,
menjadi mahasiswa yang mempunyai prinsip: Ilmu untuk diamalkan dan bukan ilmu
untuk ilmu…maka, lahirlah organisasi Mahasiswa dibawah naungan NU pada tanggal 17
April 1960. Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
( PMII ).
Disamping latar belakang lahirnya PMII seperti diatas, sebenarnya pada waktu itu
anak-anak NU yang ada di organisasi lain seperti HMI merasa tidak puas atas pola gerak
HMI. Menurut mereka ( Mahasiswa NU ) , bahwa HMI sudah berpihak pada salah satu
golongan yang kemudian ditengarai bahwa HMI adalah anderbownya partai Masyumi,
sehinggga wajar kalau mahasiswa NU di HMI juga mencari alternatif lain. Hal ini juga
diungkap oleh Deliar Nur ( 1987 ), beliau mengatakan bahwa PMII merupakan cermin
ketidakpuasan sebagian mahasiswa muslim terhadap HMI, yang dianggap bahwa HMI
dekat dengan golongan modernis ( Muhammadiyah ) dan dalam urusan politik lebih
dekat dengan Masyumi.
Dari paparan diatas bisa ditarik kesimpulan atau pokok-pokok pikiran dari makna dari
kelahiran PMII:
• Bahwa PMII karena ketidakmampuan Departemen Perguruan Tinggi IPNU dalam
menampung aspirasi anak muda NU yang ada di Perguruan Tinggi .
• PMII lahir dari rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim ( NU ) untuk
mengembangkan kelembagaan politik menjadi underbow NU dalam upaya
merealisasikan aspirasi politiknya.
• PMII lahir dalam rangka mengembangkan paham Ahlussunah Waljama’ah dikalangan
mahasiswa.
• Bahwa PMII lahir dari ketidakpuasan mahasiswa NU yang saat itu ada di HMI, karena
HMI tidak lagi mempresentasikan paham mereka ( Mahasiswa NU ) dan HMI ditengarai
lebih dekat dengan partai MASYUMI.
• Bahwa lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa
harus menyadari sikap menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan
idealisme yang dianutnya.
Dengan demikian ide dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda
NU sendiri Bahwa kemudian harus bernaung dibawah panji NU itu bukan berarti sekedar
pertimbangan praktis semata, misalnya karena kondisi pada saat itu yang memang nyaris
menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Tetapi, keterikatan PMII
kepada NU memang sudah terbentuk dan sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai,
kultur, akidah, cita-cita dan bahkan pola berpikir, bertindak dan berperilaku.
Kemudian PMII harus mengakui dengan tetap berpegang teguh pada sikap Dependensi
timbul berbagai pertimbangan menguntungkan atau tidak dalam bersikap dan berperilaku
untuk sebuah kebebasan menentukan nasib sendiri.
Oleh karena itu haruslah diakui, bahwa peristiwa besar dalam sejarah PMII adalah
ketika dipergunakannya istilah Independent dalam deklarasi Murnajati tanggal 14 Juli
1972 di Malang dalam MUBES III PMII, seolah telah terjadi pembelahan diri anak ragil
NU dari induknya.
Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam dokumen historis, sikap
independensi itu tidak lebih dari dari proses pendewasaan. PMII sebagai generasi muda
bangsa yang ingin lebih eksis dimata masyarakat bangsanya. Ini terlihat jelas dari tiga
butir pertimbangan yang melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut.
Pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan
insan-insan Indonesia yang berbudi luhur, taqwa kepada Allah SWT, berilmu dan cakap
serta tanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara
merata oleh seluruh rakyat. Kedua, PMII selaku generasi muda indonesia sadar akan
perannya untuk ikut serta bertanggungjawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat
dinikmati secar merata oleh seluruh rakyat. Ketiga, bahwa perjuangan PMII yang
senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai deklarasi
tawangmangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan
pembinaan rasa tanggungjawab.
Berdasarkan pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai organisasi Independent,
tidak terikat baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya komitmen terhadap
perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.

SITUASI DAN KONDISI POLITIK SEKITAR KELAHIRAN PMII.


Ada beberapa situasi dan kondisi yang melatar belakangi proses kelahiran PMII saat itu,
antara lain situasi politik negara Republik Indonesia, Posisi Umat Islam Indonesia, dan
Keadaan Organisasi Mahasiswa saat itu. Namun disini penulis tidak akan mengulas
semua situasi dan kondisi politik disekitar proses kelahiran PMII tersebut, tetapi hanya
akan sedikit mengulas keadaan organisasi mahasiswa saat itu.
Yang dimaksud dengan keadaan organisasi mahasiswa disini adalah suatu wadah
aktivitas para mahasiswa di luar kampus (ekstra universiter dan ekstra kurikuler). Dengan
wadah seperti itu aktivitas mahasiswa banyak memberikan andil besar terhadap pasang
surutnya sejarah bangsa Indonesia, khususunya generasi muda. Andil tersebut biasanya
digerakkan oleh idealisme yang berorientasi pada situasi yang selalu menghendaki
adanya perubahan kearah perbaikan bangsanya, sesuai dengan cita-cita proklamasi
kemerdekaan Indonesia, Pancasila dan UUD 1945.
Generasi muda khususnya para mahasiswa merupakan kelompok terpelajar yang
mendapat perhatian dari pemerintah, lantaran menyangkut masa depan kehidupan bangsa.
Situasi dunia kemahasiswaan saat itu banyak terkait dengan kondisi politik nasional.
Sebab sejarah kemahasiswaan di Indonesia pun paralel dengan apa yang terjadi pada dasa
warsa 1950-an, kegiatan mahasiswa pada dasa warsa 1950-an banyak berkaitan dengan
persoalan-persoalan politik, sebab mahasiswa pada saat itu lebih cendrung merupakan
alat partai politik).
Oleh karena itu wajar kalau organisasi mahasiswa harus terlibat dalam masalah
penyusunan kabinet. ) Demikian juga misalnya ketika pelaksanaan Pemilu tahun 1955,
organisasi mahasiswa Islam yang diwakili oleh HMI pada saat itu menyerukan kepada
masyarakat supaya memilih partai-partai Islam, dan khusus kepada warganya supaya
memilih salah satu partai Islam yang disenangi. Sedangkan dalam pelaksanaan sidang
Dewan Konstituante 1957 di Bandung diwakili oleh Porpisi (perserikatan organisasi-
organisasi pemuda Islam Indonesia) yang dipimpin oleh EZ. Muttaqin menjadi peninjau
pada pelaksanaan sidang tersebut.
Keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis di imbangi pula oleh aktivitas-
aktivitas di bidang kepemudaan, baik dalam skala nasional maupun International. Porpisi
dan FPII (front pemuda Islam Indonesia) adalah dua organisasi yang telah mengantarkan
peran serta para pemuda islam Indonesia. Demikian juga kahadiran GPII (Gerakan
pemuda Islam Indonesia) sebelumnya telah memainkan peranan penting dalam
hubungannya dengan BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia) yang
dipimpin oleh Khairul Saleh. Dalam pertemuan Kongres Pemuda Islam sedunia
(International Assembly of Muslem Youth) pada tahun 1955 di Karachi Pakistan, pemuda
Islam Indonesia diwakili oleh PORPISI.
Sementara PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) dan MMI
(Majlis Mahasiswa Indonesia) yaitu wadah federatif organisasi ekstra dan intra-
universiter telah memberi warna tersendiri dalam dunia kemahasiswaan. PPMI berdiri
tahun 1947 yang didukung oleh organisasi-organisasi ekstra-universiter baik yang
beraliran nasionalis, agama, sosialis maupun organisasi lokal. Organisasi sangat aktif
dalam kegiatan-kegiatan politik dalam dan luar negeri. Sebagai atas PPMI, maka
mahasiswa-mahasiswa yang masih menginginkan kemurnian aktivitasnya dari politik
mereka mendirikan organisasi Intra-universiter di tiap-tiap perguruan tinggi beruapa
Sema (Senat Mahasiswa) dan Dema (Dewan Mahasiswa) yang akhirnya berkembang
menjadi MMI.
Akan tetapi dalam perjalanan sejarahnya PPMI dan MMI juga sama saja, yaitu
kedua organisasi ini tidak bisa melepaskan diri dari soal politik. Oleh karena itu jika
mengungkapkan dunia kemahasiswaan secara organisasi pada tahun 1950-an tidak
terlepas dari adanya persaingan politik dalam dua tubuh organisasi federatif itu, bahkan
persaingan tersebut berlangsung hingga tahun 1965 disaat meletusnya G.30.S/PKI. PPMI
dan MMI yang sudah didominasi oleh CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia) yang berhaluan Komunis kemudian tamat riwayatnya bersamaan dengan
penganyangan terhadap G.30.S/PKI.
Dinamika kehidupan mahasiswa yang seperti itu telah mendorong sekelompok
mahasiswa nahdliyin untuk ikut berperan didalamnya, sebab dalam suasana seperti itu
para mahasiswa nahdliyin merasa tidak cukup tersalurkan aspirasinya hanya melalui
HMI. Wajar bila akhirnya para mahasiswa nahdliyin segera membentuk wadah tersendiri,
disamping alasan intern yakni IPNU sudah tidak lagi mampu mewadahi gerakan para
mahasiswa nahdliyin tersebut.

PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA PMII DALAM


LINTASAN SEJARAH

Panggung pergerakan merupakan medan utama mahasiswa dalam menancapkan


api perjuangan di Nusantara. Sejak dirangkai oleh visi kemerdekaan, dunia pemuda dan
mahasiswa tidak hanya jadi penonton “hitam putihnya Indonesia” yang baru lepas dari
belenggu kolonialisme. Hasrat yang kuat untuk membangun bangsa yang berkeadilan
tanpa diskriminasi dan berperadaban adalah isu utama kebangsaan yang diusung oleh
mahasiswa.
Sejarah mencatat, gerakan mahasiswa awal yang dipelopori oleh sekelompok
mahasiswa STOVIA yang mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok Budi Utomo ( 20
Mei 1908 ) mampu memelopori perlawanan terhadap kungkungan kolonialisme terhadap
bangsa. Mahasiswa pada saat itu mampu mengejawantahkan dirinya sebagai agent of
change yang terus bergeliat mencari makna ke arah perubahan yang lebih baik.
Pada dekade 1920-an, terdapat fenomena gerakan baru yang dilakukan oleh
serombongan mahasiswa Indonesia. Gerakan mahasiswa pada masa ini terkonsentrasi
pada wilayah pembentukan dan pengembangan kelompok-kelompok studi. Format baru
tersebut menjadi orientasi gerakan kala itu, karena banyak pemuda dan mahasiswa yang
kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia. Melalui
kelompok studi, pergaulan di antara para mahasiswa pun tidak dibatasi oleh sekat-sekat
kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan yang mungkin memperlemah perjuangan
mahasiswa.
Selanjutnya, sebagai reaksi atas aneka-ragam kecenderungan permusuhan atau
perpecahan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dimana ketika itu, di
samping organisasi politik, juga memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda
yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong
Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Islamieten
Bond, dan lain-lain. Maka semangat perjuangan pemuda-pemuda Indonesia tersebut
harus tercetuskan dalam satu tekad tanpa sekat. Akhirnya, pada 27-28 Oktober 1928
diselenggarakan Kongres Pemuda II, yang menghasilkan rumusan-rumusan baru untuk
menyikapi kondisi bangsa. Sumpah setia hasil Kongres Pemuda II tersebut, dibacakan
pada 28 Oktober 1928, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda inilah,
muncul generasi baru pemuda Indonesia, angkatan 1928. Sumpah Pemuda sebagai alat
pemersatu semangat kebangsaan mampu mempersatukan tekad para pemuda untuk
bersama dan bersatu dalam semangat persatuan Indonesia.
Era 1940-an, para pemuda dan mahasiswa tidak hanya diam terpaku melihat
kondisi realitas bangsa yang carut marut tanpa kepastian. Pada tahun 1945, pemuda dan
mahasiswa mencoba untuk menyatukan persepsi dan segera merumuskan persiapan
kemerdekaan Indonesia. Melalui kalangan tua, Soekarno dan Hatta, yang didesak
beberapa tokoh muda untuk segera merumuskan persiapan kemerdekaan Indonesia,
akhirnya mengabulkan keinginan para pemuda. Dan memproklamasikan negara
Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada momentum inilah, fungsi
gerakan pemuda Indonesia benar-benar menunjukkan partisipasi yang sangat berarti.
Indonesia merdeka yang menjadi impian bangsa Indonesia kini telah terwujud.
Tidak berhenti sampai disini. Paska kemerdekaan Indonesia, pemuda dan
mahasiswa terus bergerak untuk berbenah, menyikapi kondisi bangsanya melalui sistim
kepartaian yang ada. Seiring dengan suasana Indonesia pada masa-masa awal
kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer, yang lebih diwarnai perjuangan partai-
partai politik dan saling bertarung berebut kekuasaan, maka pada saat yang sama,
mahasiswa lebih melihat diri mereka sebagai The Future Man; artinya, sebagai calon elit
yang akan mengisi pos-pos birokrasi pemerintahan yang akan dibangun.
Bersamaan dengan diberikannya ruang dalam sistem politik bagi para aktivis
mahasiswa yang memiliki hubungan dekat dengan elit politik nasional. Maka pada masa
ini banyak organisasi mahasiswa yang tumbuh berafiliasi dengan partai politik. Hingga
berujung pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan keinginan pemerintahan
Soekarno untuk mereduksi partai-partai, maka kebanyakan organisasi mahasiswa pun
membebaskan diri dari afiliasi partai dan tampil sebagai aktor kekuatan independen,
sebagai kekuatan moral maupun politik yang nyata. Dibuktikan dengan terbentuk dan
tergabungnya organisasi mahasiswa (termasuk PMII, GMKI, HMI, Sekretariat Bersama
Organisasi-organisasi Lokal -SOMAL-, Mahasiswa Pancasila -Mapancas-, dan Ikatan
Pers Mahasiswa -IPMI-) dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk
melakukan perlawanan terhadap paham komunis, memudahkan koordinasi dan memiliki
kepemimpinan.
Karena sikap pemerintah yang otoriter, serta terjadinya pemberontakan 30
September 1965, menyebabkan pemerintahan Demokrasi Terpimpin mengalami
keruntuhan. Berakhirnya rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno tersebut, memulai
babak baru perjalanan bangsa Indonesia, dengan kepemimpinan Soeharto, yang
kemudian dikenal dengan rezim Orde Baru.
Pada era 1970-an (era rezim Orde Baru), pemuda dan mahasiswa Indonesia
mengalami distorsi gerakan. Sikap konfrontasi mahasiswa terhadap pemerintahan yang
korup, berujung pada permainan rekayasa dan kebijakan kooptasi pemerintahan Orde
Baru, yang mencoba mempertahankan status quo. Selanjutnya, melalui kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus, gerakan mahasiswa benar-benar tereduksi oleh sikap
otoritarianisme penguasa. Akibatnya mahasiswa hanya disibukkan dengan berbagai
kegiatan kampus, di samping kuliah sebagai rutinitas akademik serta dihiasi dengan
aktivitas kerja sosial, dis natalis, acara penerimaan mahasiswa baru dan wisuda sarjana.
Dengan semakin termarjinalnya gerakan mahasiswa dalam pentas kontrol sosial-
politik Indonesia, akhirnya pada era berikutnya, gerakan mahasiswa mengalami power
disaccumulation, yang kemudian melahirkan angkatan baru, yaitu angkatan 1990-an.
Adalah satu keberanian menggulirkan diskursus gerakan mahasiswa 1990-an di tengah
kehancuran politik mahasiswa, yang disebabkan oleh kebijakan Normalisasi Kehidupan
Kampus. Namun gerakan tersebut perlahan mulai kembali menggelinding bersamaan
dengan isu SDSB. Bahkan dalam perkembangannya, keberhasilan gerakan mahasiswa
dalam isu SDSB harus diakui berhasil meskipun sedikit tertolong oleh power block
politic yang ada.
Lahirnya gerakan mahasiswa 1998 dengan segala keberhasilannya meruntuhkan
kekuasaan rezim Orde Baru, adalah merupakan akibat dari akumulasi ketidakpuasan dan
kekecewaan politik yang telah bergejolak selama puluhan tahun dan akhirnya “meledak”.
Secara obyektif situasi pada saat itu, sangat kondusif bagi gerakan mahasiswa berperan
sebagai agen perubahan. Krisis legitimasi politik yang sudah diambang batas, justru
terjadi bersamaan dengan datangnya badai krisis moneter di berbagai sektor. Di sisi lain
secara subyektif, gerakan mahasiswa 1998 telah belajar banyak dari gerakan 1966 dengan
mengubah pola gerakan dari kekuatan ekslusif ke inklusif dan menjadi bagian dari
kekuatan rakyat.
Sasaran dari tuntutan “Reformasi” gerakan mahasiswa dan kelompok-kelompok
lain yang beroposisi terhadap rezim Orde Baru, antara lain adalah perubahan
kepemimpinan nasional. Soeharto harus diruntuhkan dari kekuasaan, karena tidak akan
ada reformasi selama Soeharto masih berkuasa. Namun demikian, kenyataan
menunjukkan suara-suara kritis yang menuntut perubahan tidak mendapatkan jawaban
dari rezim penguasa, sebagaimana yang diharapkan. Terlebih oleh Golongan Karya
(Golkar), yang dengan enteng mencalonkan kembali Soeharto.
Perjalanan panjang gerakan mahasiswa akhirnya mencapai puncaknya pada Mei 1998,
dengan indikasi turunnya kekuatan otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto. Namun
keberhasilan yang mengesankan ini tampaknya tidak dibarengi oleh kesiapan jangka
panjang gerakan mahasiswa. Berbagai kontroversi kemudian timbul di masyarakat,
berkenaan dengan pengalihan kekuasaan ini.
Pertama, pandangan yang melihat hal itu sebagai proses inkonstitusional dan
sebaliknya pandangan kedua, beranggapan bahwa langkah tersebut sudah konstitusional.
Menyambut turunnya Soeharto, sejenak mahasiswa benar-benar diliputi kegembiraan.
Perjuangan mereka satu langkah telah berhasil, tetapi kemudian timbul keretakan di
antara kelompok-kelompok mahasiswa mengenai sikap mahasiswa terhadap peralihan
kekuasaan dari Soeharto ke Habibie.
Paska reformasi 1998, tampak terlihat masih amburadulnya konsolidasi gerakan
mahasiswa. Gerakan mahasiswa tahap selanjutnya mengalami krisis identitas. Perbedaan
visi yang muncul pada gerakan mahasiswa seringkali mengarah pada persoalan friksi-
friksi yang sifatnya teknis. Kenyataan demikian menyebabkan friksi-friksi gerakan
mahasiswa kehilangan arah dan bentuk. Hal ini menyebabkan sejumlah gerakan
mahasiswa harus melakukan konsolidasi internal organisasi. Konsolidasi internal ini
sebagai upaya untuk mencari format baru gerakan mahasiswa dalam konstalasi politik
yang baru pula. Disamping itu, konsolidasi internal ditujukan agar gerakan mahasiwa
harus lebih introspeksi diri terhadap apa yang dilakukan. Upaya konsolidasi internal ini
bukan berarti menegasikan dinamika politik sekitar, akan tetapi, konsolidasi internal ini
agar lebih tepat, baik secara strategis dan taktis untuk melakukan gerakan kedepan.

REFLEKSI PMII SEBAGAI ORGANISASI KEMAHASISWAAN


Dokumen Sejarah menjadi sangat penting untuk ditinjau ulang sebagai referensi
atau cerminan masa kini dan menempuh masa depan, demikian halnya Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai organisasi kemahasiswaan yang gerak
perjuangannya adalah membela kaum mustadh’afin serta membangun kebangsaan yang
lebih maju dari berbagai aspek sesuai dengan yang telah dicita-citakan.
Latar belakang berdirinya PMII terkait dengan kondisi politik pada PEMILU
1955, berada di antara kekuatan politik yang ada, yaitu MASYUMI, PNI, PKI dan NU.
Partai MASYUMI yang diharapkan mampu untuk menggalang berbagai kekuatan umat
Islam pada saat itu ternyata gagal. Serta adanya indikasi keterlibatan MASYUMI dalam
pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan
Semesta (PERMESTA) yang menimbulkan konflik antara Soekarno dengan MASYUMI
(1958). Hal inilah yang kemudian membuat kalangan mahasiswa NU gusar dan tidak
enjoy beraktivitas di HMI (yang saat itu lebih dekat dengan MASYUMI), sehingga
mahasiswa NU terinspirasi untuk mempunyai wadah tersendiri “di bawah naungan NU”,
dan di samping organisasi kemahasiswaan yang lain seperti HMI (dengan MASYUMI),
SEMMI (dengan PSII), IMM (dengan Muhammadiyah), GMNI (dengan PNI) dan KMI
(dengan PERTI), CGMI (dengan PKI).
Proses kelahiran PMII terkait dengan perjalanan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU), yang lahir pada 24 Februari 1954, dan bertujuan untuk mewadahi dan mendidik
kader-kader NU demi meneruskan perjuangan NU. Namun dengan pertimbangan aspek
psikologis dan intelektualitas, para mahasiswa NU menginginkan sebuah wadah
tersendiri. Sehingga berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdhatul Ulama (IMANU) pada
Desember 1955 di Jakarta, yang diprakarsai oleh beberapa Pimpinan Pusat IPNU,
diantaranya Tolchah Mansyur, Ismail Makky dll.
Namun akhirnya IMANU tidak berumur panjang, karena PBNU tidak mengakui
keberadaanya. Hal itu cukup beralasan mengingat pada saat itu baru saja dibentuk IPNU
pada tanggal 24 Februari 1954, “apa jadinya kalau bayi yang baru lahir belum mampu
merangkak dengan baik sudah menyusul bayi baru yang minta diurus dan dirawat dengan
baik lagi.”.
Dibubarkannya IMANU tidak membuat semangat mahasiswa NU menjadi luntur,
akan tetapi semakin mengobarkan semangat untuk memperjuangkan kembali pendirian
organisasi, sehingga pada Kongres IPNU ke-3 di Cirebon, 27-31 Desember 1958,
diambillah langkah kompromi oleh PBNU dengan mendirikan Departemen Perguruan
Tinggi IPNU untuk menampung aspirasi mahasiswa NU. Namun setelah disadari bahwa
departemen tersebut tidak lagi efektif, serta tidak cukup kuat menampung aspirasi
mahasiswa NU (sepak terjang kebijakan masih harus terikat dengan struktural PP IPNU),
akhirnya pada Konferensi Besar IPNU di Kaliurang, 14-16 Maret 1960, disepakati
berdirinya organisasi tersendiri bagi mahasiswa NU dan terpisah secara struktural dengan
IPNU. Dalam Konferensi Besar tersebut ditetapkanlah 13 orang panitia sponsor untuk
mengadakan musyawarah diantaranya adalah:

1. A. Cholid Mawardi (Jakarta).


2. M. Said Budairi (Jakarta).
3. M. Subich Ubaid (Jakarta).
4. M. Makmun Sjukri, BA (Bandung).
5. Hilman (Bandung).
6. H. Ismail Makky (Yogyakarta).
7. Munsif Nachrowi (Yogyakarta).
8. Nurul Huda Suaidi, BA (Surakarta).
9. Laili Mansur (Surakarta).
10. Abdul Wahab Djaelani (Semarang).
11. Hizbullah Huda (Surabaya).
12. M. Cholid Marbuko (Malang).
13. Ahmad Husein (Makassar).
Lalu berkumpulah tokoh-tokoh mahasiswa yang tergabung dalam organisasi
IPNU tersebut untuk membahas tentang nama organisasi yang akan dibentuk.
Sebelum musyawarah berlangsung, beberapa orang dari panitia tersebut meminta restu
kepada Dr. KH. Idham Cholid, Ketua Umum PBNU, untuk mencari pegangan pokok
dalam pelaksanaan Musyawarah, mereka adalah Hizbullah Huda, M. Said Budairi dan
Makmun Sjukri. Dan akhirnya mereka mendapatkan lampu hijau, beberapa petunjuk,
sekaligus harapan agar menjadi kader partai NU yang cakap dan berprinsip ilmu untuk
diamalkan serta berkualitas takwa yang tinggi kepada Allah SWT.
Akhirnya, pada tanggal 14-16 April 1960 dilaksanakan Musyawarah Nasional
Mahasiswa NU bertempat di Taman Pendidikan Puteri Khadijah Surabaya dengan
dihadiri mahasiswa NU dari berbagai penjuru kota di Indonesia, dari Jakarta, Bandung,
Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Makassar, serta perwakilan
senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat itu diperdebatkan nama
organisasi yang akan didirikan. Delegasi Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau
Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Delegasi Bandung dan Surakarta mengusulkan nama
PMII.
Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan Kongres. Namun kemudian
kembali dipersoalkan kepanjangan dari “P” apakah Perhimpunan atau Persatuan.
Akhirnya disepakati huruf “P” merupakan singkatan dari Pergerakan, sehingga PMII
adalah “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan
susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PMII, serta memilih dan
menetapkan Kepengurusan. Terpilih Sahabat Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, M.
Chalid Mawardi sebagai Ketua I, dan M. Said Budairy sebagai Sekretaris Umum. Ketiga
orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan
PB PMII.
PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 Masehi atau
bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah. Maka secara resmi pada tanggal
17 April 1960 dinyatakan sebagai hari lahir PMII. Dua bulan setelah berdiri, pada tanggal
14 Juni 1960 pucuk pimpinan PMII disahkan oleh PBNU. Sejak saat itu PMII memiliki
otoritas dan keabsahan untuk melakukan program-programnya secara formal
organisatoris.
Dalam waktu yang relatif singkat, PMII mampu berkembang pesat sampai
berhasil mendirikan 13 cabang yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia karena
pengaruh nama besar NU. Dalam perkembangannya PMII juga terlibat aktif, baik dalam
pergulatan politik serta dinamika perkembangan kehidupan kemahasiswaan dan
keagamaan di Indonesia (1960-1965).
Pada 14 Desember 1960 PMII masuk dalam PPMI dan mengikuti Kongres VI
PPMI (5 Juli 1961) di Yogyakarta sebagai pertama kalinya PMII mengikuti kongres
federasi organisasi ekstra universitas. Peran PMII tidak terbatas di dalam negeri saja,
tetapi juga terlibat dalam perkembangan dunia internasional. Terbukti pada bulan
September 1960, PMII ikut berperan dalam Konferensi Panitia Forum Pemuda Sedunia
(Konstituen Meeting of Youth Forum) di Moscow, Uni Soviet. Tahun 1962 menghadiri
seminar World Assembly of Youth (WAY) di Kuala Lumpur, Malaysia. Festival Pemuda
Sedunia di Helsinki, Irlandia dan seminar General Union of Palestina Student (GUPS) di
Kairo, Mesir.
Di dalam negeri, PMII melibatkan diri terhadap persoalan politik dan kenegaraan,
terbukti pada tanggal 25 Oktober 1965, berawal dari undangan Menteri Perguruan Tinggi
Syarif Thoyyib kepada berbagai aktifis mahasiswa untuk membicarakan situasi nasional
saat itu, sehingga dalam ujung pertemuan disepakati terbentuknya KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia) yang terdiri dari PMII, HMI, IMM, SEMMI, dan GERMAHI yang
dimaksudkan untuk menggalang kekuatan mahasiswa Indonesia dalam melawan
rongrongan PKI dan meluruskan penyelewengan yang terjadi. Sahabat Zamroni sebagai
wakil dari PMII dipercaya sebagai Ketua Presidium. Dengan keberadaan tokoh PMII di
posisi strategis menjadi bukti diakuinya komitmen dan kapabilitas PMII untuk semakin
pro aktif dalam menggelorakan semangat juang demi kemajuan dan kejayaan Indonesia.
Usaha konkrit dari KAMI yaitu mengajukan TRITURA dikarenakan persoalan tersebut
yang paling dominan menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Puncak aksi yang
dilakukan KAMI adalah penumbangan rezim Orde Lama yang kemudian melahirkan
rezim Orde Baru, yang pada awalnya diharapkan untuk dapat mengoreksi
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Orde Lama dan bertekad untuk
melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai cerminan
dari pengabdian kepada rakyat.
Pemikiran-pemikiran PMII mengenai berbagai masalah nasional maupun
internasional sangat relevan dengan hasil-hasil rumusan dalam kongresnya antara lain
yaitu :
1. Kongres I Solo, 23-26 Desember 1961 menghasilkan Deklarasi Tawang Mangu yang
mengangkat tema Sosialisme Indonesia, Pendidikan Nasional, Kebudayaan dan
Tanggungjawabnya sebagai generasi penerus bangsa.
2. Kongres II di Yogyakarta, 25-29 Desember 1963 penegasan pemikiran Kongres I dan
dikenal sebagai Penegasan Yogyakarta dan sebelumnya ditetapkan 10 Kesepakatan
Ponorogo 1962 (sebagai bukti kesadaran PMII akan perannya sebagai kader NU).

DIBALIK NAMA PMII


Nama PMII merupakan usulan dari delegasi Bandung dan Surabaya yang
mendapat dukungan dari utusan Surakarta. Nama PMII juga mempunyai arti tertentu.
Makna “Pergerakan” adalah dinamika dari hamba yang senantiasa bergerak menuju
tujuan idealnya yaitu memberi penerang bagi alam sekitarnya. Oleh karena itu PMII
harus terus berkiprah menuju arah yang lebih baik sebagai perwujudan
tanggungjawabnya pada lingkungan sekitarnya. Selain itu PMII juga harus terus
membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika
menuju tujuanya selalu berada dalam kualitas kekhalifahanya.
Makna “Mahasiswa” adalah generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan
tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra
sebagai Insan Religius, Insan Akademis, Insan Sosial dan Insan Mandiri. Dari identitas
tersebut terpantul tanggungjawab keagamaan, intelektualitas, sosial-kemasyarakatan dan
tanggungjawab individu sebagai hamba Allah maupun sebagai warga Negara.
Makna “Islam” yang dipahami sebagai paradigma Ahlussunnah Wal Jamaah yaitu konsep
pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional terhadap Iman, Islam dan
Ihsan, yang di dalam pola pikir dan pola perlakuannya tercermin sifat-sifat selektif,
akomodatif dan integratif.
Makna “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang
mempunyai falsafah dan ideologi bangsa serta UUD 1945. Dan mempunyai komitmen
kebangsaan sesuai dengan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
INDEPENDENSI PMII SEBUAH PILIHAN.
Seiring dengan perjalanan waktu, perubahan dalam kehidupan tidak dapat
terelakkan. Setelah keluarnya SUPERSEMAR 1966, kegiatan demonstrasi massa
menurun, hingga akhirnya dilarang sama sekali. Mahasiswa diperintahkan untuk back to
campus. Kondisi yang demikian menggeser posisi strategis KAMI menjadi
termarjinalkan, sehingga diusahakan untuk mengadakan beberapa rapat mulai 1967 di
Ciawi, disusul 11-13 Februari 1969 dengan membahas National Union of Student.
Namun usaha-usaha yang dilakukan menemui jalan buntu, hingga akhirnya KAMI bubar
dan beberapa anggotanya kembali pada organisasi yang semula.
PMII tetap melakukan gerakan-gerakan moral terhadap kasus dan penyelewengan
yang dilakukan oleh penguasa. Sejak Orde Baru berdiri, kemenangan berada di tangan
Partai Golkar dengan dukungan dari ABRI. Perubahan konstalasi politik pun terjadi
perlahan dan pasti. Partai-partai politik Islam termasuk NU dimarjinalkan dan
dimandulkan. Dan disisi lain kondisi intern NU dilanda konflik internal.
Harus diakui bahwa sejarah paling besar dalam PMII adalah ketika
dipergunakannya independensi dalam Deklarasi Murnajati, 14 Juli 1972. Dalam MUBES
III tersebut, dilakukan rekonstruksi perjalanan PMII selama 12 tahun. Analisa untung-
rugi ketika PMII tetap bergabung (dependen) pada induknya (NU). Namun sejauh itu
pertimbangan yang ada tidak jauh dari proses pendewasan. PMII sebagai organisasi
kepemudaan ingin lebih eksis di mata bangsanya. Hal ini terlihat jelas dari tiga butir
pertimbangan yang melatarbelakangi Independensi PMII tersebut.

* Butir pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan, mutlak memerlukan


insan Indonesia yang berbudi luhur, takwa kepada Allah, berilmu dan bertanggungjawab,
serta cakap dalam mengamalkan ilmu pengetahuanya.
* Butir Kedua, PMII sebagai organisasi pemuda Indonesia, sadar akan peranananya untuk
ikut bertanggungjawab bagi keberhasilan bangsa untuk dinikmati seluruh rakyat.
* Butir Ketiga, bahwa PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan
idealisme sesuai dengan idealisme Tawang Mangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat
kreatif, sikap keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, PMII menyatakan diri sebagai organisasi
independen, tidak terikat baik sikap maupun tindakan dengan siapapun, dan hanya
komitmen dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional, yang
berlandaskan Pancasila.
Deklarasi Murnajati tersebut kemudian ditegaskan kembali dalam Kongres V
PMII di Ciloto, 28 Desember 1973. Dalam bentuk Manifesto Independensi PMII yang
terdiri dari tujuh butir, salah satu butirnya berbunyi: “…bahwa pengembangan sikap
kreatif, keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab sebagai dinamika gerakan
dilakukan dengan bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta didorong oleh moralitas
untuk memperjuangkan pergerakan dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan
Pancasila.”.
Sampai di sini, belum dijumpai adanya motif lain dari independensi itu, kecuali
proses pendewasaan. Hal ini didukung oleh manifesto butir terakhir, yang menyatakan
bahwa “dengan independensi PMII tersedia adanya kemungkinan-kemungkinan alternatif
yang lebih lengkap lagi bagi cita-cita perjuangan organisasi yang berdasarkan Islam yang
berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah.”.
Kondisi sosio-akademis, PMII dengan independensinya lebih membuktikan
keberadaan dan keabsahannya sebagai organisasi mahasiswa, kelompok intelektual muda
yang sarat dengan idealisme, bebas membela dan berbuat untuk dan atas nama kebenaran
dan keadilan. Dan bersikap bahwa dunia akademis harus bebas dan mandiri tidak
berpihak pada kelompok tertentu. Sedangkan Cholid Mawardi dalam menyikapi
independensi ini penuh dengan penentangan, karena ia khawatir PMII tidak lagi
memperjuangkan apa yang menjadi tujuan partai NU.
Meskipun independensi ini diliputi dengan pro-kontra yang semakin tajam. Akan
tetapi PMII justru memilih independensi sebagai pilihan hidup dan mengukuhkan
Deklarasi Murnajati dalam Kongres Ciloto, Medan tahun 1973 yang tertuang dalam
Manifesto Independensi PMII. Maka sejak 28 Desember 1973 secara resmi PMII
independen dan memulai babak baru dengan semangat baru menuju masa depan yang
lebih cerah. Ini berarti PMII mulai terpisah secara strukutural dari NU, tetapi tetap
merasa terikat secara kultur dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai strategi
pergerakan.
PMII secara resmi bergabung dengan Kelompok Cipayung (22 Januari 1972) satu
tahun setelah Kongres Ciloto, yaitu pada Oktober1974, di bawah kepemimpinan Ketua
Umum Drs. HM. Abduh Padare. Dan bergabung secara riil pada Januari 1976 dan
dipercaya untuk menyelenggarakan pertemuan ketiga.
Bergabungnya PMII dalam Kelompok Cipayung merupakan perwujudan arah gerak PMII
dalam lingkup kemahasiswaan, kebangsaan, dan keislaman. Kerjasama dengan berbagai
pihak akan terus dilakukan sejauh masih dalam bingkai visi dan misinya. Terbukti
sebelum bergabung dengan kelompok ini PMII juga terlibat aktif dalam proses
menentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Setelah PMII independen, selain melakukan aktifitas strategis dalam konstalasi
nasional, PMII juga melakukan pola pengkaderan secara sistematis yang mengacu pada
terbentuknya pemimpin yang berorientasi kerakyatan, kemahasiswaan dan pembangunan
bangsa.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan
Mahasiswa Indonesia (IKAPMI) pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di
Ciumbeuleuit, Jawa Barat, 1975. Lahirnya Forum alumni ini merupakan upaya untuk
memperkuat barisan PMII dalam gerak perjuangannya. Dan akhirnya forum inipun
disempurnakan lagi pada Musyawarah Nasional Alumni 1988 di hotel Orchid Jakarta,
menjadi Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Keluarga Alumni (FOKSIKA) PMII dan
Sahabat Abduh Padere ditunjuk sebagai ketuanya.

HUBUNGAN INTERDEPENDENSI
Pada perkembanagan lebih lanjut saat Kongres X, pola hubungan PMII dengan
NU menjadi interdependen, dimana PMII tetap mempunyai perhatian khusus terhadap
NU karena kesamaan kultur dan wawasan keagamaan yang memperjuangkan Islam
Ahlussunnah Wal Jamaah. Beberapa kemungkinan hubungan PMII–NU menjadi
interdependen:
1. Kesamaan kultur dan pemahaman keagamaan sebagai ciri perjuangan.
2. Adanya rekayasa politik untuk mengembangkan kekuatan baru.
3. Menghilangkan rasa saling curiga antar tokoh sehingga kader-kader PMII akan lebih
mudah memasuki NU setelah tidak aktif di PMII.
Kendatipun demikian PMII memberikan catatan khusus independensinya yaitu bahwa
hubungan tersebut tetap memegang prinsip kedaulatan organisasi secara penuh dan tidak
saling intervensi baik secara struktural maupun kelembagaan. PMII memanfaatkan
hubungan interdependen ini untuk kerjasama dalam pelaksanaan program-program nyata
secara kualitatif fungsional dan mempersiapkan sumber daya manusia.
Pada tahun 70-an hingga 90-an, dalam perkembangannya, dunia kemahasiswaan
berada dalam kondisi yang tidak kondusif, situasi back to campus lebih riil terjadi.
Kebijakan Orde Baru telah memandulkan posisi strategis mahasiswa dan lebih
didominasi oleh kekuatan militer dan Golkar. PMII hanya sebatas mampu melakukan
pengkaderan secara periodik sesuai dengan progran kerja yang ditetapkan.

KANDUNGAN NILAI LAGU MARS PMII


Jauh sebelum ilmu kedokteran modern menjelaskan manfaat musik seperti Effect
Mozzart, motivasi dan lain sebagainya, Al-Kindi, salah seorang Filsuf yang pernah
dilahirkan oleh Peradaban Islam telah mengungkapkannya secara rinci. Sampai-sampai
setiap gubahan gitar dengan kunci-kunci tertentu, mampu menyembuhkan penyakit,
memperlancar peredaran darah. Tetapi dalam tulisan ini, saya tidak ingin membahas
tentang pengaruh musik terhadap aspek kesehatan mental dan fisik manusia, tetapi saya
lebih cenderung membahas tentang makna yang terkandung dalam Lagu Mars PMII,
dengan harapan bahwa apa yang saya bisa berikan dalam ulasan ini, utamanya warga
PMII Tarbiyah Surabaya Selatan, adalah tumbuhnya kesadaran baru sahabat-sahabat di
internal Angkatan untuk lebih memahami apa sebenarnya PMII, untuk apa PMII, dan lain
sebagainya.
Setiap organisasi eksternal kampus memiliki lagu kebangsaannya sendiri, begitu
juga dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Lagu kebangsaan warga
pergerakan PMII yaitu lagu mars PMII, dimana lagu tersebut mengejawantahkan sebuah
pesan yang abadi buat kadernya. Mars PMII dilantunkan pada pembukaan acara resmi
organisasi, baik bersifat intern maupun ekstern atau umum. Mars PMII dilantunkan
secara bersama-sama dengan berdiri tegak, khidmat dan penuh semangat. Jika lihat
secara seksama teks lagu mars tersebut berisi muatan gerakan yang harus
dimanifestasikan oleh warga PMII, baik dalam bertindak maupun berpikir yang mampu
memberikan kemajuan pada tiga ranah yakni PMII sendiri, bangsa Indonesia manupun
Agama. Namun, perjuangan yang paling terpenting yaitu demi kemajuan dan
kesejahteraan bangsa Indonesia, hal ini karena PMII itu lahir dan eksis untuk Indonesia.

Lagu mars PMII bukanlah sebuah lagu yang hanya diciptakan untuk seremonial
dan artifisial belaka, akan tetapi penciptaan tersebut merupakan konsep yang berisi
sebuah gerakan. Gerakan yang dibangun oleh pendahulu atau faonding father kita tidak
terlepas dari visi, misi, dan cita-cita yang terkandung dalam lagu mars PMII tersebut.
Selama ini kita sebagai kader PMII melantunkan lagu mars PMII hanya sebatas untuk
kebutuhan seremonial ataupun untuk menyenangkan diri pribadi (hura-hura) belaka. Kita
tidak pernah menjadikan lagu mars PMII sebagai landasan perjuangan bagi kita dalam
kancah pergerakan.

Lagu mars PMII memanifestasikan beberapa pesan gerakan yang musti dilakukan
oleh kader PMII. Pertama, PMII mesti mengesksiskan diri pada panggung Indonesia. Hal
ini termaktub dari bait ke-1 dari lagu mars yang berbunyi Inilah kami wahai Indonesia,
Satu barisan dan satu cita, Pembela bangsa penegak agama, Tangan terkepal dan maju
kemuka. Ini menandakan bahwa kader PMII harus mampu mewarnai Indonesia baik
dalam ranah Politik, Ekosob, dan Agama, demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan
bangsa Indonesia. Dalam ranah politik PMII merupakan lembaga organisasi ekstra
parlementer yang turut mengontrol dan selalu aktif mengkritisi kebijakan pemerintah
serta memberikan wacana yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah. Ruang gerak
yang dibangun PMII harus mampu memperjuangkan demokratisasi hingga ke level
bawah sehingga mampu memberikan pencerahan terhadap masyarakat (kalangan grass
root).

PMII merupakan organisasi yang sangat dekat dengan dengan masyarakat akar
rumput karena hegemoni pemerintah telah membelenggu dan memanfaatkan masyarakat
bawah untuk kelanggengan kekuasaanya, tidak heran warga pergerakan lebih senang
berdialektika dengan kalangan akar rumput ketimbang menjadi underbau politik.
Paradigma yang berkembang di PMII yaitu paradigma kritis transformatif yang
menopang keberadaan kader PMII dalam menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol
kebijakan pemerintah. PMII juga terkenal dengan aksi jalanan, hal ini terlihat ketika PMII
turun kejalanan mampu membuat ketar-ketir pihak lawan.
Kedua, PMII harus mencurahkan seluruh potensi yang dimilikinya untuk
membebaskan social-politik yang hegemonik menuju masyarakat yang bebas, merdeka,
adil, dan makmur. Hal ini termaktub dari bait ke-2 dan ke-3 dari lagu mars yang berbunyi
Habislah sudah masa yang suram, Selesai sudah derita yang lama, Bangsa yang jaya
Islam yang benar, Bangun tersentak dari bumiku subur dan Denganmu PMII
pergerakanku, Ilmu dan bakti kuberikan, Adil dan makmur kuperjuangkan, Untukmu satu
tanah airku dan Untukmu satu keyakinanku. Syair ini menandakan akan pembelaan PMII
terhadap kaum mustadh’afien yang selama ini dirong-rong oleh penguasa.
PMII merupakan wadah yang mengakomodir kadernya dari elemen mahasiswa.
Sebagai ormas kemahasiswaan dengan basis massa terbesar di Indonesia, PMII
menanggung beban yang cukup berat untuk mengantarkan warganya sebagai manusia
yang tercerahkan. Tugas PMII adalah memberikan kapasistas-kapasitas standar bagi
warganya agar menjadi mahasiswa yang tidak hanya intens pada dunia akdemik saja
melainkan memiliki muatan moral intelektual, kemampuan professional dan yang paling
penting sensitivitas social yang tinggi. PMII diharapkan tidak hanya sekedar kader yang
militan dan tunduk kepada doktrin dan kepentingan organisasi, tetapi lebih menekankan
pada proses penciptaan tatanan sosial yang egaliter dan humanis, yang menempatkan
kemerdekaan dan martabat kemanusiaan di atas segalanya.
Tugas yang amat berat yang diemban warga pergerakan yakni mewujudkan
tatanan masyarakat yang adil, makmur serta tercerahkan. Dengan bekal keilmuan dan
keimanan yang matang merupakan modal dasar bagi kader PMII untuk mewujudkan
tatanan masyarakat yang bebas dan tercerahkan sehingga cita-cita yang dinginkan mampu
terwujud. PMII harus mencurahkan seluruh keilmuan dan potensi yang dimiliki untuk
membantu masyarakat akar rumput yang tertias oleh ulah perintah, melalui pembinaan
dan pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat yang bebas dan tercerahkan.
Kemerdekaan yang diusung oleh PMII merupakan kemerdekaan yang hakiki bagi
masyarakat Indonesia, baik merdeka dari penjajahan maupun penindasan yang dilakukan
oleh pemerintah maupun bangsa luar.
Ketiga, membangun pilar-pilar agama Islam. Hal ini termaktub dari syair mars
PMII dari bait ke-1 sampai ke-3. Tidak dapat dipungkiri bahwa PMII secara histories
merupakan warga Nahdliyin (NU) yang memiliki ranah gerak religius atau agamis. Kader
PMII diharapkan mampu membangun citra Islam yang sesuai dengan tradisi ke-NU-an.
Yakni Islam yang bercirikhas ke-Indonesiaan. Dimana nilai-nilai ke-Islaman yang
dibangun bercirikhas ke-Indonesiaan, dimana Islam yang dipahami warga nahdliyin
keislaman yang telah mengalami akulturasi dengan adat-istiadat bangsa Indonesia. Hal
ini juga memudahkan kader PMII dikarenakan mayoritas kader PMII berbasic pesantren.
Dalam membangun moral politik bangsa warga pergerakan diharapkan mampu
membangun moralnya terlebih dahulu dengan intens mengkaji, memahami dan
mengaplikasikan ilmu ke-Islamannya. Kita sudah tahu bahwa PMII sangat berperan
active dalam membangun moral bangsa dari mulai berdirinya PMII hingga saat ini.
Sehingga nilai-nilai agama yang diterapkan di PMII dapat termanifestasikan dalam pola
gerak dan pola pikir kader dan bangsa Indonesia secara umum.
PMII merupakan organisasi mahasiswa yang menginginkan kemerdekaan segala
bidang. Agar hal tersebut dapat terwujud maka, PMII harus mampu yang mencetak kader
yang memiliki jiwa militansi yang tinggi, keilmuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan
ummat, bertanggungjawab terhadap amanah yang dicita-citakan oleh organisasi, serta
memiliki jiwa sensitivitas (kepekaan) social yang tinggi sehingga mampu melakukan
pembinaan dan pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat yang tercerahkan, bebas,
merdeka, adil, dan makmur.
Demikianlah, PMII sebagai ideologi telah mampu memotivasi kader-kadernya
melalui Mars PMII yang sakral itu. Semoga kita, yang mengaku warga PMII mampu
mengejawantahkan kandungan nilai ideal-moral mars ini ke wilayah yang konkrit.
NILAI-NILAI DASAR PERGERAKAN MAHASISWA
ISLAM INDONESIA

1. PENGERTIAN, KEDUDUKAN, DAN FUNGSI

A. Pengertian

• Nilai-nilai dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah basis filosofis dari
setiap aktifitas berpikir, berucap dan bertindak, yang mencerminkan tujuan bersama yang
hendak dicapai.

• Nilai-nilai itu merupakan manifestasi pemahaman Aswaja sebagai manhaj al-fikr


dan manhaj al-taghayyur al-ijtima’i dalam proses dialektika sejarah global dan ke-
Indonesia-an.

B. Kedudukan

Nilai-nilai Dasar PMII berkedudukan sebagai :

• Sumber ideal moral

• Pusat argumentasi dan pengikat kebebasan berpikir, berucap, dan bertindak.

C. Fungsi

Nilai-nilai Dasar PMII berfungsi sebagai kerangka ideologis yang pemaknaannya


adalah :

• Dialektika antara konsep dan realita yang selalu terbuka untuk dikontekstualkan
sesuai dinamika perubahan dan lokalitas.

• Pola pikir, pola sikap, pola hubungan, dan pola integrasi dalam perspektif
gerakan.
2. Rumusan Nilai-Nilai Dasar PMII

Mukaddimah
Tauhid (keyakinan transendental) merupakan sumber nilai yang mencakup pola
hubungan antara manusia dengan Allah (hablun min Allah), hubungan manusia dengan
sesama manusia (hablun min al-nas), dan hubungan manusia dengan alam (hablun min
al-‘alam). Pergerakan meyakini dengan penuh sadar bahwa menyeimbangkan ketiga pola
hubungan itu merupakan totalitas keIslaman yang landasannya adalah wahyu Tuhan
dalam al-quran dan hadits Nabi. Dalam memahami dan mewujudkan keyakinan itu PMII
telah memilih Ahlussunnah wal jama’ah (aswaja) sebagai manhajul fikr dan manhaj al-
taghayyur al-ijtima’i.
Selain itu sebagai bagian sah dari bangsa Indonesia, PMII menyadari bahwa Pancasila
adalah falsafah hidup bangsa, yang penghayatan dan pengamalannya seiring dengan
implementasi dari nilai-nilai aswaja: tawassuth, tasamuh, tawazun, dan ta’adul. Karena
itu, dengan menyadari watak intelektual dan kesadaran akan tanggung jawab masa depan
bersama, dan dengan memohon rahmat dan ridla Allah SWT., maka disusunlah rumusan
Nilai-nilai Dasar PMII sebagai berikut :

RUMUSAN NILAI-NILAI DASAR PMII

a. Hablun min Allah (Hubungan manusia dengan Allah)

Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia mencipta manusia dalam sebaik-baik
bentuk dan memberikan kedudukan terhormat kepadanya di hadapan ciptaan-Nya
yang lain. Kedudukan seperti itu ditandai dengan pemberian daya cipta, rasa, dan
karsa. Potensi inilah yang memungkinkan manusia memerankan fungsi sebagai
hamba (‘abd) dan wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl).
Sebagai hamba, manusia memiliki tugas utama mengabdi dan menyembah Tuhan
(Q.S. al-Dzariat: 56), mengesakan Tuhan dan hanya bergantung kepada-Nya, tidak
menyekutukan dan menyerupakannya dengan makhluk yang memiliki anak dan orang
tua (Q.S. al-Ikhlash: 1-4). Sebagai hamba manusia juga harus mengikhlaskan semua
ibadah dan amalnya hanya untuk Allah (Q.S. Shad: 82-83).

Sebagai khalifah, manusia memiliki kewajiban untuk menjaga dan memakmurkan


bumi bukan malah merusaknya (Q.S. al-Baqarah: 30). Karena, kedudukan ini
merupakan amanah Tuhan yang hanya mampu dilakukan oleh manusia, sedang
makhluk Tuhan yang lain tidak mampu untuk mengembannya (Q.S. al-Ahzab: 72).
Dan tingkat kemampuan manusia mengemban amanah inilah yang kemudian
menentukan derajatnya di mata Allah (Q.S. al-An’am: 165).
Manusia baru dikatakan berhasil dalam hubunganya dengan Allah apabila kedua
fungsi ini berjalan secara seimbang. Pemaknaan seimbang di sini bahwa keimanan
dan ketakwaan kepada Tuhan tidak cukup hanya dengan syahadat, shalat, zakat,
puasa,dan haji, tetapi nilai-nilai ibadah itu harus mampu diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari, membangun peradaban umat manusia yang berkeadilan.
Bahwa kita hidup di dunia ini bukan untuk mencari jalan keselamatan bagi diri kita
saja, tetapi juga bagi orang lain terutama keluarga dan masyarakat sekitar kita.

b. Hablun min al-Nas (Hubungan antar sesama manusia)

Pada hakikatnya manusia itu sama dan setara di hadapan Tuhan, tidak ada
perbedaan dan keutamaan di antara satu dengan lainnya. Begitu pula tidak dibenarkan
adanya anggapan bahwa laki-laki lebih mulia dari perempuan, karena yang
membedakan hanya tingkat ketaqwaan (Q.S. al-Hujurat: 13) keimanan, dan
keilmuawannya (Q.S. al-Mujadalah: 11).

Manusia hidup di dunia ini juga tidak sendirian tetapi dalam sebuah komunitas
bernama masyarakat dan negara. Dalam hidup yang demikian, kesadaran keimanan
memegang peranan penting untuk menentukan cara kita memandang hidup dan
memberi makna padanya. Maka yang diperlukan pertama kali adalah bagaimana kita
membina kerukunan dengan sesama Umat Islam (ukhuwah Islamiyyah) untuk
membangun persaudaraan yang kekal hingga hari akhir nanti (Q.S. al-Hujurat: 11)
Namun kita hidup dalam sebuah negara yang plural dan beraneka ragam. Di
Indonesia ini kita hidup bersama umat Kristen, Hindu, Budha, aliran kepercayaan,
dan kelompok keyakinan lainnya. Belum lagi bahwa kita pun berbeda-beda suku,
bahasa, adat istiadat, dan ras. Maka juga diperlukan kesadaran kebangsaan yang
mempersatukan kita bersama dalam sebuah kesatuan cita-cita menuju kemanusiaan
yang adil dan beradab (ukhuwah wathaniyah). Keadilan inilah yang harus kita
perjuangkan (Q.S. al-Maidah: 8). Dan untuk mengatur itu semua dibutuhkan sistem
pemerintahan yang representatif dan mampu melaksanakan kehendak dan
kepentingan rakyat dengan jujur dan amanah. Pemimpin yang sesuai dengan nilai ini,
peraturannya harus kita taati selama tidak bertentangan dengan perintah agama (Q.S.
al-Nisa: 58) Dan untuk pelaksanaannya kita harus selalu menjunjung tinggi nilai
musyawarah yang merupakan elemen terpenting demokrasi (Q.S. Ali Imran: 199).
Namun itu saja belum cukup. Kita hidup di dunia ini berdampingan dan selalu
berhubungan dengan negara-negara tetangga. Maka kita juga harus memperhatikan
adanya nilai-nilai humanisme universal (ukhuwah bAsy’ariyah), yang mengikat
seluruh umat manusia dalam satu ikatan kokoh bernama keadilan. Meskipun kita
berbeda keyakinan dan bangsa, tidak dibenarkan kita bertindak sewenang-wenang
dan menyakiti sesama. Biarkan mereka dengan keyakinan mereka selama mereka
tidak mengganggu keyakinan kita (Q.S. al-Kafirun: 1-6). Persaudaraan kekal inilah
sebagai perwujudan dari posisi manusia sebagai khalifah yang wajib
memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bumi manusia ini.

c. Hablun min al-Alam (Hubungan manusia dengan alam)

Manusia yang diberi anugerah cipta, rasa, dan karsa, yang merupakan syarat
sahnya sebagai khalifah diberi wewenang dan hak untuk memanfaatkan alam bagi
kebutuhan hidupnya. Namun pemanfaatan ini tidak boleh berlebih-lebihan apalagi
merusak ekosistem. Hak ini dinamakan sebagai hak isti’mar, yaitu hak untuk
mengolah sumber daya alam untuk kemakmuran makhluk hidup tetapi pengelolaan
itu harus didasarkan pada rasa tanggung jawab: tanggung jawab kepada kemanusiaan,
karena rusaknya alam akan berakibat bencana dan malapetaka bagi kahidupan kita
semua, begitu pula tanggung jawab kepada Tuhan yang telah memberikan hak dan
tanggung jawab itu. (Q.S. Hud: 61)
Selain sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup, alam atau ekologi juga
merupakan ayat Tuhan yang harus dipahami sebagaimana kita memahami al-quran.
Dari pemahaman itulah akan terwujud keimanan yang mantap kepada Tuhan dan
kemantapan diri sebagai manusia yang harus menyebarkan c kedamaian di muka
bumi. Dari pemahaman inilah akan terbentuk suatu gambaran menyeluruh terhadap
alam, bahwa Tuhan menciptakan alam ini dengan maksud-maksud tertentu yang
harus kita cari dan teliti. Pencarian makna alam inilah yang melandasi setiap kegiatan
penelitian ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan. Maka tidak ada dikotomi dan
pertentangan antara ilmu daan wahyu, antara IPTEK dan agama, karena pada
hakikatnya keduanya akan mengantarkan kita kepada keyakinan akan keagungan
Tuhan (Q.S. 190-191).

Tauhid
Maka dengan menyeimbangkan ketiga pola hubungan di atas kita akan mencapai
totalitas penghambaan (tauhid) kepada Allah. Totalitas yang akan menjadi semangat
dan ruh bagi kita dalam mewarnai hidup ini, tidak semata-mata dengan pertimbangan
Ketuhanan belaka, tetapi dengan pertimbangan kemanusiaan dan kelestarian
lingkungan hidup. Bahwa tauhid yang kita maksudkan bukan sekadar teisme
transcendental an-sich, tetapi antrophomorfisme transendental, Nilai-nilai ketuhanan
yang bersatu dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ilmu pengetahuan.
Totalitas tauhid inilah yang akan memandu jalan kita dalam mencapai tujuan gerakan
membangun kehidupan manusia yang berkeadilan.

Khatimah
Rumusan Nilai-Nilai Dasar PMII perlu selalu dikaji secara kritis, dipahami secara
mendalam dan dihayati secara teguh serta diwujudkan secara bijaksana. Dengan NDP
ini hendak diwujudkan pribadi muslim yang bertakwa-berilmu-beramal, yaitu pribadi
yang sadar akan kedudukan dan perannya sebagai intelektual muslim berhaluan
Ahlussunnah wal jama’ah di negara Indonesia yang maju, manusiawi, adil, penuh
rahmat dan berketuhanan serta merdeka sepenuhnya.

Rabbana ‘alaika tawakkalna wa ilaika anabna wa ilaika al-mashir.


PROFIL PENULIS

Name : AHMAD RIFAI

Call Name : FAY

Birth n day : Monday, 21- 07-1986

Zodiak : Cancer

Phone Number : 081315070304 / 0215953948

University : IAIN “SMH” BANTEN

Organisasi :

Email : fhaymaniz@yahoo.co.id

Facebook : fhay Pmii

You might also like